• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pimpinan KPK dan Polri Akan Kembali Bertemu

JAKARTA, KOMPAS- Praktik korupsi yang marak di sejumlah lembaga negara, termasuk diduga terjadi di Kepolisian Negara Republik Indonesia, membuat dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi meningkat. Agar leluasa menangani kasus yang melibatkan lembaga penegak hukum itu, KPK perlu diperkuat dan ditegaskan kewenangannya.

Gagasan itu disampaikan Direktur Reform Institute Yudi Latif di Jakarta. Dia prihatin terhadap korupsi yang berlangsung di lingkungan penegak hukum. Terakhir adalah dugaan korupsi pengadaan simulator pembuatan surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri.

Terjerumusnya penegak hukum dalam korupsi sebenarnya sudah diantisipasi dengan pembentukan KPK. Dengan berbagai kewenangannya, komisi yang bersifat ad hoc ini bertugas menindak kejahatan korupsi ketika lembaga penegak hukum lain lemah dan bermasalah, terutama kejaksaan dan kepolisian. Belakangan, kinerja komisi produk Reformasi 1998 itu semakin menjanjikan dengan mengungkap berbagai kasus.

"Sayangnya, KPK punya keterbatasan kewenangan, dana, jaringan, dan aparat. Komisi ini juga bisa mentok ketika menabrak egoisme aparat hukum yang ngotot mempertahankan penyimpangan dalam lembaganya," kata Yudi, Minggu (5/8).

Dalam situasi seperti itu, semestinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyokong KPK agar bisa bekerja maksimal. Namun, harapan ini tampaknya sia-sia meskipun publik terus menagih komitmen dan janji politiknya untuk memberantas korupsi.

Untuk memperkuat dukungan kepada KPK, diperlukan dukungan moral dari publik agar KPK yang berhadapan dengan kekuatan besar tidak takut dan ragu. Dukungan ini harus

bertaut dengan media massa sehingga menjadi arus besar. "Ketika sudah menjadi arus besar, dukungan publik tak bisa diremehkan," katanya.

Terus diserang

Serangan terhadap KPK memang tidak pernah surut seiring penanganan sejumlah kasus korupsi yang menjerat politisi dan penegak hukum. Setiap kali KPK menyasar kasus yang melibatkan politisi dan penegak hukum, perlawanan dilakukan. Pimpinan KPK periode ketiga belum genap setahun menjabat ketika sejumlah kasus besar yang menyeret high ranking profile di negeri ini mulai disidik.

Meneruskan penanganan kasus pada kepemimpinan periode sebelumnya, KPK antara lain menyeret politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, sebagai tersangka kasus suap wisma atlet, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom dalam kasus suap cek perjalanan. KPK juga menetapkan mantan anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati, sebagai tersangka korupsi dana penyesuaian infrastruktur daerah.

KPK juga menangkap tangan pegawai pajak Tommy Hindratno saat disuap James Gunardjo untuk mengurus restitusi pajak PT Bhakti Investama, perusahaan yang dimiliki pengusaha sekaligus petinggi Partai Nasdem, Hary Tanoesoedibjo. KPK memeriksa Hary dan menggeledah perusahaan yang berkantor di MNC Tower. Operasi tangkap tangan KPK juga menangkap Bupati Buol Amran Batalipu yang disuap petinggi perusahaan perkebunan PT Hardaya Inti Plantation, Yani Anshori dan Gondo Sudjono. PT Hardaya merupakan perusahaan milik anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hartati Murdaya Poo. Hartati sudah dua kali diperiksa KPK sebagai saksi. KPK juga menetapkan politisi PDI-P, Izedrik Emir Moeis, sebagai tersangka kasus suap proyek pembangunan PLTU Tarahan, Lampung.

Kasus korupsi terakhir yang disidik KPK adalah pengadaan simulator pembuatan SIM di Korlantas. KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo dan Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo sebagai tersangka. Djoko yang lantas dicopot dari jabatan sebagai Gubernur Akademi Kepolisian sebelumnya menjabat sebagai Kepala Korlantas. Didik merupakan wakilnya.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, apa yang dilakukan KPK sepenuhnya mengemban amanat UU. "KPK tunduk dan menerapkan UU secara konsisten. Sikap KPK menggunakan UU ini sebagai dasar kami bertindak," kata Bambang.

Bambang mengatakan, pelemahan KPK yang muncul setiap kali ada politisi atau penegak hukum yang terjerat kasus korupsi hanya melawan semangat global antikorupsi. Menurut Bambang, Indonesia seharusnya mengikuti semangat global itu dengan menjamin lembaga antikorupsi dalam konstitusi. "Negara seperti Timor Leste, Lesotho, Brunei, dan Malaysia menjamin lembaga antikorupsinya dalam konstitusi," ujarnya.

Ingatkan kesepakatan

Terkait wacana publik yang meminta polisi menyerahkan kasus ke KPK, Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Sutarman mengharapkan KPK konsisten dengan kesepakatan pertemuan pimpinan KPK dengan Kapolri, 31 Juli 2012. Pimpinan KPK dan Kapolri sepakat, KPK menyidik Irjen Djoko Susilo. Tersangka lain seperti Brigjen Didik Purnomo ditangani Bareskrim Polri.

Atas dasar kesepakatan tidak tertulis itu, penyidik Bareskrim menetapkan lima tersangka, yaitu Brigjen DP, Ajun Komisaris Besar TR, Komisaris L, dan dua pemenang tender, yaitu BS dan SB.

Sutarman menambahkan, penyidik Bareskrim telah menahan empat tersangka dari lima tersangka yang ditetapkan Bareskrim Polri. Keempat tersangka yang ditahan adalah Brigjen DP, Ajun Komisaris Besar TR, Komisaris L, dan BS. "Tersangka DP, TR, dan L ditahan di rutan Mako Brimob. Tersangka BS ditahan di rutan Bareskrim Polri," katanya. Penahanan terhadap para tersangka itu, lanjut Sutarman, dilakukan sejak Jumat malam.

Menghadapi konflik penanganan kasus ini, rencananya, pimpinan KPK dan Kapolri akan kembali bertemu. Rencana pertemuan yang akan dilakukan pekan ini itu disampaikan Juru Bicara KPK Johan Budi.

Meskipun mulai surut, harapan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar turun tangan memerintahkan Polri menyerahkan penanganan kasus kepada KPK tetap muncul.

"Kuncinya ada di presiden sebagai kepala negara. Jika komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi bukan basa-basi, Presiden harus mendukung langkah KPK. Presiden bisa meminta pimpinan Polri membuka jalan agar kasus korupsi yang ada di tubuh kepolisian bisa tuntas," kata anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho.

Pengajar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia Ganjar Laksamana mengemukakan, baik KPK, polisi, maupun jaksa sama-sama berwenang menangani kasus korupsi. Namun, KPK lebih berwenang untuk menyidik kasus dugaan korupsi simulator pembuatan SIM di tubuh Polri.

Ada tiga alasan KPK mengambil alih kasus sesuai UU No 30/2002 tentang KPK. Pertama, ketika penyidik bertele-tele dalam menangani kasus. Kedua, penyidik lain diduga malah menimbulkan korupsi baru dari kasus yang disidiknya. Ketiga, KPK harus mengambil alih kasus ketika ada dugaan penegak hukum lain melindungi pelaku. Ketiga alasan itu sesuai dengan kondisi di tubuh Polri saat ini.

Kewenangan KPK untuk menyidik kasus di Korlantas dinyatakan juga oleh peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Indria Samego. "Sesuai UU KPK, KPK harus jadi agen utama penegakan hukum kasus korupsi. Eksplisit ada pasalnya yang menyebut itu, maka kepolisian dan kejaksaan harus menyerahkan kasus korupsi jika KPK menangani," katanya

(IAM/BIL/FER/FAJ/LOK/DIK)

Grafik: 2

1. Korupsi yang Diungkap Berdasarkan Jabatan (2004-2011) 2. Ancaman Terhadap KPK

P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270

Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743

KOMPAS Senin, 06-08-2012. Halaman: 3

Polisi Vs KPK

Siapa yang Berhak Tangani Simulator?

Tak seperti biasanya, ekspose kasus, Jumat (27/7), itu menegangkan. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berkali-kali harus meyakinkan anak buahnya melangkah lebih lanjut. Sebaliknya, penyelidik dan penyidik KPK juga menuntut dukungan penuh pimpinan mereka.

Dalam ketegangan, diputuskan, kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator ujian surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri naik ke penyidikan. Hasil ekspose menetapkan, mantan Kepala Korlantas Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka. Djoko dijerat Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 kesatu KUHP.

Dalam surat perintah penyidikan atas nama Djoko Susilo disebutkan pelaku penyertaan tindak pidana ini, yakni Wakil Kepala Korlantas Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo dan dua orang rekanan pengadaan simulator SIM, Budi Santoso dan Sukotjo Bambang.

Dua jenderal aktif di Polri jadi tersangka. Tak heran jika pimpinan KPK dan penyelidik serta penyidik KPK menyatakan komitmen bekerja sama penuh dan sungguh-sungguh.

Ekspose tak melulu bicara soal kasus simulator SIM. Mengingat risiko yang timbul setelah menyidik kasus ini dan menetapkan petinggi Polri aktif sebagai tersangka, ekspose juga membahas mitigasi risiko serangan balik yang mungkin terjadi ke KPK. Seluruh potensi serangan dipetakan, termasuk alternatif untuk menghadapinya.

Karena kasus ini melibatkan petinggi penegak hukum lain, sesuai nota kesepahaman atau memorandum of understanding, KPK memberitahukan ke penegak hukum yang bersangkutan. Maka, pimpinan KPK berbagi tugas. Ekspose digelar Jumat. Tak mungkin

Dokumen terkait