• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kawasan Gunungsewu merupakan bagian dari deretan pegunungan yang memanjang di sisi selatan Pulau Jawa. Kawasan ini memiliki luas sekitar 126.000 Ha yang terbentang dari Pantai Parangtritis di ujung barat hingga Teluk Pacitan di sebelah timur dengan panjang sekitar 90 km dan lebar utara-selatan bervariasi antara 6 hingga 30 km. Secara administratif kawasan ini masuk dalam 4 wilayah kabupaten di 3 propinsi, yakni: Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunungkidul di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Wonogiri di Propinsi Jawa Tengah, dan Kabupaten Pacitan di Propinsi Jawa Timur.

Secara fisiografi kawasan Gunungsewu termasuk dalam zona pegunungan selatan Jawa yang dicirikan dengan bentang alam yang sangat spesifik yakni bentang alam karst (Bemmelen 1970: 554). Karst merupakan suatu bentang alam yang secara umum disusun oleh batugamping dengan topografi yang terbentuk melalui proses karstifikasi, yaitu proses pelarutan dan peresapan. Topografi kawasan ditandai oleh kenampakan bentukan permukaan berupa bukit-bukit karst yang cukup banyak dan jaringan sungai bawah tanah (Samodra, 2005: 27-28).

Bentang alam karst Gunungsewu memiliki karakteristik morfologi yang unik, seperti terdapatnya cekungan-cekungan tertutup (dolin dan uvala), gua, lembah kering, dan bukit sisa yang berbentuk kerucut atau menara, jaringan sungai bawah tanah, telaga, langka atau tidak terdapat sungai permukaan, dan mempunyai mata air yang besar (Haryono dan Adji, 2004: 1). Di Gunungsewu terdapat sebaran bukit-bukit berbentuk konikal diselingi depresi-depresi poligonal berbentuk dolin atau uvala dan jaringan lembah kering menyerupai labirin (Yuwono, 2013: 1). Berbagai karakteristik bentangalam tersebut menjadikan Gunungsewu sebagai salah satu kawasan karst di Indonesia yang memiliki kekhasan dan selalu menjadi rujukan contoh kawasan karst tropis tipe kerucut atau kegelkarst di dunia (Kusumayudha, 2004).

(2)

2 Gunungsewu memiliki sejumlah rekaman geomorfologis dan geologis yang lengkap yang tampak pada fenomena permukaan (eksokarst) maupun bawah permukaan (endokarst). Proses pelarutan dan denudasi batugamping formasi Wonosari merupakan proses-proses geomorfologis paling dominan yang membentuk karakter Gunungsewu seperti sekarang ini (Yuwono, 2013: 3). Proses tersebut diperkirakan berlangsung sejak sedimen batugamping Wonosari berumur Miosen (Marks, 1961 dalam Yuwono 2013: 3) atau Miosen Tengah (Bemmelen, 1970: 547, 555), dan mengalami pengangkatan dari dasar laut dangkal selama Pliosen Akhir - Pleistosen Awal bahkan hingga Pleistosen Akhir proses pengangkatan tersebut masih terus berlangsung. Pengangkatan tersebut membentuk struktur plato melandai ke selatan dengan kemiringan sekitar 2% (Haryono and Day, 2004: 63).

Selain fenomena fisik, kawasan Gunungsewu juga menyimpan fenomena budaya yang cukup kompleks. Fenomena budaya tersebut antara lain ditunjukkan dengan sejumlah bukti-bukti rekaman tinggalan arkeologis. Bukti-bukti tinggalan arkeologis menunjukkan bahwa kronologi penghunian manusia di kawasan tersebut telah berlangsung cukup lama. Sejarah hunian manusia yang cukup panjang, dari budaya tertua (paleolitik) hingga yang termuda, bahkan intensif berlanjut hingga sekarang. Penghunian awal oleh manusia di kawasan karst Gunungsewu terekam pada sejumlah situs arkeologi prasejarah yang diperkirakan mulai dihuni sekitar Plestosen Akhir - Holosen Awal (Heekeren, 1972 dan Bartstra, 1985 dalam Simanjuntak, dkk 2004: 4). Pada budaya tertua (paleolitik), kehidupan dan pemanfaatan lahan terpusat di bentang alam terbuka, yaitu di sekitar dan sepanjang aliran sungai. Pada tahap berikutnya terjadi perubahan model hunian, yakni dari model pengembaraan di sepanjang aliran sungai beralih ke hunian gua dan ceruk (Simanjuntak, dkk, 2004: 3-4).

Gua dan ceruk yang terbentuk secara alami akibat proses karstifikasi pada batuan karbonat telah dimanfaatkan oleh manusia prasejarah sebagai tempat melakukan aktivitas sehari-hari, antara lain dipergunakan sebagai tempat tinggal, membuat berbagai perkakas untuk mendukung aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup dan juga sebagai tempat penguburan. Pertimbangan pemanfaatan gua dan ceruk oleh manusia prasejarah sebagai lokasi hunian antara lain: kebutuhan akan

(3)

3 tempat yang nyaman dan aman untuk berlindung dari cuaca yang ekstrim, serangan binatang buas, dan melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu, faktor kedekatan dengan sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan hidup seperti kedekatan dengan sumber air, kedekatan dengan lokasi perburuan, dan kedekatan dengan lokasi bahan untuk membuat perkakas seperti bahan batuan untuk membuat alat batu.

Menurut Simanjuntak, dkk (2004) di kawasan karst Gunungsewu setidaknya telah teridentifikasi sebanyak 135 situs prasejarah yang hingga kini jumlahnya masih terus bertambah seiring dengan informasi situs baru. Sebagian besar situs tersebut ditemukan di Kecamatan Punung, Donorojo, Pringkuku, Kabupaten Pacitan dan sebagian kecil disebelah barat Gunungsewu yakni di Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Gunungkidul. Dari 135 situs tersebut, sekitar 60 diantaranya merupakan situs gua, 70 situs alam terbuka, dan selebihnya merupakan situs aliran sungai (Simanjuntak, dkk, 2004: 9).

Penelitian gua arkeologis di kawasan Gunungsewu pertama kali dilakukan oleh Von Koenigswald pada tahun 1936 di daerah Pacitan (Simanjuntak, dkk 2004: 8). Sedangkan penelitian gua arkeologis di daerah Gunungkidul baru mulai dilakukan pada pertengahan tahun 1995, dan di daerah Wonogiri baru dilakukan pada sekitar awal tahun 2000-an (Yuwono 2013: 13). Pada tahun 1995 Jurusan Arkeologi UGM mengadakan ekskavasi di Gua Longop, Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh indikasi bahwa Gua Longop merupakan situs hunian prasejarah (Yuwono, 2013: 14). Kemudian Puslitarkernas melakukan ekskavasi di Song Braholo, Rongkop pada tahun 1997-2000 dan tahun 2000-2005 Balai Arkeologi Yogyakarta juga melakukan ekskavasi di Song Tritis, Rongkop yang menemukan kerangka sisa-sisa manusia penghuni Song Tritis juga himpunan artefak dan ekofak (Yuwono 2013: 15).

Penelitian eksplorasi gua secara intensif untuk melacak situs arkeologi prasejarah di Kabupaten Gunungkidul baru dimulai pada sekitar tahun 2000-2001. PTKA UGM mengadakan eksplorasi di Kecamatan Playen. Selain survei yang berhasil mengidentifikasi sejumlah gua, juga dilakukan ekskavasi di dua gua yakni Song Bentar dan Song Blendrong (Yuwono, 2002). Eksplorasi gua-gua di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul dilakukan oleh Tanudirjo, dkk (2003).

(4)

4 Eksplorasi tersebut menemukan 45 gua, 21 di antaranya memiliki indikasi kuat sebagai bekas gua hunian Prasejarah (Tanudirjo, 2003).

Survei yang dilakukan oleh Yuwono (sejak tahun 2002 hingga 2005) di sebelah barat Gunungkidul dan Kabupaten Wonogiri, berhasil mengidentifikasi sejumlah 41 gua, tidak kurang dari 15 gua di antaranya memiliki kandungan arkeologis permukaan yang cukup signifikan. Beberapa gua arkeologis tersebut tersebar di sepanjang lembah kering Giritontro yang merupakan bekas aliran sungai Bengawan Solo Purba, yang hingga kini masih menampakkan alur utama berikut sistem percabangannya, mulai dari sebelah timurlaut Giribelah (Wonogiri) hingga Teluk Sadeng (Gunungkidul) (Yuwono, 2005).

Meskipun situs arkeologi yang telah teridentifikasi tersebut jumlahnya melimpah, namun penelitian arkeologi di kawasan Gunungsewu yang sudah dilakukan hingga saat ini dapat dikatakan baru sebagian kecil saja. Luasnya kawasan serta minimnya penelitian arkeologi dalam upaya melacak keberadaan situs-situs prasejarah baru sehingga belum semua situs arkeologi di kawasan Gunungsewu berhasil dieksplorasi. Selain itu, hingga saat ini metode yang masih dipergunakan untuk melacak keberadaan situs arkeologi tersebut adalah dengan melakukan survei dan observasi secara langsung terhadap seluruh area. Survei lapangan secara langsung terhadap seluruh area dirasa kurang efektif dan efisien karena memerlukan tenaga dan biaya yang besar serta waktu pengerjaan yang cukup lama. Oleh karena itu perlu adanya suatu terobosan agar penelitian arkeologi yang dilakukan dalam melacak keberadaan situs arkeologi tersebut menjadi lebih efektif dan efisien.

Salah satu upaya untuk membantu melacak keberadaan situs-situs arkeologi prasejarah tersebut adalah dengan penerapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Hal mendasar yang dapat dilakukan adalah adanya persamaan paradigma keruangan (spasial) sehingga Pengideraan Jauh dan SIG dapat diterapkan dalam penelitian arkeologi. Penginderaan Jauh dan SIG sebenarnya memiliki peranan yang besar dalam bidang arkeologi, namun aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG dalam bidang arkeologi, khususnya di Indonesia, masih sangat terbatas. Penginderaan Jauh dan SIG dalam bidang arkeologi belum berkembang untuk menghasilkan berbagai terobosan seperti yang diharapkan.

(5)

5 Menurut Lillesand et.al (2007: 1) penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah atau gejala yang dikaji. Data penginderaan jauh yang dipergunakan diantaranya adalah Citra Satelit dan Foto Udara. Data tersebut dapat memberikan informasi mengenai berbagai fenomena kenampakan di permukaan bumi, termasuk fenomena kenampakan tinggalan arkeologis atau yang berkorelasi dengan tinggalan arkeologi. Sehingga sangat dimungkinkan Penginderaan Jauh memiliki peran yang sangat besar dalam ilmu Arkeologi. Sedangkan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem yang berbasiskan komputer yang memiliki kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografi atau keruangan (Aronoff, 2005). Salah satunya adalah kemampuan dalam melakukan analisa spasial (keruangan) berupa pemodelan spasial, termasuk pemodelan spasial untuk kepentingan arkeologi.

Menurut Sharer and Ashmore (2003: 221-222), integrasi Penginderaan Jauh dan SIG dapat diaplikasikan untuk melacak keberadaan situs arkeologi. Penginderaan Jauh berperan dalam menghasilkan informasi mengenai bentanglahan dan sumberdaya lingkungan di permukaan bumi. Sedangkan SIG dapat berperan dalam meningkatkan analisis detail mengenai bentanglahan dan sumberdaya yang ada untuk hunian masa lalu termasuk melacak kemungkinan ditemukannya situs-situs baru, meskipun pada data SIG (termasuk data citra satelit) tidak secara langsung mengungkap adanya situs arkeologi. Selain itu SIG juga memiliki kemampuan dalam manajemen basis data, analisa data dan pemodelan spasial untuk kepentingan arkeologi termasuk penyajian data dalam bentuk peta.

Dalam pemodelan spasial untuk melacak keberadaan situs arkeologi di suatu kawasan, salah satu metode yang dapat dikembangkan adalah pemodelan pendugaan (predictive model). Pemodelan pendugaan merupakan suatu teknik pencobaan untuk menduga keberadaan situs arkeologi pada suatu area atau kawasan didasarkan atas sampel pada suatu daerah atau berdasarkan pada gagasan yang terkait dengan tingkah laku manusia (Kohler and Parker, 1986: 400 dalam Verhagen 2007: 13). Pemodelan pendugaan bermula dari asumsi bahwa lokasi

(6)

6 tinggalan arkeologis pada suatu bentanglahan bukanlah acak (random), namun berkorelasi dengan berbagai karakteristik lingkungan alam (Verhagen 2007: 13).

Dengan asumsi bahwa keberadaan gua arkeologis di kawasan karst berkorelasi dengan faktor-faktor lingkungan tertentu, maka menarik untuk dilakukan penelitian mengenai pengembangan model pendugaan untuk melacak keberadaan situs gua arkeologis yang berada di kawasan karst Gunungsewu. Integrasi Penginderaan Jauh dan SIG dalam pengembangan model pendugaan ini diharapkan dapat menjawab tantangan untuk menghasilkan suatu terobosan, baik dalam ilmu Penginderaan Jauh dan SIG maupun dalam bidang ilmu Arkeologi.

1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Dari uraian latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.

1. Penelitian ini diperlukan untuk melacak lokasi yang diduga mengandung gua arkeologis didasarkan pada asumsi bahwa keberadaan gua-gua arkeologis berkorelasi dengan faktor-faktor lingkungan tertentu yang dapat diidentifikasi dengan penginderaan jauh dan analisis spasial SIG. Namun belum ada parameter untuk mengukur atau melacak keberadaan situs gua arkeologis menggunakan data citra penginderaan jauh. Parameter tersebut berupa karakterisasi asosiasi mulut gua arkeologis dengan kondisi lingkungan di sekitarnya dan karakterisasi asosiasi mulut gua dan lingkungan gua dengan parameter berbasis citra satelit; padahal parameter tersebut sangat penting dan berfungsi sebagai dasar dalam penentuan variabel penelitian.

2. Masih terbatasnya model penelitian semacam ini sehingga belum ada rumusan yang pasti mengenai metodologi pengembangan pemodelan pendugaan untuk melacak keberadaan situs gua arkeologis berbasis penginderaan jauh dan SIG.

3. Formula model yang dihasilkan dalam pemodelan pendugaan hendaknya dapat diterapkan pada area kajian untuk menghasilkan informasi lokasi dugaan gua-gua arkeologis. Permasalahannya adalah rumusan persamaan formula model yang seperti apa yang dapat menghasilkan informasi atau

(7)

7 gambaran lokasi yang diduga mengandung gua-gua arkeologis pada area kajian.

4. Model pendugaan pada umumnya memiliki tingkat akurasi tertentu yang menunjukkan keakurasian informasi yang dihasilkan. Permasalahannya adalah seberapa tinggi tingkat akurasi dari model pendugaan yang dihasilkan tersebut.

Dari uraian rumusan masalah tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Apa sajakah parameter yang dipergunakan dalam pengembangan model pendugaan untuk melacak keberadaan situs gua arkeologis di kawasan karst Gunungsewu?

2. Bagaimanakah pengembangan model pendugaan untuk melacak keberadaan situs gua arkeologis di kawasan karst Gunungsewu berbasis Penginderaan Jauh dan SIG?

3. Bagaimanakah gambaran keberadaan situs gua arkeologis di area kajian dari hasil analisa menggunakan pemodelan pendugaan?

4. Bagaimanakah hasil uji akurasi terhadap model yang dihasilkan tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menyusun parameter untuk melacak lokasi keberadaan situs-situs gua arkeologis, dalam hal ini karakterisasi asosiasi mulut gua dengan kondisi lingkungan di sekitarnya dan karakterisasi asosiasi mulut gua dan lingkungan gua dengan parameter citra satelit penginderaan jauh. Parameter tersebut dipergunakan sebagai dasar dalam penentuan variabel penelitian.

2. Mengembangkan metode pendugaan arkeologi untuk melacak keberadaan situs gua arkeologis di kawasan karst Gunungsewu dengan menggunakan aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG.

(8)

8 3. Memperoleh gambaran atau informasi mengenai lokasi yang diduga mengandung gua arkeologis di area kajian dari hasil analisa menggunakan pemodelan pendugaan.

4. Memperoleh informasi mengenai tingkat akurasi terhadap model yang dihasilkan.

1.4. Hasil yang Diharapkan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan parameter dan variabel untuk melacak keberadaan situs gua arkeologis di kawasan karst. Selain itu diharapkan akan menghasilkan suatu model kajian dalam aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG dalam bidang arkeologi. Langkah metodologis pengembangan model pendugaan yang dihasilkan akan bermanfaat sebagai referensi model penelitian sejenis, baik untuk melacak keberadaan situs arkeologi di kawasan karst maupun dapat pula dikembangkan untuk kawasan yang lain. Hal ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam khasanah keilmuan, baik dalam ilmu Penginderaan Jauh dan SIG maupun dalam ilmu arkeologi.

Penelitian ini juga diharapkan dapat menghasilkan peta model pendugaan yang berisi informasi mengenai lokasi yang diduga berpotensi situs-situs gua arkeologis, khususnya pada area yang dikaji. Informasi tersebut dapat dipergunakan sebagai sumber referensi untuk kepentingan penelitian arkeologi lebih lanjut, khususnya dalam kegiatan survei arkeologi. Selain itu, informasi mengenai potensi situs arkeologi pada suatu kawasan juga sangat bermanfaat bagi para pemangku kebijakan dan akademisi sebagai dasar pertimbangan untuk pelestarian budaya serta kegiatan perencanaan dan pengembangan kawasan.

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian ini lebih difokuskan dalam upaya pengembangan model pendugaan untuk melacak keberadaan situs gua arkeologis di kawasan karst Gunungsewu. Tujuan penelitian ini utamanya diarahkan untuk menyusun parameter dalam penentuan variabel penelitian, mengembangkan metode pemodelan pendugaan, memperoleh gambaran atau informasi hasil pengembangan model dan mengukur tingkat akurasi dari model yang dihasilkan.

(9)

9 Beberapa penelitian berbasis penginderaan jauh dan SIG di kawasan karst Gunungsewu memang telah dilakukan sejak lama, diantaranya oleh Lukito (2003), Suwarsono, dkk (2005), Haryono (2008) dan Zylshal (2012) (lihat tabel 1.1). Umumnya penelitian-penelitian tersebut merupakan bidang morfologi karst dan tidak menyinggung keberadaan situs arkeologis. Sementara penelitian dalam bidang arkeologi dalam upaya melacak keberadaan situs arkeologis di kawasan karst Gunungsewu pernah dilakukan oleh PTKA UGM (2001 & 2002), Tanudirjo, dkk (2003), dan Sutikno dan Tanudirjo (2006). Penelitian-penelitian arkeologis tersebut belum memanfaatkan data citra penginderaan jauh dan SIG dalam upaya melacak keberadaan situs arkeologi.

Berbeda dengan beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, Yuwono (2006) memanfaatkan data citra penginderaan jauh dalam melacak dugaan interaksi komunitas pesisir dan pedalaman pada masa prasejarah. Selain itu Yuwono (2013) dalam penelitiannya juga menggunakan data foto udara untuk menjelasan karakter geoarkeologis dan proses budaya prasejarah di daerah sekitar Ponjong-Rongkop, Gunungkidul. Kedua penelitian tersebut memanfaatkan data penginderaan jauh untuk membuat model interaksi antar situs gua arkeologis dan antara situs gua dengan lingkungan. Hascaryo (2008) juga melakukan penelitian dengan memanfaatkan data citra penginderaan jauh dan SIG untuk pemodelan zona pengelolaan sumberdaya budaya di situs Sangiran. Sementara dalam penelitian ini pengembangan model lebih diarahkan untuk menduga lokasi keberadaan situs gua arkeologis yang belum ditemukan.

Aplikasi penginderaan jauh dan SIG dalam bidang arkeologi, khususnya dalam pengembangan model pendugaan masih sangat minim dilakukan di Indonesia, sehingga belum ditemukan sumber referensi sejenis. Namun telah terdapat beberapa penelitian model sejenis yang dilakukan di luar negeri, diantaranya dilakukan oleh Warren and Asch (2000), Campbell (2006), dan Vaughn & Crawford (2009).

Warren and Asch (2000) melakukan penelitian dengan mengembangkan model pendugaan (predictive model) untuk melacak keberadaan situs arkeologi prasejarah di sebelah Timur Semenanjung Prairie, Illinois, Amerika Serikat. SIG digunakan untuk menghasilkan model pendugaan dengan melakukan analisa

(10)

10 regresi logistik terhadap sampel data, baik pengukuran kualitatif maupun kuantitatif. Variabel yang digunakan meliputi variabel terikat berupa data situs arkeologi yang telah teridentifikasi dan variabel bebas berupa lingkungan alam yang terdiri dari elevasi, aliran sungai, tanah, dan vegetasi. Penelitian tersebut menghasilkan model pendugaan tingkat potensi situs arkeologi yang diturunkan dalam bentuk peta. Hasil uji validasi terhadap model yang dihasilkan mengindikasikan akurasi sekitar 73% dan menunjukkan tambahan lebih dari 51% pada kesempatan klasifikasi secara acak. Hasil penelitian tersebut dapat diaplikasikan lebih lanjut dalam penelitian untuk survei lokasi situs arkeologi dan kajian pola pemukiman, serta pengembangan dalam perencanaan pengembangan kawasan.

Campbell (2006) dalam thesis-nya yang berjudul “Archaeological Predictive Model of Southwestern Kansas” melakukan penelitian model pendugaan arkeologi pada dataran tinggi di sebelah barat daya negara bagian Kansas, Amerika Serikat. Penelitian tersebut dilakukan dengan alasan masih minimnya informasi mengenai keberadaan situs arkeologi, sehingga ingin diungkap dalam skala yang lebih detail mengenai informasi keberadaan situs arkeologi. Penelitian tersebut menggunakan data kuantitatif mengenai lingkungan sebagai variabel bebas. Pengembangan model dilakukan dengan kombinasi antara software statistik dengan SIG. Lokasi situs arkeologi secara kuantitatif dikaitkan dengan lingkungan melalui analisa regresi logistik biner. Hasil analisis mengindikasikan bahwa model yang dihasilkan memiliki peningkatan signifikan (30%) lebih pada klasifikasi secara acak. Hasil uji validasi menunjukkan akurasi 85% terhadap situs dan 60% terhadap non-situs. Area pendugaan meliputi 41% dari total area studi, dengan kemungkinan penemuan suatu situs sebesar 2,15 kali secara acak.

Vaughn dan Crowford (2009) melakukan identifikasi area yang diduga mengandung potensi arkeologi dengan menggunakan model pendugaan untuk melacak situs arkeologi suku Maya kuno di sebelah Baratlaut Belize. Data yang dipergunakan yakni Citra Landsat TM5, DEM, peta hidrografi analog, dan data situs arkeologi yang telah teridentifikasi. Diasumsikan terdapat hubungan antara masyarakat suku Maya kuno dengan sumberdaya lingkungan yang digunakan

(11)

11 dalam rangka menjaga dan memelihara berlangsungnya pemukiman. Oleh karena itu untuk membantu pendugaan lokasi pemukiman, maka kondisi tutupan lahan dan vegetasi dipergunakan sebagai indikator adanya modifikasi landscape kuno. Dalam hal ini analisis citra satelit penginderaan jauh digunakan untuk menurunkan NDVI, Tasseled Cap Greenness and Wetness. SIG berperan dalam pemodelan spasial dengan menggunakan statistik regresi logistik biner (binary logistic regression). Hasilnya diperoleh rumusan formula model dan diturunkan dalam bentuk peta pendugaan lokasi situs arkeologi. Dari hasil tersebut dilakukan uji validasi dan diperoleh tingkat akurasi sebesar 63%.

Perbandingan antara penelitian Warren and Asch (2000), Campbell (2006), dan Vaughn & Crawford (2009) dengan penelitian ini antara lain persamaan dalam pengembangan model pendugaan berbasis penginderaan jauh dan SIG untuk melacak keberadaan situs arkeologis dan persamaan penggunaan analisa regresi logistik dalam pengembangan model. Sedangkan perbedaannya antara lain terdapat pada: jenis situs arkeologi yang dilacak serta karakteristik lingkungan yang berbeda sehingga parameter dan variabel yang digunakan dalam penelitian juga memiliki perberbedaan; jenis data penginderaan jauh dan data sekunder yang dipergunakan juga berbeda; proses pengolahan masing-masing data tersebut juga berbeda, sehingga proses pengembangan modelnya juga memiliki perbedaan.

Secara lebih lengkap, berikut ditampilkan dalam Tabel 1.1 di bawah ini beberapa hasil penelitian yang terkait dengan cakupan dalam penelitian ini.

(12)

Tabel 1.1. Beberapa penelitian yang terkait dengan cakupan penelitian penulis. Peneliti,

tahun Tema/lokasi Tujuan Jenis data Metode Hasil

Penelitian Arkeologi Prasejarah di Kawasan Gunungsewu PTKA UGM

(2001)

Playen, Gunungkidul

Eksplorasi budaya dan lingkungan Kecamatan Playen.

Data hasil survei (distribusi situs) dan ekskavasi Gua Rancang dan Gua Sengok.

Survei dan ekskavasi - Gambaran potensi budaya dan lingkungan Playen

- Indikasi hunian Gua Rancang dan Gua Sengok

PTKA UGM (2002)

Ponjong, Gunungkidul

Eksplorasi budaya dan lingkungan Kecamatan Ponjong.

Data hasil survei (distribusi situs) dan ekskavasi Song Bentar dan Song Blendrong, dan Gua Agung.

Survei dan ekskavasi - Gambaran potensi budaya dan lingkungan Ponjong.

- Indikasi hunian Song Bentar, Song Blendrong dan Gua Agung.

Tanudirjo, dkk (2003)

Tanjungsari, Gunungkidul

Mengetahui Sebaran Gua-gua Prasejarah di

Tanjungsari, Gunungkidul.

Data hasil survei lapangan

Survei arkeologi Ditemukan sejumlah 45 gua, 21 di antaranya memiliki indikasi kuat sebagai bekas gua hunian Prasejarah. Yuwono (2006) Tanjungsari Gunungkidul Mengetahui interaksi komunitas pesisir dan pedalaman karst

Gunungkidul pada masa prasejarah.

- Citra Satelit - Survei Lapangan - Data hasil ekskavasi

Interpretasi peta dan citra satelit dan analisis spasial SIG

Model pendugaan interaksi pesisir dengan pedalaman yang melalui empat koridul (jalur) lembah, serta indikasi hunian Song Jrebeng dan Song Tritis pada masa prasejarah. Sutikno &

Tanudirjo (2006)

Wilayah Karst Gunungsewu

Mengkaji dinamika interaksi

bentanglahan-bentangbudaya, dan merumuskan model

pelestarian lingkungan karst.

Data wilayah karst Gunungsewu, hasil ekskavasi kompleks Gua Terus (2006)

Survei geoarkeologis, ekskavasi dan analisa laboratorium

Gambaran evolusi bentanglahan dan bentangbudaya, potensi geoarkeologis kompleks Gua Terus, dan model pelestarian lingkungan karst. Yuwono (2013) Karakter geoarkeologis dan - Menjelaskan karakter geoarkeologis area - Survei lapangan - Foto Udara

Geoarkeologi dan SIG mencakup:

Penjelasan karakter geoarkeologis dan proses

(13)

proses budaya prasejarah zona poros Ponjong-Rongkop di blok tengah Gunungsewu penelitian

- Menjelaskan proses budaya prasejarah di area

penelitian.

- Membuat sintesis dalam konteks dan perubahan bentanglahan,

pembentukan dan perubahan situs, serta konteks stratigrafi.

- Analisis dan pemetaan distribusi dan potensi gua

- Analisis dan pemetaan bentuk lahan

- Analisis unsur-unsur mikro gua hasil ekskavasi

budaya prasejarah di daerah penelitian

Penelitian Penginderaan Jauh yang terkait dengan kajian morfologi karst di Kawasan Gunungsewu Lukito, Herwin (2003) Aplikasi PJ untuk kajian fenomena eksokarst dan sungai bawah tanah di Pegunungan Seribu, DIY

- Menguji kemampuan citra Landsat ETM untuk kajian fenomena eksokarst. - Mengkaji fenomena

eksokarst pada Citra Landsat dikaitkan dengan sungai bawah tanah.

- Citra Landsat ETM+ - Peta RBI

- Peta Geologi

- Interpretasi visual Citra Landsat ETM untuk memperoleh informasi eksokarst (dolin, ponor, lembah kering, resurgence) dan struktur geologi berupa pola kelurusan. - Uji statistik dengan

metode regresi berganda dilakukan untuk melihat hubungan antara struktur geologi dengan objek-objek eksokarst.

- Peta eksokarst dan kelurusan struktur geologi kawasan karst Gunungsewu

- Informasi hasil evaluasi kemampuan citra Landsat ETM untuk mengenali fenomena eksokarst

- Informasi mengenai hubungan yang lemah antara struktur geologi dengan fenomena eksokarst (dolin, ponor, lembah kering). Suwarsono, dkk (2005) Identifikasi kawasan karst berdasarkan pendekatan morfologi dan struktur geologi di

- Identifikasi kawasan karst dengan pendekatan morfologi dan struktur geologi. - Mengklasifikasi kawasan karst berdasarkan - Citra Landsat 7 ETM+ - Peta Geologi - Peta Topografi - Pengolahan citra digital fokus pada spatial enhancement. - Interpretasi visual

pada kenampakan morfologi dan struktur

1. Peta kawasan karst Banyuwangi 2. Peta tingkat perkembangan karst

(14)

kawasan karst Banyuwangi

morfologi dan struktur geologi. geologi Haryono (2008) Morfometri lembah karst dan perkembangan karst di kawasan karst Karangbolong, Gunungsewu, Blambangan, dan Rengel - Mengkaji karakteristik morfometri lembah karst - Mengembangkan model

perkembangan karst berdasarkan morfometri jaringan lembah karst

- Foto Udara - Survei Lapangan

Interpretasi foto udara dan survei lapangan dengan variabel jaringan lembah, geometri basin, intensitas pengikisan, dan pola lembah.

- Karakteristik morfometri jaringan lembah karst di daerah penelitian dapat dikategorikan menjadi dua tipologi.

- Karakteristik morfologi lembah merupakan cerminan dari tahapan perkembangan karst

- Karst di daerah penelitian dapat dibedakan menjadi tiga tahap perkembangan.

Zylshal (2012)

Kajian kemampuan OBIA pada citra ALOS AVNIR-2 untuk ekstraksi informasi morfologi karst Gunungsewu

Mengkaji kemampuan OBIA pada citra penginderaan jauh ALOS AVNIR-2 untuk ekstraksi informasi morfologi kawasan karst Gunungsewu

1. Citra ALOS AVNIR-2 DEM

- Analisis digital terhadap citra ALOS AVNIR-2 untuk menonjolkan kenampakan

morfologi. Data DEM dibangun dari data kontur skala 1:25.000 lalu diolah

menggunakan OBIA - Evaluasi OBIA dari

sisi akurasi interpretasi

dibandingkan dengan data lapangan,

stabilitas dan efisiensi klasifikasi, serta konsistensi hasil klasifikasi.

- Deskripsi kemampuan OBIA pada citra ALOS AVNIR-2 untuk studi morfometri jaringan lembah karst Gunungsewu.

- Informasi parameter segmentasi dan klasifikasi OBIA untuk ekstraksi informasi morfologi karst Gunungsewu.

(15)

Penelitian Model Pendugaan Arkeologi Menggunakan PJ & SIG Agus Tri Hascaryo (2008) Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Pemodelan Zona Pengelolaan Sumberdaya Budaya Situs Sangiran, Propinsi Jawa Tengah - Identifikasi karakteristik lahan untuk mengetahui keberadaan sebaran situs purbakala yang terdapat di kawasan Sangiran melalui analisa citra satelit - Pemodelan spasial zona

pengelolaan sumberdaya budaya Situs Sangiran melalui interpretasi

penginderaan jauh dan SIG

- Citra Ikonos - Peta RBI - Data sekunder: sebaran situs arkeologi - Survei Lapangan - Interpretasi citra Ikonos secara visual - Uji ketelitian

interpretasi dan pemetaan dengan matrik menurut Short (1982)

- Analisis evaluasi kesesuaian zonasi dengan SIG

- Model analogi peta zonasi pengelolaan sumberdaya budaya Situs Sangiran

Warren & Asch (2000) Model Pendugaan Lokasi Situs Arkeologi di sebelah Timur Semenanjung Prairie, Illinois, Amerika Serikat Mengembangkan model prediksi untuk menduga keberadaan lokasi situs arkeologi prasejarah

- Data lingkungan yang diperoleh dari berbagai sumber: peta topografi, peta tanah, dan peta vegetasi

- Data situs arkeologi dari hasil survei

Penggunaan SIG untuk melakukan pemodelan pendugaan melalui analisa regresi logistik (logistic regression).

Hasil berupa model pendugaan tingkat potensi situs arkeologi yang diturunkan dalam bentuk peta. Hasil tes validasi terhadap model juga mengindikasikan akurasi sekitar 73% dan menunjukkan tambahan lebih dari 51% pada kesempatan klasifikasi secara acak Campbell

(2006)

Model Pendugaan Arkeologi di sebelah barat daya Kansas

Pengembangan model pendugaan untuk memperoleh informasi mengenai keberadaan situs arkeologi di sebelah barat daya negara bagian Kansas, Amerika Serikat

- Data DEM - Data hidrologi - Data tanah dan

bentuklahan - Data situs arkeologi

Analisa logistik regresi biner (binary logistic regression)

menggunakan software statistik dan SIG

Model yang dihasilkan memiliki indikasi peningkatan signifikan (30%) lebih pada klasifikasi secara acak.

Hasil uji validasi menunjukkan akurasi 85% terhadap situs dan 60% terhadap non-situs. Area pendugaan meliputi 41% dari total area studi, dengan kemungkinan penemuan suatu situs sebesar 2,15 kali secara acak.

(16)

Vaughn & Crawford (2009) Model Pendugaan Potensi Arkeologi Terhadap Pemukiman Maya Kuno di Sebelah Baratlaut Belize Mengembangkan model untuk mengidentifikasi area yang diduga memiliki potensi arkeologi yang tinggi

- Citra Landsat TM5 - DEM

- Peta hidrografi - Data situs arkeologi

Pengolahan dan analisa citra penginderaan jauh untuk menurunkan variabel NDVI, Tasseled Cap Greenness and Wetness. SIG berperan dalam pemodelan melalui analisa regresi logistik biner (binary logistic regression).

Hasilnya diperoleh rumusan formula model dan diturunkan dalam bentuk peta dugaan potensi arkeologi. Hasil tes validasi diperoleh akurasi sebesar 63%. Kuswanto (2016) Pemodelan Pendugaan Situs Gua Arkeologis di Kawasan Karst Gunungsewu Berbasis Citra Penginderaan Jauh dan SIG

- Menyusun parameter untuk melacak lokasi keberadaan situs-situs gua arkeologis - Mengembangkan metode

pendugaan arkeologi untuk melacak keberadaan situs gua arkeologis

menggunakan aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG - Memperoleh gambaran

mengenai lokasi yang diduga mengandung gua arkeologis dari hasil analisa menggunakan pemodelan pendugaan. - Memperoleh informasi

mengenai tingkat akurasi terhadap model yang dihasilkan.

- Citra Orbview-3 - Peta Geologi - Peta RBI Digital

skala 1:25.000 - Data sekunder (situs

gua arkeologis)

- Identifikasi parameter/kriteria karakterisasi asosiasi mulut gua dan lingkungan gua dengan parameter citra satelit

- Analisa citra satelit untuk memperoleh informasi satuan unit bentuklahan dan aspek bentanglahan

- Pemodelan pendugaan melalui analisa regresi logistik menggunakan SIG

- Uji akurasi model

- Rumusan parameter dan variabel penelitian - Prosedur metodologis

pengembangan model pendugaan untuk melacak dugaan keberadaan gua arkeologis di kawasan karst Gunungsewu berbasis citra penginderaan jauh dan SIG - Formula model dan peta

model hasil pemodelan pendugaan gua arkeologis di kawasan karst Gunungsewu - Hasil uji akurasi terhadap

Gambar

Tabel 1.1. Beberapa penelitian yang terkait dengan cakupan penelitian penulis.

Referensi

Dokumen terkait

PSEKP selain merupakan institusi penelitian dan kebijakan di Indonesia yang sangat responsif dalam melakukan kajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian dan telah banyak

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan FGD pada orang tua atau keluarga korban, anak yang menjadi korban, tokoh masyarakat, tokoh agama dan pejabat dari instansi terkait,

Secara parsial, variabel kualitas layanan yang terdiri dari: dimensi variabel bukti fisik (tangibles) dan empati (emphaty) berpengaruh secara signifikan dan

Berbagai dikotomi antara ilmu – ilmu agama Islam dan ilmu – ilmu umum pada kenyataannya tidak mampu diselesaikan dengan pendekatan modernisasi sebagimana dilakukan Abduh dan

Sekolah harus melakukan evaluasi secara berkala dengan menggunakan suatu instrumen khusus yang dapat menilai tingkat kerentanan dan kapasitas murid sekolah untuk

BILLY TANG ENTERPRISE PT 15944, BATU 7, JALAN BESAR KEPONG 52100 KUALA LUMPUR WILAYAH PERSEKUTUAN CENTRAL EZ JET STATION LOT PT 6559, SECTOR C7/R13, BANDAR BARU WANGSA MAJU 51750

Penelitian ini difokuskan pada karakteristik berupa lirik, laras/ tangganada, lagu serta dongkari/ ornamentasi yang digunakan dalam pupuh Kinanti Kawali dengan pendekatan

Dari hasil perhitungan back testing pada tabel tersebut tampak bahwa nilai LR lebih kecil dari critical value sehingga dapat disimpulkan bahwa model perhitungan OpVaR