• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya istilah kejahatan ini diberikan kepada suatu jenis perbuatan atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat. Kejahatan ditinjau dari segi psikologis merupakan manifestasi kejiwaan yang terungkap pada tingkah laku manusia yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat (Arrasjid, 1999).

Menurut Kunarto (1997) ada dua karakteristik yang digunakan untuk menjelaskan dan mengidentifikasi pelaku kejahatan yaitu umur dan jenis kelamin. Berdasarkan umur, secara garis besar persentase para pelaku kejahatan hampir sama untuk kedua jenis kelamin. Perbandingan pelanggar pria dibanding pelanggar wanita cukup konsisten sesuai dengan penemuan kriminologi bahwa jumlah penjahat-penjahat pria yang tercatat jauh melebihi jumlah dari wanita. Tabel berikut menunjukkan jumlah pria dan wanita yang ditahan dan dipenjarakan dari tahun 2004 sampai tahun 2006 di lembaga pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan:

(2)

Table 1

Rasio pria dan wanita yang ditahan dan dipenjarakan, 2004-2006 (Jumlah pria dan wanita )

Tahun Tahanan Narapidana

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

2004 40 132 1.130 197

2005 15 139 1.397 194

2006 15 177 1.656 201

Sumber: Buku Registrasi Tahanan Lapas Kelas I & Lapas Wanita (AI sampai AV) dan Buku Registrasi Narapidana Lapas Kelas I & Lapas Wanita (BI, BIia, BIib, & BIII) tahun 2004–2006.

Dalam proses peradilan pidana, terdapat diskriminasi yang menyangkut seluruh sistem yang lebih menguntungkan kaum wanita, sehingga kaum pria akan lebih tinggi kemungkinannya untuk masuk penjara daripada kaum wanita. Dalam sistem peradilan pidana, pemrosesan para pelaku kejahatan diawali dengan ditahan, dituntut, dan akhirnya dinyatakan bersalah sehingga dengan demikian pelaku kejahatan tersebut resmi menyandang status sebagai narapidana (Kunarto, 1997).

Menurut Harsono (1995) narapidana adalah seseorang yang telah dijatuhkan vonis bersalah oleh pengadilan dan harus menjalani hukuman. Selanjutnya, Harsono menambahkan bahwa narapidana adalah manusia yang tengah berada di persimpangan jalan karena narapidana harus memilih apakah akan meninggalkan atau tetap pada perilakunya yang dulu dan tengah mengalami krisis disosialisasi dengan masyarakat. Wilson (2005) mengatakan narapidana adalah manusia bermasalah yang dipisahkan dari masyarakat untuk belajar bermasyarakat dengan baik.

(3)

dirancang secara khusus sebagai tempat untuk membuat jera para pelanggar hukum atau pelaku tindak kejahatan, baik secara fisik maupun psikologis sehingga pada akhirnya mereka dapat menyesuaikan diri lagi dengan masyarakat (Harsono, 1995). Biasanya di dalam penjara, individu diberikan peran sebagai narapidana dan penjaga yang secara alami dan otomatis menerima dan memainkan peran tersebut dan dihubungkan dengan norma perilaku (Haney, dkk. dalam Turner, 2006). Lewat proses pemasyarakatan yang menekankan pembinaan diharapkan akan lahir manusia baru yang sehat, penuh kesadaran dan tanggung jawab untuk mewujudkan masyarakat yang aman, tertib, dan damai (Wilson, 2005). Tangney, dkk. (2007) mengatakan hal yang senada, dimana program yang dilakukan dalam penjara dapat mengurangi keyakinan kriminogenik dan meningkatkan penyesuaian terhadap rasa bersalah. Di dalam penjara, para narapidana harus mengikuti tata cara yang berlaku sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.

Narapidana yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan sering diperlakukan sebagai objek, bahkan tidak pernah menjadi subjek (Wilson, 2005). Narapidana (baik laki-laki maupun perempuan) sering diperlakukan tidak seperti layaknya manusia misalnya: jumlah narapidana yang melebihi kapasitas hunian dalam sel, kondisi makanan yang di bawah standar kesehatan, fasilitas kesehatan yang sangat minim, waktu besuk yang sangat terbatas. Hal-hal tersebut sering menjadi pemicu terjadinya perkelahian antara narapidana karena napi yang satu sering mencuri makanan napi yang lain, bahkan saling ejek juga bisa menimbulkan perkelahian (Wilson, 2005). Young (2007) menambahkan, di balik

(4)

terali besi terjadi banyak tindakan kriminal dan kekerasan seksual. Okie (2007) juga menambahkan bahwa di dalam penjara banyak terjadi aktivitas yang berisiko seperti aktivitas seksual, dan lain-lain yang merupakan hasil dari rasa bosan, sepi dan percobaan.

Narapidana yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan tidak hanya mengalami pidana secara fisik misalnya makanan dijatah, tetapi juga pidana secara psikologis misalnya hilangnya kebebasan individu, kasih sayang dari anak atau pasangan. Pidana secara psikologis merupakan beban terberat bagi setiap narapidana. Dampak psikologis dari pidana penjara antara lain adalah lost of

personality, yaitu hilangnya kepribadian, identitas diri narapidana yang

diakibatkan peraturan dan tata cara hidup di lapas/rutan, lost of security yaitu hilangnya rasa aman karena narapidana selalu dalam pengawasan petugas, lose of

liberty yaitu hilang kemerdekaan, lost of personal comunication dimana

kebebasan untuk berkomunikasi terhadap siapa pun dibatasi, lost of good and

service yaitu kehilangan akan pelayanan, lost of heterosexual yaitu hilangnya

naluri seks, kasih sayang, rasa aman bersama keluarga, lost of prestige yaitu kehilangan harga diri, lost of belief yaitu kehilangan rasa percaya diri, dan lost of

creativity yaitu hilangnya kreatifitas bahkan impian dan cita-cita narapidana

tersebut (Harsono, 1995). Kehilangan hak tersebut menyebabkan terjadinya perubahan dalam kehidupan narapidana.

Berikut kutipan hasil wawancara dengan beberapa subjek penelitian di lembaga pemasyarakatan (satu orang narapidana laki-laki dan satu orang narapidana wanita serta satu orang petugas lapas ):

(5)

Subjek 1 (Lapas kelas I)

“Yaa…setelah saya berada di sini, saya merasa sangat kesepian, juga rindu kali sama anak-anak. Truss…itu dia, kalau malam hari saya teringat sama anak-anak dan isteri, kan kalo di sini kita gak bisa bersama isteri jadi taulah……kebutuhan itu……(sambil malu-malu)– seksual-gak bisa terpuaskan… Di sini juga terasa jenuh kali karna kerjaannya itu-itu aja, paling nyuci baju, ke greja yang mau ke greja, sholat yang mau sholat dan kita juga hanya disini-sini aja, paling sekali tiga bulan ada keyboard yah…gitulah biar gak jenuh. Sering juga terjadi perkelahian antar napi, itu bisa karna saling ejek kalo gak nahan emosi ya…begitu..berkelahi. kalo udah gitu dimasukin ke ruang isolasi selama beberapa hari. Jadi kalo saya daripada kayak gitu yah….mengalahlah, pintar-pintar bergaul.”

Subjek 2 (Lapas Wanita)

“Saat pertama saya di sini, berat kali rasanya karna gimana di bilang, namanya juga yah….sekarang napi, saya harus menyesuaikan dengan situasi baru,,pekerjaan juga itu-itu aja, yah….cari kesibukanlah. Trus.. yang paling berat yang saya rasakan adalah saya malu sama anak saya, saya memikirkan perasaannya. Bagaimana dia sama teman-temannya liat ibunya masuk penjara, pasti malu. Sekarang saya di sini, seharusnya saya bersama dia sebagai ibunya, tapi…yah..beginilah. saya sangat merindukan anak saya.”

Subjek 3 (Petugas lapas)

“Yahh…bagaimana di bilang ya, pastilah perasaannya itu sangat berat, apalagi dengan status sebagai narapidana, susah menerima itu. Banyak tekanan yang harus dirasakan, bukan hanya di sini, bahkan narapidana yang mau bebas sekalipun perlu dukungan untuk menghadapi tanggapan masyarakat, mereka malu..trus…kalo misalnya malam-malam itu paling menyedihkan dan pasti mereka teringat sama keluarga, kalo saya lagi jaga, saya kan jalan-jalan ke blok-blok, saya sedih melihat mereka di dalam selnya, tapi apa boleh buat, itu udah resiko, dimana mereka harus tidur berhimpit-himpitan. Kalo misalnya di bilang kalo mereka udah tidur gimana posisi awal yah…seperti itulah sampe pagi karna gak bisa bergerak.”

Berdasarkan wawancara dengan narasumber, setelah narapidana berada di lembaga pemasyarakatan hubungan interpersonal narapidana tersebut sangat terbatas. Mereka dipisahkan dari dunia luar dan dari orang-orang yang mereka

(6)

sayangi seperti anak, pasangan, orang tua, dan saudara. Mereka harus berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan barunya. Narapidana tersebut mengatakan bahwa mereka jenuh dengan lingkungan dan kegiatan yang sama dari hari ke hari serta kondisi lapas yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan mereka di luar lapas. Seperti yang telah diuraikan di atas, antara narapidana yang satu dengan narapidana yang lain juga sering terjadi perkelahian. Biasanya untuk menghindari hal tersebut sebagian narapidana memilih untuk mengalah karena kalau tidak mereka akan dimasukkan di ruang isolasi (untuk lapas kelas I) selama beberapa hari. Menurut narapidana tersebut perasaan yang paling berat dirasakan di dalam lapas adalah karena harus jauh dari keluarga yaitu anak, pasangan, orang tua. Perasaan ini biasanya muncul pada malam hari. Mereka teringat dan ingin bertemu dengan keluarga terutama anak dan pasangan untuk narapidana yang menikah.

Widyaningrum (2004) mengatakan yang harus dihadapi narapidana saat ini adalah kenyataan bahwa mereka tidak dapat bertemu lagi atau memiliki kesempatan yang terbatas untuk bertemu dan bercanda dengan anak-anak mereka sehingga narapidana tersebut sering melamun, menyendiri, tidak mau bergaul dan berteman dengan narapidana yang lain bahkan ada narapidana yang menjadi stres dan pikirannya kacau ketika perasaan kangen terhadap keluarga datang terutama terhadap anak-anaknya. Hal ini akan berpengaruh secara psikologis pada individu yang dapat menimbulkan perasaan kesepian.

Kesepian merupakan fenomena yang universal dan hal tersebut didiagnosa sebagai terminal illness (Rokach, 2000) dan kesepian merupakan masalah yang

(7)

penting dan serius (Fisiloglu & Demir, 1999). Menurut Felman (1995) kesepian adalah ketidakmampuan dalam menciptakan tingkat kepuasan afiliasi. Hal ini didukung oleh Brock (1997) yang mengatakan bahwa individu yang kesepian berhubungan dengan perilaku menyimpang sebagai seseorang yang secara umum tidak terpuaskan.

Selanjutnya Perlman & Peplau (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2000) mengatakan bahwa kesepian terjadi sebagai akibat berkurangnya hubungan yang berarti dengan orang lain dan hal ini menimbulkan keadaan yang tidak menyenangkan. Hal yang senada juga dinyatakan oleh Peplau & Perlman (dalam Hawkley, dkk., 2003) bahwa walaupun kesepian dihubungkan dengan isolasi objektif dan dysphoria, namun ditemukan bahwa kesepian muncul sebagai akibat dari adanya perasaan kekurangan antara keinginan dengan hubungan sosial yang aktual.

Selain itu, Brehm (2002) mengatakan bahwa kesepian juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dalam suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian, tetapi pada saat yang lain, dimana hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah mengubah apa yang diinginkannya dari hubungan sosial. Baumeister (dalam Boomsma, 2005) mengatakan kesepian dapat terjadi apabila kebutuhan sosial dan kebutuhan intim tidak adekuat. Kemudian ditambahkan juga bahwa kesepian cenderung berfokus pada faktor individu, misalnya faktor kepribadian atau kurangnya kontak sosial (Rokach, 1998).

(8)

Brehm (2002) mengatakan ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kesepian, yaitu: pertama, usia; berdasarkan penelitian Ostrov & Offer (dalam Brehm 2002) ditemukan bahwa orang yang paling kesepian berasal dari orang-orang yang berusia remaja dan dewasa awal. Kedua, tingkat pendidikan; berdasarkan studi yang dilakukan oleh Page dan Cole’s (dalam Brehm, 2002) mengatakan bahwa tingkat pendidikan menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik dengan kesepian. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan individu, maka perasaan kesepian yang dirasakan oleh individu semakin rendah. Demikaian sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan individu, maka perasaan kesepian yang dirasakan individu semakin tinggi (Brehm, 2002). Ketiga, status pernikahan; Stack (dalam Brehm, 2002) mengatakan ada hubungan yang kuat antara kesepian dengan satus pernikahan, dimana orang yang tidak menikah lebih kesepian daripada orang yang menikah.

Salah satu faktor penting yang menyebabkan munculnya kesepian adalah perpisahan dengan orang-orang yang dicintai seperti anak-anak dan keluarga. Perasaan ini biasanya dirasakan oleh individu yang terikat oleh hukum akibat perbuatannya yang melanggar hukum, sehingga individu ditempatkan di suatu tempat yang khusus yaitu di lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan merupakan suatu tempat yang tertutup dan jauh dari perhatian masyarakat dan keluarga. Selain itu, rasa kesepian tersebut muncul diakibatkan adanya ketidakmampuan subjek dalam memanfaatkan waktu yang dimilikinya seperti sebelum mereka masuk pada lingkungan barunya (Widyaningrum, 2004). Selanjutnya, Widyaningrum menambahkan bahwa lama masa hukuman dan sisa

(9)

masa hukuman yang harus dijalani akan mempengaruhi kesepian yang dialami oleh individu. Hal ini berarti bahwa semakin lama hukuman individu di Lembaga Pemasyarakatan dan semakin lama sisa masa hukuman individu, maka waktu yang harus dijalani oleh narapidana semakin lama, dengan demikian waktu untuk bertemu dan berkumpul dengan keluarga, anak, atau pasangan serta relasi akan semakin lama sehingga perasaan kesepian individu akan semakin tinggi. Rokach (2001) menambahkan bahwa hal yang paling mudah membuat penghuni penjara (narapidana) kesepian adalah perpisahan dari keluarga, jaringan sosial, dan komunitas mereka yang luas. Individu yang mengalami kesepian memiliki beberapa karakteristik.

Ciri-ciri orang yang kesepian antara lain cenderung menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk (Anderson & Snogdgrass, dalam Myers, 1999), menerima orang lain secara negatif (Jones, Wittenberg,& Reiss, dalam Myers, 1999), kesulitan dalam berteman dan berpartisipasi dalam kelompok (Rock, Spitzberg & Hurt, dalam Myers, 1999), cenderung menjadi pemalu, tidak asertif, (Jones & Cutrona, dalam Saks & Krupart, 1998), memiliki harga diri yang rendah dan cenderung menyalahkan diri sendiri daripada yang seharusnya atas kekurangan mereka (Frankel & Prentice-Dhun, dalam Santrock, 1999), memiliki kekurangan dalam keterampilan sosial (Riggio, Trockmorton & DePaola; Jones, Hobbs, & Hockenbury, dalam Santrock, 1999). Kesepian juga dihubungkan dengan perilaku maladaptif seperti depresi, bunuh diri, sikap bermusuhan, alkoholisme, konsep diri yang rendah, dan gangguan psikosomatis (Rokach, 2004).

(10)

Menurut Brehm (2002) beberapa orang rentan terhadap kesepian dan beberapa orang yang lain tidak. Perbedaan terhadap kesepian ini salah satunya berkaitan dengan perbedaan peran gender. Goldberg (dalam Santrock 1999) mengatakan perempuan dapat merasakan dan mengartikulasikan perasaan dan masalah yang mereka hadapi, sedangkan laki-laki tidak, karena laki-laki harus mengkondisikan dengan maskulinitas mereka. Secara ekstrim ideologi maskulinitas akan menghasilkan kesepian (Blazina, dkk. 2007).

Menurut Basow (1992) berdasarkan stereotip peran gender, laki-laki cenderung lebih rentan terhadap kesepian dan perempuan cenderung jarang mengalami kesepian. Hal ini disebabkan, walaupun laki-laki dan perempuan memiliki need for affiliation dan need for intimacy yang sama, namun perempuan lebih dapat memenuhi kebutuhan tersebut bila dibandingkan dengan laki-laki. Kondisi ini dapat dilihat dari stereotip peran gender, dimana perempuan diharapkan berfungsi dengan baik dalam hubungan dengan orang lain (relationship) dan diarahkan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan yang berhubungan dengan orang lain seperti sensitivitas interpersonal, empati, pengekspresian dan pengasuhan, sehingga identitas diri yang dibentuk kebanyakan perempuan adalah identitas diri yang berorientasi pada hubungan (self –in-relationship orientation). Sedangkan laki-laki diharapkan untuk lebih mandiri, asertif, berorientasi pada prestasi, dan agresif serta menyembunyikan perasaan sehingga identitas diri yang dibentuk oleh kebanyakan laki-laki adalah identitas diri yang lebih otonom.

(11)

Menyembunyikan perasaan akan memfasilitasi usaha laki-laki untuk lebih kompetitif. Namun, menyembunyikan perasaan akan menghalangi usaha laki-laki untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang lain sehingga laki-laki cenderung kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain yang dimanifestasikan dalam perasaan kekosongan, isolasi, dan frustasi (Basow, 1992).

Borys & Perlman (dalam Wrigtsman & Deaux, 1993) mengatakan bahwa berdasarkan stereotip peran gender, pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan. Menurut Borys & Perlman (dalam Brehm, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan kesepian secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan peran gender yang berlaku dalam masyarakat.

Menurut Brehm (2002) perbedaan kesepian antara laki-laki dan perempuan berinteraksi dengan satus pernikahan. Diantara pasangan yang menikah, perempuan lebih sering mengalami kesepian daripada laki-laki. Sebaliknya, pada kelompok yang belum menikah dan kelompok yang bercerai, laki-laki lebih sering mengalami kesepian daripada perempuan. Dengan demikian, Brehm (2002) mengatakan bahwa laki-laki cenderung mengalami kesepian ketika tidak memiliki pasangan yang intim, sedangkan perempuan cenderung mengalami kesepian ketika ikatan perkawinan mengurangi akses untuk terlibat pada jaringan sosial yang lebih luas.

Menurut Rubenstein, Shaver, & Peplau (dalam Brehm, 2002) ada empat kategori perasaan yang dirasakan oleh seseorang ketika mengalami kesepian, yaitu: desperation, impatient boredom, self-deprecation, dan depression.

(12)

Desperation merupakan perasaan putus asa, kehilangan harapan, serta

perasaan yang sangat menyedihkan sehingga seseorang mampu melakukan tindakan nekat. Impation boredom merupakan perasaan bosan yang tidak tertahankan, jenuh, serta tidak sabar. Self-deprecation merupakan perasaan dimana seseorang tidak mampu menyelasaikan masalahnya, mulai menyalahkan diri sendiri serta mengutuk diri sendiri. Depression merupakan perasaan emosional yang tertekan secara terus-menerus yang ditandai dengan perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain.

Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, peneliti melihat bahwa pada narapidana laki-laki dan perempuan yang berada di lembaga pemasyarakatan memiliki perasaan-perasaan seperti yang telah diuraikan di atas. Misalnya, perasaan jenuh, bosan, malu, mudah mendapat kecaman, terisolasi, menyesali diri, tidak sabar, merasa tidak aman, sedih, berharap memiliki seseorang yang spesial, dan lain-lain.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat perbedaan kesepian antara narapidana laki-laki dan perempuan. Penelitian ini merupakan penelitian yang komparatif terhadap fenomena narapidana dengan pendekatan

field studies. Alat pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah skala kesepian berdasarkan teori Rubenstein, Shaver, & Peplau (dalam Brehm, 2002). Dimana ada empat kategori perasaan yang dirasakan oleh individu yang kesepian, yaitu: desperation, impatient boredom, self-deprecation, dan

(13)

I.B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan kesepian pada narapidana laki-laki dan perempuan.

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kesepian antara narapidana laki-laki dan perempuan.

I.D. Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat penelitian yang diharapakan dari penelitian ini, yaitu: 1. Manfaat Teoritis

- Memberikan informasi tentang perbedaan kesepian pada narapidana laki-laki dan perempuan yang dapat memperkaya kasanah ilmu Psikologi Klinis, khususnya yang berkaitan dengan konsep kesepian dan fenomena narapidana.

- Memberikan sumbangan pada berbagai bidang psikologi diantaranya Psikologi Klinis, Psikologi Sosial, Psikologi Konseling, Psikologi Forensik, dan bidang lainnya dalam pengaplikasiannya, khususnya dalam fenomena kesepian pada narapidana laki-laki dan perempuan.

(14)

2. Manfaat Praktis

- Diharapkan bahwa hasil penelitian ini kiranya dapat menjadi bahan masukan atau referensi bagi masyarakat pada umumnya dan lembaga pemasyarakatan pada khususnya sehubungan dengan fenomena kesepian pada narapidana laki-laki dan perempuan. Dengan demikian Lembaga Pemasyarakatan dapat mengetahui kondisi psikologis warga binaannya (dalam hal ini kesepian) sehingga dapat diketahui perlakuan apa yang sebaiknya diberikan pada warga binaannya.

- Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

I.E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri atas tiga bab, meliputi:

Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari lima subbab, meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II adalah landasan teori yang meliputi pembahasan secara teoritis tentang kesepian, peran gender, narapidana, lembaga pemasyarakatan, hubungan antara gender dengan kesepian, kerangka berpikir, serta hipotesa penelitian.

Bab III adalah metodologi penelitian yang terdiri dari identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, alat pengumpulan data, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data.

(15)

Bab IV adalah analisa data dan interpretasi data yang terdiri atas beberapa subbab meliputi gambaran subjek penelitian, uji asumsi penelitian, deskripsi data penelitian berdasarkan mean empirik dan mean hipotetik, gambaran kesepian pada narapidana, gambaran kesepian pada narapidana laki-laki dan perempuan, serta perbedaan kesepian pada narapidana laki-laki dan perempuan.

Referensi

Dokumen terkait

Pada gambar 3.16 merupakan contoh tampilan rancangan layar pada menu customer Pada halaman menu customer terdapat fungsi search yang dapat digunakan apabila user ingin mecari

Pengguna hak pilih dalam Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb)/pengguna KTP dan KK/Nama sejenis lainnyta.. Jumlah seluruh pengguna Hak

2.1 Measurement in classical fringe analysis 7 2.2 Schematic diagram of Michelson interferometer 16 2.3 Schematic diagram of Mach-Zehnder interferometer 17 2.4

4.1 Menganalisis spesifikasi komponen utama pada perangkat keras komputer, notebook, smartphone dan tablet dalam menentukan kebutuhan pekerjaan.. 4.2 Menetapkan

 Membuat tabel sederhana hasil pengukuran berat dengan 3.3 Mengenal teks buku harian tentang kegiatan anggota keluarga dan dokumen milik keluarga dengan bantuan guru

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa analisis proses bimbingan konseling yang dilakukan konselor dengan langkah-langkah konseling tersebut melalui identifikasi masalah,

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh beberapa konsentrasi sitokinin terhadap pembentukan buah partenokarpi pada tanaman cabai, dapat diambil

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan rahmat serta Rosulullah Muhammad SAW yang senantiasa memberikan syafaat kepada umatnya