• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LATAR BELAKANG TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LATAR BELAKANG TEORI"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LATAR BELAKANG TEORI

2.1. TEGANGAN IN SITU

2.1.1. Pengertian Umum

In situ berasal dari kata in site yang berarti di lapangan. Sehingga tegangan in situ memiliki pengertian sebagai tegangan yang terdapat pada massa batuan di lapangan. Sebelum penggalian luba ng bukaan dilakukan pada massa batuan, terdapat 3 jenis tegangan in situ awal (initial stress) yaitu :

 Tegangan gravitasi (gravitational/vertical stress)

adalah tegangan yang terjadi karena berat dari tanah atau batuan yang berada di atas massa batuan

 Tegangan tektonik (tectonic stress)

adalah tegangan yang terjadi akibat aktivitas tektonik pada kulit bumi.  Tegangan sisa (residual stress)

adalah tegangan yang masih tersisa walaupun penyebab terjadinya tegangan tersebut sudah hilang.

Aktivitas penggalian lubang bukaan pada massa batuan, dimana terjadi pemindahan sejumlah volume dari massa batuan, akan menyebabkan kondisi tegangan awal (initial stress) pada massa batuan di sekitar lubang bukaan berubah. Tegangan yang disebabkan oleh aktivitas penggalian ini dikenal dengan istilah tegangan terinduksi (induced stress). Besarnya tegangan terinduksi dapat diketahui pada saat aktivitas penggalian telah dilakukan dengan pengukuran tegangan in situ secara langsung

(2)

Besar dan arah tegangan in s itu adalah salah satu parameter penting dalam proses perancangan lubang bukaan. Ada tiga alasan mengapa studi tentang tegangan in situ pada massa batuan perlu dilakukan (Hudson, 2000) :

1. Pada massa batuan terdapat kondisi tegangan awal yang harus dimengerti , baik secara langsung maupun sebagai gambaran kondisi tegangan yang akan digunakan dalam analisis dan desain lubang bukaan .

2. Saat dilakukan penggalian pada massa batuan, ada kemungkinan kondisi tegangan berubah secara drastis.

3. Tegangan adalah besaran tens or dan tensor tidak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Besaran tensor adalah besaran yang memiliki nilai, arah, dan sangat tergantung pada bidang tempatnya bekerja.

Analisis tegangan pada suatu titik di massa batuan dilakukan dengan mengganggap titik tersebut sebagai titik pusat dari sebuah kubus yang sangat kecil (infinitesimal cube) di dalam massa batuan. Gambar 2.1 menunjukkan tegangan -tegangan yang bekerja pada sisi-sisi kubus tersebut.

(3)

Dengan menganalisis keseimbangan tegangan yang bekerja, akan dapat ditentukan matriks tensor tegangan pada titik tersebut . Matriks tensor tegangan adalah matriks yang menyatakan nilai tegangan -tegangan yang bekerja di suatu titik pada mass a batuan. Dengan sistem koordinat kartesian tiga dimensi (x,y,z) sebagai acuan bagi arah tegangan, matriks tensor tegangan dinyatakan dalam bentuk matriks 3 3 sebagai berikut :

 

 =           z zy zx yz y yx xz xy x [2.1] keterangan : x

 : tegangan normal yang searah dengan sumbu kartesian x

y

: tegangan normal yang searah dengan sumbu kartesian y

z

 : tegangan normal yang searah dengan sumbu kartesian z

xy

: tegangan geser searah sumbu y pada bidang normal terhadap sumbu x

xz

 : tegangan geser searah sumbu z pada bidang normal terhadap sumbu x

yx

: tegangan geser searah sumbu x pada bidang normal terhadap sumbu y

yz

: tegangan geser searah sumbu z pada bidang normal terhadap sumbu y

zx

 : tegangan geser searah sumbu x pada bidang normal terhadap sumbu z

zy

: tegangan geser searah sumbu y pada bidang normal terhadap sumbu z

Sebagai syarat kesetimbangan momentum, maka : xy = yx ,  =xz  , danzx yz

=zy, sehingga hanya dibutuhkan enam buah komponen tensor tegangan untuk

(4)

 

 =                    z yz zx yz y xy zx xy x [2.2] 2.1.2. Transformasi Tegangan

Selain dalam sistem su mbu koordinat kartesian, kondisi tegangan pada suatu titik selalu dapat dinyatakan dalam sistem sumbu koordinat relatif. Orientasi dari suatu sumbu koordinat relatif terhadap sumbu-sumbu kartesian didefinisikan oleh sebuah vektor baris dari cosinus arah. Cosinus arah adalah proyeksi dari vektor satuan pada salah satu sumbu kartesian.

Misalkan l, m, dan n adalah sumbu-sumbu relatif saling tegak lurus hasil perputaran sumbu koordinat kartesian x, y, dan z. Sumbu l membentuk sudut sebesar α terhadap sumbu x, β terhadap sumbu y, dan γ terhadap sumbu z. Maka orientasi l relatif terhadap sumbu-sumbu utama kartesian (x,y,z) dinyatakan oleh suatu vektor baris (lx,ly,lz), dengan lx= cos α, ly = cos β, dan lz= cos γ. Dengan cara yang sama, orien tasi dari m dan n relatif terhadap sumbu -sumbu kartesian secara berurutan dinyatakan dengan vektor baris (mx,my,mz) dan (nx,ny,nz).

Sehingga kondisi tegangan pada suatu titik, relatif terhadap sumbu l, m, dan n, dinyatakan oleh matriks tensor tegangan se bagai berikut :

 

* =                    n mn ln mn m lm ln lm l [2.3]

(5)

Pada Gambar 2.2 berikut akan ditunjukkan sistem sumbu kartesian (x,y,z), sistem sumbu relatif (l,m,n), tetrahedron OABC yang merupakan bagian dari kubus massa batuan yang digunakan d alam menentukan kondisi tegangan sebelum ini, dan OP yang merupakan normal bidang OABC. Cosinus arah OP dinyatakan oleh suatu vektor baris (λx,λy,λz) dan sebagai syarat kesetimbangan untuk mengganti bagian kubus yang dihilangkan, pada bidang ABC bekerja tekanan penyeimbang t per unit luas, dengan cosinus-cosinus arah tx, ty, dan tz (Brady & Brown, 1985).

Gambar 2.2

Analisis Tegangan Pada Sebuah Tetrahedron OABC (Brady & Brown, 198 5)

Dengan mengganggap bahwa luas ABC adalah A, proyeksi ABC pada bidang dengan normal sumbu x, y, dan z akan menghasilkan bidang-bidang Ax (OAC), Ay (OAB), dan Az (OBC). Kesetimbangan gaya pada sumbu x dinyatakan dengan persamaan :

(6)

Karena Ax = Aλx, Ay = Aλy, dan Az = Aλz, maka persamaan [2.4] menjadi :

txA – σxAλx– τxyAλy– τzxAλz = 0 [2.5]

atau :

tx– σxλx– τxyλy– τzxλz = 0 [2.6]

Sehingga dengan melakukan perhitungan kesetimbangan gaya -gaya pada sumbu y dan z, akan diperoleh persamaan matriks :

          z y x t t t =                    z yz zx yz y xy zx xy x              z y x [2.7] atau :

 

t =

  

[2.8]

Analisis kesetimbangan yang sama pada sumbu l, m, dan n akan menghasilkan persamaan matriks :           n m l t t t =                    n mn ln mn m lm ln lm l              n m l [2.9] atau :

 

t* =

  

* * [2.10]

(7)

Karena l, m, n adalah sistem sumbu hasil rotasi sistem sumbu kartesian, maka komponen traksi pada sistem sumbu l, m, n juga dapat dinyatakan sebagai hasil rotasi komponen traksi pada sumbu kartesian yang dinyatakan dalam oleh persamaan :

          n m l t t t =           z y x z y x z y x n n n m m m l l l           z y x t t t [2.11] atau

 

t* =

  

R t [2.12] Sehingga :

 

t =

   

R 1t* [2.13]

Matriks [R] adalah matriks rotasi yang baris -barisnya dibentuk oleh vektor baris cosinus arah dari sumbu baru terhadap sumbu as al. Sifat khas matriks [R] adalah bahwa inversnya sama dengan transposenya (Jennings, 2000), atau:

[R]-1 = [R]T [2.14]

sehingga persamaan [2.13] menjadi :

(8)

Sehingga dengan cara yang sama sebaga imana ditunjukkan oleh persamaan [2.11], [2.12], [2.13], [2.14], dan [2.15] , orientasi cosinus arah dari traksi pada sistem sumbu l, m, dan n relatif terhadap sumbu x, y dan z dapat dinyatakan oleh persamaan -persamaan :              n m l =           z y x z y x z y x n n n m m m l l l              z y x [2.16]

 

* =

  

R [2.17]

 

 =

   

R 1* [2.18]

 

 =

   

R T * [2.19]

Subtitusi persamaan [2.12] dengan p ersamaan [2.8], [2.10] dan [2.19] menghasilkan :

[σ*] = [R][σ][R]T [2.20]

Atau dalam bentuk matriks yang diperluas :

          n nm nl mn m ml lm l ln =           z y x z y x z y x n n n m m m l l l           z zy zx yz y yx xz xy x           z z z y y y x x x n m l n m l n m l [2.21]

Jadi dengan melakukan perkalian matriks pada ruas kanan persamaan [2. 21], komponen-komponen tegangan

 

* akibat perputaran sumbu akan dapat diketahui.

(9)

2.1.3. Tegangan Prinsipal

Perputaran sumbu secara tepat akan menghasilkan kondisi dimana tegangan geser bernilai nol. Bidang dimana tidak terdapat tegangan geser ini dikenal dengan istilah bidang utama (principal plane). Pada bidang utama, hanya bekerja tegangan utama (principal stress) dan arah normal dari bidang ini merupakan arah dari sumbu utama (principal axis). Karena analisis tegangan dilakukan dalam tiga dimensi, maka akan terdapat tiga sumbu utama. Sehingga untuk menyatakan kondisi tegangan dari suatu titik yang terletak pada bidang utama akan diperlukan nilai tiga tegangan utama dan orientasi dari tiga sumbu utama.

Kondisi tegangan di suatu titik yang terletak pada bidang prinsipal dinyatakan dengan persamaan matriks :

 

p =              3 2 1 0 0 0 0 0 0 [2.22] keterangan : 1

: Tegangan utama mayor ( major principal stress) 2

: Tegangan utama tengah ( intermediate principal stress) 3

: Tegangan utama minor ( minor principal stress)

Perhitungan tegangan besar dan arah tegangan prinsipal dapat dilakukan berdasarkan persamaan yang diusulkan Brady & Brown (1985). Dengan menggunakan teori invarian, nilai tegangan utama ( principal stress) dapat diketahui dengan menyelesaikan persamaan pangkat tiga berikut :

(10)

σp3– I1σp2 + I2σp– I3 = 0 [2.23] dengan : I1 = σx + σy + σz [2.24] I2 = σxσy + σyσz + σzσx- (σ2xy + σ2yz + σ2zx) [2.25] I3 = σxσyσz + 2 σxyσyzσzx– (σxσyz2 + σyσzx2 + σzσxy2) [2.26] Keterangan :

I1 = invarian tegangan (stress invariant) pertama I2 = invarian tegangan (stress invariant) kedua I3 = invarian tegangan (stress invariant) ketiga

Dimana syarat yang harus dipenuhi dalam perhitungan nilai tegangan adalah :

σ1 + σ2 + σ3 = σx + σy + σz [2.27]

Sedangkan perhitungan arah tegangan prinsipal di lakukan berdasarkan cosinus arah dari tegangan-tegangan utama. Untuk setiap tegangan utama σi (i = 1,2,3), cosinus arahnya terhadap sumbu x, y, dan z dinyatakan dengan persamaan -persamaan :

λxi = ) C B A ( A 2 2 2   [2.28] λyi = ) C B A ( B 2 2 2   [2.29] λzi = ) C B A ( C 2 2 2   [2.30]

(11)

dimana : i z yz yz i y A          [2.31] i z zx yz xy B         [2.32] yz zx i y xy C        [2.33]

Syarat yang harus dipenuhi cosinus arah adalah :

λx12+ λy12 + λz12 = 1 [2.34]

λx1λx2+ λy1λy2+ λz1λz2= 0 [2.35]

λx2λx3+ λy2λy3+ λz2λz3= 0 [2.36]

λx3λx1+ λy3λy1+ λz3λz1= 0 [2.37]

2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tegangan In Situ

Tegangan yang ada di dalam massa batuan di bawah tanah dipengaruhi oleh beban dari material yang berada di atasnya dan proses geologi yang terjadi. Perubahan -perubahan yang terjadi bisa berhubungan dengan -perubahan temperatur, komposisi kimia, thermal stress, dan lain sebagainya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tegangan in situ (Brady dan Brown, 1985) :

 Topografi Permukaan

(12)

permukaan, semakin besar tegangan yang diakibatkan oleh beban dari material yang berada di atasnya.

 Erosi

Erosi merupakan proses pengikisan yang terjadi pada permukaan tanah, baik oleh air, es, dan angin. Proses erosi ini dalam jangka waktu lama akan mengurangi kedalaman lapisan batuan, sehingga jumlah material yang membebani suatu titik pada massa batuan yang terletak di bawah permukaan tanah akan berkurang, yang pada akhirnya menyebabkan berkurangnya tegangan yang bekerja pada titik tersebut.

Tegangan sisa (residual stress)

Residual stress merupakan tegangan yang masih tersisa, walaupun penyebab timbulnya tegangan tersebut sudah tidak ada lagi. Pada umumnya, tegangan sisa timbul berhubungan dengan adanya proses kimia atau fisika yang terjadi secara tidak merata (non-homogenous) pada suatu volume material yang terbatas, sehingga apabila dari pros es tersebut terjadi penambahan volumetrik dan tidak ada ruang untuk penambahan tersebut, maka akan timbul tegangan yang terkunci pada material tersebut. Masalah tegangan sisa ini merupakan hambatan dalam memprediksi tegangan yang bekerja pada massa batuan.

 Aktivitas tektonik

Keadaan tegangan pada massa batuan dapat juga berasal dari gaya yang diakibatkan oleh aktivitas tektonik. Tegangan yang berhubungan dengan aktivitas tektonik ini bekerja secara regional pada suatu area tertentu, dan bisa dikorelasikan dengan adanya struktur geologi (sesar, lipatan) di sekitar area tersebut.

 Bidang diskontinyu

Pada massa batuan yang terletak jauh di bawah permukaan, terdapat tegangan gravitasi yang diakibatkan oleh pembebanan oleh massa batuan di atasnya. Apabila terdapat bidan g diskontinyu di sekitar massa batuan, maka besar dan arah

(13)

tegangan yang bekerja di pada batuan yang berada di bawah bidang diskontinyu tersebut akan berubah, dikarenakan terjadi redistribusi tegangan akibat adanya bidang diskontinyu tersebut.

2.2. PENENTUAN TEGANGAN IN SITU

2.2.1 Pendekatan Teoritis

Pada umumnya, tanpa pengukuran tegangan in situ secara langsung di lapangan, perancangan lubang bukaan dilakukan hanya berdasarkan tegangan vertikal (

σ

v) dan

tegangan horisontal (

σ

h

)

yang bekerja pada massa batuan. Besarnya tegangan vertikal

pada massa batuan dengan kedalaman tertentu tertentu adalah sama dengan berat per satuan luas dari batuan yang berada di atasnya. Secara teoritis tegangan ve rtikal tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :

σ

v = ρ.g.z = γ.z [2.37]

Keterangan :

ρ = rapat massa batuan (kg/m3) g = percepatan gravitasi (m/s2) z = kedalaman (m)

γ = berat satuan batuan (N/m3)

Berdasarkan hasil pengukuran tegangan vertikal di beberapa negara, Hoek & Brown pada tahun 1978 menyatakan bahwa pendekatan nilai tegangan vertikal pada massa batuan dapat dilakukan dengan persamaan :

(14)

z= 0,027 z [2.38]

dengan

z = tegangan vertikal (MPa) z = kedalaman (m)

Gambar 2.3 menunjukkan bahwa pendekatan nilai tegangan vertikal dengan persamaan tersebut memberikan hasil yang cukup baik. Tegangan vertikal hasil pengukuran di berbagai lokasi mendekati nilai 0,027.z, terutama pada rentang kedalaman kurang dari 750 m.

Gambar 2.3

Pengukuran Tegangan Vertikal pada Kedalaman Tertentu di Bawah Permukaan Bumi (Hoek & Brown, 1980 )

(15)

Sedangkan tegangan horisontal pada umumnya dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

h

 =k.v [2.39]

dimana k adalah faktor pembanding antar a tegangan horisontal dan tegangan vertikal. Terzhagi dan Richart (1952) menyatakan bahwa untuk batuan elastik, homogen, dan isotrop, nilai k dapat dihitung dengan persamaan berikut :

k =

1 [2.40]

dimana  adalah nisbah Poisson dari massa batuan. Pendekatan ini terbukti tidak akurat sehingga telah jarang digunakan pada saat ini .

Menurut Heim (1912), untuk kedalaman yang besar (lebih dari satu kilometer) keadaan tegangan akan menjadi hidrostatik (k = 1), sehingga berlaku kondisi dimana besar tegangan vertikal sebanding dengan tegangan hori sontal (  =h  ). Iniv dikarenakan batuan cenderung tidak mampu untuk menahan perbedaan tegangan yang sangat tinggi dalam arah yang berbeda, sehingga akan terjadi retakan, plastisitas, dan rayapan pada batuan yang dapat mengurangi perbedaan yang besar dari tegangan vertikal dan tegangan hori sontal.

Pengukuran tegangan hori sontal pada terowongan sipil dan tambang di seluruh dunia menunjukkan bahwa nilai k cenderung tinggi pada kedalaman yang kecil. Tegangan horisontal hasil pengukuran cenderung lebih besar dari pada tegangan vertikalnya, sedangkan pada perhitungan teoritis nilai tegangan hori sontal selalu lebih kecil daripada tegangan vertikal.

(16)

Pada kedalaman kurang dari satu kilometer keadaan tegangan tidak bisa dianggap hidrostatis, sehingga nilai k tidak sama dengan satu. Pada kedalaman ini, pendekatan nilai k dengan persamaan [2.40] juga tidak dapat dilakukan. Hoek dan Brown mengusulkan pendekatan nilai k untuk kedalaman kurang dari satu kilo meter berdasarkan pengukuran tegangan in situ pada beberapa lokasi yang dinyatakan dengan persamaan : z 100 + 0,3 < k < z 1500 + 0,5 [2.41] Gambar 2.4

Variasi Perbandingan Antara Tegangan Horisontal dan Tegangan Vertikal pada Kedalaman Tertentu di Bawah Permukaan Bumi (Hoek & Brown, 1980)

(17)

dikarenakan oleh adanya peristiwa erosi yang menyebabkan massa material di atas titik pengukuran berkurang, tetapi pada titik tersebut masih terdapat tegangan residual yang berupa tegangan hori sontal. Hal ini akan mengakibatkan nilai dari tegangan horisontal akan lebih besar daripada tegangan vertikal.

Analisis lebih lanjut berdasarkan persamaan [2. 41] yang menyatakan bahwa rasio tegangan horisontal dan tegangan vertikal 

     v h

adalah fungsi dari kedalam an (z) dilakukan oleh Herget pada tahun 198 8.

Gambar 2.5

Rasio Tegangan Sebagai Fungsi Kedalaman Versi Hoek & Brown vs Herget Pada Beberapa Lokasi Di Kanada (Herget, 1988)

(18)

Dengan menggunakan data tegangan in situ pada beberapa lokasi di Kanada, Herget menyatakan bahwa pendekatan nilai tegangan in situ di Kanada dapat dilakukan dengan persamaan : v average H   = 1,25 ) ( 267  m z [2.42]

Gambar 2.5 menunjukkan bahwa kurva Hoek & Brown serta Herget memiliki arah yang sama dan menghasilkan nilai k yang nilainya berdekatan pada kedalaman kurang dari 1000 m. Untuk kedalaman lebih dari 1000 m, kurva Herget mulai mengalami perubahan arah dan pada kedalaman lebih dari 1500 m, persamaan Herget akan menghasilkan nilai k yang lebih besar dibandingka n persamaan Hoek & Brown.

Pada tahun 1994, Sheorey mengusulkan pendekatan nilai k dengan mempertimbangkan modulus deformasi kulit bumi, seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.6 berikut :

k = 0,25 + 7Eh (0,001 +

z

1

) [2.43]

dimana Eh adalah modulus deformasi bagian atas dari kulit bumi yang diukur pada arah horisontal dalam Gpa.

Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, dapat dilakukan pendekatan secara teoritis terhadap nilai tegangan vertikal dan hori sontal serta hubungannya dengan kedalaman untuk suatu wilayah. Data tegangan in situ hasil pengukuran pada beberapa tempat dalam wilayah tersebut adalah dasar bagi pendekatan nilai tegangan vertikal dan horisontal secara teoritis.

(19)

Gambar 2.6 menunjukkan peta tegangan in situ di seluruh dunia pa da tahun 2005.

Gambar 2.6

Peta Tegangan In Situ di Seluruh Dunia (www.worldstressmap.org)

2.2.2 Pengukuran Tegangan In Situ Melalui Pengujian

Besar dan arah tegangan insitu pada massa batuan secara lebih akurat dapat ditentukan dengan melakukan pengujian pada massa batuan maupun contoh batuan. Uji tegangan in situ dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung di lapangan maupun dengan uji di laboratorium.

(20)

Pada metoda pengukuran secara langsung ( direct method), data untuk perhitungan tegangan in situ didapatkan melalui uji langsung terhadap massa batuan ( rock mass) di lapangan. Uji in situ langsung yang direkomendasikan oleh ISRM (Kim & Franklin, 1987) adalah dengan menggunakan :

 Flat jack

 Hydraulic fracturing test

 United States bureau of mines (USBM) overcoring torpedo

 Commonwealth scientific and industrial research organization (CSIRO) overcoring gauge

Sementara pada metode tidak langsung ( indirect method), tegangan in situ diestimasi melalui perhitungan data hasil pengujian terhadap contoh batu an (intact rock) di laboratorium. Pengujian tegangan in situ secara tidak langsung dapat dilakukan dengan metode :

 Accoustic emission (AE)

 Deformation rate analysis (DRA)

 Differential strain curve analysis (DSCA)  Anelastic strain relaxation (ASR)

Meskipun menggunakan pendekatan yang berbeda, kedua metode pengujian di atas sama-sama bertujuan untuk mengetahui nilai setiap komponen dari matriks tensor tegangan berdasarkan karakterisitik mekanik batuan yang didapatkan melalui pengujian.

Uraian lebih rinci mengenai uji emisi akustik serta metode penentuan tegangan in situ dengan uji emisi akustik diberikan dalam sub -bab sub-bab berikut ini.

(21)

2.3. EMISI AKUSTIK

Emisi Akustik adalah gelombang elastik frekuensi tinggi yang diakibatkan oleh pelepasan energi yang ce pat dari satu atau lebih sumber pada saat material mengala mi pembebanan (ASTM E 610 -77). Sebuah gelombang dikatakan memiliki frekuensi tinggi jika frekuensianya berada pada rentang nilai 100KHz – 1MHz. Emisi akustik dapat terjadi akibat adanya perubahan ya ng tiba-tiba dan pemanen di dalam struktur material.

Gambar 2.7

Skema Rangkaian Pengujian Emisi Akustik

Pengujian Emisi Akustik dilakukan dengan memberikan pembebanan berulang yang terus meningkat pada contoh batuan. Pada setiap pembebanan, gelombang elastis yang terjadi akan dideteksi oleh transduser piezoelektrik. Sinyal akustik ini kemudian akan dirubah oleh transduser menjadi sinyal listrik. Sinyal tersebut diperkuat, difilter

(22)

proses yang kontinyu oleh so ftware khusus uji emisi akustik. Keunggulan m etode emisi akustik adalah memiliki akurasi prediksi tegangan in situ yang cukup akurat dan jauh lebih ekonomis dibandingkan uji tegangan in situ secara langsung.

2.3.1 Sumber-sumber Emisi Akustik pada Contoh Batuan

Emisi akustik terjadi karena pergerakan dan multiplikasi dari crack, proses friksi selama penutupan dan pembukaan rekahan, transformasi fasa, propagasi rekahan mikro, deformasi material, tumbukan, dan pemadatan. Di dalam tubuh material emisi akustik dideteksi karena adanya perubahan struktur mikro secara tiba -tiba dan permanen.

Mekanisme yang terjadi misalnya deformasi dan pergerakan dari suatu mikrocrack menghasilkan emisi akustik yang lemah. Namun ketika jutaan microcrack terbentuk serta mengalami propagasi dalam waktu yang bersamaan, gelombang yang dihasilkan untuk emisi akustik akan saling bersuperposisi sehingga dapat dideteksi. Hasil yang didapat berupa eksitasi yang terus menerus dari contoh kepada sensor yang langsung ditransfer dalam bentuk tegangan listrik. Semakin besar regangan rata -rata dan ukuran contoh batuan maka semakin besar pula sinyal yang dihasilkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyaknya energi yang dibebaskan tergantung pada ukuran dan kecepatan dari suatu proses deformasi lokal .

2.3.2 Efek Kaiser

Efek kaiser adalah emisi akustik yang terdeteksi pada saat contoh batuan ditekan hingga mendekati atau melampaui tegangan awalnya pada uji kuat tekan (ASTM E

(23)

Efek Kaiser pada batuan terbentu k pada daerah elastik, yaitu pada saat rekahan baru terbentuk dan berpropagasi secara stabil atau linier terhadap tegangan yang dialaminya dan tegangan tersebut akan disimpan dalam batuan tersebut. Efek Kaiser muncul pada saat rekahan mikro mulai terjadi y ang diakibatkan oleh tekanan pada contoh batuan melebihi tegangan yang pernah dialaminya.

Gambar 2.8

Efek Kaiser Pada Kurva Hasil Uji Emisi Akustik

2.3.3 Pola Kurva Emisi Akustik Menurut Mogi (1962) dan Boyce (1981)

Kurva Emisi akustik menurut Mogi (1962) diklasifikasikan menjadi 4 dasar daerah kurva. Kurva tersebut berhubungan erat dengan proses konsep keruntuhan batuan menurut Bieniawski (1961).

Gambar 2.9 menunjukkan bahwa pada daerah I (A -B) terjadi penutupan rekahan atau kompaksi, terlihat dengan kemi ringan yang positif pada kurva AE. Pada daerah II (B

(24)

-relatif konstan. Pada daerah III (C -D), terjadi propagasi rekahan yang stabil ditandai dengan kenaikan aktivitas AE (Efek Kaiser) yang tajam atau kenaikan slope yang besar pada grafik AE. Pada daerah IV (D -F), terjadi pelepasan energi kritis dan propagasi rekahan yang tidak stabil yang kemudian akan terjadi keruntuhan pada material yang brittle atau akan terjadi deformasi yang permanen pada material yang bersifat elastoplastik atau plastik.

Gambar 2.9

Modifikasi Grafik Karakteris tik Reaksi Emisi Akustik Berhu bungan Dengan Lima Daerah Perilaku Deformasi Bieniawski (Holcomb, 1993)

Pada beberapa contoh batuan, model kurva emisi akustiknya tidak selengkap model Mogi. Ada 2 atau lebih bagian pada tipe Mogi yang tidak terdapat pada beberapa

Tegangan, Regangan, dan Waktu

A k ti v it as A E

(25)

jenis batuan. Pada Gambar 2.10 tipe I merupakan tipe Mogi seperti pada gambar 2. 9. Tipe II tidak memiliki segmen (C-D) dari model Mogi, ini menunjukkan prilaku material tersebut berubah dari elastic linier langsung ke propagasi rekahan tidak stabil. Tipe III, tidak ada segmen (A -B), ini menunjukkan batuan intact. Tipe IV, tidak ada segmen (A-B) dan (C-D), material tersebut kompak dan tidak stabil, merupakan gabungan sifat dari tipe II dan tipe III.

Gambar 2.10

Pola Kurva Emisi Akustik (Boyce, 1981)

Dari keempat tipe Boyce diatas, tipe I yang paling banyak muncul merupakan perilaku umum batuan. Sedangkan pada tipe IV efek Kaiser akan paling baik terlihat karena fase elastisnya yang panjang.

F D C B F C/D A/B F D C A/B F C/D B Tipe I

Tipe III Tipe IV

(26)

2.3.4 Noise

Noise adalah gangguan berupa sinyal sinyal akustik yang bukan merupakan sumber -sumber emisi akustik, yang turut terekam dalam data. Noise dapat mengganggu hasil ekperimentasi. Noise pada umumnya disebabkan oleh kabel yang bergoyang, aliran oli pada mesin pompa kuat tekan, sinyal radio, dan petir.

Untuk menghindari noise turut tercatat sebagai data percobaan dapat dilakukan pengaturan pada rentang deteksi transduser, sehingga hanya bunyi dengan rentang intensitas yang diinginkan saja yang terekam menjadi data hasil uji Emisi Akustik.

2.4. PERHITUNGAN TEGANGAN IN SI TU DENGAN METODE EMISI AKUSTIK

Perhitungan tegangan in situ dengan uji emisi akustik dilakukan dalam tahap -tahap sebagai berikut :

1. Menentukan persamaan matriks berdasarkan nilai tegangan contoh batuan saat efek Kaiser mulai terdeteksi (σKE)

KE

=

lx2 ly2 lz2 2lxly 2lxlz 2lylz

                    yz xz xy z y x [2.44]

(27)

2. Menghitung kondisi tegangan in situ pada massa batuan [σ] berdasarkan enam buah persamaan tegangan hasil uji emisi akustik

                    6 5 4 3 2 1 KE KE KE KE KE KE =                     6 6 6 6 6 6 2 6 2 6 2 6 5 5 5 5 5 5 2 5 2 5 2 5 4 4 4 4 4 4 2 4 2 4 2 4 3 3 3 3 3 3 2 3 2 3 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 z y z x y x z y x z y z x y x z y x z y z x y x z y x z y z x y x z y x z y z x y x z y x z y z x y x z y x l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l                     yz xz xy z y x [2.45]                     yz xz xy z y x = 1 6 6 6 6 6 6 2 6 2 6 2 6 5 5 5 5 5 5 2 5 2 5 2 5 4 4 4 4 4 4 2 4 2 4 2 4 3 3 3 3 3 3 2 3 2 3 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2                      z y z x y x z y x z y z x y x z y x z y z x y x z y x z y z x y x z y x z y z x y x z y x z y z x y x z y x l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l                     6 5 4 3 2 1 KE KE KE KE KE KE [2.46]

3. Menghitung nilai tegangan utama (σp) dengan teori invarian tegangan. 4. Menentukan cosinus arah tegangan utama.

5. Transformasi cosinus arah tegangan utama menjadi azimuth dan dip dengan persamaan-persamaan dari sistem koordinat lingkaran (sferis) berikut :

λx = λ cos θ cos Φ [2.47]

λy = λ cos θ sin Φ [2.48]

λz = λ cos (90°- θ) [2.49]

(28)

Gambar 2.11

Gambar

Gambar  2.3 menunjukkan  bahwa  pendekatan  nilai  tegangan  vertikal  dengan persamaan  tersebut  memberikan  hasil  yang  cukup  baik
Gambar 2.6 menunjukkan peta tegangan in situ di seluruh dunia pa da tahun 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Maksud Paulus bukanlah bahwa pekerjaan sampingan harus dilakukan untuk mendatangkan uang supaya bisa makan dan memenuhi kebutuhan hidup, melainkan dengan mengerjakan

(5) Salinannaskah asli Convention on Temporary Admission (Konvensi tentang Pemasukan Sementara) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pensyaratan (reservation) dan

Kontrol yang digunakan pada penelitian ini adalah kontrol RPMI sebagai kontrol standar dimana sumur (well) tidak diberi perlakuan baik ekstrak buah merah maupun gom arab tetapi

Penyebaran Penduduk pada tahun 2010 juga terpusat di Kelurahan Pinangsori dengan jumlah penduduk 8.560 orang (37,96%) dan kepadatan penduduk 1.615 penduduk per kilometer

Event-driven Process Chain(2) Tindakan Medis Bed Alat Medis Obat- obatan X Pelayanan Bedah Pelayanan Lab PK Pelayanan Radiologi V Pelayanan Medis Selesai Dilakukan XOR Pasien

1) Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka yaitu angka pertama didepan koma dan angka kedua di belakang koma. Jika angka yang ketiga.. sama dengan atau lebih

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yang diperoleh dari hasil pemeriksaan serologi sifilis dan HIV pada ABK dan TKBM Kantor

Data yang diperlukan dalam netting ini adalah jumlah kebutuhan kotor (produk akhir) yang akan diproduksi pada suatu jangka waktu atau periode tertentu, rencana penerimaan dari