• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sinta Ridwan dan Fuad Abdulgani. Penulisan Cerita Budug Basu di Kalangan Keraton Cirebon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sinta Ridwan dan Fuad Abdulgani. Penulisan Cerita Budug Basu di Kalangan Keraton Cirebon"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

119

Penulisan Cerita Budug Basu di Kalangan Keraton Cirebon

Abstrak: Bagi masyarakat pesisir Cirebon, khususnya para nelayan, ritual Nadran adalah bagian dari siklus hidup mereka yang hidupnya bergantung pada lautan. Ritual ini merupakan kesatuan dari suatu rangkaian kegiatan: melarung sesajen ke tengah laut, pementasan wayang purwa disertai ruwatan, dan makan-makan bersama. Selain ritual, kegiatan lainnya berupa pertunjukan berbagai kesenian siang dan malam. Namun, dalam konteks ritual komuniti nelayan tersebut, perhatian kami tertuju pada pementasan wayang purwa dengan lakon Budug Basu. Lakon Budug Basu menuturkan kisah Dewi Sri, sang dewi padi, dengan jodohnya yang bernama Budug Basu, sang raja ikan. Ditinjau dari perspektif folklor, cerita ini adalah cerita rakyat yang dikelompokkan sebagai mitos. Transmisi cerita ini terdapat dalam dua cara, pertama, secara lisan: dituturkan oleh dalang dalam sarana pertunjukan wayang purwa di upacara Nadran. Kedua, secara tertulis dalam lembaran naskah-naskah kuno yang ditulis sendiri oleh anggota dari masyarakatnya. Sebagai teks yang ditulis pada sebuah media, cerita Budug Basu sebagai folklor artinya, secara tidak langsung, telah didokumentasikan dalam naskah-naskah oleh anggota masyarakat pemiliki folklor tersebut. Seperti kita ketahui, masyarakat Cirebon dengan pemerintahan negara yang berpusat di keraton adalah masyarakat dengan tradisi menulis. Pada umumnya para penulis tersebut berasal dari kalangan keraton atau bangsawan. Sejauh ini kami telah memiliki enam buah naskah yang memuat teks cerita Budug Basu. Dari enam naskah tersebut ditemui dua nama penulis. Satu nama tertera jelas disertai dengan jabatan sebagai Wakil Sultan Sepuh II yakni Pangeran Adipati Mohamad Alaida dalam naskah Lampahan Ringgit Budug Basu. Naskah lain dengan judul Serat Satriya Budug Basu memuat nama Ratu Mas Ugnyana Resminingrat

(3)

120

beserta keterangan bahwa naskah ini diperoleh dari orangtuanya bernama Pangeran Sujatmaningrat. Berkenaan dengan naskah cerita Budug Basu, tulisan ini akan berupaya untuk mengetahui informasi tentang penulis naskah dari kalangan keraton yang, secara tidak langsung, mengambil peran dalam dokumentasi khazanah folklor masyarakatnya.

Kata kunci: Cerita Budug Basu, naskah kuno sebagai dokumentasi

folklor, keraton Cirebon.

T

ulisan ini hendak mengulas penulisan cerita Budug Basu di Cirebon yang dilakukan oleh penulis dari kalangan keraton, bertolak dari kajian tesis lologi Ridwan berjudul Serat Satriya

Budug Basu: Mitos Masyarakat Pesisir Cirebon (2011). Penelitian

tersebut menemukan enam naskah kuno sebagai bahan kajian. Dari bahan-bahan itu didapati dua versi penulisan yang ditulis oleh penulis dari kalangan keraton yaitu Pangeran Sujatmaningrat dan Pangeran Adipati Mohamad Jamaludin Alaida.

Gagasan mendasar dalam tulisan ini berangkat dari pendapat Ikram1 tentang peran naskah-naskah kuno sebagai dokumentasi folklor di Nusantara. Menurut Ikram, karya sastra lama di Nusantara yang ditulis dalam naskah-naskah kuno merupakan dokumentasi folklor masyarakatnya karena karya sastra yang ditulis itu pada dasarnya adalah sastra yang beredar secara lisan. Hal itu dikarenakan dalam dunia tradisional, hubungan antara sastra dan masyarakat tempat sastra itu lahir amat erat. Maka, batas antara sastra lisan dan tulisan jadi samar. Para penulis lama yang menulis sastra lisan tidak akan merasa dirinya sebagai pencipta karena cerita yang ia tulis merupakan tradisi lisan yang beredar pada masa itu.

Pertama, pada bagian awal akan disampaikan tentang teks atau isi naskah, yakni cerita Budug Basu sebagai bentuk folklor. Ulasan ini akan berbicara tentang cerita Budug Basu sebagai sebuah cerita serta konteks sosialnya. Kami juga akan membahas secara ringkas tentang kedudukan cerita Budug Basu sebagai salah satu versi dalam khazanah cerita asal-usul padi yang berkembang di Nusantara.

Selanjutnya, berkenaan dengan dokumentasi folklor, akan diketengahkan soal penulisan cerita Budug Basu, yakni tentang para penulis yang berasal dari kalangan keraton, dengan menelusuri

(4)

121

keberadaan para penulis itu dalam silsilah keraton Cirebon serta menampilkan riwayat singkatnya.

Cerita Budug Basu di Cirebon Cerita Budug Basu sebagai folklor

Cerita Budug Basu dapat digolongkan pada kategori mitos, yakni “cerita prosa rakyat yang ditokohi oleh dewa atau makhluk setengah-dewa yang berkisah tentang masa lampau serta dalam alam dunia yang berbeda dengan dunia tinggal manusia; biasanya mitos berkisah tentang asal-usul alam semesta, bumi, tumbuhan, hewan dan sebagainya. Mitos juga diyakini oleh sang empunya cerita”.2

Dalam cerita Budug Basu, tokoh-tokohnya diperankan oleh para dewa, raksasa dan manusia (petani). Latar cerita sebagian besar berada di Kahyangan, dunia tempat tinggal pada dewa. Ceritanya memuat kisah tentang bagian dari kehidupan masyarakatnya, yakni pertanian, seperti asal-usul tanaman padi, irigasi, hama dan lain-lain. Hal tersebut menandakan bahwa cerita ini terjadi di waktu yang telah lampau namun memiliki relevansinya dengan masa kini. Selain itu, terdapat pula bagian dari masyarakatnya yang meyakini kebenaran cerita tersebut, ditandai dengan adanya kepercayaan terhadap dewi padi— Dewi Sri sebagai asal-usul padi—dan Budug Basu sebagai asal-usul dari ikan-ikan di laut.

Terkait nama tokoh Budug Basu, beberapa sumber memuat keterangan bahwa Budug Basu adalah tokoh yang digambarkan sebagai ‘kontra’ dari Dewi Sri atau tanaman padi. Dalam Encyclopedia of

Hinduism, disebutkan bahwa Budug Basu atau Udubasu adalah anjing

legendaris dalam cerita rakyat dari Jawa Barat yang menghancurkan tanaman padi yang telah diberikan kepada manusia. Sang penulis membandingkan Budug Basu dengan tokoh Udug Basur dalam mitologi India yang disebut sebagai tokoh yang di waktu lampau menghancurkan pulau Jawa.3

Keterangan lain yang menyebutkan Budug Basu sebagai hama tanaman padi juga terdapat dalam tulisan Kalsum tentang Wawacan

Sulanjana4 yakni sebuah versi cerita mitos padi dari daerah Jawa Barat.

Kemudian dalam hasil penelitian Suyami tentang Serat Cariyos Dewi

Sri5 dan tulisan Rusyana mengenai padi dalam khazanah sastra Sunda.6 Melihat kemiripan alur ceritanya, besar kemungkinan ketiga tulisan tersebut menggunakan versi cerita mitos padi dari daerah Sunda.

(5)

122

Selain itu, terdapat pula sumber yang menyebutkan Budug Basu dalam kaitannya dengan komuniti nelayan. Hasil penelitian Semedi7 tentang hubungan kebijakan perikanan nasional dan aktivitas lokal pada komunitas nelayan Jawa dari era kolonial hingga pertengahan 1990-an di Desa Wonokerto (pesisir utara Jawa Tengah) memuat keterangan Budug Basu. Dalam uraiannya ihwal kepercayaan dan ritual pokok nelayan Wonokerto, terdapat kisah Budug Basu yang menyebutkan bahwa tokoh itu berwujud raksasa dengan tubuh penuh penyakit kulit dan bau busuk serta gemar mengganggu padi dan manusia. Setelah dibunuh oleh Batara Guru, potongan tubuhnya yang berhamburan di laut menjelma menjadi ikan-ikan. Oleh karena itu, setiap tahun para nelayan harus mengadakan persembahan ke laut (sesajen) agar Budug Basu tidak muncul dan mengganggu kehidupan mereka.

Mengikuti keterangan Danandjaja mengenai mitos-mitos di Indonesia,8 cerita Budug Basu dapat dikelompokkan sebagai mitos mengenai asal-usul bahan pangan pokok suatu masyarakat. Dalam hal ini, pangan pokok yang disinggung adalah padi yang dikisahkan berasal dari jasad Dewi Sri. Dari sini kita mendapati satu motif pokok yakni ‘tumbuhan yang berasal dari jasad seorang wanita yang telah meninggal’. Menurut Lombard, mitos dengan motif demikian terdapat di seluruh Nusantara, termasuk pulau-pulau yang tidak tersentuh pengaruh India (nama Sri sendiri berasal dari India).9

Keberadaan mitos tersebut tidak lepas dari kultus pemujaan Dewi Sri. Ia dipercaya sebagai dewi kesuburan atau dewi padi bagi orang Jawa, yang mana tanaman padi dikisahkan berasal dari jasadnya. Cerita mengenai Dewi Sri atau mitos padi ini terdapat dalam banyak versi, tidak hanya terdapat di Jawa, namun juga di Bali dan Sulawesi.10 Di Jawa sendiri ada banyak sekali versi mitos padi, tetapi seperti yang ditegaskan Lombard, motif dasar dari seluruh cerita ini adalah padi yang tumbuh dari jasad atau kuburan seorang wanita. Maka dapat dikatkan kalau cerita Budug Basu merupakan salah satu versi cerita mitos padi yang berkembang di daerah Cirebon.

Dari keterangan di atas, hal menarik dari cerita ini adalah, kendati unsur dunia ‘pertanian’ terasa kental, ditunjukkan pula lewat kisah-kisah tentang asal-mula irigasi, ular sawah, hama tanaman padi, rasi bintang sebagai pedoman bertani, serta varietas tanaman khas pedesaan Jawa (bermacam jenis padi, aren, kelapa, gadung, pinang, jagung, dsb.),

(6)

123

namun cerita Budug Basu muncul bukan di tengah-tengah komuniti petani, melainkan nelayan.

Sebagai salah satu bentuk folklor, cerita Budug Basu disampaikan dari satu anggota ke anggota masyarakat lain secara lisan. Bentuk dari sarana transmisi itu adalah pertunjukan wayang purwa yang dipimpin seorang dalang. Dengan demikian pewaris aktif11 folklor tersebut adalah dalang. Pertunjukan wayang itu disertai ruwatan, sebuah upacara yang bertujuan untuk menangkal marabahaya. Lakon Budug Basu sendiri hanya dipentaskan dalam upacara Nadran, ritual pokok masyarakat nelayan.

Selain ditransmisikan secara lisan, cerita Budug Basu juga secara eksklusif ditransmisikan lewat tulisan. Seperti telah kita ketahui, tradisi menulis tumbuh di masyarakat Cirebon, khususnya di lingkungan keraton dan bangsawan. Para penulis maupun penyalin naskah tentu tidak hanya menulis atau menyalin suatu teks tapi juga membacanya. Dengan tidak terbatas pada semata sang penyalin sebagai pembaca, cerita ini tentu saja hidup di kalangan tertentu dalam masyarakatnya yang memiliki kemampuan serta akses membaca karya tulis itu. Melalui naskah kuno, mitos tidak hanya hidup secara lisan, tapi juga dalam tulisan. Melalui naskah kuno pula khazanah folklor didokumentasikan.

Konteks Sosial Cerita Budug Basu

Kemunculan cerita Budug Basu tidak bisa dilepaskan dari konteks serta sarananya yakni upacara Nadran dan pertunjukan wayang. Upacara Nadran dilaksanakan di pemukiman-pemukiman nelayan di seluruh Cirebon. Diketahui bahwa upacara ini dilaksanakan mulai dari daerah utara (barat) Cirebon seperti daerah Suranenggala, Gunung Jati, Mundu, Astanajapura, hingga bagian timur seperti Gebang dan Losari.12 Upacara ini tidak hanya terdapat di daerah Cirebon saja, tapi juga di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa dari bagian barat hingga tengahnya. Beberapa berita media melaporkan kegiatan upacara Nadran yang disebut juga ‘pesta laut’ atau ‘sedekah laut’ seperti terdapat di Karawang,13 Subang,14 Indramayu,15 Tegal,16 Pemalang,17 serta Pekalongan.18 Sungguh menarik bahwa dalam upacara Nadran di daerah-daerah luar Cirebon itu, sama pula dipentaskan wayang

lakon Budug Basu. Tak jarang pula dalang yang pentas memang berasal

(diundang) dari Cirebon. Dengan melihat informasi tersebut, tidak berlebihan kiranya jika mengambil kesimpulan bahwa Nadran adalah ritual komuniti nelayan Pulau Jawa, setidaknya di daerah pesisir utara.

(7)

124

Dari penuturan atas sejarah Cirebon seperti yang dituliskan oleh individu bagian dari masyarakatnya, yang dikenal sebagai Babad

Cirebon,19 dikatakan bahwa Cirebon berasal-mula sebagai “pedukuhan

nelayan kecil” yang dipimpin oleh seorang juru labuhan (syahbandar) dan kemudian menjadi desa yang diperintah oleh kuwu.20 Keterangan tersebut mengatakan bahwa Cirebon saat itu merupakan daerah tempat berlabuhnya kapal-kapal, pelabuhan dari kerajaan Galuh. Jika kita lihat konteks historis di masa tumbuhnya Cirebon, daerah ini merupakan salah satu pelabuhan di Pulau Jawa yang terhubung dengan jaringan perdagangan internasional, selain dalam lalu-lintas dagang antar pulau di Nusantara.21

Keberadaan Cirebon sebagai pedukuhan nelayan menandakan terdapatnya komuniti-komuniti yang kegiatan produksi sosialnya bertumpu pada hasil-hasil laut. Komuniti-komuniti ini termasuk dalam formasi sosial kerajaan Galuh yang pusat kekuasaannya berada jauh di selatan. Sebagai sebuah daerah yang tunduk pada pusat, Cirebon— yang disebut pula Caruban (asal kata Carub, Caruban atau Kebon Pesisir)22 dikepalai oleh juru pelabuhan. Sebagai pemimpin daerah, juru pelabuhan itu berarti termasuk dalam perangkat administratur negara dengan otoritas terhadap aktivitas pelabuhan serta pengiriman upeti ke pusat pemerintahan. Upeti dari daerah yang tunduk biasanya merupakan hasil produksi yang spesi k-khas dari masyarakatnya. Dari Cirebon, dua macam upeti yang dikirim ke Galuh yakni garam dan terasi (bulu bekti uyah kalawan terasi).23 Ini berarti, selain aktivitas menangkap ikan serta menjadi pelabuhan (baca: perdagangan), terdapat pula aktivitas produksi garam dan terasi. Semua aktivitas produksi ini pada hakikatnya bertumpu pada lautan.

Dalam babad dikisahkan juga bahwa pendiri Cirebon yakni Walangsungsang, selain beraktivitas penghidupan di laut, ia juga mengurus kebun yang ditanami palawija. Kendati demikian, bukan berarti bahwa budidaya padi terdapat di daerah tersebut. Tidak ada keterangan sama sekali dalam babad tentang usaha budidaya padi berbasis sawah. Meski begitu, saat ini Cirebon adalah salah satu produsen beras utama di Jawa Barat; rumah bagi banyak komuniti petani.

Dalam konteks ini, kita juga perlu melihat bahwa masyarakat Cirebon terdiri atas komuniti-komuniti petani. Dari aspek kultural, seperti contoh upacara Nadran sebagai ritual pokok dalam

(8)

siklus-125

hidup komuniti nelayan, komuniti petani memiliki ritual sejenis yang dilaksanakan seiring dengan siklus kerja pertanian. Dalam usaha budidaya padi, petani sepenuhnya tunduk pada hukum alam dari pertumbuhan tanaman padi. Pada dasarnya, budidaya padi ini bertujuan untuk menghasilkan padi dengan kualitas (juga kuantitas) yang baik, ditopang dengan praktik-praktik atas kondisi material pertumbuhan padi, seperti tanah, pengairan, penangkal hama, juga pemupukan, untuk memastikan pertumbuhannya berjalan lancar, baik, dan tanpa gangguan. Maka dari itu, usaha tersebut berjalan bertahap sejak masa persiapan hingga paskapanen.

Dalam tahapan-tahapan itulah, dilakukan ritual-ritual untuk memastikan kelancaran usaha sang petani yang ditujukan kepada pada kekuatan supranatural dan arwah-arwah leluhur. Setidaknya terdapat tiga upacara penting bagi komuniti petani Cirebon. Pertama adalah Sedekah Bumi, upacara ini dilaksanakan menjelang datangnya musim penghujan yang menandai waktu buat petani untuk mengolah tanah. Dalam upacara yang berlangsung sejak pagi hari ini, warga desa mengumpulkan makanan, terutama nasi yang dibuat tumpeng (dalam istilah lain, ‘hasil bumi’), yang mereka olah sendiri untuk dibawa ke lokasi upacara dan disimpan di hadapan panggung wayang. Kemudian dilaksanakan pementasan wayang purwa dengan lakon Bumiloka yang ditujukan untuk memanggil hujan. Setelah pentas wayang usai, sebagian makanan yang dikumpulkan itu menjadi jatah para perangkat desa dan sebagian lagi dibawa pulang para pembawanya untuk disantap bersama keluarga. Selanjutnya, ada upacara Barikan yang ditujukan untuk mengusir kekuatan supranatural yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman padi, yang dimanifestasikan dalam aneka hama tanaman padi. Ritual ini disertai pertunjukan wayang purwa dengan lakon Tulak Tanggul. Ketika masa panen padi tiba, warga desa menyelenggarakan upacara Mapag Sri sebagai wujud syukur mereka atas panen yang dihasilkan, disimbolkan lewat penghormatan terhadap Dewi Sri, sang dewi padi. Dalam upacara ini dipentaskan lakon Sri-Pandawa yang mengisahkan kemenangan kerajaan Astina serta Dewi Sri dalam mengalahkan kerajaan siluman yang berupaya mengganggu usaha budidaya padi sawah rakyat petani Astina.

Secara umum, kita dapat melihat bahwa masyarakat Cirebon terdiri dari kaum tani, nelayan, serta pedagang. Keberadaan nelayan setidaknya sudah tercatat sejak awal-mula pertumbuhan Cirebon, di

(9)

126

samping peran daerah tersebut sebagai pelabuhan yang tentu terkait dengan perdagangan. Meski dalam babad tidak ada keterangan muasal tentang komuniti petani, namun dalam perkembangan sejarah kita ketahui Cirebon berkembang menjadi salah satu daerah produsen padi.24 Pada konteks sosial masyarakat Cirebon yang utamanya terdiri dari komuniti petani dan nelayan inilah, folklor cerita Budug Basu perlu kita tempatkan. Setidaknya, cerita yang diketahui muncul dalam komuniti nelayan ini secara jelas mengkon rmasi keberadaan dua komuniti tersebut, seperti disimbolkan oleh Dewi Sri, dewi padi dan Budug Basu, si raja ikan.

Perhatian berikutnya adalah upacara Nadran. Ada dua kegiatan pokok dalam upacara Nadran, yakni melarung sesajen ke tengah laut dan pertunjukan wayang Budug Basu yang juga ruwatan nelayan. Warga nelayan yang merayakan upacara ini juga umumnya mengadakan makan-makan bersama keluarga, baik dilakukan di atas perahu di tengah laut (usai prosesi melarung sesajen) atau di rumah-rumah mereka. Pelaksanaan upacara ini diorganisir oleh warga nelayan sendiri. Di tingkat desa, pelaksananya adalah pengurus koperasi tempat pelelangan ikan yang dibantu warga. Sementara di tingkat pemukiman yang terbagi dalam blok-blok, dilakukan oleh warga sendiri. Tidak ada jadwal seragam di tiap komuniti nelayan Cirebon untuk melaksanakan Nadran. Meski demikian, tiap desa biasanya memiliki jadwal tetap, contohnya seperti desa Mertasinga pada bulan Maret-April atau desa Gunung Jati pada bulan Desember. Secara aktual, upacara Nadran dimasukkan dalam agenda pariwisata daerah oleh pemerintah kabupaten Cirebon,25 seperti yang telah dilaksanakan di dua desa tersebut.

Upacara ini dimulai dari pagi hari, diawali dengan melarung sesajen ke tengah laut. Sesajen itu ada banyak sekali macamnya, tetapi yang paling utama dari semua itu adalah kepala kerbau. Meskipun kini orang-orang tidak secara khusus mengurbankan kerbau untuk sebuah upacara Nadran, namun kedudukan utama dari sajen kerbau itu mengindikasikan bahwa Nadran merupakan suatu bentuk upacara tertua dan masih dilakukan di Jawa sampai sekarang. Seorang pakar epigra , Damais mengemukakan bahwa bahasa Jawa maesan yang berarti ‘batu kuburan’ berasal dari kata maesa atau kerbau yang kemungkinan karena batu tersebut menggantikan tonggak kurban penambatan kerbau yang umumnya disembelih waktu pemakaman pada zaman pra-Islam.26 Upacara pengurbanan kerbau sendiri terdapat

(10)

127

di seluruh Asia Tenggara, bahkan sampai Cina selatan.27 Kepala kerbau beserta aneka-macam sesajen untuk melarung ditempatkan di dalam replika sebuah perahu. Usai melarung, dimulailah pentas wayang lakon Budug Basu yang biasanya berakhir sampai sore hari.

Pada praktiknya, seringkali lakon Budug Basu tidak menampilkan cerita secara utuh seperti yang tersaji dalam naskah kuno. Dalam membawakan lakon Budug Basu, para dalang di antaranya berpedoman pada kitab-kitab pedalangan yang memuat lakon-lakon pewayangan. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa cerita yang dimuat di kitab pedalangan dalam bentuk lakon dan cerita yang dimuat dalam naskah-naskah kuno yang kami temukan berbeda bentuknya. Di kitab pedalangan yang berjudul Pustaka Raja28 memuat banyak lakon pewayangan, cerita ditulis dalam bentuk garis besar atau pokok-pokok cerita saja, yang disusun berdasarkan pembagian babak (jejer) secara berkesinambungan (satu alur cerita). Karena yang dimuat hanya pokok-pokok ceritanya saja, maka kisahnya tidak rinci. Bentuk ini sepertinya disesuaikan dengan pengguna teksnya yakni dalang, yang berpedoman pada pokok-pokok cerita tersebut, sehingga ia bisa mengembangkan cerita sesuai dengan eksplorasinya di atas panggung.

Demikian, maka tidak jarang cerita Budug Basu dibawakan secara singkat untuk segera melangsungkan acara ruwatan yang ditunggu-tunggu oleh warga. Di akhir ruwatan, setelah dalang menyampaikan doa-doa dan mantra, warga akan berebut air kembang yang mereka anggap dapat mendatangkan berkah. Usai riuh-rendah ini berakhirlah ritual Nadran.

Cerita Budug Basu dalam Khazanah Naskah

Sejauh ini telah ditemukan enam buah naskah kuno dengan teks Budug Basu. Dari sekian naskah kuno itu, dapat diketahui terdapat dua orang penulis. Satu naskah kuno berjudul Serat Satriya Budug

Basu (SSBB) ditulis oleh Pangeran Sujatmaningrat. Sementara teks

lain ditulis oleh Pangeran Adipati Mohamad Alaida dalam naskah kuno Lampahan Ringgit Budug Basu (LRBB), kemudian Lampahan

Budug Basu (LHBB), Cerita Budug Basu (CBB), serta dalam naskah

salinan yang ditulis oleh C.M. Pleyte bertajuk Carios Kanda Budug

Basu (CKBB). Mengenai C.M. Pleyte ini (1863-1917), dia adalah

ilmuwan Belanda yang menaruh minat besar terhadap budaya Sunda. Selama berada di tanah jajahan Hindia-Belanda pada awal abad 20 ia banyak membuat salinan cerita rakyat Tatar Sunda yang ditulis dengan

(11)

128

huruf latin.29 Terdapat pula naskah lain hasil salinan Pleyte yang ditulis dalam bahasa Sunda dengan tajuk Lalakon Budug Basu (LKBB), yang ceritanya berbeda dengan beberapa naskah sebelumnya.

Cerita Budug Basu yang tertulis pada naskah kuno, salah satunya tersimpan di Museum Sanabudaya Yogyakarta yaitu SSBB, ditulis menggunakan aksara Carakan (aksara Jawa-Cirebon). Naskah ini disertai ilustrasi-ilustrasi yang menggambarkan sebagian cerita Budug Basu dalam bentuk wayang, berwarna-warni dan berukuran besar. Naskah SSBB kondisinya masih bagus, tintanya masih jelas, hitamnya belum begitu memudar dan tulisan masih dapat dibaca dengan jelas. Pada naskah SSBB terdapat informasi dari kolofon30 yang menyebutkan asal naskah kuno dari Cirebon.31 Bahasa yang digunakan dalam naskah SSBB adalah bahasa Jawa-Cirebon. Bahasa Jawa-Cirebon adalah bahasa Jawa yang digunakan di wilayah pesisir utara Pulau Jawa, di antaranya Cirebon dan Indramayu. Bahasa Jawa yang digunakan ini memiliki dialek yang khas, yakni dialek pesisiran.

Empat naskah kuno lainnya juga menggunakan bahasa Jawa-Cirebon dan satu naskah memakai bahasa Sunda, yakni naskah kuno yang disalin Pleyte. Ada dua naskah disalin Pleyte sekitar tahun 1913, satu naskah menggunakan bahasa Jawa-Cirebon berjumlah 50 halaman dan satu naskah menggunakan bahasa Sunda berjumlah 20 halaman. Naskah Pleyte dalam bahasa Jawa-Cirebon, teksnya sama persis dengan naskah kuno yang tersimpan di Keraton Kasepuhan yaitu naskah LRBB, serta naskah LBB yang dimiliki seorang seniman Cirebon.

Tiga diantara naskah-naskah tersebut memakai aksara Carakan (Museum Sanabudaya, milik pribadi, dan Keraton Kasepuhan), sementara yang lainnya manggunakan aksara Latin, yaitu dua naskah yang merupakan hasil transliterasi Pleyte. Selain naskah SSBB, ada satu naskah yang diberi judul oleh Ridwan Cerita Budug Basu juga terdapat ilustrasi di dalamnya, sementara naskah BB yang lain tidak memiliki iluminasi maupun ilustrasi.

Enam naskah yang ditemukan ditulis atau disalin di Cirebon. Naskah SSBB tertulis 1837 tahun Babad, atau 1903 M sehingga umur naskah SSBB apabila dihitung sampai 2013 sekitar 110 tahun. Naskah LRBB ditulis tahun 1909 tercantum pada teks dan usia naskah 104 tahun. Naskah CKBB dan LKBB ditulis oleh Pleyte tahun 1913 dan berusia 100 tahun. Dua naskah lainnya yaitu naskah LHBB dan CRBB tidak memiliki keterangan tahun penulisan atau penyalinan.

(12)

129

Naskah-naskah yang ditemukan memiliki perbedaan wujud teks, yaitu empat naskah berbentuk prosa dan dua naskah berbentuk puisi. Bentuk puisi di Cirebon disebut tembang macapat. Naskah yang berbentuk tembang macapat adalah SSBB dan CBB. Namun karena naskah Cerita Budug Basu hanya ditemukan satu lembar, dengan demikian naskah SSBB dianggap lebih lengkap dan menarik perhatian Ridwan32 dengan pertimbangan naskah tersebut selain berwujud puisi, juga memiliki goresan ilustrasi yang tentunya menyiratkan sesuatu, misalnya tokoh yang berwatak baik atau jahat terlihat pada bentuk gores wajah atau tubuh. Selain memiliki ilustrasi yang menawan, keunikan naskah SSBB lainnya adalah keberadaannya di Museum Sanabudaya. Hal tersebut harus ditelusuri lebih lanjut, mengapa naskah SSBB tersimpan di Museum Sanabudaya, padahal menurut kolofon naskah tersebut berasal dari salah satu keraton di Cirebon.33

Selanjutnya, perbedaan antara dua cerita Budug Basu mencakup pada alur cerita serta kemunculan nama-nama tokoh serta latar belakang tempat. Akan tetapi perbedaan nama tokoh dan tempat itu tidak kita lihat sebagai perbedaan yang substansial sebab yang lebih diperhatikan adalah kedudukan serta relasi antara tokoh dan tempat atau struktur cerita yang bisa kita katakan sebetulnya tetap atau sama.

Dari dua penulisan ini, kita ketahui bahwa pada dasarnya cerita Budug Basu berkisah mengenai tokoh Dewi Sri dan Budug Basu yang kemudian dipertemukan sebagai jodoh oleh Batara Guru. Akan tetapi meski dijodohkan keduanya tidak bisa langgeng bersama, ketika Dewi Sri yang cantik jelita mengetahui kalau jodohnya Budug Basu itu adalah orang yang telah dikutuk dan budugan, penyakitan, di sekujur badannya. Sang dewi bersikukuh untuk menolak Budug Basu sampai-sampai memutuskan mati saja daripada hidup bersama, sementara itu Budug Basu yang patah hati ditinggal pujaan akhirnya pun memilih mati agar tetap bisa bertemu Dewi Sri di alam lain.

Dalam versi SSBB, cerita diawali dari kisah genealogi (keturunan, leluhur) Budug Basu (Lingling Sukma) sampai mengenai latar belakang kutukan seribu penyakit yang diterima Budug Basu. Sementara dalam versi LRBB, cerita diawali dari kisah kelahiran Dewi Puwaci (Dewi Sri) sampai diangkatnya menjadi bidadari di Suralaya. Selanjutnya di bagian tengah, sama-sama bercerita mengenai pertemuan Budug Basu dan Dewi Sri yang dilanjutkan pada kisah kematian mereka. Dalam versi LRBB, cerita ditutup dengan kisah dari abdi-abdi Budug Basu

(13)

130

yang mengganggu tanaman padi dan petani. Sementara versi SSBB ditutup dengan kisah mengenai menjelmanya jasad atau kuburan Dewi Sri menjadi aneka tumbuhan sedangkan Budug Basu menjelma aneka hewan termasuk ikan-ikan di lautan.

Tentang Penulis Naskah

Nama penulis yang sama tercantum pada tiga naskah Budug Basu yaitu Pangeran Adipati Mohammad Jamaludin Alaida yang ditulis pada 5 Februari 1909 di Keraton Kesepuhan. Sementara naskah SSBB menyebutkan nama yang berbeda, yaitu Pangeran Sujatmaningrat yang merupakan keturunan Keraton Kanoman dan tinggal di Gebang (salah satu wilayah pesisir Cirebon). Namun, pada naskah berbahasa Sunda dan naskah Cerita Budug Basu tidak ditemukan nama penulisnya.

Dengan melihat tiga naskah yaitu LRBB, CKBB, dan LHBB, muncul dugaan kuat perihal naskah tersebut disalin dari karya Pangeran Adipati Mohamad Jamaluddin Alaida. Mengingat medium yang digunakan serta tarikh pada naskah Pangeran Adipati Mohammad Jamaluddin Alaida yaitu 5 Februari 1909. Dilihat dari kolofon, penulis teks naskah kuno tersebut berasal dari kalangan keraton karena jabatan lengkapnya disebut pada salah satu naskah. Jika melihat zamannya dipastikan karya ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Sepuh ke-XI Raja Aluda Tajul Ari n (1899-1942).

Namun, dalam teks naskah SSBB, LKBB, dan CBB keterangan penulis tidak tercantum, dengan kata lain tidak terdapat keterangan yang lengkap dari naskah. Hanya bertuliskan tahun pembuatan dan keterangan pemilik. Disebutkan beberapa nama, di antaranya pada halaman pertama naskah SSBB terdapat informasi naskah tersebut milik Ratu Mas Ugnyana Resminingrat. Terdapat pula catatan yang menyatakan bahwa naskah diperoleh dari orangtuanya yang telah meninggal, bernama Pangeran Sujatmaningrat pada 10 Jumadilawal 1332 (6 April 1914). Nama terakhir disebutkan karna kemungkinan besar sebagai adalah naskah kuno tersebut.

Selanjutnya kita ketahui kalau naskah kajian kita ini ditulis oleh dua penulis yang berasal dari jalur silsilah berbeda, yakni dari silsilah Kasepuhan dan Kanoman. Pertama, Pangeran Adipati Mohamad Jamaludin Alaida adalah Wakil Sultan Sepuh XI Raja Aluda Tajul Ari n yang bertahta sejak tahun 1899-1942 di Keraton Kasepuhan Cirebon. Dilihat dari masa bertahtanya sultan tersebut merupakan

(14)

131

periode yang menarik sebab dalam waktu itulah Nusantara sedang bergerak meninggalkan abad 19 untuk melangkah ke abad 20, dari masa pemerintahan kolonial sampai awal pendudukan Jepang.

Penulis lainnya adalah Pangeran Sujatmaningrat. Tentang nama ini, di lingkungan keraton Cirebon dikenal dua pribadi dengan nama yang hampir sama serta sama-sama penulis naskah. Pertama adalah Pangeran Jatmaningrat yang berasal dari Keprabonan. Ayahnya adalah Pangeran Brataningrat. Cikal bakal silsilah Keprabonan sendiri dimulai dari keturunan pertama Sultan Anom I Mohammad Badrudin, yakni Sultan Anom Raja Madureja Kadirudin yang mewarisi tahta Kanoman. Dalam masa sultan itulah silsilah pertama Keprabonan dimulai, dari saudara kandungnya sendiri yakni Pangeran Raja Adipati Kaprabon. Dengan begitu, ayah dari Pangeran Jatmaningrat adalah keturunan ketiga dalam silsilah Keprabonan.

Setelah Pangeran Brataningrat, tahta Keprabonan dilanjutkan oleh anaknya Pangeran Raja Sulaeman Sulendraningrat, tak lain adalah saudara kandung dari Pangeran Jatmaningrat. Pangeran Sulaeman pernah menempati pejabat pengganti sementara dari Sultan Kaerudin (Kanoman) sebab di masa itu pembesar keraton di Cirebon telah diangkat menjadi pegawai pemerintah kolonial Belanda.

Menurut keterangan Elang Hilman, seorang keturunan Keraton Cirebon, Pangeran Sulaeman memberi amanat pada adiknya Pangeran Jatmaningrat untuk menulis beberapa naskah yang kelak akan digunakan untuk kepentingan putra dan keturunannya. Amanat ini juga berkenaan dengan kedudukannya yang telah menjadi pejabat pengganti sementara di Keraton Kanoman. Sementara sang adik berkemampuan untuk hal tersebut sebab ia adalah seorang guru tarekat. Selain menulis naskah yang kebanyakan berisi mengenai agama,

tarekat, dan primbon, Pangeran Jatmaningrat juga aktif mendirikan

dan menggelar pengguron. Hal ini tidak mengherankan sebab ayah mereka, Pangeran Brataningrat, juga seorang pemimpin pengguron di Cirebon. Diketahui bahwa Pangeran Jatmaningrat masih hidup sampai masanya Pangeran Angkawijaya (cucu Pangeran Sulaeman).

Yang kedua adalah Pangeran Sujatmaningrat dari daerah Gebang. Sama seperti Pangeran Jatmaningrat di Keprabonan, ia telah melahirkan banyak karya tulis. Tetapi bukan soal tarekat yang ditulisnya, melainkan sastra atau cerita rakyat. Oleh karena itu, dengan melihat pada karakteristik dari teks yang ditulisnya, yakni pada Serat Satriya

(15)

132

Budug Basu yang disertai ilustrasi khas wayang, menurut pengamatan

Elang Hilman naskah tersebut kemungkinan besar ditulis oleh Sujatmaningrat dari Gebang, bukan Jatmaningrat dari Keprabonan. Pribadi yang disebut terakhir kurang meyakinkan untuk menulis teks Budug Basu sebab dilihat dari karya-karyanya yang lain kebanyakan bertema tarekat, agama, dan primbon. Juga ciri dari ilustrasinya tidak biasa terdapat pada hasil karya beliau. Dengan melihat bahwa Sujatmaningrat dari Gebang memang banyak menulis naskah berisi cerita rakyat, sangat mungkin bila teks Budug Basu disini merupakan karya tulis beliau.

Sujatmaningrat adalah anak dari Pangeran Susila Rahadia dengan Nyi Mas Paku. Ia bersaudara kandung dengan Pangeran Sujananingrat, Pangeran Wasitaningrat, dan Pangeran Kusumaningrat. Ia merupakan keturunan dari Kanoman sebab Pangeran Susila Rahadia sendiri adalah anak dari Sultan Imanuddin yang juga Sultan Kanoman ke V (1803-1811).

Bagaimana Pangeran Sujatmaningrat yang merupakan keturunan Keraton Kanoman bisa berada di Gebang? Menurut dongeng, ia dikenal sebagai Pangeran Penganten. Nama tersebut dilekatkan padanya sebab konon ia pernah dijodohkan dengan Nyi Mas Udana Baya, ratu siluman yang menjaga Cirebon, di daerah Klangenan. Di sana terdapat sebuah pohon besar dengan lubang kecil. Jika Sujatmaningrat datang, lubang kecil itu akan membesar menyerupai sebuah gerbang yang di dalamnya terdapat desa. Oleh karena ia berani menolak menjadi pengantin ratu siluman, ia pun dihormati. Jika Nyi Mas sedang melaksanakan hajatan, Sujatmaningrat selalu diundang dan hadir. Sebab itu ia dijuluki demikian (penganten), sebab meskipun menolak jadi pengantin dengan ratu siluman, ia tetap menghargai mereka dengan memenuhi undangannya. Sujatmaningrat adalah orang yang memiliki kesaktian.

Konon pula, Sujatmaningrat pergi dari keraton Kanoman dengan tujuan mencari jati diri, hingga akhirnya ia tiba di satu tempat yang mana terdapat pohon gebang (Corypha Utan) yang tinggi sekali. Gebang itu adalah pohon yang daunnya digunakan sebagai bahan media tulisan. Di Gebang, ia kemudian menikah dengan Ratu Canggih lalu menetap di sana. Mengenai riwayat Ratu Canggih dan Gebang seperti ini kisahnya. Pada abad ke-16, Gebang, terletak di timur Cirebon (arah menuju Jawa Tengah), termasuk dalam wilayah Kesultanan Cirebon di bawah pimpinan Sunan Gunung Jati. Penguasanya adalah Pangeran Wira

(16)

133

Sutajaya. Sekurangnya pada 1689 Gebang telah menyatakan berpisah dari Cirebon dan kemungkinan daerah ini kemudian ada di bawah kekuasaan Mataram. Hal tersebut ditunjukkan dengan ketetapan VOC pada 1708 yang menyatakan bahwa daerah-daerah yang diserahkan Mataram kepada VOC mencakup Sumenep, Pamekasan, Pemalang, Gebang, Cirebon, Sumedang, Indramayu, Pamanukan, Ciasem, Tanjungpura, dan Priangan, yang kepala-kepala penguasanya tetap berkuasa atas penduduk daerah tersebut. Pada tahun yang sama, VOC mengadakan perjanjian dengan Gebang sebagai pernyataan kesetiaan Gebang kepada Kompeni.34

Informasi tersebut menunjukkan bahwa setidaknya kala Gebang menyatakan hendak berpisah dari Cirebon, kedudukannya kemudian berada di bawah Mataram. Hal ini sejalan dengan keterangan Elang Hilman, bahwa Gebang yang dipimpin oleh Sutajaya merupakan ‘kerajaan’ atau ‘kepangeranan’ yang diakui oleh Mataram. Ia menambahkan bahwa Pangeran Sutajaya kemudian dijadikan menantu oleh raja Mataram, yaitu Amangkurat I.

Sampai tiba di awal abad ke-19, yang ditandai dengan timbulnya berbagai pemberontakan petani di tanah Jawa, termasuk di Gebang, pemerintah kolonial Belanda kemudian memecat penguasa Gebang saat itu, membubarkan keraton, lalu membagikan kekuasaan Gebang kepada tiga keraton Cirebon. Penguasa terakhir yang dipecat Belanda adalah Pangeran Sutajaya Upas. Ia kemudian ada dalam pengawasan Belanda. Sang pangeran memiliki anak bernama Pangeran Alibassa, yang menjadi penguasa Gebang terakhir ketika ‘kepangeranan’ itu dihapuskan oleh Belanda. Semula sang pangeran serta keluarganya tinggal di Susukan (Ciawi Gebang) tapi lantas dipindahkan oleh Belanda ke Cirebon, ikut serta dalam pengawasan Pangeran Sutajaya Upas, ayahnya. Pangeran Alibassa memiliki adik bernama Ratu Canggih, yang kemudian dinikahi oleh Pangeran Sujatmaningrat. Mereka kemudian menetap di Gebang.

Menurut penuturan Elang Hilman, ada kemungkinan bahwa Pangeran Sujatmaningrat adalah seorang guru atau mursyid yang kemudian tinggal di luar keraton. Ia adalah mursyid dari tarekat

Baddariyah. Menurut keluarganya, tujuan ia menulis naskah yakni

sambil membuat kelakuan, laku, atau nglakoni tapa. Jadi ia berpuasa sambil menulis. Mungkin juga ia keluar dari keraton untuk pergi ke tengah rakyat dalam rangka syiar agama. Memang kebanyakan

(17)

134

pangeran tua dari keraton bergiat melakukan syiar di daerah-daerah kecil seperti Ciledug, Sindang Laut, Sindang Kempeng, dsb. Saudara kandung Sujatmaningrat juga demikian, Pangeran Wasitaningrat pergi ke Ciledug, sementara Pangeran Kusumaningrat ke Sindang Laut. Dan menurut keterangan Elang Hilman, Sujatmaningrat termasuk penikmat pertunjukan lakon Budug Basu saat upacara Nadran berlangsung di Gebang. Ia menuliskan cerita Budug Basu dengan tujuan pendokumentasian cerita atau lakon yang diceritakan oleh dalang.

(18)

135

Lampiran

Naskah Serat Satriya Budug Basu karya Pangeran Sujatmaningrat (Gebang) Sumber foto: Museum Sanabudaya, Yogyakarta

Pangeran Sujatmaningrat dari Gebang, Cirebon Sumber foto: Elang Hilman

(19)

136

Pertunjukan lakon Budug Basu dan Dewi Sri di upacara Nadran, Desa Bondet, April 2012

Sumber foto: Fuad Abdulgani

Catatan Kaki

• Makalah ini pernah disampaikan di Simposium Internasional XIV Masyarakat Pernaskahan Nusantara di PKKH UGM, 11 – 13 September 2012.

1. Achadiati Ikram, Filologia Nusantara (Jakarta: Balai Pustaka), 1997: 10-22. 2. Bascom dalam James Danandjaja, Folklor Indonesia (Jakarta: Gra ti) 2007: 50. 3. N.K. Singh, Encyclopaedia of Hinduism (Anmol Publications PVT. LTD), 2000: 1424. 4. Kalsum. Kearifan Lokal Dalam Wawacan Sulanjana: Tradisi Menghormati Padi Pada

Masyarakat Sunda di Jawa Barat, Indonesia dalam Sosiohumanika 3 (1), 2010: 79-94.

5. Suyami, Serat Cariyos Dewi Sri dalam Perbandingan (Yogyakarta: Kepel Press), 2001. 6. Yus Rusyana, Pare di Dalam Sastra Sunda (makalah Seminar Sastra Nusantara

Mengenai Makanan Rakyat), 1991, http://www.sunda.org/SundaClippings/ TextAfterDBloadComplete/img024.doc.txt

7. Pujo Semedi, Close To the Stone, Far From the  rone (Yogyakarta: Benang Merah), 2003: 52-54.

8. Danandjaja, 2007: 52.

9. Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya jilid III, (Jakarta: Gramedia), 2005: 82. 10. Cerita dari Bali lihat Suyami, 2001: 430-433; dari Sulawesi Selatan lihat Christian

Pelras, Bugis (Jakarta: Nalar), 2005: 107-8.

11. Mengikuti klasi kasi von Sydow dalam Danadjaja, 2007: 28; pewaris aktif adalah bagian dari masyarakat yang aktif menyebarkan suatu bentuk folklor. Sedangkan pewaris pasif yakni anggota masyarakat yang cenderung hanya menjadi penikmat suatu bentuk folklor tanpa berpartisipasi untuk menyebarkannya.

12. Tentang Nadran dan deskripsi pertunjukan wayang Budug Basu, lihat Fuad Abdulgani,

Cerita Budug Basu: Mitos di Komuniti Nelayan Cirebon (skripsi jurusan Antropologi

Universitas Padjadjaran, tidak diterbitkan), 2012.

13. www.karawanginfo.com (berita 15 Desember 2008, Pesan Budaya Dari Pesta Laut

(20)

137

14. www.tatarsubang.co.cc (berita 7 September 2009, Nadran).

15. www.portalcirebon.blogspot.com (berita 23 Oktober 2009, Tradisi Nadran Pada

Nelayan Indramayu).

16. www.suaramerdeka.com (berita 3 Maret 2004, Puluhan Juta Rupiah Untuk Sedekah

Laut).

17. www.radartegal.com (berita 29 September 2009, Budug Basu-Dewi Pohaci dalam

Sedekah Laut).

18. Semedi, 2006: 49-55.

19. P.S. Sulendraningrat, Babad Cirebon (tanpa tahun).

20. Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: KPG), 2009: 159.

21. Abad 14-16, untuk lebih rinci dan mendalam atas ‘perdagangan jalur maritim’ atau zaman perdagangan itu lihat Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga

1450-1680. Jilid 1: Tanah di Bawah Angin (Jakarta: YOI), 2011. Sementara untuk

lalu-lintas dagang antar pulau di Nusantara lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gajah Mada University Press), 2007.

22. Tjandrasasmita, 2009: 161. 23. Tjandrasasmita, 2009: 161.

24. Sebagai contoh kajian masyarakat petani di Cirebon, lihat kajian Jan Breman yang menyoroti daerah Cirebon timur dalam masa pemerintah jajahan, Penguasaan Tanah

dan Tenaga Kerja; Jawa di Masa Kolonial, (Jakarta: LP3ES), 1986.

25. Ekonomi Kreatif Cirebon Mengarah ke Pariwisata (berita 13 Juli 2012), http://www. lingkarjabar.net/2012/07/ekonomi-kreatif-cirebon-mengarah-ke.html (diakses 4 Maret 2013).

26. Pendapat Louis-Charles Damais ini dikemukakan oleh Lombard, 2005: 82. 27. Lombard, 2005: 82.

28. Kitab yang sudah dalam bentuk fotokopi ini ditunjukkan oleh dalang Sudarso di Kapetakan, Cirebon.

29. Mengenai riwayat hidup ringkas dan ketertarikannya pada budaya Sunda lihat tulisan Atep Kurnia berjudul C.M. Pleyte dan Wacana Sunda (2010). http://cabiklunik. blogspot.com/2011/01/cm-pleyte-dan-wacana-sunda.html

30. Keterangan/catatan tambahan mengenai asal-usul naskah atau teks dalam naskah. 31. Ketika penelitian ini dilakukan, naskah SSBB masih berada di Yogyakarta dan utuh

tersimpan di Museum Sanabudaya.

32. Silahkan baca kajian lengkapnya pada tesis Sinta Ridwan, Serat Satriya Budug Basu:

Mitos Masyarakat Pesisir Cirebon. Sebuah kajian lologis (Jatinangor: Unpad), 2011,

tidak diterbitkan.

33. Di Cirebon terdapat empat keraton, yaitu Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan dan Keprabonan. Sebelum berdiri menjadi keraton, Cirebon adalah sebuah “nagari” yang berada di wilayah Kerajaan Galuh, bernama Caruban Nagari.

34. Lihat Didi Wiardi, Bertahan Untuk Tidak Gugur, Religi (Adat) Cigugur dalam A. Budi Susanto, Sisi Senyap Politik Bising (Yogyakarta: Kanisisu), 2007: 161-217.

Bibliogra

Abdulgani, Fuad. 2012. Cerita Budug Basu Mitos di Komuniti Nelayan Cirebon (skripsi). Jatinangor: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran (tidak diterbitkan). Breman, Jan. 1986. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja; Jawa di Masa Kolonial. Jakarta:

(21)

138

LP3ES.

Danandjadja, James. 2007. Folklor Indonesia; Ilmu gossip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Gra ti.

Ikram, Achdiati. 1997. Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kalsum. 2010. Kearifan Lokal Dalam Wawacan Sulanjana: Tradisi Menghormati Padi Pada

Masyarakat Sunda di Jawa Barat, Indonesia dalam Sosiohumanika 3(1), hal. 79-94.

Kurnia, Atep. “C.M. Pleyte dan Wacana Sunda” Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 23 Januari 2010. http://cabiklunik.blogspot.com/2011/01/cm-pleyte-dan-wacana-sunda. html

Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa Silang Budaya jilid III. Jakarta: Gramedia.

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO.

Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di

Bawah Angin. Jakarta: YOI.

Ricklefs, M. C. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press.

Ridwan, Sinta. 2011. Serat Satriya Budug Basu Mitos Masyarakat Pesisir Cirebon: Kajian

Filologis (tesis). Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (tidak diterbitkan)

Rusyana, Yus. 1991. Pare di Dalam Sastra Sunda (makalah Seminar Sastra Nusantara Mengenai Makanan Rakyat). Sumber: http://www.sunda.org/SundaClippings/ TextAfterDBloadComplete/img024.doc.txt

Semedi, Pujo. 2006. Close To  e Stone, Far From  e  rone. Yogyakarta: Benang Merah.

Singh, N.K. Encyclopaedia of Hinduism. 2000. Anmol Publications PVT. LTD. Sulendraningrat, P.S. Babad Cirebon. (tanpa tahun & penerbit)

Sunardjo, Unang. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan

Cerbon 1479-1809. Bandung: Tarsito.

Suyami. 2001. Serat Cariyos Dewi Sri dalam Perbandingan. Yogyakarta: Kepel Press. Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG.

Wiardi, Didi. 2007. Bertahan Untuk Tidak Gugur, Religi (Adat) Cigugur (hal. 161-217) dalam A. Budi Susanto, 2007, Sisi Senyap Politik Bising, Yogyakarta: Kanisius.

__________________________

Referensi

Dokumen terkait

berhubungan dengan persepsi mereka tentang peranan televisi dalam penyebaran informasi pertanian, sedangkan jenis siaran yang diminati petani berhubungan dengan persepsi

Langka" dasar (basi% s$e&s) Terdapat t!j!h langah dasar dalam senam aer%i& sehingga langah ini sering dise!t seagai se6en asic steps. Pengemangan dari

Metode penelitian yang penulis lakukan untuk menulis tesis ini adalah interview atau wawancara secara langusung kepada tujuh orang mahasiswa yang pernah terikat oleh

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan eksperimen laboratorium dengan sampel lima puluh dua mahasiswa yang terdiri dari mahasiswa program Mag- ister Akuntansi, Magister

bakteri ke dalam media CRA menunjukkan hasil bahwa hanya 2 dari 14 (14.2 %) isolat MRSA yang mempunyai kemampuan membentuk biofilm, hal ini diamati dari pertumbuhan koloni pada

Menyimak kritis (critival listening) adalah sejenis kegiatan menyimak yang berupa untuk mencari kesalahan atau kekeliruan bahkan juga butir-butir yang baik dan

Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut perusahaan memerlukan sejumlah dana untuk dijadikan sebagai modal kerja yang dapat digunakan baik untuk keperluan

4 Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memanfaatkan limbah ampas kopi untuk menurunkan kadar kadmium pada air sumur yang berada di sekitar TPA Pakusari