• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEROWONGAN.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEROWONGAN.pdf"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II Bab II

Tinjauan Pustaka Tinjauan Pustaka

II.1

II.1 Tegangan pada Tegangan pada Penggalian TerowonganPenggalian Terowongan

Penggalian terowongan pada massa tanah/batuan membawa perubahan kondisi Penggalian terowongan pada massa tanah/batuan membawa perubahan kondisi tegangan di area sekitarnya dan ruang akibat penggalian menyebabkan terjadinya tegangan di area sekitarnya dan ruang akibat penggalian menyebabkan terjadinya displacement 

displacement . Akibat lain adalah terjadinya degradasi tegangan tanah/batuan di. Akibat lain adalah terjadinya degradasi tegangan tanah/batuan di area penggalian yang bersifat merugikan bagi stabilitas.

area penggalian yang bersifat merugikan bagi stabilitas.

II.1.1

II.1.1 Akumulasi Akumulasi Tegangan Tegangan Akibat Akibat Penggalian Penggalian TerowonganTerowongan

Tegangan vertikal pada penampang tanah/batuan merupakan fungsi kedalaman. Tegangan vertikal pada penampang tanah/batuan merupakan fungsi kedalaman. Dengan mengetahui tegangan vertikal pada suatu titik, dapat dihitung tegangan Dengan mengetahui tegangan vertikal pada suatu titik, dapat dihitung tegangan horizontal titik tersebut melalui hubungan rasio Poisson. Hubungan tegangan ini horizontal titik tersebut melalui hubungan rasio Poisson. Hubungan tegangan ini dirumuskan dengan : dirumuskan dengan :

σ

σ

vv ==

γγ

.h .h (II.1)(II.1)

σ

σ

hh ==

σ

σ

vv..

μμ

 /(1 – /(1 –

μμ

) ) (II.2)(II.2)

σ

σ

vv = = tegangan tegangan vertikal vertikal (KN/m(KN/m22))

σ

σ

hh = = tegangan tegangan horizontal horizontal (KN/m(KN/m22))

γγ

= = massa massa jenis jenis tanah/batuan tanah/batuan (KN/m(KN/m33)) h

h = kedalaman = kedalaman (m)(m)

μμ

= rasio = rasio PoissonPoisson

Pada Gambar

Pada Gambar II.1.a. tampak II.1.a. tampak kondisi awal tegangan kondisi awal tegangan vertikal bernilai seragam divertikal bernilai seragam di tiap titik dengan kedalaman yang sama. Menurut Mindlin (1939), jika pada lokasi tiap titik dengan kedalaman yang sama. Menurut Mindlin (1939), jika pada lokasi tersebut dilakukan

tersebut dilakukan penggalian terowongpenggalian terowongan seperti pada an seperti pada Gambar II.1.b, Gambar II.1.b, tegangantegangan dari massa yang digali akan dialihkan/ditransfer ke sisi terowongan. Akibat dari massa yang digali akan dialihkan/ditransfer ke sisi terowongan. Akibat transfer tegangan ini, terjadi akumulasi tegangan di permukaan galian transfer tegangan ini, terjadi akumulasi tegangan di permukaan galian terowongan.

(2)
(3)

P Pv2v2 + +ΔΔPP P Pv2v2 = (h + = (h + ΔΔh).h).γγ P Pv1v1 = h . = h . γγ 2 2 1 1 (a) (b) (a) (b)

Gambar II.1. (a) Kondisi tegangan pada kondisi awal (b) Kondisi akibat Gambar II.1. (a) Kondisi tegangan pada kondisi awal (b) Kondisi akibat

transfer tegangan (Szechy, 1973) transfer tegangan (Szechy, 1973)

Akumulasi

Akumulasi tegangan tegangan ini ini bernilai bernilai maksimum maksimum di di sisi sisi galian galian ((spring linespring line), dengan), dengan nilai dua kali tegangan awal. Pada Gambar II.2, r adalah jarak titik tinjau dari nilai dua kali tegangan awal. Pada Gambar II.2, r adalah jarak titik tinjau dari  pusat galian dan

 pusat galian dan a adalah a adalah jari-jari jari-jari terowongan. Tegangan maksimum terowongan. Tegangan maksimum berada padaberada pada lokasi

lokasi r/a = r/a = 1. 1. Tegangan Tegangan tersebut tersebut berkurang berkurang secara proporsionsecara proporsional terhadapal terhadap  pertambahan

 pertambahan jarak, jarak, kemudian kemudian menjadi menjadi konstan konstan sebesar sebesar nilai nilai awal awal pada pada lokasilokasi kurang lebih

kurang lebih r/a = 4 r/a = 4 dari pusat galian dari pusat galian terowongan.terowongan.

  p   p   =   =      γ      γ  .  .    h    h 1 1 22 33 44 55    2    2      γ      γ . .    h    h  =  =    2    2  p  p    a    a    h    h r  r 

Gambar II.2. Akumulasi tegangan pada

Gambar II.2. Akumulasi tegangan pada permukaan terowongan (Szechy, 1973)permukaan terowongan (Szechy, 1973)

Tegangan-tegangan pada permukaan galian dapat diuraikan sebagai berikut: Tegangan-tegangan pada permukaan galian dapat diuraikan sebagai berikut: -- Tegangan radial (Tegangan radial (

σ

σ

r r ) yang searah radius) yang searah radius

-- Tegangan tangensial (Tegangan tangensial (

σ

σ

tt) yang tegak lurus terhadap radial) yang tegak lurus terhadap radial

(4)

Kirsch menurunkan rumus untuk masing-masing tegangan di atas sebagai berikut: Kirsch menurunkan rumus untuk masing-masing tegangan di atas sebagai berikut:

σ

σ

rr ==

(

( )

)

(

( ))

⎥⎥

⎦⎦

⎤⎤

⎢⎢

⎣⎣

⎡⎡

φφ

⎥⎥

⎦⎦

⎤⎤

⎢⎢

⎣⎣

⎡⎡

++

++

λλ

−−

++

⎥⎥

⎦⎦

⎤⎤

⎢⎢

⎣⎣

⎡⎡

−−

λλ

++

σ

σ

2 2 cos cos r  r  aa 4 4 r  r  aa 3 3 1 1 1 1 r  r  aa 1 1 1 1 2 2 22 4 4 4 4 4 4 2 2 2 2 v v    (II.3)(II.3)

σ

σ

tt ==

(

( )

)

(

( ))

⎥⎥

⎦⎦

⎤⎤

⎢⎢

⎣⎣

⎡⎡

φφ

⎥⎥

⎦⎦

⎤⎤

⎢⎢

⎣⎣

⎡⎡

++

λλ

−−

−−

⎥⎥

⎦⎦

⎤⎤

⎢⎢

⎣⎣

⎡⎡

−−

λλ

++

σ

σ

2 2 cos cos r  r  aa 3 3 1 1 1 1 r  r  aa 1 1 1 1 2 2 44 4 4 2 2 2 2 v v    (II.4)(II.4)

ττ

rtrt ==

( (

))

⎥⎥

⎦⎦

⎤⎤

⎢⎢

⎣⎣

⎡⎡

φφ

⎥⎥

⎦⎦

⎤⎤

⎢⎢

⎣⎣

⎡⎡

++

−−

λλ

−−

−−

sinsin22 r  r  aa 2 2 r  r  aa 3 3 1 1 1 1 2 2 P P 2 2 2 2 4 4 4 4 v v    (II.5)(II.5) Dimana: Dimana:

σ

σ

vv ==

γγ

.h .h = = tekanan tekanan vertikal vertikal (KN/m(KN/m22))

λλ

== h h v v P P P P =

= angka angka PoissonPoisson

a

a = = radius radius galian galian terowongan terowongan (m)(m)

φφ

= = sudut sudut tinjau tinjau (derajat,(derajat,

φφ

= = 00oo  pada puncak,  pada puncak,

φφ

= = 9090oo  pada dinding  pada dinding terowongan)

terowongan)

Kirsch memberikan tabel secara lengkap untuk nilai konsentrasi tegangan pada Kirsch memberikan tabel secara lengkap untuk nilai konsentrasi tegangan pada  berbagai kondisi sebagai berikut:

 berbagai kondisi sebagai berikut:

Tabel II.1. Konsentrasi tegangan menurut persamaan Kirsch (Goodman, 1989) Tabel II.1. Konsentrasi tegangan menurut persamaan Kirsch (Goodman, 1989) σ σhh//σσvv 0 0 0.3 0.3 0.6 0.6 1.0 1.0 1.5 1.5 2.0 2.0 3.03.0 θθ r/a r/a 00 o o 90 90oo 00oo 9090oo 00oo 9090oo  All Allθθ Values Values 00 o o 90 90oo 00oo 9090oo 00oo 9090oo 1.00 1.00 1.00 1.00 3.00 3.00 -0.10 -0.10 2.70 2.70 0.80 0.80 2.40 2.40 2.00 2.00 3.50 3.50 1.50 1.50 5.00 5.00 1.00 1.00 8.00 8.00 0.000.00 1.10 1.10 0.61 0.61 2.44 2.44 0.12 0.12 2.25 2.25 0.85 0.85 2.07 2.07 1.83 1.83 3.05 3.05 1.52 1.52 4.26 4.26 1.22 1.22 6.70 6.70 0.600.60 1.20 1.20 0.38 0.38 2.07 2.07 -0.25 -0.25 1.96 1.96 0.87 0.87 1.84 1.84 1.69 1.69 2.73 2.73 1.51 1.51 3.77 3.77 1.32 1.32 5.84 5.84 0.940.94 1.30 1.30 0.23 0.23 1.82 1.82 -0.32 -0.32 1.75 1.75 0.86 0.86 1.68 1.68 1.59 1.59 2.50 2.50 1.48 1.48 3.41 3.41 1.36 1.36 5.23 5.23 1.131.13 1.40 1.40 0.14 0.14 1.65 1.65 0.36 0.36 1.60 1.60 0.85 0.85 1.56 1.56 1.51 1.51 2.33 2.33 1.44 1.44 3.16 3.16 1.37 1.37 4.80 4.80 1.241.24 1.50 1.50 0.07 0.07 1.52 1.52 0.38 0.38 1.50 1.50 0.84 0.84 1.47 1.47 1.44 1.44 2.20 2.20 1.41 1.41 2.96 2.96 1.37 1.37 4.48 4.48 1.301.30 1.75 1.75 0.00 0.00 1.32 1.32 0.40 0.40 1.32 1.32 0.80 0.80 1.33 1.33 1.33 1.33 1.99 1.99 1.33 1.33 2.81 2.81 1.36 1.36 3.97 3.97 1.331.33 2.00 2.00 0.03 0.03 1.22 1.22 0.40 0.40 1.23 1.23 0.76 0.76 1.24 1.24 1.25 1.25 1.86 1.86 1.27 1.27 2.47 2.47 1.28 1.28 3.69 3.69 1.311.31 2.50 2.50 0.04 0.04 1.12 1.12 0.38 0.38 1.13 1.13 0.71 0.71 1.14 1.14 1.16 1.16 1.72 1.72 1.18 1.18 2.28 2.28 1.20 1.20 3.40 3.40 1.241.24 3.00 3.00 0.04 0.04 1.07 1.07 0.36 0.36 1.09 1.09 0.68 0.68 1.10 1.10 1.11 1.11 1.65 1.65 1.13 1.13 2.19 2.19 1.15 1.15 3.26 3.26 1.191.19

(5)

II.1.2

II.1.2  Displacement pada  Displacement pada Area Area PenggalianPenggalian Hilangnya efek

Hilangnya efek confiningconfining akibat penggalian membawa displacementpada batuan. akibat penggalian membawa displacementpada batuan. Displacementini merupakan

Displacementini merupakan displacement displacement   yang terjadi dengan pola tertentu  yang terjadi dengan pola tertentu terhadap arah radial dan tangensial.. Besarnya

terhadap arah radial dan tangensial.. Besarnya displacement displacement   dipengaruhi oleh  dipengaruhi oleh kombinasi nilai gaya vertikal dan horizontal serta properti dari batuan. Kirsch kombinasi nilai gaya vertikal dan horizontal serta properti dari batuan. Kirsch memberikan persamaan

memberikan persamaan displacemendisplacement sebagai berikut:t sebagai berikut: u u r r  ==

( (

))

⎟⎟⎟⎟

φφ

 ⎠

 ⎠

 ⎞

 ⎞

⎜⎜⎜⎜

⎝ 

⎝ 

⎛ 

⎛ 

−−

νν

−−

σ

σ

−−

σ

σ

++

σ

σ

++

σ

σ

2 2 cos cos r  r  aa 1 1 4 4 r  r  aa G G 4 4 r  r  aa G G 4 4 22 2 2 2 2 v v h h 2 2 v v h h …. …. (m) (m) (II.6)(II.6) u u tt ==

( (

))

⎟⎟⎟⎟

φφ

 ⎠

 ⎠

 ⎞

 ⎞

⎜⎜⎜⎜

⎝ 

⎝ 

⎛ 

⎛ 

++

νν

−−

σ

σ

−−

σ

σ

−−

sinsin22 r  r  aa 2 2 1 1 2 2 r  r  aa G G 4 4 22 2 2 2 2 2 2 v v h h …..(m) …..(m) (II.7)(II.7) dimana:

dimana: G G = = Modulus Modulus Geser Geser ….(KN/m….(KN/m22))

νν

= = Rasio Rasio PoissonPoisson

  σ   σ  t  t   σ   σ  r  r   τ   τ  r  r  t  t

θθ

0

0

aa

u

u

r r 

u

u

tt

P

P

hh Gambar II.3.

Gambar II.3. Displacement  Displacement  pada area  pada area penggalian terowongan (Goodman, 1989)penggalian terowongan (Goodman, 1989)

S ecara mikroskopisecara mikroskopis displacement displacement   merupakan  merupakan slidingsliding  butir tanah/batuan yang  butir tanah/batuan yang  berakibat

 berakibat melemahnya melemahnya tegangan tegangan batuan batuan di di area area sekitar sekitar penggalian. penggalian. Hingga Hingga jarakjarak tertentu

tertentu dari dari area area penggalian,penggalian, displacement displacement  ini bersifat tetap. ini bersifat tetap.

II.1.3

II.1.3 Area Area Plastis Plastis Akibat Akibat Penggalian Penggalian TerowonganTerowongan

Menurut Bray (1967), penggalian yang menghasilkan tegangan besar (tegangan Menurut Bray (1967), penggalian yang menghasilkan tegangan besar (tegangan tangensial lebih besar dari setengah

(6)

 jari-jari R dari pusat penggalian. Area plastis ini merupakan sebuah slab beam yang melingkar dan paralel dengan permukaan penggalian (ring crack ).

Plastic Zone  Elas tic Z one

R  a

δ   δ  

Gambar II.4. Area plastis dan elastic menurut Bray (Goodman, 1989)

Pada illustrasi ini Bray juga mengasumsikan bahwa retakan yang terjadi  berbentuk log spiral yang mempunyai sudut

δ

 terhadap arah radial. Untuk nilai

δ

minimum diambil 45

°

 +

φ

/2. Term yang populer digunakan untuk sudut log spiral adalah parameter Q, dimana:

Q =

(

)

1 tan tan

φ

δ

δ

  (II.8)

Radius batas area elastis-plastis dirumuskan dengan:

R =

(

)

Q / 1 i 2 2 u cot c  p 2 45 tan 1 cot c 2 45 tan 1 q   p 2 a

 ⎠

 ⎞

⎝ 

⎛ 

 ⎠

 ⎞

⎝ 

⎛ 

+

φ

 ⎠

 ⎞

⎝ 

⎛ 

°

+

φ

+

 ⎠

 ⎞

⎝ 

⎛ 

φ

 ⎠

 ⎞

⎝ 

⎛ 

°

+

φ

+

+

  (II.9)

Dimana: a = jari-jari terowongan

 p = initial rock  pressure =

σ

v =

σ

h untuk K = 1

(7)

Selanjutnya Bray menentukan nilai-nilai tegangan pada area elastis maupun area  plastis sebagai berikut :

σ

r e = 2 r   b  p

  (II.10)

σ

te = 2 r   b  p

+

  (II.11) Dimana: b = 2 2 u 2 R  1 2 45 tan q   p 2 45 tan

⎟⎟

 ⎠

 ⎞

⎜⎜

⎝ 

⎛ 

+

 ⎠

 ⎞

⎝ 

⎛ 

°

+

φ

+

 ⎠

 ⎞

⎝ 

⎛ 

°

+

φ

Untuk area plastis, nilai tegangan-tegangan adalah:

σ

r  p =

(

)

φ

 ⎠

 ⎞

⎝ 

⎛ 

φ

+

c cot a r  cot c  p Q i   (II.12)

σ

t p =

(

)

(

)

 ⎠

φ

 ⎞

⎝ 

⎛ 

φ

δ

δ

φ

+

c cot a r  tan tan cot c  pi Q   (II.13)

Pada area plastis, displacement   yang terjadi mempunyai arah radial terhadap  permukaan galian (inward radially). Besarnya displacement   ini dirumuskan

dengan : ur  = r  t  pr  a r   pi E 1 Q ) 1 Q (

+

⎟⎟

 ⎠

 ⎞

⎜⎜

⎝ 

⎛ 

ν

−   (II.14) dimana: t =

(

)

(

)

 b E 1 a R  cot c  pi cot c  p R  E 1 2 Q

+

ν

+

 ⎠

 ⎞

⎝ 

⎛ 

φ

+

φ

+

ν

II.1.4 Area Plastis /  Loosening Zone sebagai Overburden

Adanya ruang kosong pada terowongan menyebabkan penurunan confining pada  batuan dan tercipta area untuk displacementsecara plastis ( plastic  zone). Hal ini memberikan efek butir-butir pada batuan menjadi lebih “renggang”(loose), hal ini menyebabkan tegangan batuan menurun. Demikian istilah dari area plastis dalam kondisi perubahan keadaan butir disebut “loosening zone”. Untuk terowongan yang cukup dalam, beban yang diterima oleh terowongan bukan merupakan seluruh beban overburden yang ada di atas terowongan, tetapi wilayah plastis

(8)

Illustrasi loosening zone sebagai beban tampak pada keruntuhan atap terowongan yang cukup dalam yang digali tanpa tanpa penyangga. Keruntuhan ini terjadi secara gradual dan tidak mencapai permukaan tanah di atas terowongan. Hasil akhirnya membentuk kerucut pada atap terowongan. Hal ini biasanya terlihat pada terowongan alam. Gambar II.5 adalah ilustrasi urutan runtuhnya atap terowongan  pada batuan. Tinggi maksimal kerucut keruntuhan ditentukan dengan pendekatan:

hmax= 2 tan 2  b

α

= 2sin

φ

 b   (II.15)  b    h  m   a   x α 1 3 2 5 4

Gambar II.5. Pola keruntuhan gradual pada terowongan tanpa penyangga (Szechy, 1973)

II.2 Parameter Input pada Analisa Perkuatan Terowongan

Pelaksanaan penggalian dan penentuan pola perkuatan amat tergantung pada karakteristik dari batuan yang akan digali. Berikut adalah ulasan parameter- parameter batuan yang umum pada material dan massa yang akan digali.

II.2.1 Test dan Parameter Material

(9)

II.2.1.1 Kekuatan Material

Parameter material yang penting dalam karakteristik tanah/batuan adalah kekuatan tekan (compressive strength). Parameter kekuatan tekan bisa didapat dari tiga macam metode uji tekan, yaitu:

- Unconfined compression test (uniaxial test) - Triaxial compression test

- Point load test

Unconfined compression test  adalah bentuk test yang dilakukan dengan memberi  beban secara axial pada sampel. Dengan demikian, sampel tanah/batuan hanya

menerima beban tekan satu arah. Kekuatan tekan (compressive strength), q u

diekspresikan dalam bentuk rasio antara beban saat failure dan luas awal sampel. Pada test ini permukaan sampel dibuat rata agar beban dapat diteruskan merata  pada semua permukaan. Kekuatan batuan dirumuskan:

q u = A P   (II.16) q u = kekuatan tekan (kg/cm2) P = beban axial (kg)

A = luas awal sampel (cm2)

Hasil percobaan diplot pada diagram tegangan-regangan seperti pada Gambar II.4.

Triaxial compression test   adalah suatu test yang dilakukan pada sampel tanah/batuan dengan memberikan tegangan aksial pada sampel dan confining (cell  pressure). Tegangan aksial/vertikal biasanya disimbolkan dengan

σ

1, dan

confining stress diberi simbol

σ

3 (dimana

σ

2 =

σ

3).

Pada test ini selain didapat tegangan saat keruntuhan seperti pada Gambar II.6,  juga didapat nilai tegangan geser dan sudut geser internal sampel. Ekspresi

tegangan geser dan sudut geser digambarkan secara grafis dalam diagram Mohr-Coulomb, dengan mengikuti persamaan :

(10)

dimana:

τ

 p = tegangan geser (shear strength) (kg/cm2)

c = kohesi (kg/cm2)

σ

= deviator stress (kg/cm2)

φ

= sudut geser dalam (derajat)

 M o h r - C o  u l o m  b E n  v e l o p e φ c σ τ σ3 σ1

Gambar II.6. Diagram Mohr-Coulomb untuk tegangan dan sudut geser

Point load test merupakan test kekuatan tekan yang relatif mudah dilakukan. Pada test ini tidak dibutuhkan persiapan sampel yang rumit. Pembebanan dilakukan dengan menempatkan sampel (tanpa dilakukan perataan permukaan/irregular  piece) di antara dua conus baja hingga mencapai kehancuran. Selanjutnya

dihitung indeks kekuatan batuan dengan persamaan : Is = 2

D P

  (II.18)

Dimana: Is = index kekuatan ((kg/cm2)

P = beban saat hancur (kg)

D = jarak antar titik pembebanan (cm)

Untuk mendapatkan nilai kuat tekan (unconfined compression strength), digunakan persamaan :

q u = 24 (I50) (II.19)

dimana: q u = kuat tekan (kg/cm2)

(11)

II.2.1.2  Rock Quality Designation (RQD)

RQD adalah nilai persentase keutuhan batuan berdasarkan core drill test . RQD ditentukan dengan mengambil contoh batuan menggunakan core drill tube  100 mm (4 inch) dengan diameter 54.7 mm. Pecahan yang dihitung dalam RQD adalah pecahan yang mempunyai panjang lebih dari 10 cm.

   L    1    L    2    L    3    L    4    L    t  o    t  a    l

Gambar II.7. Penentuan nilai RQD pada core drill (Bieniawski, 1989)

L1, L2, L3, L4 > 10cm RQD = x100% L L drill core n

Σ

= x100% L L L L L total 4 3 2 1

+

+

+

……..(%) (II.20)

Kualitas batuan menurut nilai RQD disusun sebagai berikut:

Tabel II.2. Kualitas batuan menurut RQD dari Deere (Bieniawski, 1989)

RQD (%)  Rock Quality <25 25 – 50 50 – 75 75 – 90 90 – 100 Very poor Poor Fair Good  Excellent 

(12)

II.2.1.3 Geological Strength Index (GSI)

GSI dipublikasikan oleh Hoek (1995), yaitu berupa sistem untuk menilai kekuatan  batuan berdasarkan reduksi kekuatan batuan dari struktur rekahan dan kondisi  permukaan intact rock.

Pada penggunaannya GSI ini adalah input untuk mencari konstanta pada Hoek-Brown criterion. Konstanta yang dapat dicari adalah:

m b =

 ⎠

 ⎞

⎝ 

⎛ 

28 100 GSI exp mi   (II.21)

Untuk GSI > 25, maka:

s =

 ⎠

 ⎞

⎝ 

⎛ 

9 100 GSI exp (II.22) dan a = 0.5

Untuk GSI < 25, maka: s = 0 dan a =

 ⎠

 ⎞

⎝ 

⎛ 

200 GSI 65 . 0 (II.23)

GSI dapat digunakan untuk menentukan RMR dari Bienwaski edisi 1989 dengan  persamaan sebagai berikut:

GSI = RMR 89’ – 5 (II.24)

(13)

Indeks GSI disusun dalam tabel yang menunjukkan kekuatan batuan, seperti pada Tabel II. 3.

Tabel II.3. Nilai GSI berdasarkan Deskripsi Geologi dan Permukaan (Hoek, Marinos, Bennini, 1998)

(14)

Klasifikasi kualitas batuan menurut Hoek adalah sebagai berikut:

Tabel II.4. Kualitas Batuan Menurut Hoek (Hoek,1995)

Grade* Term Uniaxial Comp.

Strength (MPa)

Point Load Index (MPa) R6 Extremely Strong >250 >10 R5 Very Strong 100 – 250 4 – 10 R4 Strong 50 - 100 2 – 4 R3 Medium Strong 25 - 50 1 – 2 R2 Weak 5 - 25 ** R1 Very Weak 1 - 5 ** R0 Extremely Weak 0.25 - 1 **

II.2.2 Intact Rock dan Penentuan Kekuatan Massa Batuan

 Nilai tekan intact rock adalah nilai unaxial compressive strength, dari contoh yang didapat dari lapangan. Nilai ini belum mewakili kekuatan tekan massa batuan secara keseluruhan. Untuk input karakter batuan secara lengkap perlu dilakukan konversi atas intact rock.

II.2.2.1 Kekuatan Massa Batuan

Untuk menentukan kekuatan batuan berdasarkan intact rock digunakan persamaan sebagai berikut: cm σ   =

(

) {

}

GSI ) m 1 . 0 ( ci 8 . 0 m i e 025 . 0 029 . 1 m 034 . 0

σ

+

− (II.25) dimana:

σ

ci = nilai intact rock 

mi = konstanta karakteristik batuan

GSI = Geological Strength Index

 Nilai mi diperoleh dari tabel konstanta batuan menurut Hoek-Brown seperti pada

(15)

Tabel II.5. Nilai mi untuk Intact Rock (Hoek, Marinos, Bennini, 1998)

Texture Rock

Type Class Group Coarse Medium Fine Very Fine

Conglomerate Sandstone Siltstone Claystone

(22) 19 9 4 Greywacke Clastic (18) Chalk 7 Organic Coal (8 – 21) Carbonate Breccia (20) Sparitic Limestone (10) Micritic Limestone 8    S    E    D    I    M    E    N    T    A    R    Y  Non-Clastic Chemical Gypstone 16 Anhydrite 13

 Non Foliated Marble

9

Hornfels (19)

Quartzite 24

Slightly Foliated Migmatite

(30) Amphibolite 25 - 31 Mylonites (6)    M    E    T    A    M    O    R    P    H    I    C Foliated* Gneiss 33 Schists 4 - 8 Phyllites (10) Slate 9 Granite 33 Rhyolite (16) Obsidian (19) Granodiorite (30) Dacite (17) Light Diorite (28) Andesite 19 Gabbro 27 Dolerite (19) Basalt (17) Dark  Norite 22    I    G    N    E    O    U    S Extrusive Pyroclastic Type Agglomerate (20) Breccia (18) Tuff (15)

II.2.2.2 Penentuan Parameter Geser

Kebanyakan perhitungan numerik membutuhkan input untuk kekuatan geser  berupa kohesi dan sudut geser. Dari nilai kekuatan massa batuan yang telah

diketahui perlu dicari nilai parameter gesernya. Menurut persamaan Hoek-Brown ditulis

σ

1 = 5 . 0 1 3 i ci 3 m 1

⎟⎟

 ⎠

 ⎞

⎜⎜

⎝ 

⎛ 

+

σ

σ

σ

+

σ

(II.26)

(16)

Sudut geser ditentukan dengan persamaan : sin

φ

= 1 k  1 k 

+

  (II.27)

Kohesi ditentukan dengan persamaan :

c =

(

)

(

φ

)

φ

σ

cos 2 sin 1 em   (II.28)

II.3 Metoda Design Terowongan

Perhitungan/design konstruksi terowongan terbagi menjadi tiga macam : - Metoda empiris

- Metoda observasi

- Metoda analitis/numerik.

Metoda empiris merupakan metoda berdasarkan pengamatan dari pengalaman  pelaksanaan terowongan-terowongan sebelumnya. Metoda empiris telah dikenal secara luas dan banyak dilakukan di berbagai negara. Metode ini membutuhkan contoh/sampel untuk tes laboratorium dan penyelidikan lapangan sebagai bahan  penilaian kualitas batuan yang akan digali. Korelasi akhir dari semua data laboratorium dan lapangan menunjukkan kualitas tanah/batuan sehingga dapat ditentukan pola sistem penyangga.

Metode observasi dilakukan dengan membandingkan terowongan yang akan dibuat dengan terowongan yang telah ada terlebih dahulu. Pada cara ini digunakan dokumentasi dari penggalian terowongan sebelumnya.

Metoda analitis adalah metoda dengan menggunakan perhitungan mekanika yang dikenal. Selanjutnya dengan bantuan komputer, metode ini menjadi metode numerik. Perhitungan tegangan dan displacementpada metode ini didasarkan atas  persamaan-persamaan yang dipaparkan pada sub-bab II.1 di atas. Metode ini

(17)

II.3.1 Metoda Empiris

Metoda ini adalah suatu sistem untuk menunjukkan kualitas batuan yang akan digali dan penerapan sistem penyangga. Parameter-parameter yang digunakan tidak semuanya sama, tetapi metoda yang lebih akhir biasanya lebih kompleks dan lengkap. Metode ini tidak memberikan nilai tegangan dan regangan secara kuantitatif.

Metoda-metoda empiris yang umum dikenal adalah: 1.  Rock load Classification

2 Stand-up Time Concept 

3.  Rock Quality Designation (RQD) Index 4.  Rock Strike Rating (RSR) Concept 

5. Geomechanics Classification/RMR System 6. Q-System

II.3.1.1 Klasifikasi Rock load 

Metoda ini disusun oleh Terzaghi (1946), yang merupakan metoda ilmiah  pertama untuk penggalian terowongan. Beban (rock load ), yang menjadi dasar  perhitungan, tergantung dari jenis batuan dan dimensi terowongan yang akan

(18)

Wilayah Pengaruh Beban (ace) Beban samping d  c ( bdf) Beban samping Atap

Beban langsung pada    h  p   m    B    +    h    H  b f 1 d 1 c1 e1 f  e c d   b a -b + m G  b Arah deformasi

Gambar II.8. Rock load  pada atap terowongan menurut Terzaghi (Szechy, 1973)

Metoda ini dimaksudkan hanya untuk pendekatan sistem penyangga menggunakan kerangka baja, tidak digunakan untuk rock bolt  atau shotcrete.

II.3.1.2 Klasifikasi Stand-Up Time

Klasifikasi kualitas batuan menurut stand-up time  diperkenalkan oleh Lauffer (1958). Lauffer menyatakan bahwa batuan dapat diklasifikasikan berdasarkan rentang waktu keruntuhan.

Sistem ini mengalami modifikasi oleh Pacher (1974) dengan memperhitungkan  bentang, karena berdasarkan kenyataan bentang yang lebih lebar memberikan reduksi waktu runtuh yang signifikan.. Cara ini sangat membantu untuk menentukan kecepatan pemasangan penyangga atap pada praktek di lapangan. Gambar.II.9 menunjukkan hubungan stand-up time dan lebar bentang.

(19)

10-4 10-3 10-2 10-1 100 101 102 103 104 105 106 10-1 10-1 100    S  p   a   n   o    f    C  a   v    i    t  y A   B  C   D   E   F  G   F   E   D X X X X X X X

Time (hours) in log scale

1'' 10'' 1' 10' 1h 10h day 1 3 10 100 week  1 month 1 year  1 10 m 8 6 4 2 1 m 0.8 0.6 0.4 0.2 0.1 m

Gambar II.9. Grafik stand-up time pada berbagai jarak bentang,  batas antar kelas ditentukan oleh nilai RMR (Bieniawski, 1989)

Berdasarkan konsep stand-up time  di atas disusun klasifikasi kualitas batuan seperti pada tabel berikut :

Tabel II.6. Stand- up time untuk klasifikasi batuan dari Lauffer (Bieniawski, 1989)

 Rock Class  RMR Stand up time – Free Span

 Equation of the assumed boundary line

A. Solid  > 90 20 years – 4.0m (13 feet)

B. Popping 80 - 90 6month - 4.0m (13 feet) t . l1.0= 1.0 * 105 C. Very popping 60 - 80 1 week  - 3.0m (10 feet) t . l1.2 = 1.0 * 103 D. Fractured  40 - 60 5hours - 1.5m (5 feet) t . l1.4 = 1.0 * 101 E. Very fractured  20 - 40 30minutes – 0.8m (3 feet) t . l1.6 = 1.0 * 100 F. Pressive < 20 2 minutes  - 0.4m (1 – 4 “) t . l1.8 = 1.0 * 10-2 G. Very pressive - 100second  – 0.15m (0 – 6”) t . l2.0 = 1.0 * 10-3

II.3.1.3  Rock Quality Designation (RQD) Index

RQD indeks telah dipakai hampir 40 tahun yang lalu. Deere mempublikasikan  pada tahun 1967. Metoda RQD indeks ini memberikan dua sistem penyangga,

yaitu rangka baja dan pengangkuran. Metoda ini dikaji juga oleh beberapa ahli yang lain, yaitu Cecil (1970) dan Merit (1972), hasilnya tidak terlalu berbeda dengan klasifikasi dari Deere.

(20)

Tabel II.7. Perbandingan pola penyangga menurut Deere, Cecil, Merrit (Szechy, 1973)

 No Suppot or

 Local Bolts Pattern Bolts Steel Ribs

 Deere et al (1970)  RQD 75-100  RQD 50-75 (1.5 – 1.8m spacing)  RQD 25-50 (0.9 -1.5m spacing)  RQD 50-75 (light ribs on 1.5 – 1.8 m spacing as alternative to bolts)

 RQD 25-50 (light to medium ribs on 0.9 – 1.5m spacing as alternative to bolts)  RQD 0-25 (medium to heavy circular rins on 0.6 – 0.9m spacing) Cecil (1970)  RQD 82-100  RQD 5282 (alternatively 40 -60 mm shotcrete)  RQD 0-52 (ribs or reinforced shotcrete  Merritt (1972)  RQD 72-100  RQD 23-72 (1.2 – 1.8m spacing)  RQD 0-23

II.3.1.4 Konsep  Rock Structure Rating (RSR)

Metoda ini dikembangkan oleh Wickham, Tiedemann dan Skinner (1972) di Amerika. Metoda ini memberi penilaian dalam bentuk rating/poin untuk menentukan kualitas batuan serta penentuan sistem penyangga dalam bentuk : - Parameter geologi (disebut parameter A)

- Parameter patahan (disebut parameter B) - Parameter air tanah (disebut parameter C)

 Rating  ditentukan dengan menjumlahkan poin dari ketiga parameter di atas, sehingga didapat nilai RSR = A + B + C. Nilai maximum RSR, yang menunjukkan kualitas terbaik adalah 100.

Walau konsep RSR mengacu pada penyangga kerangka baja, Wickham tetap memberi grafik hubungan sistem penyangga dengan spasi untuk semua sistem  penyangga, yang diillustrasikan pada gambar di bawah ini. Grafik seperti pada Gambar II.10 memberi jarak perkuatan berdasar nilai RSR. Sementara Bieniawski tidak merekomendasikan penggunaan RSR untuk rock bolt   dan shotcrete ( Rock   Mechanics Design in Mining and Tunneling, Bieniawski, 1984).

(21)

10 20 30 40 50 60 70 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Shotcrete 25mm Diameter Rock Bolts

Practical Limit for Rib and Bolt Spacing 6 H 2 0  8 W F 31  8 W F 4 8 10 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.5 1.0 0.5 Rib spacing, ft Bolt spacing, ft Shotcrete thickness, in    R    S    R    R  o   c    k    L  o   a    d

Gambar II.10. Hubungan RSR dan beban terhadap spasi penyangga dengan diameter penggalian 7,3 m (Bieniawski, 1989)

II.3.1.5 Klasifikasi Geomekanik atau RMR System

Klasifikasi geomekanik dikenal juga dengan sistem  Rock  Mass Rating  (RMR). Metoda ini dikembangkan oleh Bieniawski (1973). Metoda ini menggunakan enam parameter yang detail. Parameter- parameter yang diperhitungkan adalah: 1. Kuat tekan batuan

2. RQD

3. Spasi retakan 4. Kondisi retakan 5. Kondisi air tanah 6. Arah retakan

Pemberian poin/nilai dari masing-masing parameter tidak sama, nilai dominan ditempatkan pada penilaian kondisi retakan, dengan maximum poin 30. Spasi retakan dan RQD mempunyai nilai maximum 20. Kuat tekan dan kondisi air mempunyai nilai maximum 15. Parameter arah patahan mempunyai nilai dari nol dan negatif, tergantung dari jenis konstruki yang dikerjakan. Akumulasi poin dari

(22)

Berdasarkan kelas batuan di atas akhirnya diberikan suatu tabel sebagai pedoman untuk pelaksanaan penggalian dan penerapan sistem penyangga. Sistem  penyangga yang diberikan adalah: kerangka baja, rock bolt  diameter 20 mm dan

shotcrete.

Unal (1983) menyatakan bahwa beban penyangga ditentukan dengan persamaan:

P = B 100 RMR  100

γ

  (II.29)

Dimana: P = beban penyangga

γ

= densitas batuan B = lebar terowongan

II.3.1.6 Sistem–Q

Metoda ini dikembangkan oleh Barton, Lien dan Lunde (1974), dari Norwegian Geotechnical Institute. Output diperoleh setelah didapat penilaian kualitas batuan dalam nilai “Q” dan faktor dimensi galian dalam “dimensi ekivalen” ( equivalent dimension).

Sistem-Q didasarkan atas perhitungan dari enam parameter kualitas batuan. Ke-enam parameter tersebut adalah:

1. RQD

2. Jumlah sambungan batuan (Jn)

3. Kekasaran dari patahan yang terjelek (Jr )

4. Derajat perubahan atau material pengisi sambungan terlemah (Ja)

5. Air yang masuk (Jw)

6. Kondisi tegangan (SRF)

Setelah penilaian atas seluruh parameter selesai dilakukan, dibuat perhitungan kualitas batuan dengan persamaan:

(23)

Faktor penggalian yang mengakomodasikan tujuan konstruksi dan faktor keamanan dirumuskan dengan:

Dimensi Ekivalen = ESR  galian tinggi atau lebar    (II.31)

Dimana: ESR = excavation support ratio  yang ditentukan berdasarkan tujuan/jenis penggalian. 0.001 0.01 0.1 1 10 100 1000 0.1 0.2 0.4 1.0 2.0 4.0 10 20 40 100 Exceptionally Poor  Extremely Poor 

Very Poor Poor   Fair Good   Very Good  Ext. Good  Exc. Good  38 37 36 35 32 28 24 20 16 12 8 4 34 33 31 30 29 27 26 25 23 22 21 19 18 17 15 14 13 11 10 9 7 6 5 3 2 1

Rock Mass Quality, Q

   S  p   a   n ,    D    i  a  m   e    t  e  r  ,   o   r    H  e    i  g    h    t  m ,    E    S    R    E  q   u    i  v  a    l  e  n    t    D    i  m   e   n   s    i  o  n   =

 No Support Required 

Gambar II.11. Hubungan antara dimensi ekuivalen dan nilai Q (Bienawski, 1989)

Selanjutnya sistem-Q memberi garfik hubungan antara dimensi ekivalen dan nilai Q, yang hasilnya berupa kualitas batuan dan rekomendasi pola sistem penyangga.  Nilai Q pada grafik ini diberikan dalam skala logaritma. Sistem penyangga yang

digunakan pada metode ini adalah kerangka baja, angkur dan shotcrete.

Panjang angkur ditentukan dengan persamaan: L = ESR  B 15 , 0 2

 +

  (II.32)

Dimana: L = panjang angkur B = lebar penggalian

(24)

Lebar maximum penggalian tanpa menggunakan sistem penyangga ditentukan dengan persamaan:

Lebar galian (max) = 2 (ESR) Q 0,4  (II.33)

Tegangan pada penyangga pada atap ( Proof  )dihitung dengan persamaan:

Proof = (2.0 / Jr ).Q -1/3  (II.34)

Jika jumlah patahan di bawah tiga set, maka persamaan menjadi:

Proof  = 2/3 . Jn1/2. Jr -1 . Q-1/3  (II.35)

Penggunaan sistem-Q ini mempunyai potensi kesulitan dalam prakteknya pada skala logaritmik untuk memasukkan nilai Q.

II.3.2 Metode Obsevasi Lapangan

Ada dua metoda observasi yang dikenal, yaitu : 1. Metoda observasi in-situ

2. Metoda observasi pada proyek sejenis/berdekatan

Metoda observasi in-situ  adalah metoda design terowongan berdasarkan kondisi lapangan yang sedang dilaksanakan. Konsep yang dikenal secara luas untuk metoda observasi seperti ini adalah konsep NATM.

Metoda observasi pada proyek sejenis adalah metoda pelaksanaan dengan melihat data dan dokumentasi terhadap proyek sebelumnya pada area yang sama dan lokasinya berdekatan.

Pada kedua metode observasi di atas, data didapat dari pengukuran lapangan dengan instrument yang terpasang pada terowongan. Instrumentasi pada metoda ini merupakan hal yang vital untuk menentukan pelaksanaan penggalian.

(25)

Tujuan dari monitoring untuk mengetahui kecendrungan dan besarnya deformasi. Hal lain adalah mengetahui tegangan yang terjadi. Instrumen yang umum dipasang pada proyek penggalian terowongan adalah:

1.  Extensometer 2. Convergence Gage 3.  Rock Pressure cell 4. Concrete Pressure cell

 Extensometer digunakan untuk mengukur displacement   di dalam batuan sekitar terowongan. Alat ini dipasang menembus batuan (dengan lubang bor) pada arah radial terhadap permukaan terowongan.

Convergence gage  adalah alat untuk mengukur retakan yang terjadi pada  permukaan batuan, dan bisa juga untuk mengukur perubahan lebar terowongan akibat displacement . Alat ini terdiri dari sepasang pasak yang ditanam pada  permukaan batuan yang telah ditentukan jaraknya.

 Rock  pressure cell  dipakai untuk mendapatkan nilai tegangan pada batuan. Alat ini biasanya berupa plat baja yang ditanam pada lubang bor. Setelah dilakukan grouting, plat tersebut dihubungkan dengan tabung hidrolik untuk memdapatkan tekanan yang sama dengan tegangan batuan.

Concrete pressure cell  digunakan untuk mengetahui tegangan yang terjadi pada shotcrete. Alat ini dipasang/ditanam pada lapisan shotcrete  saat pengecoran  berlangsung. Tegangan dengan hidrolik diberikan setelah beton mengeras.

(26)

O E3 E4 E5 E2 E1 G D1 G D2 G D4 GD5 G D BD 2 BD 1 BD 4 BD 5 BD 3 G D6 GD7 H1 H1 H3

Gambar II.12. Penempatan instrumen pada permukaan terowongan (Bienawski, 1984)

II.3.2.2 Pelaksanaan Penggalian Berdasarkan Proyek Sebelumnya

Metoda ini dilakukan jika suatu proyek terdiri atas minimal dua terowongan yang harus digali. Biasanya proyek terdiri atas terowongan utama ( main tunnel) dan terowongan untuk utilitas yang lebih kecil (service tunnel). Syarat utama untuk metoda ini kedua terowongan ada dalam area yang sama dan berdekatan, sehingga dapat dilakukan analogi.

Terowongan yang lebih kecil (service tunnel) dikerjakan dahulu sebagian atau seluruhnya. Pada terowongan ini dipasang sistem instrumentasi yang lengkap dan dilakukan dokumentasi pada semua fase pelaksanaan. Semua kondisi pada terowongan yang lebih kecil ini diperkirakan akan terjadi juga pada terowongan utama.

Illustrasi untuk pekerjaan ini digambarkan oleh S. Sakurai seperti pada Gambar II.13 ( An Approach to Design and Monitoring of Underground Openings, S.

H : Convergency gage horizontal E : Extensometer

GD :  Rock Pressuremeter  BD : Concrete Pressure Cells

(27)

x y z Ekstensometer  Ekstensometer  Cell Pressure

Gambar II.13. Posisi alat ukur untuk observasi (Sakurai, 1985)

II.3.3 Metoda Analitis/Numerik

Pada metoda ini dilakukan perhitungan kuantitatif yang eksak dengan dasar  prinsip-prinsip mekanika. Pada pelaksanaannya pengguna metoda ini harus

memasukkan properti tanah/batuan pada perhitungan, umumnya adalah:  parameter geser (kohesi dan sudut geser) serta modulus elastisitas. Perkuatan (sistem penyangga) yang digunakan ditentukan di awal perhitungan. Output yang didapat pada umumnya adalah gradasi tegangan dan displacement.

Pada tulisan ini hanya akan dibahas teknik  finite difference dengan menggunakan  perangkat lunak FLAC.

II.3.3.1  Finite Difference

Finite difference  merupakan salah satu teknik dalam analisa numerik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan engineering. Metode  finite difference dilakukan untuk mencari nilai suatu titik dengan melihat perbedaan nilai dengan titik-titik di sekitarnya.

(28)

 finite difference  dari titik-titik sekitarnya. Cara yang terbaik dalam  finite difference adalah dengan cara central difference.

Gradient sebenarnya Pendekatan finite difference A fungsi f  xi-1 xi xi+1 yi - 1 yi yi + 1

Gambar II.14. Pendekatan nilai ordinat menurut diferensial biasa dan finite difference (Dunn, 1980)

Cara differensial dilakukan dengan penurunan (fx/dx) kurva/fungsi f untuk mendapatkan nilai yi. Syarat utama adalah fungsi f diketahui.

Cara finite difference melakukan nilai turunan pertama melalui persamaan: yi’ =

( )

x 2 y yi 1 i 1

Δ

+

  ………(central difference) (II.36) Untuk pendekatan yang lebih dekat, dibuat turunan kedua dengan selisih nilai y  pada posisi yang lebih dekat, yaitu i + ½ didefinisikan sebagai:

yi’’=

( )

x ' y ' y i 1/2 i 1/2

Δ

+   (II.37a) Definisi y’i +1/2 =

( )

x y yi 1 i

Δ

+  dan y’i - 1/2 =

( )

x y yi i 1

Δ

. Sehingga didapat: yi’’ =

( )

2 1 i i 1 i x y y 2 y

Δ

+

+   (II.37b)

Ini adalah bentuk dari

2f atau Laplacian. Untuk kondisi steady state/equilibrium

(29)

Untuk kasus tiga dimensi:

2 f = 2 2 2 2 2 2 z f  y f  x f 

+

+

= 0 (II.38a) =

(

)

(

)

( )

z 0 h h 2 h y h h 2 h x h h 2 h 2 1 k  ,  j , i k  ,  j , i 1 k  ,  j , i 2 k  , 1  j , i k  ,  j , i k  , 1  j , i 2 k  ,  j , 1 i k  ,  j , i k  ,  j , 1 i

=

Δ

+

+

Δ

+

+

Δ

+

− + − + − +   (II.38b) Jika

Δ

x =

Δ

y =

Δ

z, maka: hi,j,k  =

(

hi 1, j, hi 1, j, hi, j 1, hi, j 1, hi, j,1 hi, j,1

)

6 1 − + − + − +

+

+

+

+

+

  (II.38c)

Persamaan II.33c di atas dapat dilihat pada sketsa berikut:

hi,j,k+1 hi,j,k  hi,j-1,k  hi+1,j,k  hi,j,k-1 hi,j+1,k  hi-1,j,k 

Gambar II.15. Posisi titik-titik pada finite difference

Pada suatu boundary condition, di lokasi paling ujung dari wilayah tinjauan, misal  pada sumbu x berlaku hubungan:

dn df  = 0 x 2 h hi 1, j,kj i 1, j,

=

Δ

+   (II.39)

Dengan demikian akan didapat hi+1,j,k = hi-1,j,k . Hal yang sama berlaku untuk

(30)

II.3.3.2 FLAC ( Fast Lagrangian Analysis of Continua)

FLAC adalah program komputer numerik dengan menggunakan  finite difference dalam analisa sifat mekanik material pada suatu bentuk geometri.

Dalam analisa FLAC menggunakan prinsip-prinsip mekanika yang umum. Tujuan utamanya menentukan tegangan-regangan dengan menggunakan persamaan gerak. Perhitungan mekanika dibagi atas grid  (discretization) yang berbentuk tetrahedron, sehingga didapat empat titik nodal sebagai acuan perhitungan.

Prinsip Mekanika

Prinsip mekanika yang digunakan dalam FLAC merupakan prinsip-prinsip mekanika umum.

a. Tegangan

Tegangan diperhitungkan berdasarkan formula Cauchy. Suatu tegangan pada titik di medium dapat diurai menjadi normal dan traksi/geser.

σn

σt

σ

Gambar II.16. Distribusi tegangan menurut Cauchy

 b. Regangan

Dengan anggapan adanya suatu kecepatan pada suatu medium dalam waktu dt, maka displacement   didasarkan pada vektor kecepatan. Regangan didasarkan Lagrangian strain-displacement relationship. Displacement  dalam bentuk tensor terbagi atas regangan dan rotasi. Gambar II.17 menjelaskan displacement dari  posisi P-Q menjadi P1-Q1 yang mana terjadi regangan dan rotasi.

σ

=

σ

n +

σ

t

σ

n =

σ

 . n

 )

σ

t2 =

σ

2 -

σ

n2

(31)

X3 X1 X2 Q (x + dx )i i Q' (

ε

i + d 

ε

i) P (x )i P' (

ε

i )  d  S o  d  x i        d       Sd εi u ≡   (  u  ) 

Gambar II.17. Displacement garis untuk variabel Lagrange (Chen & Saleeb, 1982)

v =

(

i, j  j,i

) (

vi, j v j,i

)

2 1 v v 2 1

+

+

  (II.40) dimana :

= tensor regangan Lagrangian =

(

vi, j v j,i

)

2 1

+

ω

= tensor rotasi =

(

vi, j v j,i

)

2 1

c. Persamaan gerak

σ

i,j +

ρ

 bi = dt dvi

ρ

  (II.41)

Keadaan equilibrium statis didapat:

σ

i,j +

ρ

 bi = 0 (II.42)

d. Pendekatan Turunan Ruang

Pada suatu bangun tetrahedron seperti Gambar II.18 dikenakan suatu pengaruh luar terhadap keseluruhan volumenya, maka pemecahannya dapat dilakukan dengan Gauss divergence  (bentuk tetrahedron ini dipakai dalam FLAC sebagai  bentuk  mesh pada perhitungan).

(32)

1

2

3 4

Gambar II.18. Grid dalam FLAC

Dengan Gauss divergence  pada tetrahedron seperti pada gambar II.18 dengan virtual kecepatan pada tiap titik, dapat ditulis:

v  j , i dv v =

s  j in ds v (II.43)

Dengan adanya empat permukaan pada tetrahedron diambil rata-rata kecepatan  pada arah i. v i,jV =

= 4 1 f  ) f  ( ) f  (  j ) f  ( n S v (II.44) Dengan: ) f  ( v =

= 4 1 f  l i v 3 1 Jadi: vi,j.V =

∑ ∑

= = ≠ 4 1 l 4 1 f  , 1 f  ) f  ( ) f  (  j l i n S v 3 1   (II.45) Karena:

= 4 1 f  ) f  ( ) f  (  j S

n = 0…… (dot product  pada kondisi tegak lurus bernilai nol)

Maka: vi,j =

=

4 1 l ) l ( ) l (  j l i n S v V 3 1   (II.46)

(33)

 Nilai regangan ini dimasukkan pada perhitungan untuk mendapatkan tensor tegangan.

II.4 Sistem Penyangga Terowongan

.Akibat dari suatu penggalian, umumnya terjadi degradasi tegangan pada  batuan/tanah di sekitarnya. Penurunan tegangan yang berkelanjutan membawa efek merugikan bagi kestabilan terowongan. Untuk mencegah hal ini, maka dibutuhkan suatu sistem penyangga permukaan terowongan. Gambar II. 19 memberikan illustrasi tentang penggunaan sistem penyangga untuk mencegah  penurunan tegangan secara berlebihan.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 3 5 15 20 30 50 100 200 500 1000 Loosening A ΔR, mm P3 P2 P1 P A ΣP ΣP1 - 3    W  a    k    t  u    (    T    ) ,    h  a  r    i    B  e    b  a  n    R  a    d    i  a    l    (    P    ) ,    %    1

Gambar II. 19. Kondisi tegangan dengan penggunaan penyangga (Bienawski, 1984)

Sistem penyangga yang biasa digunakan dalam pelaksanaan terowongan adalah: 1. Sistem penyangga tiang dan kerangka baja

2. Shotcrete 3.  Rock bolt 4.  Invert 

P1 = Rangka baja terpasang

P2 = Rock Bolt terpasang

(34)

II.4.1 Sistem Penyangga Tiang dan Kerangka Baja

Bentuk dari konstruksi ini dapat dibagi atas beberapa macam. Menurut Komisi Terowongan-Himpunan Insinyur Sipil Jepang (Pedoman Pekerjaan Terowongan Pegunungan, 2002), bentuk dari perkuatan baja adalah:

1. Setengah lingkaran hanya pada atap 2. Tapal kuda

3. Tapal kuda dengan lantai dasar diberi balok 4. Lingkaran penuh

Gambar II.20. Bentuk Terowongan menurut Himpunan Insinyur Sipil Jepang (Komisi Terowongan, 2002)

Pada sistem penyangga baja di Eropa dan Amerika banyak dipakai bentuk dengan  bentuk kaki (post) yang lurus.

Pada bagian atap umumnya penyangga berbentuk lengkung dengan sambungan di tengah. Beban permukaan batuan akan diteruskan oleh balok-balok atap (crown bars) pada penyangga lengkung. Balok-balok atap ini berfungsi seperti usuk pada konstruksi atap rumah biasa.

II.4.2 Sistem Penyangga Shotcrete

Shotcrete  didefinisikan sebagai beton atau mortar yang disemprotkan pada suatu  permukaan dengan kecepatan tinggi akibat dari diberikannya suatu tekanan

(Shotcrete, Mason, dari Tunnel Engineering Handbook , editor J.O. Bickel & T.R. Kuesel).

(35)

Secara rinci pengaruh shotcrete  pada pelaksanaan penggalian adalah (Pedoman Pekerjaan Terowongan Pegunungan, Komisi Terowongan-Himpunan Insinyur Sipil Jepang):

1. Menjadi penyangga karena lekatan dengan batuan serta memberi tahanan geser

2. Memberi tekanan yang membatasi/mengurangi penurunan kekuatan tanah 3. Meneruskan beban pada rusuk baja atau rock bolt 

4. Melindungi permukaan terowongan dari terjadinya pemusatan tegangan 5. Menjadi pelindung dari pelapukan, rembesan, erosi dan lainnya

Shotcrete dilakukan dengan cepat, sebagai gambaran suatu campuran akselerator  pada shotcrete dapat memberikan kekuatan setara dengan 28 hari umur beton

hanya dalam waktu 10 jam.

Pada pelaksanaannya shotcrete  ada yang dilengkapi dengan perkuatan berupa tulangan baja atau anyaman baja. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan geser dan lentur akibat tegangan tarik (tension) yang terjadi.

II.4.3 Sistem Penyangga Rock bolt

Rock bolt merupakan batang baja yang ditancapkan/tertanam di dalam batuan. Rock bolt ini merupakan sistem angkur untuk permukaan terowongan. Secara umum penggunaan rock bolt  memberi pengaruh sebagai berikut:

1. Pengaruh suspensi. Stabilator pada batuan yang retak atau yang mengalami  penggalian dengan ledakan.

2. Merekatkan lapisan. Hal ini terjadi jika rock bolt   ditempatkan dengan menembus lapisan berbeda yang relatif tipis.

3. Menaikkan kemampuan dukung. Tegangan pada rock bolt   akan menekan  batuan sehingga menghasilkan kekakuan yang baik dan peningkatan kekuatan

(36)

II.4.3.1 Kondisi Batuan Untuk Penggunaan Rock bolt

Penggunaan rock bolt  sebagai perkuatan/penyangga harus memperhatikan kondisi  batuan. Rock bolt  tidak dapat digunakan pada batuan/tanah yang terlalu lunak, dan

sebaliknya pada batuan yang keras tidak dibutuhkan rock bolt /penyangga.

Merujuk pada penelitian Deere (1970), Cecil (1970), Merrit (1972), pada tabel II. 5, penggunaan rock bolt  memperhatikan nilai RQD. Kisaran penggunaan rock bolt   berdasarkan RQD adalah dari 23 hingga 75. Kualitas batuan dengan RQD di  bawah 23 akan menghancurkan batuan, sementara RQD di atas 75 tidak

membutuhkan penyangga.

Berdasarkan stand-up time penggunaan rock bolt   merujuk pada rekomendasi Lauffer (1960), pada tabel II.8. Dapat dilihat bahwa rock bolt   layak digunakan  pada batuan dengan rentang stand-up time enam bulan dengan span 4.0 m hingga

20 menit dengan span 0,8 m.

Tabel II.8. Aplikasi Sistem Perkuatan Pada Berbagai Kelas Batuan dan Stand-up Time Menurut Lauffer, 1960 (Szechy, 1973)

Class of ground & the support usually applied

Bridging time & span of the

ground

Rock-Bolting Steel Support burried in the  permanent lining

A Firm 20 year

4.0m

 Not required Not required

B  Loosening in time (above head protection)

6 months 4.0m

Spaced at 1.5 to 2m & using wire mesh but only in the arch

Uneconomic

C Slightly friable (roof supports)

1 week 1.5m

Spaced at 1.0 to 1.5m, only in the arch, applying either wire mesh or subsequent guniting in a thickness of 2 cm

Uneconomic

D Friable (sets of light supports)

5 hours 1.5m

Spaced at 0.7 to 1.0m, mainly in the arch, applying both wire mesh and subsequent guniting in a thickness of 3 cm

Occasionally, in the same way as under E

E Considerably friable (sets of heavy supports)

20 minutes 0.8m

To be applied only after the setting of the roof (temporary) supports in cases where rock bolt s spaced at 0.5 to 1.2m can offer a supporting effect at all and immediately followed by guniting in a thickness of 3 to 5cm

Steel or concrete slabs  plastic behind steel arches

F Immediately exerting ground pressure

2 minutes 0.4m

 Not to be adopted Steel slabs plastic behind strutted steel acrhes, with

(37)

II.4.3.2 Beban Pada Rock Bolt

Salah satu metode yang dapat memperkirakan beban pada rock bolt adalah yang diajukan oleh Rabcewicz (1961) dengan memperhitungkan inklinasi dari strata  batuan, dengan asumsi bahwa rock bolt  dipasang dengan sudut 45

°

 terhadap strata  batuan.

Gambar II.21, menjelaskan situasi gaya dengan notasi T = gaya geser antar lapisan,

φ

  = sudut geser dalam batuan, h = tebal area lengkung batuan, P = resultan gaya pada rock bolt , H = gaya horizontal di tengah lengkung,

α

 = sudut inklinasi antara lapisan dan horizontal, R = gaya dalam,

ψ

 = sudut antara lapisan dan gaya dalam. Dari illustrasi ini ditulis persamaan sebagai berikut:

ψ

cos H sin(

α

 +

ψ

) cotan(

α

 +

ψ

) -2 P  =

ψ

cos H sin(

α

 +

ψ

) tan

φ

+ 2 P  tan

φ

  (II.48a)

Gaya yang dipikul oleh rock bolt  : P = H ) tan 1 ( cos 2

φ

+

ψ

{cos(

α

 +

ψ

) – sin (

α

 +

ψ

) . tan

φ

} (II.48b)

Jika gesekan/friksi pada lapisan diabaikan diperoleh:

P = H 2   (II.48c)

Adapun nilai H ditentukan dari Straka (1963) dengan: H = f  8  b h 2

γ

  (II.49)

(38)

α ψ    h    f  b/2   4  5   °

Joint (bending plane)

 between strata T  N T α ψ T  N R  ψ H

Gambar II.21. Penentuan gaya rock bolt  menurut Rabcewicz (Sezchy, 1973)

II.4.4  Invert

 Invert   adalah perkuatan beton pada lantai terowongan. Lantai ini berguna untuk membantu kestabilan konstruksi pada tanah lantai dasar yang bersifat mengembang (swelling). Untuk mencegah heaving dipasang invert  dan dilakukan dengan pengecoran beton pada lantai dasar.

II.4.5 Angka Keamanan Berdasarkan Perkuatan

Konsep angka keamanan berdasarkan perkuatan merupakan perbandingan antara tegangan yang dapat diberikan oleh perkuatan terhadap tegangan yang terjadi  pada batuan setelah batuan mengalami degradasi tegangan akibat penggalian.

Secara umum ditulis: SF = A1 3

P P

  (II.50)

Dimana: P1  = tegangan akibat pemasangan rangka baja

P2  = tegangan akibat perkuatan rock bolt

(39)

Tegangan dari perkuatan merupakan gabungan dari seluruh perkuatan sebagai  berikut : Untuk shotcrete: Psc =

(

)

i c cc 2 i c i cc r  t r  t r  1 x 2 1

σ

σ

(II.51)

Dimana:

σ

cc = tegangan tekan uniaxial (MPa)

tc = ketebalan shotcrete (m)

r i = radius penggalian (m)

Untuk rangka baja: Pss = i s ss r  x S A x

σ

  (II.52)

Dimana: Pss = batas leleh baja (MPa)

As = luas permukaan baja (m2)

S = jarak antar support

Untuk rock bolt: Psb = i c  bf  S x S T   (II.53)

Dimana : Psb = batas tegangan tarik (MPa)

Sc = jarak antar rock bolt menurut permukaan (m)

Si = jarak rock bolt menurut sumbu memanjang penggalian (m)

Secara garis besar menurut Badan Urusan Jalan Raya Jepang, dapat disusun tegangan akibat perkuatan dalam tabel II.9 sebagai berikut:

(40)

Tabel II.9. Nilai Tegangan Perkuatan Menurut Badan Urusan Jalan Raya Jepang

Pola Perkuatan B CI CII DI DII

Jarak satu langkah penggalian (m) 2.0 1.5 1.2 1.0 1.0

Panjang (m) 3.0 3.0 3.0 4.0 4.0

Jarak menurut keliling terowongan Jarak menurut arah penggalian

1.5 2.0 1.5 1.5 1.5 1.2 1.2 1.0 1.2 1.0

Sudut terhadap horizontal (°) 180 240 240 240 240

Rock Bolt

Tegangan dalam (MPa) 0.04 0.05 0.10 0.15 0.15

Heading - - H-125 H-125 H-150

Bench - - - H-125 H-150

Rangka Baja

Tegangan dalam (MPa) - - 0.12 0.15 0.19

Tebal (cm) 5 10 10 15 20

Shotcrete

Tegangan dalam (MPa) 0.18 0.36 0.36 0.53 0.71

Tegangan dalam total (MPa) 0.22 0.41 0.58 0.83 1.05

 Nilai tegangan perkuatan dapat bertambah jika menggunakan perkuatan pembantu seperti tabel berikut:

Tabel II.10. Nilai Perkuatan Tambahan

Konstruksi Tambahan Penambahan Tegangan Dalam Forepoling

Tambahan jumlah rock bolt Tambahan panjang rock bolt

+0.1 MPa

Invert sementara +0.2 MPa

II.5 Settlement di Permukaan

Sebagai akibat dari aktifitas penggalian terowongan, terjadi perubahan tegangan, loosening area  dan akhirnya terjadi settlement   pada permukaan. Settlement  yang terjadi di permukaan tidak boleh menyebabkan kerusakan pada bangunan yang ada di atasnya.

Faktor yang menyebabkan besarnya settlement  dapat disebutkan sebagai berikut : a. Kondisi massa tanah/batuan

 b. Kedalaman penggalian c. Loosening area

Gambar

Gambar II.2. Akumulasi tegangan pada
Tabel II.1. Konsentrasi tegangan menurut persamaan Kirsch (Goodman, 1989)Tabel II.1. Konsentrasi tegangan menurut persamaan Kirsch (Goodman, 1989) σ
Gambar II.3. Displacement   Displacement   pada area   pada area penggalian terowongan (Goodman, 1989) penggalian terowongan (Goodman, 1989)
Gambar II.4. Area plastis dan elastic menurut Bray (Goodman, 1989)
+7

Referensi

Dokumen terkait

IERANCANGAN DAN ?trNGUJL{N NOSEL DENCAN RASTO. koNTR{rsI 1:6 tlNTLiK TEROWONGAN ANGIN

Gambar 3.11 Inverter satu fasa jembatan penuh kendali arus hysteresis ganda 31 Gambar 3.12 (a)pengendali hysteresis ganda,(b)tegangan V AN ,(c)tegangan V BN ,dan (d)

Aeni (2014) melakukan penelitian dengan judul “ Perilaku Tegangan Pada Massa Batuan yang Menggunakan Sistem Penyangga Grouting Pada Terowongan Pengelak Bendungan

Analisa mengenai retakan yang terjadi pada terowongan ini pernah dilakukan oleh Lackner dan Mang (2003) menggunakan metode hybrid dimana dilakukan metode pendekatan

1 Tanah yang digali umumnya berada dilokasi pekerjaan 2 Penggalian dilakukan dengan menggunakan alat excavator 3 Selanjutnya Excavator meratakan material hasil.. galian disekitar

Kegiatan tambang bawah tanah dilakukan dengan penggalian terowongan pada lubang bukaan tambang baik secara manual serta menggunakan alat mekanis,

Bergantung pada karakteristik dari sistem penyangga itu, massa batuan di sekeliling terowongan dan tingkat tegangan insitu, sistem penyangga tersebut akan mengalami

Rancangan dasar dari basis data piranti lunak pengelola tugas personil tim uji terowongan angin ditunjukkan dalam Gambar 7, yang terdiri dari sejumlah tabel