• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Penggunaan Input Usahatani Cabai Merah

Penggunaan input pada usahatani cabai merah cukup berbeda antar musim tanam. Adapun yang dimaksud dengan input usahatani dalam penelitian ini adalah meliputi pupuk, kapur, benih, obat-obatan, tenaga kerja, dan mulsa. Perbedaan penggunaan input setiap musim terdapat pada obat-obatan, yaitu insektisida, fungisida, perekat, dan perangsang tumbuh. Hal ini terjadi karena penggunaan obat-obatan ini tergantung dengan kondisi lingkungan (iklim dan cuaca). Sementara penggunaan untuk input lainnya setiap musimnya tetap, untuk pupuk kandang dan kapur digunakan hanya saat pembukaan lahan, yaitu satu kali dalam dua musim tanam cabai merah. Rata-rata penggunaan input pada usahatani cabai merah menurut musim tanam dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Rata-rata Penggunaan Input dan Produktivitas pada Usahatani Cabai Merah per Musim Tanam di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi Tahun 2009/2012 Uraian Musim Tanam 1 Musim Tanam 2 Musim Tanam 3 Musim Tanam 4 Pupuk ponska (kg) 605.57 605.57 605.57 605.57 Pupuk kandang (krng) 520.215 520.215 520.215 520.215 Kapur (kg) 888.26 888.26 888.26 888.26 Benih (pack) 13.59 13.59 13.59 13.59 Obat insek (cc) 22,260.87 33,391.30 33,391.30 27,826.09 Obat fungi (gr) 13,356.52 20,034.78 20,034.78 16,695.65 Obat perekat (cc) 8,904 13,357.00 13,357.00 11,130 Obat perangsang (cc) 4,452.17 6,678.26 6,678.26 5,565.22

TK luar keluarga (HOK) 7 7 7 7

Mulsa (roll) 12 12 12 12

Produktivitas

(kwintal/Ha) 13.93 116.12 185.80 23.22

Tabel 21 menunjukkan bahwa penggunaan obat-obatan tertinggi saat musim tanam kedua dan ketiga karena pada musim kedua merupakan musim dengan curah hujan yang tinggi, dimana hama yang sering muncul yaitu layu bakteri, bercak buah dan daun (patek) , serta busuk buah dan daun, sehingga penyemprotan lebih sering dilakukan dan dosis obatnya pun lebih tinggi. Namun, penggunaan obat pada musim ketiga pun juga sama tingginya, meskipun pada

(2)

musim ketiga adalah musim kemarau. Hal ini disebabkan adanya hama dan penyakit yang menyerang cabai merah, yaitu Trips, lalat buah, dan Tungau, sehingga dosis dan periode penyemprotan pun lebih sering dilakukan. Penggunaan pupuk pada usahatani cabai merah ini tetap pada setiap musimnya, karena berdasarkan hasil wawancara di lapangan bahwa penggunaan pupuk kimia dan kompos tidak begitu berpengaruh. Para petani hanya memupuk tanaman satu hingga dua kali setiap musimnya. Pemupukan biasanya dilakukan bersamaan dengan pembukaan lahan, yaitu pupuk kompos dicampurkan dengan pupuk ponska, atau pada saat tanaman berumur dua minggu setelah tanam dan saat tanaman berumur dua bulan. Adapun dosis pada saat pemupukan pertama dan kedua tidak berbeda jauh, begitu pula untuk setiap petani, yaitu berkisar tiga kwintal. Jenis pupuk yang digunakan pun relatif sama antara satu petani dengan petani lainnya, yaitu pupuk ponska. Sementara petani cabai di Desa Perbawati juga menggunakan kapur (dolomit) dalam kegiatan usahataninya. Penggunaan kapur ini dimaksudkan untuk mengembalikan pH tanah sehingga tidak terlalu asam. Penggunaan kapur ini biasanya dilakukan saat pembukaan lahan, yaitu satu kali dalam dua musim tanam dan rata-rata penggunaannya sebanyak 1.000 hingga 2.000 kg per hektar.

Penggunaan obat-obatan oleh petani cabai merah di Desa Perbawati banyak jenisnya dan relatif sama untuk setiap petani cabai. Jenis obat-obatan tersebut diantaranya fungisida, insektisida, perekat obat, perangsang tumbuh daun, perangsang tumbuh bunga dan lainnya. Intensitas rata-rata penyemprotan obat-obatan ini dilakukan dua hingga tiga hari sekali bahkan saat musim hujan dilakukan setiap hari. Rata-rata untuk penyemprotan satu hektar lahan digunakan dua drum, dimana setiap drumnya berisi 200 liter dengan biaya rata-rata Rp 250.000,00 – Rp 500.000,00 per drum. Oleh karena itu, dengan keterbatasan modal yang dimiliki petani maka mereka meminjam kepada pengumpul untuk membeli obat-obatan tersebut. Hal ini membuat petani secara psikologis akan menjual hasil panen cabai kepada para pengumpul.

Input usahatani cabai merah yang penting lainnya adalah benih cabai. Kualitas benih ini menentukkan produktivitas cabai merah. Pada umumnya, petani cabai di Desa Perbawati menggunakan 12 pack benih cabai merah per hektar.

(3)

Petani cabai di Desa Perbawati ini tidak ada yang membuat benih sendiri karena menurut hasil wawancara di lapangan, bahwa benih cabai yang dibuat oleh petani hasilnya akan berbeda dengan benih yang dibeli. Jenis benih yang biasa digunakan petani adalah Hibrida, dimana benih cabai ini merupakan benih lokal. Petani cabai di Desa Perbawati sering mendapatkan penyuluhan untuk jenis-jenis benih cabai yang unggul dan penyuluhan yang lainnya, sehingga meskipun pendidikan petani rendah namun pengetahuan petani mengenai budidaya cabai yang baik dan benar cukup luas.

Kegiatan usahatani cabai merah di Desa Perbawati masih tergolong tradisional, hal ini dapat dilihat belum adanya teknologi yang moderen yang digunakan dalam usahatani. Kegiatan usahatani cabai merah masih menggunakan tenaga kerja manusia, dimana rata-rata tenaga kerja tetap yang digunakan petani sebanyak lima hingga tujuh orang per hektar. Namun, untuk musim panen atau musim tanam tenaga kerja yang digunakan biasanya lebih banyak dan didominasi oleh perempuan. Adapun biaya tenaga kerja di Desa Perbawati berkisar Rp 12.000,00 per HOK untuk perempuan dan Rp 20.000,00 per HOK untuk tenaga kerja laki-laki dengan waktu kerja lima jam per hari.

Kegiatan usahatani cabai merah di Desa Perbawati ini menggunakan mulsa untuk mengurangi waktu tenaga kerja dalam bekerja. Penggunaan mulsa ini dapat mengurangi gulma-gulma atau tanaman pengganggu pada tanaman cabai, sehingga waktu tenaga kerja dapat dilakukan untuk hal lainnya. Rata-rata untuk satu hektar lahan digunakan 12 roll mulsa dengan 800 m2 per roll. Biaya untuk mulsa berkisar Rp 400.000,00 – Rp 500.000,00 per roll dan biasanya mulsa yang berkualitas yaitu yang memiliki tekstur tebal dan tidak mudah robek akan dapat digunakan dua kali musim.

6.2. Struktur Pendapatan Usahatani Cabai Merah 6.2.1. Biaya Produksi

Pada kegiatan usahatani cabai merah di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi, komponen biaya produksi terdiri dari biaya benih, biaya pupuk, biaya obat-obatan, biaya kapur, biaya tenaga kerja, sewa lahan, dan mulsa. Dari komponen biaya tersebut, biaya pupuk kompos, kapur, sewa lahan, dan mulsa

(4)

tidak setiap musim dikeluarkan petani. Biaya kapur dan pupuk kompos dikeluarkan petani cabai hanya saat pembukaan lahan, sedangkan untuk sewa lahan dan mulsa dikeluarkan setiap dua musim sekali. Adapun rata-rata biaya produksi pada usahatani cabai merah per hektar lahan di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi dijelaskan pada Lampiran 4.

Besarnya biaya yang ditanggung oleh petani cabai berbeda satu dengan lainnya. Dari analisis usahatani yang dilakukan, rata-rata total biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani cabai adalah sebesar Rp 47.870.826,09 pada musim pertama (bulan September-Februari), Rp 61.758.826,09pada musim kedua (bulan April-Oktober), Rp 65.353.521,75pada musim ketiga (bulan Desember-Juni), dan Rp 54.109.521,75 pada musim keempat (bulan September-Februari). Sementara rata-rata biaya total yang ditanggung oleh petani cabai yaitu sebesar Rp 54.493.492,76 pada musim pertama, Rp 68.381.492,76 pada musim kedua, Rp 71.976.188,42pada musim ketiga, dan Rp 60.732.188,42pada musim keempat.

Diantara komponen biaya produksi secara keseluruhan, komponen biaya produksi tertinggi adalah biaya tenaga kerja dan biaya obat-obatan. Rata-rata biaya tenaga kerja yang dikeluarkan oleh petani cabai setiap musim tanam adalah sebesar Rp 14.820.000,00 dan obat sebesar Rp 28.100.000,00. Sementara komponen biaya produksi terendah adalah biaya kapur (dolomit) dan pupuk ponska. Biaya rata-rata yang dikeluarkan petani cabai untuk kapur sebesar Rp 690.130,43 dan pupuk ponska sebesar Rp 1.414.076,09 setiap musim tanam.

6.2.2. Penerimaan dan Pendapatan Bersih Usahatani Cabai Merah

Berdasarkan analisis usahatani yang dilakukan, rata-rata penerimaan usahatani cabai merah di Desa Perbawati dalam empat musim terakhir dalam kurun waktu kurang lebih tiga tahun adalah Rp 123.961.503,62. Namun, penerimaan usahatani cabai merah berbeda-beda setiap musimnya. Pada musim pertama, rata-rata penerimaan yang diperoleh petani cabai merah adalah sebesar Rp 83.608.696,00, sedangkan musim kedua sebesar Rp 124.251.812,00, musim ketiga Rp 204.376.812,00 dan rata-rata penerimaan pada musim keempat adalah sebesar Rp 83.608.695,65. Dari hasil analisis usahatani, penerimaan tertinggi diperoleh saat musim ketiga dan terendah pada musim keempat dan pertama. Hal

(5)

ini disebabkan karena pada musim ketiga adalah musim kemarau sehingga hasil panen cabai lebih optimal meskipun harga cabai di tingkat petani tidak cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar Rp 11.000,00 per kilogram. Sementara, pada musim pertama meskipun harga cabai sangat tinggi yaitu rata-rata sebesar Rp 40.000,00 per kilogram, namun hasil panen cabai kurang baik karena musim penghujan, begitu pula pada musim keempat.

Dari perhitungan usahatani yang dilakukan, diketahui bahwa rata-rata pendapatan bersih atas biaya total usahatani cabai merah di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi dalam empat musim terakhir adalah sebesar Rp 60.065663,32. Seperti dengan penerimaan yang diperoleh petani, pendapatan bersih dari kegiatan usahatani cabai merah ini juga bervariasi setiap musimnya. Pendapatan bersih atas biaya total tertinggi diperoleh pada saat musim ketiga (Desember-Juni) yaitu sebesar Rp 132.400.623,58. Sementara pendapatan bersih atas biaya total terendah diperoleh saat musim keempat (September-Februari 2011/2012) yaitu sebesar Rp 22.876.507,24. Adapun pada musim pertama (September-Februari 2009/2010) yaitu sebesar Rp 29.115.203,24 dan pada musim kedua (April-Oktober) sebesar Rp 55.870.319,24.

Jika diperhitungkan dari seluruh biaya tunai, diketahui bahwa rata-rata pendapatan bersih atas biaya tunai usahatani cabai merah di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi dalam empat musim terakhir mencapai Rp 66.688.329,99. Pada musim pertama, rata-rata pendapatan bersih atas biaya tunai yang diperoleh petani cabai merah sebesar Rp 35.737.869,91, sedangkan pada musim kedua sebesar Rp 62.492.985,91, dan pada musim ketiga sebesar Rp 139.023.290,25. Pada musim keempat, rata-rata pendapatan bersih atas biaya tunai cabai merah merupakan nilai terendah yaitu mencapai Rp 29.499.173,91.

Dari Gambar 9 terlihat bahwa pendapatan yang diperoleh petani cabai merah di Desa Perbawati berfluktuasi setiap musim tanamnya. Hal ini dapat mengindikasikan adanya faktor risiko pada kegiatan usahatani cabai merah. Namun begitu, investasi pada kegiatan usahatani cabai merah cukup menguntungkan dan menjanjikan hasilnya.

(6)

Gambar 9. Biaya Produksi, Pendapatan Kotor, Pendapatan atas Biaya Tunai, dan Biaya atas Biaya Total Usahatanai Cabai Merah di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi Tahun 2009/2012

6.3. Analisis Risiko Produksi Cabai Merah

Petani cabai merah di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi menghadapi beberapa macam risiko dalam menjalankan usahanya. Oleh karenanya, agar kerugian dapat diminimalisir, pelaku usaha cabai merah harus mengetahui seberapa besar risiko yang dihadapinya. Pada dasarnya tidak terdapat ukuran yang pasti untuk menilai seberapa besar tingkat risiko suatu usaha. Akan tetapi, hal ini dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan. Dalam penelitian ini, risiko cabai merah dianalisis dengan melihat nilai variance, standar deviasi, dan koefisien variasi dari nilai produktivitas cabai merah per hektar. Selain itu, aspek risiko juga diukur dengan melihat nilai pendapatan bersih usahatani.

Dalam menganalisis tingkat risiko suatu usaha, perlu diketahui tingkat frekuensi kejadian dalam periode waktu tertentu. Hal ini dibutuhkan untuk mengetahui seberapa besar peluang nilai keuntungan ataupun kerugian yang mungkin diterima. Dalam penelitian ini, banyaknya kejadian dijelaskan ke dalam tiga kondisi, yaitu kondisi terendah, normal, dan tertinggi. Sementara penentuan nilai peluang tersebut berdasarkan kemungkinan produktivitas cabai merah per hektar dalam empat musim. Nilai peluang setiap kejadian berbeda-beda antara satu petani dengan petani yang lain. Adapun nilai rata-rata peluang dapat dilihat pada Tabel 22.

Setelah diketahui tingkat peluang dari masing-masing kejadian, maka nilai risiko dapat dianalisis dengan melihat expected value, standard deviation, dan

coefficient variance, seperti yang terlihat pada Tabel 23. Nilai expected value

(7)

petani cabai merah di Desa Perbawati adalah sebesar 92,32 kwintal per hektar

(cateris paribus).

Tabel 22. Rata-rata Produktivitas dan Penerimaan dalam Kondisi Tertinggi, Normal, dan Terendah Usahatani Cabai Merah di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi Tahun 2009-2012

Kondisi Peluang Produktivitas Return (Rp) (Kwintal/Ha) Tinggi 0,25 185,8 139.023.290,00 Normal 0,25 116,12 62.492.985,91 Rendah 0,5 33,68 32.618.521,91

Sementara nilai standard deviation mengandung arti bahwa risiko produksi yang dihadapi petani cabai merah, dimana semakin kecil nilai standard

deviation maka semakin rendah risiko yang dihadapi dalam kegiatan usaha.

Standard deviation pada usaha cabai merah di Desa Perbawati adalah sebesar

63,60 kwintal per hektar atau 68 persen dari nilai produktivitas yang diperoleh petani (cateris paribus).

Tabel 23. Nilai Expected Value, Standard Deviation, dan Coefficient Variation

dari Produktivitas Cabai Merah di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi Tahun 2009-2012

Uraian Nilai

Expected Value 92,32 Standar Deviation 63,60

Coefficient variation 0,68

Tingkat risiko produksi yang dihadapi petani cabai merah di Desa Perbawati tersebut relatif tinggi jika dibandingkan dengan tingkat risiko produksi cabai merah di beberapa tempat lainnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 24. Pada Tabel 24 menunjukkan bahwa tingkat risiko cabai merah di Desa Perbawati, menghadapi risiko produksi tertinggi jika dibandingkan dengan dua tempat lainnya, yaitu di Desa Citapen Bogor dan di Permata Hati Organic Farm Bogor. Perbedaan tingkat risiko ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu diantaranya: 1. Tingkat risiko produksi cabai merah di Kelompok Tani Pondok Menteng lebih

rendah karena pengelolaan usahatani cabai merah dilakukan dalam Kelompok Tani yang aktif, sehingga sistem agribisnis cabai merah telah berjalan dengan

(8)

optimal. Selain itu, pola tanam yang dilakukan oleh Kelompok Tani Pondok Menteng hanya satu kali dalam satu tahun dan sisanya tiga bulan untuk penanaman tanaman sawi dan tiga bulan untuk masa bera, serta penggunaan obat-obatan kimia pun cukup terkendali, sehingga kesuburan tanah masih cukup terjaga.

2. Tingkat risiko di Permata Hati Organic Farm merupakan paling rendah hal ini disebabkan pengelolaan usahatani lebih intensif dan optimal karena merupakan suatu perusahaan sehingga memiliki sumberdaya manusia yang lebih ahli dan sumberdaya teknologi yang lebih canggih dan moderen.

Tabel 24. Tingkat Risiko Cabai Merah Keriting di Beberapa Tempat

Lokasi Penelitian Tingkat Risiko

Poktan Desa Citapen 0,5

Permata Hati Organic Farm 0,048

Dilihat dari sisi pendapatan usahatani seperti terlihat pada Tabel 25, tingkat pendapatan yang diharapkan oleh petani cabai merah di Desa Perbawati sebesar Rp 66.688.330,00per hektar. Sementara risiko yang diterima oleh petani cabai merah di Desa Perbawati adalah sebesar 65 persen dari nilai penerimaan yang diperoleh petani dengan rata-rata standar deviasi sebesar Rp 43.507.042,63 per hektar. Dari nilai tersebut, maka jika dibandingkan dengan perhitungan risiko dari sisi produktivitas, nilai risiko yang dihitung dari sisi penerimaan ternyata lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa besarnya risiko yang dihadapi oleh petani cabai merah hanya dipengaruhi oleh aspek teknis, namun tidak menutup kemungkinan bahwa pendapatan juga berpengaruh terhadap risiko yang dihadapi petani cabai merah.

Tabel 25. Nilai Expected Value, Standard Deviation, dan Coefficient Variation

dari Penerimaan Cabai Merah di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi Tahun 2009-2012 Uraian Nilai Expected Value 66.688.330,00 Standar Deviation 43.507.042,63 Coefficient variation 0,65

(9)

6.4. Sumber-sumber Risiko pada Kegiatan Produksi

Pada dasarnya risiko pada kegiatan agribisnis disebabkan oleh berbagai macam kondisi ketidakpastian yang dihadapi. Dalam kegiatan produksi pertanian atau usahatani, ketidakpastian tersebut berasal dari faktor alam dan lingkungan. Selain itu, risiko dalam kegiatan produksi pertanian juga dipengaruhi oleh ketidakpastian pada harga output dan input produksi. Terlebih sebagian besar komoditas pertanian mempunyai karakteristik perishable, voluminious, dan bulky.

6.4.1. Faktor iklim dan cuaca

Faktor iklim dan cuaca merupakan salah satu faktor yang mendorong adanya risiko pada kegiatan usahatani cabai merah. Hal ini disebabkan karena perubahan cuaca sulit diprediksi secara pasti. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, saat ini kondisi sering berubah-ubah dan tidak sesuai dengan siklus normalnya. Sementara, kondisi cuaca sangat mempengaruhi pertumbuhan cabai merah. Selain itu, cuaca juga sangat terkait dengan munculnya hama dan penyakit tanaman.

Normalnya, cabai merah merupakan tanaman yang cukup rentan terhadap keadaan basah karena buah akan mudah busuk dan rentan terhadap penyakit tanaman. Sementara itu, saat musim kering atau kemarau juga masa yang tidak baik untuk penanaman cabai, hal ini terkait dengan munculnya hama tanaman. Disisi lain, tanaman cabai merupakan tanamn yang cocok ditanam pada daerah beriklim basah dengan suhu dingin atau sejuk.

Jika dilihat dari perkembangan produktivitas selama empat musim terakhir, secara umum produktivitas cabai merah di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi sangat bervariasi setiap musimnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi cuaca mempengaruhi tingkat produktivitas cabai merah di Desa Perbawati. Selain itu, sesuai dengan status usahatani responden sebesar 30,43 persen merupakan pekerjaan sampingan. Oleh karena itu, hal ini berpengaruh terhadap produktivitas yang dihasilkan yaitu rata-rata lebih rendah. Informasi mengenai tingkat produktivitas cabai merah setiap musim tanam dapat dilihat pada Gambar 10.

(10)

Gambar 10. Rata-rata Produktivitas Cabai Merah per Musim Tanam Tahun 2009/2012

Pada Gambar 10 terlihat bahwa, produktivitas tertinggi terjadi pada rentang waktu antara bulan Desember hingga Juni. Pada rentang waktu tersebut, kondisi cuaca sangat mendukung untuk pertumbuhan cabai merah, yaitu saat penanaman cabai sedang terjadi musim hujan sedangkan saat panen tiba terjadi kemarau panjang. Oleh karena itu, cabai merah yanag dihasilkan petani cukup memuaskan. Pada rentang waktu bulan April–Oktober 2010 sedang terjadi musim hujan berkepanjangan, sehingga tanaman cabai merah tidak tumbuh normal. Banyak hama dan penyakit tanaman yang menyerang tanaman cabai merah. Sementara itu, seperti terlihat pada Gambar 9, tingkat produktvitas cabai merah pada musim September-Februari baik musim pertama maupun keempat lebih rendah dengan perbedaan yang cukup tinggi.

6.4.2. Faktor Hama dan Penyakit Tanaman

Hama dan penyakit tanaman merupakan salah satu masalah yang terpenting yang dihadapi dalam kegiatan budidaya cabai merah. Hama dan penyakit dapat menyerang mulai dari akar, batang, daun, bunga, hingga buah. Kemunculan hama dan penyakit ini sering kali tidak dapat diprediksi sebelumnya. Hal ini dikarenakan munculnya hama dan penyakit tersebut dipengaruhi oleh faktor cuaca dan iklim yang juga tidak dapat diprediksi secara tepat. Oleh karena itu, hama dan penyakit tanaman dapat menjadi faktor risiko usahatani cabai merah.

Terdapat banyak penyakit yang menyerang tanaman cabai merah, mulai dari cendawan, bakteri hingga virus. Diantara ketiga kelompok tersebut, yang paling sering menyeranng tanaman cabai merah adalah bakteri dan cendawan.

(11)

Penyakit yang disebabkan oleh cendawan umumnya menampilkan warna-warna sesuai dengan warna sporanya pada bagian tanaman yang diserang.

Sementara penyakit yang disebabkan oleh bakteri biasanya menyebabkan busuk, baik pada daun, buah, dan akar. Berbeda dengan bakteri, pembusukan yang disebabkan oleh cendawan biasanya kering. Jenis-jenis penyakit yang biasa menyerang tanaman cabai merah diantaranya dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Jenis-jenis Penyakit yang Menyerang Tanaman Cabai Merah

Jenis Penyeakit Sifat Penyerangan

Layu bakteri (Pseudomonas solana-cearum E.F Smith)

 Penyebaran penyakit ini dapat melalui benih,

bibit, tanaman yang sakit, air irigasi, dan alat pertanian

 Penyakit ini menyerang sistem perakaran

tanaman cabai merah

 Serangan dimulai dengan kelayuan pucuk,

kemudian menjalar keseluruh bagian tanaman yang akhirnya daun menguning dan rontok Layu fusarium  Disebabkan oleh organism cendawan bersifat

tular tanah

 Biasanya muncul pada tanah dengan pH yang

rendah atau asam

 Gejalanya yaitu pemucatan bagian tulang daun,

kemudian tangkai daun mulai merunduk, sehingga seluruh tanaman layu dan mati

Bercak daun dan buah  Penyakit ini sering disebut antraknose atau

“patek”

 Biasanya penyakit ini terjadi pada musim hujan

yang disebabkan oleh cendawan

 Gejalanya ditunjukkan dengan bintik-bintik kecil

kehitaman dan berlekuk yang akan menyebabkan buah cabai membusuk

Bercak daun  Gejala penyakit ini yaitu bercak bulat kcil

kebasah-basahan

 Serangan berat penyakit ini akan menyebabkan

daun menguning dan gugur

Bercak alternaria  Gejalanya ditandai dengan timbulnya

bercak-bercak coklat tua hingga kehitaman

 Serangan bercak penyakit ini dimulai dari daun

paling baawah hingga batang

Busuk daun dan buah  Gejalanya dapat nampak pada daun yaitu

bercak-bercak dibagian tepinya dan kemudian menyerang seluruh batang hingga buah cbai merah akan terlepas

Sumber: [BP4K] Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sukabumi 2012

Selain penyakit, terdapat berbagai macam jenis hama yang dapat menyebabkan gagalnya panen cabai merah, mulai dari jenis gurem, kutu, ulat, tungu, dan sebagainya. Bagian tanaman cabai merah yang diserang pun bervariasi.

(12)

Hama menyukai daun yang masih muda, pucuk daun, bunga, pangkal batang, sampai ke akarnya. Semua bagian tanaman dapat menjadi sasaran serangan hama. Gambaran mengenai jenis-jenis hama dijelaskan pada Tabel 27.

Tabel 27. Jenis-jenis Hama yang Menyerang Tanaman Cabai Merah

Jenis Hama Ciri-ciri Serangan

Ulat grayak (Spodoptera litura)

 Serangga dewasa dari hama ini

adalah kupu-kupu dengan warna gelap dan garis putih

Serangan dimulai dengan memakan bagian daun, sehingga menyebabkna daun berlubang dan mengahambat proses fotosintesis, akibatnya produksi buah cabai menurun.

 Serangan teradi pada malam hari

dan saat musim kemarau

Kutu daun (Myzus persicae Sulz.)

 Daur hidup dari hama ini berkisar

7-10 hari

 Serangan dilakukan

dengan cara menghisap cairan daun, pucuk, dan tangkai bunga

 Kutu ini berkembangbiak dengan 2

cara, yaitu dengan pembuahan dan tanpa pembuahan

 Serangan berat dapat

menyebabkan daun keriting, belang-belang dn akhirnya rontok, serta dapat menyebarkan penyakit virus

Lalat buah (Dacus ferrugineus)

 Berupa serangga dengan panjang

0,5 cm dan berwarna coklat tua

 Serangan dilakukan

dengan meletakkan telurnya di dalam buah cabai, sehingga setelah menetas akan merusak buah cabai, yang akhirnya buah cabai akan membusuk dan rontok Thrips (Thrips sp) Serangga Thrips sangat kecil

dengan panjang 1 mm

 Menyerang pada

bagian daun sehingga muncul strip-strip yang menjadikan daun berwarna keperakan Siklus hidupnya berlangsung

selama 7 - 12 hari

 Serangan berat akan

membuat daun kering dan mati serta menularkan penyakit virus

 Terjadi pada saat musim kemarau

Tungau (Tarsonemus translucens)

Tungau berukuran sangat keci, dimana serangga dewasa berukuran 1 mm dan berbentuk seperti laba-laba

 Tungau menyerang

tanaman cabai dengan cara menghisap cairan sel daun akibatnya menimbulkan bintik kuning dan daun kering

(13)

Baik hama maupun penyakit, keduanya dapat menimbulkan kerugian dalam kegiatan usahatani cabai merah. Masing-masing memberikan dampak kerugian yang berbeda-beda. Hal ini apabila tidak ditangani dengan tepat, maka serangan hama dan penyakit dapat menyebabkan gagal panen. Meskipun beberapa jenis hama dan penyakit pada tanaman cabai merah muncul secara musiman, namun terkadang kemunculan hama dan penyakit tertentu tidak dapat diprediksi sebelumnya. Adapun jenis hama dan penyakit yang sering dialami oleh petani cabai merah di Desa Perbawati berikut kerugian yang ditimbulkan dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 28. Jenis Serangan Hama dan Penyakit serta Dampak Kerugiannya Jenis hama dan penyakit Waktu serangan Kerugian yang

ditimbulkan

Lalat buah (Dacus ferrugineus) Musim kemarau 10-15 persen

Thrips (Thrips sp) Musim kemarau 40-50 persen

Tungau Musim kemarau

Layu bakteri Musim hujan 40 persen

Bercak daun dan buah Musim hujan 5-30 persen

Busuk daun dan buah Musim hujan 5-30 persen

Sumber: BP4K Kabupaten Sukabumi

6.4.3. Tingkat Kesuburan Lahan

Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang cukup penting. Saat ini, lahan merupakan faktor produksi yang langka, sehingga pemanfaatanya harus seefisien mungkin. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam usahatani berkaitan dengan lahan yang digunakan adalah kesesuaian dan daya dukung lahan tersebut adalah tingkat kesuburan tanah. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden bahwa lahan yang berada di Desa Perbawati ini kurang subur karena penggunaan obat-obat kimia pembasmi hama dan penyakit yang tidak terkendali. Hal ini disebabkan oleh sumberdaya manusia yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan untuk jangka panjang. Pemakaian obat pembasmi hama yang tidak terkendali akan menyebabkan residu, sehingga tanpa disadari petani dalam jangka panjang akan menyebabkan lahan menjadi kurang subur. Lahan cabai yang saat ini menjadi tempat budidaya, semula merupakan

(14)

lahan perkebunan teh milik Negara yang kemudian disewakan kepada penduduk setempat.

Kesuburan lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan produktivitas tanaman. Lahan yang subur akan menghasilkan produktivitas yang tinggi dibandingkan lahan yang kurang subur. Kesuburan lahan biasanya berkaitan dengan struktur dan tekstur tanah. Selain itu, kesuburan tanah juga terkait dengan penggunaan pupuk dan obat-obatan. Hal ini berhubungan dengan unsur hara yang terkandung di dalam tanah. Penggunaan bahan-bahan kimia yang diluar batas dapat mengurangi bahkan merusak unsur organik di dalam tanah. Begitu pula yang ada di Desa Perbawati ini, kondisi lahan yang telah digunakan untuk usahatani cabai merah kesuburannya telah berkurang karena penggunaan obat-obatan kimia oleh petani cabai yang cukup tinggi. Selain itu, penggunaan lahan yang terus menerus tanpa adanya masa peniduran lahan akan membuat lahan menjadi jenuh, sehingga unsur hara tanah semakin menipis. Namun, dengan adanya pengolahan lahan saat pembukaan serta masa selang dalam penanaman cabai oleh petani, maka hal ini sedikit dapat mengurangi masalah tersebut untuk waktu jangka pendek

6.4.4. Efektifitas Pengunaan Input

Dalam usahatani cabai merah, komponen terpenting dari variabel input adalah benih, pupuk, obat-obatan, mulsa, dan tenaga kerja. Efektivitas penggunaan input tersebut dapat menjadi sumber risiko produksi pada kegiatan usahatani cabai merah. Hal ini dikarenakan penggunaan setiap input akan mempengaruhi tingkat produktivitas usahatani cabai merah. Semakin efektif dan efisien penggunaan input, maka semakin kecil risiko produksi yang dihadapi. Masing-masing variabel input memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap tingkat produktivitas usahatani cabai merah.

Kualitas benih sangat menentukan tingkat produktivitas usahatani. Oleh karena itu, petani cabai merah di Desa Perbawati belum cukup berani untuk membuat bibit sendiri. Para petani cabai merah ini masih menggunakan benih yang dibeli dari toko pertanian. Kualitas benih ini dapat ditunjukkan dari ketahanan benih cabai merah terhadap hama dan penyakit.

(15)

Cabai merah merupakan salah satu tanaman yang sangat rentan terhadap hama dan penyakit tanaman. Alokasi obat-obatan untuk tanaman cabai merah ini relatif lebih banyak. Akan tetapi, meskipun demikian terkadang tidak dapat dipastikan penggunaan obat-obatan tertentu dapat menanggulangi hama dan penyakit yang menyerang, apalagi saat musim hujan. Terlebih, dengan penggunaan obatan-obatan, pupuk kimia atau zat zat kimia lainnya yang berlebih saat ini oleh petani akan membuat kondisi tanah menjadi jenuh. Namun, dilain sisi masih adanya kesadaran petani cabai merah di Desa Perbawati akan kesuburan tanah ini. Hal ini ditunjukkan dengan pemakaian pupuk-pupuk organik baik padat maupun cair oleh petani cabai merah dan masih adanya sistem bera, yaitu pemulihan unsur hara lahan dengan cara penanaman lahan dengan kacang-kacangan.

6.5. Manajemen Risiko yang dilakukan Petani

Petani sebagai pelaku utama dalam kegiatan usahatani, pada dasarnya telah melakukan beberapa tindakan dalam menghadapi adanya risiko usaha. Berdasarkan observasi di lapangan bahwa rata-rata petani telah memiliki pengalaman berusahatani cabai merah selama bertahun-tahun. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tingkat risiko usahatani cabai merah cukup tinggi, namun usahatani tersebut masih dianggap menguntungkan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani cabai merah di lapangan, terdapat beberapa hal yang biasa dilakukan oleh petani dalam mengahadapi risiko pada kegiatan usahatani cabai merah, yaitu sebagai berikut:

1. Pengaturan pola tanam

Pada dasarnya setiap tanaman memiliki kriteria ekologis masing-masing. Begitu pula dengan tanaman cabai merah. Kesesuaian kondisi lingkungan dengan kriteria ekologis yang dibutuhkan sangat dipengaruhi oleh penentuan waktu dan pola penanaman. Selain aspek teknis, pengaturan pola tanam juga berhubungan dengan aspek ekonomis, seperti faktor harga dan efisiensi usahatani. Oleh karena itu, pengaturan pola tanam ini dapat digunakan sebagai upaya dalam menghadapi risiko usahatani.

(16)

Pada petani cabai merah di Desa Perbawati, pola tanam cabai merah yang dilakukan cenderung sama untuk setiap musimnya, yaitu secara monokultur. Hal ini dilakukan oleh petani cabai merah karena apabila penanaman cabai merah ditumpangsarikan dengan tanaman lain, maka pertumbuhan tanaman cabai kurang optimal karena cabai merupakan tanaman yang banyak memakan unsur hara tanah. Biasanya petani melakukan masa “bera” dalam pola tanamnya, yaitu berkisar dua bulan. Masa “bera” ini biasanya digunakan petani cabai merah untuk menanam tanaman yang dapat mengembalikan unsur hara tanah dan yang memiliki umur tanam tidak lama, seperti kacang panjang, kubis, dan bawang daun.

Pola tanam yang dijelaskan seperti pada Gambar 8 merupakan pola tanam petani responden secara umum. Pada praktiknya, tidak seluruh petani menanam cabai merah secara serentak dalam satu waktu. Berdasarkan wawancara yang dilakukakn kepada responden, keputusan petani dalam menanam sangat dipengaruhi oleh ketersediaan modal, terutama bagi petani kecil. selain itu, penanaman yang tidak serentak ini juga dilakukan petani karena apabila seluruh petani menanam cabai, maka pasokan cabai akan berlebih sehingga harga cabai akan rendah. Namun, penanaman cabai merah yang tidak serentak ini akan dapat menyebabkan siklus hama menjadi tidak terputus. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengaturan pola tanam untuk seluruh petani cabai merah secara serentak. Akan tetapi, untuk mengatasi over supply maka pengaturan pola tanam secara serentak harus dilakukan di setiap wilayah sentra.

2. Pengendalian hama dan penyakit

Cabai merah merupakan tanaman yang cukup rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit tersebut dapat menyerang mulai dari akar, batang, daun, bunga, dan buah. Oleh karena itu, hama dan penyakit tanaman merupakan faktor risiko pada kegiatan usahatani. Untuk menghadapi permasalahan hama dan penyakit tanaman tersebut, maka petani melakukan beberapa hal seperti penyemprotan secara rutin, penggunan obat-obatan tertentu, dan sebagainya.

(17)

Berdasarkan hasil observasi di lapangan, rata-rata frekuensi penyemprotan tanaman berkisar dua hingga tiga hari sekali. Namun, jika musim hujan penyemprotan dapat dilakukan satu hari sekali. Sementara saat kemarau panjang penyemprotan dapat dilakukan 6 hari sekali. Perlakuan penyemprotan ini juga disesuaikan dengan jenis hama dan penyakit yang dihadapi. Selain itu, perlakukan dalam pengendalan hama dan penyakit tanaman cabai merah, juga disesuaikan dengan waktu dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Penjelasan mengenai pengendalian hama dan penyakit tanaman cabai merah dapat dilihat pada Tabel 29.

Meskipun petani cabai merah sudah melakukan beberapa cara untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman, namun upaya-upaya tersebut belum bersifat terpadu. Petani cabai merah di Desa Perbawati cenderung menggunakan obat-obatan melebihi dosis yang ditentukan. Dalam menggunakan obat-obatan tersebut, petani cabai merah di Desa Perbawati belum memperhatikan aspek lingkungan dan kesehatan. Akibatnya, beberapa jenis hama maupun penyakit justru menjadi resisten terhadap obat-obatan tersebut. Belum dilakukannya pengendalian hama dan penyakit secara terpadu bukan karena pengetahuan petani yang terbatas, namun karena petani tidak ingin hasil usahatani cabainya rusak dan produksi rendah.

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, bahwa petani telah sering mendapatkan penyuluhan mengenai budidaya cabai merah yang baik dan benar, bahkan petani juga telah mendapatkan pelatihan dalam penggunaan bahan organik. Namun, sampai saat ini petani masih sulit untuk mendapatkan bahan oraganik tetsebut serta harganya yang cukup tinggi. Sementara harga cabai masih berfluktuatif. Oleh karena itu, petani cabai merah lebih baik menghindari risiko dengan cara masih menggunakan obat-obatan kimia.

(18)

Tabel 29. Cara Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Cabai Merah yang Dilakukan oleh Petani di Desa Perbawati

Jenis hama dan penyakit Perlakuan

Lalat buah (Dacus ferrugineus)  Mengumpulkan buah cabai yang diserang kemudian dimusnahkan

 Penyemprotan secara rutin dengan insektisida

Thrips (Thrips sp)  Penyemprotan rutin dengan insektisida Tungau (Tarsonemus translucens)  Penyemprotan secara rutin dengan

insektiseda Layu bakteri (Pseudomonas solana-cearum

E.F Smith)

 Perlakuan benih sebelum ditanam dengan direndam dalam bakterisida

 Perbaikan drainase

 Pencabutan tanaman yang sakit

Bercak daun dan buah  Perlakuan benih yaitu direndam dalam fungisida

 Pembersihan lingkungan dan membuang tanaman yang terserang

 Penyemprotan dengan fungisida Busuk daun dan buah  Pengaturan jarak tanam

 Memusnahkan buah cabai yang busuk  Penyemprotan dengan fingisida

Sumber: BP4K Kabupaten Sukabumi 2012 3. Pengelolaan pascapanen

Pengelolaan pascapanen pada kegiatan produksi cabai merah merupakan hal yang snagat penting. Hal ini dikarenakan sifat dari cabai merah yang tidak tahan lama. Pengelolaan pascapanen yang dilakukan oleh petani cabai merah di Desa Perbawati hanya proses sortasi, yaitu proses pemisahan antara cabai merah, cabai yang masih hijau, dan cabai yang busuk. Kemudian setelah proses sortasi, dilakukan pengepakan di dalam kardus. Proses grading dan penyimpanan tidak dilakukan petani cabai karena hasil panen petani akan langsung dibawa oleh pengumpul ke Pasar Induk Kramat Jati. Rata-rata hampir seluruh petani di Desa Perbawati melakukan hal yang sama. Namun, ada beberapa petani yang tidak langsung menjual kepada pengumpul. Beberapa petani cabai merah ini menjual atau penyuplai restoran-restoran padang dan supermarket, lalu cabai yang berkualitas rendah akan dijual ke pasaran. Biasanya petani cabai merah yang melakukan hal ini adalah petani yang memiliki modal sendiri atau tidak bergantung dengan pengumpul.

(19)

Meskipun risiko ketidakpastian harga sangat tinggi, namun petani cabai merah di Desa Perbawati tetap mengusahakan cabai merah. Petani akan langsung menjual cabai merah hasil panen karena petani tidak memiliki gudang penyimpanan. Oleh karena itu, meskipun harga cabai merah sangat rendah petani tetap akan langsung menjual tanpa harus menunggu harga cabai merah tinggi.

6.6. Analisis Perilaku Penawaran Cabai Merah di Desa Perbawati

Perilaku penawaran cabai merah dalam penelitian ini dijelaskan dengan melihat produksi cabai merah ditingkat petani. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa cabai merah yang diproduksi adalah cabai merah yang akan dipasok ke pasaran (penawaran sama dengan produksi). Asumsi ini digunakan untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis perilaku penawaran cabai merah di Desa Perbawati. Selain itu, asumsi ini juga didasari oleh teori penawaran produksi pertanian.

Perilaku penawaran cabai merah ini dirumuskan dalam sebuah model regresi linier berganda dan double log. Selain didasarkan pada teori penawaran, penggunaan model regresi linier berganda ini dikarenakan model tersebut merupakan model yang cukup sederhana untuk menggambarkan suatu keadaan. Sementara, double log digunakan untuk mengetaui seberapa besar pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dalam satuan persen. Adapun variabel yang digunakan meliputi variabel biaya benih cabai merah (X1), variabel harga output cabai merah (X2), variabel biaya obat (X3), variabel biaya pupuk ponska (X4), variabel pupuk kompos (X5), variabel biaya kapur (X6), variabel variasi produksi cabai merah (X7). Adapun gambaran deskriptif secara statistik dari seluruh variabel dapat dilihat seperti pada Tabel 30.

Tabel 30. Deskripsi Statistik dari Setiap Variabel

Variabel Mean Std. Deviation N

(Y) Penawaran cabai merah 40,3376 37,05402 23

(X4) Biaya Benih 1.431.304.3478 336.604,76348 23 (X7) Harga Cabai Merah 13.978,2609 4.140,92178 23 (X5) Biaya Obat 15.958.356,5217 10.951.199,02496 23 (X1) Biaya Ponska 1.551.086,9565 834.855,67142 23 (X2) Biaya Kompos 8.555.652,1739 2.813.667,65836 23 (X3) Biaya Kapur 739.478,2609 123.130,70275 23 (X6) Nilai Variasi Produksi 18,6861 28,92887 23

(20)

Dalam penelitian ini, faktor penawaran yang lain seperti harga input dan teknologi tidak digunakan. Faktor tersebut tidak digunakan karena tidak memiliki nilai variasi. Jika suatu variabel tidak memiliki nilai variasi maka variabel tersebut tidak dapat dilakukan analisis regresi.

6.7. Analisis Model Perilaku Penawaran Cabai Merah 6.7.1. Pengujian terhadap Model Penduga

Pengujian terhadap model penduga ini digunakan untuk mengetahui apakah model penduga tersebut sudah tepat dalam menduga parameter dan fungsi. Adapun hipotesis yang digunakan adalah:

H0: a1 = a2 = …. = a5 = 0 H1: minimal ada satu an ≠ 0

Dan uji statistic yang digunakan adalah uji F. Berdasarkan hasil output SPSS 19 diperoleh nilai F-hitung sebesar 35,20 dengan nilai signifikansinya (angka probabilitas) sebesar 0,000. Berdasarkan nilai tersebut, karena nilai probabilitas 0,000 < 0,05, maka tolak H0. Hal ini berarti model regresi ini layak untuk digunakan dalam memprediksi variabel independen atau paling sedikit terdapat satu variabel independen (X) yang digunakan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen (Y).

Sementara itu, nilai R-sq dari model yang diperoleh adalah sebesar 0,618 atau sama dengan 61,8 persen. Artinya bahwa sebesar 61,8 persen penawaran cabai merah (Y) dapat dijelaskan dengan menggunakan variabel independen (X). sedangkan sisanya yaitu 38,2 persen dapat dijelaskan oleh faktor-faktor penyebab lainnya di luar model. Besarnya Standar Error of the Estimate (SEE) adalah sebesar 1,3845. Jika dibandingkan dengan Standar Deviasi (STD) sebesar 37,05, maka angka SEE lebih kecil. Hal ini berarti angka SEE baik untuk dijadikan angka predictor dalam menentukan produksi cabai merah.

6.7.2. Pengujian terhadap Koefisien Regresi

Tujuan pengujian terhadap koefisien regresi adalah untuk mengetahui apakah setiap variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Secara statistik, pengujian terhadap koefisien regresi ini dilakukan dengan melihat

(21)

nilai t-hitung. Apabila t-hitung lebih besar dari t-tabel atau P-value lebih kecil dari

α (P-value<α), berarti variabel independen yang diuji berpengaruh nyata terhadap

variabel dependen. Adapun hasil pengujian terhadap koefisien regresi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 31. Berdasarkan hasil output Minitab yang tercantum pada Tabel 31 tersebut, diketahui bahwa hanya terdapat dua variabel yang berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen. Hal ini dikarenakan jenis data yang digunakan merupakan data cross section sehingga terdapat kemungkinan data yang diperoleh tidak jauh berbeda (hampir sama) antara satu responden dengan responden lainnya.

Tabel 31. Koefisien Regresi pada Variabel Independen

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant -16,239 6,970 2,33 0,034 Ln X1 0,0914 0,1621 0,56 0,581 2,6 Ln X2 -0,0919 0,1561 -0,59 0,565 1,2 Ln X3 0,6419 0,4235 1,52 0,150 1,5 Ln X4 -0,0851 0,3677 -0,23 0,820 1,7 Ln X5 0,6578 0,1350 4,87 0,000 3,3 Ln X6 0,24006 0,04743 5,06 0,000 2,5 Ln X7 0,1207 0,3080 0,39 0,701 2,2

Dari hasil analisis regresi linier, diketahui bahwa tidak seluruh pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen sesuai dengan hipotesis penelitian ini. Hal ini dapat dillihat pada Tabel 32.

Tabel 32. Perbandingan Hasil Analisis Regresi dengan Hipotesis

Variabel Hipotesis Hasil analisis regresi

Biaya Pupuk Ponsca - +

Biaya Pupuk Kompos - -

Biaya Kapur - +

Biaya Benih - -

Biaya Obat - +

Variance Produksi - +

Harga Cabai Herah + +

6.7.3. Pengujian terhadap Asumsi

Terdapat beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam menduga sebuah model regresi linier berganda dengan menggunakan metode OLS, yaitu meliputi

(22)

asumsi non-multicollinearity, homoscedasticity, dan non-autocorrelation.

Multocollinearity artinya adalah adanya suatu hubungan linear antar variabel

independen. Salah satu aturan praktis yang biasa digunakan untuk mengetahui adanya indikasi multicollinearity adalah dengan melihat nilai VIF pada output SPSS yaitu apabila nilai VIF ≥ 10 (Kleinbaum et al 1988 dalam Modul Harmini 2009) . Maka berdasarkan hal tersebut, sesuai dengan nilai output Minitab maka model yang diperoleh pada penelitian ini telah terbebas dari adanya

multicollinearity. Selain itu, model regresi yang diperoleh juga telah memenuhi

asumsi non-autocorrelation yaitu dengan melihat nilai statistik dari uji Durbin

Watson yaitu sebesar 2,017. Adapun homoskedastisity dapat dilihat pada grafik

(lampiran 6). Dari nilai residual ini, dapat dipertimbangkan apakah suatu data membentuk pola atau tidak. Dari hasil output menunjukkan bahwa data tidak membentuk pola sehingga dapat dikatakan bebas dari heteroskedastisity.

6.7. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Penawaran Cabai Merah di Desa Perbawati

Berdasarkan hasil regresi linier berganda diketahui bahwa tidak seluruh variabel berpengaruh nyata terhadap tingkat penawaran cabai merah di Desa Perbawati pada selang kepercayaan 95 persen. Hanya terdapat dua variabel yang berpengaruh nyata terhadap perilaku penawaran cabai merah di Desa Perbawati. Variabel tersebut yaitu variabel biaya obat (X5) dan variabel variasi produksi (X6). Selain itu, model dari hasil output Minitab dapat dituliskan sebagai berikut:

ln Y = - 16,2 + 0,091 ln X1 – 0,092 ln X2 + 0,642 ln X3 – 0,085 ln X4 + 0,658 ln X5 + 0,240 ln X6 + 0,121 ln X7

1. Biaya Pupuk Ponska (X1)

Variabel biaya pupuk ponska (X1) mempunyai nilai koefisien positif yaitu sebesar 0,091. Nilai ini artinya bahwa jika biaya pupuk ponska meningkat sebesar 1 persen maka penawaran terhadap cabai merah meningkat sebesar 9,1 persen. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan positif antara variabel biaya pupuk ponska dengan jumlah cabai merah yang diproduksi. Hal ini tidak sesuai dengan teori penawaran yaitu semakin tinggi biaya untuk input produksi maka kecenderungan produsen untuk meningkatkan penawaran akan berkurang.

(23)

Tanaman cabai merah merupakan tanaman yang membutuhkan banyak pupuk. Penggunaan pupuk yang intensif dapat meyuburkan tanaman, sehingga hasil produksinya dapat semakin ditingkatkan.

Dilihat dari nilai t-hitungnya (P-value) sebesar 0,581 maka variabel biaya pupuk ponska ini tidak berpengaruh terhadap jumlah cabai merah yang diproduksi dengan taraf nyata lima persen. Adapun biaya pupuk ponska tidak berpengaruh nyata terhadap produksi cabai merah di Desa Perbawati karena kecenderungan petani cabai merah di Desa Perbawati dosis dalam penggunaan pupuk tidak tinggi. Selain itu, periode penggunaan pupuk oleh petani cabai merah pun relatif hanya satu hingga dua kali dalam satu musim tanam dengan total dosis sebesar 605 kg. Sementara, pemberian pupuk pada tanaman cabai pada normalnya yaitu pada saat pembukaan lahan kemudian diberi tambahan pada saat cabai merah berumur 2,4,6,8 minggu setelah tanam dengan total dosis sebesar 1036 kg (Susila 2006).

2. Biaya Pupuk Kompos (X2)

Variabel biaya pupuk kompos (X2) mempunyai koefisien yang bernilai negatif. Hal ini sesuai dengan teori penawaran yang menyatakan bahwa biaya input berkorelasi negatif terhadap besarnya penawaran. Semakin rendah biaya input, maka kecenderungan produsen untuk meningkatkan penawaran akan meningkat. Dari nilai koefisien veriabel tersebut sebesar (-0,092), menunjukkan bahwa jika biaya pupuk kompos meningkat sebesar 1 persen maka tingkat penawaran cabai merah turun sebesar 9,2 persen. Hal ini dikarenakan kecenderungan harga pupuk yang terus meningkat, meskipun penggunaan pupuk oleh petani tidak tinggi.

Dilihat dari nilai t-hitung dari variabel biaya pupuk kompos, diketahui bahwa variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah cabai merah yang ditawarkan pada taraf nyata lima persen. Hal ini dikarenakan penggunaan pupuk kompos oleh petani cabai hanya pada saat pembukaan lahan yaitu satu kali dalam dua musim. Oleh karena itu, meskipun biaya untuk pupuk kompos tinggi namun hal ini tidak mempengaruhi jumlah cabai merah yang diproduksi oleh petani. Selain itu, biaya pupuk kompos yang tinggi mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk kompos ini cukup tinggi. Namun, penggunaan dosis pupuk

(24)

kompos di Desa Perbawati di bawah penggunaan normal yaitu sebesar 20 ton per ha per musim tanam (Susila 2006), sedangkan di Desa Perbawati hanya 15,6 ton per ha per musim tanam. Oleh karena itu, tingginya biaya kompos ini disebabkan selain dari penggunaan juga dari harga pupuk kompos sendiri yang cenderung meningkat setiap musim tanam. Lahan usahatani cabai merah yang semakin rendah kesuburannya sehingga diperlukan pupuk kompos yang mampu membantu mengembalikan unsur hara tanah.

3. Biaya Kapur (X3)

Variabel biaya kapur (X3) memiliki nilai koefisien yang positif. Artinya, adanya hubungan yang positif antara biaya kapur dengan jumlah cabai merah yang ditawarkan atau diproduksi. Hal ini tidak sesuai dengan teori penawaran, yaitu semakin rendah biaya kapur, maka kecenderungan produsen dalam meningkatkan penawaran semakin meningkat. Nilai koefisien variabel sebesar 0,642 menunjukkan bahwa, jika biaya kapur meningkat sebesar 1 persen maka tingkat penawaran cabai merah akan meningkat sebesar 64,2 persen. Jika dilihat dari nilai t-hitung (P-value), variabel biaya kapur tidak berpengaruh secara nyata terhadap jumlah cabai merah yang ditawarkan pada taraf nyata lima persen. Biaya kapur ini tidak berpengaruh nyata karena penggunaan kapur yang rendah oleh petani di Desa Perbawati yaitu sebesar 888 kg per ha per musim tanam dengan harga yang rendah pula, semakin menyebabkan biaya kapur ini tidak berpengaruh terhadap jumlah cabai merah yang ditawarkan. Sementara, dosis normal kapur yang seharusnya diberikan pada lahan ( pH normal 6-6,5) adalah sebanyak 1000-1200 kg per ha per musim tanam (Susila 2006). Oleh karena itu, dosis yang diberikan oleh petani cabai merah di Desa Perbawati masih di bawah normal.

4. Biaya Benih (X4)

Variabel biaya benih (X4) memiliki koefisien yang bernilai negatif. Hal ini sesuai dengan teori penawaran, dimana semakin rendah biaya benih maka jumlah cabai merah yang ditawarkan semakin meningkat. Dari model regresi linier berganda yang telah di natural log, dimana biaya benih bernilai (-0,085), artinya

(25)

jika biaya benih meningkat sebesar 1 persen maka penawaran cabai merah akan turun sebesar 8,5 persen.

Dilihat dari nilai t-hitung (P-value) dari variabel biaya benih, maka variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat penawaran cabai merah di Desa Perbawati. Sebagian besar petani cabai merah di Desa Perbawati tidak membuat benih sendiri, sehingga saat harga benih tinggi maka petani pun harus tetap membeli benih tersebut. Tingginya biaya benih ini mengindikasikan bahwa penggunakan benih oleh petani yang tinggi karena petani tidak berani berspekulasi dalam membuat sendiri benih cabai merah. Peningkatan harga benih saat musim tanam tiba ini sangat menyulitkan petani yang memiliki modal sangat kecil, sehingga harus menjual hasil panennya untuk mendapatkan modal usahatani selanjutnya. Oleh karena itu, diperlukan bantuan permodalan bagi petani kecil agar tetap dapat menjalankan usahataninya. Berdasarkan informasi di lapangan, bantuan permodalan berupa pinjaman dari pihak perbankan telah ada. Bantuan ini diberikan melalui kelompok tani. Namun, kelompok tani di Desa Perbawati ini tidak lagi aktif, sehingga bantuan pinjaman tersebut tidak diterima oleh anggota kelompok. Hal tersebut dapat berjalan apabila setiap petani menyadari pentingnya sebuah wadah seperti kelompok tani serta pengorganisiran yang tepat pada kelompok tani.

5. Biaya Obat (X5)

Variabel biaya obat (X5) memiliki koefisien yang bernilai positif. Artinya, terdapat hubungan yang positif antara biaya obat dengan jumlah cabai merah yang diproduksi (dipasok). Hal ini tidak sesuai dengan teori penawaran yaitu biaya input berpengaruh negatif terhadap tingkat penawaran. Semakin tinggi biaya input, maka kecenderungan produsen atau petani untuk meningkatkan penawaran akan menurun. Dari model regresi menunjukkan nilai biaya obat sebesar 0,658, artinya jika biaya obat meningkat sebesat 1 persen maka penawaran terhadap cabai merah akan meningkat sebesar 65,8 persen.

Dilihat dari t-hitungnya (P-value), maka variabel biaya obat-obatan ini berpengaruh nyata terhadap jumlah cabai merah yang diproduksi pada taraf nyata lima persen. Tanaman cabai merah merupakan tanaman yang sangat rentan

(26)

terhadap berbagai jenis hama dan penyakit tanaman. Pada waktu tertentu, intensitas pengobatan dapat sangat tinggi yaitu sampai satu hari sekali. Meskipun harga yang tinggi tidak menjamin kualitas obat-obatan yang digunakan, tetapi semakin tinggi biaya obat-obatan mengindikasikan semakin intensifnya pengendalian hama dan penyakit pada tanaman cabai merah. Penggunaan obat-obatan yang intensif ini dapat mencegah tanaman cabai merah dari serangan hama dan penyakit tanaman, sehingga hasil produksinya dapat semakin ditingkatkan. Oleh karena itu, variabel biaya obat ini berpengaruh positif terhadap jumlah cabai merah yang diproduksi secara nyata pada taraf nyata lima persen.

Meskipun variabel biaya obat-obatan berpengaruh positif terhadap tingkat penawaran cabai merah, tetapi baik pemerintah maupun petani perlu melihat dengan lebih jeli. Koefisien variabel biaya obat-obatan yang bernilai positif tersebut dapat mengindikasikan bahwa pengendalian hama dan penyakit yang selama ini dilakukan belum efektif. Selain itu, hal ini menunjukkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi oleh petani cabai merah di Desa Perbawati adalah serangan hama dan penyakit tanaman. Sebagaimana diketahui, bahwa serangan hama dan penyakit tersebut dapat menurunkan produksi hingga 50 persen. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu.

6. Variasi Hasil Produksi Cabai Merah (X6)

Variabel variasi hasil (X6) mempunyai koefisien yang bernilai positif yaitu sebesar 0,240, artinya jika variasi produksi meningkat sebesar 1 persen maka tingkat penawaran terhadap cabai merah juga akan meningkat sebesar 24 persen. Variabel variasi produksi ini merupakan gambaran dari tingkat risiko produksi yang dihadapi petani cabai merah di Desa Perbawati. Semakin besar nilai variasinya, maka semakin besar pula tingkat risiko produksi yang harus ditanggung oleh petani cabai merah. Oleh karena itu, koefisien variabel variasi produksi cabai merah bernilai positif ini mengindikasikan bahwa tingkat risiko cabai merah di Desa Perbawati relatif tinggi.

Dilihat dari nilai t-hitungnya, variabel variasi produksi ini berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi cabai merah di Desa Perbawati. Oleh karena itu,

(27)

meskipun risiko produksi yang dihadapi petani cabai merah relatif tinggi, tetapi tidak mempengaruhi keputusan petani untuk menanam cabai merah. Selain itu, hasil yang sangat menjanjikan membuat motivasi petani untuk menanam cabai merah cukup tinggi.

7. Harga Output Cabai Merah (X7)

Variabel harga cabai merah (X7) memiliki nilai koefisien positif. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan positif antara variabel harga cabai merah dengan jumlah yang diproduksi. dalam teori penawaran diketahui bahwa antara harga dan jumlah penawaran terdapat hubungan yang saling mempengaruhi. Apabila harga meningkat maka jumlah produk yang ditawarkan akan cenderung meningkat, begitu pula sebaliknya. Hal ini dikarenakan harga yang tinggi akan memberikan insentif kepada produsen untuk meningkatkan kuantitas penawarannya. Dari model hasil output regresi linier berganda yang telah di natural log yaitu sebesar 0,121, artinya jika harga cabai merah meningkat sebesar 1 persen maka penawaran terhadap cabaii merah meningkat sebesar 12,1 persen.

Berdasarkan nilai t-hitung dari variabel harga, maka diketahui bahwa variabel harga tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku penawaran cabai merah di Desa Perbawati pada taraf nyata lima persen. Hal ini dikarenakan pada dasarnya petani pada saat memutuskan untuk menanam cabai merah tidak begitu memperhatikan harga yang terjadi. Terlebih harga cabai merah cenderung berfluktuatif dan relatif sulit untuk diprediksi oleh petani. dalam menentukan waktu tanam cabai merah, petani lebih cenderung memperhatikan aspek teknis seperti iklim dan cuaca dibandingkan aspek pasar terutama harga. Oleh karena itu, dalam hal ini variabel harga tidak berpengaruh terhadap besarnya penawaran cabai merah di Desa Perbawati.

Gambar

Tabel  21.  Rata-rata  Penggunaan  Input  dan  Produktivitas  pada  Usahatani  Cabai
Gambar 9. Biaya Produksi, Pendapatan Kotor, Pendapatan atas Biaya Tunai, dan
Gambar  10.  Rata-rata  Produktivitas  Cabai  Merah  per  Musim  Tanam  Tahun
Tabel 26. Jenis-jenis Penyakit yang Menyerang Tanaman Cabai Merah
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sesuai dengan konsep yang menyatakan bahwa kematian jaringan otak pada pasien stroke dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan

Seluruh karyawan di BNI Syariah KCP Sleman bekerja sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan oleh BNI Syariah sendiri, termasuk customer service. Seorang customer

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk- bentuk alih kode dan campur kode serta faktor penyebab alih kode dan campur kode pada tuturan masyarakat kelurahan Sukajawa

Pengetahuan masyarakat tentang perbedaan besar porsi bagian perolehan ahli waris anak laki-laki dan perempuan ini dibenarkan oleh seorang tokoh masyarakat

Melalui penggunaan modul yang dikemas menjadi lebih menarik dan interaktif, diharapkan mahasiswa dapat menjadi lebih termotivasi dalam mempelajari suatu materi atau topik pada

Pengujian memilih tiga dari lima isolat yang menunjukkan kecepatan tumbuh, kerapatan spora, viabilitas spora, dan persentase penghambatan terbesar.Apabila hasil yang

Dengan menggunakan software Crystal Maker dapat digambarkan model struktur Kristal dari Zinc Oxide Eugenol Cement. Masukan utama dari software Crystal Maker ini adalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh profesionalisme yang dicerminkan dalam lima dimensi sebagai variabel independen dengan pertimbangan tingkat materialitas