• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Determinan dalam pelaksanaan Program KB. Menurut Saroha Pinem (2009) ada beberapa faktor yang meyebabkan PUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Determinan dalam pelaksanaan Program KB. Menurut Saroha Pinem (2009) ada beberapa faktor yang meyebabkan PUS"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Determinan dalam pelaksanaan Program KB

Menurut Saroha Pinem (2009) ada beberapa faktor yang meyebabkan PUS tidak mengikuti program KB antara lain:

a. Segi Pelayanan

Hingga saat ini pelayanan KB masih kurang berkualitas terbukti dari peserta KB yang berhenti menggunakan alat kontrasepsi masih banyak dengan alasan efek samping, kesehatan dan kegagalan pemakaian. Kegagalan pemakaian menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan. Pelayanan terhadap kelompok unmet need (wanita yang tidak terpenuhi kebutuhan KB nya) masih belum ditangani dengan serius, khususnya terhadap unmet need yang bertujuan untuk membatasi kelahiran.

b. Segi Ketersediaan Alat Kontrasepsi

Dengan kebijakan “Sistem Kafetaria” yang diterapkan BKKBN, calon peserta KB dapat memilih sendiri alat maupun metode kontrasepsi yang sesuai keinginnanya. Akibatnya, terjadi drop out dengan alasan ingin ganti cara yang lebih efektif. Drop out yang paling banyak terjadi pada peserta KB pil, suntikan atau IUD yang umumnya ingin beralih ke implant. Sayangnya implant tidak tersedia di tempat pelayanan karena harganya relative mahal. Akibatnya wanita PUS tidak terlindungi dari kehamilan yang tidak diinginkan.

(2)

c. Segi Penyampaian Konseling maupun KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)

Pada saat ini, kebijakan program lebih mengedepankan pilihan kontrasepsi yang “rasional, efektif dan efisien”. Tetapi pilihan kontrasepsi secara rasional ini nampaknya belum tersosialisasi dengan baik karena proses informed choice belum dilaksanakan dengan baik.

d. Hambatan Budaya

Di beberapa daerah masih ada masyarakat yang akrab dengan budayanya “banyak anak banyak rezeki, tiap anak membawa rezekinya sendiri-sendiri” atau “anak sebagai tempat bergantung dihari tua”.Selain itu ada juga budaya yang mengharuskan keluarga memiliki anak laki-laki maupun anak perempuan dalam satu keluarga. Hal ini terbukti dari adanya sekelompok wanita yang sudah memiliki anak, namun tetap tidak bersedia menggunakan alat kontrasepsi. Kemungkinan diantara mereka belum memiliki anak dengan jenis kelamin yang mereka inginkan.

e. Kelompok wanita yang tidak ingin anak lagi tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi (unmet need)

Menurut Mahmood (1991) dalam BKKBN dan UNFPA (2005) penyebab adanya kelompok wanita unmet need antara lain berkaitan dengan masalah keuangan, aspek kejiwaan, medis, waktu dan biaya pelayanan, resiko kesehatan dan hambatan sosial.

f. Kelompok Hard Core

Yaitu kelompok wanita yang tidak mau menggunakan alat kontrasepsi baik pada saat ini maupun pada waktu yang akan datang.

(3)

Menurut Bertrand (1980) sendiri, faktor-faktor yang memengaruhi keikutsertaan dalam ber KB adalah sebagai berikut:

1. Faktor sosio-demografi

Penerimaan KB lebih banyak pada mereka yang memiliki standard hidup yang lebih tinggi. Indikator status sosio-demografi termasuk pendidikan yang dicapai, pendapatan keluarga dan status pekerjaan, juga jenis rumah, gizi (di negara-negara sedang berkembang) dan pengukuran pendapatan tidak langsung lainnya.

Beberapa faktor demografi tertentu juga memengaruhi penerimaan KB di beberapa negara, misalnya di banyak negara sedang berkembang, penggunaan kontrasepsi lebih banyak pada wanita yang berumur akhir 20-30 an yang sudah memiliki anak tiga atau lebih. Faktor sosial lain yang juga memengaruhi adalah suku dan agama.

2. Faktor sosio-psikologi

Sikap dan keyakinan merupakan kunci penerimaan KB, banyak sikap yang dapat menghalangi KB. Beberapa faktor sosio-psikologi yang penting antara lain adalah ukuran keluarga ideal, pentingnya nilai anak laki-laki, sikap terhadap KB, komunikasi suami-isteri, persepsi terhadap kematian anak. Sikap dan kepercayaan tersebut perlu untuk mencegah isu yang berhubungan termasuk segi pelayanan dan efek samping alat kontrasepsi.

3. Faktor yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan

Program komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) merupakan salah satu faktor praktis yang dapat diukur bila pelayanan KB tidak tersedia. Beberapa faktor

(4)

yang berhubungan dengan pelayanan KB antara lain keterlibatan dalam kegiatan yang berhubungan dengan KB, pengetahuan tentang sumber kontrasepsi, jarak ke pusat pelayanan dan keterlibatan dengan media massa.

Secara ringkas faktor-faktor tersebut dapat dilihat seperti pada gambar berikut:

Gambar 2.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi keikutsertaan PUS dalam ber KB Menurut affandi dalam Mutiara (1998), faktor-faktor yang memengaruhi pemakaian kontrasepsi adalah:

a. Faktor pola perencanaan keluarga

Adalah mengenai penentuan besarnya jumlah keluarga yang menyangkut waktu yang tepat untuk mengakhiri kesuburan. Dalam perencanaan keluarga harus

Faktor sosio-demografi a. Pendidikan b. Pendapatan c. Status pekerjaan d. Perumahan e. Status gizi f. Umur g. Suku h. Agama

Faktor yang berhubungan dengan pelayanan

a. Keterlibatan dalam kegiatan yang berhubungan dengan KB b. Pengetahuan tentang kontrasepsi c. Jarak ke pusat pelayanan

d. Paparan dengan media massa Faktor sosio-psikologi a. Ukuran keluarga ideal

b. Pentingnya nilai anak laki-laki c. Sikap terhadap KB

d. Komunikasi suami-isteri

e. Persepsi terhadap kematian anak

(5)

diketahui kapan kurun waktu reproduksi sehat, berapa sebaiknya jumlah anak sesuai kondisi, berapa perbedaan jarak umur antara anak. Seorang wanita secara biologik memasuki usia reproduksinya beberapa tahun sebelum mencapai umur dimana kehamilan dan persalinan dapat berlangsung dengan aman dan kesuburan ini akan berlangsung terus-menerus sampai 10-15 tahun, sesudah kurun waktu dimana kehamilan dan persalinan itu berlangsung dengan aman. Kurun waktu yang paling aman adalah umur 20-35 tahun dengan pengaturan:

1. Anak pertama lahir sesudah ibunya berumur 20 tahun 2. Anak kedua lahir sebelum ibunya berumur 30 tahun

3. Jarak antara anak pertama dan kedua sekurang-kurangnya 2 tahun atau diusahakan jangan ada 2 anak balita dalam kesempatan yang sama. Kemudian menyelesaikan besarnya keluarga sewaktu istri berusia 30-35 tahun dengan kontrasepsi mantap.

b. Faktor subjektif

Bagaimanapun baiknya suatu alat kontrasepsi baik dipandang dari sudut kesehatan maupun rasaionalitasnya namun belumlah tentu dirasakan cocok dan dipilih oleh akseptor/calon akseptor. Pilihan ini sangat pula tergantung pada pengetahuannya tentang kontrasepsi tersebut, baik yang didapat dari keluarga/kerabat maupun yang didapat dari petugas kesehatan atau tokoh masyarakat.

c. Faktor objektif

Pemilihan kontrasepsi yang digunakan disesuaikan dengan keadaan wanita (kondisi fisik dan umur) serta disesuaikan dengan fase-fase menurut kurun waktu

(6)

reproduksinya. Biasanya pemilihan kontrasepsi juga disesuaikan dengan maksud penggunaan kontrasepsi tersebut.

Tabel 2.1. Konsep Pemilihan Alat Kontrasepsi Fase Mencegah Kehamilan Fase Menjarangkan Kehamilan Fase Mengakhiri Kehamilan a. Pil b. Suntikan c. IUD a. IUD b. Suntikan c. Pil d. Implant a. Kontap b. IUD c. Implant d. Suntikan e. Pil Umur 20-21 tahun 30-35 tahun

d. Faktor motivasi

Kelangsungan pemakaian kontrasepsi sangat tergantung dari motivasi dan penerimaan pasngan suami istri. Motivasi akseptor KB untuk terus menggunakan kontrasepsi yang lama, akan merubah metode, atau menghentikan sama sekali penggunaan kontrasepsi dengan tujuan untuk membatasi kelahiran mempunyai tingkat kemantapan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang bertujuan untuk menunda kehamilan.

Berdasarkan klasifikasi beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kesertaan dalam program KB dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut: a. Umur

Masa kehamilan reproduksi wanita pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga periode, yakni kurun reproduksi muda (15-19 tahun), kurun reproduksi sehat (20-35 tahun), dan kurun reproduksi tua (36-45 tahun). Pembagian ini didasarkan atas data epidemiologi bahwa resiko kehamilan dan persalianan baik bagi ibu maupun baik bagi anak lebih tinggi pada usia kurang dari 20 tahun, paling rendah pada usia 20-35 tahun dan meningkat lagi secara tajam setelah lebih dari 35 tahun.

(7)

Jenis kontrasepsi yang sebaiknya dipakai di sesuaikan dengan tahap masa reproduksi tersebut (Siswosudarmo, 2001).

Sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2007) yang mengatakan bahwa umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam penggunaan alat kontrasepsi. Mereka yang berumur tua mempunyai peluang lebih kecil untuk menggunakan alat kontrasepsi dibandingkan dengan yang muda.

b. Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat memengaruhi bagaimana seseoran untuk bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. Orang yang berpendidikan lebih tinggi biasanya akan berindak lebih rasional. Oleh karena itu orang berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan baru. Demikian pula halnya dengan menentukan pola perencanaan keluarga dan pola dasar penggunaan kontrasepsi serta peningkatan kesejahteraan keluarga (Manuba, 1998).

Pendidikan juga memengaruhi pola berpikir pragmatis dan rasional terhadap adat kebiasaan, dengan pendidikan yang tinngi seseorang dapat lebih mudah untuk menerima ide atau masalah baru seperti penerimaan, pembatasan jumlah anak, dan keinginan terhadap jenis kelamin tertentu. Pendidikan juga akan meningkatkan kesadaran wanita terhadap manfaat yang dapat dinikmati bila ia mempunyai jumlah anak sedikit. Wanita yang berpendidikan tinggi cenderung membatasi jumlah kelahiran dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan atau bependidikan rendah (Soekanto, 2006).

(8)

c. Jumlah anak

Mantra (2006) mengatakan bahwa kemungkinan seorang istri untuk menambah kelahiran tergantung kepada jumlah anak yang telah dilahirkannya. Seorang istri mungkin memutuskan untuk ber KB setelah mempunyai jumlah anak tertentu dan juga umur anak yang masih hidup. Semakin sering seorang melahirkan anak, maka akan semakin memiliki resiko kematian dalam persalinan. Hal ini berarti jumlah anak akan sangat memengaruhi kesehatan ibu dan dapat meningkatkan taraf hidup keluarga secara maksimal.

d. Pengetahuan

Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budaya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (Melionolimayanti, dkk. 2007. http://forbetterhealth.wordpress.com, diakses tanggal 8 Desember 2013)

Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2007: 144), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Kerena itu dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

e. Keterjangkauan pelayanan KB

Menurut Manuba (1988), faktor-faktor yang memengaruhi alasan dalam ber KB diantaranya adalah tingkat ekonomi, pekerjaan, dan tersedianya layanan kesehatan yang terjangkau. Adanya keterkaitan antara pendapatan dengan

(9)

kemampuan membayar jelas berhubungan dengan masalah ekonomi, sedangkan kemampuan membayar bisa tergantung vaeiabel non ekonomi dalam hal selera atau persepsi individu terhadap suatu barang atau jasa.

Ketersediaan alat kontrasepsi terwujud dalam bentuk fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas atau sarana kesehatan (tempat pelayanan KB). Untuk dapat digunakan, pertama kali suatu metode kontrasepsi harus tersedia dan mudah didapat. Promosi metode tersebut melalui media massa, melalui kontak langsung oleh petugas program KB, oleh dokter dan sebagainya, dapat meningkatkan secara nyata kesertaan dalam KB. Memberikan konsultasi medis mungkin dapat dipertimbankan sebagai salah satu upaya promosi. Disamping itu daya beli individu jaga dapat memengaruhi partisipasi dalam KB. Secara tidak langsung daya beli individu juga dipengaruhi oleh ada tidaknya subsidi dari pemerintah. f. Dukungan petugas kesehatan

Untuk mengubah atau mendididk masyarakat seringkali diperlukan pengaruh dari tokoh-tokoh atau pemimpin masyarakat (community leaders), misalnya dalam masyarakat tertentu kata-kata kepala suku selalu diikuti; Keberhasilan program KB di Indonesia antara lain karena melibatkan ulama; iklan-iklan obat atau pasta gigi di televisi menampilkan tokoh-tokoh yang berpakaian dokter atau dokter gigi. Untuk mengubah atau mendidik masyarakat diperlukan tokoh panutan yang dapat merupakan pemimpin masyarakat, tetapi dapat juga tokoh-tokoh lain (professional, pakar, seniman, petugas kesehatan, dan sebagainya) tergantung pada jenis masalah atau perubahan yang bersangkutan (Sarwono, 2007)

(10)

g. Pengambilan keputusan

Program KB dapat terwujud dengan baik apabila ada dukungan dari pihak-pihak tertentu. Menurut Sarwono (2007) ikatan suami-istri yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi masalah, karena suami /istri sangat membutuhkan dukungan dari pasangan. Hal itu disebabkan orang yang paling bertanggung terhada keluarganya adalah pasangan itu sendiri. Masyarakat di Indonesia khususnya di daerah pedesaan sebagai peran penentu dalam pengambilan keputusan dalam keluarga adalah suami, sedangkan istri hanya bersifat memberikan sumbangan saran.

Hartanto (2004) mengatakan bahwa pertisipasi dalam ber KB tidak dapat diikuti istri tanpa kerja sama suami dan saling percaya. Keadaan ideal bahwa pasangan suami-istri harus bersama dalam menentukan program KB yang terbaik, saling kerjasama dalam pemakaian kontrasepsi, membiayai pengeluaran dan memperhatikan efek yang ditimbulkan karena pemakaian kontrasepsi.

2.2 Konsep Perilaku Kesehatan

Menurut Green dan Kreuter (2005), kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni perilaku (behavior causes) dan faktor dari luar perilaku (non behavior causes). Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yakni faktor predisposisi (predisposing factor), faktor-faktor yang mendukung (enabling factor), dan faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factor).

a) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor-faktor ini mencakup: pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang

(11)

berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebaginya. Faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah.

b) Faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersadiaan makanan yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta, dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin.

c) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors)

Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengatuhan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja , melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas terlebih petugas kesehatan. Di samping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat.

(12)

Dalam perkembangannya, teori Green ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil penelitian kesehatan, yakni:

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian basar pengetahuaan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior), sebab dari pengalaman dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng (long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Contohnya adalah mendapatkan informasi tentang KB, pengertian KB, manfaat KB dan dimana memperoleh pelayanan KB.

Selanjutnya Notoatmomodjo (2007) mengatakan bahwa pengetahuan tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan:

a) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangasangan yang yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orange tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

(13)

b) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e) Sintesis (synthesis)

Sintesis menujuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat

(14)

menyusun, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria-kriteria yang ada.

2. Sikap (attitude)

Merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.

Notoatmodjo (2003) yang mengutip Newcomb, menyatakan bahwa sikap itu merpakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka.

Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Contohnya adalah seperti sikap setuju atau tidaknya terhadap informasi KB, pengertian dan manfaat KB, serta kesediaan mendatangi tempat pelayanan KB, fasilitas dan sarananya, juga kesediaan mereka memenuhi kebutuhan sendiri.

(15)

Seperti halnya dengan pengetahuaan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan yaitu: (Notoatmodjo, 2003)

a) Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap KB dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang KB. b) Merespon(responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut. c) Menghargai(valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu maslah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu mengajak ibu lain (tetangganya, saudaranya, dan sebagainya) untuk pergi ke sarana kesehatan untuk mendapatkan pelayanan KB adalah suatu bukti bahwa ibu tersebut telah mempunyai sikap positif.

d) Bertanggungjawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya, sorang ibu mau memakai alat kontrasepsi, meskipun mendapat tantangan dari suami atau mertuanya.

(16)

3. Praktek atau tindakan (practice)

Menurut Sarwono (2007), sikap dapat dirumuskan sebagai kencenderungan untuk merespon secara positif maupun negaatif terhadap orang, objek ataupun situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional (senang, benci, sedih, dan lain-lain) dan memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda.

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior), untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap ibu yang positif terhadap alat kontrasepsi harus mendapat konfirmasi dari suaminya, dan ada fasilitas yang mudah dicapai agar ibu tersebut dapat memakai alat kontrasepsi. Selain fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orangtua atau mertua, dan lain-lain. Beberapa tingkatan praktek adalah:

a) Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

b) Respon terpimpin (Guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

(17)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

d) Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.3 Pengertian Pasangan Usia Subur (PUS)

Pasangan usia subur yaitu pasangan yang wanitanya berusia antara 15-49 tahun, Karena kelompok ini merupakan pasangan yang aktif melakukan hubungan seksual dan setiap kegiatan seksual dapat mengakibatkan kehamilan. PUS diharapkan secara bertahap menjadi peserta KB yang aktif lestari sehingga memberi efek langsung penurunan fertilisasi (Suratun, 2008).

Pasangan usia subur yaitu pasangan yang istrinya berumur 15-49 tahun atau pasangan suami-istri berumur kurang dari 15 tahun dan sudah haid atau istri berumur lebih dari 50 tahun tetapi masih haid (datang bulan) (BKKBN, 2010). 2.4 Program Keluarga Berencana

2.4.1 Beberapa konsep tentang KB

KB merupakan salah satu usaha untuk mencapai kesejahteraan dengan jalan memberikan nasehat perkawinan,pengobatan kemandulan dan penjarangan kelahiran (Depkes RI, 1999; 1).

Dalam UU No.52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menjelaskan Keluarga Berencana adalah Upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui

(18)

promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.

KB adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan, mengatur interval diantara kelahiran (Hartanto, 2004; 27). KB adalah proses yang disadari oleh pasangan untuk memutuskan jumlah dan jarak anak serta waktu kelahiran (Stright, 2004; 78).

2.4.2 Visi dan Misi Keluarga Berencana

Visi KB berdasarkan paradigma baru program Keluarga Berencana Nasional adalah untuk mewujudkan ”Keluarga berkualitas tahun 2015”. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Visi “Keluarga berkualitas 2015″ dijabarkan dalam salah satu misinya (BKKBN, 2001).

2.4.3 Tujuan Keluarga Berencana

a. Meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pengendalian pertumbuhan penduduk Indonesia.

b. Terciptanya penduduk yang berkualitas, sumber daya manusia yang bermutu dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.

(19)

2.4.4 Sasaran Program KB a. Sasaran langsung

Pasangan usia subur yang bertujuan untuk menurunkan tingkat kelahiran dengan cara penggunaan kontrasepsi secara berkelanjutan.

b. Sasaran tidak langsung

Pelaksana dan pengelola KB, dengan cara menurunkan tingkat kelahiran melalui pendekatan kebijaksanaan kependudukan terpadu dalam rangka mencapai keluarga yang berkualitas, keluarga sejahtera (Handayani,2010; 29). 2.4.5 Ruang Lingkup Program KB

Menurut Handayani (2010:29) ruang lingkup program KB,meliputi: a. Komunikasi informasi dan edukasi.

b. Konseling.

c. Pelayanan infertilitas. d. Pendidikan seks.

e. Konsultasi pra perkawinan dan konsultasi perkawinan. f. Konsultasi genetik.

2.4.6 Manfaat usaha KB dipandang dari segi kesehatan

Peningkatan dan perluasan pelayanan KB merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang semakin tinggi akibat kehamilan yang dialami wanita. Keluarga berncana memiliki peranan dalam menurunkan resiko kematian ibu melalui pencegahan kehamilan, menunda kehamilan melalui pendewasaan usia hamil, menjarangkan kehamilan atau

(20)

membatasi kehamilan bila anak sudah dianggap cukup. Dengan demikian Pelayanan KB merupakan upaya pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan utama (Saroha Pinem, 2009)

2.5 Akseptor Keluarga Berencana

Akseptor KB adalah proses yang disadari oleh pasangan untuk memutuskan jumlah dan jarak anak serta waktu kelahiran(Barbara R.Stright,2004;78).

2.5.1 Jenis-Jenis Akseptor KB

a. Akseptor aktif adalah akseptor yang ada pada saat ini menggunakan salah satu cara / alat kontrasepsi untuk menjarangkan kehamilan atau mengakhiri kesuburan.

b. Akseptor aktif kembali adalah pasangan usia subur yang telah menggunakan kontrasepsi selama 3 (tiga) bulan atau lebih yang tidak diselingi suatu kehamilan, dan kembali menggunakan cara alat kontrasepsi baik dengan cara yang sama maupun berganti cara setelah berhenti / istirahat kurang lebih 3 (tiga) bulan berturut – turut dan bukan karena hamil.

c. Akseptor KB baru adalah akseptor yang baru pertama kali menggunakan alat / obat kontrasepsi atau pasangan usia subur yang kembali menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan atau abortus.

d. Akseptor KB dini adalah para ibu yang menerima salah satu cara kontrasepsi dalam waktu 2 minggu setelah melahirkan atau abortus.

(21)

e. Akseptor langsung adalah para istri yang memakai salah satu cara kontrasepsi dalam waktu 40 hari setelah melahirkan atau abortus.

f. Akseptor dropout adalah akseptor yang menghentikan pemakaian kontrasepsi lebih dari 3 bulan (BKKBN, 2007).

2.5.2 Akseptor KB menurut sasarannya a. Fase menunda kehamilan

Masa menunda kehamilan pertama sebaiknya dilakukan oleh pasangan yang istrinya belum mencapai usia 20 tahun.Karena usia di bawah 20 tahun adalah usia yang sebaiknya menunda untuk mempunyai anak dengan berbagai alasan. Kriteria kontrasepsi yang diperlukan yaitu kontrasepsi dengan pulihnya kesuburan yang tinggi, artinya kembalinya kesuburan dapat terjamin 100%. Hal ini penting karena pada masa ini pasangan belum mempunyai anak, serta efektifitas yang tinggi. Kontrasepsi yang cocok dan yang disarankan adalah pil KB, AKDR.

b. Fase mengatur / menjarangkan kehamilan

Periode usia istri antara 20 - 30 tahun merupakan periode usia paling baik untuk melahirkan, dengan jumlah anak 2 orang dan jarak antara kelahiran adalah 2 - 4 tahun.Ktiteria kontrasepsi yang perlukan yaitu efektifitas tinggi, reversibilitas tinggi karena pasangan masih mengharapkan punya anak lagi. Kontrasepsi dapat dipakai 3 - 4 tahun sesuai jarak kelahiran yang direncanakan.

c. Fase mengakhiri kesuburan / tidak hamil lagi

Sebaiknya keluarga setelah mempunyai 2 anak dan umur istri lebih dari 30 tahun tidak hamil. Kondisi keluarga seperti ini dapat menggunakan

(22)

kontrasepsi yang mempunyai efektifitas tinggi, karena jika terjadi kegagalan hal inidapat menyebabkan terjadinya kehamilan dengan resiko tinggi bagi ibu dan anak. Di samping itu jika pasangan akseptor tidak mengharapkan untuk mempunyai anak lagi, kontrasepsi yang cocok dan disarankan adalah metode kontap, AKDR, implan, suntik KB dan pil KB (Pinem, 2009.). 2.6 Kontrasepsi

Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti “melawan” atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari konsepsi adalah menghindari / mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat adanya pertemuan antara sel telur dengan sel sperma. Untuk itu, berdasarkan maksud dan tujuan kontrasepsi, maka yang membutuhkan kontrasepsi adalah pasangan yang aktif melakukan hubungan seks dan kedua-duanya memiliki kesuburan normal namun tidak menghendaki kehamilan (Depkes, 1999).

Kontrasepsi adalah usaha - usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan, usaha itu dapat bersifat sementara dapat bersifat permanen (Prawirohardjo, 2008; 534).

2.6.1 Syarat-Syarat Kontrasepsi

Sebagai usaha untuk mencegah kehamilan hendaknya kontrasepsi memiliki syarat - syarat sebagai berikut :

a. aman pemakaiannya dan dapat dipercaya. b. efek samping yang merugikan tidak ada. c. lama kerjanya dapat diatur menurut keinginan. d. tidak mengganggu hubungan persetubuhan.

(23)

e. tidak memerlukan bantuan medik atau control yang ketat selama pemakaiannya.

f. cara penggunaannya sederhana.

g. harganya murah supaya dapat dijangkau oleh masyarakat luas. h. dapat diterima oleh pasangan suami istri ( Mochtar, 1998). 2.6.2 Cara-cara Kontrasepsi

Cara-cara dapat dibagi menjadi beberapa metode: a. pembagian menurut jenis kelamin pemakai

1) Cara atau alat yang dipakai oleh suami (pria) 2) Cara atau alat yang dipakai oleh istri (wanita) b. Menurut pelayanannya

1) Cara medis dan non-medis 2) Cara klinis dan non-klinis c. Pembagian menurut efek kerjanya

1) Tidak mempengaruhi fertilitas

2) Menyebabkan infertilitas temporer (sementara) 3) Kontrasepsi permanen dengan infertilitas temporer d. Pembagian menurut cara kerja alat/cara kontrasepsi

1) Menurut keadaan biologis: senggama terputus, metode kalender, suhu badan, dll

2) Memakai alat mekanis: kondom, diafragma 3) Memakai obat kimiawi: spermisida

(24)

5) Hormonal:pil KB, suntikan KB, dan alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK)

6) Operatif: tubektomi dan vasektomi e. Pembagian umum dan banyak dipakai adalah

1) Metode merakyat : senggama terputus, pembilasan pasca senggama, perpanjangan masa laktasi.

2) Metode tradisional : pantang berkala, kondom, diafragma, dan spermisida.

3) Metode modern :

a) Kontrasepsi hormonal : pil KB, suntik KB, alat kontrasepsi bawah kulit.

b) Kontrasepsi intrauterina : IUD

4) Metode permanen operasi : tubektomi peda wanita dan vasektomi pada pria (Mochtar, 1998)

2.7 Kerangka Konsep

Konsep umum yang dijadikan landasan teori adalah teori Green dan Kreuter (2005) yang digunakan untuk menilai perilaku individu atau kelompok. Ada 3 faktor yang mempengaruhi individu untuk bertindak yaitu faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, kebutuhan yang dirasakan, kemampuan dan unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat), faktor pendukung (tersedianya sarana dan prasarana), dan faktor pendorong (petugas kesehatan).

Konsep tersebut dikombinasikan dengan teori Kar yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan bertitik tolak dari niat seseorang,

(25)

dukungan sosial, ada tidaknya informasi dan situasi yang memungkinkan untuk bertindak. Notoatmodjoo juga mengatakan bahwa determinan perilaku dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal serta menurut Robbins (1994), beberapa karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, tanggung jawab, dan status masa kerja.

Berdasarkan konsep-konsep tersebut, maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Variabel Independen

Variabel Dependen

Gambar 2.2. Skema Kerangka Konsep

Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor pedisposisi (umur, Faktor predisposisi: 1. Umur 2. Pendidikan 3. Jumlah anak 4. Pengetahuan 5. Sikap Faktor pendukung: 1. Ketersediaan alat kontrasepsi 2. Keterjangkauan pelayanan KB Faktor pendorong: 1. Dukungan petugas kesehatan 2. Pengambil keputusan

PUS tidak ikut KB

(26)

alat kontrasepsi, keterjangkauan pelayanan KB), faktor pendorong (dukungan petugas kesehatan, pengambil keputusan), sedangkan variabel dependen adalah PUS tidak ikut KB dan PUS ikut KB.

Gambar

Gambar 2.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi keikutsertaan  PUS dalam ber KB
Tabel 2.1. Konsep Pemilihan Alat Kontrasepsi  Fase Mencegah  Kehamilan  Fase Menjarangkan Kehamilan  Fase Mengakhiri Kehamilan  a
Gambar 2.2. Skema Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan kondisi tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai ada atau tidaknya perbedaan lama rawat inap pasien antar jenis terapi antipsikotik yang

Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran ، penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan.. Diriwayatkan

Usaha ini dipilih karena prospek pengolahan kedelai menjadi susu kedelai sekarang ini cukup menjanjikan, kandungan gizi yang terkandung didalamnya memiliki kandungan gizi

Pada keadaannya bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut pemakai yang disebut sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam

K earifan lokal m asyarakat yang penting dalam m em anfaatkan biodiversiti di lahan raw a lebak adalah berupa teknologi yang dapat dim anfaatkan petani sebagai pertanda akan adanya

Beberapa komponen penting dalam pemupukan berimbang mendukung teknologi jarwo super yaitu: 1) Pengelolaan hara yang tepat termasuk di dalamnya pemupukan berimbang dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis maksim, jenis-jenis maksim yang dilanggar, dan makna penutur dalam penyimpangan maksim dalam dialog yang ditemukan di

sekolah. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan pembelajaran matematika yang menarik dan menyenangkan sehingga dapat membantu siswa dalam memahami materi pelajaran