UJI CEMARAN AFLATOKSIN PADA SERBUK SIMPLISIA DAUN JATI BELANDA (Guazumae Folium) YANG DIPERDAGANGKAN DI PASAR
“X”, PASAR “Y”, DAN DISTRIBUTOR OBAT TRADISIONAL DI YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Yohana Ayu Astiti Kusumaningtyas
NIM : 068114122
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
UJI CEMARAN AFLATOKSIN PADA SERBUK SIMPLISIA DAUN JATI BELANDA (Guazumae Folium) YANG DIPERDAGANGKAN DI PASAR
“X”, PASAR “Y”, DAN DISTRIBUTOR OBAT TRADISIONAL DI YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Yohana Ayu Astiti Kusumaningtyas
NIM : 068114122
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
Allah yang memulai pekerjaan baik di antara kita
akan menyelesaikannya
(Flp 1:6).
Kupersembakan karya ini untuk Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, Ibu & Bapak tercinta, Mbak Vivien, Abel Almamater yang kuhormati Teristimewa untuk Petrus Bonaventura Yudhasisthasiwi, yang kukasihi.
Terima kasih atas segala doa, dukungan, kepercayaan dan ruang yang kalian berikan kepadaku untuk menyelesaikan karya ini.
vi
PRAKATA
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
oleh karena berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Uji Cemaran Aflatoksin pada Serbuk Simplisia Daun Jati Belanda
(Guazumae Folium) yang Diperdagangkan di Pasar “X”, Pasar “Y”, dan
Distributor Obat Tradisional di Yogyakarta” ini dengan baik. Skripsi ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
(S.Farm.) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai
pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu
penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Penguji skripsi ini
atas segala kesabaran untuk menunggu, mendukung, memotivasi,
membimbing, dan memberi arahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji skripsi atas
bantuan dan masukan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
4. Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si. selaku Dosen Penguji skripsi atas bantuan
dan masukan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
5. C.M. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt. selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang senantiasa mendukung, memotivasi, dan mengingatkan
vii
6. Mas Wagiran, Mas Sigit, Pak Mukminin, Mas Sarwanto, Mas Andre, Pak
Timbul dan semua staf laboratorium Farmasi yang telah bersedia membantu
dan menemani selama penelitian berlangsung, atas segala kesabaran, bantuan
dan dinamika selama di laboratorium.
7. Sahabat-sahabat terbaik dalam hidupku yang berada di berbagai belahan bumi
ini, terima kasih untuk dukungan dan motivasi yang telah kalian berikan.
8. Teman-teman FST angkatan 2006 atas kebersamaan, persahabatan, suka dan
duka selama ini.
9. Pihak-pihak lain yang turut membantu penulis namun tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna, termasuk
penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik, saran dan masukan
dari berbagai pihak demi kemajuan di masa yang akan datang.
Akhir kata, penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak, baik mahasiswa, lingkungan akademis, masyarakat, serta dapat
memberikan sumbangan kecil bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang kefarmasian.
viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah
ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Yogyakarta, 1 Maret 2012
Penulis
ix
UJI CEMARAN AFLATOKSIN PADA SERBUK SIMPLISIA DAUN JATI BELANDA (Guazumae Folium) YANG DIPERDAGANGKAN DI PASAR
“X”, PASAR “Y”, DAN DISTRIBUTOR OBAT TRADISIONAL DI YOGYAKARTA
INTISARI
Masyarakat Indonesia sejak dahulu mengenal dan mengkonsumsi seduhan serbuk simplisia daun jati belanda (Guazumae Folium) sebagai jamu pelangsing. Serbuk simplisia daun jati belanda harus memenuhi standar kualitas supaya aman dikonsumsi oleh masyarakat, salah satunya mengenai batas cemaran aflatoksin. Aflatoksin merupakan toksin karsinogenik yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Kadar aflatoksin yang diperbolehkan dalam simplisia menurut Persyaratan Obat Tradisional yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994 adalah kurang dari 30 bagian per juta (bpj).
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non-eksperimental dan deskriptif komparatif yang bertujuan untuk menguji apakah cemaran aflatoksin yang terkandung dalam serbuk simplisia daun jati belanda yang diperjualbelikan di pasar tradisional “X” dan “Y”, serta di sebuah distributor obat tradisional melebihi standar kadar yang diperbolehkan. Uji cemaran aflatoksin ditetapkan secara kualitatif sesuai Parameter Standar Umum Ekstrak Tanaman Obat yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan fase diam silica
GF254dan fase gerak kloroform - aseton (9:1).
Berdasarkan analisis kualitatif yang ditinjau dari perbandingan antara nilai Rf dan intensitas warna bercak serbuk simplisia daun jati belanda dengan standar aflatoksin berkonsentrasi 25 µg/ml, sampel serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di Pasar “Y” memenuhi persyaratan yang ditetapkan, dan pada sampel serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di Pasar “X” hanya ditemukan satu sampel yang tidak memenuhi persyaratan, sedangkan sampel serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di distributor obat tradisional tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
x ABSTRACT
Since many years ago, the Indonesian have already known and used the boiled water of bastard cedar’s leaves (Guazumae Folium) as a slimming medicinal herbs. The simplisia powder of Guazumae Folium must have a quality standart so it is safe to be consumed by people. One of the quality standart is about aflatoxin level. Aflatoksin is a toxic compound produced by the mold
Apergillus flavus and A. parasiticus which is carcinogenic for human. Aflatoxin maximum level that allowed in the traditional medicine is less than 30 part per million (ppm) based on the requirements set forth Traditional Medicine by the Decree of the Minister of Health of the Indonesian Republic No. 661/MENKES/SK/VII/1994.
This is non-experimental research with a comparative description in order to find out the aflatoxin level inGuazumae Folium traded in “X” market, “Y” market, and the traditional medicinal distibutor in Yogyakarta. Aflatoxin contamination test is qualitatively determined according to the General Standard Parameters of Medicinal Plant’s Extract established by the Food and Drug Administration of Indonesian Republic, using Thin Layer Chromatography (TLC) measurements with silica gel as stationer phase and chlorofom-acetone (9:1) as the mobile phase.
Based on the result of qualitative analysis, according to the comparation of Rf value and the color intensity measurement between Guazumae Foliumand 25 µg/ml aflatoxin standart, non of Guazumae Folium traded in “Y” market contains Aflatoxin, only one of the Guazumae Folium sample traded in “X” Market contain Aflatoxin, andGuazumae Foliumtraded in Traditional Medicine’s Distributor is contain the Aflatoxin.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
PRAKATA ... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii
INTISARI ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Keaslian Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
E. Tujuan Penelitian ... 5
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 6
A. Jati Belanda ... 6
xii
2. Deskripsi daun tanaman jati belanda ... 6
3. Pemerian daun jati belanda ... 7
B. Simplisia ... 8
C. Serbuk Simplisia ... 13
D. Aflatoksin ... 14
E. Destilasi Toluena ... 16
F. Kromatografi Lapis Tipis ... 18
G. Landasan Teori ... 20
H. Hipotesis ... 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 23
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 23
B. Variabel dan Definisi Operasional ... 23
1. Klasifikasi variabel ... 23
2. Definisi operasional ... 24
C. Bahan ... 24
D. Alat ... 25
E. Jalannya Penelitian ... 25
1. Pengambilan serbuk simplisia daun jati belanda ... 25
2. Identifikasi serbuk simplisia daun jati belanda ... 26
3. Pengukuran kadar air serbuk simplisia daun jati belanda dengan Metode destilasi toluen ... 26
4. Pembuatan fase gerak untuk KLT ... 26
xiii
6. Preparasi sampel serbuk simplisia daun jati belanda ... 27
7. Identifikasi aflatoksin dalam serbuk simplisia daun jati belanda ... 28
F. Analisis Data ... 29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
A. Pengumpulan Bahan ... 30
B. Identifikasi Serbuk Simplisia Daun Jati Belanda ... 31
C. Pengukuran Kadar Air Serbuk Simplisia Daun Jati Belanda ... 33
D. Preparasi Sampel Serbuk Simplisia Daun Jati Belanda ... 35
E. Identifikasi Aflatoksin ... 37
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 45
A. Kesimpulan ... 45
B. Saran ... 45
DAFTAR PUSTAKA ... 46
LAMPIRAN ... 49
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Hasil identifikasi serbuk simplisia daun jati belanda ... 32
Tabel II. Kadar air rata-rata serbuk simplisia daun jati belanda ... 34
Tabel III. Pengukuran nilai Rf kromatogram serbuk simplisia daun jati belanda
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur aflatoksin ... 15
Gambar 2. Skema destilasi toluena ... 16
Gambar 3. Kromatografi kolom ... 28
Gambar 4. Kromatogram replikasi 1 dan 2 di bawah sinar UV 254 nm ... 38
Gambar 5. Kromatogram replikasi 1 dan 2 di bawah sinar UV 365 nm ... 39
Gambar 6. Kromatogram replikasi 3 di bawah sinar UV 254 nm ... 39
Gambar 7. Kromatogram replikasi 3 di bawah sinar UV 365 nm ... 40
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data penimbangan untuk preparasi sampel ... 50
Lampiran 2. Data perhitungan kadar air ... 50
A. Serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di Pasar “X” 50 B. Serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di Pasar “Y” 51 C. Serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di Pasar “X” 51 Lampiran 3. Foto-foto lain ... 52
A. Alat destilasi toluena ... 52
B. Penambahan NaCl 0,1% ... 52
C. Penambahan heksana ... 53
D. Penambahan kloroform ... 53
E.ChamberKLT ... 54
Lampiran 4. Fragmen serbuk simplisia daun jati belanda dalam monografi (Dirjen POM RI, 1978) ... 54
Lampiran 5. Fragmen serbuk simplisia daun jati belanda dilihat dari mikroskop ... 55
A. Rambut penutup berbentuk bintang ... 55
B. Epidermis dan butir kristal oksalat ... 55
1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia sejak dahulu mengenal dan mengkonsumsi jamu
sebagai warisan turun-temurun dari nenek moyang. Banyak manfaat yang
didapatkan dari mengkonsumsi jamu. Jamu dipercaya bisa meningkatkan fungsi
dan kerja tubuh. Selain itu, jamu biasa digunakan memperbaiki metabolisme
tubuh dan merawat kecantikan diri. Jamu yang sering dikonsumsi masyarakat
sebagai bentuk perawatan tubuh adalah jamu pelangsing. Salah satu simplisia
yang lazim terdapat di dalam komposisi jamu pelangsing adalah jati belanda
(Guazuma ulmifoliaLamk.).
Menurut Rini (2007), seduhan daun kering daun jati belanda dapat
berpengaruh terhadap penurunan berat badan tikus putih. Selain itu, terdapat
penelitian bahwa pemberian infusa daun jati belanda dan daging daun lidah buaya
berpengaruh terhadap penurunan berat badan tikus putih jantan galur Wistar
(Setiyani, 2005). Rahardjo (2004) menyebutkan bahwa ekstrak etanol daun jati
belanda berpengaruh terhadap penurunan aktivitas enzim lipase serum Rattus
norvegicus. Hal ini juga yang mendorong produsen jamu tradisional
menggunakan daun jati belanda sebagai bahan baku jamu, khususnya sebagai
jamu pelangsing.
Daun jati belanda bisa dikonsumsi baik dalam bentuk campuran dengan
belanda diperjualbelikan secara bebas di pasar tradisional ataupun di berbagai
distributor obat tradisional. Di Yogyakarta, terdapat beberapa pasar tradisional
yang menyediakan bahan-bahan obat tradisional, termasuk serbuk simplisia daun
jati belanda, antara lain adalah pasar "X" dan pasar "Y". Selain di pasar-pasar
tradisional, serbuk daun jati belanda juga bisa diperoleh di distributor obat
tradisional.
Bahan obat tradisional, termasuk pula serbuk simplisia daun jati belanda,
harus memenuhi persyaratan mutu dan kualitas yang meliputi SQE (Safety,
Quality, Efficacy) supaya bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Walaupun sekarang
ini pengolahan jamu telah mengalami kemajuan yang cukup pesat, tidak bisa
dipungkiri bahwa masih banyak kelemahan dalam segi produksi, mulai dari
proses penyiapan bahan baku simplisia, pembuatan simplisia, penyimpanan di
pasaran, dan pengemasan. Salah satu persyaratan keamanan simplisia yang dapat
dikonsumsi masyarakat adalah mengenai batas kandungan cemaran aflatoksin
yang bersifat karsinogenik. Daun jati belanda, terutama yang diproses oleh para
petani dengan pengetahuan kebersihan minimal, memperbesar kemungkinan
pencemaran kapang, tidak terkecuali kapang penghasil aflatoksin, seperti
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus, sehingga memungkinkan adanya
cemaran aflatoksin di dalamnya (Kuswandi dan Yuswanto, 1981).
Perdagangan serbuk simplisia daun jati belanda sebagai bahan baku
jamu pelangsing di pasar "X", pasar "Y", dan distributor obat tradisional di
Yogyakarta tidak luput dari ancaman pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin.
hingga menjadi serbuk simplisia hingga didistribusikan di tempat-tempat
perdagangan tersebut tidak diketahui secara pasti sehingga menimbulkan
kecurigaan adanya cemaran kapang dalam serbuk simplisia. Dilihat dari faktor
wadah dan cara penyimpanan di lokasi pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat
tradisional di Yogyakarta, serbuk simplisia hanya dikemas dalam wadah plastik
tidak kedap udara dan seluruhnya disimpan di rak-rak kayu tanpa adanya
pemisahan antara simplisia yang satu dengan simplisia lainnya. Lamanya rentang
waktu hingga serbuk simplisia daun jati belanda terjual dapat dilihat dari kemasan
serbuk simplisia yang berdebu serta tidak tercantum waktu (tanggal) perolehan
dari petani (tidak ada penerapan metodefirst in first out), serta faktor lingkungan
antara lain lokasi blok pedagang jamu tradisional di kedua pasar yang lembab
memungkinkan pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin yang dapat mencemari
serbuk simplisia daun jati belanda.
Apabila kapang yang mengkontaminasi serbuk simplisia daun jati
belanda merupakan kapang penghasil aflatoksin dan aflatoksin yang dihasilkan
melebihi persyaratan yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat
Tradisional, yaitu tidak lebih dari 30 µg/kg (Dirjen POM RI, 1994), maka akan
sangat berbahaya apabila dikonsumsi masyarakat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, timbul suatu permasalahan, yaitu
pasar “Y”, dan distributor obat tradisional memenuhi persyaratan cemaran
aflatoksin yang diperbolehkan menurut Persyaratan Obat Tradisional yang
dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
661/MENKES/SK/VII/1994?
C. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian mengenai
pengujian cemaran aflatoksin pada serbuk simplisia daun jati belanda yang
diperdagangkan di pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat tradisional di
Yogyakarta belum pernah dipublikasikan. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan antara lain:
1. Deteksi aflatoksin dalam simplisia ramuan jamu dan jamu oleh Kuswandi dan
Yuswanto (1981).
2. Uji cemaran aflatoksin pada rimpang kunyit (Curcuma domesticaVal.) oleh
Apsari (2010).
3. Uji cemaran aflatoksin pada rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) oleh Wibowo (2010).
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai obat
tradisional, terutama mengenai pengujian cemaran aflatoksin pada serbuk
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
akademisi tentang metode pengujian cemaran aflatoksin dalam serbuk
simplisia daun jati belanda. Selain itu, pelitian ini dapat memberikan informasi
kepada masyarakat mengenai salah satu aspek kualitas, yaitu cemaran
aflatoksin, pada serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di
pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat tradisional di Yogyakarta.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas
serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di pasar “X”, pasar “Y”,
dan distributor obat tradisional di Yogyakarta, berdasarkan persyaratan kadar
cemaran aflatoksin yang diperbolehkan menurut Persyaratan Obat Tradisional
yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
6
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Jati Belanda (Guazuma ulmifoliaLamk.) 1. Keterangan botani
Sistem klasifikasi tanamam jati belanda
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Dilleniidae
Ordo: Malvales
Famili: Sterculiaceae
Genus: Guazuma
Spesies:Guazuma ulmifoliaLamk
Jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) merupakan anggota suku
Sterculiaceae (Dirjen POM, 1978). Tanaman jati belanda lebih dikenal di
Sumatera dengan nama jati belanda (Melayu), di pulau Jawa dikenal dengan nama
2. Daun jati belanda (Guazumae Folium)
Daun jati belanda (Guazumae Folium) adalah daun tanaman Guazuma
ulmifoliaLamk. Var.tomantosa.K. Schum (Dirjen POM, 1978).
3. Pemerian daun jati belanda
Bentuk daun jati belanda yaitu bundar telur sampai lanset, panjang helai
daun 4 sampai 22,5 cm, lebar daun 2 sampai 10 cm. Pangkal menyerong
berbentuk jantung yang kadang-kadang tidak setangkup, bagian ujung meruncing,
pinggirnya bergigi, permukaan daun bagian atas berambut jarang namun
permukaan bagian bawah berambut rapat. Warna daunnya hijau kecoklatan
hingga coklat muda, tangkai daun memiliki panjang antara 5 sampai 25 mm,
mempunyai daun penumpu berbentuk lanset atau berbentuk paku, panjang 3
sampai 6 mm (Dirjen POM RI, 1978).
Daun jati belanda memiliki bau aromatik lemah dengan rasa agak kelat.
Ciri-ciri mikroskopik daun jati belanda antara lain epidermis atas terdiri dari satu
lapis sel, berambut penutup, berambut kelenjar, kutikula agak besar, dan tidak
terdapat stomata. Epidermis bawah memiliki ciri yang sama dengan epidermis
atas, hanya saja selnya lebih kecil dan memiliki stomata. Rambut penutup
berbentuk menyerupai bintang yang terdiri dari beberapa rambut bersel tunggal,
sedangkan rambut kelenjar terdiri dari dua sampai tiga sel tangkai dan tiga sel
kepala, dengan satu sel kepala lebih besar dari dua sel lainnya. Mesofil terdiri dari
jaringan palisade dan bunga karang, yang di dalamnya terdapat hablur kalsium
oksalat berbentuk prisma (Dirjen POM, 1978). Serbuk daun jati belanda berwarna
berbentuk bintang; rambut kelenjar; hablur kalsium oksalat berbentuk prisma;
fragmen epidermis atas dan bawah; serta pembuluh kayu dengan penebalan
tangga (Dirjen POM RI, 1978).
B. Simplisia
Simplisia merupakan bentuk jamak dari kata simplek yang berasal dari
kata simple,dan memiliki arti “sederhana”. Istilah simplisia biasanya digunakan
untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang belum mengalami perubahan bentuk
atau masih dalam bentuk aslinya. Menurut Depertemen Kesehatan RI, simplisia
adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat dan belum mengalami
pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, umumnya berupa bahan
yang telah dikeringkan. Secara umum, simplisia dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral.
Simplisia nabati ialah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian suatu tanaman,
eksudat tanaman, atau gabungan dari ketiganya. Yang dimaksud eksudat tanaman
ialah isi sel yang keluar dari tanaman secara spontan atau secara sengaja dengan
cara tertentu (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Selanjutnya, simplisia diolah untuk menjadi produk kefarmasian yang
siap dipakai atau siap untuk diproses pada tahap selanjutnya dalam beberapa
bentuk, antara lain: (1) siap dipakai dalam bentuk serbuk halus, yang digunakan
dengan cara diseduh sebelum diminum (jamu), (2) siap dipakai untuk selanjutnya
menjadi bentuk sediaan farmasi lain, yang umumnya melalui proses ekstraksi
(Gunawan dan Mulyani, 2004).
Suatu simplisia yang digunakan sebagai bahan baku (awal) atau sebagai
produk yang siap dikonsumsi secara langsung, minimal harus dapat memenuhi
parameter standar umum mengenai:
1. Kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian (bebas dari segala kontaminasi
kimia maupun biologis), dan kestabilan (dalam wadah, penyimpanan, dan
proses distibusi transportasi).
2. Tiga paradigma parameter produk kefarmasian, yaituSafety, Quality, Efficacy
(aman, bermutu, dan bermanfaat).
3. Informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa yang terkandung di dalamnya
(Dirjen POM RI, 2000).
Oleh karena itu, untuk memenuhi persyaratan tersebut, ada beberapa faktor
penting yang berpengaruh, antara lain: (1) bahan baku simplisia, (2) proses
pembuatan simplisia, dan (3) cara pengepakan dan penyimpanan simplisia (Dirjen
POM RI, 1985).
Berdasarkan bahan bakunya, simplisia bisa diperoleh dari tanaman yang
dibudidayakan atau dari tanaman liar. Keseragaman umur, masa panen, galur (asal
usul, garis keturunan) tanaman budidaya dapat dipantau. Namun tidak demikian
dengan tanaman liar. Banyak kendala dan variabilitas yang tidak bisa
dikendalikan seperti umur, asal tanaman, dan tempat tumbuh. Variasi seperti
Pembuatan simplisia meliputi beberapa tahapan. Secara umum, tahapan
pembuatan simplisia adalah sebagai berikut.
1. Pengumpulan bahan baku
Tahapan pengumpulan bahan baku merupakan tahap yang sangat
menentukan kualitas bahan baku. Faktor yang paling berperan dalam tapan ini
ialah masa panen. Misalnya pada bahan baku daun atau herba. Untuk
mendapatkan daun atau herba yang berkualitas, pemanenan dilakukan pada saat
proses fotosintesis berlangsung maksimal. Proses tersebut ditandai saat tanaman
mulai berbunga atau buah mulai masak, sedangkan untuk pengambilan pucuk
daun, dianjurkan dipetik ketika warna pucuk daun berubah menjadi daun tua
(Gunawan dan Mulyani, 2004).
2. Sortasi basah
Sortasi basah merupakan pemilihan hasil panen ketika tanaman masih
segar. Sortasi basah bertujuan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan
asing, memisahkan bahan tanaman yang berukuran besar atau kecil, serta
memisahkan bahan tanaman yang tua dengan yang muda (Sembiring, 2007).
Sortasi antara lain dilakukan terhadap tanah dan kerikil, rumput-rumputan liar,
bahan tanaman lain atau bagian lain dari tanaman yang tidak digunakan, serta
bagian tanaman yang rusak (misalnya dimakan ulat) (Gunawan dan Mulyani,
3. Pencucian
Pencucian simplisia dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang
menempel pada tanaman, terutama kotoran yang berasal dari dalam tanah, dan
bahan-bahan kimia seperti pestisida (Gunawan dan Mulyani, 2004). Pencucian
juga bertujuan untuk mengurangi mikroba yang melekat pada bahan. Pencucian
dilakukan dengan menggunakan air bersih dan dalam waktu sesingkat mungkin
(Dirjen POM RI, 1985). Menurut Gunawan dan Mulyani (2004), pencucian
sayuran sebanyak satu kali akan menurunkan jumlah mikroba sebanyak 25%.
Namun pencucian yang dilakukan sebanyak tiga kali hanya akan menurunkan
mikroba sebesar 58%.
4. Pengubahan bentuk
Cepat lambatnya proses pengeringan bahan baku simplisia dipengaruhi
oleh luas permukaan bahan baku. Untuk memperluas permukaan bahan baku
diperlukan proses pengubahan bentuk simplisia. Proses pengubahan bentuk ini
meliputi beberapa perlakuan sebagai berikut.
(a) Perajangan untuk rimpang, daun, dan herba,
(b) pengupasan untuk buah, kayu, kulit kayu, dan biji-bijian berukuran besar,
(c) pemisahan biji dari bonggol, seperti pada jagung,
(d) pemotongan untuk akar, batang, kayu, kulit kayu, dan ranting, dan
(e) penyerutan untuk kayu (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Perlu diperhatikan bahwa semakin luas dan tipis permukaan suatu bahan
baku maka akan semakin cepat penguapan air, sehingga waktu pengeringan
terlalu tipis, maka dapat menyebabkan hilangnya zat-zat yang mudah menguap,
sehingga komposisinya dapat berubah (Dirjen POM RI, 1985).
5. Pengeringan
Pengeringan merupakan tahapan yang penting diperhatikan dalam
pembuatan simplisia. Kesalahan dalam pengeringan akan menyebabkan kerusakan
berupa hilangnya komponen penting ataupun kontaminasi jamur dan kotoran.
Kandungan air pada simplisia akan mempengaruhi daya tahan simplisa tersebut
terhadap serangan jamur (Winarno, 1980). Selain bertujuan untuk menghilangkan
kandungan air, pengeringan juga bertujuan untuk menghilangkan aktivitas enzim
yang bisa menguraikan kandungan zat aktif dan mempermudah proses selanjutnya
(bahan menjadi ringkas, mudah disimpan, tahan lama) (Gunawan dan Mulyani,
2004).
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan pada suatu proses Pengeringan
adalah waktu pengeringan, suhu pengeringan, kelembaban udara di sekitar tempat
pengeringan, ketebalan bahan baku, sirkulasi udara, serta luas permukaan bahan.
Faktor-faktor tersebut perlu disesuaikan dengan variasi bahan yang akan
dikeringkan. Misalnya pengeringan bahan berupa daun-daunan seperti jati
belanda, pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan sinar matahari,oven,
ataupunblower. Jika suhu pengeringan terlalu tinggi, dikhawatirkan akan merusak
kandungan zat aktif dalam bahan, sehingga mutunya menurun. Pada umumnya,
bahan yang sudah kering memiliki kandungan air sekitar 8%-10% (Sembiring,
6. Sortasi kering
Sortasi kering ialah pemilihan bahan setelah mengalami proses
pengeringan (Gunawan dan Mulyani, 2004). Pemilihan dilakukan terhadap
bahan-bahan yang terlalu gosong akibat pengeringan, pengotor-pengotor lain yang
tertinggal pada simplisia kering, maupun bagian tanaman yang tidak diinginkan
(Dirjen POM RI, 1985).
7. Pengepakan dan penyimpanan
Setelah tahap sortasi kering, simplisia perlu ditempatkan dalam suatu
wadah agar tidak saling bercampur antar simplisia satu dan yang lain (Sembiring,
2007). Wadah yang dapat digunakan memiliki beberapa persyaratan antara lain
harus inert; tidak beracun bagi bahan yang diwadahi; mampu melindungi
simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, maupun serangga; mampu melindungi
simplisia dari penguapan kandungan zat aktif; serta mampu melindungi simplisia
dari pengaruh oksigen, cahaya, dan uap air (Gunawan dan Mulyani, 2004).
C. Serbuk Simplisia
Serbuk simplisia dihasilkan dari simplisia yang mengalami suatu proses
pembuatan serbuk (penyerbukan). Simplisia dibuat menjadi serbuk simplisia
dengan menggunakan peralatan tertentu hingga mencapai derajat kehalusan
tertentu (Dirjen POM RI, 2000). Pembuatan serbuk simplisia bertujuan untuk
mempermudah penggunaan oleh konsumen. Serbuk simplisia dapat dikonsunmsi
yang sesuai dengan kabutuhan konsumen seperti misalnya bentuk param, pilis,
pil, kapsul, tablet, dan suspensi (Sutrisno, 1986).
Bentuk serbuk simplisia memiliki keuntungan dan kerugian antara lain:
1. Mempermudah konsumen untuk mengkonsumi karena hanya perlu diseduh
dan kemudian disaring, sehingga air seduhan serbuk simplisia bisa langsung
dikonsumsi. Serbuk simplisia juga bisa diubah bentuknya menjadi
bermacam-macam bentuk sediaan tergantung kepada fungsi dan tujuan pemakaiannya
(Sutrisno, 1986).
2. Semakin halus suatu simplisia, semakin rumit peralatan yang digunakan
untuk filtrasi, namun proses ekstraksinya akan semakin efektif.
3. Pada saat proses penyerbukan, terjadi gesekan antara simplisia dengan
peralatan yang digunakan (misalnya logam). Panas yang timbul karena
adanya gesekan tersebut dapat berpengaruh pada kandungan senyawa dalam
simplisia
(Dirjen POM RI, 2000)
.4. Pada serbuk simplisia tidak dapat dilakukan analisis secara makroskopik.
Pemeriksaan mutu yang dapat dilakukan hanya melalui pemeriksaan
mikroskopik dan kimiawi. Selain itu, semakin halus derajat serbuknya,
semakin sulit pula pengenalan sel-sel atau jaringan tananmannya (Sutrisno,
1986).
D. Aflatoksin
Aflatoksin (aspergillus flavus toxin) adalah suatu jenis mikotoksin yang
terdapat pada bahan pangan. Aflatoksin ditemukan sekitar tahun 1960 akibat
seratus ribu ekor korban ternak. Aflatoksin secara alami terdapat pada tanaman
pangan, terutama pada kacang-kacangan. Bahan-bahan ini ditumbuhi kapang
selama pemanenan dan penyimpanan dalam kondisi lembab. Toksin ini dihasilkan
dari kapang Aspergillus flavus dan genus aspergillus lainnya, yang diproduksi
pada suhu antara 7,5-40oC, dengan suhu optimum 24-28oC. Aflatoksin dapat
menyebabkan toksigenik (menimbulkan keracunan), mutagenik (menimbulkan
mutasi), teratogenik (menimbulkan penghambatan pada pertumbuhan janin), dan
karsinogenik (menimbulkan kanker) (Makfoeld,1993).
Secara garis besar, aflatoksin terdiri dari enam komponen induk (Gambar
1.), yaitu aflatoksin B1 (AfB1), aflatoksin B2 (AfB2), aflatoksin G1 (AfG1),
aflatoksin G2 (AfG2), aflatoksin M1(AfM1), aflatoksin M2(AfM2). Dari keenam
komponen induk tersebut, Makfoeld (1993) menyebutkan bahwa komponen
aflatoksin yang paling berbahaya adalah AfB1 dan jumlahnya paling banyak
terdapat di alam.
Gambar 1. Struktur Aflatoksin
Alflatoksin tahan terhadap panas, pencampuran, dan beberapa bahan
kimia. Menurut Manik (2003), aflatoksin memiliki sifat khas, yaitu dapat
berfluoresensi jika terpapar sinar ultraviolet, sehingga sifat tersebut dapat
digunakan untuk uji kualitatif maupun kuantitatif. Aflatoksin B berfluoresensi
biru (Blue), sedangkan Aflatoksin G berfluoresensi hijau (Green). Aflatoksin
bersifat sangat tidak larut dalam air, larut dalan aseton atau kloroform, dengan Aw
(water activity) minimal 0,78 dan optimal 0,98 (Muchtadi, 2005).
E. Destilasi Toluena
Destilasi toluen, atau yang biasa disebut metode azeotropi merupakan
salah satu metode yang digunakan untuk menetapkan kadar air pada suatu bahan.
Metode ini didasarkan pada perbedaan berat jenis dan polaritas antara air dan
toluen (Dirjen POM RI, 1995).
Keterangan :
A = Labu kaca 500 ml
B = Perangkap
C = Pendingin refluks
D = Tabung penghubung
E = Tabung penerima kapasitas 5 ml
F. Kromatografi Kolom
Kromatografi adalah suatu proses pemisahan senyawa. Dahulu,
kromatografi digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa berwarna. Namun
saat ini, kromatografi juga digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang
tidak berwarna, termasuk di antaranya berbentuk gas. Pada dasarnya semua
metode kromatografi menggunakan dua fase, yaitu fase diam (stationary phase)
dan fase gerak (mobile phase) (Sastrohamidjojo, 2002). Fase diam dapat berupa
bahan padat (porus) dalam bentuk cairan, sedangkan fase gerak dapat berupa
cairan atau gas (Rohman, 2009).
Kromatografi kolom sering disebut dengan kromatografi serapan
(absorption chromatography). Bahan yang sering digunakan sebagai penyerap
antara lain silika gel dan aluminium oksida. Bahan-bahan tersebut dimasukkan
dalam tabung kaca atau kwarsa dengan ukuran tertentu dan mempunyai lubang
pengalir keluar dengan ukuran tertentu (Dirjen POM RI, 1979 b).
Sampel yang diperiksa dilarutkan dalam sedikit pelarut, kamudian
dimasukkan melalui puncak kolom dan dibiarkan mengalir melalui zat penyerap.
Zat tertentu nantinya akan diserap dari larutan oleh bahan penyerap. Selanjutnya,
dengan atau tanpa tekanan udara, masing-masing zat tersebut akan bergerak turun
dengan kecepatan yang spesifik, sehingga terjadi suatu pemisahan dalam kolom
yang disebut kromatogram. Kecepatan bergerak zat akan dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti daya serap bahan penyerap, sifat pelarut, dan suhu sistem
Pemisahan yang banyak dilakukan selama ini model kromatogram
mengalir, yaitu pemisahan dengan cara mengalirkan pelarut melalui kolom,
sehingga zat yang dikehendaki keluar dari dalam kolom. Kromatografi ini juga
dapat dilakukan dengan mengalirkan pelarut yang sama atau pelarut yang berbeda,
yang memiliki daya elusi lebih kuat (Dirjen POM RI, 1979).
Kecepatan pergerakan zat terlarut melalui fase diam ditentukan oleh
perbandingan distribusinya (D), dan besarnya D ditentukan oleh afinitas relatif zat
pada fase diam dan fase gerak. Nilai D, dalam konteks kromatografi, didefinisikan
sebagai perbandingan antara konsentrasi zat dalam fase diam (Cs) dengan
konsentrasi zat dalam fase gerak (Cm). Semakin besar nilai D maka migrasi zat
semakin lambat, dan sebaliknya, semakin kecil nilai D, maka migrasi zat akan
semakin cepat (Rohman, 2009).
G. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode pemisahan
komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorbsi atau partisi oleh fase diam di bawah
gerakan pelarut pengembang (fase gerak) atau campuran pelarut pengembang
(Mulya dan Suharman, 1995). Kromatografi ini merupakan salah satu metode
kromatografi planar. Fase diam KLT berupa lapisan yang seragam pada
permukaan bidang datar yang didukung oleh suatu lempengan kaca, pelat
aluminium, ataupun pelat plastik (Rohman, 2009).
Pemilihan fase gerak untuk pengembangan sangat dipengaruhi oleh
digunakan adalah silika gel yang dicampur dengan kalsium sulfat untuk
menambah daya ikat partikel silika gel pada pendukung (pelat). Fase diam lainnya
yang banyak digunakan antara lain alumina, serbuk selulose, kanji, dan sephadex
(Mulya dan Suharman, 1995).
Parameter suatu kromatografi lapis tipis adalah faktor retensi (Rf), yaitu
perbandingan jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh fase gerak.
Rumusnya pengukuran Rf adalah sebagai berikut:
Harga Rf umumnya lebih kecil dari 1, dan apabila dikalikan dengan 100, maka
akan berharga 1-100, sehingga parameter ini dapat digunakan untuk perhitungan
kualitatif dalam pengujian sampel dengan menggunakan metode kromatografi
lapis tipis (Sumarno, 2001).
Pemisahan yang optimal pada kromatografi lapis tipis akan diperoleh
hanya jika penotolah sampel dilakukan dengan ukuran bercak sekecil dan
sesempit mungkin. Seperti pada prosedur kromatografi lainnya, jika sampel yang
digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Penotolan sampel yang
tidak tepat akan menyebabkan bercak melebar dan munculnya puncak ganda.
Diameter bercak yang direkomendasikan untuk tujuan KLT densitometri adalam 2
mm untuk volume sampel 0,5 µl (Gholib dan Rohman, 2007).
Reprodusibilitas kromatogram dapat dipertahankan dengan cara
menotolkan sampel dengan volume minimal 0,5 µl. Jika volume sampel yang
akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 µl, maka penotolan harus dilakukan bertahap
pengembangan sampel dalan bejana kromatografi. Bagian bawah lempeng lapis
tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam fase gerak, kurang lebih
setinggi 0,5-1 cm. Tinggi fase gerak harus berada di bawah totolan sampel yang
diuji (Gholib dan Rohman, 2007).
Perlu diingat bahwa sebelum penotolan sampel, bejana kromatografi harus
dijenuhkan terlebih dahulu dengan uap fase gerak yang digunakan. Biasanya
bejana dilapisi oleh kertas saring, kemudian fase gerak dimasukkan ke dalamnya,
dan bejana ditutup rapat. Jika fase gerak sudah mencapai ujung permukaan atas
kertas saring, maka dapat dikatakan bahwa bejana dan fase gerak telah jenuh dan
siap digunakan (Gholib dan Rohman, 2007).
Bercak pemisahan pada KLT umumnya adalah bercak tidak berwarna.
Deteksinya dapat dilakukan secara fisika maupun kimia. Deteksi secara fisika
yang dapat dilakukan adalah dengan fluoresensi sinar ultraviolet dan pencacahan
radioaktif. Fluoresensi sinar ultraviolet bisa digunakan untuk senyawa yang dapat
berfluoresensi. Deteksi secara kimia dapat dilakukan melalui penyemprotan pelat
dengan reagen yang spesifik untuk senyawa yang diteliti (Gholib dan Rohman,
2007).
H. Landasan Teori
Tahapan-tahapan dalam pembuatan serbuk simplisia daun jati belanda
dapat mempengaruhi kualitasnya, terutama mengenai kandungan cemaran
aflatoksin yang dapat dipicu oleh kadar air yang terdapat di dalamnya. Kadar air
dalam serbuk simplisia dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang, tidak
flavus dan Aspergillus parasiticus. Jika kadar air meningkat, maka ada
kemungkinan pertumbuhan kapangAspergillus flavus danAspergillus parasiticus
juga meningkat. Suhu dan kelembaban udara di lokasi pengambilan sampel juga
dapat mendukung pertumbuhan kapang tersebut. Apabila pertumbuhan kapang
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus meningkat, maka dapat memicu
peningkatan produksi aflatoksin dalam serbuk simplisia daun jati belanda. Selain
itu, kondisi dan lama penyimpanan serbuk simplisia yang tidak dapat terkontrol di
pasar dan distributor tempat pengambilan sampel juga dapat memperbesar potensi
pembentukan aflatoksin dalam serbuk simplisia daun jati belanda.
Aflatoksin, mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus
dan Aspergillus parasiticus, jika terpapar dalam jumlah tertentu pada tubuh
manusia dapat menyebabkan keracunan akut, dan jika terpapar dalam kurun waktu
yang panjang dapat menyebabkan toksigenik kronis, mutagenik, teratogenik, dan
karsinogenik. Bahkan pada kasus serius, aflatoksin dapat menyebabkan kematian.
Karena pada kadar tertentu aflatoksin memiliki efek yang negatif bagi tubuh,
maka Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM) Republik
Indonesia menetapkan batas kandungan cemaran aflatoksin pada sediaan obat
tradisional, yaitu tidak lebih dari 30 bpj (bagian per juta).
Dewasa ini, diperlukan suatu penelitian mengenai kandungan cemaran
aflatoksin yang terdapat di dalam sediaan obat tradisional untuk menjamin
kualitas sesuai dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah. Sediaan obat
tradisional berupa serbuk simplisia daun jati belanda diperdagangkan secara bebas
mengenai kandungan aflatoksinnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian
untuk mengetahui kandungan cemaran aflatoksin dalam serbuk simplisia daun jati
belanda.
Uji cemaran aflatoksin dalam sediaan obat tradisional secara kualitatif
dapat dilakukan dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan deteksi
menggunakan sinar ultra violet. Aflatoksin memiliki sifat dasar dapat
berfluoresensi di bawah sinar ultra violet (UV) 254 nm dan 365 nm, sehingga
akan mudah diamati. Selain menggunakan sinar UV sebagai pendeteksi
keberadaan aflatoksin, dapat juga digunakan pereaksi semprot vanilin-asam sulfat.
Metode KLT cocok digunakan sebagai deteksi awal (uji kualitatif) adanya
aflatoksin karena relatif mudah dan efisien untuk dilakukan dibandingkan dengan
metode kromatografi yang lain sepertiHigh Performance Liquid Chromatography
(HPLC), sehingga metode ini dapat digunakan oleh Industri Kecil Obat
Tradisional (IKOT) untuk menjamin kualitas sediaannya.
I. Hipotesis
Serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di pasar “X”,
pasar “Y”, dan distributor obat tradisional memenuhi persyaratan kadar cemaran
aflatoksin dalam obat tradisional, sesuai dengan Persyaratan Obat Tradisional
yang diputuskan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non-eksperimental, karena
tidak diberikan perlakuan terhadap subjek uji. Rancangan penelitian ini bersifat
deskriptif komparatif, karena hanya mendeskripsikan keadaan subjek uji,
kemudian hasil yang didapatkan dibandingkan dengan standar yang ada.
B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Klasifikasi variabel
a. Variabel bebas : serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di
pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat tradisional di Yogyakarta.
b. Variabel tergantung : kandungan aflatoksin dalam serbuk simplisia daun jati
belanda yang diperdagangkan di pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat
tradisional di Yogyakarta.
c. Variabel pengacau terkendali : penyimpanan serbuk simplisia daun jati
belanda yang diperdagangkan di pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat
tradisional di Yogyakarta, proses preparasi serta bahan-bahan dan alat-alat
uji yang digunakan.
d. Variabel pengacau tidak terkendali : kondisi yang terkait dengan waktu,
umur, dan tempat tumbuh tanaman jati belanda, suhu dan penyimpanan
2. Definisi operasional
a. Serbuk simplisia daun jati belanda adalah simplisia daun jati belanda yang
diperdagangkan di pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat tradisional di
Yogyakarta yang diserbuk, diayak, dan kemudian disimpan dalam wadah
tertutup rapat.
b. Uji cemaran aflatoksin dengan KLT untuk jenis aflatoksin B1, B2, G1, dan
G2 adalah suatu uji kualitatif untuk mengetahui ada tidaknya cemaran
aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 dalam serbuk simplisia daun jati belanda.
c. Distributor obat tradisional adalah usaha kecil menengah yang
mendistribusikan simplisia bahan obat tradisional kepada penjual di pasar
tradisional dan kepada konsumen.
C. Bahan
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk simplisia
daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.), yang diperoleh dari Pasar “X”,
Pasar”Y”, dan sebuah distributor jamu tradisional di Jalan Godean, Yogyakarta.
Bahan-bahan kimia yang digunakan memiliki derajatpro analysis, yaitu
berupa etanol (Merck), toluena (Merck), kloroform (Merck), aseton (Merck),
metanol (Merck), heksana (Merck), dietileter (Merck), standar aflatoksin (Merck),
lempeng KLT (Merck),glass wool, silica gelGF254. Selain itu, bahan-bahan lain
yang digunakan adalah aquadest, dan kertas Whatmann. Seluruh bahan ini
diperoleh dari Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
D. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Oven danwaterbath(Memmert)
b. Shakerdanhot plate(Heidolph MR 2002)
c. Neraca analitik (Presicion Balance Model AB-204, Mettler Toledo)
d. Seperangkat alat gelas berupa gelas Beker, Erlenmeyer, gelas ukur, labu
ukur, cawan porselen, pipet tetes, batang pengaduk, alat destilasi toluena
(Pyrex Iwaki Glass)
e. TLC chamber
f. lampu UV 254 nm dan 365 nm
g. Kamera digital (Canon Coolpix L18).
E. Jalannya Penelitian 1. Pengambilan serbuk simplisia daun jati belanda
Serbuk simplisia daun jati belanda diperoleh dari pasar “X” , pasar
“Y”, dan sebuah distributor obat tradisional di Yogykarta. Sampel diambil
selama bulan Oktober 2010. Sampling dilakukan dengan mengambil
sebanyak 100 g serbuk simplisia daun jati belanda pada setiap blok
pedagang obat tradisional hingga didapatkan total serbuk simplisia daun
2. Identifikasi serbuk simplisia daun jati belanda
Identifikasi serbuk simplisia daun jati belanda dilakukan secara
organoleptik dan mikroskopik dengan cara berikut.
a. Organoleptik, yaitu pengamatan warna, bau, dan rasa serbuk simplisia
daun jati belanda
b. Mikroskopik, yaitu serbuk simplisia daun jati belanda diamati dalam
larutan kloralhidrat menggunakan mikroskop.
3. Pengukuran kadar air serbuk simplisia daun jati belanda dengan metode destilasi toluena
Pengukuran kadar air serbuk simplisia daun jati belanda dilakukan
dengan cara destilasi toluena. Sebanyak 20 g serbuk simplisia daun jati
belanda dimasukkan pada labu destilasi, kemudian ditambahkan 20 ml
toluena, didestilasi selama satu jam. Destilat lalu diukur volumenya dan
dihitung persentase kadar air (% v/b) yang terkandung dalam serbuk
simplisia daun jati belanda.
4. Pembuatan fase gerak untuk KLT
Dibuat 100 ml fase gerak kloroform : aseton dengan perbandingan
(9:1). Sebanyak 225 ml kloroform dicampurkan dengan 25 ml aseton
dalam labu takar 250 ml, kemudian dijenuhkan dalam chamber KLT
5. Pembuatan pelarut
Pelarut metanol-aquadest dibuat dengan perbandingan (80:20)
sebanyak 250 ml. Sebanyak 200 ml metanol dicampurkan dengan 50 ml
aquadest dalam labu takar 250 ml.
6. Preparasi sampel serbuk simplisia daun jati belanda
Sebanyak 3,125 g sampel ditimbang seksama, kemudian
ditambahkan 12,5 ml pelarut metanol-aquadest (80 : 20). Campuran
dikocok dengan shakerselama 15 menit, kemudian disaring dengan kertas
saring Whatman. Sebanyak 5 ml filtrat diambil, ditambah dengan 5 ml
NaCl 0,1% dan 2,5 ml heksana. Lapisan bawah diambil (lapisan atas
dibuang), diekstraksi lagi dengan 2,5 ml heksana, lapisan bawah diambil.
Filtrat (lapisan bawah) tersebut ditambah dengan 2,5 ml kloroform,
kemudian diekstraksi selama ± 10 menit. Lapisan bawah diambil (lapisan
atas disisihkan), ditampung dalam cawan petri (A). Lapisan atas ditambah
2,5 ml kloroform, kemudian diekstraksi ± 4 menit, lapisan bawah diambil.
Ditampung pada cawan petri A. Filtrat diuapkan di udara luar.
7. Preparasi kolom
Kolom dibuat dengan cara memasukkan sedikit glass wool pada
pipet tetes kecil, kemudian ditambahkan dengan silica gel setinggi 5 cm
dari pemukaan glass wool. Lalu pada permukaan atas silica gel ditutup
Gambar 3. Kromatografi Kolom
Kolom dialiri dengan 3 ml heksana. Setelah itu kolom dialiri
dengan 3 ml kloroform. Hasil sampel dilarutkan dengan 6 ml kloroform,
kemudian dimasukkan ke dalam kolom. Kolom dialiri kembali dengan 3
ml heksana. Kolom dialiri dengan 3 ml eter, lalu dialiri dengan 3 ml
kloroform, lakukan 1x. Kolom dialiri dengan 3 ml fase gerak
kloroform-aseton (9 : 1). Filtrat ditampung dalam cawan porselen dan diuapkan
dalam penangas hingga kering. Saat akan ditotolkan, sampel dilarutkan
dengan 0,5 ml metanol.
8. Identifikasi aflatoksin dalam serbuk simplisia daun jati belanda
Sampel ditotolkan sebanyak 3 bercak, masing-masing 5 µl,
kemudian standar aflatoksin - yang merupakan gabungan dariaflatoksin B1,
aflatoksin B2, aflatoksin G1, dan aflatoksin G2 - ditotolkan. Sampel
dikembangkan pada fase gerak (pelat dicelupkan dalam chamber) hingga
batas akhir (jarak 18 cm) dari penotolan. Pelat KLT diambil, kemudian
dikeringkan. Bercak yang terbentuk dideteksi menggunakan sinar UV 254
nm dan 365 nm. Apabila tidak nampak bercak setelah dideteksi dengan diameter = 5-6 mm
silica gel
sinar UV 254 nm dan 365 nm, maka dilakukan penyemprotan dengan
raegen vanilin-asam sulfat. Bercak berwarna biru atau hijau kebiruan
menandakan aflatoksin positif. Nilai Rf hasil elusi sampel dan standar
aflatoksin diketahui dari membandingkan jarak bercak elusi dengan jarak
elusi.
F. Analisis Data
Data yang akan terkumpul dari penelitian ini adalah data kadar air
dalam serbuk simplisia daun jati belanda serta data Rf sampel yang
dibandingkan dengan harga Rf standar aflatoksin. Apabila tidak nampak
bercak yang sesuai dengan Rf dan warna standar aflatoksin, maka dapat
dikatakan sampel serbuk simplisia daun jati belanda tidak mengandung
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengumpulan Bahan
Bahan berupa serbuk simplisia daun jati belanda diperoleh dari
pedagang di dua pasar yang berada di wilayah Kota Yogyakarta, yakni pasar “X”
dan pasar “Y”, serta dari sebuah distributor obat tradisional. Alasan pemilihan dua
pasar tersebut sebagai tempat pengambilan bahan penelitian adalah karena kedua
pasar tersebut termasuk dalam pasar besar di Kota Yogyakarta yang banyak
dikunjungi oleh masyarakat, baik masyarakat di Yogyakarta maupun masyarakat
dari daerah di luar Yogyakarta. Pengambilan sampel tidak dilakukan di pasar yang
lain karena masing-masing hanya terdapat satu pedagang obat tradisional
sehingga tidak memenuhi kriteria untuk dijadikan sumber pengambilan sampel.
Pengambilan bahan penelitian juga dilakukan di sebuah distributor obat
tradisional. Pengambilan bahan penelitian dari distributor obat tradisional adalah
bertujuan untuk membandingkannya dengan bahan penelitian yang dijual di pasar
tradisonal karena terdapat perbedaan kondisi (cara, tempat) penyimpanan, lama
penyimpanan, suhu, dan kelembaban di antara keduanya.
Pengambilan serbuk simplisia daun jati belanda dilakukan pada bulan
Juni-Juli 2011. Pengambilan bahan dilakukan pada bulan-bulan tersebut karena
diharapkan serbuk simplisia yang diperoleh memiliki kadar air yang rendah dan
mengandung banyak senyawa aktif. Metode sampling yang digunakan pada ke
simplisia daun jati belanda dipilih secara acak sejumlah empat pedagang,
kemudian pada masing-masing pedagang diambil serbuk simplisia sebanyak 100
g, sedangkan pada distributor obat tradisional hanya diambil serbuk simplisia
sebanyak 100 g. Serbuk simplisia kemudian diperlakukan sesuai dengan standar
teknis prosedur pengujian cemaran aflatoksin pada obat tradisional.
B. Identifikasi Serbuk Simplisia Daun Jati Belanda
Identifikasi serbuk simplisia daun jati belanda bertujuan untuk
mengetahui apakah bahan yang digunakan dalam penelitian ini benar-benar
merupakan serbuk simplisia daun jati belanda. Identifikasi dilakukan dengan cara
membandingkan serbuk simplisia daun jati belanda dengan monografi standar
tanaman obat. Monografi yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah Dirjen
POM RI, 1979. Identifikasi yang dilakukan meliputi organoleptik (warna, bau,
dan rasa) dan mikroskopik. Pengamatan secara mikroskopik dilakukan dengan
mengamati fragmen-fragmen pengenal menggunakan mikroskop. Bahan yang
diidentifikasi pada penelitian ini yaitu serbuk simplisia daun jati belanda yang
didapatkan dari pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat tradisional. Karena
bahan yang identifikasi berupa serbuk simplisia, maka identifikasi makroskopik
tidak perlu dilakukan.
Berdasarkan pengamatan secara organoleptik dan mikroskopik, dapat
dibuktikan pada tabel 1 bahwa bahan yang didapatkan dari pasar “X”, pasar “Y”,
Tabel I. Hasil identifikasi serbuk simplisia daun jati belanda
Identifikasi Materia Medika
Indonesia jilid III Pasar “X” Pasar “Y”
Distributor Obat atas dan bawah, dan
hablur kalsium
Dari uji organoleptik yang meliputi pengujian warna, bau, dan rasa
didapatkan bahwa serbuk simplisia daun jati belanda baik yang diperoleh dari
pasar “X”, pasar “Y”, maupun distributor obat tradisional berwarna hijau hingga
kecoklatan dengan bau aromatik lemah, dan rasa yang kelat, sesuai dengan
keterangan yang disebutkan oleh acuan yang digunakan (lampiran 2). Pada
identifikasi mikroskopik serbuk simplisia daun jati belanda terlihat bahwa ciri
utama rambut penutup berbentuk bintang dijumpai pada semua sampel (lampiran
5). Selain itu, terlihat fragmen epidermis bagian atas dan bawah, fragmen rambut
kelenjar, dan hablur kalsium oksalat. Data yang didapatkan menunjukkan bahwa
sampel yang diperoleh dari ketiga sumber penelitian memang merupakan serbuk
C. Pengukuran Kadar Air Serbuk Simplisia Daun Jati Belanda
Pengukuran kadar air pada penelitian ini sebenarnya mudah dilakukan
karena sampel simplisia yang digunakan berbentuk serbuk. Pemilihan sampel
berbentuk serbuk bertujuan agar luas permukaan simplisia yang kontak dengan
pelarut semakin besar sehingga proses ekstraksi berlangsung optimal.
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode destilasi
toluena. Destilasi toluena dipilih karena metode ini relatif lebih spesifik untuk
mengukur kadar air dibandingkan dengan cara pengukuran lain seperti gravimetri.
Metode ini menggunakan prinsip perbedaan sifat dan perbedaan berat jenis antara
air dan toluena. Air yang memiliki sifat polar tidak saling campur dengan toluena
yang memiliki sifat non-polar. Air memiliki titik didih 100oC dengan berat jenis 1
g/ml, sedangkan toluena memiliki titik didih 110.6o C dengan berat jenis 0,865
g/ml.
Dari hasil destilasi toluena yang dilakukan kepada semua sampel,
didapatkan pemisahan yang sempurna antara air dan toluena. Air yang berwarna
keruh berada di lapisan bawah destilat, sedangkan toluena yang jernih berada di
lapisan atas. Dari hasil perhitungan kadar air, diketahui bahwa sampel serbuk
simplisia daun jati belanda yang berasal dari pasar “Y” memiliki kadar air yang
lebih tinggi daripada serbuk simplisia daun jati belanda pasar “X” maupun
Tabel II. Kadar air rata-rata serbuk simplisia daun jati belanda
Replikasi Keterangan
Pasar “X” Pasar “Y” Distributor Obat Tradisional
Kadar air rata-rata (%v/b)
9,87 ± 0,637 9,98 ± 0,414 9,49 ± 0,05
Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa kadar air serbuk simplisia
daun jati belanda yang diperdagangkan di Pasar “Y” sebesar 9,98 ± 0,414 %
merupakan kadar air rata-rata tertinggi dibandingkan dengan serbuk simplisia
daun jati belanda yang diperdagangkan di Pasar “X” sebesar 9,87 ± 0,637 %
maupun di distributor obat tradisional sebesar 9,49 ± 0,05 %. Tingginya kadar air
tersebut mungkin disebabkan karena proses pengeringan daun jati belanda yang
kurang optimal. Faktor kekeringan simplisia daun jati belanda, sampai pada
proses pembuatan serbuk sehingga didapatkan serbuk simplisia daun jati belanda,
mungkin kurang diperhatikan oleh pihak produsen simplisia.
Selain proses pengeringan yang kurang optimal, tingginya kadar air pada
serbuk simplisia daun jati belanda juga bisa disebabkan oleh kondisi penyimpanan
yang tidak terkontrol. Serbuk simplisia daun jati belanda hanya disimpan dalam
kemasan plastik yang tidak kedap udara, dan diletakkan bertumpuk-tumpuk pada
rak-rak kayu yang tidak tertutup rapat. Kondisi penyimpanan yang lembab terlihat
pada rak-rak kayu yang sudah lapuk. Hal-hal tersebut yang meningkatkan kadar
air dalam serbuk simplisia daun jati belanda. Tingginya kadar air dalam serbuk
simplisia daun jati belanda dapat memicu tumbuhnya jamur atau kapang pada
D. Preparasi Sampel Serbuk Simplisia Daun Jati Belanda
Sebelum dilakukan uji cemaran aflatoksin pada sampel dengan
menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT), sampel perlu dipreparasi
terlebih dahulu. Preparasi ini bertujuan untuk mengekstraksi senyawa aflatoksin
yang akan diuji. Ekstraksi ini menggunakan prinsip polaritas dan kelarutan
senyawa dalam pelarut yang digunakan.
Pertama-tama serbuk simplisia daun jati belanda ditimbang menggunakan
neraca analitik dan masing-masing direplikasi sebanyak lima kali. Replikasi
bertujuan untuk melihat keterulangan hasil uji agar hasil yang didapatkan
memiliki reprodusibilitas yang baik. Setelah ditimbang, sampel kemudian
diekstraksi satu per satu menggunakan pelarut metanol-aquades (80:20). Pelarut
metanol-aquades bersifat polar, sehingga senyawa-senyawa yang bersifat polar
dalam serbuk simplisia daun jati belanda akan terlarut dalam pelarut tersebut dan
senyawa-senyawa non polar akan terpisah. Campuran kemudian disaring untuk
memisahkan serbuk simplisia dengan pelarutnya.
Seluruh filtrat hasil penyaringan kemudian diambil dan ditambahkan
dengan natrium klorida 0,1% dan juga heksana. Natrium klorida berfungsi untuk
mengikat air yang masih terkandung dalam filtrat, sedangkan heksana berfungsi
untuk menarik senyawa-senyawa non polar (lemak). Lapisan bawah dari ekstraksi
heksana diekstraksi kembali dengan menggunakan kloroform untuk pemurnian
selama sepuluh menit. Ekstraksi menggunakan kloroform ini dilakukan dua kali
ini kemudian diuapkan supaya kloroform dapat menguap dan didapatkan filtrat
kering yang akan dipersiapkan lebih lanjut dengan kromatografi kolom.
E. Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom adalah metode yang bertujuan untuk memisahkan
aflatoksin dari senyawa-senyawa lain dalam sampel. Preparasi ini penting untuk
dilakukan supaya fraksi yang akan ditotolkan pada kromatografi lapis tipis tidak
mengandung banyak senyawa yang dapat mengganggu pemisahan bercak.
Kolom kromatografi yang digunakan pada penelitian ini diisi dengan
menggunakansilica gelGF254sebagai fase diam. Sebelum digunakan, kolom yang
telah dibuat harus melalui proses pencucian untuk memastikan kolom siap
digunakan. Proses pencucian kolom dilakukan dengan mengaliri kolom
menggunakan heksana untuk menghilangkan senyawa-senyawa polar seperti
lemak yang mungkin menempel pada dinding kolom. Setelah dialiri dengan
menggunakan heksana, kolom dialiri kloroform untuk membersihkan sisa
heksana.
Filtrat kering yang telah dipersiapkan dari preparasi sampel dilarutkan
dengan menggunakan kloroform kemudian dipisahkan dengan menggunakan
kolom yang telah dipersiapkan. Filtrat kering dilarutkan dalam kloroform supaya
senyawa-senyawa nonpolar (seperti aflatoksin) yang terkandung dalam filtrat
dapat tertarik ke dalam pelarut. Pemisahan filtrat dilakukan dengan menggunakan
beberapa pelarut antara lain heksana, eter, kloroform, dan kloroform-aseton (9:1).
pengotor agar senyawa aflatoksin dapat terelusi dengan sempurna. Larutan yang
didapatkan kemudian ditampung dan diuapkan pelarutnya untuk mendapatkan
filtrat kering. Filtrat kering yang diperoleh lalu dilarutkan dalam metanol.
F. Identifikasi Aflatoksin
Identifikasi aflatoksin dilakukan dengan metode Kromatografi Lapis Tipis
(KLT) dengan fase diam berupa plat silica gel GF254 dan fase gerak berupa
campuran kloroform-aseton (9:1). Dilihat dari kepolaran fase diam dan fase
geraknya, maka KLT ini digolongkan sebagai fase normal.
Sebelum digunakan, plat silica dimasukkan ke dalam oven dengan suhu
105o C, selama kurang lebih lima belas menit. Hal ini dilakukan untuk
mengeringkan plat KLT dari uap-uap air yang mungkin terabsorpsi oleh silica
selama proses penyimpanan plat. Selain itu, proses ini juga dimaksudkan untuk
mengaktifkan silica dengan cara memperlebar pori-porinya. Jika tidak
dihilangkan, kelembaban yang terkandung pada silica akan mempengaruhi
kualitas pemisahan bercak saat elusi antara lain mengakibatkan pemisahan yang
tidak sempurna atau munculnya bercak yang berekor.
Bejana kromatografi yang akan digunakan dijenuhkan terlebih dahulu
dengan tujuan supaya kondisi dalam bejana menjadi konstan karena terjenuhkan
oleh uap dari pelarut. Kondisi bejana yang jenuh ini dapat mencegah terjadinya
penguapan pelarut yang dapat mempengaruhi hasil elusi.
Untuk mengidentifikasi cemaran aflatoksin dalam sampel, filtrat yang
1,0
0,5
0,0 Rf mikropipet pada fase diam bersama dengan standar aflatoksin. Standar aflatoksin
digunakan sebagai senyawa pembanding untuk mengidentifikasi adanya cemaran
aflatoksin dalam sampel. Standar aflatoksin yang digunakan memiliki konsentrasi
25 µl/ml. Penotolan antar sampel dan standar aflatoksin perlu dilakukan dalam
jarak tertentu supaya ketika pengembangan bercak tidak bersinggungan satu sama
lain dan dapat memisah dengan sempurna. Diharapkan bercak yang dihasilkan
dapat mewakili senyawa individual dan tidak terpengaruh oleh bercak lain.
Setelah proses elusi, akan didapatkan bercak sampel yang kemudian
dideteksi di bawah sinar UV 254 nm dan 365 nm. Bercak tersebut diukur nilai
Rf-nya, lalu dibandingkan dengan nilai Rf standar aflatoksin. Nilai Rf dihitung
berdasarkan perbandingan jarak bercak yang dielusi dengan jarak rambat fase
gerak. Perkiraan identifikasi dapat diperoleh melalui pengamatan dua bercak
(sampel dan standar) denga harga Rf yang kurang lebih sama. Hasil kromatogram
dengan deteksi lampu UV 254 nm dan UV 365 nm ditunjukkan pada gambar 3
dan 4.
A1X1X2X3X4Y1Y2Y3Y4 D A2X1 X2 X3X4Y1Y2Y3Y4D
Rf
1,00
0,50
0,00
Rf
1,00
0,50
0,00
A1X1X2X3X4Y1 Y2Y3 Y4 D A2 X1X2X3X4 Y1Y2Y3Y4D
Gambar 5. Kromatogram replikasi 1 dan 2 di bawah sinar UV 365 nm
A3X1X2 X3 X4 Y1 Y2 Y3 Y4D
1,00
0,50
0,00 Rf
A3X1X2 X3X4 Y1 Y2 Y3Y4D
Gambar 7. Kromatogram replikasi 3 di bawah sinar UV 365 nm
Keterangan gambar 4-7:
A : Standar Aflatoksin
X1 : Sampel 1 Pasar “X”
D : Sampel Distributor
Obat Tradisional
Dari kromatogram yang dilihat dengan sinar UV 254 nm (gambar 3 dan 5)
didapatkan bahwa baik pada standar aflatoksin maupun sampel tidak
menunjukkan bercak. Hal ini dikarenakan senyawa aflatoksin memiliki panjang
gelombang eksitasi 365 nm sehingga berfluoresensi kuat dengan pendar warna
biru hingga hijau kebiruan (Anonim, 2004). Pada gambar 4 dan gambar 6, hasil
kromatogram menunjukkan adanya pendar warna kebiruan baik pada standar
aflatoksin maupun pada sampel. Standar aflatoksin menghasilkan dua buah bercak
berwarna kebiruan sedangkan bercak sampel menghasilkan antara satu hingga
aflatoksin dapat menyerap secara kuat di daerah panjang gelombang 200-800 nm
pada radiasi elektromagnetik (Gholib dan Rohman, 2007).
Gambar 8. Struktur Aflatoksin B1, B2, G1, dan G2
Setelah didapatkan kromatogram pada deteksi menggunakan sinar UV 365
nm, bercak yang teramati diukur nilai Rf-nya. Berikut ini adalah tabel hasil
perhitungan nilai Rf pada kromatogram sampel serbuk simplisia daun jati belanda
yang diperdagangkan di pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat tradisional
Tabel III. Pengukuran nilai Rf kromatogram serbuk simplisia daun jati belanda dengan deteksi sinar UV 365 nm
X1 Warna bercak X2 Warna bercak X3 Warna bercak X4 Warna bercak Y1 Warna bercak Y2 Warna bercak Y3 Warna bercak Y4 Warna bercak D Warna bercak A Warna bercak 1 Replikasi 1 0,38 hijau kebiruan 0,04 hijau kebiruan 0,32 hijau kebiruan 0,35 hijau kebiruan 0,37 hijau kebiruan 0,36 hijau kebiruan 0,34 hijau kebiruan 0,34 hijau kebiruan 0.06 hijau kebiruan 0,35 hijau kebiruan
0,09 hijau kebiruan 0,36 hijau kebiruan 0,44 hijau kebiruan
0,34 hijau kebiruan 0,44 hijau kebiruan
0,42 hijau kebiruan 0,52 hijau kebiruan
0,52 hijau kebiruan 0,61 hijau kebiruan
0,62 hijau kebiruan
0,34 0,39 0,39
2 Replikasi 2 0,34 hijau kebiruan 0,04 hijau kebiruan 0,35 hijau kebiruan 0,33 hijau kebiruan 0,33 hijau kebiruan 0,34 hijau kebiruan 0,35 hijau kebiruan 0,33 hijau kebiruan 0,06 hijau kebiruan 0,32 hijau kebiruan
0,08 hijau kebiruan 0,37 hijau kebiruan 0,39 hijau kebiruan
0,35 hijau kebiruan 0,45 hijau kebiruan
0,43 hijau kebiruan 0,52 hijau kebiruan
0,51 hijau kebiruan 0,62 hijau kebiruan
0,60 hijau kebiruan
0,34 0,41 0,36
3 Replikasi 3 0,32 hijau kebiruan 0,39 hijau kebiruan 0,39 hijau kebiruan 0,32 hijau kebiruan 0,33 hijau kebiruan 0,33 hijau kebiruan 0,32 hijau kebiruan 0,33 kebiruan 0,07 hijau kebiruan 0,35 hijau kebiruan 0,34 hijau kebiruan 0,42 hijau kebiruan 0,37 hijau kebiruan 0,40 hijau kebiruan 0,39 hijau kebiruan 0,38 hijau kebiruan 0,37 kebiruan 0,39 hijau kebiruan 0,43 hijau kebiruan
0,52 hijau kebiruan 0,45 hijau kebiruan
0,62 hijau kebiruan 0,47 hijau kebiruan
0,62 hijau kebiruan
Purata 0,33 0,49 Purata0,35 0,37 0,36 0,35 0,35 0,4 0,39
Purata Purata
Purata Purata
Bercak No.
Serbuk simplisia daun jati belanda dari Pasar "X" Serbuk simplisia daun jati belanda dari Pasar "Y" Distributor OT Standar Aflatoksin
Dari data Rf yang diperoleh, terlihat bahwa standar aflatoksin
menghasilkan dua bercak berwarna kebiruan dengan Rf sekitar 0,32-0,44. Dari
sampel-sampel yang diteliti, semua replikasi pada sampel X2 dan sampel D
menghasilkan lebih dari dua bercak, sedangkan sampel lainnya masing-masing
hanya menghasilkan satu atau dua bercak. Sampel yang hanya menghasilkan satu
atau dua bercak memiliki Rf antara 0,32 hingga 0,40. Jika Rf sampel
dibandingkan dengan Rf standar aflatoksin maka akan diperoleh kecocokan. Rf
sampel tersebut memiliki kemiripan dengan Rf standar aflatoksin yang digunakan
dalam penelitian ini. Bercak-bercak tersebut memiliki pendar warna hijau
kebiruan yang sesuai dengan pendar aflatoksin jika dideteksi dengan sinar UV
365 nm, namun intensitasnya tidak sebesar intensitas pendar pada standar
aflatoksin. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sampel terindikasi
mengandung aflatoksin. Namun demikian, adanya perbedaan intensitas warna ini
menunjukkan bahwa konsentrasi bercak pada sampel lebih kecil daripada
konsentrasi standar aflatoksin yang digunakan (25µl/ml). Jika melihat dari
persyaratan kadar cemaran aflatoksin yang diperbolehkan dalam sediaan obat
tradisional maka sampel-sampel tersebut masih memenuhi persyaratan obat
tradisional tersebut, yaitu sebesar 30 µg/kg.
Hasil kromatogram sampel X2dan D (sampel yang diambil dari distributor
obat tradisional) pada semua replikasi menunjukkan adanya pemisahan bercak
menjadi lima sampai enam bercak, namun pada masing-masing sampel tersebut
hanya dua bercak yang memiliki Rf yang mendekati Rf standar aflatoksin. Jika