• Tidak ada hasil yang ditemukan

LARANGAN PERNIKAHAN SESUKU PADA SUKU MELAYUDALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI KECAMATAN PERHENTIAN RAJA KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "LARANGAN PERNIKAHAN SESUKU PADA SUKU MELAYUDALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI KECAMATAN PERHENTIAN RAJA KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU) SKRIPSI"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

1

LARANGAN PERNIKAHAN SESUKU PADA SUKU

MELAYUDALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(STUDI KASUS DI KECAMATAN PERHENTIAN RAJA

KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh :

Subkhan Masykuri

211 11 023

JURUSAN AHWAL AL-SYAKSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

(2)
(3)

3

NOTA PEMBIMBING

Lampiran : 4 Eksemplar

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga Di Salatiga

Assalamu‟alaikum Wr. Wb.

Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya maka bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara:

Nama : Subkhan Masykuri

Nim : 211 11 023

Fakultas/Jurusan : Fakultas Syari‟ah/Ahwal Al-Syakshiyyah

Judul :“Larangan pernikahan sesuku pada suku melayu

dalam perspektif hukum islam (Studi kasus di kecamatan Perhentian raja Kabupaten Kampar Provinsi Riau)”

Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas agar segera dimunaqosyahkan.

(4)
(5)

5

PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama

: Subkhan Masykuri

NIM

: 211 11 023

Fakultas

:

Syari‟ah

Jurusan

: Ahwal Al-Syakshiyyah

Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah

ditulis oleh orang lain atau pernah diterbitkan. Demikian juga skripsi

ini tidak berisi pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang

terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Salatiga, 22 September 2016

(6)
(7)

7

MOTTO

“Bila Kamu Tak Tahan Lelahnya Belajar, Maka

Kamu Akan Menanggung Perihnya Kebodohan

(8)

8

PERSEMBAHAN

Karya Ilmiah berupa Skripsi ini ku persembahkan kepada :

1. Al-Magfurllah Simbah KH. Zoemri RWS beserta Keluarga yang

mendidikku di Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah, untuk menjadi orang yang lebih baik.

2. Kedua orang tua yang saya sayangi dan banggakan Bapak Muhammad

Busri dan Ibu Siti Munikah yang senantiasa mencurahkan kasih sayangnya, dukungan serta doanya sehingga skripsi ini akhirnya selesai.

3. Kakakku Aneka Purnama Sari yang selalu mendukung dan membimbing

setiap langkahku.

4. Teman-temanku yang selalu menyemangatiku, Rohman, Arba‟, Lasin,

Dek Iis

5. Sahabat-sahabati Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota

Salatiga..

6. Semua santri Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah.

7. Sahabat-sahabati Gerakan Angkatan 2011 (GANAS) PMII Kota Salatiga.

8. Keluarga besar COBRA Salatiga

(9)

9

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt, yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dan Solawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ahwal Al-Syakshiyyah di Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. Selaku Dekan Syari‟ah IAIN Salatiga.

3. Bapak Sukron Makmun, S.HI. M.Si. Selaku Kepala Jurusan Ahwal

Al-Syakshiyyah IAIN Salatiga.

4. Muh Hafidz, M.Ag, Selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar

dalam membimbing penulis.

5. Evi Ariyani, M.H selaku dosen Pembimbing Akademik selama kuliah di

IAIN Salatiga.

6. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah menjadi perantara ilmu.

7. Bapak Syahid Ridwan, Bapak Abdul Aziz, Bapak Ahmad Jalaluddin,

(10)

10 sambutan yang hangat, membantu, dan memberikan informasi dalam penelitian.

8. Pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah Al-Magfurllah

Simbah KH M Zoemri RWS beserta keluarga yang membina, mendidik, mencurahkan ilmu kepada penulis dengan penuh tulus, ikhlas dan sabar, dalam menuntut ilmu di pesantren.

9. Seluruh Asatidz dan Asatidzah Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al

Falah yang memberikan memberikan ilmunya dengan penuh keikhlasan.

10.Bapak Muhammad Busri dan Ibu Siti Munikah yang telah berkorban

dalam segala hal demi kebahagiaan putranya, serta terima kasih atas ridho, do‟a, cinta dan kasih sayangnya sehingga putranya bisa menyelesaikan

studi S1.

11.Kakakku Aneka Purnama Sari yang selalu memberikan semangat dalam

kuliah di IAIN Salatiga

12.Teman-teman Ahwal Al-Syakshiyyahangkatan 2011 IAIN Salatiga yang

telah memberikan banyak cerita selama menempuh pendidikan.

13.Semua santri PPTI Al Falah yang memberikan semangat dalam penulisan

skripsi.

14.Teman-teman COBRA Salatiga

(11)

11 Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semuanya, khususnya kepada penulis sendiri dan umumnya bagi para pembaca. Dan pada akhirnya penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.

Salatiga, 22 September 2016 Penulis

(12)

12

ABSTRAK

Subkhan Masykuri. 211 11 023. “Larangan Pernikahan Sesuku pada Suku

Melayu dalam Perspektif Hukum Islam(Studi kasus di Kecamatan Perhentian RajaKabupaten kampar Provinsi Riau)”. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwal Al-Syakshiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Muh Hafidz, M.Ag.

Kata kunci : Larangan Pernikahan Sesuku

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, dan setiap suku bangsa mempunyai sistem perkawinan yang berbeda. Sistem perkawinan menurut adat ada tiga, Pertama Exogami, yaitu seorang laki-laki dilarang menikahi perempuan yang semarga atau sesuku dengannya. Ia harus menikah dengan perempuan di luar Marganya (klan-Patrilineal). Kedua Endogami, yaitu seorang laki-laki diharuskan menikah dengan perempuan dari lingkungan kerabatnya (suku, klan atau famili) dan dilarang menikahi perempuan diluar kerabat. Ketiga Eleutrogami, seorang laki-laki tidak lagidiharuskan atau dilarang untuk menikah dengan perempuan diluar atau didalam lingkungan kerabat atau suku, melainkan dalam batasan-batasan yang telah ditentukan hukum Islam dan hukum perundang-undangan yang berlaku. Dari ketiga system, suku melayu termasuk pada system perkawinan Exogami.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan langsung ke masyarakat sehingga diperoleh data yang akurat, jelas dan teknik pengumpulan data dengan cara wawancara bebas terpimpin, observasi dan dokumentasi. Kemudian setelah seluruh data yangdibutuhkan terkumpul maka selanjutnya dianalisis dengan menilai realita yang terjadi di masyarakat apakah sesuai dengan hukum-hukum yang ada pada Agama Islam.

Larangan pernikahan sesuku yang ada pada suku melayu Riau telah ada sejak zaman dahulu ketika penghulu adat dan para luluhur telah mengucapkan Sumpah Sotih, maka secara otomatis seluruh masyarakat suku melayu tidak ada yang berani melanggar atau melakukan pernikahan sesuku karena mereka takut melanggar sumpah leluhur ataupun marabahaya yang akan dating dikemudian harinya, baik itu menimpa pelaku pernikahan sesuku maupun anak cucu mereka nantinya. Berdasarkan hasil analisis hukum Islam terhadap data penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa larangan pernikahan sesuku tidak sesuai dengan

ajaran Agama Islam karena didalam Al-Qur‟an dan Hadits tidak ditemukan

(13)
(14)

14

DALAM ISLAM

A. Telaah Pustaka ...

B. Pengertian dan Hukum Pernikahan………....

C. Tujuan Pernikahan………...

D. Rukun dan Syarat Pernikahan………....

E. Wanita-wanita yang Haram Dinikahi dan Pernikahan

yang Dilarang dalam Islam………

13151923

25

BAB III :PRAKTEK PERNIKAHAN DALAM SUKU MELAYU DI KEC. PERHENTIAN RAJA KAB. KAMPAR

A. Deskripsi wilayah ………….………

B. Keadaan pendidikan dan kehidupan beragama

masyarakat.

C. Keadaan sosial budaya………

D. Adat istiadat dalam suku melayu …………...

E. Factor-faktor dilarangnya pernikahan sesuku..

F. Proses pernikahan adat suku melayu……...

29

B. Analisis pernikahan sesuku ditinjau dari perspektif 43

(15)

15

hukum Islam………...

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... B. Saran ...

53 55

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(16)

16 pernikahan itulah kemudian terjadi perkembangbiakan manusia di muka bumi ini, sebagaimana firman Allah swt dalam surat An-Nisa ayat 1 berikut ini:































































Artinya : Hai manusia, bertaqwalah kepada tuhan kemu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah telah memperkembang biakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (prliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

(17)

17

“Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu mempunyai

kemampuan, maka segeralah menikah. Karena menikah itu dapat menahan pandangan mata dan memelihara kehormatan dan barang siapa yang tidak mampu hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa dapat mematahkan

rongrongan nafsu birahi”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dengan jelas menyebutkan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa”. Oleh karena itu perkawinan harus dipertahankan

oleh kedua belah pihak supaya tercapainya tujuan tersebut.

Tidak terlepas dari semuanya, untuk menjalani kehidupan berumah tangga tidak kalah pentingnya dengan kemampuan seseorang untuk menempatkan diri dalam suatu masyarakat yang akan ditempatinya, yang tentunya akan terikat dengan ketentuan atau tatanan sosial budaya yang berlaku.

(18)

18 Seperti yang terjadi di dalam masyarakat atau beberapa adat bahwa seseorang yang memiliki suku bangsa yang sama dilarang untuk melakukan sebuah pernikahan, atau suatu suku satu dengan suku yang lain dilarang untuk menjalin Hubungan pernikahan. Hal-hal demikian tidak diperbolehkan, bahkan larangan keras, karena jika terjadi hal demikian menurut kepercayaan setempat akan terjadi sebuah bencana yang akan menimpa pelaku pernikahan, anak, cucu, bahkan akan berdampak buruk bagi kampung/desa.

Dalam hukum Islam Pernikahan dapat dilakukan kepada siapapun

seorang muslim dengan syarat tidak ada hubungan makhrom antara laki-laki

dan perempuan dan dalam pernikahan tersebut tidak ada unsur paksaan. Sedangkan pernikahan dalam suku melayu, tidak diperbolehkan apabila menikah dalam satu suku meskipun tidak ada hubungan makhrom antara pihak laki-laki dan perempuan. Menurut kepercayaan warga setempat, apabila terjadi pernikahan satu suku, maka akan menimbulkan suatu bahaya. Apabila seorang laki-laki menikahi seorang gadis masih dalam satu marga dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak baik, bagi keberlangsungan suami dan istri tersebut dalam proses berumah tangga, juga bagi masyarakat Melayu dalam satu suku tersebut.

(19)

19 adalah mubah atau diperbolehkan. Nikah hukumnyasunat bagi orang yang memerlukannya.

Dari latar belakang tersebut maka penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai pernikahan dalam suku melayu dengan judul Larangan Pernikahan Sesuku Pada Suku Melayu Dalam Perspektif Hukum Islam Studi Kasus Di kecamatan Perhentian Raja.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Praktik pernikahan pada suku Melayu?

2. Mengapa pernikahan Sesuku pada Suku Melayu Di Riau dilarang?

3. Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai Larangan Pernikahan

Sesuku pada suku Melayu di Riau?

C. Tujuan Penelitian

Agar tidak menyimpang dari masalah-masalah yang diutarakan tersebut di atas, dan penelitian yang dilakukan maka penulis sebutkan tujuan penelitian. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui praktik pernikahan pada suku Melayu

2. Untuk menjelaskan Faktor-faktor yang menyebabkan dilarangnya

pernikahan Sesuku pada Suku Melayu di Riau

3. Untuk mengetahui pernikahan pada suku Melayu ditinjau dalam

perspektif hukum Islam.

D. Manfaat Penelitian

(20)

20

2. Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu

pengetahuan kususnya Pernikahan sesuku.

E. Penegasan Istilah

Untuk memudahkan kejelasan dari judul skripsi ini, penulis akan menjelaskan istilah-istilah yang dipakai sehingga dapat diketahui gambaran awal kemana arah tujuan skripsi ini dibuat, sebagai berikut:

1. Nikah

Nikah berasal dari bahasa Arab nakakha, yankikhu artinya kawin atau nikah. Adalah suatu ikatan antera laki-laki dan perempuan yang sah baik menurut hukum Islam maupun undang-undang. Dalam kamus besar bahasa Indonesia nikah dapat diartikan Ikatan (akad) perkawinan yang

dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama.1

2. Marga/Sesuku

Adalah suatu kelompok garis keturunan yang sering disebut

dengan clan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia marga adalah kelompok kekerabatanyang eksogamunilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal.2

3. Suku

Adalah kesatuan social yang terjadi karena perbedaan

letakgeografis tempat tinggal, bahasa maupun kebudayaanya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia Suku dapat diartikan kesatuan social yang

1

Departemen Pendidikan Nasional.2002.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.hlm. 782.

2

(21)

21 dapat dibedakan dari kesatuan social lain berdasarkan kesadaran akan

identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa.3

Adalah pendekatan yang dasar tujuannya permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat, yang berkaitan dengan permasalahan pernikahan secara umum dan juga pernikahan dalam satu marga.

2) Pendekatan Yuridis

Adalah pendekatan yang berorientasi pada gejala-gejala hukum yang bersifat normatif, lebih banyak bersumber pada data kepustakaan dan hukum adat yang berlaku pada suku melayu. Dengan pendekatan ini diharapkan sebagai usaha untuk mempelajari ketentuan hukum Islam maupun hukum adat.

b. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan

3

(22)

22 pendekatan yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek peneliti misalnya perilaku, persepsi, motifasi, tindakan dan lain-lain.4

2. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang sangat penting, karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan data yang ada di lapangan. Sedangkan status penelitian dalam hal pengumpulan data, diketahui oleh informan secara jelas guna menghindari kesalah pahaman diantara peneliti dan informan. Dalam penelitian yang dilakukan ini, peneliti hanya sekedar mengumpulkan data melalui wawacara dan observasi. Disini peneliti tidak termasuk dalam suku melayu.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Perhentian Raja (Pantai Raja), kecamatan kampar kiri hilir, Kabupaten Kampar, Riau. Peneliti memilih lokasi tersebut karena adat istiadat di desa tersebut masih kental.

4. Sumber Data

Data diperoleh dari informan yakni Ninik Mamak atau kepala Suku

Melayu. Selain itu juga para masyarakat yang bermukim di Pekanbaru yang masih mempunyai garis keturunan Suku Melayu.

5. Prosedur Pengumpulan Data

4

(23)

23 Untuk mengumpulkan data guna mendapatkan keterangan yang jelas mengenai obyek yang diteliti, maka penulis menggunakan hal-hal berikut:

a. Wawancara (Interview)

Yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri data menggunakan wawancara dengan tetap berpijak pada catatan mengenai pokok-pokok yang akan ditanyakan, sehingga masih memungkinkan adanya variasi-variasi pertanyaan-pertanyaan yang

disesuaikan dengan situasi ketika wawancara dilakuka.5 Wawancara

ini dilakukan kepada kepala adat dan warga suku melayu asli Riau serta tokoh adat.

b. Observasi

Observasi adalah suatu bentuk penerimaan data yang dilakukan dengan cara merekam kejadian, menghitung, mengukur dan mencatat sesuai prosedur yang berstandar.6 Dalam penelitian yang kami lakukan, peneliti akan mengumpulkan data dari kepala adat dan melihat secara langsung warga suku melayu yang melakukan pernikahan satu marga ataupun yang melakukan pernikahan dengan lain marga.

6. Analisis Data

5

Sutrisno Hadi. 1981. Metodologi Recearch (Untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis, dan Disertasi). Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. hlm. 75.

6

Suharsimi Arikunto. 1997. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek).

(24)

24 Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan dianalisis secara

kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di lapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi

data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah

abstraksi-abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan

mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal. Gambaran atau informasi tentang peristiwa atas objek yang dikaji tetap mempertimbangkan derajad koherensi internal, masuk akal, dan berhubungan dengan peristiwa faktual dan realistik. Dengan cara melakukan komparasi hasil temuan observasi dan pendalaman makna, diperoleh suatu analisis data yang terus-menerus secara simultan sepanjang proses penelitian.7 Metode berfikir yang digunakan dalam menganalisis adalah berdasarkan pada dasar-dasar yang bersifat umum kemudian meneliti persoalan-persoalan yang bersifat khusus. Dari analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan

yang pada hakikatnya merupakan jawaban atas permasalahan.8

Dalam penelitian ini, penulis akan meninjau lebih jauh larangan pernikahan satu marga pada suku melayu dalam perspektif hukum Islam. Karena menurut peneliti pernikahan satu marga tersebut dilarang sedangkan hukum Islam diperbolehkan.

7. Pengecekan Keabsahaan Data

7

Burhan Bungin. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. hlm. 154.

8

Hadari Nawawi dan H.M. Martini Hadari. 1992. Instrumen penelitian Bidang Sosial.

(25)

25 Peneliti menggunakan triangulasi dengan sumber sebagai teknik untuk mengeck keabsahan data. Menurut Moleong dalam bukunya yang dikutip dari Patton, Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berada dalam penelitian kualitatif, hal itu dapat dicapai dengan jalan membandingkan hasil wawancara dengan isi

suatu dokumen yang berkaitan.9

8. Tahap-Tahap Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan beberapa tahapan, antara lain sebagai berikut:

a. Tahap Sebelum Lapangan

Yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti sebelum melakukan penelitian, seperti peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang Suku Melayu, Adat istiadat peraturan Suku Melayu, penyusunan proposal, menetapkan fokus penelitian dan lain-lain.

b. Tahap Lapangan

Yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mencari data-data yang diperlukan seperti wawancara kepada informan, melakukan observasi.

c. Tahap Analisa Data

9

(26)

26 Yaitu ketika semua data telah terkumpul dan dirasa cukup oleh peneliti, maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data-data tersebut dan menggambarkan hasil penelitian sehingga bisa memberi arti pada objek yang diteliti.

d. Tahap Penulisan Laporan

Yaitu setelah semua data telah terkumpul, dianalisis kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing, dan yang terahir dilakukan penulisan hasi penelitian tersebut sesuai dengan pedoman penulisan skripsi.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai judul diatas, maka akan dirumuskan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama pendahuluan, yang merupaakan abstraksi dari keseluruhan isi skripsi, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, bagian ini menjelaskan tentang pernikahan dan larangan pernikahan dalam Islam yang meliputi pengertian dan hukum pernikahan, tujuan pernikahan, rukun dan syarat pernikahan, wanita yang haram untuk dinikahi dan pernikahan yang dilarang dalam hukum Islam.

(27)

27 Sub kedua berisikan keadaan pendidikan dan kehidupan beragama masyarakat kemudian pada sub bab ketiga menjelaskan tentang keadaan Sosial budaya yang ada pada suku Melayu yang ada di Kecamatan Perhentian raja. bab yang keempat yaitu adat istiadat suku Melayu yang meliputi Faktor-faktor dilarangnya pernikahan Sesuku dan tata cara proses pernikahan Sesuku pada Suku Melayu.

Bab keempat merupakan analisis pernikahan suku melayu yang meliputi analisis pernikahan satu marga dalam suku melayu dan analisis pernikahan satu marga dalam suku melayu ditinjau dari perspektif hukum Islam.

(28)

28

BAB II

PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

A. Telaah Pustaka

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lukmanul Khakim seorang mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Salatiga, beliau menganalisis “Fatwa larangan nikah antar Santri di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur‟an (BUQ) Gading, Desa Duren, kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang”. Beliau menjelaskan tentang pandangan santri, alumni dan

masyarakat sekitar Pondok Pesantren tentang larangan pernikahan antar santri tersebut. Banyak dari mereka menaati aturan atau larangan tersebut dikarenakan takut dengan Guru serta tidak manfaatnya ilmu dikemudian hari. Tetapi yang menjadi alasan terkuat tidak dibolehkannya pernikahan antar santri adalah, Seluruh santri BUQ Gading dianggap menjadi satu keluarga

yang dalam konsep Mahrom dilarang menikah.10

Penelitian yang dilakukan olehAdini Soraya yang berjudul

“Pemberian Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian

Kasang Kabupaten Padang Pariaman”. Dalam skripsi tersebut beliau

menjelaskan tentang adat minang kabau yang menentukan bahwa orang Minangkabau dilarang kawin dengan orang dari suku yang Serumpun. Garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis Ibu, maka suku Serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis Ibu” yang disebut

10

Lukmanul Khakim. 2013. Fatwa larangan Nikah Antar Santri (studi Kasus Pondok

Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur‟an(BUQ) Gading, Desa Duren, Kecamatan Tengaran,

(29)

29

juga dengan istilah “eksogami matrilokal atau eksogami matrilineal”. Dan

dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendikiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minangkabau dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian Serumpun yang akan diperlakukan

dalam perkawinan di Minangkabau. Beliau menjelaskan “pengertian

serumpun disamakan dengan Sesuduik. Yang dimaksudkan dengan Sesuduik adalah satu kelompok dari beberapa Suku. Seperti Suduik nan5, terdiri dari 5 (lima) suku yaitu Suku Jambak, Suku Pitopang, Suku Kutianyir, Suku Salo dan Suku Banuhampu. Kelima suku ini dianggap Serumpun, sehingga antara kelima suku ini tidak boleh melakukan pernikahan. Kalau sampai terjadi sebuah Perkawinan maka akan dikenai sanksi berupa dibuang sepanjng adat karena dianggap sebagai perkawinan endogamy atau perkawinan didalam serumpun sendiri.11

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anif Khusnawati yang berjudul “Larangan Pernikahan antara Saudara Sepupu Pancer Wali di

Kelurahan Ngantru Kecamatan/Kabupaten Trenggalek Dalam Perspektif Hukum Islam.” Dalam skripsinya dijelaskan adat yang melarang pernikahan antara saudara sepupu pancer wali tidak termasuk dalam orang-orang yang

haram untuk dinikahi menurut Al-qur‟an dan Hadis. Masyarakat mempunyai

keyakinan terhadap buruknya keturunan dari hasil pernikahan tersebut. Sepupu pancer wali yaitu anak dari paman/bibi baik dari ayah maupun ibu,

11

(30)

30 kedudukannya sama dengan mahram, tidak batal wudhu jika bersentuhan, jika terjadi pernikahan maka dilakukan fasakh nikah.12

Dari kajian yang telah kami lakukan bahwa karya-karya skripsi tersebut berbeda dengan penelitian ini, karena dalam penelitian ini penulis akan menitik beratkan pada Suku Melayu tepatnya di Daerah kota Pekanbaru, Riau.

B. Pengertian Pernikahan dan Hukum Pernikahan

Pernikahan adalah sebuah upacara penyatuan dua jiwa menjadi sebuah keluarga melalui akad perjanjian yang diatur oleh agama. Oleh karena itu pernikahan menjadi sebuah upacara yang agung dan sakral. Menurut Imam Syafi‟i13

, pernikahan adalah akad yang mengandung kebolehan untuk melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu. Menurut Imam Hanafi yaitu akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan selama tidak ada halangan syara‟.14

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut:

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

12

Anif Khusnawati, 2007, Larangan Pernikahan antara Saudara Sepupu Pancer Wali di Kelurahan Ngantru Kecamatan/Kabupaten Trenggalek Dalam Perspektif Hukum Islam,

Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Hlm. 95

13

Abdul Aziz Dahlan, 2001, Ensiklopedia Hukum Islam, jakarta: ichtiar Baru van Hoeve, hal. 132

14

(31)

31

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Slamet Abidin memberikan makna pernikahan sebagai suatu antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara‟ untuk menghalalkan percampuran antara keduanya sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu

sebagai teman hidup dalam rumah tangga.15

Hukum asal pernikahan adalah mubah, tetapi dapat berubah sesuai dengan keadaan pelakunya, bisa menjadi wajib, sunat, makruh ataupun haram.16

Hukum pernikahan asalnya adalah mubah.Mubah merupakan hukum asal pernikahan, yaitu suatu perbuatan yang diperbolehkan mengerjakannya, tidak diwajibkan dan tidak juga diharamkan. Bagi laki-laki yang terdesak alasan-alasan mewajibkan segera menikah, atau alasan-alasan yang menyebabkan ia harus menikah maka hukumnya mubah. Menurut ulama Hanbali mubah hukumnya, bagi orang yang tidak mempunyai keinginan untuk menikah.

Hukum pernikahan dapat berubah menjadi wajib, yaitu

apabilaSeseorang yang sudah mampu dari segi biaya dan nafsunya sudah sangat mendesak untuk menikah, jika tidak menikah dikhawatirkan dirinya

(32)

32 akan terjerumus dalam lembah perzinaan, untuk menjauhkan dirinya dariperbuatan haram maka wajib baginya untuk menikah.

Imam Qurtuby berkata, “bujangan yang sudah mampu menikahdan

takut dirinya dan agamanya, sedangkan untuk menyelamatkan dirinya tidak ada jalan lain, kecuali dengan pernikahan maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia menikah. Jika nafsunya mendesak, sedang ia tidak mampu untuk menafkahi istrinya maka Allah nanti akan melapangkan rezekinya.”

Ulama Malikiyyah mengatakan bahwa, “menukah itu wajib bagi yang

menyukainya dan takut terjerumus ke jurang perzinaan jika ia tidak menikah,

sedangkan berpuasa ia tidak sanggup.”

Hukum pernikahan dapat berubah menjadi sunnah. Melakukan pernikahan hukumnya sunnah, apabila orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah, tetapi jika ia tidak menikah tidak dikhawatirkanakan terjerumus ke lembah perzinaan.

(33)

33

Sedangkan ulama Syafi‟iyah mengangap bahwa menikah itu sunnah

bagi orang yang melakukanya dengan niat untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan melanjutkan keturunan.

Hukum pernikahan dapat menjadi makruh. Melakukan pernikahan hukumnya makruh bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya walaupun tidak merugikanya karena ia kaya, ataupun ia mempunyai kemampuan untuk menikah tetapi tidak mempunyai kemauan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.

Menurut ulama malikiyyah, menikah itu hukumnya makruh bagi seorang yang tidak memiliki keinginan dan takut kalau tidak mampu memenuhi kewajibanya kepada istrinya.Sedangkan menurut ulama syafiiyah, menikah itu hukumnya makruh bagi orang-orang yang mempunyai kekhawatiran tidak mampu memberikan kewajiban kepada istrinya.

Hukum pernikahan dapat menjadi haram. Melakukan pernikahan hukumnya haram bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan kemampuan serta tidak mempunyau tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan melenyarkan dirinya dan istrinya. Begitu juga jika seorang menikah dengan tujuan menelatarkan orang lain, wanita yang dinikahi itu tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat menikah dengan orang lain.

(34)

34 hak-hak istrinya sebelum ia dengan terus terang menjelaskan keadaan itu kepadanya atau sampau datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hal istrinya. Begitu juga kalau karena suatu hal ia menjadi lemah tidak mampu mengauli istrinya maka ia wajib menerangkan dengan terus terang agar calon isteri tidak tertipu olehnya.

C. Tujuan Pernikahan

Pernikahan sebagai amal perbuatan yang disunnahkan tentu mengandung beberapa tujuan. Secara umum tujuan pernikahan ada

beberapa hal. Pertama, Membentuk keluarga sakinnah mawaddah

dan rohmah. Tujuan utama pernikahan adalah untuk memperoleh

kehidupan yang tenang (sakinah,) cinta (mawaddah) dan kasih sayang

(rohmah) yang dapat tercapai jika semua tujuan sudah terpenuhi dengan kata lain, tujuan lain sebagai pelengkap untuk memenuhi tujuan utama ini. Tujuan untuk memperoleh kehidupan yang tenang (sakinnah) cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rohmah) ini terdapat

dalam firman Allah yang berbunyi:17

















































Artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan

17

(35)

35

Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya kepada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.18

Kedua, mendapatkan dan melangsungkan keturunan. Setiap pasangan yang telah melaksanakan pernikahan tentu mempunyai keinginan untuk mendapatkan anak/keturunan yang sah. Walaupun kehidupan rumah tangga yang serba berkecukupan, tetapi tidak mempunyai keturunan, kehidupan rumah tangga belum sempurna, serta terasa sepi dan hampa. Keinginan untuk mendapatkan keturunan ini disebabkan anak-anak itulah yang diharapkan dapat membantu ibu dan bapaknya pada hari tuanya kelak. Setiap orangtua tentu mengharapkan anak-anak yang soleh dan berbakti kepada orang tuanya.19

Dapat diambil pengertian bahwa anak merupakan penolong bagi orang tua baik baik bagi kehidupanya didunia maupun diakhirat kelak. Selain itu anak juga merupakan penerus generasi, penyambung keturunan yang akan selalu berkembang untuk meramaikan dan memakmurkan bumi.

Karena manusia mempunyai pikiran, perasaan, kesopanan,

kesusilaan, serta mempunyai hak dan kewajiban, maka untuk

menyambung keturunan hanya dengan melaksanakan ikatan

18

Ar-Rum (30) : 21

19

(36)

36 perkawinan yang sah yang mempunyai peraturan-peraturan yang telah ditentukan.

Ketiga, Pemenuhan kebutuhan Biologis (Seks). Hal ini dijelaskan dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi:

    bercampur dengan isteri-isteri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalianpun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga terangbagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitufajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam, tetapi janganlah kalian campuri mereka itu

sedang kalian beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka

janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.20

Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa seorang pria (suami) merupakan pakaian bagi istri-istrinya dan begitu juga sebaliknya. Allah Awt tidak menyukai pria dan wanita yang menyalurkan naluri seksualnya sama seperti makhluk lainnya. Oleh karena itu Allah Swt mengatur hubungan pria dan wanita sedemikian rupa dalam sebuah pernikahan yang sah. Disamping pernikahan untuk pengatur naluri

20

(37)

37 seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih dikalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab.

Keempat, Menjaga kehormatan. Menjaga kehormatan sejalan dengan pemenuhan kebutuhan biologis. Artinya pernikahan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis tetapi juga untuk menjaga kehormatan. Manusia bisa saja mencari pasangan atau lawan jenis

untuk memenuhi kebutuhan biologis tetapi ia akan kehilangan

kehormatannya. Dengan pernikahan kebutuhan biologis terpenuhi dan kehormatan terjaga.21

Pemenuhan kebutuhan biologis tanpa pernikahan akan

menimbulkan kerusakan dirinya sendiri ataupun orang lain bahkan

masyarakat, karena manusia mempunyai nafsusedangkan nafsu

condong mengajak kepada perbuatan buruk.

Kelima, Ibadah. Melakukan pernikahan adalah bagian dari ibadah, karena telah menjalankan perintah dan anjuran agama. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Saw mempunyai harapan pribadi yaitu umatnya berjumlah banyak pada akhir zaman nanti. Melakukan sunnah Nabi berarti sama dengan malakukan ibadah. Karena itu

melakukan pernikahan sebagian dari melakukan sunnah Nabi

Muhammad Saw berarti juga melakukan ibadah.22

D. Rukun dan Syarat Pernikahan

21

Khoiruddin Nasution.2005. hukum Perkawinan Indonesia. Yogyakarta:Academia & tazzafa. Hlm 47

22

(38)

38 Sebelum membahas tentang rukun dan syarat pernikahan, alangkah baiknya diketahui terlebih dahulu syarat dan rukun itu sendiri. Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan. Rukun merupakan bagian dari sesuatu, yang sesuatu itu tidak akan ada kecuali dengan bagian itu. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang mesti ada

dan tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan.23

Rukun pernikahan adalah sesuatu yang menjadi sarana bagi

terlaksananya pernikahan atau sesuatu yang menjadikan dapat

dilaksanakannya pernikahan itu bila sesuatu itu ada, jika sesuatu itu tidak ada maka pernikahan itu tidak akan bisa terlaksana. Akan tetapi bukan berarti apabila salah satu dari unsur-unsur tersebut sudah ada pernikahan dapat dilangsungkan, demikian juga sebaliknya jika salah satu rukunnya tidak ada maka pernikahan juga tidak akan bisa terlaksana.24

Oleh karena itu rukun pernikahan itu harus lengkap, tidak boleh kurang dari unsur-unsurnya. Adapun rukun pernikahan yaitu Suami, Istri, Wali, Dua orang saksi dan sighat.25

Di samping rukun harus terpenuhi, juga harus dipenuhi syarat-syaratnya. Syarat-syarat suami ada beberapa hal. Syarat-syarat yang harus

dipenuhi oleh suami ada empat macam. Pertama, Beragama Islam.

Maksudnya seorang calon suami yang akan melaksanakan pernikahan beragama Islam sehingga dia dapat membimbing keluarganya kelak sesuai

23

Abd. Rahman Ghazaly. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta. Kencana prenada media gorup. Hlm. 45-46

24

A. Zuhdi Muhdlor. 1994. Memahami Hukum Perkawinan “Nikah, Talak, Cerai dan

Rujuk”. Yokyakarta. Al-Bayan. Hlm. 52 25

(39)

39

dengan ajaran agama Islam. Kedua, Laki-laki (bukan banci). Maksudnya

calon suami terlahir berstatus sebagai laki-laki sejak lahir dan bukan

dikarenakan Pergantian atau operasi Kelamin.Ketiga, Jelas orangnya.

Maksudnya asal usul seorang calon suami harus jelas baik tempat tinggal atau

domisilinya. Keempat, Tidak tekena halangan pernikahan. Seorang calon

suami bukan sanak famili atau saudara sesusuan(dengan calon istri) yang dapat menghalangi pernikahan.

Sementara syarat-syarat istri dalam pernikahan sebagaimana ijtihad para ulama adalah beragama islam atau ahli kitab, perempuan (bukan banci), jelas orangnya, halal bagi suaminya, tidak dipaksa, tidak dalam ikatan pernikahan dan tidak dalam masa iddah (bagi janda).

Sementara syarat-syarat wali dalam pernikahan juga harus terpenuhi. Syarat-syarat wali yaitu laki-laki, dewasa, mempunyai hak atas perwaliannya, dan tidak terkena halangan untuk menjadi wali.26

Untuk perwalian Umat Islam di Indonesia menggunakan mazhab Imam Syafi‟i yaitu: ayah, kakek dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara sekandung, anak laki-laki dari saudara seayah, paman sekandung, paman seayah, anak laki-laki paman seayah, hakim,

Adapun syarat-syarat saksi adalah minimal dua orang laki-laki, beragama Islam, dewasa, mengerti maksud dari akad pernikahan. Sedang

26

(40)

40 syarat-syarat Sighat adalah antara ijab dan qabul jelas, antara ijab dan qabul

bersambungan.27

E. Wanita yang Haram untuk Dinikahi

Dalam Al-Qur‟an dan Hadits sudah diatur sedemikian rupa tentang perkawinan dan telah dijelaskan bahwa tidak semua wanita halal untuk dinikahi, melainkan ada larangan-larangan tertentu sehingga wanita itu haram untuk dinikahi. Secara garis besar, wanita-wanita yang haram dinikah menurut syariat hukum Islam dibagi dua, yaitu: haram selamanya dan haram sementara.28 Yang haram selamanya yaitu wanita-wanita yang tidak boleh dinikani oleh seorang laki-laki sepanjang masa. Sedangkan yang harang sementara yaitu wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki selama waktu tertentu dan dalam keadaan tertentu. Jika keadaanya sudah berubah, maka keharamannya hilang dan menjadi halal.

Wanita-wanita yang haram untuk dinikah selamanya ada tiga macam.29pertama, Karena Nasab/ keturunan. Dalam Al-Qur‟an surat An -Nisa‟ (4): 23 telah dijelaskan beberapa wanita-wanita yang haram untuk dinikah, yaitu:

a. Ibu kandung, yaitu ibu yang telah melahurkannya, nenek dari ibu/bapak dan seterusnya keatas.

b. Anak perempuan kandung, termasuk cucu dan seterusnya kebawah sesuai

garis lurus.

27

Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan.Yokyakarta. Liberti. Hlm. 51-52

28

Abd. Rahman Ghazaly. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta. Kencana prenada media gorup. Hlm. 102

29

(41)

41

c. Saudara perempuan, yaitu semua perempuan sebapak dan seibu atau

sebapak/ibu saja.

d. Bibi dari pihak bapak, yaitu semua perempuan yang menjadi saudara

bapak/kakek, baik yang lahir dari kakek dan nenek maupun dari salah satu dari keduanya.

e. Bibi dari pihak ibu, semua perempuan yang menjadi saudara ibu atau nenek, baik yang lahir dari kakek dan nenek maupun dari salah satu dari keduanya.

f. Anak perempuan saudara laki-laki baik sekandung maupun tiri.

g. Anak perempuan saudara perempuan baik sekandung maupun tiri.

Kedua, Karena Pernikahan/Pembesanan. Maksudnya karena hubungan kerabat semenda. Ada beberapa wanita yang haram untuk dinikah karena

c. Istri anak kandung atau istri cucu baik dari jalur laki-laki atau perempuan, baik sudah dicampuri maupun belum dicampuri.

d. Istri bapak(ibu tiri), istri kakek dan seterusnya keatas, baik sudah dicampuri ataupun belum dicampuri.

30

(42)

42

Ketiga, Karena Sesusuan. Diharamkannya nikah karena sesusuan sama halnya nikah dengan senasab. Karena itu ibu susuan hukumnya sama seperti ibu kandung, dan diharamkan bagi laki-laki yang disusui menikah dengan ibu yang menyusui dan semua wanita yang haram dinikahi dari ibu

kandung. Jadi wanita-wanita yang haram dinikahi sebagai berikut:31

a. Ibu susuan, nenek susuan dan seterusnya keatas

b. Saudara perempuan dari ibu susuan, semua anak perempuan yang

menyusu pada ibu susuan, yang menyusu pada cucu perempuan dari ibu susuan, yang menyusu pada istri anak laki-laki bapak susuan dan seterusnya kebawah baik melalui nasab ataupun susuan.

c. Saudara perempuan sesusuan, yaitu semua perempuan yang disusui oleh ibu kandung, ibu tiri, yang dilahirkan ibu susuan dan anak perempuan dari bapak susuan.

d. Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari bapak susuan termasuk saudara

perempuan kakek baik karena nasab ataupun susuan.

e. Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan termasuk saudara perempuan nenek baik karena nasab ataupun susuan.

f. Anak perempuan dari saudara laki-laki sesusuan dan anak perempuan

sesusuan dan seterusnya kebawah baik karena nasab maupun karena susuan.

31

(43)

43

BAB III

PRAKTEK PERNIKAHAN SUKU MELAYU DI KEC. PERHENTIAN RAJA KAB. KAMPAR

(44)

44 Secara geografis Perhentian Raja terletak diantara kecamatan Siak Hulu dan Kampar Kiri Hilir. Perhentian Raja juga merupakan salah satu kecamatan yang berada didaerah Kampar propinsi Riau. Kabupaten Kampar dilalui oleh dua buah sungai besar dan beberapa sungai kecil, diantaranya Sungai Kampar yang panjangnya 413,5 km dengan kedalaman rata-rata 7,7 m dan lebar 143 m dan pada umumnya kabupaten Kampar beriklim tropis.

Kecamatan Perhentian Raja ini terletak lebih kurang 27 km dari kota Pekanbaru. Kabupaten Kampar terletak lebih kurang 61 km dari pekanbaru. Kabupaten Kampar terbagi dalam 21 kecamatan, diantaranya: Kampar Kiri, Kampar Kiri Hilir, Perhentian Raja, Kampar Kiri Hulu, Kampar Kiri Tengah, Gunung Sahilan, Koto Kampar XIII, Koto Kampar Hulu, Kuok, Tapung, Tapung Hulu, Tapung Hilir, Bangkinang, Bangkinang Sebrang, Kampar, Kampar Timur, Rumbio Jaya, Kampar Utara, Tambang, Siak Hulu

Secara administratif batas-batas Kecamatan Perhentian Raja dapat dilihat pada tabel berikut :

TABEL I

BATAS-BATAS WILAYAH

No Letak Batas Kecamatan Lokasi

1 Utara Kecamatan Siak Hulu

2 Selatan Kecamatan Kampar Kiri Hilir

3 Barat Kampar Kiri Tengah

4 Timur Kecamatan Siak Hulu

(45)

45 Luas wilayah Perhentian Raja adalah 112,39 km2 yang terdiri dari 5 desa, seperti terdapat pada tabel berikut:

TABEL II

Masyarakat Perhentian Raja pada umumnya bercocok tanam. Karena secara geografis Perhentian Raja berupa persawahan dan perkebunan yang sangat luas sehingga Kecamatan Perhentian Raja termasuk daerah penghasil tanaman pangan, karet dan kelapa sawit di Kabupaten Kampar.

B. Keadaan Pendidikan dan Kehidupan Beragama Masyarakat

Adapun fasilitas pendidikan yang terdapat di kecamatan Perhentian Raja dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL III

FASILITAS PENDIDIKAN

No Fasilitas Pendidikan Jumlah Fasilitas

(46)

46

Dengan melihat tabel di atas pendidikan di Kecamatan Perhentian Raja masih minim, hal ini terbukti karena Daerah tersebut masih minim fasilitas Pendidikannya.

Masyarakat Kecamatan Perhentian Raja mayoritas mengatut agama Islam. Menurut data yang telah penyusun dapatkan ada dua agama lain yang berkembang di sana yaitu Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

TABEL IV

PERSENTASE PENDUDUK BERDASARKAN AGAMA

No Nama kepercayaan Persentase

(47)

Al-47

Quran dll. Perhentian Raja juga memiliki Madrasah Diniyah

Awwaliyah(MDA), yaitu pendidikan non formal yang dimulai sejak dini untuk menambah wawasan keagamaan anak.ada kurang lebih 8 bangunan MDA di Perhentian Raja. Pendidikan di mulai pukul 14.00 WIB hingga

16.30 WIB. Kegiatan keagamaannya seperti Aqidah Akhlak, Fiqih, Alqur‟an

Hadist, Sholawatan, Imlak,Bahasa Arab. Pada malam hari juga ada pendidikan Al-quran di masjid-masjid. Dan pada bulan Ramadhan atau hari besar Islam diadakanya kegiatan-kegiatan keagamaan yang menambah wawasan keagamaan mereka seperti diadakanya Pesantren kilat, lomba Adzan, cerdas cermat, Kaligrafi, pidato.

C. Keadaan Sosial Budaya

Seperti halnya desa dikecamatan yang lainnya kecamatan Perhentian Raja juga aktif dalam kegiatan sosialnya terutama dalam adat istiadat. Adapun kegiatan yang biasa dilakukan adalah mandi balimau, pacu jalur, pencak silat, turun mandi (pemberian nama pada anak), doa tolak bala, doa sebelum masuk bulan Ramadhan, dan doa menegakkan rumah.

Berikut adalah tabel persentase berdasarkan suku yang ada di kecamatan Perhentian Raja.

TABEL V

PERSENTASE PENDUDUK BERDASARKAN SUKU BANGSA

No Nama suku Jumlah persentase

(48)

48

Menurut AJ seorang Tokoh Masyarat Suku Melayu Kecamatan Perhentian Raja terdapat beberapa suku seperti: suku domo, suku pitopang, suku pilliang, suku mandailing suku chaniago. Setiap suku memiliki Datuk masing-masing

TABEL VI

JABATAN KEPEMIMPINAN ADAT

No Persukuan Penghulu Menti Dubalang Tangganai

1 Mandailing Dt. Maruanso Dt.Mangkuto Dubalang

(49)

49 pernikahan sebangsa berdasarkan garis keturunan,dalam hal ini garis keturunan berdasarkan kepada ibu. Jadi yang dimaksud perkawinan sesuku ialah tidak bolehnya dua orang laki-laki dan perempuan melakukan perjanjian menjadi suami istri dengan yang masih berhubungan pertalian saudara dari ibu.agar lebih mudah dipahami penulis akan memberikan contoh.

A B

C D

E F G H

Dari contoh diatas maksudnya F dan G tidak diperbolehkan menikah begitu juga sampai keturunan berikutnya. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu masyarakat masih sedikit,agar lebih berkembang maka diharuskan menikah dengan di luar suku.

(50)

50 Menurut NF saah seorang masyarakat Melayu ,

“Jika terjadi hal diluar keinginan misalnya calon mempelai hamil diluar nikah dan ternyata mereka sesuku kemudian untuk menjaga kemaslahatan sianak maka pernikahan KUA tetap berjalan tetapi pernikahan adat tidak, dan ninik mamak tidak dapat dihadirkan dan mereka yang menikah sesuku harus keluar dari kampung dikarenakan aib.”

“Selain itu ada istilah Bako yaitu Ayah/ semua keluarga dari pihak ayah, merekalah yang mengurusi masalah pesta/perhelatan jika ada perkawinan atau khitanan. Jadi, jika terjadi pernikahan sesuku maka posisi Mamak dan Bako sama, maka tidak aka nada yang mengurus administrasi nikah ataupun tempat untuk resepsi pernikahannya. Selain itu, jika suatu saat terjadi persengketaan akan sulit untuk

menyelesaikannya karena mamaknya sama.”

Dalam adat dikenal pula istilah Bapillin tigo yaitu tiga hal dalam adat yang harus dipatuhi masyarakat karena tiga hal tersebut sejalan. Peraturan bapillin tigo tersebut adalah peraturan pemerintah, peraturan agama dan peraturan adat istiadat. Jika melanggar adat berarti melanggar peraturan pemeritah dan agama begitu juga sebaliknya.

D. Adat Istiadat dalam Suku Melayu

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, dan setiap suku bangsa mempunyai sistem perkawinan yang berbeda. Sistem perkawinan menurut adat ada tiga, Pertama Exogami, yaitu seorang laki-laki dilarang menikahi perempuan yang semarga atau sesuku dengannya. Ia harus menikah dengan perempuan di luar Marganya (klan-Patrilineal).

Kedua Endogami, yaitu seorang laki-laki diharuskan menikah dengan

(51)

51 menikahi perempuan diluar kerabat. Ketiga Eleutrogami, seorang laki-laki tidak lagidiharuskan atau dilarang untuk menikah dengan perempuan diluar atau didalam lingkungan kerabat atau suku, melainkan dalam batasan-batasan yang telah ditentukan hukum Islam dan hukum perundang-undangan yang berlaku. Dari ketiga sistem, Suku Melayu termasuk pada sistem perkawinan Exogami.

Menurut Dz, Dt. Baginda Perkaso dari suku Piliang menuturkan bahwa, adat istiadat dalam Suku Melayu lebih condong memihak kaum wanita. Hal ini dikarenakan adanya sebuah hadits yang menjelaskan bahwa surga dibawah telapak kaki ibu, maka sudah sepantasnya kedudukan seorang wanita sangat dijunjung tinggi dalam tanah Melayu.

Masyarakat Suku Melayu di Provinsi Riau khususnya di Kota Pekanbaru kecamatan Perhentian Raja masih terikat kesatuan keturunan yang ditarik dari garis keturunan Ibu atau Perempuan dengan kata lain bentuk kesatuan keturunan itu disebut sistem Matrilinial.

“Sedangkan menurut AZ, Dt, Topo dari suku Chaniago “alasan yang paling mendasar kenapa dalam adat Melayu sangat menjunjung tinggi kaum wanita adalah pengorbanan dan jasa seorang ibu yang telah berjuang mengandung dan melahirkan seorang anak.”

(52)

52 Dalam adat Melayu peran seorang wanita sangatlah penting terutama dalam penerus garis keturunan. Selain itu peranan seorang wanita dalam pembagian harta waris yang lebih besar dari bagian anak laki-laki yaitu 2:1. Namun kedudukan yang diberikan kepada kaum wanita pada Suku Melayu hanyalah sebatas kedudukan dalam ruang lingkup adat dan untuk kedudukan pada sebuah kepemerintahan tetap dipegang alih oleh laki-laki.

E. Faktor-faktor LaranganPernikahan Sesuku

Pernikahan sesuku ini adalah istilah dari adat istiadat yang ada pada masyarakat Perhentian Raja yang mengandung makna yaitu: larangan adalah sebuah perintah agar tidak melakukan sesuatu atau tidak memperbolehkannya berbuat sesuatu. Sedangkan pernikahan itu sendiri adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri, sedangkan sesuku disini maksudnya adalah dengan sesama suku (bangsa)nya, sama asal (keturunan)nya, dan dalam hal ini garis keturunan yang diambil menurut garis keturunan Ibu(Matrilinial). Jadi, larangan pernikahan sesuku adalah ketidak bolehan melakukan perjanjian antara laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai Hubungan pertalian dari ibu untuk bersuami istri.

Menurut Dz, Dt. Maruanso dari suku Mandailing“faktor yang menyebabkan dilarangnya pernikahan sesuku dalam Suku Melayu di

Riau ada empat hal. Pertama, Dikhawatirkan merusak silaturrahmi.

Dikarenakan pernikahan sesuku akan mengakibatkan rancu, jika berkumpul dengan keluarga pihak suami/istri. Hal ini akan

menyebabkan kesulitan menentukan siapa Bako dan siapa Mamak dari

(53)

53 sesuku kelak jika ada pertemuan atau ada masalah yang terjadi pendapatnya tidak akan didengar dan apabila terjadi perceraian akan merusak silaturrahmi yang telah terjalin padahal mereka bersaudara. Kedua, Menganggap sesuku itu saudara dan menentukan mana dusanak (saudara) dan mana yang tidak saudara. Kuatnya rasa persaudaraan pada zaman dahulu sehingga mengharuskan menikahi suku lain. Zaman dulu jumlah suku masih sedikit sehingga pernikahan bertujuan untuk menambah silaturrahmi.

Ketiga, Mendidik rasa malu. Dalam Hubungan persaudaraan diharuskan utuk saling menghormati. Sesuku berarti bersaudara, mereka harus mempunyai rasa malu terhadap saudaranya dan harus dapat menjaga persaudaraannya tersebut.

Keempat, Patuh terhadap sumpah nenek moyang terdahulu. Sumpah sotih (sumpah setia) yang diucapkan kepala adat saat berdirinya Kecamatan Perhentian Raja dahulu. Sumpah tersebut didahului dengan bacaan takbir dan syahadat. Adapun bunyi dari sumpah sotih sebagai berikut:

Bismillahirrohmanirrohim………

Walaahi, Tallahi, walillahi………

Kami berjanji bahwa kami akan melaksanakanaturan dan pengaturan

adat kepada anak, kemenakan kami, dengan penuh kearifan dan

kebijaksanaan………

Bagi yang melanggar jonji, makan jonji……. Bagi yang melanggar buek, makan buek…….

Disumpah oleh Al-Qur’an 30 Juz……

Hidup seperti karokok tumbuh dibatu, kebawah tidak baurek, kaate

indak bapucuk, tongah-tongah dimakan kumbang…..

(54)

54 masyarakat Perhentian Raja sangat meyakini hal itu. Pada zaman dahulu hal ini benar benar terjadi dikarenakan sikap fanatik yang berlebihan. Sebagian besar masyarakat masih sangat percaya dengan

hal itu terbukti dengan sedikitnya yang melakukan pernikahan sesuku.”

Menurut Dz, Dt Baginda Perkaso dari suku Piliang “Selain pernikahan sesuku ada juga pernikahan yang dilarang pada adat Suku Melayu di Perhentian Raja tersebut, seperti :

1. Menikahi perempuan yang sesuku dengan istri pertamanya

dikarenakan istri pertama meninggal kemudian ia menikahi perempuan yang sama sukunya dengan istri pertamanya.

2. Jika seorang pria dari suku lain misalnya suku Jawa ingin menikahi

perempuan Melayu maka harus mencari induk semang/ibu angkat.

3. Jika seseorang sudah masuk dan mempunyai suku maka tidak

dapat menikahi perempuan dengan suku yang sama.

4. Keyakinan yang kuat bahwa akan terjadi hal buruk terhadap

keturunan.”

Menurut AZ, Dt. Topo dari suku Chaniago menjelaskan bahwa“Semua

masyarakat masih sangat meyakini sumpah leluhur mereka bahwa yang melanggar sumpah akan terkena kutukan sebagaisanksi terhadap pernikahan sesuku. Adanya larangan menikah sesuku sudah ada sejak zaman dahulu. Mereka meyakini jika terjadi pernikahan sesuku akan berdampak besar bagi diri sendiri, keluarga dan masa depan mereka. Adapun sangsi bagi mereka yang melanggar pernikahan sesuku adalah diusir dari kampung, tidak memiliki ninik mamak (suku), denda satu ekor kerbau, dilabuh golek golek (dibunuh), dikucilkan dikampung.

(55)

55 menghargai adat istiadat nenek moyang yang telah ada sejak zaman dahulu. Hanya saja menurut AJsalah satu tokoh adat di Kecamatan Perhentian Rajabahwa,

“pernikahan sesuku ini tidak bersifat mutlak, bagi yang melanggar diperbolehkan akan tetapi harus bersedia menerima sanksi. Mereka sangat menghormati adat istiadat yang telah dibuat nenek moyang mereka, tetapi mereka takut malapetaka menghampiri mereka, jika

melanggar adat yang sudah ada sejak zaman dahulu itu.”

Menurut NF salah seorang masyarakat “kepercayaan dan kepatuhan

kepada adat istiadat yang telah diajarkan oleh orang tua ataupun leluhurnya adalah suatu keharusan, termasuk pada aturan dilarangnya menikahi perempuan yang masih menjadi kerabat sesukunya.”

Berbeda dengan IA yang tidak mempercayai apa yang telah dipercayai oleh orang tua dan leluhurnya terdahulu, ia hanya menyerahkan segala kepada Allah termasuk soal jodoh, ia menambahkan bahwa,

“jika memang jodohnya kelak adalah pemuda yang sesuku dengannya

maka ia siap dengan konsekwensi sanksi yang akan ia terima dari adat.”

Sanksi bagi pelaku pernikahan sesuku adalah dibunuh, diusir dari kampung, dikucilkan oleh masyarakat setempat.Dengan adanya sanksi tersebut masyarakat Perhentian Raja akan takut melakukan pernikahan sesuku.Namun seiring berkembangnya zaman hukuman dibunuh sudah tidak lagi digunakan di Kecamatan Perhentian Raja, karena dianggap tidak manusiawi.

(56)

56 Setip daerah pasti memiliki adat atau tradisi sebelum pernikahan,

menurut NF ada beberapa tradisi yang biasa dilakukan di Perhentian

Raja. Pertama, Menggantung. Maksudnya ialah mempelai perempuan

tidak diperbolehkan bertemu dengan mempelai laki-laki. Jika dalam adat jawa dikenal dengan istilah dipingit. Hari menggantung dimulai dari 5 hari sebelum acara pernikahan berlangsung. Kemudian dimulai

memasang tenda dll. Kedua, Malam bainai. Adalah malam dimana

calon pengantin memasang inai dan memakai pakaian yang senada. adapun kelengkapan inainya adalah : tepak sirih berisi sirih lengkap, inai yang sudah digiling halus secukupnya, lilin lebah untuk menutup kuku, bedak sejuk, kain lap/ serbet / kertas tisu, lilin untuk dinyalakan, sabun mandi dan seutuhnya ditata dalam piring beralas serbet.

Ketiga, Berandam. Upacara berandam dilakukan pagi hari setelah malam bainai dilakukan oleh kedua calon pengantin dikediaman masing masing yang dipimpin oleh mak andam(dukun pengantin). Dilakukan saat matahari terbit dengan harapan pengantin akan bercahaya dan secerah matahari. Berandam ini adalah mencukur bulu halus diwajah dan membentuk alis serta mencukur anak rambut dibagian belakang. Keempat, Akad nikah. Setelah ijab qobul dilakukan para pengantin

melakukan sungkem meminta restu kepada kedua orang tua.Kelima,

Berinai lebai. Setelah selesai meminta restu orang tua kedua pengantin melakukan upacara tepung tawar. Ini menunjukkan jika mereka telah

sah menjadi suami istri. Keenam, Upacara khatam Al-qur‟an. Mempelai

(57)

57

BAB IV

LARANGAN PERNIKAHAN SESUKU

(58)

58

C. Analisis Pernikahan Sesuku pada Suku Melayu di Kec. Perhentian Raja

Pada bab III, penyusun telah menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan dilarangnya pernikahan sesuku beserta sanksi yang akan dikenakan terhadap pelakunya. Penyusun juga telah menguraikan kondisi keseluruhan wilayah Kecamatan Perhentian raja baik secara tata letak geografis hingga sosial budayanya. Pada bab ini penyusun akan membahas pandangan hukum islam tentang larangan pernikahan sesuku pada Suku Melayu yang ada di Kecamatan Perhentian raja.

Masyarakat Suku Melayu Riau khususnya yang bertempat di Kecamatan Perhentian raja menganut tiga aturan hukum atau yang sering disebut Bapilin tigo, yaitu seluruh masyarakat Melayu harus senantiasa memegang teguh pada nilai-nilai ajaran Islam tanpa sedikitpun meninggalkan Adat /tradisi yang dibawa leluhurnya terdahulu, selain itu mereka juga melaksanakan aturan-aturan pemerintah termasuk tata aturan pernikahan secara nasional yang berlaku hingga saat ini, dengan kata lain mereka harus mematuhi ketiga hukum yaitu: Agama, Adat, dan Pemerintah. Jika melanggar salah satunya maka sama halnya melanggar ketiga hukum tersebut. Namun hukum yang tertinggi adalah hukum adat, kemudian hukum agama dan yang terakhir hukum pemerintahan.

(59)

59 semarga atau yang sesuku dengannya, ia harus menikah dengan wanita diluar marganya.

Dalam adat Suku Melayu keturunan diambil dari garis Ibu (matrilineal), seorang anak laki-laki maupun perempuan tidak termasuk dalam suku ayahnya melainkan sesuku dengan ibunya. Sebagaimana hasil wawancara penyusundengan penghulu adat di kecamatan Perhentian raja tepatnya di desa Perhentian raja, bahwa faktor penyebab dilarangnya nikah sesuku ialah rancunya Hubungan/silsilah kekerabatan, dikhawatirkan merusak Hubungan silaturrahim, dikhawatirkan akan terjadinya pernikahan antar saudara kandung dan akan sulit membedakan anrata saudara dengan yang tidak., mendidik rasa malu, kepatuhan pada sumpah sotih serta keyakinan yang kuat bahwa akan terjadi hal-hal buruk kelak pada keturunan.

Berkaitan dengan rancunya Hubungan silsilah kekerabatan, bahwa keturunan dari pelaku pernikahan sesuku ialah sulitnya menentukan Bako, Sumondo, dan Ninik mamak, hal ini akan menjadi masalah jika kelak anak keturunannya akan menikah atau pada acara adat lainya. Sebagai contoh,

dalam sebuah pernikahan Ninik mamak sangat berpern penting dalam

pengurusan administrasi pernikahan , jika tidak tau siapa ninik mamaknya maka akan sulit untuk mengurus administras pernikahan tersebut, sementara dalam Islam yang berperan penting dalam hal ini adalah bapak/wali.

Pernikahan sesuku dikhawatirkan akan merusak Hubungan

(60)

60 pasangan tersebut sudah memahami arti penting sebuah pernikahan serta dapat melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri dengan benar, maka rumah tangga mereka akan sakinah, mawaddah dan rahmah walaupun mereka sesuku.

Masyarakat Melayu menganggap sesuku itu sama halnya dengan saudara yang tidak dibenarkan untuk menikah. Saudara yang tidak dibenarkan menurut masyarakat Suku Melayu ialah sebagai berikut:

A B

C D

E F G H

F dan G adalah saudara menurut garis keturunan dari ibu, oleh karena itu mereka dilarang melakukan pernikahan. Menurut Dt. Fulan, tokoh masyarakat Suku Melayu, hal ini didasarkan pada sebuah hadist yang berisikan anjuran untuk tidak menikah dengan kerabat.

(61)

61 dilihat pada surat An-Nisa (4) : 23, yaitu ibu kandung dan seterusnya keatas, anak perempuan kandung dan seterusnya kebawah, saudara perempuan, bibi, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan.

Selain dikarenakan Hubungan nasab, dalam surat An-Nisa (4) : 23, juga menjelaskan tentang larangan menikahi karena Hubungan Musaharah, yaitu ibu istri(Mertua), anak tiri yang ibunya sudah dicampuri, istri anak kandung atau istri cucu, istri bapak(ibu tiri), istri kakek dan seterusnya keatas.

Selanjutnya dalam surat An-Nisa (4) : 23 juga menerangkan bahwa Haram untuk dinikahi/ dilarang untuk dinikahi perempuan-perempuan dari hubungan persusuan yaitu ibu susuan dan seterusnya keatas, anak perempuan dari ibu susuan, saudara perempuan sesusuan, bibi susuan(yaitu saudara perempuan dari bapak susuan dan ibu susuan), anak perempuan saudara laki-laki sesusuan, anak perempuan saudara perempuan sesusuan dan seterusnya kebawah baik karena nasab ataupun sesusuan, anak perempuan susuan dari istri jika ibunya sudah dicampuri.

Menurut keterangan diatas telah jelas bahwa tidak ada disebutkan bahwa saudara dari garis keturunan ibu(Sesuku) adalah kerebat dekat yang Haram/dilarang untuk dinikahi.

Gambar

TABEL I BATAS-BATAS WILAYAH
TABEL III FASILITAS PENDIDIKAN
TABEL IV PERSENTASE PENDUDUK BERDASARKAN AGAMA
TABEL VI JABATAN KEPEMIMPINAN ADAT

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas antibakteri 2 isolat aktinomisetes (NA-1 dan NA-2) yang telah diisolasi dari tanah Hutan Larangan Adat Ghimbo Potai,

Di Desa Lungaaian Kec lubuk Batang Kab Ogan Komering Ulu ada yang namanya Adat Perkawinan Kambek Anak dimana dalam pernikahan tersebut terdapatnya sebuah

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: pertama, larangan nikah satu suku di Komunitas Masyarakat Melayu Suku Ampu terjadi karena a masih tertanamnya kepercayaan bahwa orang

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, peneliti belum menemukan penelitian tentang tradisi adat yang ada kaitannya dengan larangan perkawinan ditinjau dari hukum

Apabila ditinjau dari segi perundangan hukum Islam, larangan pernikahan dalam adat masyarakat batak muslim di Kab.. Padang Lawas Utara ada yang betentangan dengan hukum

Kata kunci: Perkawinan, Adat Jawa,dan Muharram. Penelitian ini terfokus pada masyarakat yang menjalankan tradisi larangan menikah pada bulan Muharram. Adapun fokus penelitian