BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
Buku III B.W. berjudul “Perihal Perikatan”. Perkataan “perikatan”
(verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian”, sebab dalam Buku III itu, diatur juga perihal perhubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi, sebagian besar dari Buku III ditujukan pada perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian.
Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum (Subekti, 1989: 122).
1.1 Pengertian Perjanjian
mengikatkan diri sehingga terjadi perikatan. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya dan bentuk perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perjanjian melahirkan perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau pihak yang berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau pihak berutang. Hubungan antara dua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum, yang berarti bahwa hak pihak berpiutang ini dijamin oleh hukum atau undang-undang. Perjanjian atau overeenkomst adalah hubungan hukum yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara seseorang adalah hak-hak yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum (Subekti, 1995: 1).
KUHPerdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas dan banyak mengandung kelemahan, adapun kelemahannya sebagai berikut:
a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak
Hal ini dapat diketahui dari rumusan satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata ”mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak berarti kedua belah pihak.
Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikat diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidaknya perlu ada rumusan saling mengikatkan diri. Jadi jelas nampak adanya konsensus/kesapakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian.
b. Kata “Perbuatan” mencakup juga kata konsensus/kesapakatan dalam pengertian “perbuatan”, termasuk juga tindakan :
1. melaksanakan tugas tanpa kuasa 2. perbuatan melawan hukum
Kedua hal tersebut merupakan tindakan atau perbuatan yang tidak mengandung adanya konsensus. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebenarnya maksud yang ada dalam rumusan tersebut adalah “perbuatan hukum”.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas
hal perkawinan sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang memncakup hubungan lahir bathin. Sedangkan yang dimaksud dalam perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata adalah hubungan antara debitior dengan kreditor. Dimana hubungan antara debitor dan kreditor terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan saja selebihnya tidak, jadi, yang dimaksud hanya perjanjian kebendaan saja, bukan perjanjian personal. d. Tanpa menyebut tujuan
Dalam perumusan Pasal 1313 KUHPerdata itu tidak disebut apa tujuanyang mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinyaitu tidaklah jelas maksudnya apa (Abdulkadir Muhammad, 2000: 224-225).
Dari kelemahan yang diterangkan diatas, dapat kita perbandingkan pengertian perjanjian menurut para ahli sebagai berikut:
1) Subekti
2) Wiryono Projodikoro
Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. Dari pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata dan pendapat para ahli di atas, rumusan yang dapat dianggap tepat untuk definisi perjanjian itu adalah :
“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.
Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu perjanjian yang dilakukan dengan tertulis dan perjanjian yang dilakukan secara lisan. Untuk kedua bentuk perjanjian tersebut sama kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi persengketaan (Riduan Syahrani, 2006: 207)
1.2 Unsur‐Unsur Perjanjian
Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita simpulkan unsur-unsur perjanjian sebagai berikut :
a. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang
berkedudukan pasif apabila sebagai debitor sedangkan yang berkedudukan aktif apabila sebagai kreditor.
b. Adanya persetujuan antara pihak-pihak tersebut
Persetujuan disini bersifat tetap, dalam arti bukan baru dalam tahap berunding. Perundingan hanya merupakan tindakan pendahuluan untuk menuju pada adanya persetujuan. Dengan disetujuinya oleh masing-masing pihak tentang syarat dan objek perjanjian itu, maka timbullah persetujuan yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian.
c. Adanya tujuan yang hendak dicapai
Tujuan mengadakan perjanjian, terutama guna memenuhi kebutuhan para pihak, dan kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain.
d. Adanya prestasi yang akan dilaksanakan
Bila telah ada persetujuan, maka dengan sendirinya akan timbul suatu kewajiban untuk melaksankannya. Pelaksanaan disini tentu saja berwujud suatu prestasi. Pasal 1314 ayat (3) menjelaskan, bahwa prestasi dalam perjanjian meliputi: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
e. Adanya bentuk tertentu baik lisan maupun tertulis
f. Adanya syarat tertentu sebagai isi perjanjian
Mengenai syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi dari perjanjian, karena dengan syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban dari pihak-pihak. Biasanya syarat ini dapat dibedakan syarat pokok dan syarat tambahan (Subekti, 2002: 3-4).
1.3 Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
Meskipun hukum perjanjian menganut sistem terbuka, orang bebas untuk mengadakan perjanjian, sehingga tidak terikat pada ketentuan-ketentuan yang telah ada, namun syarat sahnya perjanjian yang dikehendaki oleh undang-undang haruslah dipenuhi agar berlakunya perjanjian tanpa cela. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya: b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu dan
d. Suatu sebab yang halal (Djaja S. Meliala, 2007: 91).
Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1) Syarat Subyektif
a. Sepakat dari mereka yang mengikatkan diri
Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Cara-cara untuk terjadinya penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas, yang penting dapat dipahami atau dimengerti oleh pihak bahwa telah terjadi penawaran dan penerimaan.
Kesesuaian kehendak ini harus dinyatakan dan tidak cukup hanya dalam hati saja, karena hal itu tidak akan diketahui oleh orang lain sehingga tidak mungkin melahirkan kata sepakat yang perlu untuk melahirkan perjanjian. Pernyataan sepakat ini tidak terbatas dengan mengucapkan kata-kata, akan tetapi juga bisa diwujudkan dengan tanda-tanda yang dapat diartikan sebagai kehendak untuk menyetujui adanya perjanjian tersebut seperti tulisan.
Beberapa cara terjadinya kesepakatan/terjadinya penawaran dan penerimaan adalah:
a. dengan cara tertulis; b. dengan cara lisan;
Seorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu.
Kesepakatan lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi dalam masyarakat, namun kesepakatan secara lisan ini kadang tidak disadari sebagai perjanjian padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, misalnya seorang membeli keperluan sehari-hari di toko maka tidak perlu ada perjanjian tertulis, tetapi cukup dilakukan secara lisan antara para pihak.
Kesepakatan yang terjadi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu macam jualan pokok, contohnya adalah jual beli sapi dengan simbol kode antara penjual dan pembeli. Maka, setelah proses tersebut menciptakan kata sepakat.
turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya sehingga kita tidak pernah mengucapkan sepakat kata pun kepada sopir mobil tersebut, namun pada dasarnya sudah terjadi perjanjian pengangkutan.
Dengan demikian tolak ukur kesepakatan para pihak adalah pernyataan-pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat adalah pernyataan secara objektif yang dapat dipercaya, atau yang secara sungguh-sungguh memang dikehendaki oleh para pihak. Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut diatas, khususnya syarat kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, dapat disimpulkan bahwa tidak adanya kesepakatan parapihak, berarti tidak akan terjadi perjanjian atau kontrak.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Untuk mengadakan perjanjian, para pihak harus cakap, namun dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan perjanjian adalah tidak cakap menurut hukum. Seorang yang dianggap dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum menurut hukum dan peraturan perundang-undangan adalah: 1) KUHPerdata
satu) tahun telah menikah. Dan serta orang tersebut tidak berada dibawah pengampuan contoh gelap mata, sakit ingatan atau pemboros.
2) Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP) Pasal 50 ayat (1) UUP menerangkan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali artinya bahwa yang dikatakan orang yang cakap melakukan perbuatan hukum menurut UUP adalah orang yang telah berumur 18 (delapan belas) tahun keatas atau telah pernah kawin dan tidak berada dibawah pengampuan.
3) Undang‐Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris syarat orang yang cakap melakukan perbuatan hukum dalam UU Jabatan Notaris tidak ada perbedaan dengan orang yang cakap melakukan perbuatan hukum dengan UUP.
4) Hukum Islam
Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi oleh para pihak mengakibatkan perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut dapat dibatalkan. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat tetap mengikat, selama tidak dibatalkan oleh Pengadilan atas permintaan yang berkepentingan. 2) Syarat Obyektif
Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian, ini meliputi:
a. Suatu hal tertentu
Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu dalam kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.
benda yang dapat diperdagangkan, karena benda diluar perdagangan tidak dapat dijadikan obyek perjanjian.
b. Suatu sebab yang halal
Syarat obyektif lainnya dalam perjanjian yaitu suatu sebab yang halal yang diatur oleh Pasal 1335 KUHPerdata, yang menerangkan bahwa suatu sebab yang halal adalah:
1. Bukan tanpa sebab, artinya jika ada sebab lain dari pada yang dinyatakan;
2. Bukan sebab yang palsu, artinya adanya sebab yang palsu atau dipalsukan;
3. Bukan sebab yang terlarang, artinya apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
Pasal 1335 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebab yang halal itu adalah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, baik itu diberlakukan terhadap para pihak maupun objek yang diperjanjikan (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2014: 154-161).
1.4 Asas‐Asas Dalam Perjanjian
demikian, asas-asas hukum selalu merupakan fenomena yang penting dan mengambil tempat yang sentral dalam hukum positif.
Asas-asas hukum berfungsi sebagai pendukung bangunan hukum, menciptakan harmonisasi, keseimbangan dan mencegah adanya tumpang tindih diantara semua norma hukum yang ada. Asas hukum juga menjadi titik tolak pembangunan sistem hukum dan menciptakan kepastian hukum yang diberlakukan dalam masyarakat (Paul Scholten, 2007: 23).
Menurut Salim (2003: 9-12) hukum kontrak dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality). Kelima asas tersebut diatas yaitu:
a. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian; b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
b. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
c. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
d. Asas Itikad Baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini
terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan
tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
e. Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya”.
dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan.
1.5 Jenis‐jenis Perjanjian
Jenis-jenis perjanjian adalah :
a. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, misalnya jual beli, sewa menyewa, pemborongan. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah.
b. Perjanjian percuma dan Perjanjian alas hak yang membebani
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu mendapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
c. Perjanjian bernama dan Perjanjian tidak bernama.
Perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Terciptanya Perjanjian tidak bernama didasari karena pada hukum perjanjian, berlakunya asas kebebasan mengadakan perjanjian (Partij Ekonomi).
d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga.
e. Perjanjian konsesual dan Perjanjian riil.
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian riil adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak (Abdulkadir Muhammad, 1982: 86).
1.6 Berakhirnya Atau Hapusnya Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1381 KUHPerdata hapusnya perikatan karena sebagai berikut:
a. pembayaran;
b. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; c. pembaharuan utang;
d.perjumpaan utang atau kompensasi; e. percampuran utang;
f. pembebasan utang;
g. musnahnya barang yang terutang; h. kebatalan atau pembatalan;
i. berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab kesatu buku ini; j. lewatnya waktu (Djaja S. Meliala, 2007: 105).
2. Tinjauan Umum tentang Jual Beli
2.1 Pengertian jual beli
Lahirnya suatu perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata disebabkan adanya kesepakatan dari para pihak (Asas Konsesualisme). Sebagaimana telah disebutkan dimuka, hukum perjanjian dalam KUHPerdata menganut asas konsesualisme yang artinya hukum perjanjian itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan adanya kata sepakat saja sehingga dengan demikian perikatan yang ditimbulkan lahir pada saat terjadinya kata sepakat tersebut. Begitu pula dengan saat terjadinya jual beli. Perjanjian jual beli dianggap telah terjadi pada saat dicapai kata sepakat antara penjual dan pembeli, hal yang demikian ini telah diatur dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “ Jual beli dianggap sudah terjadi antara para pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. Dengan demikian jual beli itu sebenarnya sudah
terjadi pada waktu terjadinya kesepakatan tersebut (J.Satrio, 1999: 39). 2.2 Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli
Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian B.W. perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju
tentang barang dan harga, maka lahirnya perjanjian jual beli yang sah.
seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.
2.3Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Jual Beli
Perjanjian yang dibuat pastinya melahirkan hubungan hukum antara para pembuatnya. Hubungan hukum itu berisi hak dan kewajiban para pihak. Hak adalah segala sesuatu yang diterima akibat dari perjanjian yang dibuatnya sedangkan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak atas segala apa yang telah disepakati dalam perjanjian yang mereka buat.
Pihak-pihak yang ada dalam perjanjian jual beli biasanya hanya ada 2 (dua) pihak yaitu Penjual dan Pembeli. Oleh sebab itu yang perlu dipaparkan dalam penulisan ini adalah hak dan kewajiban dari penjual dengan pembeli dan sebaliknya.
1. Hak Dan Kewajiban Penjual
Hak merupakan suatu hal yang tidak dipisahkan dari kewajiban. Hak dari penjual menurut KUHPerdata adalah menerima harga pembelian atas benda yang dijualnya kepada pembeli. Apabila pembeli tidak membayar harga pembelian, penjual dapat menuntut pembatalan perjanjian jual beli tersebut. Dari beberapa ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata kewajiban yang utama dari penjual ada dua yaitu: a. Kewajiban menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan
kepunyaan pembeli. Menurut KUHPerdata, walaupun perjanjian jual beli mengikat para pihak setelah tercapainya kesepakatan, namun tidak berarti bahwa hak milik atas barang yang diperjual belikan tersebut akan beralih pula bersamaan dengan tercapainya kesepakatan karena untuk beralihnya hak milik atas barang yang diperjual belikan dibutuhkan penyerahan.
Kewajiban menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan dari penjual kepada pembeli, seperti:
1) Penjual berkewajiban menyerahkan suatu barang meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi pemakaiannya yang tetap, beserta surat-surat bukti milik, jika ada (Pasal 1482 KUHPerdata).
2) Penjual diwajibkan menyerahkan barang yang dijual seutuhnya, sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian, dengan perubahan-perubahan yang pernah dilakukan (Pasal 1483 KUHPerdata).
penyerahan hak atas benda itu dari yang menyerahkan kepada yang menerima penyerahan disebut “jurisdiche levering” atau penyerahan yuridis.
Pelaksanaan penyerahan hak milik dari penjual kepada pembeli untuk setiap barang tidaklah sama, akan tetapi harus melihat jenis barangnya terlebih dahulu, untuk penulisan ini penulis hanya membedakan terhadap dua bentuk kebendaan, yaitu:
1) Benda Bergerak
Pasal 509 sampai dengan Pasal 518 Bagian ke empat, Buku II KUHPerdata merupakan pasal-pasal yang mengatur mengenai benda bergerak. Pengertian benda bergerak dijelaskan dalam Pasal 509 KUH Perdata berbunyi “kebendaan bergerak karena sifatnya ialah kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan”.
sebagai pemiliknya (bezit geldt als volkmen title). Menurut asas ini bahwa siapa yang tampak sebagai pemilik harus dipandang sebagai pemilik dan orang yang menerima barang bergerak tersebut harus dilindungi oleh hukum.
2) Barang Bergerak Tidak bertubuh
Barang bergerak tidak bertubuh dan piutang atas nama, cara penyerahannya adalah dengan melalui akta dibawah tangan atau akta autentik. Akan tetapi, agar penyerahan piutang atas nama tersebut mengikat bagi si berutang, penyerahan tersebut harus diberitahukan kepada si berutang atau disetujui dan diakui secara tertulis oleh si berutang.
3) Benda Tidak Bergerak (Tetap)
Benda tidak bergerak atau tanah, cara penyerahannya adalah melalui pendaftaran atau balik nama. Seperti pengalihan hak atas tanah dilakukan melalui Kantor Pertanahan dan kepemilikan kapal dengan bobot diatas 20 ton dilakukan melalui Syahbandar atau Administrasi Pelabuhan.
b. Kewajiban menanggung kenikmatan, ketentraman dan cacat tersembunyi atas benda sebagai obyek jual beli
benda miliknya sendiri yang bebas dari suatu beban atau tuntutan hukum dari pihak lain. Terhadap hal ini, Pasal 1471 KUHPerdata menerangkan bahwa jual beli yang dilakukan terhadap milik orang lain batal demi hukum.
Bebas dari suatu beban artinya adalah bahwa barang yang dijualnya tidak dijadikan suatu jaminan hutang dari pihak penjual sedangkan bebas dari tuntutan pihak lain artinya pihak pembeli dijamin oleh pihak penjual jika ada tuntutan mengenai apa yang telah dibelinya dari penjual. Kewajiban ini diwujudkan dalam bentuk kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena gugatan dari suatu pihak ketiga, dengan putusan hakim untuk menyerahkan barang yang telah dibelinya kepada pihak ketiga tersebut.
Setiap penjual berkewajiban bahwa benda yang dijualnya dalam keadaan baik, sedangkan penjual juga wajib menanggung apabila benda itu terdapat cacat tersembunyi. Mengenai kewajiban penjual dalam hal ini telah diatur dalam KUHPerdata, yaitu:
membelinya selain dengan harga yang kurang (Pasal 1504 KUHPerdata).
2) Penjual tidaklah diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan, yang dapat diketahui sendiri oleh pembeli (Pasal 1505 KUHPerdata).
3) Penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu, kecuali jika ia, dalam hal demikian, telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun (Pasal 1506 KUHPerdata).
4) Jika penjual telah mengetahui cacat-cacatnya barang, maka selain diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya, ia juga diwajibkan mengganti segala biaya, kerugian dan bunga kepada si pembeli (Pasal 1508 KUHPerdata).
5) Penjual diwajibkan mengembalikan harga pembelian, dan mengganti kepada si pembeli biaya yang telah dikeluarkan untuk pembelian dan penyerahan, sekadar itu telah dibayar oleh pembeli (Pasal 1509 KUHPerdata) (Salim, 2003: 54).
2. Hak Dan Kewajiban Pembeli
ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Hak dan Kewajiban lain berdasarkan KUHPerdata yang dimiliki dan harus dipenuhi pembeli adalah sebagai berikut:
a. Pembeli dapat menuntut pembatalan pembelian, jika penyerahan benda yang menjadi obyek jual beli karena kelalaian penjual tidak dapat dilaksanakan (Pasal 1480 KUHPerdata).
b. Dalam hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 1504 dan 1506, si pembeli dapat memilih apakah ia akan mengembalikan barangnya sambil menuntut kembali harga pembeliannya, atau apakah ia akan tetap memiliki barangnya sambil menuntut pengembalian sebagian harta, sebagaimana akan ditentukan oleh Hakim, setelah mendengar ahli-ahli tentang itu (Pasal 1507 KUHPerdata).
c. Pembeli diwajibkan membayar harga pembelian, di tempat penyerahan benda dilakukan apabila tidak diperjanjikan mengenai tempat pembayaran harga pembelian (Pasal 1514 KUHPerdata). d. Pembeli walaupun tidak ada suatu janji yang tegas, diwajibkan
membayar bunga dari harga pembelian, jika barang yang dijual dan diserahkan memberikan hasil atau lain pendapatan (Pasal 1515 KUHPerdata).
untuk berkuatir bahwa ia akan diganggu dalam penguasaannya, hingga si penjual telah menghentikan gangguan tersebut kecuali jika si penjual memilih memberikan jaminan, tersebut atau jika telah diperjanjikan bahwa si pembeli diwajibkan membayar biarpun segala gangguan (Pasal 1516 KUHPerdata) (Salim, 2003: 54-57).
3. Tinjauan Umum tentang Itikad Baik
Perjanjian-Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan tersebut memberikan arti bahwa sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian ditutup. Hal kedua yang mendasari keberadaan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan rumusan itikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitur maupun kreditur, maupun pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian. Hal mengenai itikad baik ini sebenarnya telah kita temukan dalam Pasal 1235 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa:
“Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termasuk kewajiban untuk menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas tidaknya kewajiban yang terakhir ini tergantung pada perjanjian tertentu; akibatnya akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan”.
“Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu
menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu semenjak perikatan dilakukan menjadi tanggungan” (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2014: 79).
Menurut teori klasik, asas itikad baik hanya berlaku pada saat penandatanganan dan pelaksanaan kontrak. Sebalinya, menurut pandangan teori kontrak yang modern janji prakontrak harus didasarkan pada itikad baik, sehingga pihak yang ingkar janji dapat dituntut untuk membayar ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum sehingga ganti rugi yang diberikan hanyalah kerugian nyata, atau disebut juga Reliance damages yaitu harga yang telah dibayar oleh pembeli (Suharnoko, 2004: 10).
Itikad baik secara subyektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti obyektif lebih pada hal-hal diluar diri pelaku. Mengenai pengertian itikad baik secara subyektif dan obyektif, dinyatakan oleh Muhamad Faiz bahwa: " Itikad baik subyektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik obyektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik".
fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak".
Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama-sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri. Kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial. Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada „kesengajaan sebagai bentuk kesalahan‟ pembuat yang secara psikologis
menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut (Ridwan Khairandy, 2003: 190). Syarat itikad baik, kepatutan, kepentingan umum dan kebiasaan:
a. Kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik
syarat sah suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “perbuatan” suatu kontrak.
Dapat saja suatu kontrak dibuat secara sah, dalam arti memenuhi semua syarat sahnya kontrak (antara lain sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata), dan karenanya kontrak tersebut dibuat dengan itikad baik, tetapi justru dalam pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke arah yang merugikan salah satu pihak atau merugikan pihak ketiga.
b. Kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan
Suatu kontrak haruslah sesuai dengan asas “kepatutan” (vide Pasal 1339
KUHPerdata). Untuk ini pemberlakuan asas kepatutan terhadap suatu kontrak mengandung dua fungsi sebagai berikut:
1) Fungsi yang melarang
Dalam hal ini, kontrak yang mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan asas kepatutan adalah tidak dapat dibenarkan. Misalnya dilarang membuat suatu kontrak pinjaman uang dengan bunga yang sangat tinggi. Bunga yang sangat tinggi ini bertentangan dengan asas kepatutan (reasonability).
2) Fungsi yang menambah
dibuatnya kontrak tidak mungkin tercapai. Misalnya terhadap suatu kontrak jual beli (yang dibayar kemudian) tidak jelas siapa yang menanggung resiko inflasi/devaluasi mata uang, maka adalah sesuai dengan asas “kepatutan” jika di pengadilan hakim menafsirkan bahwa
resiko inflasi/devaluasi mata uang tersebut di pikul bersama secara fifty-fifty.
c. Kontrak tidak melanggar prinsip kepentingan umum
Suatu perbuatan dan pelaksanaan kontrak tidaklah boleh melanggar prinsip kepentingan umum (openbaar orde). Karena sesuai dengan prinsip hukum yang universal dan sangat mendasar bahwa kepentingan umum tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Karena itu, jika ada kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum, maka kontrak tersebut sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, yang menurut Pasal 1339 KUHPerdata hal tersebut tidak dibenarkan. Contoh kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum adalah kontrak jual beli obat bius (Munir Fuady, 1999: 80-82).
4. Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi
tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi (Agus Yudha Hernoko, 2010: 260).
Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan
hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana
disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan (Munir Fuady, 1999: 87).
Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu berupa:
a) Memberikan sesuatu; b) Berbuat sesuatu; c) Tidak berbuat sesuatu.
Sementara itu, dengan wanprestasi (default atau non fulfilment, maupun yang disebut juga dengan istilah breach of contract) yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
a) Kesengajaan; b) Kelalaian;
c) Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).
Berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibat umunya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu (Munir Fuady, 1999: 87-88).
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur (Salim, 2003: 98). Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. Wanprestasi dapat berupa (J.Satrio, 1999: 122):
1) Sama sekali tidak memenuhi prestasi; 2) Prestasi yang dilakukan tidak sempurna; 3) Terlambat memenuhi prestasi;
1) pembatalan perjanjian; 2) peralihan resiko;
3) membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti‐rugi;
4) membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan pengadilan.
d) Akibat Adanya Wanprestasi
Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut 1) Perikatan tetap ada
Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksankan prestasi tepat pada waktunya.
2) Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata)
3) Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.
5. Tinjauan Umum Tentang Jual Beli Menurut Hukum Adat
Sering kita jumpai pada fenomena terurainya lingkungan hidup yang didalamnya para warganya melakukan tolong-menolong. Untuk keperluan tukar-menukar jasa dan barang dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, salah satunya melakukan transaksi jual beli. Istilah jual itu mengenai pengoperan hak dari sesuatu orang kepada orang lain. Apabila pengoperan itu dilakukan untuk selama-lamanya, maka dipakailah istilah “Jual lepas”, atau “jual mutlak”, sedangkan kalau pengoperan itu hanya untuk waktu yang tertentu saja, misalnya satu tahun, dipergunakan istilah “Jual Tahunan” dan apabila
pengoperan tersebut disertai syarat, bahwa dapat pulang kembali kepada si penjual lagi asalkan uang pembayaran yang dahulu ia terima dikembalikan kepada pembeli lagi, maka istilah yang dipergunakan adalah “Jual sende” atau “Jual gadai”.
utang-piutang yang dianggap terjadi antara penjual dan pembeli (Soerojo, 1995: 71).
Perbandingan perjanjian jual beli hukum B.W dengan hukum adat yaitu hukum B.W , memiliki ketentuan,“ jual beli sudah terjadi apabila sudah terucap
kata sepakat , walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganya belum dibayar” dan dalam perjanjian jual beli pun diharuskan untuk membuat suatu bukti tertulis sebagai ketentuan yang sudah ditetapkan untuk masalah pembuktian, sedangkan didalam hukum adat , jual beli berasaskan sifat Kontan yang memiliki ketentuan “ jual beli terjadi bersama-sama pada saat waktu itu
juga”, sehingga walaupun sudah terucap kata sepakat antara kedua belah pihak itu belum terjadi jual beli. Adapun didalam jual beli, masyarakat adat tidak mengenal namanya pembuktian tertulis, karena masyarakat adat memiliki sifat percaya, saling percaya satu sama lain, dan jual beli menurut adat tidak perlu dengan membuat bukti tertulis seperti didalam B.W (http://sifauzi174.blogspot .co.id/2014/04/hukum-bw-vs-hukum-adat-dalam-perjanjian.html).
6. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa
akibat adanya ketidaksepakatan, perbedaan, gangguan, kompetisi, atau ketidakseimbangan di antara para pihak.
Adakalanya pelaku bisnis bersikap rasional ketika menghadapi sengketa bisnis karena hal itu dianggap sebagai bagian dari resiko bisnis. Persoalan terpenting bagi pelaku bisnis adalah bagaimana upaya mereka dalam mengantisipasi atau mencegah kemungkinan terjadinya sengketa, oleh karena itu umumnya dalam kontrak bisnis (komersial) para pihak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa (Dispute settlement clause atau midnight clause) dalam kontrak mereka (Agus Yudha Hernoko, 2010: 304-307).
Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: (1) melalui litigasi, dan (2) non litigasi. Penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan suatu proses gugatan, suatu sengketa di ritualisasikan yang menggantikan sengketa sesungguhnya, yaitu para pihak dengan memberikan kepada seseorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan (Salim, 2003: 141). Sistem litigasi mempunyai keuntungan dan kekurangannya dalam penyelesaian suatu sengketa. Keuntungannya, yaitu:
a) Dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, litigasi sekurang-kurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial;
c) Litigasi memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum mengambil keputusan;
d) Litigasi membawa nilai-nilai masyarakat untuk penyelesaian sengketa pribadi;
e) Dalam sistim litigasi para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa.
Basuki Rekso Wibowo, mengemukakan bahwa paradigma beracara di pengadilan telah mengalami pergeseran yang memprihatinkan. Idealisme berperkara untuk menegakkan keadilan yang substansial, telah bergeser menjadi pergulatan kesempatan dan kekuatan untuk saling megalahkan (to be the winner, not the losser). Kondisi demikian akhirnya membuat masyarakat pencari
keadilan sedapat mungkin menghindari pengadilan dalam menyelesaikan berbagai problematika hukum yang mereka hadapi.
M. Yahya Harahap dalam buku Agus Yudhi Hernoko (2010: 309), mengemukakan bahwa penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan dinilai kurang efektif oleh para pelaku bisnis, karena:
1) Penyelesaian perkara yang lambat dan banyak membuang waktu; 2) Biaya mahal;
3) Peradilan tidak responsif tehadap kepentingan umum; 4) Putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa.
secara eksplisit maupun implisit. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui alternatif (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa). Apabila mengacu ketentuan Pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 maka cara penyelesaian sengketa melalui ADR dibagi tiga cara, yaitu:
a) Negosiasi b) Mediasi c) Konsiliasi
Ketiga bentuk penyelesaian sengketa dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan atau terjadinya perbedaan pendapat baik itu antara individu, kelompok maupun antar badan usaha. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dilakukan untuk menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah mufakat dan hasil penyelesaian konflik atau sengketa secara kekeluargaan. Menurut Salim (2003: 140-160) bentuk-bentuk penyelesaian sengketa melalui jalur Non-Litigasi, sebagai berikut:
a) Negosiasi
cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik. Pihak yang melakukan negosiasi disebut negosiator, sebagai seorang yang dianggap bisa melakukan negosiasi. Seorang negosiator harus mempunyai keahlian dalam menegosiasi hal yang disengketakan antara kedua pihak. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjalankan negosiasi, diantaranya:
1. Memahami tujuan yang ingin dicapai 2. Menguasai materi negosiasi
3. Mengetahui tujuan negosiasi
4. Menguasai keterampilan tehnis negosiasi, didalamnya menyangkut keterampilan komunikasi.
b) Mediasi
tersebut gagal barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. Tidak semua orang bisa menjadi mediator professional karena untuk dapat menjadi mediator dibutuhkan semacam sertifikasi khusus.
Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa, kesepakata penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran (Gunawan Widjaja, 2001: 92).
c) Konsiliasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian konsiliasi. Konsiliasi adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelasaikan peselisihan tersebut. Sedangkan menurut Oppenheim, konsiliasi adalah
“Suatu proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada
Inti konsiliasi dalam definisi di atas adalah penyelesaian sengketa kepada sebuah komisi dan keputusan yang dibuat oleh komisi tersebut tidak mengikat pihak. Artinya bahwa para pihak dapat menyetujui atau menolak isi keputusan tersebut.
Berbeda dengan negosiasi, konsialiasi dari pengertian yang diberikan dalam Black‟s Law Dictionary merupakan langkah awal perdamaian
sebelum sidang peradilan (litigasi) dilaksanakan. Bahkan jika kita melihat pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dengan berasumsi bahwa yang dimaksud konsiliasi dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 adalah identik dengan perdamaian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka berarti konsiliasi tidak hanya dapat dilakukan untuk mencegah dilaksanakannya proses litigasi (peradilan), melainkan juga dapat dilakukan oleh para pihak, dalam setiap peradilan yang sedang berlangsung, baik di dalam maupun diluar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dapat dilakukan konsiliasi (Gunawan Widjaja, 2001: 94).
Selain itu, ADR dipandang sebagai pilihan terbaik (the best choice), karena:
1) Bersifat informal;
2) Penyelesaian secara kooperatif oleh pihak yang bersengketa; 3) Biaya murah (nominal cost atau zero cost);
5) Menyelesaikan sengketa serta memperbaiki hubungan masa depan (the future);
6) Penyelesaian secara kompromi;
7) Hasil yang dicapai sama-sama menang (win-win)