• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI SISWA BERESIKO MENGALAMI KESULITAN BELAJAR SPESIFIK DI TAMAN KANAK-KANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI SISWA BERESIKO MENGALAMI KESULITAN BELAJAR SPESIFIK DI TAMAN KANAK-KANAK"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

KESULITAN BELAJAR SPESIFIK

DI TAMAN KANAK-KANAK

Adriatik Ivanti

Abstract

Early childhood stage is very critical. In this stage, children learn a lot of things and gain experiences in an extraordinary pace. Therefore, many concerned-parents send their young children to school earlier than their cohorts in the past. Unfortunately, finding the right school is very cumbersome for those parents. There are too many school choices, ranging from teaching methods to learning approaches. For instance, one kindergarten emphasizes on academic substance, while the others introduce the learning-by-playing method. Though there are some negative impacts of school institution that focuses in academicals aspect, on the other hand there are also some advantages that can be taken from that kind of learning method. One of the advantages of kindergarten that focuses in reading, writing and spelling (academically) is that both teachers and parents can early identify the symptoms of specific learning abilities. Those symptoms can also be early recognized by if both teachers and parent posses well understanding in regard of their children learning characteristic as well as aware of children unusual or abnormal learning behaviour. Early intervention by parents will help children to catch up their developmental lag. Keywords: specific learning disabilities, specific learning disabilities identification at kindergarten.

Pendahuluan

Saat ini, cukup banyak anak-anak yang berusia dua sampai lima tahun yang sudah disekolahkan oleh orang tuanya. Fenomena yang terjadi ini berkaitan erat dengan peningkatan jumlah wanita bekerja di sektor-sektor industri maupun sektor-sektor pekerjaan lainnya (Berk, 2005). Meskipun bekerja, para wanita tersebut tetap berusaha memberikan stimulasi yang terbaik bagi anak-anaknya dengan cara menyekolahkan mereka. Dengan demikian, kegiatan stimulasi yang biasa diberikan ibu untuk mengisi waktu luang anak di pagi hari , tetap dapat diberikan di sekolah.

Terdapat berbagai macam bentuk atau program pendidikan anak usia dini. Salah satunya adalah program yang mengedepankan siswa sebagai pusat belajar, yang disebut sebagai child centre program (Berk, 2005). Dalam program ini, para siswa dibiarkan untuk memilih sendiri aktivitas yang akan dilakukan di kelas dan sisa waktunya digunakan untuk bermain. Di lain pihak, ada program yang menekankan bidang akademik, seperti belajar membaca, menulis, dan berhitung. Guru pada program ini menekankan belajar huruf, angka, warna, bentuk geometri, dan kemampuan akademik lainnya (Berk, 2005).

(2)

Taman kanak-kanak yang menekankan program akademik cukup banyak dijumpai di Jakarta. Hal ini dikarenakan adanya beberapa prasyarat yang harus dipenuhi ketika mendaftar di SD, seperti siswa diharuskan untuk sudah dapat membaca dan menulis. Namun, para guru melaporkan bahwa siswa-siswa yang mendapatkan program akademik di TK, biasanya menampilkan perilaku stres, kurang percaya diri, lebih sering menghindari tugas-tugas yang sulit, dan memiliki perkembangan yang lambat dalam kemampuan bahasa, akademik, motorik, dan sosial pada akhir tahun sekolah (Marcon, Stipek, dalam Berk, 2005).

Namun sebenarnya terdapat manfaat dari kegiatan tersebut, selain tentunya anak-anak dapat membaca dan menulis. Dengan dikenalkan kegiatan akademik di usia ini (3-5/6 tahun), maka orang tua maupun guru dapat mendeteksi secara dini kemungkinan kesulitan belajar membaca dan menulis pada anak-anak mereka – yang dikenal sebagai kesulitan belajar spesifik/specific learning disabilities.

Dengan deteksi dini maka orang tua maupun guru dapat melakukan intervensi secepatnya sehingga siswa mendapatkan tindakan yang tepat. Terdapat bukti bahwa bila diberikan intervensi secepatnya, anak-anak tersebut dapat mengejar ketertinggalannya dan dapat berkembang seperti anak-anak lainnya (Lerner, 2000). Hal ini berkaitan erat dengan sifat dari perkembangan otak manusia itu sendiri. Otak manusia mengalami perkembangan yang pesat ketika individu berada pada rentang usia 0 – 5 tahun. Pada rentang waktu ini, simpul saraf di otak berkembang sangat cepat dan saling berhubungan satu dengan lainnya (Huttenlocher dalam Lerner, 2000). Pada anak-anak yang memiliki kesulitan belajar spesifik, terdapat beberapa saraf otak yang memang belum terhubung atau lemah. Dengan adanya intervensi atau memberikan stimulasi yang konsisten terhadap salah satu kekurangan pada diri anak, maka diharapakan kegiatan tersebut dapat membuat simpul-simpul saraf yang belum terhubung atau lemah ini menjadi lebih berkembang dan kuat (Sherman, 2004). Dengan demikian, efek negatif dari kesulitan belajar spesifik tersebut dapat diminimalisir.

Coleman & Dover, Taylor, dkk menunjukkan bahwa penilaian guru TK memiliki tingkat peramalan yang akurat dalam meramalkan kemungkinan siswa mengalami kesulitan belajar di sekolah di masa yang akan datang (Sumarlis, 2008). Hal ini berkaitan dengan waktu yang cukup banyak yang dihabiskan guru untuk mendampingi siswa belajar kegiatan pra-akademik di sekolah. Dengan adanya kegiatan ini, maka guru dapat memberikan penilaian terhadap kesiapan pra-akademik siswa-siswanya, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Selain itu, permasalahan siswa-siswa ketika belajar pun dapat terlihat dan kemudian disampaikan kepada pihak orang tua.

(3)

Kajian Teoritis

A. Definisi Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar terbagi menjadi dua golongan, yaitu kesulitan belajar umum dan kesulitan belajar spesifik. Unsur pembeda dari kedua klasifikasi ini terletak dari penyebab timbulnya kesulitan belajar.

Pada kesulitan belajar umum, didefinisikan sebagai kesulitan mengikuti proses belajar mengajar di sekolah yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal (yaitu faktor psikologis yang berasal dari dalam diri siswa) dan faktor eksternal (yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa) (Soekadji, 1989). Faktor internal berkaitan dengan kondisi psikologis siswa, seperti motivasi, kebutuhan berprestasi, regulasi belajar, dan lain lain. Sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan kondisi lingkungan sosial/budaya yang ada di sekeliling siswa, seperti kondisi keluarga, sosial ekonomi, fasilitas, dan lain lain.

Sedangkan, kesulitan belajar spesifik – yang dikenal sebagai specific learning disabilities adalah sekelompok gangguan yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam mengintrepretasikan apa yang dilihat, didengar, dan menghubungkan informasi dari berbagai bagian otak (Giulian dan Pierangela, 2007). Dengan adanya masalah ini, maka dapat menyebabkan seseorang kesulitan melakukan kegiatan belajar spesifik, seperti membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, pemahaman, dan melakukan penghitungan aritmatik (Giulian dan Pierangela, 2007).

Definisi lainnya – yang digunakan sampai saat ini – adalah gangguan pada salah satu atau lebih proses psikologis dasar yang melibatkan kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, baik tertulis atau verbal, sehingga menyebabkan seseorang kesulitan untuk berpikir, mendengar, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau melakukan penghitungan matematika, termasuk kondisi adanya gangguan persepsi, kerusakan otak, disfungsi otak minimal, disleksia, dan gangguan bahasa. Namun, kesulitan belajar ini bukan disebabkan karena adanya hambatan visual, auditori, atau motorik yang disebabkan dari retardasi mental, gangguan emosional, atau kekurangan stimulasi dari lingkungan, budaya, maupun ekonomi (Giulian dan Pierangela, 2007).

Berdasarkan hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang mengalami kesulitan belajar spesifik merupakan siswa yang memiliki inteligensi rata-rata bahkan di atas rata-rata namun mengalami kesulitan belajar membaca, menulis, mengeja, dan berhitung. Penyebab utamanya adalah terdapat gangguan pada sinyal-sinyal di otak ketika pemrosesan informasi sehingga menggangu proses tersebut. Dengan demikian, kondisi kesulitan belajar merupakan gangguan neurologis, yaitu adanya perberbedaan antara proses kerja dan struktur otak .

B. Prevalensi Anak Kesulitan Belajar

Di Amerika, didapatkan data bahwa 2.9 juta siswa diklasifikasikan sebagai siswa yang memiliki kesulitan belajar spesifik dan mendapatkan

(4)

fasilitas pendidikan anak berkebutuhan khusus (Giulian dan Pierangela, 2007). Sedangkan di Indonesia, prevalensi kesulitan belajar di tingkat SD sebesar 5-20% (Sumarlis, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Abdurrahman dan Ibrahim pada tahun 1994 menemukan sebanyak 16.52% dari 3.215 siswa SD mengalami kesulitan belajar (Abdurrahman, 1999). Kazuhiko menemukan bahwa perbandingan siswa laki-laki dan perempuan yang memiliki kesulitan belajar adalah 4:1 sampai 7:1 (Abdurrahman, 1999). C. Karakteristik Siswa yang Memiliki Kesulitan Belajar Spesifik

Berdasarkan pengalaman praktek penulis, didapatkan data bahwa keluhan yang diceritakan oleh orang tua berkisar di hal-hal sebagai berikut; kurang dapatnya anak berkonsentrasi; malas menulis; menolak bila diminta untuk mencatat; tulisan yang tidak terbaca karena tidak ada spasi; tulisan yang bercampur dengan huruf besar maupun kecil; ketinggalan huruf ketika menulis; membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menulis; membaca kata maupun huruf dengan terbalik-balik; sulit membedakan huruf b, d, p, q, 6, 9; menebak kata ketika membaca kalimat; sulit mengingat arah kiri-kanan, sulit mengingat bunyi huruf, sering salah mendengar kata/kalimat yang didiktekan, dan lain lain.

Pada kenyataannya, ketika dilakukan pengukuran potensi intelektual (IQ) pada para siswa tersebut didapatkan hasil potensi intelektual mereka berfungsi pada golongan rata sampai di atas rata-rata (dengan skala inteligensi yang dikenal dengan nama tes Wechsler). Dengan potensi demikian, sebenarnya para siswa tersebut diperkirakan tidak akan mengalami kesulitan mengikuti proses belajar-mengajar di kelas dan keluhan-keluhan orang tua di atas tidak muncul.

Keluhan para orang tua di atas senada dengan apa yang dijabarkan oleh Clements (dalam Giulian dan Pierangela, 2007). Ia menuliskan sepuluh karakteristik yang muncul pada siswa yang memiliki kesulitan belajar, yaitu hiperaktivitas, gangguan persepsi-motor, ketidakstabilan emosi, masalah koordinasi, gangguan perhatian, impulsif, gangguan kapasitas memori dan berpikir, kesulitan akademik, kemiskinan bahasa, dan tanda-tanda neurologis.

Kemudian karakteristik tersebut ditambahkan oleh Lerner (dalam Giulian dan Pierangela, 2007) yaitu gangguan perhatian, kemampuan motor yang buruk, kesulitan melakukan pembicaraan, gangguan pada proses psikologis dan memprosesan informasi, kesulitan membaca, kesulitan menulis, keterampilan sosial yang kurang, dan gangguan berhitung.

Karakteristik dan keluhan orang tua yang dijelaskan diatas sebenarnya merupakan karakteristik yang dilihat secara nyata atau dipandang bermasalah ketika para siswa tersebut berada di sekolah dasar, khususnya antara kelas dua dan kelas tiga. Hal ini dikarenakan pelajaran di kelas-kelas tersebut mulai kompleks dan membutuhkan kemampuan yang lebih dari anak untuk membaca dan menulis. Biasanya, para orang tua baru membawa anak-anak mereka ke ahli ketika anak-anak tersebut berada di kelas dua dan kelas tiga ini. Namun, pada orang tua-orang tua yang minim

(5)

informasi, mereka baru membawa anak-anaknya tersebut ketika berada di kelas lima atau kelas enam atau bahkan bila sudah ”terancam” dikeluarkan dari sekolah.

Dengan terlambatnya orang tua membawa anak mereka ke ahli, maka semakin lambat pula perkembangan atau perbaikan dari kondisi anak yang berkesulitan belajar tersebut. Sedikit banyak, hal ini dipengaruhi oleh sudah matangnya dan menetapnya perkembangan saraf otak di usia sekolah dasar ini (Lerner, 2000).

Keterlambatan orang tua untuk memeriksakan anak berkesulitan belajar sebenarnya tidak perlu terjadi bila para orang tua sadar informasi masalah yang berkaitan dengan perkembangan anak dan masalah-masalah psikologis yang berkaitan dengan akademik.

D. Deteksi Dini Siswa Beresiko Kesulitan Belajar Spesifik

Pada kenyataannya, kesulitan belajar spesifik yang terlihat di kelas dua dan kelas tiga tersebut dapat dianalogikan sebagai penyakit influenza yang sering menyerang seseorang. Sebelum influenza itu sendiri menyerang, biasanya terdapat gejala-gejala awal, seperti hidung tersumbat, tubuh pegal linu, bersin berkesinambungan, sakit kepala, dan sebagainya. Begitu pun dengan kesulitan belajar spesifik tersebut.

Terdapat tanda-tanda awal kesulitan belajar spesifik yang sebenarnya dapat diidentifikasi dini oleh para orang tua dan guru – yaitu ketika mereka berada pada rentang usia 0 – 5 tahun. Adapun tanda-tanda tersebut meliputi (Lerner, 2000) :

1. Kemampuan motorik kasar

Kemampuan motorik kasar adalah kemampuan anak untuk dapat mempergunakan otot-otot besarnya dalam beraktivitas, seperti berjalan, melompat, berlari, melempar, menangkap, dan lain lain. Dilaporkan bahwa siswa yang beresiko kesulitan belajar biasanya kesulitan melakukan aktivitas yang banyak melibatkan otot besar. Mereka terlambat tengkurap, duduk, tidak merangkak, terlambat berjalan. Kalaupun sudah dapat berjalan, maka perilaku berjalan yang ditampilkan terlihat kurang seimbang, sering jatuh, kikuk, dan lain lain. Dengan adanya kondisi tersebut, orang tua maupun guru TK sudah harus aware bila ada siswa-siswanya yang mengalami keterlambatan motorik kasar.

Peran orang tua dalam hal deteksi dini yang berkaitan dengan motorik kasar ini adalah melakukakan observasi terhadap sejarah perkembangan motorik anak mereka sejak lahir – usia 1 tahun. Orang tua wajib memperhatikan pada usia berapa anak mereka dapat tengkurap, merayap, merangkak, duduk, berdiri, berjalan, berlari, dan melompat. Bila usia tersebut dibandingkan dengan usia normalnya anak-anak melakukan hal di atas tergolong terlambat, maka orang tua sudah harus waspada terhadap berbagai kemungkinan kesulitan belajar.

(6)

2. Kemampuan motorik halus

Kemampuan motorik halus melibatkan kegiatan yang menggunakan otot kecil dan digunakan untuk menggerakan jari serta pergelangan tangan, termasuk di dalamya koordinasi mata-tangan. Anak-anak yang memiliki motorik halus yang kurang biasanya kesulitan dalam belajar memakai baju sendiri, belajar makan, kesulitan belajar memasangkan dan melepaskan kancing baju, dan kesulitan menggunakan pensil atau krayon. Kesulitan tersebut termanisfestasi ke dalam bentuk kesulitan bermain puzzle, membangun balok, menggunting, menulis, dan lain lain.

3. Persepsi : visual, auditori, dan kinestetik.

Persepsi adalah proses mengenali dan menginterpretasikan informasi-informasi dari luar yang masuk melalui panca indera. Proses ini berkaitan erat dengan inteligensi individu dalam memberikan arti terhadap informasi yang masuk melalui panca indera tersebut. Persepsi ini berkaitan dengan konsep gestalt atau keseluruhan. Konsep gestalt ini menyatakan bahwa individu dapat memberi arti/makna terhadap dunia bila mereka dapat mengorganisasikan informasi dari lingkungan secara keseluruhan. Bila tidak, maka informasi tersebut tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti. Kegagalan melakukan persepsi biasanya ditemukan pada siswa yang berkesulitan belajar spesifik.

Informasi dari lingkungan masuk melalui lima panca indera. Namun, pada siswa berkesulitan belajar ditemukan bahwa persepsi yang datang melalui pengelihatan (visual), pendengaran (audiotori), dan perabaan/gerakan (taktil-kinestetik) merupakan sumber masalah siswa tersebut.

Bila siswa-siswa pra sekolah atau TK mengalami masalah pada persepsi visual, maka perilaku yang tampak sulit membedakan bentuk huruf, sulit membedakan angka, sulit mencari huruf-huruf yang sama, mirror-writing, dan sebagainya.

Sedangkan anak-anak pra sekolah atau TK yang mengalami masalah para persepsi auditori biasanya mereka kesulitan membedakan bunyi huruf, sulit menggabungkan bunyi huruf ketika belajar membaca, kesulitan mengingat hal-hal yang disampaikan melalui bahasa, kesulitan mengingat arahan atau instruksi yang memiliki tahapan, dan sebagainya.

Pada siswa-siswa pra sekolah yang mengalami gangguan persepsi taktil-kinestetik biasanya kesulitan membedakan halus-kasar, sulit mengidentifikasi jari-jarinya ketika dipegang oleh individu lain, dan sebagainya.

Bila menemukan karakteristik di atas, diharapkan para guru atau orang tua sudah harus mewaspadai kondisi tersebut dan langsung memeriksakan dengan segera.

(7)

4. Kemampuan komunikasi dua arah dan bahasa

Kesulitan untuk mengikuti pembicaraan, memahami, dan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dua arah merupakan tanda lain dari kesulitan belajar spesifik. Biasanya, mereka kesulitan untuk memahami instruksi verbal, kesulitan memulai percakapan, menjelaskan atau menceritakan pengalaman, dan berkomunikasi dua arah dengan orang lain.

Kesulitan berkomunikasi ini dapat terlihat ketika siswa-siswa tersebut berada pada rentang usia dua atau tiga tahun, dimana biasanya siswa-siswa normal di usia tersebut sudah dapat berbicara dan berkomunikasi. Gangguan komunikasi tersebut meliputi gangguan sadar bunyi suara, terlambat bicara, gangguan pada struktur kalimat ketika berbicara, kemiskinan kosa kata, dan kemampuan yang kurang dalam memahami bahasa atau pembicaraan orang lain.

Bila tidak ditangani dengan segera, ketidakmampuan ini akan terus berlanjut sampai mereka masuk usia sekolah dasar. Ketidakmampuan berkomunikasi ini akan menyebabkan mereka kesulitan untuk memahami kalimat – baik yang diutarakan maupun yang tertulis, yang banyak digunakan dalam proses belajar mengajar di sekolah – dan mempengaruhi kemampuan membaca, menulis, serta mengeja.

Siswa-siswa pra sekolah atau TK yang mengalami keterlambatan bicara ini biasanya dapat mengejar ketertinggalannya di kemudian hari, namun dilaporkan mereka mengalami kesulitan belajar membaca ketika di SD.

5. Masalah rentang perhatian.

Beberapa siswa-siswa pra sekolah atau TK yang mengalami kesulitan belajar, dilaporkan pula mengalami masalah mudah teralih perhatian. Maksudnya adalah rentang perhatian mereka sangat pendek sehingga tugas-tugas di sekolah tidak selesai dikerjakan.

Gangguan perhatian ini meliputi perilaku hiperaktif, mudah teralih perhatian, dan impulsif. Siswa yang hiperaktif, perilaku mereka didominasi oleh aktivitas motor yang berlebihan, tidak dapat duduk dengan tenang, berlari-lari tanpa tujuan, bergerak secara konstan di kelas atau bahkan ke luar dari kelas, dan banyak membuat suara-suara.

Siswa yang mengalami masalah mudah teralih perhatian, biasanya mereka kesulitan konsentrasi menyelesaikan tugas, mudah memalingkan wajah bila ada suara-suara di sekeliling kelas, cepat berpindah antara satu kegiatan ke kegiatan lain.

Sedangkan, siswa yang impulsif menunjukkan perilaku tidak dapat mengkontrol respon yang mereka berikan, bertindak sebelum berpikir sehingga mereka tidak memikirkan konsekuensi atas

(8)

perilaku yang mereka munculkan, spontan menjawab pertanyaan, dan tidak sabar ketika mengantri.

E. Tahapan Proses Identifikasi Dini dan Asesmen

Terdapat empat langkah terpisah namun berkaitan dalam proses identifikasi dan asesmen siswa-siswa pra sekolah atau TK, yaitu (Lerner, 2000) :

1. Child-find

Tahapan ini merujuk pada cara yang digunakan untuk menemukan siswa-siswa yang beresiko mengalami kesulitan belajar, seperti memasang poster, iklan, pengumuman mengenai kesulitan belajar spesifik yang dipasang di pra sekolah atau TK. Hal ini dilakukan agar para orang tua, guru, dan lingkungan menyadari adanya bentuk gangguan belajar. Dengan adanya informasi-informasi yang ditempel di tempat umum, diharapkan orang tua atau guru waspada terhadap kemungkinan tersebut.

2. Screening

Setelah ditemukan, selanjutkan dilakukan pemeriksaan terhadap siswa yang diduga memiliki kesulitan belajar spesifik ini. Pemeriksaan ini meliputi kemampuan penglihatan dan pendengaran siswa, kemampuan bicara dan bahasa, kemampuan motorik, kemandirian, kematangan sosial-emosional, dan perkembangan kognitif siswa. Untuk melakukan hal ini, biasanya sekolah menggunakan sistem wawancara dan pengisian kuesioner kepada orang tua yang memiliki anak beresiko kesulitan belajar. Pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara maupun kuesioner dibuat untuk mendeteksi secara cepat resiko kesulitan belajar ini.

3. Diagnosing

Dalam tahapan ini sudah melibatkan ketentuan/diagnosa terhadap kasus yang dihadapi, seperti apakah kasus yang dihadapi merupakan klasifikasi dari kesulitan belajar spesifik atau tidak. Jika ternyata merupakan kasus kesulitan belajar spesifik dapat ditentukan pula area belajar spesifik mana yang bermasalah dan yang dapat dijadikan kekuatan, apakah pembuatan program pendidikan diperlukan atau tidak, dan lain lain.

4. Evaluating

Tahap terakhir ini digunakan khusus untuk mengukur perkembangan siswa, seperti menentukan apakah siswa yang bersangkutan memerlukan sekolah khusus atau dapat bersekolah di sekolah umum namun dengan program pendidikan individual, atau menyiapkan program transisi untuk dapat bersekolah di sekolah umum.

(9)

Diskusi

Berdasarkan uraian di atas, sangat jelas tergambar bahwa kesulitan belajar spesifik tidak muncul secara tiba-tiba di kelas dua atau tiga SD. Namun, kesulitan belajar tersebut sudah memberikan ”tanda-tanda” awal ketika individu yang bersangkutan berada pada rentang usia 0 – 5 tahun. Dalam makalah ini, khususnya ketika mereka di taman kanak-kanak – usia 4 sampai 6 tahun – yang mengedepankan program akademik.

Proses identifikasi seperti ini membutuhkan sensitivitas orang tua dan para pengasuh. Peran mereka berada di tahap pertama dari proses identifikasi dan asesmen. Hal ini dikarenakan mereka merupakan ujung tombak penemuan siswa beresiko, maka pengetahuan yang memadai mengenai tumbuh kembang anak, ”trend” penyakit-penyakit terkini dari bidang pendidikan, psikologi, maupun kedokteran, sangat diperlukan oleh mereka. Pengetahuan ini dapat membantu mereka ”menangkap” keganjilan/keanehan yang dialami oleh siswa-siswa secara dini.

Selain itu, hal yang harus diperhatikan– mengingat guru dan orang tua merupakan orang awam – adalah mendengarkan hati nurani dan feeling yang mereka rasakan ketika melihat anak atau anak didiknya belajar. Misal: mereka menemukan secara konsisten siswa-siswa di TK B yang menulis mirror-writing, kesulitan mengingat bunyi huruf, bengong di kelas, malas menulis, dan sebagainya. Orang tua atau guru diharapkan tidak mengabaikan perasaan yang mereka rasakan ketika melihat keganjilan tersebut. Dengan mengabaikan perasaan tersebut, dapat ”menahan” mereka untuk segera mencari pertolongan bagi anak-anaknya. Semakin dini orang tua atau guru menyadari, semakin dini mereka dapat memberikan intervensi untuk membantu anak-anak mereka tumbuh dan berkembang seperti anak-anak normal lainnya.

Namun, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh penulis – sebagai profesional yang berhubungan dengan screening dan diagnosing bagi siswa-siswa pra sekolah atau usia TK ini. Permasalahan ini berkaitan erat dengan sifat dari perkembangan manusia itu sendiri. Sudah sangat jamak terdengar mengenai slogan ”anak-anak tumbuh dan berkembang secara berbeda, mereka memiliki waktunya sendiri dalam tumbuh dan berkembang”. Bila ditarik esensi utama dari kalimat tersebut adalah kematangan dari anak-anak sangat tergantung dengan waktu yang sudah digariskan kepada mereka sendiri. Misal, anak A sudah dapat berjalan ketika usia 10 bulan, belum tentu anak B akan berjalan di usia tersebut juga. Mereka memiliki waktu-waktunya sendiri.

Dalam ilmu Psikologi Perkembangan, memang sudah terdapat milestone perkembangan di masing-masing rentang kehidupan manusia, baik dalam perkembangan motorik, perkembangan kognitif, dan perkembangan sosial emosional. Sudah terdapat batasan-batasan khusus pula kapan seorang anak dapat berjalan, dapat tersenyum, dapat bermain, dapat belajar membaca/menulis, dan sebagainya. Walaupun demikian, tidak terdapat laporan resmi secara detil mengenai pada usia berapa anak dapat

(10)

menulis tidak terbalik atau rentang konsentrasi menjadi lebih panjang. Dengan demikian, kendala screening dan diagnosing terletak pada keputusan untuk menentukan apakah perilaku yang dilaporkan atau dikeluhkan oleh orang tua merupakan developmental lag atau tanda khusus dari disorder yang ”akan” mereka miliki, mengingat usia mereka masih sangat muda. Misal: siswa di TK A yang berusia kurang lebih empat atau lima tahun kerap menunjukkan mirror-writing dan sering bengong di kelas, sedangkan teman-teman sekelasnya tidak menunjukkan hal tersebut. Kasus lainnya bila dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya terdapat satu anak di TK B yang selalu dibimbing individual ketika pelajaran membaca/mengeja dan menulis. Pada awalnya, keputusan mengenai apakah perilaku ini merupakan akibat dari proses kematangan yang belum sempurna atau sebenarnya merupakan tanda khusus dari disorder dirasakan sangat sulit untuk dibuat. Dengan demikian, kehatian-hatian untuk memberikan diagnosa sangat diperlukan. Bila diagnosa salah diberikan, maka akan menyebabkan labeling yang salah di sepanjang rentang kehidupan anak tersebut.

Dengan demikian, untuk mempermudah penegakkan diagnosa, sangat membantu bila para profesional melihat data siswa yang meliputi sejarah kelahiran anak, riwayat penyakit ibu dan anak, sejarah perkembangan motorik dan perkembangan bahasa siswa. Selain itu, dalam proses assessment, observasi perilaku anak dengan kegiatan bermain juga diperlukan. Kegiatan ini dapat membantu profesional untuk melihat perkembangan motorik – kasar atau halus – dari anak tersebut. Dengan menggabungkan seluruh data di atas, hal ini juga membantu para profesional untuk menentukan apakah siswa tersebut beresiko atau tidak terhadap kesulitan belajar spesifik.

Selain itu, memang sangat dibutuhkan banyak kasus/klien dan banyak waktu belajar untuk para profesional yang berkecimpung dalam asesmen siswa-siswa usia TK ini. Dengan seringnya bertemu banyak kasus/klien, sensitivitas akan mudah sekali muncul, bahkan ketika pertama kali melihat klien. Dengan perkataan lain, memang sangat dibutuhkan ”jam terbang” dalam kegiatan praktek. Selain itu, dibutuhkan pula ahli lain yang sudah terlebih dahulu berkecimpung dalam bidang ini untuk melakukan supervisi para profesional yang baru.

Masalah lainnya yang dihadapi adalah kurangnya alat tes yang terstandardisasi – bila dibandingkan di negara barat – yang dapat digunakan untuk membantu deteksi masalah, terutama untuk wilayah Indonesia. Kalaupun ada, biayanya sangat mahal karena harus membeli dari luar negeri. Dengan demikian, penulis berusaha untuk mengoptimalkan alat tes yang ada, yaitu alat tes inteligensi individual dan beberapa alat bantu lembar observasi perilaku anak, untuk membantu deteksi masalah spesifik. Alat tes ini dipelajari lebih mendalam sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi atau profiling siswa-siswa yang beresiko mengalami kesulitan belajar spesifik. Untuk siswa-siswa yang lebih muda,

(11)

screening lebih banyak digunakan dengan melakukan observasi kualitatif serta wawancara dengan orang tua.

Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gejala kesulitan belajar sudah dapat dikenali sejak dini, terutama di Taman Kanak-Kanak yang sudah banyak mengajarkan kemampuan pra-akademik. Hal ini sangat tergantung dari kesensitifan orang tua dalam mengasuh serta mendidik, dan banyaknya informasi penting mengenai tumbuh kembang anak serta penyakit-penyakit psikologi yang diketahui. Selain itu peran guru TK juga sangat dibutuhkan untuk deteksi dini ini karena penilaian guru TK memiliki tingkat peramalan yang akurat dalam meramalkan kemungkinan siswa mengalami kesulitan belajar di sekolah di masa yang akan datang. Dengan deteksi dini, semakin cepat diberikan penanganan khusus untuk membantu siswa-siswa ini berkembang selayaknya anak normal lainnya di usia mereka tersebut.

B. Saran

Berdasarkan uraian di atas, dapat disarankan beberapa hal agar kondisi di atas dapat diatas dengan baik. Adapun sarannya adalah sebagai berikut :

1. Bagi profesi psikolog yang berkecimpung dalam bidang kesulitan belajar spesifik diharapkan mulai mensosialisasikan mengenai kesulitan belajar spesifik ini. Mulai, dari membuat poster atau flyer yang disebarkan di sekolah-sekolah taman kanak-kanak sampai kepada penyuluhan-penyuluhan terhadap guru-guru TK. Dengan demikian, para guru TK dapat mulai belajar mengenali hal tersebut dan diharapkan dapat mengenali secara dini gejala tersebut bila terjadi pada anak didiknya.

2. Bagi lembaga yang berkecimpung dalam bidang kesulitan belajar spesifik, diharapkan dapat bekerja sama dengan LSM yang peduli dengan masalah kesulitan belajar spesifik ini. Dengan demikian, bantuan dana untuk menyebarluaskan informasi dan penyuluhan terhadap guru-guru dapat dioptimalkan.

3. Bagi pemerintah, diharapkan mulai memberikan perhatian serius terhadap masalah kesulitan belajar spesifik ini. Hal ini dapat dilakukan dengan mulai menambah jumlah sekolah kesulitan belajar khusus agar masyarakat luas yang membutuhkan bantuan dapat menjangkau fasilitas tersebut dengan mudah, mengingat saat ini sekolah yang mengkhususkan diri pada kesulitan belajar spesifik hanya ada satu sekolah di Jakarta.

(12)

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan bagi anak berkesulitan belajar. Jakarta : Rineka Cipta.

Baumel, Jan. Learning disabilities in children-an overview,

http://www.greatschool.net, October 14, 2008

Berk, Laura E. 2005. Infants, children, and adolescents. 5th ed. USA: Pearson Education, Inc

Hall, Susan. Is it a reading disorder or developmental lag?,

http://www.greatschool.net, October 14, 2008

Harwell, Joan M. 2001. Complete learning disabilities handbook: ready-to-use strategies & activities for teaching students with learning disabilities. 2nd ed.

San Fransisco: John Willey & Sons, Inc.

Lerner, Janet. 2000. Learning disabilities: theory, diagnosis, and teaching strategies. 8th ed. USA: Houghton Mifflin Company.

Pierangelo, R. , Giulian, G. 2008. Learning disabilities: A practical approach to foundation, assessment, diagnosis, and teaching.

Shaywitz, Sally. Should my child be evaluated for dyslexia?,

http://www.greatschool.net, October 14, 2008

Sherman, Gordon. 2004. What is the environment’s effect on reading problem, http://schwabLearning.org, August 16, 2004.

Sukadji, Soetarlinah. 1989. Kesulitan belajar. Kumpulan naskah kuliah. Depok: Psikologi Pendidikan Universitas Indonesia.

Sumarlis, Vitriani. 2008. Deteksi dini resiko kesulitan belajar, Makalah yang disampaikan pada seminar dan workshop Mendidik dan mempersiapkan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak berkesulitan belajar. Jakarta : 24-25 Mei 2008.

Referensi

Dokumen terkait

*) sesuai dengan PENERIMAAN PINJAMAN pada tabel RENCANA ARUS KAS untuk tahun pertama Bab 8.3 Rencana Arus Kas (Cash – Flow).. TOTAL NILAI KEBUTUHAN MODAL INVESTASI *).. *)

This study has examined empirically the impact of defense spending on unemployment together with a set of control variables for five selected Asian countries

Hasil penelitian penelitian menunjukan bahwa 1 Pembelajaran pembelajaran keterampilan menyimak membutuhkan buku ajar yang mengakomodasi tujuan pembelajaran, materi ajar,

Modul Pemerkasaan Kendiri Remaja yang direka khas untuk remaja berisiko yang terjebak dengan gejala ‘Mat Rempit’ ini dilihat memberikan impak yang positif kepada

Hasil penelitian menyatakan bahwa (1) Pada jenis kesalahan membaca siswa melakukan kesalahan yang disebabkan ketika siswa tidak bisa membaca soal secara benar

2.2 Teori-Teori yang Relevan dengan Obyek 2.2.1 Tujuan Perancangan Pusat Edukasi Interaktif Tujuan utama Pusat Edukasi Interaktif adalah sebagai sarana belajar dalam berbagai

Persepsi paling rendah berada pada pertanyaan item nomor 21 dengan 46.9% responden setuju jika tindakan invasif yang diberikan pada ODHA perlu dilakukan dengan

Rumpun bangsa domba yang terlibat dalam penelitian ini terdiri atas 34 ekor domba Garut (GG), 12 ekor domba persilangan Moulton Charollais (MM) x Garut (GG) atau disebut