• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Konflik Interpersonal dalam Organisasi. 1. Pengertian Konflik Interpersonal dalam Organisasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Konflik Interpersonal dalam Organisasi. 1. Pengertian Konflik Interpersonal dalam Organisasi"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

17

A. Konflik Interpersonal dalam Organisasi 1. Pengertian Konflik Interpersonal dalam Organisasi

Menurut Donohue dan Kolt (1992) konflik interpersonal dapat diartikan sebagai situasi di mana individu yang saling bergantung, mengekspresikan perbedaan baik yang termanifes atau laten dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginan masing-masing dan mereka mengalami gangguan dari satu sama lain untuk mencapai tujuannya. Wilmot dan Hocker (2007) mendefinisikan konflik interpersonal sebagai pertentangan antara setidaknya dua pihak yang saling bergantung, yang merasakan tujuan yang tidak sesuai, keterbatasan sumber daya dan gangguan orang lain dalam mencapai tujuan masing-masing pihak yang sedang berkonflik.

Weiten dan Lloyd (2006) menjelaskan bahwa konflik interpersonal adalah konflik yang muncul ketika dua orang atau lebih mengalami ketidaksetujuan. Perselisihan ini dapat disebabkan oleh kesalahpahaman kecil atau sebagai hasil dari tujuan-tujuan, nilai-nilai, sikap atau keyakinan yang tidak sama. Luthans (2006) mengungkapkan definisi yang tidak jauh berbeda bahwa konflik interpersonal merupakan konflik yang muncul di antara dua individu. Sementara itu, menurut Wijono (2012) konflik interpersonal adalah suatu konflik yang mempunyai kemungkinan lebih sering muncul dalam kaitannya antara individu dengan individu yang ada dalam suatu organisasi. Johnson dan Johnson (dalam

(2)

Dayakisni & Hudaniah, 2009) mengatakan konflik interpersonal adalah suatu situasi dimana tindakan seseorang berakibat menghalangi, menghambat, dan mengganggu tindakan orang lain.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konflik interpersonal dalam organisasi adalah suatu kondisi dimana terdapat pertentangan antara individu dengan individu lainnya dalam lingkungan organisasi. Pertentangan tersebut muncul sebagai akibat dari adanya perbedaan tujuan, keterbatasan sumber daya dan gangguan orang lain dalam mencapai tujuan masing-masing karyawan atau tujuan organisasi. Konflik yang terjadi bisa saja muncul antara rekan kerja, supervisor dengan karyawan, manager dengan staf atau owner dengan manager.

2. Aspek-Aspek Konflik Interpersonal dalam Organisasi

Markman, Stanley dan Blumberg (2010) mengungkapkan empat (4) aspek konflik interpersonal yang terdiri dari:

a. Escalation (Perluasan)

Escalation atau perluasan konflik terjadi ketika pasangan yang mengalami konflik saling merespon negatif satu sama lain sehingga kondisi menjadi semakin buruk dan lebih buruk. Seringkali, keegoisan yang diungkapkan melalui komentar-komentar negatif membuat kemarahan dan rasa frustasi menjadi meningkat. Hal ini tidak hanya akan menimbulkan masalah yang diakibatkan oleh meningkatnya intensitas emosi negatif individu melainkan komentar negatif ini cenderung berubah dari kemarahan sederhana menjadi komentar yang menyakiti satu sama lain.

(3)

b. Invalidation (Menjadi Tidak Berguna)

Invalidation terjadi ketika apa yang dimiliki, dipikirkan dan dilakukan salah satu pihak yang sedang konflik cenderung diremehkan oleh pihak lainnya. Usaha yang dilakukan juga cenderung sia-sia karena dianggap tidak ada manfaatnya.

c. Withdrawal and Avoidance (Penarikan Diri dan Pengelakan)

Withdrawal and avoidance merupakan pola yang berbeda satu sama lain namun tetap saling berhubungan. Seseorang yang cenderung withdrawal biasanya akan menarik diri dari suatu diskusi atau pertengkaran yang sedang terjadi. Penarikan diri akan terlihat nyata melalui perilaku individu yang tidak ingin berlama-lama berada dalam lingkaran pertengkaran. Withdrawer cenderung diam ketika bertengkar atau mungkin menyetujui dengan cepat apa yang dikatakan lawannya tanpa bermaksud untuk melakukan hal tersebut.

Sedangkan avoidance mencerminkan keengganan atau pengelakan untuk masuk dalam diskusi atau terlibat dalam percakapan tertentu. Orang yang rentan melakukan avoidance sering berharap tidak akan ada topik pembicaraan yang bisa ditemukan atau diperdebatkan. Namun, jika topik tersebut ditemukan maka orang tersebut akan menunjukkan gejala withdrawal.

d. NegativeInterpretation

Negative interpretation terjadi ketika salah satu pihak yang sedang berkonflik berpandangan bahwa pihak lawan memiliki motif lebih negatif

(4)

dari yang sesungguhnya terjadi. Hal ini bersifat sangat merusak, menjadi pola negatif dalam hubungan interpersonal dan membuat konflik atau perselisihan sulit untuk ditangani secara konstruktif.

Sementara itu, Wilmot dan Hocker (2007) mengungkapkan lima aspek konflik interpersonal, yaitu:

a. An Expressed Strunggle (Rangkaian yang Diekspresikan)

An Expressed Strunggle menjelaskan bahwa konflik interpersonal terjadi saat seseorang mengkomunikasikan perbedaan persepsi dirinya dengan orang lain. Konflik tersebut terjadi akibat adanya peristiwa pemicu seperti terjadinya perbedaan pendapat saat berdiskusi. Setiap individu yang terlibat dalam suatu konflik memiliki persepsi sendiri mengenai pikiran dan perasaan dalam dirinya maupun orang lain. Ketika persepsi tersebut disampaikan atau dikomunikasikan dan terjadi perbedaan, konflik yang sebelumnya telah terjadi bisa saja meningkat. Namun, konflik interpersonal dalam organisasi juga bisa terjadi ketika persepsi tersebut tidak dikomunikasikan.

b. Interdependence (Saling Ketergantungan)

Interdependence menjelaskan bahwa konflik terjadi pada pihak-pihak yang saling bergantung dan ditandai dengan adanya aktivitas yang sama (mutual activity) dan kepentingan yang sama (mutual interest). Menurut Braiker dan Kelley (dalam Wilmot & Hocker, 2007), seseorang yang tidak bergantung kepada orang lain merupakan pribadi yang tidak memiliki special interest dalam perilaku ataupun hal-hal yang berkaitan dengan

(5)

orang tersebut sehingga tidak memiliki konflik dengannya. Pihak-pihak yang berkonflik tidak pernah benar-benar bermusuhan dan harus memiliki kepentingan yang sama, walaupun kepentingan tersebut hanya terjadi selama konflik berlangsung.

c. Perceived Incompatible Goal (Sasaran yang Tidak Sesuai)

Perceived Incompatible Goal menjelaskan bahwa konflik interpersonal terjadi karena adanya ketidaksesuaian tujuan diantara pihak-pihak yang berkonflik. Masing-masing pihak yang sedang berkonflik memiliki tujuannya masing-masing dan itu merupakan hal yang penting. Tujuan tersebut tidak dianggap sesuai ketika pihak yang berkonflik mengingkan hal yang sama atau berbeda dan mereka berjuang atas pilihan-pilihan yang tidak sesuai.

d. Perceived Scarce Resources (Sumber Daya Langka)

Perceived Scarce Resources menjelaskan bahwa konflik terjadi apabila seseorang merasakan langkanya atau berkurangnya sumber daya seperti cinta, penghargaan, perhatian, kekuasaan, harga diri, anggaran dana dari perusahaan, pengadaan bahan baku, dan lain sebagainya. Menurut Wijono (2012) semakin langka sumber daya yang diinginkan oleh seseorang, maka semakin besar kemungkinannya untuk terjadi persaingan atau kompetisi yang semakin tajam di antara pribadi atau kelompok yang saling membutuhkan sumber tersebut.

(6)

e. Interference (Gangguan)

Interference menjelaskan bahwa konflik terjadi apabila seseorang merasa terganggu dengan tindakan orang lain dan merasa kepentingannya dihalangi oleh orang lain. Konflik yang terjadi semakin meningkat ketika pihak yang menghalangi hadir. Akibatnya adalah tujuan yang diupayakan sulit untuk dicapai. Oleh karena itu, seseorang yang menghalangi pencapaian tujuan dari orang lain dianggap sebagai masalah oleh individu yang dihalangi.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik interpersonal dalam organisasi memiliki beberapa aspek, yaitu escalation (perluasan), invalidation (menjadi tidak berguna), withdrawal and avoidance (penarikan diri dan pengelakan), negative interpretation (interpretasi negatif), an expressed

strunggle (rangkaian yang diekspresikan), interdependence (saling

ketergantungan), perceived incompatible goal (sasaran yang tidak sesuai), perceived scarce resources (sumber daya langka), dan interference (gangguan). Sementara itu, dalam penelitian ini menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Markman, Stanley dan Blumberg (2010). Aspek tersebut adalah escalation (perluasan), invalidation (menjadi tidak berguna), withdrawal and avoidance (penarikan diri dan pengelakan), dan negative interpretation (interpretasi negatif). Pemilihan ini didasarkan pada mudahnya aspek tersebut untuk dipahami oleh peneliti dan lebih tepat digunakan untuk mengukur konflik interpersonal dalam organisasi.

(7)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Interpersonal dalam Organisasi

Robbin dan Judge (2013) menyebutkan tiga faktor yang mempengaruhi konflik interpersonal, yaitu:

a. Komunikasi

Devito (2011) mendefinisikan komunikasi sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. Hubungan timbal balik tersebut memainkan peran penting dalam interaksi sosial. Komunikasi dapat menjadi sumber konflik interpersonal. Komunikasi yang terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi dasar terjadinya konflik. Komunikasi yang kurang efektif dapat menimbulkan kesalahpahaman antara dua individu dan bahkan lebih. Hal ini diperkuat oleh pendapat Kadarsih (2009) yang menyatakan keefektifan individu dalam hubungan antar pribadi ditentukan oleh kemampuan individu tersebut untuk mengkomunikasikan secara jelas apa yang ingin disampaikan, menciptakan kesan yang diinginkan atau mempengaruhi orang lain sesuai kehendaknya. Konflik yang diakibatkan oleh komunikasi yang kurang efektif ini tidak hanya terjadi dalam proses sosialisasi di lingkungan organisasi, melainkan dalam proses musyawarah atau pengambilan keputusan ketidakefektifan ini dapat terjadi.

(8)

b. Struktur

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso & Retnoningsih, 2011), struktur diartikan sebagai cara bagaimana sesuatu disusun. Faktor ini menjelaskan tentang struktur yang ada dalam organisasi sebagai susunan sistem hubungan antar posisi kepemimpinan yang ada dalam organisasi. Sistem tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa perencanaan atas penentuan kekuasaan, tanggung jawab dan spesialisasi atau tugas setiap anggota itu penting. Hal ini didasarkan pada pendapat Robbins (1996) yang menyatakan bahwa struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas dan pekerjaan dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasikan secara formal. Pembagian tugas yang dilakukan oleh organisasi harus jelas agar tidak tumpang tindih antara tugas karyawan satu dengan karyawan lainnya. Menurut Wijono (2012), ketika deskripsi tugas yang digagas oleh masing-masing karyawan mulai tumpang tindih, tidak jelas, demikian juga tanggung jawab, kewenangan dan hak serta kewajibannya masih kabur, maka hal tersebut akan memicu munculnya konflik di antara karyawan. Pembagian tugas yang dapat dijelaskan dengan baik akan mengarahkan pada pengelolaan konflik yang sifatnya konstruktif. Sedangkan, tugas yang tidak dijelaskan dengan baik akan mengarahkan pada pengelolaan konflik yang bersifat destruktif. Hal ini akan menimbulkan ketimpangan dalam pelaksanaan tugasnya.

(9)

c. Variabel pribadi

Variabel pribadi meliputi kepribadian, emosi dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang. Kepribadian yang menjadi faktor utama dalam mempengaruhi konflik interpersonal oleh Allport (dalam Kuncoro, 2012) diartikan sebagai organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan cara penyesuaian dirinya yang khas terhadap lingkungan. Kepribadian yang menjadi cara seseorang dalam beradaptasi dengan lingkungannya menentukan bagaimana seseorang bertingkah laku dan berinteraksi dengan orang lain (Kuncoro, 2012). Individu dengan kepribadian yang keras dan mudah marah cenderung kesulitan untuk mengendalikan emosinya sehingga mudah terlibat konflik. Individu yang keras kepala dan pencemas lebih sering terlibat cekcok dan bereaksi buruk ketika konflik terjadi. Oleh karena itu, konflik interpersonal yang terjadi juga cenderung tinggi. Terdapat beberapa teori kepribadian yang dikembangkan oleh para ahli seperti kepribadian ekstrovert dan introvert yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung (dalam Kuncoro, 2012) dan teori kepribadian big five yang dipelopori oleh Cattel (dalam Larsen & Buss, 2005).

Walton dan Dutton (Wijono, 2012) mengungkapkan terdapat enam faktor yang mempengaruhi konflik interpersonal, yaitu adanya persaingan terhadap sumber-sumber, ketergantungan terhadap tugas, kekaburan deskripsi tugas, masalah status, rintangan komunikasi dan sifat-sifat individu.

(10)

a. Persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources)

Konflik antarpribadi akan mucul ketika terdapat persaingan untuk mendapatkan sumber-sumber seperti anggaran dana, ruangan, pengadaan bahan baku, pemrosesan data dan pemeliharaan peralatan kerja. Semakin langka sumber yang diinginkan, persaingan atau kompetisi yang terjadi untuk memperebutkan sumber yang ada semakin tinggi.

b. Ketergantungan terhadap tugas (task interdependence)

Konflik antarpribadi muncul ketika seorang karyawan atau sekelompok karyawan mempunyai tujuan dan prioritas yang berbeda satu sama lain. Hal ini kemudian membuat karyawan saling ketergantungan tugas. Munculnya konflik ini disebabkan karena adanya arus komunikasi yang satu arah, atau timbal balik yang mencakup pembagian persediaan, informasi, bantuan, atau pengarahan termasuk juga tuntutan melakukan koordinasi terhadap tugas-tugas yang perlu diprioritaskan oleh kedua belah pihak.

c. Kekaburan deskripsi tugas (jurisdictional ambiguity)

Ketika deskripsi tugas yang telah digagas oleh masing-masing anggota dalam suatu departemen mulai tumpang tindih, tidak jelas atau kabur, demikian juga tanggung jawab, kewenangan, hak dan kewajibannya masih kabur, hal tersebut akan memicu munculnya konflik di antara mereka.

(11)

d. Masalah status (status problems)

Adanya persepsi mengenai ketidakseimbangan atau ketidakadilan dalam memberi ganjaran (reward), penugasan kerja, kondisi-kondisi kerja serta status simbol menimbulkan rasa frustasi pada karyawan. Jika situasi seperti ini berlangsung secara terus-menerus, maka karyawan akan mengalami konflik karena masalah status kepegawaiannya menjadi tidak jelas.

e. Rintangan-rintangan komunikasi (communication barriers)

Komunikasi yang kurang memadai dapat menimbulkan berkembangnya konflik semu (pseudo conflict) yang merintangi persetujuan antara dua individu atau kelompok yang posisinya saling melengkapi. Sarana komunikasi yang kurang memadai dapat menghambat upaya-upaya untuk mencapai koordinasi dua kelompok yang mempunyai tugas saling tergantung satu sama lain. Adanya kesulitan dalam mengungkapkan apa yang dipikirkan, dirasakan atau gagasannya melalui bahasa non verbal maupun verbal dapat menimbulkan salah konsepsi dan mengurangi kepercayaan.

f. Sifat-sifat individu (individual traits)

Sifat-sifat pribadi yang dimiliki oleh individu dapat menjadi pemicu timbulnya konflik antarpribadi. Sifat pribadi tersebut diantara kurang matang (immature) atau kekanak-kanakan, kecerdasan emosinya rendah, sulit mengendalikan diri, tidak fleksibel, cenderung menutup diri dari masukan orang lain, egois dan sulit mengendalikan diri.

(12)

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi intensitas konflik interpersonal dalam organisasi, yaitu persaingan terhadap sumber-sumber, struktur, masalah status, komunikasi dan variabel pribadi. Dalam hal ini, peneliti memilih faktor yang dikemukakan oleh Robbin dan Judge (2013) yaitu kepribadian yang termasuk ke dalam faktor variabel pribadi sebagai variabel yang mempengaruhi intensitas konflik interpersonal dalam organisasi. Pemilihan ini didasarkan pada data CPP Global Human Capital Report (2008) yang menunjukkan penyebab utama konflik adalah perbedaan kepribadian. Sementara itu dari hasil penelitian Utami, dkk., (2013) menemukan bahwa faktor utama yang memicu munculnya konflik adalah sifat negatif pribadi.

Sementara itu, dari banyaknya tipe kepribadian yang diungkapkan oleh para ahli, peneliti memilih tipe kepribadian big five sebagai variabel bebas yang akan dilibatkan dalam penelitian ini dan dianggap mampu menjadi prediktor terhadap konflik interpersonal dalam organisasi. Masih sedikitnya jumlah penelitian mengenai konflik interpersonal dalam organisasi pada karyawan yang ditinjau dari tipe kepribadian big five menjadi alasan peneliti untuk melakukan penelitian mengenai dua variabel ini.

B. Kepribadian Big Five 1. Pengertian Kepribadian Big Five

Allport (dalam Kuncoro, 2012) mendefinisikan kepribadian sebagai organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan cara penyesuaian dirinya yang khas terhadap lingkungan. Kepribadian merupakan

(13)

pembimbing utama individu dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan fisik maupun sosial. Kepribadian individu dapat berkembang ketika dia mampu mempertahankan kesatuan dan harmoni antar semua elemen kepribadian.

Murray (dalam Supratiknya, 2015) mengemukakan kepribadian harus mencerminkan baik unsur-unsur tingkah laku yang bersifat menetap dan berulang maupun unsur-unsur baru dan unik. Kepribadian adalah fungsi yang menata atau mengarahkan dalam diri individu. Tugas-tugasnya meliputi mengintegrasikan konflik-konflik dan rintangan-rintangan yang dihadapi individu, memuaskan kebutuhan-kebutuhan individu dan menyusun rencana untuk mencapai tujuan-tujuan di masa mendatang.

Caprara dan Cervone (2000) menyatakan bahwa kepribadian big five adalah teori kepribadian yang menjelaskan hubungan antara kognisi, affect dan tindakan. Feist dan Feist (2008) menyatakan bahwa big five adalah salah satu kepribadian yang dapat memprediksi dan menjelaskan perilaku. Tipe kepribadian ini merupakan suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima domain kepribadian, yaitu extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism dan openness to

experience. Baron dan Byrne (2005) mengungkapkan kelima dimensi kepribadian

tersebut sering kali tampak dalam perilaku sehari-hari.

Pervin, dkk., (2005) menyatakan big five in trait factor theory, the five major trait categories including emotionality, activity and sociability factors. Pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa big five merupakan trait (sifat,ciri), dengan lima kategori sifat secara umum meliputi emosi, tindakan dan faktor

(14)

sosial. Tipe kepribadian yang dikembangkan oleh McCrae dan Costa ini diilustrasikan dalam sebuah taksonomi yang komprehensif dari domain perilaku interpersonal yang menghasilkan dimensi berlawanan (Wiggins, dalam Mischel, 2003).

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian big five adalah suatu pendekatan atau teori mengenai sifat dan ciri manusia yang menjelaskan hubungan antara kognisi, afeksi dan psikomotorik dengan lima kategori sifat. Kelima kategori sifat tersebut terdiri dari neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness dan conscientiousness.

2. Aspek-Aspek Kepribadian Big five

Kepribadian big five merupakan salah satu pendekatan kepribadian yang dipelopori oleh Cattel (dalam Larsen & Buss, 2005) dan dikembangkan oleh McCrae dan Costa (1997). Menurut McCrae dan Costa (1997) tipe kepribadian ini memiliki lima bentuk kepribadian (trait) yang mendasari perilaku individu, yaitu:

a. Neuroticism (N)

Neuroticism menilai kestabilan dan ketidakstabilan emosi. Menurut McCrae dan Costa (1997) trait ini mengidentifikasi kecenderungan individu apakah memiliki ide-ide yang tidak realistis, mudah mengalami stres dan mempunyai coping response yang maladaptif. Individu yang memiliki skor tinggi di neuroticism adalah kepribadian yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi dan memiliki kecenderungan emotionally reactive. Selain itu, individu sering merasa tidak aman, merasa tidak mampu melakukan sesuatu dan mudah panik. Sebaliknya,

(15)

individu dengan skor rendah cenderung tenang, santai, merasa aman, puas terhadap dirinya, tidak emosional dan tabah. Terdapat enam facet dalam trait ini yang disebutkan oleh Pervin, dkk., (2005) yaitu:

1) Anxiety (N1) merupakan kecenderungan untuk gelisah, penuh

ketakutan, merasa khawatir, gugup dan tegang.

2) Angry Hostility (N2) merupakan kecenderungan untuk mengalami amarah, frustasi dan penuh kebencian.

3) Depression (N3) merupakan kecenderungan individu untuk mengalami

depresi.

4) Self-consciousness (N4) merupakan kecenderungan individu untuk menunjukkan emosi malu, merasa tidak nyaman diantara orang lain, sensitif dan rendah diri.

5) Impulsiveness (N5) menunjukkan ketidakmampuan individu dalam

mengontrol keinginannya yang berlebihan atau dorongan untuk melakukan sesuatu.

6) Vulnerability (N6) menunjukkan ketidakmampuan individu dalam

menghadapi stress, kecenderungan untuk bergantung kepada orang lain, mudah menyerah dan panik.

b. Extravertion (E)

Sering disebut dengan faktor dominan patuh (dominance-submissiveness). Trait ini menilai kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal, level aktivitasnya, kebutuhan akan dukungan dan kemampuan untuk berbahagia (McCrae & Costa, 1997). Extravertion dicirikan dengan afek positif

(16)

seperti memiliki antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan banyak hal, ambisius, workaholic dan ramah terhadap orang lain. Individu dengan skor rendah pada trait ini memiliki kepribadian yang tidak ramah terhadap orang lain, bersahaja namun suka menyendiri, berorientasi pada tugas dan cenderung pendiam. Sementara itu, individu dengan skor tinggi lebih optimis, menyenangkan, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, aktif, banyak bicara, dan berorientasi pada hubungan sesama. Facet-facet yang terdapat dalam Extravertion menurut Pervin, dkk., (2005)sebagai berikut:

1) Warmth (E1) merupakan kecenderungan untuk bergaul dan membagi kasih sayang.

2) Gregariousness (E2) merupakan kecenderungan individu untuk

banyak berteman dan berinteraksi dengan banyak orang.

3) Assertiveness (E3) merupakan kecenderungan individu untuk bersikap tegas.

4) Activity Level (E4) merupakan kecenderungan individu untuk aktif mengikuti berbagai kegiatan, memiliki energi dan semangat yang tinggi.

5) Excitement-seeking (E5) merupakan kecenderungan individu untuk mencari sensasi dan berani mengambil resiko.

6) Positive Emotion (E6) merupakan kecenderungan individu untuk

mengalami emosi-emosi yang positif seperti bahagia, cinta dan kegembiraan.

(17)

c. Openness to experience (O)

Trait ini menggambarkan mengenai minat seseorang terhadap hal-hal baru dan inovasi. Menilai usaha secara proaktif dan penghargaan terhadap pengalaman demi kepentingannya sendiri serta menilai bagaimana individu menggali sesuatu yang baru dan tidak biasa (McCrae & Costa, 1997). Openness to experience dapat membangun pertumbuhan pribadi. Seseorang yang memiliki skor tinggi pada trait ini dan memiliki skor rendah pada agreeableness memiliki pencapaian kreatifitas yang tinggi. Individu yang kreatif, memiliki rasa ingin tahu yang besar, terbuka terhadap pengalaman, cenderung lebih mudah untuk menyelesaikan suatu masalah. Sedangkan individu dengan skor rendah pada trait ini lebih bersifat konvensional, sederhana, memiliki minat yang sempit, tidak artistik dan tidak analitis. Terdapat enam facet dalam trait openness to experience yang disebutkan oleh Pervin, dkk., (2005), yaitu:

1) Fantasy (O1) merupakan kecenderungan individu yang memiliki

tingkat imajinasi tinggi dan aktif.

2) Aesthetic (O2) merupakan kecenderungan individu yang memiliki apresiasi tinggi terhadap seni dan keindahan.

3) Feelings (O3) merupakan kecenderungan individu untuk menyadari dan menyelami emosi serta perasaannya sendiri.

4) Action (O4) merupakan kecenderungan individu untuk mencoba hal-hal baru.

(18)

5) Ideals (O5) merupakan kecenderungan individu untuk berpikir terbuka dan mau menyadari ide baru serta tidak konvensional.

6) Values (O6) merupakan kesiapan seseorang untuk menguji ulang nilai-nilai sosial, politik dan agama.

d. Agreeableness (A)

Trait ini menggambarkan kecenderungan seseorang untuk tunduk kepada orang lain. Menilai kualitas orientasi individu secara kontinum mulai dari lemah lembut sampai antagonis dalam berpikir, berperasaan dan bertindak (McCrae & Costa, 1997). Trait yang juga bisa disebut sebagai social adaptability ini mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan cenderung mengikuti orang lain. Individu dengan skor tinggi pada trait ini digambarkan sebagai seseorang yang suka membantu, pemaaf, penyayang, lembut hati, dapat dipercaya dan penurut. Sedangkan individu dengan skor rendah cenderung lebih agresif, kurang kooperatif, sinis, kasar, kejam, pendendam dan manipulatif. Facet-facet yang terdapat dalam agreeableness menurut Pervin, dkk., (2005) yaitu:

1) Trust (A1) merupakan kecenderungan individu untuk mempercayai orang lain.

2) Straight for wardness (A2) merupakan kecenderungan individu untuk berterus terang dan sungguh-sungguh dalam menyatakan sesuatu. 3) Altruism (A3) merupakan kecenderungan individu yang murah hati

(19)

4) Compliance (A4) merupakan kecenderungan individu dalam merespon adanya suatu konflik interpersonal.

5) Modesty (A5) merupakan kecenderungan individu untuk tampil

sederhana dan rendah hati.

6) Tender-mindedness (A6) merupakan kecenderungan individu untuk simpati dan peduli terhadap orang lain.

e. Conscientiousness (C)

Trait ini disebut juga sebagai dependability, impulse control dan will to achieve yang menggambarkan perbedaan keteraturan serta self discipline seseorang (McCrae & Costa, 1997). Dimensi ini merujuk pada jumlah tujuan yang menjadi pusat perhatian seseorang. Individu dengan skor tinggi cenderung mendengarkan kata hati, fokus pada satu tujuan dalam satu cara yang terarah, bertanggungjawab, berorientasi pada prestasi, teratur, pekerja keras, dapat diandalkan dan disiplin. Sedangkan individu dengan skor rendah cenderung lebih kacau pikirannya, mengejar banyak tujuan, tidak dapat diandalkan, malas, mudah menyerah dan lebih hedonistik (Robbins, 2001). Facet-facet yang terdapat dalam conscientiousness menurut Pervin, dkk., (2005) sebagai berikut:

1) Competence (C1) merupakan kesanggupan, keefektifan dan

kebijaksanaan individu dalam melakukan sesuatu.

2) Order (C2) merupakan kemampuan individu dalam mengorganisasi.

3) Dutifulness (C3) merupakan kecenderungan individu dalam memegang

(20)

4) Achievement-striving (C4) merupakan orientasi individu dalam mencapai prestasi.

5) Self-discipline (C5) merupakan kecenderungan individu dalam

mengatur dirinya sendiri.

6) Deliberation (C6) merupakan kecenderungan individu untuk berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak.

Menurut Larsen dan Buss (2002) bentuk dari taksonomi big five diukur menggunakan dua pendekatan, salah satunya berdasarkan self rating pada trait kata sifat tunggal. Lewis R. Goldberg telah melakukan penelitian secara sistematik dengan menggunakan trait kata sifat tunggal ini. Taksonomi Goldberg telah diuji dengan menggunakan analisa faktor, yang hasilnya sama dengan struktur yang ditemukan oleh Norman tahun 1963 (dalam Larsen & Buss, 2002). Menurut Goldberg (dalam Larsen & Buss, 2002), big five terdiri dari:

a. Surgency atau extraversion

Goldberg (dalam Pervin & John, 2000) mengartikan extraversion sebagai kecenderungan individu untuk aktif, tegas dan terbuka. Individu dengan skor tinggi pada faktor ini cenderung banyak bicara, tegas, energik, berani, aktif, tidak sabar dan terbuka. Sedangkan individu dengan skor rendah lebih tertutup, pendiam, pemalu, tidak ramah, suka menyendiri, penakut dan tidak suka berpetualang.

b. Agreeableness

Faktor agreeableness mengungkapkan ketulusan hati individu serta hubungannya dengan orang lain. Individu yang positif agreeableness

(21)

cenderung baik hati, kooperatif (mudah diajak bekerja sama), mudah simpati kepada orang lain, ramah, dapat dipercaya, penuh pertimbangan, menyenangkan, suka menolong dan murah hati. Di sisi lain, individu yang negatif agreeableness memiliki sifat kejam, tidak mudah bersimpati kepada orang lain, tidak dapat dipercaya, keras kepala, kasar, egois, kurang kooperatif dan tidak suka menolong orang lain.

c. Conscientiousness

Conscientiousness menggambarkan individu dengan sifat yang teratur, sistematis dan teliti. Selain itu, individu yang positif memiliki faktor ini cenderung mampu mengorganisasi dirinya, selalu bersikap hati-hati, bersungguh-sungguh dan tepat waktu. Sedangkan, individu yang negatif pada faktor ini lebih tidak teratur, ceroboh, tindakan yang dilakukan kurang sistematis dan tidak efisien, kurang mandiri, tidak konsisten dan tanpa perencanaan.

d. Emotional Stability

Faktor emotional stability menggambarkan stabilitas emosi seseorang. Individu yang positif memiliki faktor ini cenderung mampu mengendalikan emosinya, tidak emosional, tenang, dan tidak merasa diperlukan. Sedangkan individu yang negatif mudah cemas, suka murung, sulit mengendalikan emosi, mudah tersinggung, merasa tidak aman, penuh belas kasihan dan mudah terganggu.

(22)

e. Intellec atau Imagination

Intellec atau imagination menggambarkan seseorang yang kreatif dan memiliki imajinasi tinggi. Individu yang positif memiliki faktor ini cenderung mimiliki intelegensi tinggi, kreatif, imajinatif, sulit dipahami, inovatif dan mawas diri. Sedangkan individu yang negatif cenderung memiliki intelegensi yang rendah, kurang kreatif, kurang mampu berpikir secara mendalam, kurang memiliki rasa ingin tahu dan sulit untuk mengerti.

Dari beberapa aspek yang telah dikemukakan oleh kedua tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek kepribadian big five terdiri dari neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, conscientiousness, emotional stability dan intellect atau imagination. Dalam penelitian ini, aspek yang akan digunakan sebagai indikator penyusunan alat ukur adalah aspek yang dikemukakan oleh McCrae dan Costa (1997), yaitu neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness. Penggunaan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami menjadi alasan peneliti untuk memilih aspek tersebut.

Banyak penelitian yang dilakukan pada variabel kepribadian big five menggunakan aspek dari McCrae dan Costa (1997), seperti penelitian yang dilakukan oleh Widhiastuti (2014) dengan judul Big Five Personality sebagai Prediktor Kreativitas dalam meningkatkan Kinerja Anggota Dewan dan penelitian Farikha (2011) dengan judul Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five dan Kecerdasan Emosi terhadap Perilaku Prososial Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang.

(23)

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mastuti (2005) untuk mengetahui validitas alat ukur kepribadian big five yang diambil dari IPIP (menggunakan teori dari Goldberg) pada kelompok subjek bersuku Jawa, menemukan terdapat enam faktor dalam alat ukur kepribadian big five. Hasil ini menunjukkan bahwa validitas konstrak alat ukur kepribadian big five yang diambil dari IPIP ini tidak terbukti. Oleh karena itu peneliti memilih menggunakan aspek dari McCrae dan Costa (1997).

C. Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five Terhadap Konflik Interpersonal Dalam Organisasi

Trait pertama dalam kepribadian big five adalah neuroticism yang menilai stabil tidaknya emosi individu. Trait ini mengidentifikasi apakah individu memiliki ide-ide yang tidak realistis, mudah mengalami stres dan mempunyai coping response yang maladaptif (McCrae & Costa, 1997). Karyawan dengan neuroticism yang tinggi cenderung mudah gelisah, penuh ketakutan, mudah marah, penuh kebencian, mudah mengalami depresi, pemalu, sensitif dan rendah diri (Pervin, dkk., 2005). Karyawan yang dipenuhi ketakutan dan mudah gelisah sering merasa khawatir dan gugup ketika menghadapi orang lain. Ketakutan dan kekhawatiran yang terjadi pada saat karyawan tersebut sedang memiliki konflik dengan rekan kerjanya dapat menimbulkan perasaan negatif. Feist dan Feist (2008) mengatakan pribadi dengan neuroticism tinggi cenderung pencemas, emosional dan temperamental. Kecemasan dan rasa tidak aman yang dimiliki pribadi tersebut membuat dirinya tidak fokus pada diri sendiri maupun orang lain

(24)

(Rahim, 2002). Akibatnya terjadi penarikan diri (withdrawal) dan penolakan (avoidance) dari dalam diri karyawan untuk tetap terlibat dalam suatu pertengkaran atau perdebatan yang sedang terjadi sehingga tidak ada penyelesaian yang dilakukan untuk mengatasi konflik (Goel & Khan, 2012). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Safitri, Burhan dan Zulkarnain (2013) yang menemukan karyawan dengan neuroticism tinggi tidak peduli dengan konflik yang sedang terjadi sehingga lebih memilih untuk tidak terlibat dalam suatu komunikasi dengan pihak yang berkonflik dengannya.

Karyawan dengan kecenderungan mudah marah dan penuh kebencian menunjukkan kecenderungan sifatnya yang sensitif dan mudah tersinggung. Ketika karyawan tersebut mengalami pertentangan atau konflik dengan orang lain, sifatnya yang mudah tersinggung dan sulit mengendalikan emosi akan menjadi boomerang bagi meletusnya perluasan (escalation) konflik interpersonal yang terjadi (Winahyu, 2016). Neuroticism yang tinggi dalam diri karyawan menunjukkan ketidakmampuan individu dalam mengontrol keinginannya yang berlebihan, kurangnya kemampuan dalam menghadapi stres, cenderung bergantung pada orang lain dan mudah menyerah (Pervin, dkk., 2005). Karyawan yang tidak mampu mengontrol keinginannya selalu berupaya untuk memenuhi keinginan tersebut, akan tetapi ketika upaya yang dilakukan merugikan orang lain terutama rekan kerjanya, maka hal ini dapat memicu timbulnya konflik. Kemampuan rendahnya dalam menghadapi stres juga dapat menimbulkan adanya perluasan konflik karena individu cenderung menyerah untuk mengatasi konflik yang terjadi pada dirinya dan orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Anwar,

(25)

Shahzad dan Rehman (2011) menunjukkan adanya hubungan yang positif antara neuroticism dengan konflik interpersonal. Semakin tinggi neuroticism maka semakin tinggi pula kecenderungan individu untuk mengalami konflik interpersonal, dan sebaliknya semakin rendah neuroticism maka rendah konflik interpersonal yang dialami individu.

Karyawan yang memiliki skor rendah pada trait neuroticism cenderung tenang, santai, merasa aman, puas terhadap dirinya, percaya diri, tidak emosional dan tabah (Pervin, 2005). Sifatnya yang lebih tenang membuat karyawan mampu mengendalikan emosi dengan baik sehingga mampu berpikir jernih dalam menghadapi setiap masalah yang ada dan lebih mudah melakukan pertukaran pendapat (Osuch dan Lewandawski, 2004). Hal ini membuat karyawan mampu membicarakan permasalahannya secara baik dan efisien dengan pihak yang berkonflik dengannya (Safitri, dkk., 2013). Penjelasan di atas kemudian didukung oleh Winahyu (2016) yang dalam penelitiannya menemukan bahwa seseorang yang mampu menahan stres dan emosi negatifnya, cenderung memiliki konflik yang rendah dalam dirinya, sedangkan seseorang yang kurang mampu menahan stres dan mengendalikan emosi negatifnya memiliki kecenderungan terjadinya konflik yang lebih tinggi.

Trait kedua dalam kepribadian big five adalah extravertion yang menilai kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal, level aktivitasnya, kebutuhan akan dukungan dan kemampuan untuk berbahagia (McCrae & Costa, 1997). Karyawan yang cenderung ekstrovert memiliki afek yang positif seperti mudah bergaul dan membagi kasih sayang (Pervin, dkk,, 2005). Aktivitas karyawan yang mudah

(26)

bergaul menunjukkan bahwa individu tersebut cenderung memiliki banyak teman dan selalu berinteraksi dengan banyak orang. Keterbukaan karyawan dalam berinteraksi dengan orang lain membuat dirinya mudah dalam menyelesaikan suatu konflik yang ada (Winahyu, 2016). Karyawan yang terbuka tidak menutup dirinya dalam mengkomunikasikan masalah yang dihadapinya dengan orang lain. Komunikasi yang terjalin merupakan salah satu upaya dalam mengatasi konflik tersebut (Utami, dkk., 2013). Hal ini kembali ditegaskan oleh Utami, dkk., dalam hasil penelitiannya menunjukkan cara utama yang digunakan oleh karyawan adalah mengkomunikasikan permasalahan yang terjadi secara individu. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Safitri, dkk. (2013) menunjukkan bahwa karyawan dengan extravertion yang tinggi cenderung lebih memilih untuk mengkomunikasikan permasalahan yang dialami untuk mencapai win-win solution. Goldberg (dalam Pervin & John, 2000) menyatakan bahwa individu dengan skor yang tinggi pada extravertion menunjukkan tingkat kesenangan seseorang terhadap hubungan. Senangnya karyawan dalam menjalin suatu hubungan dengan orang lain membuat dirinya merasa perlu secepatnya untuk menyelesaikan konflik yang dialami (Winahyu, 2016).

Karyawan dengan skor rendah pada trait extravertion menunjukkan sisi kebalikan dari karyawan dengan skor tinggi. Rendahnya skor pada trait ini menunjukkan kecenderungan individu menarik diri untuk berhubungan dengan orang lain (McCrae & Costa, 1997). Penarikan diri yang terjadi berakibat pada kurang mampunya individu dalam berinteraksi dengan banyak orang. Tanpa disadari penarikan diri tersebut juga membuat karyawan kurang memiliki teman

(27)

(Pervin, dkk., 2005). Pada saat mengalami pertentangan dengan rekan kerja atau atasannya, karyawan memiliki kesulitan dalam menyelesaikan konflik tersebut karena cenderung menarik diri (withdrawal) untuk mengkomunikasikan permasalahannya atau bahkan menolak (avoidance) untuk berhadapan secara langsung (Safitri, dkk., 2013). Selain menarik diri, karyawan cenderung mengalami emosi-emosi yang negatif, seperti perasaan sedih, marah, benci dan kecewa (Pervin, dkk., 2005). Emosi-emosi tersebut bersifat sangat merusak jika intensitasnya tinggi sehingga memunculkan pola yang negatif dalam hubungan interpersonal dan membuat konflik atau perselisihan sulit untuk ditangani secara konstruktif (Utami, dkk., 2013). Kesulitan tersebut muncul karena adanya pandangan yang negatif (negative interpretation) dari karyawan kepada pihak yang sedang berkonflik dengannya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Winahyu (2016) yang menunjukkan bahwa seseorang dengan skor tinggi pada extravertion cenderung terbuka apabila mengalami suatu konflik dalam dirinya sehingga konflik yang terjadi dapat diselesaikan dengan baik, sedangkan seseorang dengan skor rendah cenderung menutup dirinya apabila mengalami suatu konflik sehingga konflik tidak dapat terselesaikan dengan baik..

Trait ketiga dalam kepribadian big five adalah openness to experience yang menggambarkan minat seseorang terhadap hal-hal baru dan inovasi (McCrae & Costa, 1997). Openness to experience mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan penyesuaian diri pada suatu ide atau situasi yang baru (Pervin, dkk., 2005). Seseorang yang mau menyesuaikan diri dengan baik lebih mudah untuk menyelesaikan konflik yang dialaminya dibandingkan dengan

(28)

seseorang yang kurang mampu menyesuaikan diri (Campbell, dkk., 2003). Oleh karena itu, saat pribadi ini dihadapkan dengan suatu konflik cenderung mampu mencari solusi sehingga konflik yang terjadi dapat terselesaikan.

Karyawan dengan skor tinggi pada trait ini memiliki pencapaian kreativitas yang tinggi. Individu yang kreatif cenderung memiliki rasa ingin tahu yang besar, terbuka terhadap pengalaman dan mudah untuk menyelesaikan suatu masalah (Pervin, dkk., 2005). Menurut Munandar (2001) salah satu ciri orang kreatif adalah tidak pernah bosan, dalam artian jarang putus asa dan akan selalu mencoba lagi sampai dapat memecahkan masalahnya. Hal ini tidak hanya berlaku pada satu situasi saja, saat berkonflik dengan rekan kerja, karyawan akan berusaha untuk menyelesaikan konflik dengan segera dan tanpa putus asa sampai permasalahan tersebut terselesaikan dan tidak merugikan semua pihak (Safitri, dkk., 2013).

Berkebalikan dengan penjelasan di atas, karyawan dengan skor rendah pada openness to experience tidak memiliki ketertarikan terhadap hal-hal baru. Karyawan seperti ini cenderung bersifat konvensional, sederhana, memiliki minat yang sempit, tidak artistik dan tidak analitis (McCrae & Costa, 1997). Kecenderungan individu dalam berpikir konvensial membuat dirinya kurang mampu berpikir secara terbuka sehingga saat memiliki permasalahan kurang mampu mencari penyelesaian dari masalah tersebut dan tidak mau mengalah saat terjadi konflik (Safitri, dkk., 2013). Karyawan yang tidak terbuka membuat upaya-upaya yang dilakukan sebelumnya untuk mengatasi konflik menjadi tidak berguna, padahal menurut Rahim (2002) seseorang yang terbuka mudah bertukar

(29)

informasi dengan orang lain dan menyatukan perbedaan untuk menemukan sebuah solusi. Di sisi lain, karyawan yang kurang memiliki kemampuan analisis menjadi kurang kritis sehingga tidak dapat menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah (Fisher, 2009). Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Wijaya (1996), yang menyatakan bahwa seseorang yang analitis mampu mendeteksi masalah dan membedakan ide yang relevan dengan yang tidak relevan untuk memecahkan masalah tersebut.

Karyawan yang memiliki skor rendah pada trait ini juga cenderung tidak menyukai adanya perubahan. Kondisi seperti ini, ketika ada perubahan yang terjadi dalam suatu organisasi, karyawan tersebut akan kesulitan untuk menyesuaikan diri dan menerimanya (Pervin, dkk., 2005). Penolakan terhadap suatu perubahan dapat memunculkan ketidaksepakatan dalam pengambilan keputusan. Pertentangan terjadi antara karyawan yang menolak dan menerima keputusan atau perubahan yang terjadi. Ketika toleransi dari karyawan yang menolak sangat rendah, mengakibatkan munculnya pandangan yang negatif (negative interpretation) terhadap karyawan lain sehingga konflik interpersonal yang terjadi meluas dan tidak ada pihak yang mau mengalah (Safitri, dkk., 2013). Selain itu, sulitnya karyawan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi membuat dirinya mudah mengalami konflik. Hal ini sejalan dengan penelitian Campbell, dkk., (2003) yang menemukan bahwa semakin baik penyesuaian diri individu maka semakin rendah konflik interpersonal yang dialami, sebaliknya semakin tidak baik penyesuaian diri individu maka semakin tinggi konflik interpersonal yang dialaminya.

(30)

Trait selanjutnya dalam kepribadian big five adalah agreeableness yang menggambarkan kecenderungan seseorang untuk tunduk kepada orang lain. Trait ini juga disebut sebagai social adaptability yang mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian selalu mengalah, menghindari konflik dan cenderung mengikuti orang lain (McCrae & Costa, 1997). Karyawan yang memiliki skor tinggi pada trait ini cenderung berterus terang dan sungguh-sungguh dalam menyelesaikan sesuatu sehingga saat mengalami konflik dengan orang lain karyawan tersebut akan berusaha untuk menyelesaikannya (Pervin, dkk., 2005). Selain itu, karyawan yang agreeableness merupakan individu yang pemaaf dan peduli terhadap orang lain sehingga tidak ingin berlarut-larut dalam suatu masalah. Selain itu, individu seperti ini mudah percaya kepada orang lain (McCrae & Costa, 1997). Seseorang yang mudah percaya kepada orang lain dan dapat dipercaya dapat bersosialisasi dan bertukar pendapat dengan baik (Osuch & Lewandawski, 2004). Mudahnya seseorang untuk bertukar pendapat dengan orang lain membuat dirinya mampu mengkomunikasikan permasalahan yang dialaminya dengan baik untuk mencari jalan tengah dari permasalahan tersebut (Rahim, 2002). Oleh karena itu, konflik atau masalah yang menimpa karyawan dapat direspon dan diselesaikan dengan baik.

Karyawan dengan skor rendah pada agreeableness cenderung untuk lebih agresif, kurang kooperatif, sinis, kasar, kejam, pendendam dan manipulatif (McCrae & Costa, 1997). Saat terjadi suatu ketidaksepakatan atau pertentangan, sifat seperti ini membuat pertentangan yang terjadi semakin berkepanjangan karena individu tidak mau bekerjasama dalam penyelesaian masalah tersebut.

(31)

Sementara itu, sifatnya yang pendendam membuat segala upaya yang dilakukan oleh pihak yang sedang berkonflik dengannya menjadi sia-sia (Pervin, dkk., 2005). Jika karyawan dengan skor tinggi pada trait ini mudah percaya kepada orang lain, karyawan dengan skor rendah memiliki sifat sebaliknya. Karyawan yang tidak mudah percaya kepada orang lain cenderung berpikir negatif sehingga saat konflik terjadi tidak dapat terselesaikan dengan baik. Hal ini diperkuat dengan penelitian Winayanti dan Widiasavitri (2016) yang menemukan adanya hubungan negatif antara kepercayaan dengan konflik interpersonal. Individu yang memiliki kepercayaan tinggi terhadap orang lain cenderung memiliki konflik interpersonal yang rendah, sebaliknya individu dengan kepercayaan yang rendah cenderung memiliki konflik interpersonal yang tinggi.

Trait terakhir dalam kepribadian big five adalah conscientiousness yang menggambarkan perbedaan keteraturan serta self discipline seseorang (McCrae & Costa, 1997). Karyawan dengan skor tinggi pada trait ini cenderung mendengarkan kata hati, fokus pada satu tujuan, bertanggungjawab, berorientasi pada prestasi, teratur, pekerja keras, dapat diandalkan dan berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak (Robbins, 2001). Karena sifatnya yang tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu dan direncanakan dengan matang, membuat karyawan tidak memiliki kendala berarti dalam organisasi tempat karyawan tersebut bekerja. Hal ini kemudian membuat dirinya lebih optimis dan bijak dalam menyelesaikan permasalahan yang dialaminya (Pervin, dkk., 2005). Sementara itu, sifatnya yang tidak mudah menyerah membuat individu seperti ini memiliki ambisi untuk

(32)

menang sehingga saat konflik terjadi dirinya akan berusaha mencari solusi agar masalah tersebut terpecahkan dan tidak merugikan dirinya (Lim & Melissa, 2012). Karyawan dengan skor conscientiousness yang rendah cenderung tidak dapat diandalkan, malas, sembrono, lalai dan mudah menyerah (Robbins, 2001). Sifat yang demikian membuat karyawan menjadi kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Tugas yang tidak terselesaikan berakibat pada tugas rekan kerja lainnya cenderung sulit diselesaikan karena sejatinya tugas-tugas dalam suatu organisasi saling berhubungan (Wijono, 2012). Hal inilah yang kemudian menimbulkan konflik dalam suatu organisasi. Ketika sifat tersebut tidak dapat dimanajemen dengan baik, konflik yang ada akan terus berlangsung. Sifatnya yang malas untuk melakukan suatu upaya dalam menyelesaikan konflik interpersonal yang terjadi juga dapat memperluas (escalation) konflik tersebut. Pernyataan di atas diperjelas oleh penelitian Utami, dkk. (2013) yang menemukan faktor utama penyebab munculnya konflik adalah sifat negatif pribadi seperti mudah marah, tidak dapat dipercaya atau diandalkan, lalai dan mudah menyerah. Sifat-sifat negatif tersebut dapat memicu munculnya gangguan terhadap kerukunan dan ketentraman di lingkungan kerja sehingga konfik yang terjadi semakin tinggi (Utami, dkk., 2013).

(33)

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, hipotesis yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

1. Ada hubungan positif antara trait neuroticism pada kepribadian big five dengan konflik interpersonal dalam organisasi pada karyawan di PT. X. Jika neuroticism tinggi maka konflik interpersonal dalam organisasi yang dialami karyawan juga tinggi. Begitu pula jika neuroticism rendah maka konflik interpersonal dalam organisasi yang dialami karyawan rendah.

2. Ada hubungan negatif antara trait extravertion pada kepribadian big five dengan konflik interpersonal dalam organisasi pada karyawan di PT. X. Semakin tinggi extravertion pada karyawan maka semakin rendah konflik interpersonal dalam organisasi yang dialaminya. Sebaliknya, semakin rendah extravertion pada karyawan maka semakin tinggi konflik interpersonal dalam organisasi yang dialaminya.

3. Ada hubungan negatif antara trait openness to experience pada kepribadian big five dengan konflik interpersonal dalam organisasi pada karyawan di PT. X. Semakin tinggi openness to experience maka semakin rendah konflik interpersonal dalam organisasi yang dialami karyawan. Sebaliknya, semakin rendah openness to experience maka semakin tinggi konflik interpersonal dalam organisasi yang dialami karyawan.

4. Ada hubungan negatif antara trait agreeableness pada kepribadian big five dengan konflik interpersonal dalam organisasi pada karyawan di PT. X. Semakin tinggi agreeableness maka semakin rendah konflik interpersonal

(34)

dalam organisasi yang dialami karyawan. Sebaliknya, semakin rendah agreeableness maka semakin tinggi konflik interpersonal dalam organisasi yang dialami karyawan.

5. Ada hubungan negatif antara trait conscientiousness pada kepribadian big five dengan konflik interpersonal dalam organisasi pada karyawan di PT. X. Semakin tinggi conscientiousness pada karyawan maka semakin rendah konflik interpersonal dalam organisasi yang dialaminya. Sebaliknya, semakin rendah conscientiousness pada karyawan maka semakin tinggi konflik interpersonal dalam organisasi yang dialaminya.

Referensi

Dokumen terkait

Jaya Gas Indonesia Jakarta menunjukkan hasil bahwa adanya hubungan serta pengaruh yang positif dan signifikan dari variabel kepuasan kerja terhadap variabel

karyawan lainya seperti perbedaan pendapat, perbedaan tugas dan sikap acuh tak acuh, hal tersebut sesuai dengan indikator kepuasan kerja yaitu aspek rekan kerja yang

menjadi nilai persentil skor untuk umur, skor standar ekuivalen dan usia kronologis ekuivalen (usia kronologis pada skor numerik yang menunjukkan nilai median atau persentil

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak semua anak-anak korban perceraian mengalami trauma, itu dikarenakan faktor dari individu dan latar belakang orangtua yang

Hal tersebut didukung oleh penelitian terdahulu oleh Octavia Handayni & Aima (2022) yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara kompensasi

Menurut Elisabet (2017:12) bahwa “informasi adalah hasil dari pengolahan data dalam bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya yang

Shih, dkk (2008) juga menunjukkan bahwa skor pada perilaku terhadap uang khususnya faktor pengelolaan/pengangggaran (maintenance-budget) lebih tinggi pada murid yang mempunyai

Didukung oleh penelitian yang dilakukan Correia dan Kozak (2016) menyatakan bahwa pengaruh persepsi nilai terhadap kepuasan tidak signifikan, karena produk imitasi