• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Kesehatan Dunia/World Health Organization

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Kesehatan Dunia/World Health Organization"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kesehatan pada Lansia 2.1.1 Definisi Sehat

Menurut Badan Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO), sehat adalah keadaan sejahtera baik secara fisik, mental, dan sosial bukan hanya sekedar tidak adanya penyakit maupun cacat. a. Sehat Jasmani

Sehat j asmani a dalah kom ponen ut ama d alam m akna s ehat sepenuhnya, b erbentuk sosok m anusia yang b erpenampilan kul it bersih, m ata be rcahaya, rambut t ersisir r api, ke nakan pa kaian r api, berotot, tak gemuk, nafas tak bau, selera makan baik, tidur nyenyak, gesit serta semua manfaat fisiologi badan jalan normal.

b. Sehat Mental

Sehat Mental serta sehat jasmani senantiasa dikaitkan keduanya dalam pe patah kuno M en S ana In C orpore S ano yang be rarti J iwa yang s ehat ad a d idalam badan yang s ehat. A tribut s eseorang i nsan yang mempunyai mental yang sehat yaitu seperti berikut :

Senantiasa merasa senang dengan apa yang ada pada dianya, tak sempat m enyesal s erta k asihan p ada d irinya s endiri, s enantiasa senang, enjoy serta m engasyikkan dan t ak ada sinyal t anda konflik kejiwaan.

(2)

Bisa b ergaul d engan b aik serta b isa te rima kritik d an ta k gampang tersinggung serta geram, senantiasa pengertian serta toleransi pada keperluan emosi orang lain.

Bisa mengontrol diri serta tak gampang emosi dan tak gampang takut, c emburu, t idak suka da n ha dapi s erta bi sa m erampungkan persoalan dengan cara cerdik serta bijaksana.

c. Kesejahteraan Sosial

Batasan k esejahteraan s osial yang ad a d i t iap-tiap ar ea at au negara s usah di ukur serta be nar-benar be rgantung pa da kul tur, kebudayaan s erta t ingkat ke makmuran p enduduk s etempat. D alam makna yang l ebih ha kiki, ke sejahteraan s osial yaitu s ituasi ke hidupan berbentuk perasaan aman damai serta sejahtera, cukup pangan, sandang serta pa pan. Dalam ke hidupan pe nduduk yang s ejahtera, pe nduduk hidup t eratur s erta s enantiasa m enghormati ke butuhan or ang l ain d an penduduk umum.

d. Sehat Spiritual

Spiritual a dalah kom ponen pe nambahan pa da pe ngertian s ehat oleh WHO serta mempunyai makna utama dalam kehidupan keseharian penduduk. T iap-tiap i ndividu but uh m emperoleh pe ndidikan r esmi ataupun informal, peluang untuk liburan, mendengar alunan lagu serta musik, s iraman r ohani s eperti c eramah agama s erta yang l ain s upaya berlangsung k eseimbangan j iwa yang d inamis s erta t ak m onoton

(3)

Sedangkan m enurut K amus B esar B ahasa Indonesia, s ehat adalah keadaan seluruh badan serta bagian badan yang terbebas dari sakit.

Menurut UU Kesehatan No 23 tahun 1992, sehat adalah keadaan kesejahteraan d ari b adan, j iwa d an s osial yang memungkinkan s etiap orang hi dup pr oduktif s ecara e konomi da n s osial. D ari ke tiga de finisi diatas d apat di simpulkan ba hwa de finisi s ehat adalah s uatu ke adaan fisik, m ental, da n s osial yang t erbebas d ari s uatu pe nyakit s ehingga seseorang dapat melakukan aktivitas nya secara optimal.

2.1.2 Definisi Lansia

Usia l anjut at au l anjut usia ad alah s eseorang yang berusia 60 tahun a tau l ebih, yang s ecara fisik t erlihat b erbeda de ngan ke lompok umur l ainnya ( Depkes RI, 2003) . Menurut W HO l ansia m erupakan seseorang yang b erusia 65 t ahun ke atas unt uk Amerika Serikat d an Eropa B arat. N egara A sia, l ansia ad alah s eseorang yang b erusia 6 0 tahun ke atas. Lansia s ebagai t ahap a khir s iklus ke hidupan m erupakan tahap pe rkembangan no rmal yang akan di alami ol eh s etiap i ndividu yang m encapai us ia l anjut da n m erupakan ke nyataan yang t idak da pt dihindari.

Dikatakan lansia tergantung dari konteks kebutuhan yang tidak dipisah-pisahkan. Konteks kebutuhan itu dihubungkan secara biologis, sosial dan ekonomi dan dikatakan usia lanjut dimulai paling tidak saat puber da n p rosesnya b erlangsung s ampai ke hidupan de wasa ( Depkes

(4)

RI, 2000). Durmin dalam Arisman, 2007 m embagi dua kategori lansia yaitu young elderly (67-74 tahun) dan older elderly (75 tahun).

Adapun ba tasan pe nduduk l ansia da pat di lihat da ri be rbagai aspek yaitu aspek biologi, ekonomi, sosial dan batasan umur, yaitu: a. Aspek Biologi

Aspek bi ologi pa da pe nduduk l ansia a dalah pe nduduk yang t elah menjalani proses menua atau penuan. Proses penuan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahap-tahap menurunnya berbagai fungsi organ tubuh yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap s erangan b erbagai m acam p enyakit yang d apat s ampai fatal h ingga k ematian s eperti p ada s istem k ardiovaskuler, pembuluh da rah, pe ncernaan, p ernafasan, endokrin da n l ain sebagainya (Hawari, 2007).

Adapun pe rubahan f isiologis yang t ampak p ada l ansia adalah kekuatan fisik berkurang, merasa cepat capek dan stamina berkurang, b adan yang s emula t egap m enjadi bong kok, kul it menjadi keriput dan mengerut, pertumbuhan berkurang dan rambut tampak memutih, gigi mulai rontok, terjadi perubahan pada mata, berkurangnya pe ndengaran, da ya c ium da n m elemahnya i ndra perasa serta terjadinya pengapuran pada tulang (Bustan, 2000). b. Aspek Ekonomi

Penduduk lansia dianggap sebagai beban daripada potensi sumber daya bagi pembangunan. Lansia dianggap adalah warga yang tidak

(5)

produktif dan perlu ditopang oleh generasi muda. Bagi lansia yang masih bekerja, produktifitasnya sudah menurun dan pendapatannya lebih rendah dibandingkan pekerja usia produktif. Akan tetapi tidak semua penduduk termasuk da lam kelompok umur lansia memiliki kualitas dan produktifitas rendah (Notoatmodjo, 2011).

c. Aspek Sosial

Pada m asyarakat t radisional A sia s eperti Indonesia, pe nduduk lansia me miliki s trata yang tin ggi, d engan k ata la in k elas s osial lansia terbilang tinggi karna harus dihormati oleh masyarakat yang usianya l ebih m uda ( Notoadmodjo, 2011) , s edangkan di negara Barat, pe nduduk l ansia m enduduki s trata s osial di bawah ka um muda. J adi p erlu adanya p ersiapan yang b agi l ansia d alam menghadapi p erubahan s tatus s osial l ansia t ersebut k arena membawa akibat bagi yang bersangkutan. Aspek sosial tidak dapat diabaikan da n s ebaiknya l ansia m engetahui s edini m ungkin sehingga d apat m empersiapkan di ri s ebaik m ungkin ( Depkes R I, 2000).

d. Aspek Umur

Pendekatan um ur atau usia a dalah yang pa ling m emungkinkan untuk m endefinisikan penduduk l ansia. Berdasarkan unda ng- undang no 13 t ahun 1998 ba tasan us ia l anjut adalah 60 t ahun. Namun b erdasarkan p endapat p ara ahli d alam p rogram k esehatan

(6)

lansia, Kementrian Kesehatan m embuat p engelompokan s eperti dibawah ini:

1. Kelompok pertengahan umur

Merupakan masa persiapan lansia yang menampakan perkasaan fisik d an k ematangan j iwa ( 45-54 t ahun) bi asa di sebut m asa virilitas.

2. Kelompok lansia dini

Masa pr asenium, yaitu kelompok us ia yang m emasuki l ansia (55-64 tahun).

3. Kelompok lansia

Masa senium (65 tahun ke atas) 4. Kelompok lansia dengan resiko tinggi

Kelompok yang be rusia l ebih da ri 70 t ahun a tau kelompok lansia yang hi dup s endiri, t erpencil, m enderita penyakit be rat atau cacat.

Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) lansia meliputi :

1. Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun. 2. Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-70 tahun. 3. Usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia antara 75-90 tahun.

4. Usia s angat t ua (very old) adalah ke lompok us ia 90 t ahun (Notoatmodjo, 2007).

(7)

2.1.3 Karakteristik Lansia

beberapa ka rakteristik l ansia yang pe rlu di ketahui unt uk m engetahui keberadaan masalah kesehatan lansia menurut Depkes tahun 2005 dalam Notoadmodjo, 2007 yaitu sebagai berikut :

a. Jenis kelamin: lansia lebih banyak pada wanita. Terdapat perbedaan kebutuhan d an m asalah kesehatan yang b erbeda an tara l ansia l aki-laki d an p erempuan. Misalnya l ansia l aki-aki-laki s ibuk de ngan

hipertropi pr ostat, m aka pe rempuan m ungkin m enghadapi osteoporosis (Notoatmodjo, 2007).

b. Status perkawinan: status masih pasangan lengkap atau sudah hidup janda atau duda akan mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun psikologis (Notoatmodjo, 2007).

c. Living arrangement: misalnya keadaan pasangan, tinggal sendiri atau bersama istri, anak atau keluarga lainnya.

1. Tanggungan k eluarga: masih m enanggung a nak a tau a nggota keluarga.

2. Tempat tinggal: rumah sendiri, tinggal bersama anak. Dengan ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian keluarganya, baik lansia sebagai k epala k eluarga atau b agian d ari k eluarga anaknya. Namun akan cenderung bahwa lansia akan ditinggalkan oleh ke turunannya d alam r umah yang be rbeda (Notoatmodjo, 2007)

(8)

d. Kondisi Kesehatan

1. Kondisi Umum: ke mampuan um um unt uk t idak t ergantung kepada o rang l ain d alam k egiatan s ehari-hari seperti ma ndi, buang air besar dan kecil.

2. Frekuensi Sakit: f rekuensi s akit yang t inggi m enyebabkan menjadi t idak pr oduktif l agi ba hkan m ulai t ergantung ke pada orang lain (Notoatmodjo, 2007).

e. Keadaan Ekonomi

1. Sumber pendapatan resmi: pensiun ditambah sumber pendapatan lain kalau masih bisa aktif

2. Sumber pe ndapatan ke luarga: a da t idaknya ba ntuan ke uangan dari an ak a tau ke luarga l ainnya ba hkan m asih a da a nggota keluarga yang tergantung padanya.

3. Kemampuan p endapatan: l ansia me merlukan b iaya yang le bih tinggi, sementara pendapatan semakin menurun. Status ekonomi sangat t erancam, s ehingga c ukup be ralasan unt uk m elakukan berbagai perubahan besar dalam kehidupan, menentukan kondisi hidup yang dengan perubahan status ekonomi dan kondi si fisik (Notoatmodjo, 2007).

(9)

2.2 Posyandu Lansia

2.2.1 Pengertian Posyandu Lansia

Posyandu Lansia at au K elompok U sia Lanjut ( POKSILA) adalah s uatu w adah p elayanan b agi u sia l anjut d i m asyarakat, d imana proses pe mbentukan da n pe laksanaannya di lakukan ol eh m asyarakat bersama Lembaga S wadaya M asyarakat ( LSM), l intas s ektor pemerintah dan non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitik beratkan pelayanan pada upaya promotif dan preventif (Komnas Lansia, 2010).

Usia la njut atau l anjut usia ad alah s eseorang yang b erusia 6 0 tahun a tau l ebih, yang s ecara fisik t erlihat b erbeda de ngan ke lompok umur lainnya (Depkes RI, 2003). Pelayanan kesehatan dikelompok usia lanjut me liputi p emeriksaan k esehatan f isik d an me ntal e mosional. Kartu Menuju Sehat (KMS) lansia sebagai alat pencatat dan pemantau untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita(deteksi dini) atau ancaman m asalah k esehatan yang d ihadapi d an m encatat perkembangannya d alam b uku P edoman P emeliharaan K esehatan (BPPK) u sia l anjut at au cat atan k ondisi k esehatan yang l azim digunakan dipuskesmas (Depkes RI, 2003).

Pelayanan k esehatan d an s osial d itingkat m asyarakat adalah posyandu lanjut usia (Komnas Lansia, 2010). Pelayanan yang dilakukan diposyandu m erupakan pe layanan uj ung tombak d alam p enerapan kebijakan pemerintah un tuk pencapaian l anjut us ia sehat, m andiri dan

(10)

berdaya guna. Oleh karna itu arah dari kegiatan posyandu lansia tidak boleh lepas dari konsep active aging/menua secara aktif. Active aging adalah pr oses opt imalisasi p eluang k esehatan, p artisipasi d an keamanana untuk meningkatkan kualitas hidup dimasa tua.

2.2.2 Tujuan Posyandu Lansia

Tujuan um um da ri P osyandu Lansia a dalah meningkatkan kesejahteraan Lansia m elalui k egiatan P osyandu Lansia yang m andiri dalam masyarakat. T ujuan khus usnya, m eliputi: ( 1) m eningkatnya kemudahan bagi Lansia dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dasar dan r ujukan, ( 2) m eningkatnya cakupan d an kua litas pe layanan kesehatan Lansia, khususnya aspek peningkatan dan pencegahan tanpa mengabaikan a spek pe ngobatan da n pe mulihan, ( 3) be rkembangnya Posyandu Lansia yang aktif m elaksanakan k egiatan d engan k ualitas yang baik secara berkesinambungan (Depkes RI, 2003).

Tujuan Pembentukan Posyandu Lansia secara garis besar antara lain: meningkatkan jangkauan layanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia. M endekatkan pelayanan d an m eningkatkan p eran s erta masyarakat d an s wasta d alam p elayanan kesehatan d isamping meningkatkan komunikasi antara masyarakat lanjut usia.

2.2.3 Pelayanan Kesehatan di Posyandu Lansia

Jenis p elayanan k esehatan yang d apat d iberikan k epada Lansia di Posyandu adalah sebagai berikut:

(11)

a.) P emeriksaan ak tifitas k egiatan s ehari-hari ( activity o f d aily liv ing) meliputi ke giatan da sar da lam ke hidupan, s eperti m akan/minum, berjalan, m andi, be rpakaian, na ik t urun t empat t idur, bua ng a ir besar/kecil dan sebagainya.

b.) P emeriksaan s tatus m ental. P emeriksaan i ni be rhubungan de ngan mental emosional, dengan menggunakan pedoman metode 2 m enit (lihat KMS Usia Lanjut).

c.) P emeriksaan s tatus g izi m elalui p enimbangan b erat b adan d an pengukuran t inggi ba dan da n di catat pa da grafik Indeks M assa Tubuh (IMT).

d.) P engukuran t ekanan da rah de ngan m enggunakan t ensimeter da n stetoskop serta penghitungan denyut nadi selama satu menit.

e.) P emeriksaan hemoglobin menggunakan talquist, sahli atau

cuprisulfat.

f.) Pemeriksaan adanya g ula d alam air s eni s ebagai d eteksi aw al adanya penyakit gula (diabetes mellitus).

g.) Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit ginjal.

h.) Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bila mana ada keluhan dan atau ditemukan kelainan pada pemeriksaan butir 1 hingga 7.

i) P enyuluhan bi sa di lakukan di d alam m aupun di luar ke lompok dalam r angka kunj ungan r umah da n kons eling ke sehatan yang dihadapi oleh individu dan atau kelompok lansia.

(12)

j) K unjungan r umah oleh ka der di sertai pe tugas b agi a nggota kelompok l ansia yang t idak da tang, d alam r angka ke giatan perawatan kesehatan masyarakat (Publik Health Nursing) (Komnas Lansia, 2010).

Kegiatan lain di posyandu lansia yang dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi setempat:

a.) Pemberian M akanan T ambahan ( PMT) p enyuluhan s ebagai co ntoh menu m akanan d engan m emperhatikan aspek kesehatan d an gizi Lansia, serta menggunakan bahan makanan yang berasal dari d aerah tersebut.

b.) K egiatan o lah r aga a ntara l ain s enam l ansia, gerak j alan s antai, d an lain s ebagainya unt uk m eningkatkan ke bugaran. K ecuali ke giatan pelayanan kesehatan seperti uraian di atas, kelompok dapat melakukan kegiatan non ke sehatan di ba wah bi mbingan s ektor l ain, c ontohnya kegiatan ke rohanian, a risan, ke giatan e konomi pr oduktif, f orum diskusi, penyaluran hobi dan lain-lain (Depkes RI, 2003).

2.2.4 Mekanisme Pelaksanaan Kegiatan Posyandu Lansia

Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang p rima terhadap Lansia, m ekanisme p elaksanaan k egiatan yang s ebaiknya d igunakan adalah sistim 5 meja/tahapan sebagai berikut:

1. Tahap p ertama: p endaftaran Lansia s ebelum p elaksanaan pelayanan.

(13)

2. Tahap k edua: p encatatan k egiatan s ehari-hari yang di lakukan Lansia, s erta p enimbangan be rat b adan da n p engukuran t inggi badan.

3. Tahap k etiga: p engukuran t ekanan d arah, p emeriksaan k esehatan, dan pemeriksaan status mental.

4. Tahap keempat: pemeriksaan air seni dan kadar darah (laboratorium sederhana).

5. Tahap ke lima: pe mberian pe nyuluhan da n ko nseling ( Depkes R I, 2003).

Pelaksanaan ke giatan pos yandu di laksanakan s esuai perencanaan yang telah disepakati. Namun dapat uraikan berdasarkan pengelompokan kegiatan sebagai berikut:

a. Kegiatan pelayanan kesehatan, gizi

b. Kegiatan seni budaya, olahraga dan rekreasi c. Kegiatan peningkatan spritual

d. Kegiatan kesejahteraan/ sosial

e. Kegiatan pendidikan keterampilan (Komnas Lansia, 2010).

2.2.5 Indikator Keberhasilan Posyandu Lansia

Penilaian k eberhasilan u paya p embinaan l ansia m elalui k egiatan pelayanan kesehatan di posyandu dilakukan dengan menggunakan data pencatatan da n pe laporan, pe ngamatan kh usus da n pe nelitian. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari:

(14)

1. Meningkatnya s osialisasi m asyarakat l ansia d engan berkembangnya j umlah o rganisasi m asyarakat l ansia d engan berbagai aktifitas pengembangannya.

2. Berkembangnya j umlah l embaga p emerintah / swasta yang memberikan pelayanan kesehatan bagi lansia

3. Berkembangnya jenis pelayanan kesehatan pada lembaga 4. Berkembangnya jangkauan pelayanan kesehatan bagi lansia

5. Penurunan an gka k esakitan d an k ematian ak ibat p enyakit p ada lansia.

Indikator yang di perlukan da lam pe ngendalian pos yandu l ansia da lam Komnas Lansia (2010) adalah:

1. Frekuensi pertemuan atau pelaksanaan kegiatan. 2. Kehadiran kader.

3. Pelayananan kesehatan a. Cakupan penimbangan

b. Cakupan pemeriksaan laboratorium c. Cakupan hasil pemeriksaan kesehatan d. Cakupan penyuluhan kesehatan. 4. Frekuensi pelaksanaan senam

5. Frekuensi pelaksanaan pengajian/kebaktian 6. Kegiatan usaha ekonomi produktif

7. Kegiatan penghapusan buta aksara 8. Rekreasi

(15)

9. Kegiatan peningkatan pendidikan dan ketermpilan 10. Ketersediaan dana untuk penyelenggaraan kegiatan.

2.2.6 Efisiensi dan efektifitas pelaksanaan kegiatan posyandu lansia

Agar pelaksanaan kegiatan posyandu berjalan efisien dan efektif, maka dibutuhkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Organisasi yang tertata baik

2. Sumber daya manusia yang mempunyai ilmu dan kemampuan. 3. Tugas dan fungsi yang jelas dari masing-masing petugas posyandu. 4. Mekanisme ke rja yang ba ik m eliputi pe rencanaan, p elaksanaan,

monitoring dan evaluasi (Komnas Lansia, 2010). A. Organisasi

Organisasi l anjut us ia a dalah or ganisasi ke masyarakatan non struktural yang berdasarkan azas gotong royong untuk sehat dan sejahtera, yang di organisir ol eh seorang koordinator atau ketua, dibantu ol eh s ekretaris, be ndahara d an be berapa or ang k ader. Organisasi posyandu lanjut usia ini tidak saja dapat dibentuk oleh masyarakat setempat, tetapi dapat juga oleh : organisasi profesi, institusi p emerintah/swasta, le mbaga s wadaya ma syarakat, kelompok seminat dalam masyarakat.

(16)

Salah satu bentuk organisasi sebagai berikut:

Struktur Organisasi Karang Wreda Ciptoning Kelurahan Balongsari

1.

B. Sumber Daya Manusia (SDM)

Tenaga yang dibutuhkan dalam pelaksanaan posyandu sebaiknya 8 orang namun bisa kurang dengan konsekuesi bekerja rangkap. Kepengurusan yang dianjurkan adalah :

1. Ketua posyandu 2. Sekretaris 3. Bendahara

Wakil Ketua Ketua

Sie Seni /Budaya Sie Kesejahteraan /Ekonomi Sie Olahraga & rekreasi Sie Kesehatan Sie Spritual/keaga maan

Sekretaris Seksi-seksi Bendahara

Pembina

(17)

4. Kader sekitar 5 orang:

a. Meja 1 tempat pendaftaran

b. Meja 2 tempat penimbangan dan pencatatan berat badan, pengukuran da n pe ncatatn t inggi ba dan s erta penghitungan index massa tubuh (IMT).

c. Meja 3 t empat m elakukan k egiatan p emeriksaan d an pengobatan sederhana (tekanan darah, gula darah, Hb dan pemberian vitamin, dan lain-lain).

d. Meja 4 tempat melakukan kegiatan konseling (kesehatan, gizi, dan kesejahteraan)

e. Meja 5 t empat m emberikan i nformasi da n m elakukan kegiatan s osial ( pemberian m akanan t ambahan, bantuan modal, pendampingan, dan lain-lain sesuai kebutuhan). C. Tugas dan Fungsi

1. Ketua Posyandu

a. Bertanggung j awab t erhadap s emua k egiatan yang dilakukan posyandu.

b. Bertanggung j awab t erhadap k erjasama d engan s emua stakeholder dalam rangka meningkatkan mutu pelaksnaan posyandu.

2. Sekretaris

Mencatat s emua aktifitas p erencanaan, p elaksanaan d an pemantuan serta pengendalian posyandu.

(18)

3. Bendahara

a. Pencatatan p emasukan dan p engeluaran s erta p elaporan keuangan posyandu.

4. Kader

Tugas kader dalam posyandu lanjut usia antara lain:

a. Mempersiapkan s arana dan p rasarana yang d iperlukan pada kegiatan posyandu.

b Memobilisasi sasaran pada hari pelayanan posyandu. c. Melakukan pendaftaran sasaran pada pelayanan posyandu

lansia.

d. Melaksanakan k egiatan p enimbangan b erat b adan d an pengukuran t inggi b adan pa ra l anjut us ia da n mencatatnya dalam KMS atau buku pencatatan lainnya. e. Membantu p etugas d alam p elaksannaan p emeriksaan

kesehatan dan pelayanan lainnya.

f. Melakukan p enyuluhan ( kesehatan, gizi, s osial, a gama dan karya)sesuai dengan minatnya.

D. Mekanisme Kerja

Untuk memberikan pelayanan kesehatan dan sosial yang prima terhadap l anjut us ia di kelompoknya, di butuhkan pe rencanaan yang m atang, p elaksanaan yang b enar d an t epat w aktu, s erta pengendalian yang akurat.

(19)

2.3 Berbagai faktor yang mempengaruhi lansia untuk datang ke posyandu menurut penelitian terkait

a. Umur

Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kunjungan lansia diposyandu lansia. Pada 58 or ang lansia yang terdiri dari 30 l ansia aktif da n 28 l ansia t idak a ktif da lam k egiatan pos yandu m ununjukan bahwa usia lansia yang aktif dalam kegiatan posyandu lansia ≥ 65 tahun 68,0 % m emiliki s tatus IMT nor mal, s edangkan yang t idak a ktif 41,7 % (Azania (2007) dalam Murdianto (2013).

Menurut pe nelitian F auzi ( 2008) da lam Murdianto (2013), l ansia lebih a ktif da lam ke giatan pos yandu l ansia adalah l ansia yang b erusia antara 60-69 tahun, yang merupakan kategori lanjut usia sehingga belum banyak m asalah k esehatan yang s erius yang d ialami l ansia, yang d apat menyulitkan upaya mereka menjangkau lokasi posyandu lansia. Jika lansia merasa aman atau merasa mudah untuk menjangkau lokasi posyandu tanpa harus menimbulkan kelelahan atau masalah yang lebih serius, maka lansia hal i ni da pat m endukung m inat atau m otivasi l ansia unt uk m engikuti kegiatan pos yandu, ka rna ke amanan i ni m erupakan f aktor e ksternal d ari terbentuknya motivasi seseorang.

b. Jenis kelamin

lansia yang p aling b anyak ad alah p erempuan, seperti data y ang didapatkan pada susenas (2012) (Buletin Lansia semester I, 2013). Hal ini menunjukkan ba hwa u mur ha rapan hi dup yang paling tin ggi adalah

(20)

perempuan. B ila dibandingkan pe rjenis kelamin, a ngka r asio ketergantungan pe nduduk l ansia p erempuan l ebih t inggi di bandingkan dengan pe nduduk l ansia l aki-laki ( 12,95 berbanding 10,86) jadi r asio ketergantungan penduduk lansia menurut tipe daerah d an jenis kelamin antara p erkotaan d an pedesaan l ebih b anyak d idominasi o leh l ansia perempuan. Menurut j enis ke lamin, pol a s tatus pe rkawinan pe nduduk lansia laki-laki berbeda dengan lansia perempuan.

Lansia p erempuan l ebih b anyak yang b erstatus cer ai m ati (59,15%), s edangkan l ansia l aki-laki l ebih b anyak yang b erstatus k awin (82,71%). H al i ni di sebabkan us ia ha rapan hi dup pe rempuan yang l ebih tinggi di bandingkan de ngan us ia ha rapan hi dup l aki-laki, s ehingga pe r-sentase l ansia p erempuan yang b erstatus c erai m ati l ebih b anyak dibandingkan de ngan l ansia l aki-laki. S atu h al yang m enarik da ri s tatus perkawinan l ansia ad alah p ersentase yang cu kup t inggi d ari l ansia perempuan yang berstatus cerai.

Hal i ni m ungkin di sebabkan s ebagian be sar pe rempuan s etelah cerai tidak kawin lagi dalam jangka w aktu yang relatif lama. Sebaliknya lansia l aki-laki yang bercerai um umnya s egera ka win l agi. Untuk penduduk lansia yang bekerja menurut jenis kelamin, persentase penduduk lansia l aki-laki yang be kerja ( 61,47%) l ebih t inggi di bandingkan l ansia perempuan (31,39%).

(21)

c. Pengetahuan

Pengetahuan m erupakan h asil d ari t ahu, d an i ni t erjadi s etelah seseorang m elakukan p enginderaan t erhadap s uatu o bjek t ertentu. Pengetahuan atau ranah kognitif m erupakan dom ain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Pengetahuan lansia akan manfaat posyandu ini dapat diperoleh dari pengalaman pribadi dalam kehidupan sehari-harinya. D engan menghadiri kegiatan pos yandu, l ansia a kan m endapatkan pe nyuluhan t entang bagaimana c ara h idup s ehat d engan s egala k eterbatasan at au m asalah kesehatan yang m elekat p ada m ereka. D engan p engalaman i ni, pengetahuan lansia menjadi meningkat, yang menjadi dasar pembentukan sikap da n d apat m endorong m inat a tau m otivasi m ereka unt uk s elalu mengikuti kegiatan posyandu lansia.

Hasil penelitian Mismar (2010), m enunjukkan bahwa faktor yang berhubungan s ecara be rmakna de ngan t ingkat kunj ungan l ansia ke posyandu adalah p engetahuan l ansia ( p = 0,0 00), s ikap ( p = 0,023) , dukungan petugas (p = 0,029), dukungan keluarga (p = 0,000), jarak (p = 0,007), dan sarana (p = 0,000). Demikian juga dengan Khotimah (2011), memperoleh h asil b ahwa v ariabel yang b erhubungan s ecara s ignifikan dengan pemanfaatan posyandu lansia yaitu pengetahuan (p=0,000), sikap (p=0,001), duk ungan s osial ( p=0,010) da n p eran ka der ( p=0,009). Berdasarkan pe nelitian Sulistiyani ( 2005), pa da 90 or ang l ansia hasilnya

(22)

menunjukan ba hwa t erdapat pe ngaruh t ingkat pe ngetahuan t erhadap keefektifan lansia untuk datang ke posyandu lansia.

d. Sikap

Sikap m erupakan r eaksi a tau r espon yang m asih t ertutup da ri s eseorang terhadap s uatu s timulus a tau obj ek. Manisfastasi s ikap itu tid ak d apat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari prilaku yang t ertutup. S ikap m enurut N ewcomb ba hwa ke siapan a tau k esedian untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum m erupakan s uatu t indakan a tau a ktifitas, a kan t etapi m erupakan predisposisi tindakan suatu prilaku.

Penilaian pribadi atau sikap yang baik terhadap petugas merupakan dasar at as k esiapan at au k esediaan l ansia u ntuk m engikuti k egiatan posyandu. Dengan sikap yang baik tersebut, lansia cenderung untuk selalu hadir atau mengikuti kegiatan yang diadakan di posyandu lansia. Hal ini dapat dipahami karena sikap seseorang adalah suatu cermin kesiapan untuk bereaksi t erhadap s uatu o byek. K esiapan m erupakan k ecenderungan potensial unt uk be reaksi de ngan cara-cara t ertentu a pabila i ndividu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya suatu respons.

e. Pendidikan

Sistem pe ndidikan na sional tahun 2003 m endifinisikan ba hwa pendidikan a dalah s uatu pr oses yang be rjalan b erkesinambungan m ulai dari usia anak anak sampai dewasa, karena itu memerlukan berbagai cara

(23)

dan s umber. S istem pe ndidikan di bedakan m enjadi m enjadi pe ndidikan formal, nonformal, dan informal.

Pendidikan f ormal yaitu pe ndidikan yang t erstruktur da n berjenjang yang t erdiri atas pe ndidikan a tas, m engengah da n p endidikan tinggi, pe ndidikan i nformal yaitu pe ndidikan yang di peroleh de ngan berbagai j alan atau p rogram yang d ikenal d engan i stilah pe nyuluhan sedangkan pe ndidikan n on f ormal a dalah j alur pendidikan di luar j alur pendidikan f ormal yang da pat di laksanakan de ngan t erstuktur da n berjenjang.

Pendidikan m erupakan f aktor s osial yang s angat pe nting, pembangunan harus diikuti dengan tingkat pendidikan yang memadai agar seseorang m udah m enerima i de p erubahan da n pe mbaharuan d alam pembangunan, Aputra (2000) dalam Murdyasatuti (2009) menyatakan : 1) Manusia yang terdidik akan lebih kreatif dan terbuka terhadap usaha

pembaharuan.

2) Manusia y ang t erdidik akan l ebih d inamis b aik d alam cara b erfikir maupun sikap dan tindakan.

3) Manusia yang terdidik akan lebih mudah melihat cara dan kesempatan untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Menurut pe nelitian H erdini ( 2013) f aktor yang be rhubungan dengan frekuensi ke hadiran l ansia di pos yandu a ntara l ain a dalah pengetahuan, pe ndidikan. Dikarenakan Di k alangan keluarga d engan kondisi ekonomi terbatas dan kurang berpendidikan, memang lazim terjadi

(24)

perbedaan t ingkat pa rtisipasi da n ke hadiran l ansia ke pos yandu dikarenakan kurangnya pengetahuan lansia terhadap manfaat dari kegiatan di pos yandu l ansia, ku rangnya m endapat i nformasi t entang ke giatan d i posyandu lansia. Sehingga banyak lansia yang berpendidikan rendah tidak aktif berpartisipasi dalam kegiatan di posyandu lansia.

f. Aktifitas

Dari ha sil p enelitian yang di lakukan di b erbagai ka bupaten di P ropinsi Jawa Timur, ditemukan dilihat bahwa para lansia perempuan, kebanyakan masih a ktif d alam melakukan berbagai a ktivitas dom estik kerumahtanggaan. D iakui m emang s ecara f isik m ereka s epintas t erlihat ringkih d an r apuh t etapi d alam k enyataan t ernyata l ansia p erempuan seringkali m asih s anggup m engerjakan b erbagai t ugas dom estik, s eperti membersihkan r umah, memasak, m encuci, m engasuh c ucu da n be rbagai jenis a ktivitas k erumahtanggan yang l ain. D i w ilayah p edesaan, ba hkan pemandangan i bu-bu t ua yang r ambutnya s udah memutih be rjalan p elan dari bawah ke atas lewat jalan-jalan yang berkelok-kelok adalah hal yang biasa, dan ini mengindikasikan bahwa meski berstatus lansia, tetapi energi dan kondi si f isik m ereka m asih c ukup kua t unt uk m elakukan a ktivitas domestik bahkan kegiatan ekonomi produktif (Perwakilan BkkbN Provinsi Jawa Timur, 2012).

Lansia, yang s ecara f isik t elah b erkurang d an melemah, t entu j uga s ulit diharapkan da pat b ekerja l ayaknya m asyarakat yang n ormal fisiknya. Bekerja, b agi s eorang l ansia unt uk s aat i ni um umnya di pahami s ebagai

(25)

pekerjaan sampingan yang tidak memiliki target tertentu, kecuali sekadar mengisi waktu luang, meringankan beban anak-anak mereka, dan sekadar untuk mencari tambahan uang saku pribadi dan cucu-cucunya.

g. Pendapatan

Pendapatan o rang l ansia b erasal d ari b erbagai s umber b agi m ereka yang dulunya bekerja mendapat penghasilan dari dana pensiun. Bagi lansia yang sampai saat ini bekerja mendapat penghasilan dari gaji dan upah. Selain itu sumber ke uangan yang lain a dalah k euntungan, bi snis, s ewa, i nvestasi, sokongan dari pemerintah atau swasta, atau dari anak, kawan dan keluarga (Kartari, 1993: Y ulmardi 1995) . D iperkotaan up ah a tau gaji pa ra l ansia yang bekerja relatif lebih tinggi dari pada dipedesaan. Namun hal ini tidak berarti l ansia p erkotaan l ebih s ejahtera d ari l ansia d ipedesaan. A danya upah l ansia yang s angat m inim j ika t idak di tunjang d engan dukun gan finansial da ri pi hak l ain ba ik a nggota ke luarga maupun or ang l ain t idak dapat be rharap ba hwa l ansia t ersebut a kan hi dup da lam kondi si yang menguntungkan.

Berbeda de ngan m asa k etika pa ra l ansia m asih pr oduktif pe nuh, m ereka umumnya m asih bi sa m encari ua ng s endiri da n hi dup da ri p enghasilan yang mereka peroleh. Tetapi, untuk saat ini, akibat deraan penyakit menua, menurunnya kondi si f isik, da n di tambah l agi dengan ke butuhan bi aya kesehatan yang m eningkat, m aka bi sa di pahami j ika pa ra l ansia pun mengaku kondi sinya s ekarang m enjadi l ebih bur uk. B agi l ansia ya ng berasal da ri ke luarga m iskin da n kondi si l ansia yang s akit-sakitan, t entu

(26)

yang dibutuhkan adakah pengeluaran ekstra, sehingga wajar ketika harga berbagai k ebutuhan p okok t ermasuk unt uk ke butuhan ke sehatan meningkat, m aka k ehidupan m ereka pun j uga m enjadi s emakin s ulit. Hanya 1 7% r esponden yang m enyatakan b isa hidup m andiri t anpa bantuan finansial dari anak-anaknya. Mereka umumnya adalah lansia yang memiliki uang pensiunan atau simpanan tersendiri. Tetapi, meski demikian sebanyak 30% r esponden m enyatakan t idak bi sa hi dup m andiri t anpa dukungan f inansial d ari a nak-anaknya atau k erabatnya yang l ain, d an bahkan 17% menyatakan sama sekali tidak bisa.

h. Akses pelayanan kesehatan

Pelayanan k esehatan adalah u paya yang d iselenggarakan s ecara sendiri da n be rsama-bersama da lam s uatu or ganisasi unt uk m emelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit dan memulihkan ke sehatan ke luarga, pe rorangan, ke lompok a taupun masyarakat (Sarwono, 2007).

Menurut N otoatmodjo ( 2011) pa da p rinsipnya ada d ua k ategori pelayanan k esehatan yaitu k ategori yang b erorintasi p ublik ( masyarakat) dan ka tegori yang be rorintasi pa da p erorangan ( individu). P elayanan kesehatan yang te rmasuk d alam k ategori p ublik te rdiri d ari s anitasi, imunisasi, ke bersihan a ir, da n pe rlindungan k ualitas uda ra. P elayanan kesehatan m asyarakat l ebih di arahklan l angsung ke publ ik da ri pa da ke arah i ndividu yang khu sus. S edangkan p elayanan ke sehatan p erorangan langsung diarhakn ke individu itu sendiri.

(27)

Fasilitas p elayanan k esehatan p ada h akikatnya u ntuk m endukung atau m eningkatkan t erwujudnya pe rubahan pe rilaku ke sehatan (Notoatmodjo, 2011) . M enurut pe nelitian F auzi ( 2008) pa da 59 or ang lansia di dapatkan ha sil yaitu s ebagian be sar l ansia ( 86,7%) m empunyai jarak te mpat tin ggal y ang s ulit u ntuk dijangkau s ehingga kur ang mendukung m inat l ansia da tang k eposyandu da n ( 13,3%) l ansia m udah untuk menjangkau lokasi posyandu.

i. Dukungan kader posyandu

Peran k ader d alam p elaksanaan p osyandu l ansia m erupakan s alah s atu faktor yang m empengaruhi kunj ungan l ansia ke pos yandu. Menurut penelitian yang di lakukan ol eh S usi N ovita (2013), dengan popul asi 720 jumlah s ampel 50 l ansia, da lam ke giatan pos yandu m ununjukan ba hwa adanya pengaruh antara peran kader terhadap pemanfaatan posyandu lansia dengan p value 0,009 dan ada pengaruh antara dukungan keluarga terhadap pemanfaatan pos yandu l ansia de ngan p value 0, 004. dari 50 responden yang tid ak me miliki peran k ader s ebanyak 2 6 o rang ( 52%). diketahui bahwa da ri 26 r esponden yang t idak ada p eran k adernya t ernyata pemanfaatan pelayanan pos yandu l ansia t idak ba ik s ebanyak 100%, da ri 24 r esponden yang a da peran kadernya t ernyata p emanfaatan p elayanan posyandu lansia tidak baik sebanyak 70,8%. Penelitian Harisman dan Dina didapatkan ha sil ada p engaruh t ingkat p endidikan (p -value = 0,005) , pengetahuan (p-value = 0,015), penghargaan kader (p-value = 0,025) dan dukungan keluarga (p-value = 0,015) terhadap keaktifan kader posyandu di

(28)

Desa M ulang M aya Kecamatan Kotabumi S elatan K abupaten Lampung Utara Tahun 2012.

j. Dukungan tokoh masyarakat

Anggota masyarakat sering meminta pendapat m engenai berbagai urusan tertentu d an b iasanya merupakan t empat b ertanya. M asyarakat d alam pelaksanaan pos yandu l ansia, or ganisasi s eperti ka rang wreda, R T, R W merukan tumpuan keberhasilan programnya. Kepala dusun, ketua RT dan ketua R W a dalah pe mimpin yang m erupakan tokoh m asyarakat yang dipilih l angsung ol eh masyarakat da n m erupakan uns ur pe nting da lam memberikan pengaruh untuk aktif datang ke posyandu lansia.

2.4 Partisipasi Masyarakat

2.4.1 Pengertian partisipasi Masyarakat

Partisipasi m asyarakat ad alah i kut s ertanya s eluruh an ggota masyarakat d alam m emecahkan s egala p ermasalahan yang ad a d i masyarakakat. P artisipasi m asyarakat d ibidang k esehatan b erarti keikutsertaan s eluruh anggota m asyarakat d an be rupaya unt uk memecahkan m asalah k esehatan yang d ihadapi o leh m ereka s endiri dalam h al me nyelesaikan ma salah d imulai d ari me mikirkan, merencanakan, melaksanakan sampai mengevaluasi program kesehatan yang mereka jalankan. Institusi kesehatan sekedar sebagai pembimbing dan memotivasi (Notoadmojo, 2011).

(29)

Partisipasi setiap anggota masyarakat dituntut suatu konstribusi, konstribusi tersebut bukan hanya berbatas pada dana dan finansial saja, tetapi b erupa d aya (tenaga) d an i de ( pemikiran). H al t ersebut diwujudkan d alam 4 M , yaitu manpower (tenaga), money (uang),

material dan mind (ide atau gagasan)

Kontribusi

Gambar 2.2 Kontribusi dan Partisipasi (Notoatmodjo, 2011)

2.4.2 Dasar filosofi partisipasi masyarakat

Partisipasi m asyarakat d apat m enciptakan fasilitas d an t enaga kesehatan. Program kesehatan dan pelayanan kesehatan yang diciptakan dengan ad anya p artisipasi m asyarakat d idasarkan k epada i dealisme (Notoatmodjo, 2013) :

1. Community felt need

Pelayanan kesehatan dibutuhkan masyarakat berarti pelayanan atau program itu d i c iptakan o leh ma syarakat itu s endiri. Berarti pelayanan kesehatan diperlukan masyarakat dan untuk masyarakat. 2. Organisasi p elayanan a tau program k esehatan m asyarakat yang

berdasarkan p artisipasi m asyarakat ad alah s alah s atu b entuk pengorganisasian m asyarakat, h al i ni b erarti f asilitas p elayanan kesehatan itu datang dari masyarakat itu sendiri.

M anpower M oney M aterial M ind/ideas

Program

(30)

3. Pelayanan kesehatan tersebut akan dilaksankan atau dikerjakan oleh masyarakat s endiri, b erarti p etugas d an p enyelenggara k egiatan adalah m asyarakat i tu s endiri s ecara s ukarela, d ibawah b imbingan petugas kesehatan setempat.

2.4.3 Metode partisipasi masyarakat

Cara yang d apat d ilakukan u ntuk m engajak at au menumbuhkan partisipasi masyarakat, ada dua :

1. Partisipasi dengan paksaan (Enforcement participation)

Artinya m emaksa m asyarakat unt uk be rkontribusi da lam s uatu program melalui perundang-undangan, peraturan dan perintah lisan, cara i ni ak an cep at b erhasil d an m udah di lakukan, t etapi be refek tidak baik terhadap masyarakat dan berakibat masyarakat tidak akan mempunyai rasa m emiliki t erhadap pr ogram di karenakan masyarakat m erasa t akut, t erpaksa d an k aget, k arna b ukan berdasarkan kesadaran (awarenees) tetapi ketakutan.

2. Partisipasi dengan edukasi dan persuasi

Yaitu p artisipasi yang d idasari o leh p ada k esadaran, t etapi b utuh waktu yang lama, sukar ditumbuhkan. Tetapi bila tercapai hasilnya masyarakat ak an m erasa m emiliki d an r asa p emeliharaan. P roses partisipasi ini di mulai dengan penerangan, penyuluhan, pendidikan baik secara langsug dan tidak langsung (Notoatmodjo, 2012).

2.4.4 Elemen partisipasi masyarakat

(31)

1. Motivasi

Persyaratan untuk masyarakat berpartisipasi adalah motivasi. Tanpa motivasi ma syarakat s ulit u ntuk b erpartisipasi d i s egala p rogram. Timbulnya mo tivasi h arus d ari ma syarakat itu sendiri d an adanya pihak l uar yang m endukung. U ntuk i tu di perlukan pr omosi da n pendidikan kesehatan untuk memotivasi seseorang.

2. Komunikasi

Dalam kom unikasi yang b aik, a pabila ko munikasi i tu bi sa menyampaikan ide, pesan dan informasi kepada masyarakat. Media massa seperti t v, radio, koran, poster, film s ebagian sangat efektif untuk m enyampaikan p esan s ehingga m asyarakat t ermotivasi d an mau berpartisipasi.

3. Koperasi

Kerjasama d engan i nstansi d i l uar k esehatan m asyarakat d an instansi ke sehatan s endiri a dalah m utlak di perlukan. A danya kerjasama dan team work akan menumbuhkan partisipasi.

4. Mobilisasi

Partisipasi ad alah j uga s ebagai gerakan m asyarakat m enuju masyarakat s ehat. P artisipasi m asyarakat d apat d i m ulai s eawal mungkin s ampai a khir da n i dentifikasi m asalah, m enentukan prioritas, p erencanaan p rogram, p elaksanaan s ampai d engan monitoring pr ogram. T idak ha nya t erbatas pa da bi dang k esehatan saja, melainkan bersifat multidisiplin (Notoatmodjo, 2012).

(32)

Departemen Kesehatan (1999) memberi pemahaman tentang pemberdayaan m asyarakat ad alah s egala u paya fasilitasi yang bersifat non i nstruktif g una m eningkatkan pengetahuan da n kemampuan m asyarakat a gar ma mpu me ngidentifikasi ma salah, merencanakan d an m elakukan p emecahan masalah d engan memanfaatkan p otensi d an f asilitas yang ad a d itempat, b aik d ari instansi lintas sektoral maupun LSM dan tokoh masyarakat.

Pemberdayaan m asyarakat ak an m enghasilkan k emandirian masyarakat. P emberdayaan m asyarakat m erupakan p roses, sedangkan ke mandirian m asyarakat m erupakan ha silnya. Kemandirian m asyarkat m asyarakat ap at d iartikan s egai kemampuan u ntuk d apat m engidentifikasi m asalah, m erencanakan dan m elakukan p emecahannya d engan m emanfaatkan p otensi setempat, tanpa bergantung pada bantuan dari luar.

Dengan l andasan t eori dari D epartemen K esehatan ( 1999), disusun prinsip dan cirri pemberdayaan masyarakat yang terdiri dari 8 prinsip yaitu:

1. Menumbuh ke mbangkan pot ensi m asyarakat yaitu : s egala potensi masyarakat ditumbuhkan atau dikembangkan seoptimal mungkin u ntuk m engatasi m asalah k esehatan, m emelihara d an meningkatkan s tatus k esehatan m asyarakat. Bantuan d ari l uar, bersifat s ebagai s timulant unt uk m enumbuhkan pot ensi masyarakat.

(33)

2. Kontribusi m asyarakat dalam pe mbangunan k esehatan yaitu : pemberdayaan m asyarakat, be rprinsip m eningkatkan kont ribusi masyarkat d alam p embangunan k esehatan, b aik s ecara kuantitatif ma upun k ualitatif. S ecara k uantitaf b erarti s emakin banyak masyarakat yang berkiprah dibidang pelayana kesehatan, semakin b anyak m ayarakat yang m emanfatkan p elayanan kesehatan, penerima penyuluhan kesehatan untuk tetap menjaga kesehatan. S ecara k ualitatif, b erarti an ggota m asyarakat b ukan hanya memanfaatkan pelayanan saja, tetapi juga ikut berkiprah melakukan penyuluhan,ikut menjadi kader.

3. Mengembangkan gotong royong yaitu : pengembangan potensi masyarakat me lalui f asilitasi d an mo tivasi d iupayakan a gar selalu be rpegang t eguh pa da pr insip m emperkuat da n mengembangkan budaya “gotong royong”, berat sama di pikul, ringan s ama d ijinjing, yang te lah m embudaya dikalangan masyarakat.

4. Bekerja bersama masyarakat yaitu : bekerja untuk dan bersama masyarakat, k arena d engan k ebersamaan i nilah t erjadi p roses fasilitasi, motivasi, alih pengetahuan dan alih keterampilan dari petugas ke pada ka der pa da khus usnya, da n m asyarakat pa da umumnya.

5. KIE b erbasis m asyarakat : m odel K IE yang dikembangkan adalah konv ensional ha rus di gunakan pul a pa da pr insip K IE

(34)

berbasis m asyarakat. P rinsipnya ad alah s ebanyak m ungkin menggunakan da n m emanfaatkan pot ensi l ocal. B ila m ungkin gunakan penyuluh local.

6. Kemitraan d engan LSM d an o rmas l ain : k emitraan an tara pemerintah, LSM ( lembaga s wadaya m asyarakat), o rmas (organisasi k emasyarakat) d an b erbagai k elompok or ganisasi masyarakat l ainnya ak an m emudahkan k erjasama d i l apangan, sehingga potensi bisa dimanfaatkan secara optimal.

7. Desentralisasi yaitu : u paya p emberdayaan m asyarakat s angat berkaitan de ngan kul tur buda ya s etempat, s egala be ntuk pengambilan keputusan harus diserahkan ke tingkat operasional agar tetap sesuai dengan kultur budaya setempat

2.4.5 Ciri pemberdayaan masyarakat

Sebuah kegiatan d ikategorikan k e d alam p emberdayaan m asyarakat bila k egiatan te rsebut bersifat f asilitatif n on in struktif d an dapat memperkuat, meningkatkan atau mengembangkan potensi masyarakat setempat, g una m encapai t ujuan yang di harapkan. P otensi s etempat tersebut dapat berupa :

1. Community L eaders :para p emimpin ma syarakat b aik f ormal

maupun informal, tokoh masyarakat, kader dll

2. Community or ganizations : organisasi, l embaga, ke lompok

masyarakat.

(35)

4. Community material : sarana masyarakat

5. Community knowledge :pengetahuan masyarakat

Agar masyarakat menjadi peduli kepada orangtua yang berada di lingkungannya, m aka harus diberi p engetahuan b agaimana merawat, m enyantuni lahir d an b atin l anjut u sia. P embekalan kepada anggota m asyarakat i ni ad alah s ebagai salah s atu kunci keberhasilan g erakan n asional pemberdayaan dalam u paya meningkatkan k esejahteraan lanjut usia. Dengan di berikannya pengetahuan b agaimana merawat l anjut u sia, diharapkan ak an banyak relawan yang peduli terhadap lanjut usia (Martono, 2008)

6. Community t echnology : teknologi m asyarakat, t eknologi t epat

guna t ermasuk c ara b erinteraksi m asyarakat s etempat s ecara cultural.

7. Community de cision m aking : pengambilan keputusan ol eh

masyarakat m elalui p roses m enemukan m asalah, m erencanakan dan melakukan pemecahannya.

2.5 Konsep Perilaku

2.5.1 Pengertian perilaku

Perilaku merupakan respon at au r eaksi s eseorang t erhadap s timulus (rangsangan dari luar). Oleh karna itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon ( Skinner, 1938) da n de finisi l ain da ri pe rilaku a dalah s uatu kegiatan atau ak tivitas o rganisme ( mahluk hi dup) yang b ersangkutan.

(36)

Sehingga yang dimaksud dengan prilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas d ari ma nnusia itu s endiri, b aik yang d apat d iamati s ecara langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.

2.5.2 Jenis perilaku

Perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tertutup. Respon atau r eaksi t erhadap s timulus i ni m asih t erbatas p ada p erhatian, persepsi pe ngetahuan/kesadaran, d an s ikap yang t erjadi pa da or ang yang m enerima s timulus te rsebut, d an b elum d apat d iamati s ecara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respon s esorang t erhadap s timulus da lam be ntuk t indakan n yata dan t erbuka. R espon t erhadap s timulus t ersebut sudah j elas da lam bentuk tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat o leh o rang la in Benyamin B loom ( 1908) dalam (Notoatmodjo, 2012).

2.5.3 Domain perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor yang membedakan respon terhadap stimulus

(37)

yang berbeda disebut dengan determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Determinan a tau f aktor i nternal, yaitu ka rakteristik or ang yang bersangkutan, yang b ersifat b awaan, s eperti t ingkat k ecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin.

2. Determinan atau faktor eksternal, yaitu lingkungan baik lingkungan fisik, sosial, buda ya, ekonomi, pol itik. Faktor l ingkungan i ni yang paling mendominan perilaku seseorang.

Benyamin B loom ( 1908) s eorang a hli ps ikologi pe ndidikan membagi p erilaku ma nusia k e d alam tig a d omain yaitu k ognitif

(cognitive), a fektif (affective), da n ps ikomotor (psychomotor).

Perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yaitu :

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan m erupakan ha sil da ri t ahu, da n i ni t erjadi setelah s eseorang m elakukan pe nginderaan t erhadap s uatu obj ek tertentu. P engetahuan atau r anah ko gnitif m erupakan dom ain yang sangat p enting d alam m embentuk t indakan s eseorang (overt

behavior).

Tingkat pengetahuan di da lam dom ain kog nitif m empunyai e nam tingkatan yaitu :

(38)

Tahu d iartikan s ebagai p engingat s uatu m ateri yang t elah dipelajari s ebelumnya. Termasuk k edalam p engetahuan t ingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh b ahan yang d ipelajari at au r angsangan yang t elah diterima. M aka t ahu i tu m erupakan t ingkat p engetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (comprehension)

Memahami di artikan s ebagai s uatu ke mampuan unt uk menjelaskan s ecara b enar tentang obj ek yang diketahui, da n dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar

3. Aplikasi (aplication)

Kemampuan unt uk m enggunakan m ateri yang t elah di pelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4. Analisis (analysis)

Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Menunjuk ke pada s uatu ke mampuan unt uk meletakkan atau menghubungkan ba gian-bagian k edalam s uatu be ntuk keseluruhan yang b aru. Dengan k ata l ain s intesis ad alah s uatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.

(39)

6. Evaluasi (evaluation)

Berkaitan de ngan ke mampuan unt uk m elakukan j ustifikasi a tau penilaian t erhadap s uatu m ateri at au obj ek. P enilaian i ni didasarkan p ada s uatu kriteria yang di tentukan s endiri, a tau menggunakan kriteria yang telah ada.

2. Sikap (attitude)

Sikap m erupakan reaksi a tau r espon yang m asih t ertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manisfastasi sikap itu t idak da pat l angsung di lihat, t etapi ha nya da pat di tafsirkan terlebih dahulu dari prilaku yang tertutup. Sikap menurut Newcomb bahwa k esiapan a tau ke sedian unt uk be rtindak, da n buk an merupakan p elaksanaan m otif t ertentu. S ikap be lum merupakan suatu t indakan a tau a ktifitas, a kan t etapi m erupakan pr edisposisi tindakan suatu perilaku.

Allport da lam H alim ( 1979) be rpendapat ba hwa s ikap adalah k esiapan m ental d an saraf, yang terbentuk m elalui pengalaman, yang m emberikan ar ah at au p engaruh yang dinamis kepada r eaksi s eseorang t erhadap s emua o bjek dan k eadaan yang menyangkut sikap itu.

Fishman dalam Sumarsono dan Partana (2004) memandang bahwa sikap sebagai suatu keadaan kesiapan mental, suatu variabel antara yang me njembatani s uatu s timulus tertentu pada s eseorang dengan respon terhadap stimulus itu. Dari berbagai pendapat tersebut

(40)

dapat di simpulkan ba hwa s ikap a dalah s uatu pe rilaku yang dipertimbangkan sebagai suatu keadaan internal diri seseorang yang timbul karena adanya stimulus dan menimbulkan respon seseorang.

Dari d efinisi itu k ita me ngetahui, s ikap timbul ma nakala terdapat s uatu s timulus, da n s ikap i tu m encakup pe ngetahuan a tau kekayaan mental t erhadap s esuatu, as pek r asa d an p andangan seseorang terhadap sesuatu.

a. Komponen pokok sikap

Sikap m anusia b ermacam-macam. M enurut A zwar ( 2000) komponen s ikap terdiri atas t iga ha l yaitu kom ponen kognitif,

afektif, dan konatif (perilaku).

1. Komponen Kognitif

Komponen kog nitif m enyangkut pe ngetahuan m engenai a lam sekitar d an gagasan yang b iasanya merupakan ka tegori yang dipakai da lam pr oses berpikir. M isalnya, da lam hubungan dengan ke adaan ke bahasaan di Indonesia, kom ponen ko gnitif menyangkut pengetahuan ki ta m engenai ba hasa-bahasa y ang terdapat atau di pergunakan di Indonesia dan pe nggolongan bahasa-bahasa i tu m enjadi b ahasa Indonesia, b ahasa d aerah, dan bahasa asing.

2. Komponen Afektif

Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan perasaan yang menyangkut masalah emosional

(41)

subjektif. K omponen a fektif m enyangkut ni lai r asa baik atau

tidak bai k, suka atau tidak s uka terhadap s esuatu. A pabila

seseorang memiliki rasa baik atau suka terhadap sesuatu berarti memiliki sikap p ositif terhadap s esuatu t ersebut. M isalnya seseorang yang menyukai bahasa Jawa itu artinya dia memiliki sikap yang positif terhadap bahasa Jawa.

Sebaliknya ap abila s eseorang k urang s uka t erhadap bahasa Jawa, maka dia memiliki sikap negatif terhadap bahasa Jawa. K omponen afektif i tu pa da um umnya t ertanam s ejak lama d an m erupakan s alah s atu aspek d ari s ikap yang paling bertahan l ama. N amun s ebaliknya, ap abila s eseorang mempunyai r asa tidak s uka atau tidak bai k terhadap s esuatu, maka ia mempunyai sikap negatif terhadap sesuatu tersebut. 3. Komponen Konatif / perilaku

Komponen kona tif/perilaku menunjukkan ba gaimana perilaku atau kecenderungan b erperilaku yang a da da lam di ri seseorang be rkaitan de ngan obj ek s ikap yang di hadapinya. Kaitan i ni d idasari o leh as umsi b ahwa k epercayaan d an perasaan banyak mempengaruhi pe rilaku. Dengan ka ta l ain, konatif m enyangkut ke cenderungan seseorang u ntuk be rbuat atau bereaksi dengan cara tertentu terhadap suatu keadaan.

Komponen kona tif m eliputi be ntuk pe rilaku yang t idak hanya dapat dilihat secara langsung saja, akan tetapi meliputi

(42)

pula be ntuk-bentuk pe rilaku yang b erupa p ernyataan atau perkataan yang diucapkan seseorang. Misalnya seseorang yang mempunyai s ikap positif te rhadap mo de r ambut r emaja ma sa kini t idak ha rus di cerminkan ol eh i kut sertanya ia m emotong rambut m enurut m ode r emaja m asa ki ni. A kan t etapi d apat disimpulkan d ari p ernyataan yang m engatakan b ahwa i a m au memotong rambutnya menurut model tersebut.

b. Berbagai tingkatan sikap

Seperti h alnya d engan p engetahuan, s ikap i ni t erdiri d ari berbagai tingkatan yaitu :

1. Menerima (Reveiving)

Menerima d iartikan b ahwa orang ( subjek) m au da n memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding)

Memberikan j awaban apabila d itanya, m engerjakan, d an menyelesaikan t ugas yang di berikan a dalah s uatu i ndikasi dari s ikap, ka rena de ngan s uatu us aha unt uk menjawab pertanyaan at au m engerjakan t ugas yang d iberikan, t erlepas dari p ekerjaan i tu b enar at au s alah, ad alah b erarti b ahwa orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu m asalah ad alah suatu i ndikasi s ikap t ingkat t iga.

(43)

Seorang lansia yang mengajak tetangga nya untuk mengikuti kegiatan di posyandu l ansia de ngan m aksud unt uk memeriksakan kesehatan mereka di posyandu lansia.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan s egala r esiko m erupakan s ikap ya g pa ling t inggi. Misalnya seorang lansia yang menjadi kader dalam kegiatan posyandu lansia meskipun lansia tersebut memiliki pekerjaan lainnya di luar posyandu lansia.

3. Praktik atau tindakan (Practice)

Suatu s ikap be lum ot omatis t erwujud da lam s uatu t indakan (overt

behavior). U ntuk m ewujudkan s ikap da lam s uatu pe rbuatan n yata

diperlukan f aktor p endukung a tau s uatu kondi si yang memungkinkan, antara lain a dalah fasilitas da n j uga di perlukan faktor dukun gan (support) dari pi hak l ain. D an pr aktik i ni mempunyai beberapa tingkatan yaitu :

1. Respon terpimpin (guided response)

Dapat melalkukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai de ngan c ontoh m erupakan i ndikator pr aktik t ingkat pertama.

(44)

2. Mekanisme (mecanism)

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu i tu sudah m erupakan kebiasaan, m aka i a sudah mencapai praktik tingkat kedua.

3. Adopsi (adoption)

Adopsi a dalah s uatu pr aktik a tau t indakan yang s udah berkembang de ngan b aik. A rtinya t indakan i tu s udah di modifikasikannya t anpa m engurangi k ebenaran t indakan tersebut. Pengukuran prilaku dapat dapat dilakukan secara tidak langsung yakni d engan w awancara t erhadap k egiatan-kegiatan yang t elah di lakukan. P engukuran j uga da pat di l akukan s ecara langsung, yakni de ngan m engobservasi t indakan da n kegiatan responden. P engukuran pr aktik j uga da pat di ukur da ri ha sil prilaku tersebut.

2.6 Theory Social determinant of health

Beberapa t eori da pat digunakan unt uk m enganalisis f aktor determinan dari partisipasi lansia. Salah satunya adalah Social Determinant

of H ealth (SDH). T eori S DH yang di kemukakan ol eh M armot. M da n

Wilkinson. R , ( 2003), ba hwa S DH m erupakan faktor s osial yang p aling dominan dalam mempengaruhi kesehatan perseorangan. Ada 10 faktor yang disebutkan da lam t eori tersebut yakni t ingkatan s osial, s tres, ke hidupan

(45)

awal, pe ngucilan s osial, pe kerjaan, p engangguran, dukun gan s osial, ketagihan, makanan, dan transportasi.

Penjabaran d ari t eori Social D eterminant o f H ealth (SDH) y ang terkait dengan penelitian yaitu:

1. Tingkatan s osial yang d imaksud a dalah be rkaitan de ngan kondi si sosial e konomi yang mempengaruhi k esehatan. Y akni t entang kaya, m iskin, s ejahtera, t idak s ejahtera. Marmot, (2003) menyebutkan bahwa tingkatan sosial individu yang tinggi memiliki risiko l ebih r endah untuk m engalami s akit da n ke matian dibandingkan dengan individu dengan tingkat sosial rendah. Lansia yang me ngalami s akit akan me mpengaruhi tin gkat p artisipasi, Tetapi p ada ma salah tin gkatan s osial p ada la nsia tid ak d iteliti karena keterbatasan penelitian dan membutuhkan waktu yang lama. 2. Stres m erupakan b agian d ari s osial d eterminan k esehatan. P ada lansia, s tres s angat dipengaruhi ol eh ke adaan s osial da n kejiwaannya. P ada pe nelitian i ni t idak a kan di lakukan a nalisis terhadap hubun gan a ntara stres d engan pa rtisipasi l ansia. Stres di sini m embahas m engenai m asalah k eadaan seseorang t erkait pekerjaannya, d imana d engan ad a t idaknya p ekerjaan mengakibatkan stres, tetapi stres berat dialami oleh seseorang yang tidak me miliki p ekerjaan. Hal i tu di karenakan p emeriksaan s tress memiliki cara pengukuran tersendiri dan membutuhkan waktu yang lama.

(46)

3. Kehidupan a wal m erupakan s alah s atu f aktor d eterminan d ari kesehatan i ndividu. D iawali de ngan a danya dukung an da ri orangtua t entang p endidikan d an k esehatan an aknya. P ada l ansia, kehidupan a wal m erupakan ke hidupan yang dimulai s ejak di a berada dalam kandungan. Berkaitan dengan nutrisi yang diberikan saat dia tumbuh dan pendidikan yang diberikan orangtua padanya. Marmot, 2006 t entang determinan s osial ke sehatan pa da l ansia, menyebutkan ba hwa p endidikan m erupakan s alah s atu f aktor determinan yang mempengaruhi lansia dalam kesehatannya, karena dengan pe ndidikan yang di p eroleh m aka akan m empengaruhi pengetahuan dari lansia.

4. Faktor p engucilan sosial yang di maksud ol eh M armot, 2003 berkaitan de ngan nor ma, d iskriminasi, stigma ma syarakat yang menganggap l ansia s udah t idak pr oduktif l agi dan m enganggpa sebagai b eban d i m asyarakat, kebencian, da n pe ngangguran. Pengucilan s osial m enghalangi s eseorang u ntuk b erpartisipasi dalam s uatu pe ndidikan, pe latihan, m aupun m endapatkan a kses kesehatan. Diskriminasi la nsia te rjadi d ikarenakan s tatus pendidikan rendah/buta huruf, berpengaruh pada kepercayaan di ri dan perilaku lansia, lansia tidak memiliki daya upaya, lansia akan merasa d irinya m emang w arga m asyarakat yang d ependen d an tidak dapat memberikan kontribusi apa-apa. Pengucilan sosial erat kaitannya dengan cara b ersosialisasi lansia dengan lansia lainnya.

(47)

Sehingga, s emakin erat sosialisasi yang d ibentuk o leh s eseorang, maka partisipasi lansia ke pos yandu semakin t inggi. Diskriminasi usia s angat s ulit di ukur. H anya a da s edikit pe nelitian yang dilakukan mengenai diskriminasi usia dan sulit.

5. sosial d ari k esehatan adalah p ekerjaan. P ekerjaan d isini e rat kaitannya d engan s tres, d itempat k erja yang m enyebabkan terjadinya p enyakit p ada s eseorang. Aktivitas adalah s alah s atu determinan s osial da ri ke sehatan. l ansia m erupakan ke lompok sumber da ya m anusia ( SDM) yang tidak pr oduktif (ketergantungan). K enyataannya m asih b anyak l ansia yang m asih produktif da n m ampu be rperan a ktif da lam ke hidupan bermasyarakat, b erbangsa, d an b ernegara, n amun k arena f aktor usia, tentunya lansia dihadapkan dengan keterbatasan. Berdasarkan kegiatan s ehari-hari, pe nduduk us ia ke rja t ermasuk j uga l ansia diklasifikasikan me njadi dua ke lompok, yaitu a ngkatan ke rja da n bukan a ngkatan ke rja. A ngkatan ke rja m erupakan ke lompok penduduk us ia ke rja yang aktif m elakukan k egiatan e konomi, mencakup mereka yang melakukan kegiatan bekerja/berusaha dan mereka yang aktif mencari pekerjaan/usaha. Sedangkan penduduk bukan a ngkatan ke rja m encakup m ereka yang s edang be rsekolah, mengurus rumah t angga da n m ereka yang m elakukan ke giatan lainnya s eperti p ensiun, pe nerima t ransfer/kiriman, pe nerima

(48)

deposito/bunga b ank, j ompo atau alasan yang l ain ( Profil lansia, 2009).

Berdasarkan hasil Sakernas Agustus 2009, ha mpir separuh (47,44 persen) lansia di Indonesia memiliki kegiatan utama bekerja dan s ebesar 0,41 pe rsen t ermasuk m enganggur/mencari ke rja, kemudian m engurus r umah t angga 27,88 pe rsen da n ke giatan lainnya sekitar 24,27 persen (BPS RI, 2009). Tingginya persentase lansia yang bekerja dapat dimaknai bahwa sebenarnya lansia masih mampu be kerja s ecara pr oduktif unt uk m embiayai ke hidupan rumah t angganya, na mun di sisi lain m engindikasikan ba hwa tingkat kesejahteraan lansia masih rendah, sehingga meskipun usia sudah l anjut, l ansia t erpaksa be kerja unt uk m embiayai ke hidupan rumah t angganya. B erdasarkan ha sil s tudi l ansia t ahun 2008, tingginya pa rtisipasi pe nduduk l ansia yang b ekerja, a ntara l ain karena k ebutuhan e konomi r umah t angga, m emanfaatkan w aktu luang, da n m enjaga k esehatan (Komnas Lansia, 2010) . Aktivitas memiliki hubungan dengan partisipasi lansia ke posyandu. Hal ini sesuai de ngan pe nelitian M enurut pe nelitian F ahrun dkk (2009) faktor yang mempengaruhi kunjungan lansia ke posyandu lansia di RW 7 K elurahan W onokusumo K ecamatan S emampir S urabaya adalah pekerjaan, pendapatan, tingkat pengetahuan dan pola tempat tinggal. Pengaruh pekerjaan dengan kunjungan lansia ke posyandu adalah 69,3% ibu rumah tangga dan 6,6% wiraswata dan PNS.

(49)

6. Pengangguran merupakan keadaaan individu yang tanpa pekerjaan atau an gkatan k erja yang s ama s ekali t idak b ekerja d an m encari pekerjaan ( Buletin l ansia, 2009) . Lansia pe ngangguran akan menimbulkan ke sakitan da n ke matian yang cepat. M armot, 2003, menjelaskan b ahwa p engangguran b erkaitan d engan ad anya peningkatan d epresi d an s tres. P enelitian i ni tidak m elakukan research t erhadap t ingkat s tres da ri l ansia. D engan kondi si l ansia yang t idak s ehat m aka a kan m empengaruhi t ingkat pa rtisipasi lansia.

7. Dukungan s osial j uga merupakan s alah s atu f aktor de terminan sosial dari kesehatan. Berdasarkan studi awal yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa dukungan sosial mempengaruhi partisipasi lansia ke pos yandu. Dukungan s osial yang di maksud t erdiri da ri dukungan kader, petugas kesehatan, tetangga, keluarga, teman, dan tokoh tokoh masyarakat dan agama. Ditambahakan teori dukungan sosial m odifikasi T aylor ( 2009), dukun gan s osial t erdiri da ri 5 bentuk e mosional, i nformasional, i nstrumental dan ap praisal d an kelompok s osial, da pat di rinci s ebagai b erikut ( a) D ukungan emosional A spek i ni m elibatkan ke kuatan j asmani da n ke inginan untuk pe rcaya p ada or ang l ain s ehingga i ndividu yang bersangkutan m enjadi yakin b ahwa o rang l ain t ersebut m ampu memberikan cinta da n kasih s ayang ke padanya. D ukungan i ni mencakup un gkapan e mpati, ke pedulian d an perhatian t erhadap

(50)

individu, s ehingga i ndividu t ersebut m erasa n yaman, di cintai da n diperhatikan. B eberapa h al yang t ermasuk i nteraksi yang mendukung a dalah m endengarkan de ngan penuh pe rhatian, merefleksikan p ernyataan s ubjek, m enawarkan s impati d an menyakinkan k embali, m embagi pe ngalaman pr ibadi d an menghindari konflik, (b) Dukungan Instrumental aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk mempermudah atau menolong orang lain sebagai c ontohnya a dalah pe ralatan, pe rlengkapan, da n s arana pendukung l ain da n t ermasuk di dalamnya m emberikan pe luang waktu untuk memberikan bantuan langsung. Dukungan ini dikenal juga d engan i stilah dukung an pe rtolongan, duk ungan n yata a tau dukungan m aterial, ( c) D ukungan Informatif, aspek i ni b erupa pemberian i nformasi unt uk m engatasi m asalah. Aspek i nformatif ini terdiri dari pemberian nasehat, pengarahan, dan keterangan lain yang di butuhkan ol eh i ndividu yang be rsangkutan, s ehingga individu dapat mengatasi masalahnya dan m encoba mencari jalan keluar unt uk m emecahkan m asalahnya, ( d) D ukungan pe nilaian / penghargaan, aspek i ni terdiri a tas dukun gan p eran s osial yang meliputi um pan ba lik, pe rbandingan s osial, da n a firmasi (persetujuan). P emberian dukunga n i ni m embantu i ndividu unt uk melihat segi positif yang ada dalam dirinya dibandingkan dengan keadaan orang lain yang berfungsi untuk menambah penghargaan diri, m embentuk ke percayaan di ri da n k emampuan s erta m erasa

(51)

dihargai dan berguna saat individu mengalami tekanan. Dukungan sosial da lam be ntuk p enilaian yang pos itif dapat m embantu individu da lam m engembangkan ke pribadian dan m eningkatkan identitas di ri, ( e) K elompok s osial, be ntuk d ukungan i ni a kan membuat i ndividu merasa a nggota da ri s uatu ke lompok y ang memiliki kesamaan minat dan aktifitas sosial dengannya. Dengan begitu individu akan merasa memiliki teman senasib.

8. Kecanduan a tau ke tagihan yang di maksud ol eh M armot, 2003 adalah b erkaitan d engan a lkohol, oba t-obatan, t embakau, da n menderita k arena pe nggunaannya. D isebutkan p ula ba hwa ha l i tu bisa t erjadi k arena ad anya p engaruh d ari l ingkungan s osial. Kecanduan tembakau atau perokok bisa terjadi pada lansia. Namun pada pe nelitian i ni t idak m enjelaskan t entang hubung an p erokok dengan kesehatan lansia.

9. Makanan yang di maksud ol eh M armot, 2003, adalah be rkaitan dengan diet untuk menjaga kesehatan dan menghindari terjadinya mal nut risi. B erdasarkan s tudi a wal yang telah di lakukan, didapatkan ha sil ba hwa pos yandu l ansia m elaksanakan k egiatan yang disebut pemberian makanan tambahan (PMT). PMT diberikan dalam upaya menjaga kelangsungan kesehatan lansia yang hadir ke posyandu. P enelitian i ni t idak m elakukan research mengenai d iet gizi. H al i tu di karenakan pe nelitian i ni l ebih di tekankan pa da

(52)

menganalisis hubungan dari sebuah teori dengan partisipasi lansia ke posyandu.

10. Faktor l ain d eterminan sosial d ari k esehatan ad alah t ransportasi. Kebijakan t ransportasi yang di sebutkan be rkaitan de ngan j arak yang di tempuh ol eh l ansia ke pos yandu unt uk berpartisipasi da n alat tr ansportasi itu s endiri. B erdasarkan h asil s tudi a wal d ari penelitian i ni, di sebutkan ba hwa t ransportasi berhubungan e rat dengan pa rtisipasi l ansia ke pos yandu. H al i ni s esuai de ngan penelitian J uniardi ( 2012) da lam pe nelitiannya t entang pa rtisipasi lansia m enyebutkan ba hwa f aktor yang m empengaruhi pa rtisipasi lansia adalah salah satunya yaitu pengetahuan lansia, jarak rumah dengan lokasi posyandu terhadap tingkat partisipasi.

2.7 Teori dukungan sosial

Dukungan sosial didefinisikan oleh Sheridan dan Radmacher (1992), Sarafino (1998) serta T aylor (2009), sebagai t ransaksi i nterpersonal yang m elibatkan satu at au l ebih as pek-aspek yang t erdiri da ri pe rhatian e mosional, b antuan instrumental, p emberian i nformasi, ad anya p enilaian at au p enghargaan d an kelompok sosial.

Sheridan da n R admacher ( 1992), Sarafino ( 1998) da n T aylor (2009), membagi dukungan sosial dalam lima bentuk, yaitu :

a. E mosional A spek i ni m elibatkan ke kuatan j asmani da n ke inginan unt uk percaya pa da or ang l ain s ehingga i ndividu yang be rsangkutan m enjadi

(53)

yakin b ahwa or ang l ain t ersebut m ampu m emberikan c inta da n k asih sayang kepadanya. Dukungan ini mencakup ungkapan empati, kepedulian dan pe rhatian t erhadap i ndividu, sehingga i ndividu t ersebut m erasa nyaman, dicintai dan di perhatikan. Beberapa hal yang t ermasuk interaksi yang mendukung adalah mendengarkan dengan penuh perhatian.

b. Instrumental Aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk mempermudah atau menolong orang lain sebagai contohnya adalah peralatan, perlengkapan, dan sarana pendukung lain dan termasuk didalamnya memberikan peluang waktu untuk m emberikan bantuan l angsung. Dukungan i ni d ikenal j uga d engan istilah dukungan pertolongan, dukungan nyata atau dukungan material.

c. Informatif

Aspek i ni be rupa pe mberian i nformasi unt uk m engatasi m asalah. Aspek informatif ini terdiri dari pemberian nasehat, pengarahan, dan keterangan lain yang dibutuhkan oleh individu yang bersangkutan, sehingga individu dapat mengatasi m asalahnya d an m encoba m encari j alan k eluar u ntuk memecahkan masalahnya.

d. Penilaian / Penghargaan

Aspek i ni t erdiri a tas dukungan pe ran s osial yang m eliputi um pan ba lik, perbandingan sosial, dan afirmasi (persetujuan). Pemberian dukungan ini membantu i ndividu unt uk m elihat s egi pos itif y ang ada da lam di rinya. Dukungan s osial da lam be ntuk pe nilaian yang pos itif da pat m embantu individu da lam m engembangkan ke pribadian da n m eningkatkan i dentitas diri.

(54)

e. Kelompok sosial

Bentuk dukun gan i ni a kan m embuat i ndividu m erasa a nggota da ri s uatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas sosial dengannya. Dengan begitu individu akan merasa memiliki teman senasib.

Dalam k aitannya d engan p eran s ebagai p emberi d ukungan, I fe dalam A di (2008), m elihat ba hwa s alah s atu p eran d ari pe mberdayaan masyarakat a dalah unt uk m enyediakan da n m engembangkan dukun gan terhadap warga yang mau terlibat dalam struktur dan aktivitas komunitas tersebut. D ukungan i tu s endiri t idak s elalu be rsifat e kstrinsik a taupun materil, te tapi d apat ju ga b ersifat in strinsik s eperti p ujian, p enghargaan dalam be ntuk ka ta-kata, a taupun s ikap d an pe rilaku yang m enunjukkan dukungan da ri pe laku perubahan t erhadap apa yang di lakukan ol eh masyarakat. S eperti m enyediakan w aktu ba gi lansia bila m ereka i ngin berbicara dengannya guna membahas permasalahan yang mereka hadapi.

2.7.1 Sumber dukungan sosial

Dukungan s osial da pat di penuhi da ri t eman atau pe rsahabatan, keluarga, dokter (petugas ke sehatan), ps ikolog, psikiater ( Sarafino,1998). Hal s enada j uga diungkapkan ol eh T aylor ( 2009), ba hwa dukunga n s osial bersumber dari orang yang memiliki hubungan berarti bagi individu seperti keluarga, teman dekat, pasangan hidup, rekan kerja, tetangga, dan saudara.

Gambar

Gambar 2.1 Struktur organisasi
Gambar 2.2 Kontribusi dan Partisipasi (Notoatmodjo, 2011)  2.4.2 Dasar filosofi partisipasi masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian dekokta eceng gondok ( E. crassipes ) pada dosis 200 mg/KgBB, 400 mg/KgBB dan 800 mg/KgBB dapat menurunkan kadar MDA ginjal dan persentase nekrosis sel

• Beberapa operasi dasar yang dilakukan oleh aplikasi database: – Menambah data – Membaca data – Mengubah data – Menghapus data 34 NTS/Basis Data/TI UAJM..

“Pengaruh Struktur Aktiva, Ukuran Perusahaan, Tingkat Pertumbuhan, Profitabilitas dan RisikoBisnis Terhadap Struktur Modal: Studi Empiris Pada Perusahaan Sektor

WTON memiliki indikator MACD , Stoc osc dan Rsi yang mengindikasikan pola uptrend, WTON berhasil menembus Resistance di level harga 960 sehingga terbuka peluang untuk

Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan umur, masa kerja, pengetahuan dan motivasi bidan dengan pelaksanaan program Inisiasi Menyusus Dini di

Semen Baturaja (Persero) Tbk. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survey konfirmatif bersifat verifikatif. Dan Pengaruh kompetensi terhadap kinerja

Kerawanan sedang, terdapat di 3 (tiga) kelurahan yang memiliki tingkat kerawanan sedang yaitu Keluarahan Boddia, Galesong Kota, dan Mappakalompo. Pada kawasan