• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP DASAR, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP DASAR, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP DASAR, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN

TERDAHULU

Pada bab sebelumnya telah dipaparkan latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan, pokok bahasan, dan tujuan serta manfaat penelitian ini. Selanjutnya, pada bab ini ada tiga bagian yang akan dijelaskan. Pertama, konsep dasar yang meliputi penerjemahan; konteks dan teks; dan tenor of discourse (pelibat). Kedua, landasan teori yang berhubungan dengan teori-teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini yang meliputi teori Penerjemahan Berdasarkan Makna (Meaning-Based Translation); teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF); teori Catford tentang Pergeseran (Shift); dan teori fungsi ujar menurut Abdul Chaer serta alasan memilih beberapa teori tersebut. Yang terakhir adalah mengenai kajian terdahulu meliputi penelitian-penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan topik penelitian ini.

2.1 Konsep Dasar

Ada beberapa konsep dasar yang berkaitan dengan pembahasan dalam tesis ini yang perlu diuraikan. Konsep-konsep dasar ini kemudian dijadikan sebagai definisi operasional yang merepresentasikan cakupan pembahasan. Di samping itu, konsep-konsep dasar yang diberikan akan dijadikan penegasan atas beberapa ide yang

(2)

berkaitan dengan penelitian dalam tesis ini. Konsep-konsep dasar yang dimaksud adalah (1) Teori penerjemahan; (2) konsep dan teks; dan (3) tenor of discourse (pelibat wacana).

2.1.1 Teori Penerjemahan

2.1.1.1 Defenisi Penerjemahan

Pada penelitian ini perlu dibedakan antara kata „translasi‟ dan „penerjemahan‟. Kata „penerjemahan‟ mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata „translasi‟ sebagai padanan kata translation artinya hasil dari suatu penerjemahan (Nababan, 2003:18). Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah translasi untuk hasil penerjemahan dan istilah penerjemahan untuk proses alih pesan dalam translasi.

Selanjutnya Machali (2000: 9) menyatakan bahwa pembedaan antara produk dan proses ini penting sekali dalam kegiatan penerjemahan. Apabila kita melihat penerjemahan sebagai proses, berarti kita meniti jalan yang dilalui oleh penerjemah untuk sampai pada hasil akhir. Hal ini berarti bahwa kita melihat tahap-tahap apa saja yang harus dilalui seorang penerjemah, prosedur apa yang dilaluinya, metode yang digunakan, dan mengapa ia memilih suatu istilah tertentu untuk menerjemahkan suatu konsep dan bukannya memilih istilah lain yang sama maknanya, dan sebagainya. Semuanya ini tentunya tidak diketahui oleh pembaca hasil terjemahan.

(3)

Menerjemahkan pada dasarnya adalah mengubah suatu bentuk menjadi bentuk lain (Larson, 1984:3). Dalam hal ini, bentuk lain yang dimaksud dapat berupa bentuk bahasa sumber atau bahasa sasaran. Misalnya jika kita menerjemahakan kata Indonesia (seterusnya Ind) saya ke dalam bahasa Ind, maka bentuk yang dapat dipakai untuk menerjemahkannya adalah aku. Selanjutnya jika kita menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris (seterusnya Ing) maka terjemahannya adalah I.

Contoh terjemahan kata saya di atas memperlihatkan bahwa menerjemahkan dapat dilakukan dalam bahasa yang sama (intralingual), misalnya dari bahasa Ind ke bahasa Ind, atau dari satu bahasa ke bahasa lain (interlingual), misalnya dari bahasa Ind ke bahasa Ing atau sebaliknya. Apabila kita ingin menerjemahkan teks dari bahasa Ind ke dalam bahasa Ing, maka dalam hal ini bahasa Ind disebut sebagai bahasa sumber (source language) (seterusnya disingkat dengan BSu) dan bahasa Ing disebut sebagai bahasa sasaran (target atau receptor language) (seterusnya disingkat dengan BSa). Sebaliknya bila kita berangkat dari bahasa Inggris, maka bahasa sumber kita adalah bahasa Ing dan bahasa sasaran kita yaitu bahasa Ind.

Dalam menerjemahkan, seseorang dituntut untuk memiliki penguasaan linguistik kedua bahasa yakni BSu dan BSa. Selain itu seorang penerjemah juga dituntut menguasai perbedaan dan persamaan budaya. Dengan kata lain, seorang penerjemah idealnya bukan hanya seorang yang bilingual tetapi juga bicultural (Lubis, 2009: 39).

(4)

Kemudian, ada paling sedikit empat kelompok besar aturan berbahasa yang perlu diperhatikan untuk mencapai kewajaran dalam penerjemahan, yaitu aturan gramatikal, aturan kolokasi, aturan fonologi, dan aturan tatakrama berbahasa. Di sini menerjemahkan dapat diartikan mengalihkan makna yang terdapat dalam BSu ke dalam BSa dan mewujudkannya kembali di dalam BSa dengan bentuk-bentuk yang sewajar mungkin menurut aturan-aturan yang berlaku dalam BSa. Jadi yang dialihkan adalah makna bukan bentuk. Contohnya terjemahan bahasa Ing Don’t mention it sebagai jawaban atas Thank you bukanlah jangan menyebutnya atau jangan

sebutkan itu, akan tetapi terima kasih kembali atau sama-sama. Kewajaran

menurut BSa harus diusahakan agar pembaca hasil terjemahan tidak menyadari bahwa dia sedang membaca suatu terjemahan. Jadi, teks terjemahan yang dibacanya itu aslinya seolah-olah ditulis di dalam BSa. Mengenai kewajaran bentuk terjemahan yang dimaksudkan di sini sesuai dengan kutipan dari Finlay dalam Simatupang (1999:3) berikut ini: “Ideally, the translation should give the sense of of the original

in such a way that the reader is unaware that he is reading a translation”.

Selanjutnya banyak pakar penerjemahan yang mengemukakan definisi penerjemahan, antara lain:

1. Nida dan Taber (1982:12) say that translating consists in reproducing in the

receptor language the closest natural equivalence of a source language message, firstly in terms of meaning and secondly in terms of style. Dalam hal ini, Nida dan

Taber menyatakan bahwa “menerjemahkan adalah proses untuk menghasilkan padanan alamai yang paling mendekati dari pesan bahasa sumber (BSu) ke dalam

(5)

bahasa sasaran (BSa), pertama pada tingkat makna dan kedua pada tingkat gaya. Menurut mereka penerjemah harus menggunakan padanan alami terdekat baik dalam arti maupun dalam gaya bahasa penerima. Dengan kata lain, hasil terjemahan jangan sampai terdengar seperti terjemahan, tetapi juga tidak melenceng dari makna bahasa sumber (BSu)

2. Catford (1965:20) states that translation may be defined as follows: the

replacement of textual material in one language (Source Language) by equivalent textual material in another language (Target Language). Di sini Catford

menyatakan bahwa translasi (penerjemahan) dapat didefinisikan sebagai penggantian bahan tekstual dalam satu bahasa (bahasa sumber/BSu) dengan bahan tekstual bahasa lain (bahasa sasaran/BSa) yang sepadan.

3. Larson (1984: 3) says that translation consists of translating the meaning of the

source language into the receptor language. This is done by going from the form

of the first language to the form of a second language by way of semantic structure. It is meaning which is being transferred and must be held constant. Only the form changes. Larson dalam hal ini menyatakan bahwa “penerjemahan meliputi kegiatan menerjemahkan BSu ke dalam BSa, yaitu dimulai dari bentuk bahasa pertama menuju bentuk bahasa kedua dengan menggunakan struktur semantik. Dalam hal ini, maknalah yang dialihkan dan harus dipegang teguh. Hanya bentuknya yang berubah”.

4. Newmark (1981: 7) says that translation is a craft consisting in the attempt to

(6)

and/or statement in another language. Di sini menurut Newmark “terjemahan yaitu

suatu keahlian yang meliputi usaha mengganti pesan atau pernyataan tertulis dalam suatu bahasa dengan pesan atau pernyataan yang sama dalam bahasa lain”.

5. Brislin (1976), translation is the general term referring to the transfer of thoughts

and ideas from one language (source) to another (target), whether the languages are in written or oral form; whether the languages have established ortographies or do not have such standardization or whether one or both languages is based on signs, as with sign languages of the deaf. Dalam hal ini Brislin mengemukakan

bahwa “Terjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada pengalihan pikiran dan ide dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, baik bahasa tulis atau lisan;baik salah satu atau keduanya membentuk ortografi atau tidak mempunyai standar seperti itu; atau baik salah satu atau keduanya berbentuk tanda, seperti bahasa orang tuli.”

2.1.1.2 Kesepadanan dalam Penerjemahan

Konsep kesepadanan dalam penerjemahan telah banyak diperbincangkan oleh pakar Konsep kesepadanan yang lebih terperinci dikemukakan oleh Baker (1992). Dia melihat pengertian kesepadanan dalam berbagai tataran dan hubungannya dengan proses penerjemahan. Baker (1992), menjelaskan bahwa kesepadanan meliputi kesepadanan leksikal, gramatikal, tekstual, dan pragmatis.

Masalah kesepadanan juga terjadi pada tataran gramatikal karena setiap bahasa mempunyai kaidah gramatikal khas. Menurut Baker, perbedaan itu dapat

(7)

mengakibatkan perubahan bentuk pada saat pengalihan pesan. Perbedaan kaidah gramatikal terdapat dalam jumlah, gender, persona, kala, aspek, dan kalimat aktif-pasif. Oleh karena itu, kaidah gramatikal BSu tidak dapat dipaksakan ke dalam TSa. Jika tetap dipaksakan, terjemahannya menjadi tidak wajar dan pesan dalam Tsu tidak dapat dialihkan dengan baik ke dalam Tsa. Dalam contoh penerjemahan conflict

resolution menjadi resolusi konflik, struktur frasa MD dalam BSu disesuaikan dengan

struktur dalam BSa menjadi DM. Tidak hanya itu, pronomina he atau she dalam TSu diterjemahkan menjadi dia karena kaidah BSa tidak mengenal perbedaan gender.

Selain itu ada juga yang disebut dengan kesepadanan harfiah, idiomatis, kesepadanan leksikal dan kesepadanan makna. Kesepadanan harfiah yang dapat terlihat dalam penerjemahan harfiah yaitu penerjemahan yang lepas konteks. Dalam hal ini, unsur-unsur bahasa yang ada pada teks bahasa sumber (BSu) diterjemahkan tanpa mengaitkannya dengan konteks, dan mempertahankan struktur BSu. Kesepadanan Idiomatis yang kerap kali disamakan dengan jenis penerjemahan Idiomatis adalah penerjemahan yang terikat konteks. Seluruh unsur bahasa yang ada diterjemahkan berdasarkan makna pada konteksnya dengan mengacu pada bentuk atau struktur BSa. Penerjemahan jenis ini hampir sama dengan kesepadanan makna yang dikemukakan oleh Mildred Larson yang berlandaskan kepada tiga jenis makna seperti makna referensial, makna konteks linguistik, dan makna situasional. Sementara kesepadanan leksikal adalah jenis kesepadanan yang sulit atau bahkan tidak mungkin ditemukan dalam dua bahasa. Hal ini disebabkan karena bahasa

(8)

merupakan cerminan budaya dan budaya merupakan ciri pembeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lain (Galingging, 1999: 33).

2.1.1.3 Pergeseran dalam Penerjemahan

Konsep pergeseran yang dipakai dalam penelitian ini adalah konsep pergeseran menurut Catford karena dipandang konsep Catford dapat menjawab pergeseran-pergeseran yang muncul dalam penerjemahan tenor (pelibat wacana). Catford (1965:20) menegaskan konsep pergeseran bisa dilihat dari dua perspektif yang berbeda tentang translasi: (1) translasi sebagai produk, (2) translasi sebagai suatu proses. Sebagai produk, konsep pergeseran formal identik dengan konsep pergeseran yang mengacu pada suatu peristiwa atau keadaan di mana sebuah padanan di seleksi dari bahasa sasaran dalam proses penerjemahan tidak menunjukkan kesejajaran bentuk teks (unit, struktur, ataupun kelas) dalam bahasa sumber. Sebagai suatu proses, pengertian pergeseran formal sejajar dengan istilah transposisi (transposition) yang dikemukakan oleh Newmark (1988) yaitu suatu cara atau prosedur penerjemahan melalui perubahan bentuk gramatikal dari bahasa sumber ke dalam bahasa target.

Catford (1965:73-82) membedakan pergeseran dalam translasi ke dalam dua jenis sebagai-berikut.

(1) level shift yang muncul di permukaan dalam bentuk item bahasa sumber pada level linguistik tertentu mempunyai padanan dalam level yang berbeda. Misalnya, tataran gramatika berpadanan dengan leksis.

(9)

(2) category shift yaitu suatu istilah generik yang mengacu pada pergeseran yang mencakup empat kategori sebagai berikut:

a. structure-shifts, yakni pergeseran struktur yang menyangkut perubahan gramatikal antara struktur bahasa sumber dan sasaran.

b. class-shifts, yakni pergeseran kelas bila kata dalam bahasa sumber dipadankan dengan bahasa sasaran mempunyai kelas gramatikal yang berbeda.

c. unit-shifts, yakni pergeseran unit yang menyangkut perubahan „rank‟ misalnya dari kata diterjemahkan menjadi frasa.

d. intra-system-shifts, yakni pergeseran intra sistem yang terjadi bila secara formal bahasa sumber dan target mempunyai kondisi yang kelihatannya sejajar tetapi secara konstituen mempunyai perbedaan. Misalnya, bentuk tunggal dalam bahasa sumber menjadi bentuk jamak dalam bahasa sasaran.

2.1.1.4 Terjemahan Film Berbahasa Asing

Film menurut sumber data yang diperoleh dari internet adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar =

(10)

citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera (http://bahasfilmbareng.blogspot.com/).

Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. Kamera film menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat sensitif terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida yang telah terekspos cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan yang kurang atau sama sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama cairan pengembang.

Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.

Film atau dunia perfilman sangat berkembang pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya film yang beredar di masyarakat yakni baik film lokal maupun mancanegara (luar negeri). Film yang bermuatan luar negeri (mancanegara) seperti

(11)

film Amerika, Prancis, Korea, Jepang, dan sebagainya juga sudah banyak beredar di masyarakat dalam negeri (Indonesia). Hal ini disebabkan karena film-film tersebut sudah memiliki teks terjemahan atau yang kerap kali disebut sebagai subtitel (subtitle) dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, banyak film asing yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya.

Film yang berbahasa asing umumnya diterjemahkan dengan dua cara, yaitu dengan dubbing (sulih suara) dan dengan subtitling (teks terjemahan yang tertulis di layar bagian bawah) (http://wikipedia.com/). Dalam hal ini, dubbing atau sulih suara adalah penggantian dialog pada media audio visual dalam bahasa sumber dengan dialog lisan dalam bahasa sasaran yang memerlukan penyesuaian gerakan bibir, jeda pembicaraan serta gerakan non verbal yang ada pada gambar visual. Sedangkan subtitling adalah terjemahan dialog pada media audio visual dalam bentuk tertulis yang biasanya ditayangkan pada layar bagian bawah.

Membuat teks terjemahan film bukanlah pekerjaan yang mudah karena profesi ini tidak sekedar mengalihbahasakan melainkan juga menjembatani dua budaya yang berbeda. Penerjemah harus paham terhadap film dan konteks yang akan diterjemahkan. Selain itu, ada banyak aturan yang harus diperhatikan sehingga teks tidak mengurangi kenikmatan penonton yang menyaksikan sebuah tayangan. Di samping itu, prinsip subtitling adalah membantu penonton memahami isi film, bukanlah membuat penonton sibuk membaca. Oleh sebab itu, bahasa subtitling

(12)

haruslah merupakan bahasa yang singkat, padat, dan tepat sasaran (http//bahasfilmbareng.blogspot.com/).

2.1.2 Hubungan Konteks dan Teks dalam Penerjemahan

Dalam melakukan kegiatan penerjemahan, teori bahasa dan linguistik umum tentu akan selalu digunakan. Hal ini didasarkan atas pendapat yang dikemukan Catford (1965: 1) yang mengatakan bahwa: Translation is an operation performed on

languages: a process of substituting a text in one language for a text on another, translation must make use of a theory of language, general linguistic theory. Artinya

adalah bahwa translasi atau penerjemahan merupakan sebuah proses yang dilakukan pada bahasa: yaitu sebuah proses perubahan teks dalam satu bahasa menuju teks bahasa lain, translasi pasti menggunakan teori bahasa dan teori linguistik umum.

Sementara itu, Halliday dan Hassan dan sejumlah pakar lainnya yang dikutip dalam Choliludin (2005: 16-41) berkenaan dengan hal di atas menjabarkan tentang teks dan konteks, mengemukakan bahwa cara memahami bahasa terletak pada kajian sebuah teks yang memiliki konteks di dalamnya. Maka dalam proses yang sama, konteks dan teks adalah aspek. Gagasan tentang sesuatu yang menyertai teks yang melewati batas yang dikaitkan dan ditulis meliputi non-verbal lain yang muncul dalam lingkungan total yang diungkap. Maka lingkungan total berlaku sebagai penghubung antara teks dan situasi, yaitu tempat teks yang sebenarnya muncul dan ini disebut sebagai konteks situasi. Masalahnya adalah “apakah teks itu?” Halliday

(13)

dan Hassan (1985:13) secara sederhana mendefinisikan teks sebagai bahasa yang fungsional. Maksud fungsional di sini berarti bahasalah yang melakukan pekerjaan yang sama dalam suatu konteks dan bukan kata-kata atau kalimat yang terisolir yang mungkin dituliskan seseorang di atas papan tulis. Contoh bahasa sehari-hari yang memainkan peran yang sama dalam konteks situasi disebut teks. Teks tersebut bisa dalam bentuk teks lisan atau tulisan maupun dalam bentuk media ungkapan lainnya.

Oleh karena itu, sesorang tidak dapat begitu saja menganggap sebuah teori teks sebagai sebuah ekstensi teori gramatikal untuk menentukan jenis suatu teks. Menurut Halliday dan Hassan (1985: 14) karena hakekat teks sebagai entitas semantik, sebuah teks harus dipertimbangkan dari dua perspektif sekaligus, baik sebagai produk maupun sebagai sebuah proses.

Selain itu, teks menghasilkan sebuah makna yang berlaku sebagai hasil yang dapat direkam dan dipelajari dan memiliki konstruksi pasti yang dapat ditampilkan dalam bentuk sistematis. Selanjutnya, teks merupakan prosedur dalam substansi proses berkelanjutan yang mewakili lingkungan yang digunakan untuk perangkat berikutnya. Dengan demikian, perlulah memandang lebih jauh struktur, kata, dan teks sebagai proses dalam sebuah sistem yang menghubungkannya dengan bahasa secara bersama. Teks dalam aspek prosesnya, merupakan peristiwa interaktif yaitu sebuah pertukaran makna sosial.

(14)

Menurut Halliday dan Hassan (1985: 15), teks adalah sebuah bentuk pertukaran dan bentuk teks yang fundamental adalah dialog interaksi antar pembicara. Hal ini berarti bahwa setiap teks memiliki makna karena dapat dihubungkan dengan interaksi antar pembicara dan satu-satunya alat bagi percakapan umum sehari-hari yang spontan. Oleh sebab itu, teks merupakan produk lingkungan yang dapat diwakili dalam bahasa.

Kemudian untuk memahami jenis teks, seseorang harus terbiasa dengan ciri konteks situasi, yaitu konteks yang memiliki teks yang mengungkap dan memiliki lingkungan tempat makna itu dipertukarkan. Halliday dan Hassan (1985:16) mengajukan suatu prinsip yang dapat digunakan untuk memilih cara yang sesuai dalam menggambarkan konteks situasi sebuah teks. Adapun tiga variabel konteks situasi menurut Halliday dan Hassan yaitu:

1.Field of Discourse

Merupakan istikah abstrak bagi pernyataan „apa yang sedang terjadi‟ yang mengacu pada pilihan substansi linguistik si pembicara. Pilihan linguistik yang berbeda dibuat oleh pembicara yang berbeda tergantung pada jenis tindakannya, selain tindakan berbicara langsung yang mereka pandang sendiri saat ikut andil di dalamnya. Misalnya: pilihan linguistik akan beragam menurut andil pembicara masing-masing apakah ikut dalam pertandingan sepak bola atau membahas tentang

(15)

sepak bola, berpidato politik atau membahas tentang politik, melakukan operasi atau membahas tentang obat-obatan.

2.Tenor of Discourse

Tenor of discourse adalah istilah abstrak untuk hubungan antara orang-orang

yang ikut andil dalam berbicara. Bahasa yang digunakan orang beragam tergantung pada jenis hubungannya, seperti hubungan interpersonal antara ibu dan anak, dokter dan pasien, atau derajat orang atas dan yang rendah. Seorang pasien tidak akan memakai kata sumpah serapah untuk menyebut seorang dokter di hadapannya dan seorang ibu tidak akan memulai permintaan pada anaknya dengan mengatakan, “Maaf, apakah bisa kalau kamu...”

Menerjemahkan tenor of discourse secara benar dalam terjemahan dapat cukup menyulitkan. Hal ini tergantung pada apakah seseorang itu memandang tingkat formalitas tertentu sebagai hal yang benar dari sudut pandang budaya bahasa sumber (BSu) atau dari sudut pandang budaya bahasa sasaran (BSa). Misalnya: seorang anak remaja Amerika boleh menggunakan tenor yang sangat informal dengan orang tuanya dengan menggunakan nama depan dan bukan dengan panggilan ibu atau ayah. Dalam hal ini, tingkat formalitas ini akan sangat tidak dapat diterima oleh kebanyakan kebudayaan lain. Berkaitan dengan hal tersebut, seorang penerjemah harus memilih antara mengganti tenornya untuk disesuaikan dengan budaya pembaca sasaran atau tetap seperti aslinya, yaitu mentransfer tenor informalnya untuk memberikan kesan

(16)

jenis hubungan yang biasa dilakukan oleh para anak remaja dengan orangtuanya di masyarakan Amerika. Apa yang dipilih oleh penerjemah pada situasi tertentu tentunya akan tergantung pada apa yang dia lihat sebagai tujuan penerjemahan secara menyeluruh.

3.Mode of Discourse

Mode of discourse mengacu pada jenis peran yang dimainkan bahasa

(bicara/pidato, esai, kuliah, intstruksi, dan sebagainya), yaitu jenis peran yang diharapkan partisipan terhadap bahasa dalam suatu situasi: organisasai teks yang simbolik, status yang dimiliki, dan fungsinya dalam konteks termasuk alat penghubung (lisan atau tulisan ataupun suatu gabungan dari keduanya), dan juga mode retorika, apa yang sedang dicapai oleh teks dalam kondisi kategori berikut ini, yaitu persuasif, paparan, didaktis, dan hal senada. Misalnya seperti kata re adalah kata yang diterima dalam surat bisnis, tetapi sangat jarang digunakan dalam bahasa lisan.

Langkah pertama dalam menerjemah adalah menemukan makna yang terkandung melalui analisis makna. Menganalisis teks dengan menggunakan seperangkat framework yang dikemukakan oleh Halliday dalam Choliludin (2005: 12) akan memberi gagasan komprehensif pada para pembaca untuk menghasilkan sebuah hasil terjemahan. Setiap teks baik lisan maupun tulisan mengungkap makna dalam konteks penggunaannya. Jadi, bersamaan dengan konteks yang ada di

(17)

sekitarnya, sebuah teks menciptakan makna. Selain dari konteks situasi, konteks budaya juga perlu diperhatikan oleh seorang penerjemah dalam mengalihkan makna sebuah teks ke dalam bahasa sasaran (BSa).

2.1.3 Pelibat ( Tenor )

Halliday (1985: 12) menyatakan bahwa pelibat merupakan peran struktur yang berkaitan dengan siapa yang berperan, hubungan peran apa yang berlaku di antara partisipan yang secara sosial penting dalam hal ini mereka terlibat di dalamnya.

Pelibat wacana (tenor of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk pada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat wacana ada tiga hal yang perlu diungkap; peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial.

Peran status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula permanen. Peran terkait dengan fungsi yang dijalankan individu atau masyarakat. Status terkait dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, sejajar atau tidak. Jarak sosial terkait dengan tingkat pengenalan partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak.

Pelibat (tenor) atau siapa, yang direpresentasikan pada makna antarpersona yang menunjukkan tindakan yang dilakukan terhadap pengalaman dalam interaksi sosial, dengan kata lain makna antarpersona merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik yang terpresentasi dalam makna

(18)

pengalaman. Makna antarpersona mempresentasikan modalitas (modality) yang bersama dengan aksi direalisasikan dalam modus (Modus). Dan „cara‟ (mode), bagaimana pembicaraan itu dilakukan kemudian direpresentasikan dalam makna tekstual yang berupa tema (theme) dan rema (rheme).

Selanjutnya Sinar (2010: 58-59) menyatakan bahwa pelibat wacana (tenor of

discourse) sebagai variabel kontekstual yang kedua mengkarakterisasikan fungsi

ekstrinsik konteks situasi dan berhubungan dengan siapa yang berperan, kondisi alamai partisipan, status dan peranan mereka : hubungan peranan apa yang ditemukan, apakah termasuk hubungan permanen atau sementara antara pelibat yang satu dengan yang lain. Seluruh jenis ucapan yang mereka lakukan dalam dialog dan ikatan hubungan sosial yang signifikan dimana mereka terlibat. Pelibat (tenor) dideskripsikan sebagai berikut:

“Pelibat Wacana menunjuk pada orang-orang yang mengambil bagian, pada sifat para pelibat, kedudukan dan peranan mereka: jenis-jenis hubungan peranan apa yang terdapat di antara para pelibat, termasuk hubungan-hubungan tetap dan sementara, baik jenis peranan tuturan yang mereka lakukan dalam percakapan maupun rangkaian keseluruhan hubungan-hubungan yang secara kelompok mempunyai arti penting yang melibatkan mereka”. (Halliday dan Hassan, dalam Tou dalam Sinar, 2010)

Secara internal, pelibat wacana dikarakterisasikan melalui tiga dimensi: (1) status, (2) kontak, (3) afeksi, dan (4) kekuasaan. Dengan kata lain, dalam mendiskusikan dimensi pelibat wacana maka kita membaginya ke dalam empat dimensi yaitu status, kekuasaan, kontak, dan afeksi lalu bergerak untuk mengkaji ciri-ciri fungsi interpersonal yang direalisasikan melalui sistem dan representasi modus.

(19)

Dimensi kekuasaan direalisasikan terutama dalam hal pilihan linguistik pada stratum wacana dan tingkat klausa di dalam sistem leksikogramatika, untuk melihat sejajar atau tidak sejajarnya pelibat secara timbal balik (resiprokal atau tidak) dalam memilih sistem. Sedangkan dimensi kontak adalah frekuensi kita berhubungan dengan lawan bicara yang dapat diukur dengan tidak pernah, jarang, selalu, sering dan sistem ini direalisasikan terutamanya di dalam sistem leksikogramatika dalam hubungannya dengan leksis dan pada semua tata tingkat tata bahasa yaitu klausa, frasa, dan morfem. Sementara itu, dimensi afek merupakan perasaan atau emosi yang timbul terhadap orang lain dan dapat diukur dengan suka, benci, sayang, cinta, dan sistem ini direalisasikan pada tingkat klausa atau yang dibawahnya di dalam sistem leksikogramatika dan fonologi dalam variasin intonasi, ritme, kadar ujaran, dan dimensi status direalisasikan dalam penataan tingkat sosial bahasa pelibat, misalnya dilihat dari status sosial seperti kaya/miskin, profesi/pekerjaan, tingkat pendidikan, status keturunan, lokasi tempat tinggal, dan lain-lain.

Realisasi pelibat dalam sistem interpersonal dapat dilihat melalui penggunaan modalitas mungkin, barangkali, serta bentuk perintah seperti mohon kesediaan, dan lain sebagainya. Biasanya bila terjadi interaksi di antara pimpinan dengan bawahan, walaupun dalam suasana informal pun, seorang bawahan membiarkan atasan berinisiatif memilih topik pembicaraan. Faktor bahasa seperti ini dibahas juga dalam dimensi pelibat.

Di samping itu, untuk memahami pelibat wacana (tenor of discourse) ini akan jauh lebih mudah dipahami melalui teks yang bersifat interaktif (yang dilisankan)

(20)

seperti acara-acara talkshow, percakapan secara langsung, film baik di televisi, bioskop, dvd, dan sebagainya (Michal Boleslav, www.google.com). Dalam hal ini Michal Boleslav memiliki pendapat hampir sama dengan beberapa tokoh sebelumnya yaitu dalam mengkaji pelibat (tenor) ini melalui status (peranan) dan jarak sosial di antara para pelibat. Status (peranan) disini dapat kita lihat melalui istilah-istilah yang digunakan oleh si pembicara, siapa yang memulai pembicaraan, siapa yang berbicara dan lainnya. Sedangkan jarak sosial ditentukan melalui kata-kata atau ungkapan formal ataupun informal, slang dan lainnya yang digunakan oleh para pelibat. Status (peran) dan jarak sosial ini sangat jelas terlihat melalui tindak tutur (speech acts) yang diaplikasikan di dalam sebuah percakapan.

Tenor (pelibat wacana/partisipan) dalam suatu percakapan juga diwujudkan

melalui penggunaan pronomina. Pronimna merupakan unsur penting dalam suatu wacana baik wacana lisan maupun tulisan. Hal ini disebabkan pertama-tama karena pronomina melibatkan partisipan, dan yang kedua karena pronomina mencakup makna nomina yang diwakilinya. Jadi, klasifikasi pronomina yang berbeda-beda pada berbagai bahasa terkadang menunjukkan seolah-olah ada bentuk yang tidak mempunyai padanan dalam bahasa lain, atau ada komponen makna yang hilang, sebenarnya tidak demikian karena pronomina dapat menggantikan nomina yang digantikannya dengan keseluruhan makna tercakup di dalamnya. Kemudian medan makna dan rujukan pronomina akan menambah keutuhan wacana. Oleh karena itu, penerjemahan tenor atau pelibat yang diwujudkan dalam pronomina perlu menarik

(21)

rentang partisipan untuk mengingatkan penerjemah agar diperoleh suatu wacana yang utuh (Larson, 1984: 424: 7).

Setiap kata memiliki komponen makna tertentu yang tersusun sedemikian rupa, yang berbeda dari satu bahasa dengan bahasa lainnya. Berdasarkan komponen makna yang dimiliki oleh pronomina, dan dengan menggunakana analisis komponen ditemukan bahwa ada kategori yang wajib dimiliki oleh pronomina dalam semua bahasa, yaitu kategori pronomina persona. Pronomina persona mengidentifikasikan adanya pembicara, orang yang diajak bicara, dan orang lain yang dibicarakan. Berdasarkan hal inilah ditentukan persona pertama, kedua dan ketiga, dan bahkan ada juga bahasa yang mengenal persona keempat. Selanjutnya, pronomina persona ini pada beberapa bahasa dibedakan berdasarkan beberapa kategori lain seperti jumlah, genus (gender), bernyawa atau tidak bernyawa, inklusif dan eksklusif dan juga masalah honorifik (Larson: 1984: 127). Jumlah adalah pembagian berdasarkan banyaknya orang yang ada dalam suatu pronomina yang terlibat dalam suatu percakapan. Pembagian ini berbeda-beda dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, misalnya membagi jumlah menjadi tunggal dan jamak. Genus merupakan pembagian berdasarkan fenomena nonlinguistik. Galingging (1999: 47) menyatakan bahwa dalam bahasa Inggris, genus dibagi berdasarkan jenis kelamin, tetapi dalam bahasa lain ada yang membedakan berdasarkan ukuran, bentuk, fungsi tekstur dan sebagainya.

(22)

Berdasarkan ketercakupan orang yang terlibat dalam suatu percakapan, pronomina dapat dibedakan menjadi inklusif dan eksklusif. Inklusif dan eksklusif dalam bahasa Inggris hanya terdapat pada persona ketiga. Larson dalam Galingging (1999: 47) juga berpendapat bahwa dalam bahasa lain seperti Guatemala, hal ini berlaku juga pada persona pertama tunggal. Kemudian pada pronomina ada bentuk honorifik, yaitu pembagian berdasarkan konteks situasi yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur luar bahasa, seperti unsur-unsur sosial dan kebudayaan suatu bahasa.

Kehadiran pronomina berdasarkan fungsi sintaksisnya dalam kalimat, antara lain, adalah sebagai subjek. Sifat utama pronomina adalah deiktis, yakni referen yang diacunya dapat berpindah-pindah tergantung pada siapa yang berbicara dan siapa lawan bicara pada suatu peristiwa pertuturan (Galingging, 1999: 48). Misalnya pronomina persona kedua you (Bahasa Inggris/Bing) pada dasarnya mengacu pada lawan bicara. Akan tetapi, bila yang selanjutnya berbicara adalag lawan bicara, maka

you tersebut merujuk pada pembicara pertama.

2.1.4 Pronomina Bahasa Inggris

Galingging (1999: 40-41) dalam tesisnya menegaskan bahwa

“Pronomina dalam Bahasa Inggris mempunyai penanda morfologis pada beberapa unsurnya. Pronomina dalam bahasa ini mengenal ciri kasus, genus (gender), jumlah dan persona. Kasus dibedakan antara kasus subjektif, kasus objektif, dan kasus genitif. Genus dibedakan antara maskulin dan feminin, jumlah dibedakan antara tunggal dan jamak, dan persona dibedakan antara persona pertama, kedua, dan ketiga”.

(23)

Kemudian, Quirk membagi pronomina menjadi pronomina utama, pronomina relatif, pronomina interogatif, pronomina demonstratif, dan pronomina tak definit. Pronomina utama terbagi menjadi pronomina persona, seperti: I, me, they, him ; pronomina refleksif seperti myself, themselves ; pronomina posesif seperti my/mine,

their/theirs ; pronomina takdefinit dibagi menjadi pronomina takdefinit positif yaitu

pronomina takdefinit positif universal, seperti both, each ; pronomina tak definit positif asertif sepert some, several ; pronomina takdefinit positif nonasertif seperti

any, either ; dan pronomina takdefinit negatif seperti nobody, neither (Quirk dkk,

1985: 109).

Dari keseluruhan bagian tersebut, jenis pronomina yang berkaitan dengan topik dalam penelitian ini adalah pronomina persona yang merupakan bagian dari pronomina utama. Hal ini disebabkan karena kategori persona penting dalam suatu wacana karena pronomina persona ini menyangkut partisipan yang terlibat dalam suatu tindak komunikasi.

Berikut ini merupakan deskripsi pronomina dalam bahasa Inggris yang dikutip dari sumber internet ( http:// belajarbahasainggrisgratis.blogspot.com/ ):

TABEL 1. PRONOMINA BAHASA INGGRIS

SUBJECT OBJECT POSSESSIVE

ADJECTIVE

POSSESSIVE PRONOUN

(24)

YOU YOU YOUR YOURS

THEY THEM THEIR THEIRS

WE US OUR OURS

HE HIM HIS HIS

SHE HER HER HERS

IT IT ITS

Keterangan:

I Orang Pertama Tunggal (Aku)

You Orang Kedua Tunggal (Engkau, Kau) He Orang Ketiga Tunggal (Dia untuk laki-laki) She Orang Ketiga Tunggal (Dia untuk wanita) It Orang Ketiga Tunggal (Dia untuk benda dan

binatang)

We Orang Pertama Jamak (Kami/kita) You Orang Kedua Jamak (Kalian)

They Orang Ketiga Jamak (Mereka, untuk orang, benda dan binatang)

2.1.4.1 Pronomina Persona

Pada dasarnya pronomina persona membedakan pembicara/penulis dengan lawan bicaranya atau pembaca, dan orang yang dibicarakan (Larson, 1984: 127).

(25)

Pembicara/penulis dikelompokkan sebagai persona pertama, yakni I, we, us, me. Kepada siapa persona pertama ini berbicara dikelompokkan sebagai persona kedua, yaitu you. Orang lain yang dibicarakan, atau yang bukan merupakan pembicara/penulis dan lawan bicara/pembaca disebut sebagai persona ketiga, yakni

he, she, they, them. Di antara semua persona di atas, persona pertama jamak

mempunyai ciri khusus yaitu inklusif dan eksklusif (Galingging, 1999: 55). Secara leksikal kedua bentuk ini tidak berbeda, tetapi berdasarkan makna yang ada pada konteks pemakaiannya, pronomina ini dapat dibedakan berdasarkan inklusif dan eksklusif, seperti:

If we play hardball with them we’ll get to come round before that. We’re going to have some very quiet meetings with them....

Pada kalimat pertama, pembicara dan kelompoknya, serta lawan bicara dan kelompoknya tercakup pada pronomina we, sedangkan pada kalimat kedua, lawan bicara tidak ikut di dalamnya.

Suatu kata pada umumnya selalu memiliki lebih dari satu makna, yaitu makna primer dan makna sekunder. Dalam hal pronomina persona, yang dimaksud dengan makna primer adalah makna yang dengan mudah dapat kita sebutkan apabila pronomina tersebut berdiri sendiri, misalnya you berarti engkau atau kamu yang merupakan persona kedua yang menunjuk pada lawan bicara, dan they berarti

mereka yang merujuk pada persona ketiga jamak. Makna sekunder pronomina belum

(26)

bermakna sebagai persona pertama jamak, yakni kita. Jadi dalam hal ini, tidak hanya merujuk pada lawan bicara, tetapi meliputi pembicara serta orang yang diajak bicara.

Makna sekunder adalah makna suatu unsur yang tergantung pada konteksnya (Larson, 1984: 100). Misalnya, seseorang tidak dapat dengan mudah mengatakan bahwa we adalah pronomina yang merujuk pada persona pertama jamak, atau pembicara/penulis yang berjumlah jamak, atau you persona kedua mengacu pada lawan bicara. Pada pemkaiannya, pronomina tunggal dapat digunakan dengan makna jamak dan bentuk jamak digunakan dengan makna tunggal. Selain itu, “pronomina tunggal maupun jamak dalam bahasa Inggris dapat digunakan dengan makna generik, yaitu yang melibatkan orang secara umum. Hal ini sepenuhnya tergantung pada konteks pemakaian pronomina seperti konteks linguistik ataupun konteks luar bahasa” (Galingging, 1999: 51).

Pronomina persona dalam bahasa Inggris memiliki fungsi yakni merujuk, mengacu, menyapa, dan deiksis. Dalam hal merujuk hanya terdapat pada persona ketiga, fungsi mengacu terdapat pada persona kedua, dan fungsi deiksis terdapat pada persona kedua juga (Alwi dkk, 1998: 220). Fungsi merujuk dimiliki oleh pronomina persona pada umumnya, yaitu apabila pronomina menunjuk pada sesuatu biak pada konteks linguistik, atau konteks luar bahasa. Kemudian pronomina digunakan juga untuk mengacu. Istilah ini digunakan pada konteks semantik, yaitu adanya pembicara/penulis, pendengar/pembicara dan orang lain yaitu orang yang dibicarakan, atau dengan kata lain tergantung pada siapa pembicara, dalam hubungan

(27)

apa, dan dengan siapa, serta pada situasi apa atau tempat terjadinya kegiatan komunikasi tersebut.

Lalu, pada situasi tertentu, pronomina juga dapat digunakan untuk menyapa orang lain yang disebut sebagai fungsi penyapa. Dalam hal ini, penggunaan pronomina sangat berkaitan dengan kesopanan, dan pola-pola gramatikalnya tidak sesuai dengan penggunaan pronomina itu sendiri, tetapi dengan pola-pola sosial (Vanek, 1973: 55). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penyapaan terjadi pada persona kedua, maka penggunaannya ditentukan oleh partisipan yang terlibat pada situasi ujaran, seperti siapa pembicara dan lawan bicara.

Kemudian yang perlu diketahui dari pronomina bahasa Inggris yaitu bahwa pronomina bahasa Inggris dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin partisipan atau pelibatnya. Namun, hal ini hanya terjadi pada pronomina persona ketiga tunggal saja, sedangkan pada pronomina ketiga noninsan dan persona lainnya tidak dibedakan (Galingging, 1999: 46). Persona ketiga ini dibedakan menjadi he untuk maskulin dan

she untuk feminin. Pada bentuk tertentu, maskulin dapat dipakai secara umum,

maksudnya mencakup pronomina feminin, tetapi tidak sebaliknya. Kehadiran persona ketiga ini, selalu merujuk pada persona lain pada konteks tertentu sesuai dengan jenisnya. Misalnya:

a. When Adrian woke up at nine-fifteen, she could smell bacon cooking downstairs and she could hear Steven clatering around the kitchen.

(28)

b. The silence in Bill’s apartment was deafening when they went back to it once the boys were gone. And Bill looked as though he’d lost his best friend, while Adrian tried desperately to distract him.

Pada contoh di atas, she dalam kalimat (a) merujuk pada Adrian, dan he dalam kalimat (b) merujuk pada Bill.

Berikut ini diberikan deskripsi pronomina persona dalam bahasa Inggris dalam tabel.

TABEL 2. PRONOMINA PERSONA BAHASA INGGRIS

Persona

PersonaPertama

Persona Kedua Persona Ketiga

Tunggal Jamak Tunggal Jamak

Tunggal Jamak Maskulin feminin Non personal Subyektif Obyektif I Me We us You You You You He she Him her it it They Them

2.1.5 Pronomina Bahasa Indonesia

Ada beberapa hal yang mempengaruhi penggunaan pronomina dalam bahasa Indonesia pada suatu peristiwa komunikasi, seperti tempat komunikasi berlangsung, waktu, dan partisipan yang terlibat. Penggunaan pronomina dalam hal ini dipengaruhi

(29)

oleh tingkat hubungan pembicara dan lawan bicara, situasi, usia, dan keakraban. Dalam hal ini, orang yang lebih muda biasanya lebih sopan pada yang tua, dan yang tua biasanya menunjukkan tenggang rasa. Demikian juga dengan status sosial yang lebih tinggi pada yang lebih rendah, akan tetapi keakraban dapat menyilang masalah usia, ataupun status sosial di atas (Alwi dkk, 1998: 249)

Kemudian, Silangen dalam Galingging (1999: 58-59) menyatakan bahwa pronomina dalam bahasa Indonesia sering diganti pemakaiannya dengan leksem kekerabatan, jabatan, pangkat, serta gelar profesi. Penggunaan ini dimaksudkan untuk mencapai suasana yang lebih sopan, pada peristiwa pertuturan langsung atau untuk menghilangkan rasa tegang.

2.1.5.1 Pronomina Persona

Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang. Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri (pronomina persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga). Di antara pronomina tersebut, ada yang mengacu pada jumlah satu atau lebih dari satu; ada bentuk yang bersifat eksklusif, ada yang bersifat inklusi, dan ada yang bersifat netral (Alwi dkk, 1998: 249). Berikut ini adalah pronomina persona yang disajikan dalam tabel.

(30)

TABEL 3. PRONOMINA PERSONA BAHASA INDONESIA

Persona

M A K N A

TUNGGAL

JAMAK

Netral

Ekskulsif Inklusif

Pertama saya,aku,ku-,

-ku Kami Kita Kedua engkau, kamu,

Anda,dikau,kau-,-mu

kalian, kamu, sekalian, Anda sekalian Ketiga ia, dia, beliau,

-nya mereka

Sebagian besar pronomina persona bahasa Indonesia memiliki lebih dari dua wujud atau bentuk. Hal ini disebabkan oleh budaya bangsa Indonesia yang sangat memperhatikan hubungan sosial antarmanusia. Tata krama dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia menuntut adanya aturan yang serasi dan sesuai dengan martabat masing-masing. Pada umumnya, ada tiga parameter yang dipakai sebagai ukuran, yaitu (1) umur, (2) status sosial, dan (3) keakraban (Alwi dkk, 1998: 250).

Secara budaya orang yang lebih muda diharapkan menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Sebaliknya, orang yang lebih tua diharapkan pula menunjukkan tenggang rasa terhadap yang muda. Unsur timbal balik seperti itu

(31)

tercermin dalam pemakaian pronomina dalam bahasa Indonesia. Misalnya, pronomina saya lebih umum dipakai daripada aku oleh orang muda terhadap orang tua. Untuk menunjukkan rasa hormat, pronomina beliau dipakai alih-alih dia. Sebaliknya, orang tua mungkin akan merasa senang memakai sapaan seperti adik daripada kamu bila menyapa orang muda yang tidak begitu dikenalnya atau yang bukan bawahannya.

Status sosial baik kedudukan dalam masyarakat maupun badan resmi di suatu instansi ikut juga mempengaruhi pemakaian pronomina. Seorang kepala kantor dapat memakai pronomina kamu, misalnya apabila ia berbicara dengan pegawainya, apalagi jika umurnya lebih muda. Sebaliknya ia akan memakai kata Saudara atau

Bapak jika yang diajak berbicara itu adalah tamu yang sebaya, baik dalam umur

maupun kedudukan. Demikian pula seorang pegawai akan merasa lebih mantap jika ia memanggil atasannya dengan sapaan Bapak atau Ibu sebagai pengganti Anda atau

Saudara.

Parameter ketiga yakni keakraban, dapat menyilang garis pemisah umur dan status sosial meskipun kadang-kadang hanya dalam situasi-situasi tertentu. Dua orang yang sejak kecil telah bersahabat dapat saja tetap memakai pronomina kamu meskipun yang satu telah menjadi menteri, misalnya, sedangkan yang lain hanyalah guru di sekolah dasar. Dalam pertemuan resmi, guru sekolah dasar itu akan menyapa menteri itu dengan sapaan Bapak pada kalimat „pendapat Bapak dalam soal ini bagaimana?‟ Sebaliknya, pada resepsi pengantin, dapat saja guru itu berkata „kamu

(32)

tinggal di rumah pribadi atau rumah dinas?‟ Hal seperti ini menurut tata bahasa baku bahasa Indonesia, sering ditentukan oleh pribadi dan kepribadian masing-masing. Demikian pula seorang kepala kantor yang menikah dengan seorang wanita yang menjadi bawahannya tidak akan merasa pantas menyapa ayah mertuanya dengan kamu. Akan lebih layak baginya untuk memakai kata sapaan Bapak. Demikian pula ayah mertua yang sudah tua itu akan menyapa menantunya dengan sapaan Bapak waktu mereka berada di kantor.

Dengan gambaran di atas, pemakaian pronomina sangatlah penting karena pemakaian yang salah dapat menimbulkan hal yang mengganggu keserasian pergaulan. Berikut adalah gambaran mengenai berbagai pronomina persona.

2.1.5.2 Persona Pertama

Catford dalam Galingging (1999: 60) menyatakan bahwa pada umumnya pronomina bahasa Indonesia mempunyai lebih dari satu bentuk, atau dapat dikatakan mempunyai dua dimensi yang tidak dimiliki bahasa Inggris, dan penggunaannya dipengaruhi beberapa hal, antara lain situasi dan bentuk wacana. Hal ini dapat dilihat pada pronomina persona pertama hamba, atau daku. Bentuk pronomina persona pertama ini hanya muncul dalam wacana tertentu seperti puisi atau karya sastra, atau pada masa lalu digunakan oleh orang yang status sosialnya lebih rendah dari lawan bicaranya. Bentuk ini tidak lazim digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari pada masa kini. Dalam bahasa Inggris kuno ditemukan hal yang sama, yaitu thou dan thee, akan tetapi bentuk tersebut tidak digunakan lagi masa kini, kecuali dalam doa, atau

(33)

pada tempat-tempat tertentu di Inggris, seperti di bagian utara Inggris yang masih menggunakan bentuk ini pada situasi nonreligius (Quirk, 1985: 345).

Menurut buku tata bahasa baku bahasa Indonesa edisi ketiga, Persona pertama tunggal dalam bahasa Indonesia adalah saya, aku, dan daku. Ketiga bentuk ini adalah bentuk baku, tetapi mempunyai tempat pemakaian yang agak berbeda. Saya adalah bentuk yang formal dan umumnya dipakai dalam tulisan atau ujaran yang resmi. Untuk tulisan formal pada buku nonfiksi dan ujaran seperti pidato, sambutan, dan ceramah bentuk saya banyak dipakai. Meskipun demikian, sebagian orang memakai pula bentuk kami dengan arti saya untuk situasi di atas. Hal ini dimaksudkan untuk tidak terlalu menonjolkan diri.

Persona pertama aku lebih banyak dipakai dalam pembicaraan batin dan dalam situasi tidak formal dan yang lebih banyak menunjukkan keakraban antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca. Oleh karena itu, bentuk ini sering ditemukan dalam cerita, puisi, dan percakapan sehari-hari. Persona pertama daku umumnya dipakai dalam karya sastra.

Pronomina persona aku mempunyai versi bentuk, yakni –ku dan ku-. Di sini bentuk klitika –ku dipakai, antara lain dalam konstruksi pemilikan dan dalam tulisan diletakkan pada kata yang di depannya: kawan  kawanku; sepeda  sepedaku;

(34)

kawan aku, sepeda aku, ataupun anak-anak aku. Demikian pula bentuk daku tidak

dipakai untuk maksud itu.

Berbeda dengan aku, bentuk saya dapat dipakai untuk menyatakan hubungan pemilikan dan diletakkan di belakang nomina yang dimilikinya. Misalnya rumah

saya, kucing saya, tunangan saya. Pronomina persona saya, aku, dan daku, dapat

dipakai bersama dengan preposisi.

Bentuk terikat ku- sama sekali berbeda pemakaiannya dengan –ku. Pertama-tama, ku- dilekatkan pada kata yang terletak di belakangnya. Kedua, kata yang terletak di belakang ku- adalah verba. Dalam nada yang puitis, ku- kadang-kadang dipakai sebagai bentuk bebas seperti terlihat pada kalimat berikut ini: kini kutahu kau tak setia padaku. Contoh kalimat tersebut berbeda dengan penggunaan ku- pada beberapa kalimat berikut: suratmu telah kukirimkan tadi pagi; hal ini sudah kuberitahukan kepada Bu Nyono.

Di samping persona pertama tunggal, bahasa Indonesia juga mengenal persona pertama jamak. Menurut tata bahasa baku bahasa Indonesia, bahasa Indonesia mengenal dua macam pronomina persona pertama jamak yaitu kami dan

kita. Kami bersifat eksklusif artinya pronomina itu mencakup pembicara/penulis dan

orang lain di pihaknya, tetapi tidak mencakup orang lain di pihak pendengar/pembacanya. Sebaliknya, kita bersifat inklusif artinya pronomina itu mencakup tidak hanya pembicara/penulis, tetapi juga pendengar/pembaca, dan

(35)

mungkin pula pihak lain. Dengan demikian kedua kalimat berikut mempunyai pengertian yang berbeda: Kami akan berangkat pukul enam pagi; dan Kita akan berangkat pukul enam pagi. Implikasi kalimat pertama adalah bahwa pendengar/pembaca tidak akan ikut, sedangkan pada kalimat kedua, pendengar/pembaca akan ikut serta. Seperti dinyatakan sebelumnya, kami juga dipakai dengan pengertian tunggal untuk mengacu kepada pembicara/penukus dalam situasi formal.

Persona pertama jamak tidak mempunyai variasi bentuk. Untuk menyatakan pemilikan, atau dalam pemakaiannya dengan preposisi, bentuknya tetap sama, seperti dalam rumah kami, masalah kita, kepada kami, untuk kita.

2.1.5.3 Persona Kedua

Persona kedua tunggal mempunyai beberapa wujud, yakni engkau, kamu, Anda,

dikau, kau- dan mu-. (Alwi dkk, 1998). Berikut ini adalah kaidah pemakaiannya.

a.Persona kedua engkau, kamu, dan mu- dipakai oleh:

1. Orang tua terhadap orang muda yang telah dikenal dengan baik dan lama, seperti pada contoh berikut.

* Kamu sudah bekerja, „kan? ;

* Pukul berapa kamu berangkat ke sekolah, Nak?

(36)

* Apakah hasil rapat kemarin sudah kamu ketik, Lisa?

* Mengapa engkau kemarin tidak masuk?

3. Orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang unsur atau status sosial. Dalam hal-hal tertentu situasi percakapan ikut berperan pula. Perhatikan contoh berikut ini:

* Kapan kerbaumu akan kamu carikan rumput?

* Baru jadi kepala seksi sebulan, kenapa rambutmu sudah beruban?

Dalam bahasa tak formal, ada orang yang menyingkat engkau menjadi kau seperti pada kalimat „Kau ikut, tidak?‟

b. Persona kedua Anda dimaksudkan untuk menetralkan hubungan, seperti halnya kata you dalam bahasa Inggris. Meskipun kata itu telah banyak dipakai, struktur serta nilai sosial budaya Indonesia masih membatasi pemakaian pronomina itu. Pronomina ini dipakai pada saat:

1. Dalam hubungan yang tak pribadi sehingga Anda tidak diarahkan pada satu orang khusus. Contohnya:

* Sebentar lagi kita akan mengudara; Anda kami mohon mengenakan sabuk pengaman.

(37)

2. Dalam hubungan bersemuka, tetapi pembicara tidak ingin bersikap terlalu formal ataupun terlalu akrab. Contohnya:

* Anda sekarang tinggal di mana?

* Apa Anda sudah mendengar berita itu?

c. Seperti halnya dengan daku, dikau juga dipakai dalam ragam bahasa tertentu, khususnya ragam sastra. Bahkan, dalam ragam sastra itu pun pronomina dikau tidak sering dipakai lagi. Contohnya:

* Yang kurindukan hanya dikau seorang.

* Percayalah, dikaulah yang menjadi tambatan hatiku.

Selain itu, tata bahasa baku bahasa Indonesia juga menyatakan bahwa persona kedua dalam bahasa Indonesia mempunyai bentuk jamak. Ada dua macam bentuk jamak yakni (1) kalian, dan (2) persona kedua ditambah dengan kata sekalian seperti dalam Anda sekalian atau kamu sekalian. Meskipun kalian tidak terikat pada tata krama sosial, orang muda atau orang yang status sosialnya lebih rendah umumnya tidak memakai bentuk itu terhadap orang tua atau atasannya. Sebaliknya kebalikannyalah yang terjadi. Kemudian, pemakaian kamu sekalian atau Anda

sekalian sama dengan pemakaian untuk pronomina dasarnya, kamu dan Anda,

(38)

Persona kedua yang memiliki variasi bentuk hanyalah engkau dan kamu. Bentuk terikat itu masing-masing adalah kau- dan –mu. Semua persona kedua yang berbentuk utuh dapat dipakai untuk menyatakan hubungan pemilikan dengan menempatkannya di belakang nomina yang mengacu ke milik. Sebaliknya, hanya klitika –mu yang dapat juga mengacu pada pemilik, sedangkan kau- tidak dapat.

2.1.5.4 Persona Ketiga

Persona ketiga tunggal dalam bahasa Indonesia adalah ia, dia, beliau untuk bentuk bebasnya, dan –nya untuk bentuk terikat. Bentuk terikat ini selalu ditulis serangkai pada akhir kategori lain, dan bentuk jamaknya hanya satu yaitu mereka. Penggunaan pronomina ketiga tunggal ini mempunyai ketentuan khusus. Hanya ia dan dia yang dapat menduduki posisi subjek atau berada di sebelah kanan verba. Yang dapat muncul di sebelah kiri verba hanya dia dan –nya. Jadi –nya hanya muncul di sebelah kiri verba dan tidak pernah muncul di sebelah kanannya, sedangkan ia hanya muncul di sebelah kanan verba tidak pernah di sebelah kirinya. Khusus untuk beliau, pemakaiannya terkait dengan situasi kesopanan atau rasa hormat (Alwi dkk, 1998: 256; Catford, 1965: 44). Sementara itu, pronomina persona ketiga jamak dapat muncul di sebelah kanan juga di sebelah kiri verba, seperti dalam contoh berikut ini:

a. Ia hidup melarat di New York, sebagai penulis drama usia muda.

b. Bill bertanya dalam hati, tapi ia tidak mengatakan apa-apa, sebab sudah jelas Adrian tak ingin dia ikut masuk, jadi ia tak masuk.

(39)

c. Anak-anak datang mengunjunginya satu kali setiap dua liburan, dan sebulan lamanya saat musim panas. Bill semakin menyayangi mereka.

d. Maafkan saya, Mr.Townsend tidak ada di tempat. Beliau sedang rapat.

Dalam kalimat (a) ia hadir di sebelah kanan verba, dalam (b) dia merujuk pada Bill dan –nya hadir di sebelah kiri verba. Dalam kalimat (c) mereka bentuk jamak dari persona ketiga merujuk pada anak-anak, dan kalimat (d) beliau yang merujuk pada Mr.Townsend, digunakan untuk menunjukkan rasa hormat seorang sekretaris kepada atasannya.

2.1.5.5 Nomina Penyapa dan Pengacu sebagai Pengganti Pronomina Persona

Menurut buku tata bahasa baku bahasa Indonesia, karena keanekaragaman dalam bahasa maupun budaya daerah, pemakai bahasa Indonesia memiliki pula bentuk-bentuk lain yang dipakai sebagai penyapa untuk persona kedua dan pengacu untuk persona pertama dan ketiga. Pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi hal itu: (1) letak geografis, (2) bahasa daerah, (3) lingkungan sosial, dan (4) budaya bangsa (Alwi dkk, 1998; 258).

Letak geografis dapat menimbulkan tanggapan yang berbeda mengenai pronomina yang sama. Misalnya, pada masyarakat Jawa orang lebih suka menggunakan kamu daripada engkau meskipun kedua-duanya masih dianggap mengandung unsur kasar. Sebaliknya, di daerah Medan orang malah cenderung memakai engkau daripada kamu (Alwi dkk, 1998: 258).

(40)

Bahasa daerah yang bermacam-macam di tanah air sering pula membuat orang dari daerah Ambon, misalnya, mempunyai pronomina beta sebagai padanan bagi pronomina persona pertama. Penutur Minangkabau cenderung memakai awak daripada kita dalam percakapan sehari-hari, sedangkan orang Manado memakai

kitorang untuk kita. Lingkungan sosial seperti yang terdapat di daerah metropolitan

Jakarta, yang menampung orang dari berbagai suku bangsa, dapat pula menimbulkan ragam bahasa yang berbeda. Pronomina gua atau gue dan lu dipakai di kota tersebut sebagai padanan bagi persona pertama dan kedua. Bahkan, di Jakarta pronomina baku

kita atau kite diberi arti yang berbeda, yakni kata itu mengacu pada orang pertama

tunggal (Alwi dkk, 1998).

Budaya bangsa Indonesia yang memperthatikan benar tata krama dalam pergaulan sering membuat orang segan memakai pronomina persona kedua kamu,

engkau, atau Anda karena pronomina seperti itu dirasakan kurang hormat. Oleh

karena itu, ada perangkat nomina tertentu yang dipakai sebagai kata penyapa dan pengacu pemeran peristiwa ujaran. Pada umumnya nomina penyapa dan pengacu itu berkaitan dengan istilah kekerabatan seperti Bapak, Ibu, Kakek, Adik, dan Saudara, dan nama jabatan dan pangkat seperti lurah, profesor, dokter, kapten, dan sebagainya. Sebagai pengganti dari kalimat „Anda sekarang tinggal di mana?‟ Orang memperhalus dan mengakrabkannya dengan kalimat „Bapak sekarang tinggal di mana?‟ (Alwi dkk, 1998: 259).

(41)

Baik nomina penyapa dan pengacu berdasarkan hubungan kekerabatan ataupun yang berdasarkan hubungan jabatan hierarki mempunyai bentuk yang lebih pendek, seperti Pak, Bu, Prof, dan Dok. Dalam konteks tertentu, bentuk lengkap dan bentuk singkatnya dapat dipakai. Akan tetapi, di dalam konteks kalimat yang lain, hanya salah satu yang dapat dipakai dan bukan yang lain. Apabila nama diri mengikuti nomina itu, kedua macam bentuk tersebut dapat dipakai. Contohnya:

Baiklah, usul Saudara akan kami pertimbangkan. Bagaimana pendapat Saudara Daryanto?

Bapak Daryanto (Pak Daryanto) sekarang tinggal di mana? (Pertanyaan yang diajukan kepada orang yang bernama Daryanto)

Antarkan surat ini kepada Bapak. (Permintaan kepada pendengar yang membicarakan persona ketiga)

Jika nomina tidak diikuti oleh nama diri, bentuk yang pendek tidak dipakai. Kalimat yang berikut tidak berterima:

Tadi pagi Pak pergi ke mana? Apa Bu sudah makan?

Apa Dok bersedia memberi resep tanpa periksa?

Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kita harus membedakan pronomina persona dari nomina penyapa dan nomina pengacu persona. Nomina penyapa dipakai untuk pendengar/pembaca, sedangkan pengacu digunakan

(42)

untuk mengacu pada orang yang dibicarakan. Namun, keduanya bukan pronomina dan bukan pengganti pronomina.

2.2 Landasan Teori

Bagian ini akan menjelaskan secara mendetail tentang teori-teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Sehubungan dengan hal tersebut, teori yang akan digunakan adalah teori Penerjemahan Berdasarkan Makna (Meaning-Based Translation); teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF); teori pergeseran (shift); dan konsep fungsi ujar.

Teori penerjemahan yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah teori penerjemahan berdasarkan makna (Meaning-Based Translation) yang dikemukakan oleh Mildred Larson, sedangkan teori LSF (Linguistik Sistemik Fungsional) yakni yang dikemukakan oleh M.A.K Halliday. Selanjutnya, teori lain yang digunakan dalam menganalisis permasalahan penelitian ini yakni teori pergeseran (shift) menurut Catford dalam bukunya yang berjudul A Linguistic Theory of Translation yang diterbitkan tahun 1965 (seperti yang dipaparkan pada bagian 2.1) dan konsep fungsi ujar menurut Abdul Chaer dalam bukunya yang berjudul Kesantunan

Berbahasa yang diterbitkan pada tahun 2010.

Adapun latar belakang penggunaan teori-teori tersebut sebagai landasan dalam penelitian ini yaitu karena beberapa teori tersebut sangat sesuai dalam menganalisis segala permasalahan penelitian ini. Adanya konsep Larson yang dipadukan dengan

(43)

konsep LSF menurut Halliday dapat membuktikan bahwa penciptaan teks terjemahan (subtitle) sebuah film itu tidak terlepas dari konteks situasi dan konteks budaya. Sementara itu, teori pergeseran (shift) menurut Catford sesuai digunakan untuk mengungkap jenis pergeseran yang terjadi. Selanjutnya, konsep fungsi ujar menurut Abdul Chaer juga dianggap sesuai untuk digunakan dalam menganalisis bentuk ujaran yang terdapat baik dalam TSu maupun TSa. Di sini, konsep ujar menurut Abdul Chaer yang digunakan yaitu karena Chaer dalam bukunya yang berjudul

Kesantunan Berbahasa mengungkap bentuk-bentuk ujaran yang lazim digunakan

dalam komunikasi secara lisan. Hal ini sesuai dengan data atau sumber data dalam penelitian ini yakni berupa teks lisan dan tulisan. Selain itu, banyaknya kesesuaian fungsi ujar yang ditemukan dalam data atau sumber data pada penelitian ini dengan fungsi ujar menurut Abdul Chaer juga mendasari pemilihan teori tersebut.

2.2.1 Teori Penerjemahan Berdasarkan Makna (Meaning-Based Translation)

Dalam kaitannya dengan definisi penerjemahan, ada banyak pakar atau ahli penerjemahan yang mengemukakan konsep mereka. Salah satu ahli penerjemahan yang cukup terkenal dengan konsepnya adalah Mildred Larson yang mencetuskan teori Penerjemahan berdasarkan makna (Meaning-Based Translation). Teori ini sekaligus digunakan menjadi acuan dalam menganalisis unsur tenor (pelibat wacana) pada sumber data (TSu dan TSa). Konsep teori ini diperoleh dari buku Mildred Larson yang berjudul Meaning-Based Translation yang diterbitkan pada tahun 1984

(44)

oleh penerbit University Press of America. Dalam bukunya, Larson (1984:3) menyatakan “translation consists of transferring the meaning of the source language

into receptor language.” Larson secara sederhana mendefinisikan penerjemahan

sebagai proses pengalihan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Selain itu, Larson juga menyebutkan ”it is meaning which is being transferred and must be held

constant. Only the form changes”. Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa

Larson berpendapat bahwa yang mengalami perubahan dalam penerjemahan hanyalah bentuknya. Makna yang ada dalam bahasa sumber ditransfer ke bahasa sasaran dan makna ini haruslah konstan.

Pendapat Larson mengenai pengalihan makna dalam penerjemahan ini diperkuat oleh pendapat Newmark yang menyatakan “…it is rendering the meaning

of a text into another language in the way that the author intended the text” (1988:5).

Pada kutipan di atas, Newmark menyebutkan bahwa dalam proses penerjemahan, maksud si penulis teks bahasa sumber haruslah dapat tersampaikan pada pembaca bahasa sasaran.

Selain itu, Larson (1984:17) menyatakan bahwa saat menerjemahkan sebuah teks, tujuan penerjemah adalah mencapai translasi idiomatik yang sedemikian rupa, berusaha untuk mengkomunikasikan makna teks bahasa sumber (BSu) ke dalam bentuk alami dari bahasa sasaran (BSa). Oleh karena itu, penerjemahan merupakan kegiatan yang berkenaan dengan studi tentang leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi, dan konteks budaya teks bahasa sumber yang dianalisis dengan maksud

(45)

untuk menentukan maknanya. Makna yang ditemukan kemudian diungkapkan dan dikonstruksikan kembali dengan menggunakan leksikon dan struktur tata bahasa dan konteks budayanya.

Dengan kata lain, sebuah penerjemahan tidak semata-mata memfokuskan perhatian pada ketepatan makna saja tetapi juga harus memperhatikan situasi komunikasi dan konteks budaya kedua bahasa tersebut. Situasi komunikasi dalam hal ini berkaitan erat dengan field (medan wacana), tenor (pelibat wacana), dan mode (sarana). Adanya keterkaitan konsep Larson dengan topik penelitian ini mendasari peneliti dalam memilih konsep Larson tersebut sebagai acuan menganalisis segala permasalahan penelitian ini.

2.2.2 Kesepadanan Makna

Kemudian, penelitian ini juga berfokus kepada konsep kesepadanan makna menurut Larson. Larson (1984: 36-37) mengemukakan bahwa ada tiga jenis makna, yaitu makna referensial, makna konteks linguistik, dan makna situasional. Makna referensial adalah makna yang terkandung pada struktur semantis yang merujuk langsung pada unsur tertentu yang dapat dilihat atau dibayangkan. Makna konteks linguistik adalah makna yang diperoleh dari kombinasi atau gabungan makna referensial yang tersusun secara semantis, dan makna situasional adalah makna yang diperoleh berdasarkan situasi komunikasi tertentu yaitu yang berhubungan dengan hubungan antar partisipan seperti usia dan status sosial, situasi komunikasi seperti

(46)

tempat dan waktu berlangsungnya komunikasi serta latar belakang budaya partisipannya. Pemilihan konsep kesepadanan makna menurut Larson ini yang akan digunakan yaitu karena didasarkan pada jenis makna yang dikemukakan oleh Larson tersebut sangat sesuai dalam menganalisis topik dalam penelitian ini (konsep pelibat wacana atau partisipan).

Dalam kaitannya dengan makna referensial pelibat wacana bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, pada dasarnya kedua bahasa mempunyai makna referensial yang sama, yaitu dalam hal merujuk. Pelibat wacana di sini selalu dimunculkan dengan penggunaan pronomina baik pronomina persona, pronomina penunjuk, dan pronomina penanya yang merujuk kepada pembicara, lawan bicara, dan orang yang dibicarakan. Demikian juga halnya dengan makna konteks linguistik seperti dalam hal fungsi sintaksis, dan makna situasional seperti situasi, tempat, serta waktu komunikasi berlangsung.

Meskipun terdapat kesamaan di antara ketiga-tiganya, terdapat juga perbedaan yang mendasar. Perbedaan tersebut muncul karena adanya perbedaan jumlah pelibat yang diaplikasikan melalui pemakaian pronomina dalam kedua bahasa. Dalam bahasa Inggris, pembicara yang dinyatakan dengan pronomina persona untuk setiap kategori hanya memiliki satu bentuk, sedangkan dalam bahasa Indonesia ada beberapa bentuk yang masing-masing mengandung makna khusus. Misalnya persona I (B.Ing) dalam bahasa Indonesia menjadi saya, aku, hamba, ku- dan lain-lain. Selain itu, perbedaan kedua bahasa tersebut juga dipengaruhi oleh makna situasionalnya. Dalam hal ini,

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Shafi‘iy

generasi terakhir yang digunakan pada sektor privat dapat pula digunakan pada sektor pemerintah, dengan berbagai modifikasi... Manajemen Kolaborasi

tentang materi menjelaskan pengertian komunikasi interpersonal dan menjelaskan asas-asas komunikasi interpersonal; dosen membagi mahasiswa menjadi beberapa kelompok,

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya putaran poros kritis pada  praktikum putaran poros kritis ini seperti kecepatan putaran poros ini dapat terjadi

terkonsentrasi secara signifikan atas piutang usaha. The Management believes there is no significant concentration risk on trade receivable. Tidak ada piutang usaha yang

Berdasarkan paparan tersebut, pene- litian ini bertujuan untuk mengetahui ke- ragaan fisik unit penangkapan togo, menge- tahui produktivitas alat tangkap togo yang

AMALI/ MAKMAL NO. AMALI PENYELARAS/ PENGAJAR BIL. KOD PROGRAM/ MAJOR/ KLASIFIKASI/ KUOTA BIL.. FAKULTI PERUBATAN VETERINAR Fakulti. JABATAN PENGAJIAN KLINIKAL VETERINAR Jabatan : :