BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Parlemen pada mulanya lahir sebagai wujud dari doktrin lahirnya
kedaulatan rakyat atau sovereignity. Kedaulatan dimaknai sebagai sifat khusus suatu negara, yang membedakannya dengan semua unit perkumpulan
lainnya. Kedaulatan tersebut diwujudkan dalam bentuk kekuasaan untuk
membuat dan melaksanakan undang-undang dengan segala cara pemaksaan
yang diperlukan.1 Kedaulatan mengandung makna kekuasaan penuh baik ke dalam maupun ke luar negara tertentu atau diidentikkan dengan pengertian
kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara.2
Untuk menyalurkan kedaulatan rakyat tersebut dapat dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung. Pada mulanya kedaulatan rakyat dilakukan
secara langsung karena manusia hidup dalam suasana yang masih sangat
sederhana. Masa sekarang ini perwujudan kedaulatan rakyat tidak dapat
dilakukan secara langsung karena perkembangan dan kompleksitas
kepentingan manusia.3 Pelembagaan kedaulatan rakyat secara tidak langsung pada saat ini menjadi pilihan terbaik mengingat tidak mungkin pelaksanaan
1
Charles Simabura, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah dan Sistemnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, h. 13.
2
Jimly Asshidique, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, (selanjutnya disingkat Jimly Asshidique I), h. 144.
3
kedaulatan rakyat secara langsung. Pelembagaan kedaulatan tersebut
kemudian diformulasikan dalam lembaga parlemen.4
Sejak 2004 rakyat secara langsung memilih wakil-wakilnya di lembaga
perwakilan rakyat. Di masa lalu, para pejabat politik tersebut dipilih rakyat
melalui partai berdasarkan sistem proporsional tertutup. Perubahan peraturan
perundang-undangan di bidang politik telah mulai mendorong
dilaksanakannya perubahan paradigma tata pemerintahan yang lebih
demokratis. Hal ini akan membawa konsekuensi logis, dimana rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi akan mempunyai pengaruh sangat besar
dalam proses politik di Indonesia. Dengan keikutsertaannya dalam pemilihan
langsung, rakyat memilih dan menempatkan para wakil mereka untuk duduk
di lembaga perwakilan rakyat. pemilihan terhadap para wakil tentu dilakukan
berdasarkan kepercayaan dan keyakinan. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan
bahwa pemilihan langsung dapat membangun hubungan kontraktual politik
yang lebih baik antara anggota dewan dan konstituennya. Kontrak politik
tersebut menghendaki para anggota dewan dan pejabat politik lainnya
mengoptimalkan pelaksanaan proses politik demi tata pemerintahan yang
lebih demokratis dan pembangunan yang menyejahterakan rakyat.5
Lembaga perwakilan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi (DPRD Provinsi) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
4
Charles Simabura, Op. Cit. h. 15. 5
kabupaten/kota (DPRD kabupaten/kota). Sebagai lembaga perwakilan rakyat,
anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota
(anggota lembaga perwakilan rakyat) dipilih oleh rakyat melalui pemilihan
umum. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.6 Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik7, sedangkan peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.8
Masa jabatan anggota lembaga perwakilan rakyat tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 (UU MD3) yakni selama lima tahun. Namun
tidak ada ketentuan dalam konstitusi maupun UU MD3 yang menyebutkan
bahwa anggota lembaga perwakilan rakyat sesudahnya dapat dipilih kembali
dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Hal ini berarti
tidak ada pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan rakyat dalam
hukum positif Indonesia. Berbeda halnya dengan jabatan presiden dan wakil
presiden, kepala daerah, hakim konstitusi, pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), dan anggota Komisi Yudisial (KY) yang memiliki batasan
periodisasi yang diatur dalam UU. Tidak adanya batasan periodisasi
seseorang dapat menjabat sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat
semakin menegaskan adanya ketidak konsistenan yang dibuat oleh anggota
6
Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945. 7
Pasal 22 E ayat (3) UUD 1945. 8
lembaga perwakilan rakyat karena dalam merumuskan UU, anggota lembaga
perwakilan rakyat memberikan pembatasan periodisasi bagi jabatan-jabatan
lain tetapi tidak memberikan pembatasan periodisasi dalam merumuskan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tetang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) dan UU MD3.
Para anggota lembaga perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat melalui
pemilu, pada hakikatnya adalah wakil-wakil rakyat dan kepanjangan tangan
rakyat, sehingga dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya harus
sesuai dengan kepentingan rakyat. Namun di lain sisi, anggota lembaga
perwakilan rakyat sibuk dengan agenda politiknya sendiri dan seringkali
lamban dalam merespon kebutuhan maupun masalah yang dialami
masyarakat. Kelemahan ini yang menyebabkan masyarakat mulai tidak
percaya bahwa agen representasi yang mewakili mereka mampu bekerja
dengan baik dan memperjuangkan masalah yang dihadapi masyarakat.9 Tingkat krisis kepercayaan terhadap anggota lembaga perwakilan rakyat
sesuai dengan tingkat ketajaman kritik dan kekecewaan pemilih yang
disebabkan oleh tingkah laku kekuatan politik itu sendiri. Salah satu akibat
krisis kepercayaan masyarakat kepada kekuatan-kekuatan politik, dan
merupakan akibat yang terpenting jika dipandang dari segi pelembagaan
politik, ialah meningkatnya proses politik di luar lembaga-lembaga politik
yang berarti memperlemah proses pelembagaan politik. 10 Keadaan ini
9
Abdul Rozaki, dkk, Menuju Representasi Substantif: Potret Representasi Konstituensi dan Komunikasi Politik Anggota Dewan Perwa kilan Daerah, IRE, Yogyakarta, 2014, h. 16-17.
10
semakin memburuk manakala para anggota lembaga perwakilan rakyat yang
menjabat hanya itu-itu saja. Faktanya, pada pemilu anggota DPR 2014-2019,
terdapat 507 orang atau 90,5%11 caleg petahana yang mencalonkan diri kembali. Dari 507 orang tersebut, ada sebanyak 24212 orang yang terpilih kembali menjadi anggota DPR.
Pengisian jabatan sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat terkesan
hanya sebagai rutinitas belaka. Minimnya kemunculan tokoh-tokoh baru
sebagai wakil rakyat menjadikan pemilu legislatif hanya formalitas belaka
untuk mencapai kekuasaan. Warga negara lain yang hendak mencalonkan diri
sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat tidak memiliki peluang sebesar
calon petahana, terlebih calon anggota lembaga perwakilan rakyat yang
sudah menjabat lebih dari 2 periode masa jabatan. Hal ini disebabkan calon
petahana memiliki akses yang jauh lebih luas kepada masyarakat serta
fasilitas sarana dan prasarana yang memadahi. Penulis berargumen bahwa
tidak adanya pembatasan periodisasi bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1)
UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum” karena ada ketidak konsistenan yang dilakukan oleh
pembuat undang-undang. Para pembuat undang-undang memberikan
pembatasan periodisasi pada jabatan-jabatan di luar anggota lembaga
perwakilan rakyat, namun tidak dilakukan terhadap dirinya sendiri. Negara
sebagai institusi yang menjaga hidup manusia berkewajiban untuk
11
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/05/05/mmbftm-905-persen-anggota-dpr-2014-bakal-diisi-muka-lama dikunjungi pada tanggal 25 Mei 2016 pukul 12.23.
12
melindungi hak tersebut. Sesuai dengan pernyataan Friedman yang
menyatakan esensi dari nilai hukum demokrasi modern merupakan landasan
“demokrasi konstitusional” meliputi: asas kehendak rakyat dasar dari
kekuasaan, dan rule of law, yang unsur-unsurnya terdiri atas, “supremasi
hukum”, “persamaan di muka hukum”, dan perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM).13
Ada istilah yang pernah dikatakan oleh Lord Acton yaitu, ”Power tends
to corrupt, and absolute power tends to corrupts absolutely.” Dapat dilihat
bahwa banyak anggota lembaga perwakilan rakyat yang sudah menjabat
beberapa periode namun tidak memberikan kontribusi terhadap masyarakat.
Justru muncul potensi penyalahgunaan wewenang ketika seseorang terlalu
lama menjabat sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat. Hal ini terbukti
dengan ditetapkannya Eri Zulfian sebagai tersangka kasus dugaan korupsi
uang makan dan minum fiktif DPRD Kabupaten Padangpariaman
2010/201114, ia menjadi anggota DPRD Padang Pariaman sejak 1999-2004, kemudian terpilih kembali untuk periode 2004-2009 dan 2009-2014. Atau
Marthen Apuy yang terjerat kasus dugaan korupsi dana operasional DPRD
Kutai Kartanegara tahun 2005 senilai Rp 2,67 miliar.15 Marthen Apuy menjadi anggota DPRD Kutai Kartanegara periode 2004-2009, anggota
DPRD Kalimantan Timur periode 2009-2014, dan anggota DPR RI periode
2014-2019. Memang benar anggota lembaga perwakilan rakyat dalam
13
I Dewa Gede Atmadja, Ilmu Negara Sejara h, Konsep Negara dan Kajian Kenegaraan, Setara Press, Malang, 2012, h. 92.
14
http://www.antarasumbar.com/berita/112670/pengamat-anggota-dprd-segera-diberhentikan-jika-divonis-bersalah.html dikunjungi pada tanggal 8 Juni 2016 pukul 20.45.
15
menjalankan setiap kewenangannya dilakukan secara kolektif, namun hal ini
tidak menutup ruang bagi anggota lembaga perwakilan rakyat untuk tidak
bertindak sewenang-wenang. Hal ini tercermin dari banyaknya kasus korupsi
yang melibatkan anggota lembaga perwakilan rakyat baik di daerah maupun
di pusat. Tercatat sejak tahun 2010-2016, ada 42 orang anggota DPRD yang
menjadi tersangka tindak pidana korupsi di KPK.16 Sedangkan pada anggota DPR periode 2014-2019, sudah ada 5 orang yang menjadi tersangka tindak
pidana korupsi.17
Tidak adanya pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan
rakyat akan menghilangkan fungsi partai politik yang memiliki sistem seleksi
dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem
pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Tujuan rekrutmen politik
untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan
di bidang politik tidak akan terwujud.18 Kader-kader muda partai politik yang potensial tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk meraih kursi sebagai
anggota lembaga perwakilan rakyat karena partai politik memiliki
kepentingan pragmatis dalam mengusung calon anggota lembaga perwakilan
rakyat. Partai politik selalu berusaha untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya
di lembaga perwakilan rakyat, tidak peduli siapa yang mengisi kursi tersebut.
Calon petahana yang memiliki peluang keterpilihan lebih besar tentu lebih
diunggulkan oleh partai politik untuk mengamankan kursi di lembaga
16
http://poskotanews.com/2016/03/05/sejak-2010-2016-sudah-42-anggota-dprd-jadi-tersangka-korupsi-di-kpk/ dikunjungi pada tanggal 2 Juni 2016 pukul 18.27.
17
http://nasional.sindonews.com/read/1090544/13/jumlah-legislator-jadi-tersangka-bertambah-kinerja-dpr-disorot-1457100077 dikunjungi pada tanggal 2 Juni 2016 pukul 18.31.
18
perwakilan rakyat. Hal inilah yang menyebabkan regenerasi di dalam partai
politik tidak berjalan lancar karena hanya orang itu-itu saja yang diusung
menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat.
Pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan rakyat menjadi
perlu dikarenakan melihat keadaan Indonesia saat ini. Tidak adanya
kemajuan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, salah satunya
juga bersumber dari anggota lembaga perwakilan rakyat yang tidak memiliki
inovasi serta perbaikan sistem kerja. Secara kuantitas, sejak Oktober 2014 -
Maret 2016 hanya 21 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sudah
disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang.19 Kenyataan ini sejalan dengan pandangan Giovanni Sartori yang menyatakan, masalah dalam sistem
pemerintahan presidensial bukan terletak di lingkungan kekuasaan eksekutif,
tetapi lebih pada kekuasaan legislatif.20 Alasan-alasan ini yang mendasari
penelitian penulis dengan judul “Pembatasan Periodisasi Anggota
Lembaga Perwakilan Rakyat.” Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis
berargumen bahwa pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan
rakyat harus dilakukan karena: (1) menjamin dan melindungi HAM warga
negara lain; (2) mencegah penyalahgunaan wewenang; (3) mengoptimalkan
fungsi partai politik; (4) menciptakan inovasi pemikiran di lembaga
perwakilan rakyat.
19
21 RUU yang disahkan oleh Presiden menjadi UU dengan rincian 1 UU pada 2014, 14 UU pada 2015 dan 6 UU pada 2016.
20
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dari
penelitian ini adalah:
1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan pembatasan periodisasi anggota
lembaga perwakilan rakyat?
2. Apa gagasan pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan
rakyat?
C.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah membangun suatu argumen bahwa
perlu adanya pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan rakyat.
Atas dasar argumen utama tersebut maka penulis selanjutnya akan
menjabarkannya menjadi argumen yang lebih spesifik sebagai tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Mengargumentasi bahwa pembatasan periodisasi anggota lembaga
perwakilan rakyat untuk menjamin hak asasi warga negara lain;
2. Mengargumentasi bahwa pembatasan periodisasi anggota lembaga
perwakilan rakyat untuk menghindari kesewenang-wenangan anggota
lembaga perwakilan rakyat dan menciptakan lembaga perwakilan rakyat
yang berkualitas.
3. Mengargumentasi bahwa pembatasan periodisasi anggota lembaga
4. Mengargumentasi bahwa pembatasan periodisasi anggota lembaga
perwakilan rakyat untuk menciptakan inovasi pemikiran di lembaga
perwakilan rakyat.
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diberikan oleh penelitian ini dari segi teoritis adalah untuk
menjelaskan pembatasan periodisasi angggota lembaga perwakilan rakyat
sesuai dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 dan pada tataran praktis bisa
menciptakan lembaga perwakilan rakyat yang lebih berkualitas.
E.
Metode Penelitian
Penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian hukum (legal
research) terkait dengan pembatasan periodisasi angggota lembaga perwakilan rakyat. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how
dalam ilmu hukum, bukan sekadar know-about. Sebagai kegiatan know-how,
penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi.21 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach).
Pendekatan perundang-undangan karena bahan hukum yang digunakan
dalam penelitian ini adalah undang-undang. Pendekatan perundang-undangan
akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah
konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang dengan
undang-undang lainnya atau antara undang-undang-undang-undang dengan Undang-Undang Dasar
atau antara regulasi dengan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut
21
merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. 22 Pendekatan konseptual digunakan penulis karena akan merujuk pada
pandangan sarjana dan doktrin hukum. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan
ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep
hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut
merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi
hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.23 Kedua pendekatan tersebut digunakan agar penulis dapat menjelaskan bagaimana ketentuan
perundang-undangan melakukan pembatasan periodisasi angggota lembaga perwakilan
rakyat.
Sumber data yang digunakan oleh penulis adalah sumber data sekunder.
Menurut Soerjono Soekanto, keuntungan yang dapat diperoleh dengan
penggunaan data sekunder, antara lain: penghematan tenaga dan biaya,
kemungkinan untuk memperkokoh dan memperluas dasar-dasar menarik
generalisasi dari hasil-hasil penelitian, penelitian terhadap data sekunder
tidak terikat oleh waktu dan tempat.24 Teori pengumpulan data yang digunakan adalah kepustakaan.
22Ibid. h. 133. 23
Ibid. h. 135-136. 24
F.
Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri atas beberapa bab, dengan sistematikanya sebagai
berikut. Bab I berisi uraian latar belakang masalah yang menjadi alasan
penulis memilih judul dan mendeskripsikan permasalahan penelitian berkaitan
dengan pembatasan periodisasi angggota lembaga perwakilan rakyat.
Bab II akan menguraikan mengenai teori-teori lembaga perwakilan
rakyat, HAM dan konsep pembatasan/pembagian kekuasaan. Penulis akan
menjelaskan mengenai pembatasan periodisasi angggota lembaga perwakilan
rakyat kemudian mengaitkan kerangka pikir ini sejalan dengan ketentuan
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dalam The Declaration of Rights
of Man and Citizen yang merupakan mukadimah rancangan undang-undang dasar Perancis, yang disusun pada bulan Agustus 1789, mengakui dan
menyatakan hak-hak manusia dan warga negara antara lain adalah hak
diperlakukan sama di hadapan hukum, sama pula haknya untuk dapat dipilih
menduduki jabatan-jabatan negara, tempat-tempat, dan pekerjaan-pekerjaan,
menurut kemampuan mereka, dan tanpa pembedaan lain kecuali pembedaan
berdasarkan keterampilan serta bakat mereka.25 Tidak adanya pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan rakyat merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia. Setiap pelanggaran hak asasi manusia yang
melibatkan peran pemerintah dikategorikan sebagai crime by government
yang termasuk ke dalam pengertian political crime (kejahatan politik)
25
sebagai lawan dari pengertian crime against government (kejahatan terhadap
kekuasaan resmi).26
Bab III akan menguraikan profil lembaga rakyat dimulai dari orde lama,
orde baru hingga saat ini. Bab IV akan berisi analisis yang menguraikan
dasar pertimbangan pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan
rakyat. Dasar pertimbangan tersebut meliputi; pembatasan periodisasi
anggota lembaga perwakilan rakyat untuk menjamin hak asasi warga negara;
pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan rakyat untuk
menghindari kesewenang-wenangan anggota lembaga perwakilan rakyat dan
menciptakan lembaga perwakilan rakyat yang berkualitas; pembatasan
periodisasi anggota lembaga perwakilan rakyat untuk mengoptimalkan fungsi
partai politik; dan pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan rakyat
untuk menciptakan inovasi pemikiran di lembaga perwakilan rakyat.
Bab V berisi uraian kesimpulan dan saran terhadap pembatasan
periodisasi angggota lembaga perwakilan rakyat.
26