• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

A. Alat Bukti Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia

Untuk menentukan suatu kebenaran yang obyektif, harus menggunakan alat bukti. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinanhakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.36

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka dinilai sebagai alat bukti dan yang

dibenarkan mempunyai “kekuatan hukum”, hanya terbatas pada alat bukti yang

tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja. Kekuatan Pasal 183 KUHAP yang juga mengandung asas unus testis nullus testis

yang artinya “keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan

terdakwa” dapat kita temukan di Pasal 183 KUHAP yakni sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

(2)

Proses pemeriksaan pada acara pidana diperlukan ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana yang terlihat dalam acara pemeriksaan biasa yang terkesan sulit pembuktiannya dan membutuhkan penerapan hukum yang benar dan pembuktian yang obyektif serta terhindar dari rekayasa para pelaksana persidangan. Untuk menemukan suatu kebenaran yang obyektif maka diperlukannya alat bukti. Alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang diatur dalam pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 terdiri dari:37 a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan Ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan Terdakwa.

Ad. a. Keterangan Saksi

Dalam pengertian tentang keterangan saksi, terdapat beberapa pengertian lainnya yang perlu dikemukakan, yaitu pengertian saksi dan kesaksian, sebagai berikut :

1. Saksi

Dalam pengertian saksi, terdapat beberapa pengertian yang dapat dikemukakan, yaitu :38

a) Seseorang yang mempunyai informasi tangan pertama mengenai suatu kejahatan atau kejadian dramatis melalui indra mereka (misal penglihatan,

37

Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika,,2010),hlm.259

38

(3)

pendengaran, penciuman , sentuhan) dan dapat menolong memastikan pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian. Seorang saksi yang melihat kejadian secara langsung dikenal juga sebagai saksi mata.

b) Pasal 1 angka 26 KUHAP menjelaskan : saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

c) Rancangan Undang-Undang Perlindugan Saksi pada Pasal 1 ayat (1) nya berbunyi : Saksi adalah seseorang yang menyampaikan laporan dan atau orang yang dapat memberikan keterangan dalam proses penyelesaian tindak pidana berkenaan dengan peristiwa hukum yang ia dengar, lihat dan alami sendiri dan atau orang yang memiliki keahlian khusus tentang pengetahuan tertentu guna kepentingan penyelesaian tindak pidana.

2. Kesaksian

Dalam pengertian kesaksian, terdapat beberapa pengertian yang dapat dikemukakan, yaitu :

a) Menurut R.Soesilo, kesaksian adalah suatu keterangan di muka hakim dengan sumpah, tentang hal-hal mengenai kejadian tertentu, yang ia dengar, lihat dan alami sendiri.

(4)

pemberitahuannya secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan dilarang atau tidak diperbolehkan oleh undang-undang yang dipanggil di pengadilan. 3. Keterangan Saksi

Yang dimaksud dengan keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP

adalah “salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan

dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu.

Didalam keterangan saksi agar dapat dipakai sebagai alat bukti maka harus memenuhi dua syarat, yaitu :39

a. Syarat Formil

Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah apabila diberikan memenuhi syarat formil, yaitu saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah, sehingga keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh digunakan sebagai penambahan penyaksian yang sah lainnya.

b. Syarat Materiel

Bahwa keterangan seorang atau satu saksi tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian ( unus testis nulus testis) karena tidak memenuhi syarat materiel, akan tetapi keterangan seorang atau satu orang saksi, adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan.

Untuk suatu penilaian keterangan saksi sebagaimana menurut Pasal 185 KUHAP, bahwa :

39

(5)

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :

a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;

b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;

d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

(6)

keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Konsepsi saksi, khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitutusi nomor 65/PUU-VIII/2010 yang perlu untuk diketahui adalah seperti yang diatur di dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Dengan demikian keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu yang jelas terdapat dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP. Menurut Mahkamah Konstitusi pengertian saksi dalam KUHAP menimbulkan pengertian yang multitafsir dan melanggar asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam pembentukan perundang-undangan pidana. Ketentuan yang multitafsir dalam hukum acara pidana dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi warga negara, karena dalam hukum acara pidana berhadapan antara, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memiliki kewenangan untuk memeriksa tersangka atau terdakwa yang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum.40

Dengan pendefenisian saksi dan keterangan saksi yang demikian itu apabila diabaikan akan mendapat kelemahan yang berbahaya. Bagaimana jika ada

40

Risalah Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 65/PUU-VIII/2010 Perihal

(7)

orang yang memiliki pengetahuan relevan terkait tindak pidana atau tuduhan tindak pidana, namun ia tidak mendengar, melihat, dan merasakan secara langsung tindak pidana tersebut ? Hal ini yang pertama kali disadari oleh Yusril Ihza Mahendra yang mana merupakan pemohon pengujian pasal tersebut yang bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang dalam legal standing nya menyatakan bahwa Pasal 1 angka 26 KUHAP telah memberikan pembatasan, bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka aau terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan atau saksi alibi karena hanya saksi fakta yang bisa diajukan sebagai saksi yang menguntungkan, permohonan Yusril Ihza Mahendra saat itu diterima dan dengan demikian sekarang dapat diketahui bahwa yang disebut saksi dalam perkara pidana tidak hanya orang yang mendengar, melihat, dan merasakan sendiri terjadinya tindak pidana. Orang yang tidak mendengar, melihat, dan merasakan terjadinya tindak pidana pun dapat menjadi saksi selama ia memiliki pengetahuan yang relevan terkait tindak pidana atau tuduhan tindak pidana yang diperkarakan.41

Pengecualian terhadap orang yang dapat menjadi saksi didalam persidangan diatur di dalam pasal 186 KUHAP, sebagai berikut :42

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

41

http://www.calonsh.com/2016/10/16/konsepsi-saksi-dalam-perkara-pidana-pasca- putusan-mk-nomor-65puu-viii2010 di akses pada tanggal 31 Juli 2017 pukul 20.15 wib

42

(8)

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Disamping mengenai karena adanya hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ditentukan dalam pasal 170 KUHAP bahwa mereka, yang karena pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta dibebaskan dari kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Jika terhadap hal tersebut tidak diatur maka hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut. Dalam pasal 171 KUHAP ditambahkan pengecualian untuk memberi kesaksian dibawah sumpah ialah :

1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; 2) Orang sakit ingatan dan sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.43

Hal kewajiban saksi mengucapkan sumpah atau janji KUHAP masih mengikuti peraturan lama (HIR), dimana ditentukan pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebagai alat bukti. Agar keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah dan kuat maka sebelumnya saksi memberikan keterangan terlebih dahulu wajib mengucapkan sumpah atau janji

43

(9)

menurut cara agamanya masing-masing, hal ini tercantum dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP.44

Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: a) Saksi A Charge (Saksi yang memberatkan terdakwa)

Saksi ini adalah saksi yang telah dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dengan keterangan atau kesaksian yang diberikan akan memberatkan terdakwa, demikian menurut Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP, bahwa

“Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang

memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan,

hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut”

b) Saksi A De Charge (Saksi yang meringankan atau menguntungkan terdakwa)

Saksi ini dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang mana keterangan atau kesaksian yang diberikan akan meringankan atau menguntungkan terdakwa, demikian menurut Pasal

65 KUHAP, bahwa “Tersangka atau terdakwa berhak untuk

mengusahakan diri mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi

dirinya.”

44

(10)

Mengenai saksi yang dapat juga ditemukan sebagai saksi mahkota memang tidak diatur di dalam KUHAP namun istilah ini dapat ditemui dalam alasan yang tertuang pada memori kasasi yang diajukan oleh kejaksaan dalam Putusan Mahkamah Agung no.2374 K/Pid.sus/2011 yang menerangkan bahwa

“Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai saksi

mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspekstif empirik maka saksi mahkota didefiniskan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau

dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.”45

Dalam meminta keterangan dari saksi mahkota ini, berkas perkara dari terdakwa tersebut dipisah (splitsing). Splitsing dilakukan karena kurangnya saksi untuk menguatkan dakwaan penuntut umum, sehingga harus ditempuh cara mengajukan sesama tersangka yang lain. Namun kelemahan dari pemeriksaan seperti ini sering mengakibatkan terjadinya keterangan saksi palsu, sehingga kemungkinan saksi diancam atau dikenakan dengan Pasal 224 KUHP yang berisi

“barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut

undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang-undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam: dalam perkara pidana, dengan pidana penjara

45

(11)

paling lama sembilan bulan dan dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.” Kemungkinan yang timbul adalah bahwa para terdakwa yang diperiksa seperti ini akan saling memberikan atau meringankan satu sama lain.46

Ad. b Keterangan Ahli

Esensi keterangan ahli atau verklaringen van een deskundige/expect testimony adalah keterangan yang diberikan oleh seseorag yang memiliki keahlian khusus tentang yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan seperti yang terdapat pada Pasal 1 butir 28 KUHAP merumuskan bahwa:47

“Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat

terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaaan.”

Mengenai keterangan ahli juga dapat dilihat pada Pasal 186 KUHAP yang bunyinya sebagai berikut :

“Keterangan ahli ini juga dapat sudah diberikan pada waktu pemeriksaan

oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam sautu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima

jabatan atau pekerjaan”

Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang hanya diatur dalam satu pasal saja pada Bagian keempat, Bab XVI sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 186 KUHAP. Akibatnya kalau hanya bertitik tolak pada

46

Hari sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana (Bandung:Mandar Maju,2003) hlm. 52

47

(12)
(13)

bertitik tolak dari tujuan pemeriksaan ahli tadi, yaitu “untuk membuat terang”

perkara pidana yang sedang diperiksa.48

Dalam Pasal 120 KUHAP kembali lagi ditegaskan yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah orang yang memiliki “keahlian khusus”, yang akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Pengertian inilah yang dapat disarikan dari ketentuan Pasal 120 KUHAP, jika pengertian ahli dikaitkan dengan alat bukti dan pembuktian. Dengan demikian Pasal 120 KUHAP semakin mempertegas pengertian keterangan ahli yang ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian, yakni:

i. Secara umum yang dimaksud dengan keterangan ahli yang dapat dianggap bernilai sebagai alat bukti yang sah ialah keterangan seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal.

ii. Dan keterangan yang diberikannya sebagai ahli yang memiliki keahlian khusus

dalam bidangnya, berupa keterangan “menurut pengetahuannya”

Dalam Pasal 133 KUHAP lebih menitikberatkan masalahnya kepada keterangan ahli kedokteran kehakiman, dan menghubungkannya dengan tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan, penganiayaan dan pembunuhan.

Kalau Pasal 133 dihubungkan dengan Pasal 1 angka 28 dan Pasal 120 KUHAP pada satu pihak, tampak seolah undang-undang mengelompokkan ahli pada dua kelompok, yakni:49

48

M.Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP ,Pemeriksaan Sidang Pengadilan,…,op cit, hlm.298

49

(14)

1) Ahli secara umum seperti yang diatur pada Pasal 1 angka 28 dan Pasal 120, yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu, seperti ahli jiwa, akuntan, ahli kimia, ahli mesin, ahli pertambangan, dan sebagainya.

2) Ahli kedokteran kehakiman seperti yang disebut dalam Pasal 133 KUHAP, ahli yang khusus dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan dengan bedah mayat dan forensic.

Sebenarnya ahli dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan dengan kejahataan tindak pidana penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya pada hakikatnya adalah ahli yang memiliki keahlian khusus. Atau dengan kata lain, ahli kedokteran kehakiman ialah ahli yang khusus yang memiliki keahlian yang berhubungan dengan korban yang mengalami luka, keracunan ataupun mati yang diduga diakibatkan peristiwa pidana. Oleh karena itu khusus mengenai keterangan korban yang mengalami luka, keracunan atau pembunuhan, hanya dapat diminta dari ahli kedokteran kehakiman, agar keterangan tersebut dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah. Keterangan yang diberikan oleh dokter yang bukan ahli kedokteran kehakiman, bukan merupakan alat bukti yang sah. Keterangan mereka hanya bernilai sebagaimana ditegaskan penjelasan Pasal 133 ayat (2) KUHAP. Dan kalau nilai keterangan dokter yang bukan ahli dokter kehakiman hanya dianggap undang-undang sebagai keterangan saja maka keterangan itu:

a) Tidak mempunyai nilai pembuktian

(15)

ketentuan Pasal 161 ayat (2) KUHAP. Keterangan tersebut dapat

dipergunakan hakim untuk “menguatkan keyakinannya”

Dalam Pasal 179 KUHAP, ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian, tampaknya pasal ini lebih mempertegas pendapat akan hal-hal yang telah diuraikan di atas, yakni :

(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakirnan atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.50

Ad. c. Surat

Jenis surat yang dapat diterima sebagai alat bukti dicantumkan dalam Pasal 187 KUHAP. Surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Jenis surat yang dimaksud adalah: pertama berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.51

50

Ibid,hlm.300

51

(16)
(17)

ataupun persidangan. Keempat, surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya mengandung nilai pembuktian apabila isi surat tersebut ada hubungannya dengan alat bukti lain. Berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah. Informasi elektronik dan atau dokumen berikut hasil cetakannya adalah perluasan dari alat bukti yang sah menurut hukum acara. Dokumen elektronik tidaklah dapat dijadikan alat bukti jika terhadap suatu surat, undang-undang menentukan harus dibuat dalam bentuk tertulis, termasuk pula akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Dalam hal surat-surat tidak memenuhi persyaratan untuk dinyatakan sebagai bukti surat.surat-surat tersebut dapat dipergunakan sebagai petunjuk. Akan tetapi, mengenai semuanya diserahkan kepada pertimbangan hakim.52

1) Menurut Sudikno Merto Kusumo :

Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.

2) Menurut Asser-Anema

52

(18)

Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.

3) Menurut Mahkamah Agung

Dalam suratnya kepada Menteri Kehakiman RI pada tanggal 14 Januari 1988. Nomor 39/TU/88/102/Pid, berpendapat bahwa microfilm atau microfiche dapat dipergunakan53 sebagai alat bukti.

Ad.d. Petunjuk

Pengertian petunjuk terdapat dalam Pasal 188 KUHAP yang merumuskan bahwa: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya.”

Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Terlebih jika diperhatikan pada Pasal 188 ayat (1) KUHAP yang mengatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Apabila kita bandingkan dengan 4 (empat) alat bukti yang lain dalam pasal 184 KUHAP, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu alat bukti yang bulat dan berdiri sendiri, melainkan suatu bukti bentukan hakim. Alat bukti petunjuk sebenarnya merupakan rekonstruksi perbuatan, kejadian, atau keadaan yang diperoleh dari keteranngan saksi , surat dan keterangan terdakwa

53

(19)

yang bersesuaian sehingga memberikan gambaran mengenai terjadinya tindak pidana dan siapa pelakunya.54

Hal ini dapat dilihat dari pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyatakan

bahwa “petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya”. Petunjuk yang dimaksud hanya dapat diperoleh dari :55

a. Keterangan Saksi b. Surat

c. Keterangan Terdakwa

Keberadaan dan bekerjanya alat bukti petunjuk ini cenderung merupakan penilaian terhadap hubungan atau persesuaian antara isi dari beberapa alat bukti lainnya, dan bukanlah alat bukti yang berdiri sendiri, maka dapat dimaklumi apabila sebagian ahli menaruh sangat keberatan atas keberadaannya menjadi bagian dalam hukum pembuktian perkara pidana. Misalnya, Van Bemmelen yang mengatakan bahwa kesalahan utama ialah petunjuk-petunjuk dipandang sebagai alat bukti padahal hakikatnya tidak ada. Karena sifat yang demikian, maka Wirdjono Prodjidikoro menyarankan agar alat bukti petunjuk dilenyapkan dari penyebutan sebagai alat bukti. Selanjutnya, penggantinya adalah pada pengalaman

54

Al.Wisnubroto dan G.Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia, (Bandung:PT.Citra Aditya Bakti,2005) hlm.102

55

(20)

hakim dalam sidang dan pada keterangan terdakwa dimuka hakim tidak mengandung pengakuan salah seluruhnya dari terdakwa.56

Alat bukti petunjuk adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan dan persesuaian alat bukti yang ada dan yang dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektifitas hakim lebih dominan. Oleh karena itu, Pasal 188 ayat (3) KUHAP mengingatkan hakim agar dalam menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan tertentu harus dilakukan dengan arif dan bijaksana, setelah hakim memeriksa dengan cermat dan seksama yang didasarkan hati nuraninya. Berkaitan dengan hal tersebut maka ada pemikiran dalam KUHAP kedepan alat bukti petunjuk diganti dengan alat bukti pengamatan hakim.57

Ad . e. Keterangan Terdakwa

Menurut Pasal 189 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan alat butki berupa keterangan terdakwa, adalah:

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

56

Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia,(Jakarta:Bulak Sumur,1967),hlm.129

57

(21)

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Jadi berdasarkan Pasal 189 KUHAP diatas, bahwa keterangan terdakwa harus diberikan di depan sidang saja, sedangkan di luar sidang hanya dapat dipergunakan untuk menemukan bukti sidang saja. Demikian pula apabila terdakwa lebih dari satu orang, maka keterangan dari masing-masing terdakwa utnuk dirinya sendiri, artinya keterangan terdakwa satu dengan keterangan terdakwa lainnya tidak boleh dijadikan alat bukti terdakwa lainnya. Dalam hal keterangan terdakwa saja di dalam sidang, tidak cukup untuk membuktikan, bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu tindak pidana, tanpa didukung oleh alat bukti-bukti lainnya.58

B.Perkembangan tentang Alat Bukti menurut peraturan diluar KUHAP

Kesulitan pembuktian terhadap tindak pidana terkait dengan penyalahgunaan teknologi informasi terutama apabila hanya terpaku pada alat-alat bukti konvensional sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang kitab undang-undang hukum acara pidana. Permasalahan yang kemudian muncul, bagaimana hukum mengantisipasi kesulitan pembuktian terkait dengan perkembangan teknologi informasi tersebut dan bagaimana pula pemanfaatan teknologi informasi dalam pembuktian perkara pidana, tidak saja tindak pidana terkait dengan teknologi informasi , atau pun bukti elektronik akan tetapi juga terhadap pembuktian tindak pidana lainnya. Pada masa yang akan

58

(22)

datang perkembangan hukum selanjutnya atau dinyatakan dalam pembaharuan KUHAP bisa saja alat bukti elektonik akan menjadi alat bukti yang sah untuk tindak pidana umum, tetapi pada saat ini alat bukti elektronik bukanlah alat bukti yang sah dalam pidana umum menurut hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Berikut beberapa pengaturan mengenai perkembangan alat bukti yang diatur diluar KUHAP :

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Sebagaimana yang diatur pada Pasal 5 ayat (1) UU ITE: “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”, kemudian diperjelas lagi dalam Pasal 5 ayat (2)

UU ITE : “Informasi elektronik da/atau dokumen elektronik dan/atau hasil

cetaknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia”.

(23)

membuktikan dugaan tindak pidana tidak saja dengan alat-alat bukti yang selama dikenal ternyata memasukkan juga informasi elektronik dan dokumen elektronik dan atau hasil cetakkannya merupakan alat bukti yang sah.59

Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infromasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetakkannya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dalam ayat (2) nya menyebutkan bahwa informasi elektronik dan dokumen elektronik tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang sah. Lebih lanjut dalam dalam Pasal 44 nya, menyebutkan bahwa informasi elektronik dan dokumen elektronik yang menempatkannya sebagai alat bukti tersendiri disamping alat bukti yang dikenal selama ini, sehingga yang dimaksud perluasan dari alat bukti yang sah adalah menambah jenis alat-alat bukti menurut Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.60

Mengacu kepada KUHAP maka informasi dan dokumen elektronik bukan termasuk alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam hal terdapat informasi elektronik dan atau dokumen elektronik selama ini seringkali meskipun diajukan di persidangan (ataupun pembuktian di penyidikan maupun penuntutan) hanya berkekuatan pembuktian sebagai barang bukti. Hal ini tentu akan menimbulkan konsekuensi hukum yang tidak mudah, terutama terhadap tindak pidana umum sedangkan begitu besar dan

59

Jurnal Legislasi Indonesia “Sekelumit Mengenai Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”(Jakarta:Direktorat Jenderal Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,2006),hlm.28

60

(24)

pentingnya peranan informasi teknologi dan atau dokumen elektronik dalam pembuktian perkara pidana, sedangkan alat- alat bukti lainnya akan sulit untuk dapat membuat terang suatu tindak pidana. Hal tersebut ternyata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana melihat keperluan dan peranan pembuktian perkara pidana secara keseluruhan (tidak semata tindak pidana yang mengatur secara khusus penggunaan alat bukti tersebut) terkait dengan perkembangan teknologi dan informasi, dalam Pasal 175 ayat (1) menyebutkan

bahwa “salah satu alat bukti yang sah untuk pembuktian perkara pidana adalah

bukti elektronik.” Dalam Pasal 178 nya menyebutkan bahwa “yang dimaksud

bukti elektronik adalah sekalian bukti dilakukannya tindak pidana berupa

sarana yang memakai elektronik.”Dari pengertian tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik adalah termasuk dalam pengertian bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti menurut KUHAP tersebut.61

Melihat semakin pentingnya peranan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik di atas, termasuk kedudukannya dalam pembuktian perkara pidana, yang tidak lagi hanya menjadi perluasan alat bukti petunjuk akan tetapi merupakan salah satu jenis alat bukti yang sah. Kedudukan tersebut semakin jelas sebagai salah satu jenis alat bukti yang sah, dengan berbagai karakteristiknya, maka bukti elektronik di persidangan memerlukan pengetahuan tidak saja pada penyidik, penuntut umum maupun hakim, karena

61

(25)

tentu selain dari segi formalitasnya (cara memperoleh) maupun dari segi materiilnya (melihat nilai pembuktiannya). Bukti elektronik tentu berbeda dengan alat-alat bukti lainnya, semisal surat ataupun saksi, yang dapat dengan mudah dilihat, dibaca dan dinilai kekuatannya pembuktian secara langsung, tentu akan berbeda jika hal tersebut terjadi pada alat bukti yang bernama bukti elektronik tersebut. Pengetahuan (minimal dasar) dari bukti elektronik tersebut mutlak diperlukan karena karakteristiknya, sehingga bukti elektronik tersebut, selain diperkenankan juga reability (dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya),necessity (diperlukan untuk pembuktian) dan relevance (relevan dengan pembuktian).62

2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 44 ayat (2) dalam undang-undang ini jelas dinyatakan bahwa: “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan baik secara biasa

maupun elektronik atau optik”

3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme Pasal 27 huruf b menyatakan: “alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu” dan huruf c: “data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan

62

(26)

atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

a) Tulisan, suara atau gambar

b) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya

c) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat

dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya”

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Pada Pasal 73 berbunyi “Alat bukti yang sah dalam pembuktin tindak pidana pencucian yang ialah :

a. Alat bukti yang sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana; dan/atau;

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa optic

dan dokumen”63

C. Kekuatan Pembuktian dalam Alat Bukti

Pembuktian menurut subekti adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengkataan.64

Hukum acara pidana menganggap bahwa pembuktian merupakan suatu hal yang essensial untuk menentukan nasib seseorang terdakwa. Bersalah atau

63

http://www.radarbanjarmasinnews.com/2015/08/16/alat-bukti-elektronik-dalam pidana diakses pada tanggal 1 Agustus 2017 pukul 11.00 wib.

64

(27)

tidaknya seorang terdakwa sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam surat dakwaan ditentukan pada proses pembuktiannya. Atau dengan kata lain perkataan pembuktian merupakan suatu upaya untuk membuktikan kebenaran isi surat dakwaan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum, yang kegunaanya adalah untuk memperoleh kebenaran sejati (materiil) terhadap :65

1. Perbuatan-perbuatan manakah yang dianggap terbukti menurut pemeriksaan persidangan.

2. Apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya.

3. Tindak pidana apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan itu. 4. Hukum apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa bukanlah pekerjaan yang mudah.

Dalam rangka mencegah kesewenang-wenangan penetapan seseorang sebagai tersangka ataupun penangkapan dan penahanan, setiap bukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara satu dengan lainnya, termasuk pula dengan calon tersangka. Mengenai hal terakhir ini, dalam KUHAP kita tidak mewajibkan penyidik untuk memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada si tersangka, tetapi berdasarkan doktrin, hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut dengan istilah unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar.66

Untuk mengetahui suatu kebenaran atas suatu peristiwa yang terjadi diperlukan suatu proses kegiatan yang sistematis dengan menggunakan ukuran

65

Martiman Projohamidjojo,Pembaharuan Hukum Acara Pidana dalam teori dan praktek cetakan I (Jakarta:Pradnya Paramita,1989), hlm 133

66

(28)

dan pemikiran yang layak dan rasional. Kegiatan pembuktian dalam hukum acara pidana pada dasarnya diharapkan untuk memperoleh suatu kebenaran, yakni kebenaran dalam batasan-batasan yuridis bukan dalam batasan yang mutlak karena kebenaran yang mutlak yang sukar untuk diperoleh. Pembuktian dalam hukum acara pidana dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mendapatkan keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar atau tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.

Adapun nilai kekuatan tiap-tiap pembuktian dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi

Tentang nilai kekuatan pembuktian saksi ada baiknya kembali melihat masalah yang berhubungan dengan keterangan saksi ditinjau dari sah atau tidaknya keterangan saksi sebagai alat bukti. Ditinjau dari segi ini, keterangan saksi yang diberikan dalam sidang pengadilan di kelompokkan pada dua jenis:67 a) Keterangan saksi menolak bersumpah, tentang kemungkinan penolakan saksi

bersumpah telah diatur dalam Pasal 161 KUHAP. Sekalipun penolakan itu tanpa alasan yang sah dan walaupun saksi telah disandera, namun saksi tetap menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji. Dalam keadaan seperti ini menurut Pasal 161 ayat (2) KUHAP, nilai keterangan saksi yang demikian dapat menguatkan keyakinan hakim. Memang, keterangan yang diberikan

67

(29)

tanpa sumpah atau janji, bukan merupakan alat bukti, namun Pasal 161 ayat (2) KUHAP menilai kekuatan pembuktian keterangan tersebut “dapat menguatkan

keyakinan hakim” apabila pembuktian yang telah ada telah memenuhi batas

minimum pembuktian.

b) Keterangan yang diberikan tanpa sumpah,

Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP, yakni saksi yang telah memberikan keterangan dalam pemeriksaan penyidikan dengan

tidak disumpah, ternyata “tidak dapat dihadirkan” dalam pemeriksaan sidang

pengadilan. Keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan dibacakan di sidang pengadilan, dalam hal ini undang-undang tidak mengatur secara tegas nilai pembuktian yang dapat ditarik keterangan kesaksian yang dibacakan di sidang pengadilan. Namun demikian, kalau bertitik tolak dari ketentuan Pasal 161 ayat (2) KUHAP di hubungkan dengan Pasal 185 ayat (7) KUHAP nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang dibacakan disidang pengadilan, sekurang-kurangnya dapat “dipersamakan” dengan keterangan saksi yang diberikan di persidangan tanpa sumpah. Jadi, sifatnya tetap tidak merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya yang berfungsi:

i. Dapat dipergunakan “menguatkan keyakinan” hakim.

ii. Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai “tambahan alat bukti” yang

sah lainnya.

(30)

Seperti yang sudah dijelaskan, seorang saksi yang mempunyai pertalian keluarga tentu dengan terdakwa tidak dapat memberikan keterangan dengan sumpah. Barangkali untuk mengetahui nilai keterangan mereka yang tergolong pada Pasal 168 KUHAP yang sudah tertulis diatas, harus kembali menoleh pada Pasal 161 ayat (2) dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP yakni:

i. Keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti, ii. Tetapi dapat dipergunakan menguatkan hakim,

iii. Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan menguatkan alat bukti yang sah lainya sepanjang keterangan tersebut mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah itu, dan alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian.

d) saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171 KUHAP yang berbunyi “anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin atau orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang baik

kembali, boleh diperiksa memberi keterangan “tanpa sumpah” disidang

pengadilan”. Titik tolak untuk mengambil kesimpulan umum dalam hal ini

ialah Pasal 185 ayat (7) KUHAP tanpa mengurangi ketentuan lain yang diatur dalam Pasal 161 ayat (2), maupun Pasal 169 ayat 2 dan penjelasan Pasal 171. 68

Melihat penjelasan ketentuan-ketentuan tersebut, secara umum dapat disimpulkan:69

i. Semua keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah dinilai “bukan merupakan alat bukti yang sah” walaupun keterangan yang diberikan tanpa

68

Ibid,hlm.78

69

(31)

sumpah bersesuaian dengan yang lain, sifatnya tetap “bukan merupakan alat

bukti”

ii. Tidak mempunyai kekuatan alat pembuktian.

iii. Akan tetapi “dapat” dipergunakan “sebagai tambahan” menyempurnakan

kekuatan pembuktian yang sah.

Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disumpah sebenarnya bukan hanya unsur sumpah yang harus melekat pada keterangan saksi agar keterangan itu bersifat alat bukti yang sah, tetapi harus dipenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan undang-undang. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah maupun nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dapat diikuti penjelasan berikut :

a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas.

b. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. 2. Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli

M. Yahya Harahap menulis mengenai masalah kekuatan pembuktian dari keterangan ahli sebagai berikut,70 nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada

alat bukti keterangan ahli mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau vrij

bewijskracht. Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian Hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi Hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. Keterangan ahli, sebagaimana dikemukakan oleh M.Yahya Harahap, memiliki kekuatan

70

(32)

pembuktian bebas (vrij bewijskracht), artinya tidak mengikat hakim melainkan diserahkan kepada penilaian hakim. Pendapat M.Yahya Harahap ini sejalan dengan sistem pembuktian negatief-wettelijk yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP, di mana alat-alat bukti memiliki kedudukan sebagai dasar yang dapat menimbulkan keyakinan pada hakim. Jadi, kekuatan suatu alat bukti pada dasarnya masih tergantung pada keyakinan Hakim. Berbeda halnya dengan sifat positief-wettelijk di mana keyakinan Hakim tidak mendapat tempat, sehingga keyakinan Hakim tidak diperhitungkan dalam menjatuhkan putusan. Walaupun demikian, yaitu sekalipun hanya memiliki kekuatan pembuktian bebas (vrij bewijskracht) saja, ini tidaklah berarti bahwa keterangan ahli merupakan alat bukti yang dapat diabaikan atau dikesampingkan dengan mudah. Keterangan saksi ahli (expert witness) memiliki sifat yang berbeda dengan keterangan saksi biasa (ordinary witness).

Dengan adanya lebih dari satu pemberi keterangan ahli maka hakim dapat membuat perbandingan untuk pada akhirnya menarik kesimpulan, hal ini juga sudah diatur dalam Pasal 180 ayat (2) KUHAP yang menentukan bahwa dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang. Apabila semua ahli memberikan keterangan yang sama, tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak menggunakan keterangan yang diberikan oleh para ahli tersebut.

(33)

Pada asasnya, semua bukti tulisan itu merugikan atau memberatkan bagi orang yang menulisnya atau si pembuat. Pengecualian terhadap asas ini terdapat dalam Pasal 7 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang mengatakan “hakim adalah bebas untuk kepentingan masing-masing akan memberikan kekuatan bukti sedemikian rupa kepada pemegang buku setiap pengusaha, sebagaimana menurut pendapatnya dalam tiap-tiap kejadian khusus harus diberikannya”. Ketentuan ini juga terdapat dalam pasal 167 HIR. Atau dengan kata lain, ada kemungkian bahwa pemegangan buku itu menguntungkan pembuatnya. Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibagi kedalam dua golongan: akte dan surat-surat lain bukan akte. Sedangkan akte dapat dibagi dalam akte otentik dan akte dibawah tangan. Akte adalah surat yang diberi tanda tangan, memuat peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula sengaja untuk pembuktian. Keharusan tanda tangan pada surat untuk dapat disebut sebagai akte ternyata dari Pasal 1869 KUHPerdata (BW). Dengan demikian, karcis kereta api, tiket resi bukan termasuk akte. Akte Otentik adalah suatu akte yang di dalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu di tempat akte itu dibuat, ketentuan ini diatur pada Pasal 1868 BW, Pasal 165 HIR, atau Pasal 285 Rbg.71

Dalam akte otentik tidak menjadi persoalan mengenai tanda tangan, tetapi akte dibawah tangan, pemeriksaan tentang benar atau tidaknya akte yang bersangkutan yang telah ditandatangani oleh yang bersangkutan merupakan masalah pokok. Apabila tanda itu disangkal maka perlu diperiksa kebenaran tanda

71

(34)

tangan tersebut. Surat sebagaimana alat bukti disebuktan dalam Pasal 184 dan diatur dalam Pasal 187. Lengkapnya Pasal 187 berbunyi:

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.72

Dalam Pasal 187 KUHAP tidak ada penjelasan khusus tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat resmi (openbaar)dan surat-surat biasa (bijzonder), di dalam hukum acara perdata dapat diterapkan penilaian hukum acara pidana,

72

(35)

seperti disebutkan dalam Pasal 340 HIR. Oleh karena itu diserahkan kepada pertimbangan hakim.73

4. Nilai Kekuatan Pembuktian Petunjuk

Adapun mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti lain. Sebagaimana yang sudah diuraikan mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi, keteranan ahli, dan alat bukti surat, hanya mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas,hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena

itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan itu

harus didukung oleh sekurang-kurangnya satu alat bukti lain.74 5. Nilai Kekuatan pembuktian keterangan terdakwa

Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nasional yang berlandaskan dan dijiwai oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, memang sudah lama dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Ada kesepakatan bahwa Hukum Acara Pidana ini untuk menegakkan ketertiban umum tetapi sekaligus juga melindungi hak asasi manusia tiap-tiap individu. Dalam kaitannya dengan keterangan terdakwa dalam perumusan Pasal 52 KUHAP yang berbunyi :Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.

73

Ibid,hlm.105

74

(36)

Pasal 52 KUHAP tidak dapat dilepaskan dari prinsip hukum yang diterapkannya asas praduga tak bersalah (presumption of innocence),baik dalam pemeriksaan penyidikan maupun dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Oleh karena itu, keterangan terdakwa di muka penyidik dan hakim dilandasi oleh kebebasan memberi keterangan. Pengertian kebebasan dalam Pasal 52 KUHAP memberikan keterangan bahwa supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa. Rasa takut dalam keterangan terdakwa harus pula tidak dihubungkan atau ditujukan kepada paksaan dan atau tekanan. Jika kata paksaan itu harus diartikan sebagai paksaan badan (fisik) dan kata tekanan mengandung makna sebagai dorongan psikis atau rohani. Misalnya diancam, ditakuti-takuti. Seorang yang tertekan jiwanya tidak bebas dalam memberik keterangan sehingga tidak mencapai tujuan pemeriksaan yang sebenarnya.75

75

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan adanya sikap, nilai dan minat dalam karakteristik individu pegawai yang dapat mendorong peningkatan kinerja pegawai pada Inspektorat Daerah

Pada Skripsi ini akan di bahas tentang perancangan antena mikrostrip dualbanddengan daerah frekuensi seluler 4G dan WLAN untuk mendukung rf - energy

Pada halaman ini berisi tentang data mobil yang. ada, Terdapat tiga action yang dapat di klik

Teknik yang digunakan ialah dengan cara menempatkan sebuah pencatu ( feed ) pada salah satu patch hingga pada posisi pencatu tersebut didapatkan lebih dari satu

Hasil pengujian dengan sistem pemadaman berbasis kabut air akan lebih efektif jika dilakukan dekat dengan sumber api dan posisi semprotan dari atas api apabila momentum yang

Manajemen Kepala Sekolah dalam Peningkatan Kompetensi Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 1 Gemuh.. Semarang: Tesis tidak diterbitkan, dalam

Dalam memanfaatkan sumber daya alam pada proses pembelajaran IPA di sekolah dasar kelas V saat melakukan observasi terdapat kelebihan dan kekurangan, antara

Pengaruh Kemampuan Berargumentasi Pada Model Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X Mata Pelajaran Biologi SMA Negeri.. Patikraja Tahun Ajaran 2012/2013 Oleh