BAB III
PERAN LEMBAGA ADAT JIKA TERJADI SENGKETA DALAM
PEMBAGIAN WARIS PADA MASYARAKAT ANGKOLA DI KABUPATEN
TAPANULI SELATAN
A. Pengertian Lembaga Adat Masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan
1. Pengertian Lembaga Adat
Keberagaman yang ada di masyarakat Indonesia harus dikelola dengan
baik. Setiap kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang mempunyai budaya
dan adat istiadat yang berbeda harus dipenuhi dan diselaraskan dengan
kepentingan masyarakat Indonesia. Karena itu, dibentuk lembaga budaya yang
menaungi kebutuhan pengembangan adat istiadat. Lembaga budaya di dalam
masyarakat berperan untuk pengembangan budaya, ilmu pengetahuan,
lingkungan, seni dan pendidikan pada masyarakat yang bersangkutan.
Keberagaman hukum adat yang hidup berkembang dalam masyarakat
indonesia yang masing-masing dilatar belakangi oleh karakter budaya
berbeda-beda menciptakan hukum yang berberbeda-beda-berbeda-beda pula sehingga keberagaman itu
lebih ramah disebutkan oleh kalangan penstudi atropologi hukum sebagai
pluralisme hukum, hal ini pula terjadi perbedaan paradigma penyelesaian
Disamping itu eksistensi institusi lokal termasuk lembaga adat akhir-akhir
ini adalah sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati, lembaga adat yang
dulunya mampu eksis dan berperan dalam penyelesaian kasus atau perkara di
dalam masyarakat namun sekarang telah terjadi pergeseran paradigma
penyelesaian sengketa dalam masyarakat.
Hal ini dibuktikan dengan berbagai aktifitas penyelesaian sengketa di
kalangan masyarakat di Tapanuli Selatan tengah mengalami kemunduran dan
tidak mampu berbuat banyak dalam penyelesaian sengketa khususnya
penyelesaian sengketa waris di mana untuk penyelesaian sengketa, masyarakat
cenderung lebih menggunakan penyelesaian sengketa waris secara kekeluargaan
ataupun lembaga pengadilan.142 Namun di satu sisi harapan masyarakat untuk
menyelesaikan sengketa melalui lembaga pengadilan justeru kembali
menemukan permasalahan baru berupa resistensi atas sebuah keputusan
pengadilan terhadap perkara tertentu karena dianggap oleh sebagaian masyarakat
tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat.143
Istilah lembaga adat merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata
“lembaga” dan “adat”. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut Institution
yang bermakna pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian literal
ini, lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada
pola prilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki
142
Hasil wawancara dengan Marhan Harahap, Sekertaris camat Batang Angkola, tanggal 03 Maret 2016
143
struktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Struktur adalah tumpukan logis
lapisan-lapisan yang ada pada sistem hukum yang bersangkutan.144
Menurut Pasal 95 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,
Lembaga adat adalah merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat
istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang
atas prakarsa masyarakar Desa.145 Lembaga yang dimaksud bertugas membantu
pemerintah desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan
mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat
masyarakat desa.
Menurut Ter Haar146 dalam buku Badruzzaman, lembaga hukum adat
lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum,
terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu
pelaksanaan perbuatan-perbuatan hakim yang bertugas mengadili sengketa,
sepanjang keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum.
Menurut ilmu-ilmu budaya, lembaga adalah suatu bentuk organisasi yang
tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-relasi
yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi
hukum guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.147 Sebagaimana
diketahui di Indonesia dikenal kelompok masyarakat adat dan disebut
144
Mohammad Daud Ali, HukumIslam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Hal. 216 145
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. 146
Badruzzaman Ismail, 2007, Mesjid dan Adat Meunasha Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh, MAA, Hal. 150.
147
persekutuan-persekutuan yang berhubungan erat satu sama lainnya. Dalam
pergaulan sehari-hari, setiap orang sebagi anggota masyarakat persekutuan itu
merasa terikat untuk bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang
tergariskan sebagi suatu kesatuan.
Diketahui masyarakat adat Angkola memiliki lembaga adat yakni
Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu yaitu tiga unsur yang disebut kahanggi
(teman semarga), anak boru (pihak pengambil isteri), dan mora (pihak pemberi
isteri). Dalihan Na Tolu dianalogikan dengan tiga tungku, yang biasanya batu
yang dipakai untuk menyangga periuk atau kuali ketika sedang memasak. Jarak
antara ketiga tungku sama. Sehingga ketiganya dapat menyangga secara kokoh
alat memasak diatasnya.148 Titik tumpu periuk atau kuali berada pada ketiga
tungku secara bersama-sama dan mendapat tekanan berat yang sama. Periuk
dapat diartikan sebagai beban kewajiban bersama,149 atau sebagai kerja bersama
atau lazim diartika Horja. Seluruh tataan Daliha Na Tolu mengambil bagian kekerabatan tersebut menumpukan kehidupan pada tiga unsur Fungsional. Sedangkan dalam
“sastra mandailing dan kita : Suatu Perkenalan Awal”, makalah seminar kebudayaan mandailing,
Fakultas Sastra USU, Medan, 1990, lebih lanjut dikatakan bahwa masyarakat mandiling yang garis keturunannya patrineal disebut dengan Dalihan Na tolu. Inilah yang berperan dan menentukan pada kelompok kekerabatan kahanggi, anak boru, dan mora.
149 Maksud “beban kewajiban bersama” disini adalah beban kewajiban adat, yakni
kebiasaan yang tidak tertulis tetapi sudah sejak lama dipraktikkan. Adanya unsur kebiasaan yang tidak tertulis menjadikannya sebagai hukum adat.
150
bertujuan untuk menunnjukkan kesamaan peran, kewajiban dan hak dari ketiga
unsur dalam Dalihan Na Tolu.
Sebagai suatu sistem, dalam Dalihan Na Tolu terdapat sejumlah hirarki
pengelompokan kekerabatan (mora,kahanngi,anakboru) yang saling berkaitan
(interpensi) dan berbagai fungsional yang harus dipenuhi dalam melaksanakan
tujuan bersama, memelihara pola, dan memepertahankan kesatuan. Semua kaitan
fungsional ini harus dipenuhi demi tercapainya keseimbangan dan keharmonisan.
Keseimbangan dan keharmonisan masing-masing unsur terlihat pada
ungkapan-ungkapan kata tradisional orang Tapanuli Selatan, “manat sanga pe
jamot marhamaranggi, elek marboru, hormat marmora”, artinya kita harus
berhati-hati kepada kahanggi, berlaku sayang kepada anak boru, dan selalu
hormat kepada mora. Ungkapan lain dan makna yang sama, “sagama
markahanggi, olong maranak boru, dan sangap marmora”. Ketiga unsur
kekerabatan ini terjadi karena hubungan darah dan hubungan perkawinan. Dari
garis keturunan ayah, abang ke atas disebut satu marga dan itulah unsur
kahanggi. Garis keturunan pihak ibu ke atas dinamakan mora. Sedangkan garis
anak perempuan kesamping melalui perkawinan dinamakan anak boru.
Perbedaan kedudukan dan fungsi ini ditentukan oleh kedudukannya,
apakah pada saat itu yang bersangkutan berkedudukan sebagai kahanggi, anak
memperoleh kata sepakat dari semua unsur Dalihan Na Tolu pada waktu pelaksanaan
boru atau mora. Jika pada suatu saat tertentu seseorang berkedudukan sebagai kahanggi, mora, dan anak boru maka pada saat lain dapat berubah-ubah sesuai
dengan situasi, kondisi dan tempat. Setiap orang secara pribadi memiliki 3 (tiga)
dimensi dalam kedudukannya sebagai Dalihan Na Tolu ataupun sebagai anggota
masyarakat. Oleh sebab itulah orang Mandailing Angkola selalu dapat
menyesuaikan diri jika dibutuhkan.
2. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu
a. Suhut dan Kahanggi
Kahanggi adalah satu kelompok kerabat satu marga. Mereka ini termasuk
dalam salah satu kelompok kerabat dari tiga unsur Dalihan Na Tolu.
Istilah-istilah lain yang menyangkut kerabat kahanggi adalah antara lain : saama saina,
marangka maranggi, saama, saompu, saparaman, saparompuan, sabona, atau
sahaturunan.151 Yang dimaksud dengan suhut dan kahangginya adalah suatu kelompok keluarga yang semarga atau yang mempunyai garis keturunan yang
sama dalam satu huta yang merupakan Bonabulu (pendiri Kampung). Suhut
berkedudukan sebagai tuan rumah didalam pelaksanaan upacara-upacara adat.
Suhut dan kahangginya terdiri dari :152
1. Suhut
2. Hombar Suhut (Kahanggi)
151
3. Kahanggi Pareban kelompok orang/seseorang yang kedudukannya menjadi kahanggi, karena sepengambilan (isterinya bersaudara).
Didalam suatu huta (Kampung) dikenal dengan apa yang disebut
dengan Namoramora di huta. Yang dimaksud dengan Namora adalah
kerabat-kerabat, kahanggi dan raja huta (yang mendirikan huta dan yang
masih satu keturunan dan semarga dengannya). 153
1. Yang dimaksud dengan “Suhut” adalah mereka yang merupakan tuan rumah didalam pelaksanaan upacacara adat (yang punya hajatan).
Kelompok inilah yang merupakan penanggung jawab terhadap segala
sesuatunya yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara adat tersebut.
2. Hombar suhut, adalah keluarga dan kahanggi semarga dengan suhut tetapi
tidak satu nenek. Hombar suhut ini tidak hanya yang berasal dari huta
yang sama, tetapi juga dari luar huta yang masih mempunyai hubungnya
keluarga dan semarga dengan suhut.
3. Kahanggi pareban, adalah keluarga kelompok pertama dan yang ketiga sama-sama mengambil isteri dari keluarga yang sama. Dalam status adat
Kahanggi Pareban ini dianggap sebagai saudara Markahanggi berdasarkan
perkawinan.
153
b. Anak Boru
Anak boru adalah kelompok keluarga yang dapat atau yang mengambil
isteri dari kelompok suhut. Anak boru sebagaimana halnya dengan suhut
dibagi diatas:154
1. Anak Boru Bona Bulu ( anak boru asal pengalehenan ni boru) adalah anak
boru yang telah mempunyai kedudukan sebagai anak boru sejak
pertamakalinya suhut menempati huta. Anak boru inilah yang pertama
mengambil boru dari keluarga kelompok suhut. Anak boru ini bahkan turut
membuka huta dan turut bertempat tinggal dengan suhut di huta tersebut.
Anak boru ini didalam paradaton (upacara adat) turut menentukan segala
sesuatunya. Kedudukan anak boru terhadap suhut akan menjadi kedudukan
anak boru terhadap moranya. Jika dipandang dari sudut suhut, maka
pendampingnya adalah anak boru. Anak boru dari kelompok ini disebut
juga dengan bayo-bayo magodang (goruk-goruk hapinis).155
2. Anak boru busir ni pisang (anak boru pengalehenan ni boru) adalah anak
3. Anak boru sibuat boru adalah anak boru yang mengambil isteri dari suhut,
dengan demikian ia berkedudukan sebagai anak boru (sibuat boru). lama
kelamaan anak boru ini (turunannya) akan menjadi anak boru busir nipisang
(anak boru pada tingka kedua).
c. Mora
Mora adalah tingkat keluarga yang oleh suhut mengambil boru (isteri)
dari kelompok ini. Mora terbagi atas tiga kelompok yaitu: 157
1. Mora mata ni ari adalah kelompok keluarga yang secara turun temurun
menjadi mora, karena kelompok suhut sejak pertamakalinya, telah
mengambil boru dari kelompok ini. Dalam upacara adat mora mata ni ari
ini dapat hadir sebagai harajaon.
2. Mora Ulu Bundar (Pangalapan Boru) adalah Mora tempat kelompok
suhut mengambil boru. Mora ini adalah kelompok keluarga yang telah
pernah memberi boru kepada suhut, oleh kerena itu secara turun temurun
kelompok suhut dapat mengambil boru dari kelompok mora ini.
3. Mora Pambuatan Boru adalah kelompok keluarga tempat suhut
mengambil isteri. Mora sebagai kelompok keluarga yang baru
pertamakalinya memberikan boru kepada keluarga suhut. Suhut yang
mengambil boru secara langsung ini menganggap keluarga mora ini
sebagai mora pambuatan boru.
157
Apabila Dalihan Na Tolu ini dikembangkan, mora tentu mempunyai mora,
maka jika dipandang dari sudut suhut, maka kedudukannya adalah mora ni mora.
Demikian juga dengan anak boru tentu mempunyai anak boru dan jika dipandang
dari sudut suhut, kedudukannya disebut pisang raut. Upacara-upacara yang
terdapat pada horja (Kerja adat) pada dasarnya adalah musyawarah adat yang telah
tertata dan teratur sebagaimana terlihat pada upacara siriaon dan Siluluton.
Termasuk dalam siriaon (kegembiraan) meliputi kelahiran Perkawinan, dan
memasuki rumah baru. Sedang dalam siluluton (peristiwa kesedihan atau dukacita)
meliputi kematian, tolak bala dan musibah lain.158 Dalam melakukan kedua
peristiwa tersebut orang Tapanuli Selatan berpedoman pada norma-norma dan
aturan yang bersumber dari adat-istiadat159 dan ajaran agama Islam.
Dengan demikian, dalam menyikapi peristiwa-peristiwa tersebut
masyarakat Mandailing dan Angkola dipengaruhi oleh dua nilai pokok, yakni : (1)
nilai-nilai adat dan (2) Islam. Kedua nilai ini saling mempengaruhi sikap, tindakan
dan perilaku masyarakat Muslim Mandailing dan Angkola. Interaksi yang berasal
dari kata social Interaction, memberikan kepada aktornya pengaruh timbal balik
atau saling mempengaruhi.
158
Abbas Pulungan, Peranan Dalihan Na Tolu Dalam Proses Interaksi Antara Nilai-Nilai Adat Dengan Islam Pada Masyarakat Mandailing dan Angkola Tapanuli Selatan, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003, Hal .2
159
Maksud adat istiadat di sini adalah nilai adat, yakni kebiasaan yang tidak tertulis tetapi sudah dipraktikkan (kebiasaan) dimasyarakat. Sebab disamping hukum tertulis biasanya ada apa
yang disebut dengan “hukum kebiasaan” atau hukum tidak terkodifikasi, yakni kompleks
Sejalan dengan proses interaksi sosial dalam perjalanan sejarah, kedua
etnis Mandailing dan Angkola, mempunyai kecenderungan kehidupan sosial,
budaya, dan keberagaman yang berbeda, Masyarakat Mandailing memiliki
aturan-aturan adat yang relatif melonggar karena intensitas pengaruh nilai-nilai ajaran
Islam.160 Sebaliknya masyarakat Angkola masih sangat terikat dengan
aturan-aturan adat. Kuat dan longgarnya pengalaman aturan-aturan adat dalam sistem kehidupan
sosio religius masyarakat Tapanuli Selatan dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Faktor-faktor tersebut pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua, yakni: (1)
Internal, dan (2) eksternal.161
Basyral Hamidy Harahap menemukan bahwa gubungan Islam dengan adat
sering bersifat antagonistik, bahkan lebih jauh lagi, adat sedang dalam proses
pembersihan dari islam. Lebih lanjut menurut Basyral, kalangan batak muslim
cenderung melaksanakan ketentuan agama Islam sambil tetap melaksanakan
lembaga adat Dalihan Na Tolu dalam memecahkan masalah keseharian.162 Namun
dari segi adat, praktik tersebut telah melemah dan dearajat keberlakuannya berkurang
menjadi sekedar sistem seremonial belaka. Bahkan menurut temuannya, Islam tidak
menyesuaikan diri terhadap adat, tetapi Islam telah turut memberi defenisi terhadap
adat. Ketaatan orang terhadap ajaran agama sekarang lebih kuat daripada adat.163
Basyral Hamidy Harahap, Islam and Adat Among South Tapanuli Migrants in tree
Adat Tapanuli Selatan juga melentur ketika berhadapan dengan kemajuan
zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, langsung atau tidak
mempengaruhi sistem dan nilai sosial. Faktor-faktor inilah yang dimaksud dengan
faktor eksternal interaksi adat dan Islam. Dengan demikian maksudnya adalah
bagaimana kedua nilai adat dan Islam saling mempengaruhi terhadap tindakan dan
perilaku masyarakat Mandailing dan Angkola.
Sistem nilai adat Tapanuli Selatan adalah sistem nilai yang tak tertulis.
Konsekuensinya sulit mendapatkan satu sistem yang mencakup seluruh aspek
kehidupan,164 yang berfungsi sebagai alat memupuk rasa solidaritas dan rasa
identitas. Ada beberapa prinsip yang telah ditanamkan untuk mengikat rasa
solidaritas dan identitas orang Tapanuli Selatan yaitu:165
1. Baenama huta dohot banua martalaga na so hiang, artinya jadikanlah desa sekitarnya menjadi lahan yang tidak kering. Tujuannya adalah ingin mencapai kemakmuran dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada.
2. Baenma huta dohot banua merguluan na so marlinta, artinya jadikanlah desa dan sekitarnya menjadi kubangan yang tidak berlintah (security/aman). Maknanya agar desa dan sekitarnya harus diperjuangkan supaya menjadi tentram, rukun, bekerja sama, tolong menolong dan saling gotong royong, tidak saling menipu, tidak ada pemerasan, tidak ada lintah daratnya.
3. Baenma huta dohot banua marjalangan na so marrongit, artinya jadikanlah desa dan sekitarnya menjadi lapangan bermain yang tidak bernyamuk artinya bersih dan nyaman.
4. Baenma huta dohot banua mardomu tahi, artinya jadikanlah desa dan sekitarnya menjadi masyarakat yang slalu bermusyawarah mufakat.
164
Belakangan telah dijumpai beberapa literatur tentang adat istiadat etnis Tapanuli Selatan yang mencerminkan etnis-etnis lokal dan marga-marga, di antaranya: Horja :adat istiadat Dalihan Na Tolu Iyang disusun parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna dan Basyral Hamidi Harahap, yang terbit tahun 1993. Pandapotan Nasution, Uraian Singkat tentang adat Mandailing serta tatacara perkawinannya, (Jakarta: Widya press 1994). Lembaga adat kecamatan Sipirok, Adat budaya Angkola-Sipirok Haruannya Mardomu Bulung Napa-napa Ni sibualbuali (sipirok: tnp 1997)
165
5. Baenma huta dohot banua martonggo tu somboan, artinya jadikanlah desa
dan sekitarnya bertaqwa kepada Tuhan.166
Na di parsinta di atas lebih mengacu kepada masyarakat dan lingkungan.
Sedang prinsip atau sistem nilai yang lebih mengacu kepada individu dinamakan
Poda na lima (ajaran yang lima) meliputi:
1. Paias rohamu, bersihkan jiwamu 2. Paias pamatangmu, bersihkan tubuhmu 3. Paias parabitonmu, bersihkan pakaianmu
4. Paias bagasmu, bersihkan rumahmu
5. Paias pakaranganmu, bersihkan lingkungan tempat tinggalmu
Ajaran di atas mengandung ajaran yang cukup mendalam, sebab kalau na
di parsinta diakhiri dengan ajaran bersifat spiritual, sementara poda na lima diawali dengan ajran bersifat spiritual pula. Maka dapat dianalisi bahwa
masyarakat Angkola sejak dahulu telah menganut nilai spiritual-religius.
B. Lembaga Adat Pada Masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan
Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Waris.
1. Sengketa Waris pada Masyarakat Angkola
Dalam kehidupan sehari-hari persoalan waris seringkali menjadi
persoalan krusial yang terkadang memicu pertikaian serta menimbulkan
keretakan dalam keluarga sehingga hukum waris menduduki tempat yang sangat
penting dalam hukum adat, hukum waris islam maupun hukum positif di
166
Indonesia. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh
setiap orang. Disamping itu masalah kewarisan sangat mudah menimbulkan
sengketa di antara ahli waris.
Seperti kasus sengketa waris yang terjadi pada keluarga Almarhum T.
Harahap, bukanlah satu-satunya kasus sengketa yang pernah terjadi di Tapanuli
Selatan. Ada beberapa kasus yang terjadi di Tapanuli Selatan, di kecamatan
Angkola Timur misalnya tepatnya pada Desa Pargarutan Pasar. Disana terdapat
kasus yang hampir persis sama seperti yang terjadi pada keluarga almarhum T.
Harahap.
Pada kasus yang terjadi di Desa Pargarutan pasar kecamatan Angkola
Timur, terjadi sengketa pembagian harta warisan yang melibatkan keluarga A.
Siregar dengan B. Boru Siregar. Pokok masalah pada kasus ini, B boru Siregar
tidak menyetujui hasil pembagian harta warisan berupa persawahan. B. Boru
Siregar merasa tidak dipenuhi hak warisnya, hanya dikarenakan dia anak
perempuan dia tidak mendapatkan hak waris. Padahal sebelum ayahnya
meninggal dialah yang mengurus perwasahan tersebut. Tetapi pada akhirnya
kasus ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan menggunakan waris
secara Islam dan tidak sampai pada tingkat musyawarah adat dan pengadilan.167
Lalu berdasarkan data penelitian yang dilakukan, di daerah desa
Parsalakan Kecamatan Angkola Barat, juga pernah terjadi kasus Sengketa waris
167
yang terjadi kali ini berbeda. Di dalam kasus ini sengketa yang terjadi pada
Keluarga M. Ritonga dengan adiknya N. Ritonga, di kasus ini yang terjadi adalah
M. Ritonga dengan diam-diam menjual sebidang tanah milik keluarga tanpa
persetujuan keluarga lainnya yakni adiknya N. Ritonga. Disini N. Ritonga tidak
diberikan hak warisnya, M. Ritonga kemudian dilaporkan ke pihak yang
berwajib, tetapi kemudian laporan ini dicabut kemudian kasus ini diselesesaikan
secara Kekeluargaan dengan menggunakan penyelesaian waris Islam dengan
bantuan dari Dalihan Na Tolu.168
Di Kecamatan Batang Angkola tepatnya di desa Huta Tongah, pernah
terjadi kasus sengketa waris pada Keluarga H. Siregar dengan adiknya B.
Siregar. Ayah H. Siregar yakni Z. Siregar adalah pemilik Angkutan umum di
desanya. Mereka memiliki 3 petak sawah, Z. Siregar mewariskan 2 petak sawah
kepada anak ke 2nya B. Siregar dan 1 petak sawah lagi kepada anak pertamanya
H. Siregar. H. Siregar tidak menerimanya dikarenakan mereka sama-sama anak
lelaki. H. Siregar merasa ia berhak atas bagian yang sama rata. Kasus ini
kemudian dimusyawarahkan secara kekeluargaan tapi tidak ditemukan kata
kesepakatan, kemudian kasus ini berlanjut untuk dimusyawarahkan secara adat
dan diputuskan bahwa mereka mendapat bagian yang mereka inginkan.169
168
Hasil Wawancara dengan Maruhum Hot Taufiq, S.Sos, sekertaris camat Kecamatan Angkola Barat, Tanggal 02 April 2016
169
Dari ketiga kasus, dua kasus diselesaikan dengan cara musyawarah
keluarga 2 kasus menggunakan waris Islam sebagai patokan untuk
menyelesaikan masalah dan 1 kasus menggunakan hukum waris Adat. Adapun
penylesaian dilakukan dengan bantuan lembaga Dalihan Na Tolu dan yang satu
menggunakan musyawarah adat yang di mediasi oleh Lembaga Dalihan Na Tolu
dan Hatobangon Harajaon.
2. Peran dan Kedudukan Lembaga Adat dalam Menyelesaikan Sengketa
secara Adat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan
Pengertian lembaga adat menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan,
Lembaga Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk
maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah
masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah
hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak
dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai
permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat
dan hukum adat yang berlaku.170
Pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 Tentang
Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan Lembaga Adat berfungsi bersama
pemerintah merencanakan, mengarahkan, mensinergikan program pembangunan
170
agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang
dalam masyarakat demi terwujudnya keselarasan, keserasian, keseimbangan,
keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Lembaga adat berfungsi sebagai
alat kontrol keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik
preventif maupun represif, antara lain:171
a. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;
b. Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di
masyarakat.
Kemudian, lembaga adat juga memiliki fungsi lain yaitu:
a. Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan di
segala bidang terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan
kemasyarakatan.
b. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya
c. Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial kepadatan dan keagamaan.
d. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka memperkaya,
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan
kebudayaan adat khususnya.
171
e. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk
kesejahteraan masyarakat desa adat.
Adapun wewenang dari lembaga adat meliputi:
a. Mewakili masyarakat adat dalam pengurusan kepentingan masyarakat adat
tersebut.
b. Mengelola hak-hak dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan
kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.
c. Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaiannya tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat dan
agama untuk kepentingan desa adat.
e. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan pada
tingkat desa.
f. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, kabupaten/
kota desa adat tersebut berada.
Sengketa dalam pembagian warisan diantara para ahli waris timbul
dikarenakan adanya pihak yang ingin menguasai harta secara perorangan dan
menuntut bagian atas harta warisan. Salah satu faktor yang menyebabkan
sengketa terjadi adalah faktor ekonomi yang merupakan pokok masalah utama
Contoh dari kasus yang pernah terjadi pada keluaga T Harahap. Yang
menjadi permsalahanya disini ialah pembagian warisan yang menurut salah satu
keturunanya tidak adil. Ibu T Siregar (52 tahun) mendapatkan kabar dari
keluarga mantan suaminya bahwa P Harahap (58 Tahun) – mantan suaminya
meninggal karena serangan Jantung. Keluarga mantan suaminya
memberitahukan : bahwa sebelum meninggal P Harahap pernah berpesan secara
lisan kepada kakaknya D Harahap bahwa salah satu rumah miliknya diberikan
kepada A boru Harahap, yaitu anak kandung P Harahap yang berusia 26 tahun.
Walaupun keluarganya mengakui wasiat yang diberikan P Harahap secara lisan
melalui kakaknya, T Siregar merasa ragu karena tidak ada bukti tertulis bahwa P
Harahap memang pernah mewasiatkan rumah tersebut untuk anak mereka.
Yang menjadi masalah disini putra dari P Harahap anak dari perkawinan
ke duanya dengan M boru Samosir yaitu F Harahap (24 Tahun) tidak menyetujui
hal ini. Padahal dia juga sudah mempunyai hak waris yang sudah ditentukan oleh
P harahap. Dari persoalan ini timbul sengketa karena merasa dia anak lelaki
seharusnya dia berhak atas semua harta dari ayahnya.
Kasus ini pernah diselesaikan secara kekeluargaan namun tidak dapat
mencapai kesepakatan sehingga pihak keluarga berkesimpulan untuk
menyelesaikan kasus ini secara adat dan kedua belah pihak yang bersengketa
terselsaikan. Sehingga pembagian warisan terlaksana sesuai dengan amanat
pewaris yaitu A. Boru Harahap mendapat sebuah dari almarhum P. Harahap.
Dalam wawancara dengan Kepala adat di Tapanuli Selatan, Sutan Tinggi
Barani Perkasa Alam menyatakan 172 secara hukum adat memang benar semua harta
warisan yang ada berhak dimiliki oleh F. Harahap dikarenakan dia adalah anak lelaki
satu-satunya. Secara adat harta warisan itu adalah haknya seutuhnya. tetapi anak
perempuan juga punya hak atas harta warisan tersebut.
Dalam pelaksanaan pembagian waris di Kabupaten Tapanuli Selatan peranan
pemuka masyarakat memegang peranan penting. Pada masyarakat adat Angkola, di
kecamatan Batang Angkola, Angkola Timur dan Angkola Barat. Khususnya di
kecamatan Angkola Batang Angkola sengketa mengenai warisan pernah terjadi
tetapi tidak sampai dilanjutkan ke pengadilan hanya diselesaikan dengan
musyawarah keluarga.173 karena rasa kekeluargaan masih tinggi dan peranan ketua
adat maupun pemuka agama masih berpengaruh besar bagi masyarakat adat
setempat.
Tabel 6.
Penyelesaian Sengketa waris di Kabupaten Tapanuli Selatan
No. Tindakan yang dilakukan jika terjadi perselisihan diantara
ahli waris terhadap pembagian harta warisan
Responden
n=30
172
Hasil wawancara dengan Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, Ketua Adat di Padang Sidimpuan, Tanggal 05 April 2016
173
1. Melalui musyawarah Keluarga 12
2. Melalui musyawarah adat/Sidang Adat 18
3. Melalui pengadilan Agama/Pengadilan Negeri 0
jumlah 30
Sumber : Data hasil wawancara di 3 (tiga) kecamatan yakni Kecamatan
Angkola Timur, Angkola Barat dan Batang Angkola, Tahun 2016
Dari tabel diatas 12 orang responden mengambil tindakan yang dilakukan
jika terjadi perselisihan diantara ahli waris terhadap pembagian harta warisan
memilih menyelesaikan melalui musyawarah keluarga dan 18 orang responden
memilih menyelesaikan melalui musyawarah adat. Tabel ini merupakan
keseluruhan dari hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tapanuli Selatan
yang meliputi desa Pargarutan pasar, desa Parsalakan dan desa Huta Tongah.
Dari 12 orang responden yang memilih tindakan melalui musyawarah
keluarga, terdapat 8 orang yang memilih menggunakan pewarisan secara Islam.
Sedangkan 4 responden memilih menggunakan hukum waris adat. Menurut
Darwin Dalimunthe masyarakat desa Pargarutan Pasar dominan beragama Islam
dan tunduk pada Hukum Islam sedangkan hanya sebagian kecil masyarakat
beragama Nasrani.174 Sedangkan 18 orang responden yang memilih melalui
174
musyawarah adat atau sidang adat, juga terdapat pembagian waris secara Islam
yakni 17 orang responden dan 1 orang responden menggunakan hukum adat.175
Apabila terjadi perselisihan dalam pembagian harta warisan pada
masyarakat Angkola, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara musyawarah,
baik melalui musyawarah keluarga maupun musyawarah dengan Hatobangon
dan Dalihan Na Tolu. Musyawarah ini bertujuan untuk mencapai penyelesaian damai sehingga kerukunan keluarga dapat terpelihara dan masing-masing pihak
yang berselisih dapat menerima hasil musyawarah itu. Adapun perselisihan
dengan cara musyawarah tersebut yaitu:176
a. Musyawarah secara kekeluargaan
Musyawarah keluarga dipimpin oleh keluarga yang tertua yang
dianggap mampu dan bijak sana dalam mengambil keputusan. Di dalam
musyawarah ini juga dihadirkan Dalihan Na Tolu yang diwakili dengan Mora,
Kahanggi Idan Anak Boru. Musyawarah di mulai dengan membicarakan
masalah dari pokok sengketa yang terjadi diantara ahli waris, kemudian
pimpinan musyawarah akan mengemukakan nasihat dan masukan yang isinya
menguraikan arti penting kerukunan hidup dalam keluarga dan menguraikan
dampak buruk akibat perpecahan keluarga yang mungkin terjadi akibat
sengketa harta warisan.
175
Hasil dari Penelitian melalui Angket di 3 desa 176
Kemudian para ahli waris lain diberi kesempatan oleh pimpinan
musyawarah untuk mengeluarkan pendapat terhadap masalah sengketa
warisan yang terjadi. Setelah semua ahli waris secara bergantian
mengeluarkan pendapat dan usulan untuk menyelesaikan sengketa warisan
tersebut, maka kemudian pihak yang berselisih paham diberi kesempatan
untuk mengemukakan pandangannya dan alasan atas apa yang menjadi
masalah perselisihan.
Apabila dengan musyawarah secara kekeluargaan ini perselisihan
dapat diatasi dan didapatkan jalan keluar yang disetujui oleh para ahli waris,
maka penyelesaian sengketa tercapai.177 Akan tetapi apabila perselisihan tidak
juga menemui titik terang dan pihak yang bersengketa tetap bertahan pada
pendiriannya, maka langkah penyelesaian yang dapat diambil selanjutnya
dapat ditempuh melalui musyawarah adat ataupun sidang adat.178
b. Musyawarah Adat
Menurut Adat Tapanuli Selatan untuk menyelesaikan suatu masalah
ataupu memulai suatu pekerjaan kecil ataupun besar apalagi yang menyangkut
dengan perselisihn maka diadakan musyawarah adat.179 Musyawarah lebih dulu
177
Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05 April 2016
178
Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05 April 2016
179
dibicarakan keluarga kecil yang kemudian disampaikan kepada keluarga
merupakan keluarga besar. Sehingga musyawarah itupun mempuyai tingkat.
Musyawarah dalam adat disebut “Martahi”.180
Beberapa tingkatan musyawarah sesuai dengan orang yang ikut dalam
musyawarah itu:
1. Tahi Ungut – ungut – ungutni sibahue tahi tot, ini adalah musyawarah antara suami dan isteri, yang didahului dalam rumah tangga yakni antara suami dan
isteri.
2. Tahi sabagas, yakni musyawarah yang dihadiri hibungan darah yang terdekat.
Yaitu pihak Kahanggi, Anak Boru dan Mora, yakni keluarga terdekat atau
musyawarah satu rumah atau tahi sabagas.
3. Tahi Godang parsahutaon, itulah musyawarah yang dihadirkan kawan
sekampung. Termasuk hadir unsur pemerintahan adat, yang ada di kampung
itu, disamping keluarga seluruhnya. Dalam musyawarah ini harus hadir:
a. Kahanggi dan kahanggi hombar suhut b. Anak boru
c. Pisang Rahut (sibuat bere)
d. Mora (kemungkinan mora dongan satahi/mataniari) e. Hatobangon
f. Raja (kemungkinan Raja Pamusuk/ Raja panusunan bulung).
g. Harajaon h. Orang Kaya.
180
4. Tahi Godang Haruayu Mardomu Bulung, dalam hal ini hadir segala unsur pemerintah adat, dan raja-raja yang berdekatan dihadiri oleh:
a. Kahanggi dan Hombar suhut b. Anak boru
c. Pisang rahut (sibuat bere)
d. Mora dongan satahi (diberi janatan harajaon) e. Ompu ni kotuk
f. Hatobangon g. Harajaon
h. Harajaon torbing balok dan raja-raja luat i. Orang kaya luat dan orang kaya bayo-bayo
j. Raja pamusuk (raja pangundian, banir paroding-oding)
k. Raja panusun bulung
Musyawarah adat dilakukan ketika perselisihan anatara ahli waris yang
timbul dalam pembagian warisan tidak mencapai kesepakatan melalui musyawarah
yang dilakukan secara kekeluargaan. Adapun tata cara penyelesaian sengketa waris
masyarakat Angkola melalui musyawarah adat sebagai berikut.:181
a. Jika musyawarah yang dilakukan secara kekeluargaan tidak diterima oleh
ahli waris, maka dilakukanlah musyawarah secara adat. Yakni dengan
181
menghadirkan Dalihan Na Tolu, Hatobangon, Harajaon dan tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat termasuk didalamnya alim ulama dan
pemerintahan. Biasanya masyarakat Angkola dalam hal ini melakukan
secara lisan karena dapat langsung memberitahukan secara jelas bagaimana
persolan sengketa yang terjadi diantara para ahli waris yang bersengketa
secara jelas dan langsung kepada Dalihan Na Tolu, Hatobangon, Harajaon
dan tokoh masyarakat.
b. Kemudian Dalihan Na Tolu maupun Tokoh masyarakat mengerti persoalan
sengketa waris dan menerima permohonan penyelesaian sengketa waris
tersebut, maka Dalihan Na Tolu atau tokoh masyarakat mengundang
Hatobangon Harajaon dan tokoh masyarakat beserta para ahli waris yang
bersengketa. Musyawarah biasanya diadakan di sopo godang atau balai
desa setempat. Kemudian Musyawarah dilangsungkan dengan dipimpin
Hatobangon sebagai ketua adat maupun pemuka agama dengan dihadiri
oleh para ahli waris yang bersengketa, Dalihan Na Tolu, Harajaon, kerabat
pihak yang bersengketa yang disaksikan oleh Kepala Desa. Menghindari
perpecahan keluarga akibat harta warisan, dalam hal ketua adat maupun
pemuka agama akan memberikan nasehat dan petuah uang berdasarkan
pada ajaran agama Islam. Kemudian akan dilanjutkan pada Hatobangon
Harajaon dan para ahli waris yang bersengketa untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing terhadap sengketa warisan yang terjadi dan
yang bersengketa akan mencapai kesepakatan untuk memecahkan sengketa
warisnya, hal ini dikarenakan masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli
Selatan masih benar-benar menghormati keberadaan para ketua adat
BAB IV
KEKUATAN HUKUM DARI HASIL PENYELESAIAN SENGKETA WARIS
MENURUT LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA WARIS ADAT PADA
MASYARAKAT ANGKOLA DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN
A. Pengertian Sengketa Waris Pada Masyarakat Angkola
Sengketa yang sering muncul sebagai salah satu permasalahan yang
terjadi di Angkola merupakan masalah yang menarik untuk dikaji, lebih-lebih
sudah menyangkut tentang pembagian warisan, karena umumnya warisan
mempunyai nilai ekonomis dan religius yang tinggi. Dengan kata lain warisan
dapat menimbulkan kebahagiaan satu pihak dan piha lain dapat menimbulkan
ketidakpuasan. Apabila dalam pengaturan dan pembagian tidak sesuai dengan
ketentuan yang seharusnya diikuti bersama.
Persoalan pembagian dan sengketa warisan di kalangan mayarakat
Angkola merupakan hal banyak terjadi namun jarang sampai diselesaikan di
pengadilan. Apapun model permasalahan yang terjadi menyangkut sengketa
warisan, tetap saja dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Hal ini tentu
merupakan suatu keunggulan tersendiri bagi masyarakat Angkola dalam
menghadapi setiap masalah di desa di banding dengan permasalahan yang terjadi
di wilayah kota yang lebih mengandalakan permasalahan model kapitalis.
Pada dasarnya setiap sengketa di Tapanuli Selatan tidak selamanya harus
melibatkan masyarakat Angkola idealnya dapat diselesaikan sesegera mungkin di
tingkat desa saja. Apalagi kalau sengketa tersebut masih merupakan sengketa
yang bersifat kekeluargaan, maka penyelesaiannya pun seharusnya diselesaikan
secara kekeluargaan melalui perantaranya seorang Kepala Desa.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala sesuatu
yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau pembantahan timbulnya
sengketa hukum adalah bermula dari pengaduan suatu pihak (orang/badan) yang
berisi keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap suatu tanah, prioritas
maupun kepemilikannya dengan harapan dapat adiministrasi sesuai dengan
ketentua peraturan yang berlaku.182
Dalam kosakata Inggris terdapat dua istilah yakni “conflict” dan
“dispute” yang kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan
kepentingan di antara dua pihak atau lebih tetapi keduanya dapat dibedakan.
Kosakata “conflict” sudah diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”, sedangkan kosakata “dispute” dapat diterjemahkan dengan kosakata “sengketa”.183
Sebuah konflik yakni sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih
dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah
182
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990( Jakarta; Balai Pustaka), Hal. 643
183
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, 2013
sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak
puas atau keprihatinan.
Menurut Koentjaraningrat, 184 konflik atau sengketa terjadi juga karena
adanya perbedaan persepsi yang merupakan gambaran lingkungan yang
dilakukan secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki seseorang,
lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Konflik merupakan suatu peristiwa hukum sehingga sebabnya juga dapat dikenal
dengan melihatnya melalui pandangan hukum. sebuah konflik berkembang atau
berubah menjadi sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah
menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya baik secara langsung kepada
pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian maupun kepada pihak lain.185
Sengketa atau konflik hakekatnya merupakan bentuk aktualisasi dari suatu
pertentangan atau perbedaan anatara dua pihak atau lebih.186
Sengketa menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin adalah persepsi
mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu
kepercayaan bahwa asirasi pihak-pihak yang bersengketa tidak dicapai secara
simultan (secara serentak).187 Sedangkan konflik merupakan perselisihan yang
belum diketahui oleh pihak-pihak yang tidak terlibat di dalam perselisihan yang
184
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mataliteit dan Pembangunan, 1982 (Jakarta;Gramedia), Hal. 103
185
Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, Sengketa dan Penyelesaiannya, Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I, 2013 (Jakarta;Indonesian Center For Environmental Law), Hal. 1
186
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis: Solusi dan Antisipasi Bagi Peminat Bisnis Dalam Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang, 2006 (Yogyakarta;Citra Media), Hal. 3
187
belum diketahui oleh pihak-pihak yan tidak terlibat di dalam perselisihan tersebut
mencakup perselisihan yang bersifat laten, oleh karena itu konflik mempunyai
ruang lingkup yang lebih luas daripada sengketa, namun dalam penanganannya
secara ilmiah, khususnya dalam ruang lingkup penelitian hukum, istilah sengketa
(dispute) telah menjadi istilah baku dalam praktik hukum.188
Sedangkan menurut Takdir Rahmadi189 konflik mempunyai cakupan
yang lebih luas daripada sengketa yang termasuk didalamnya
perselisihan-perselisihan yang bersifat laten dan perselisihan-perselisihan yang mengemukakan yang
disebut sengketa. sengketa atau konflik hakikatnya merupakan bentuk aktualisasi
dari suatu perbedaan dan/atau pertentangan antara dua pihak atau lebih.190
Sengketa Waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan
mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan.191
Dengan demikian maka sengketa merupakan kelanjutan dari konflik.
Sebuah kelanjutan dari konflik akan berubah menjadi sengketa apabila tidak
dapat terselaikan. Konflik dapat diartikan “pertentanga” di antara para pihak
untuk menyelesaikan masalah yang kalau tidak diselesaikan dengan baik dapat
mengganggu hubungan di antara mereka. Sepanjang para pihak tersebut dapat
188
Nurmaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, 2011, ( Jakarta, Pt. Grafindo Press), Hal. 12
189
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat,
(Jakarta: Pt. Grafindo Persada), Hal. 1-2 190
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. 2013, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), Hal. 3
191
menyelesaikan masalahnya dengan baik maka sengketa tidak akan terjadi. Akan
tetapi jika sebaliknya, para pihak tidak dapat mencapai kesepatan mengenai
solusi pemecahan masalahnya maka sengketa yang akan timbul.192
Masalah sengketa pembagian waris yang terjadi di keluaga T Harahap.
Yang menjadi permsalahanya disini ialah pembagian warisan yang menurut salah
satu keturunanya tidak adil. Ibu T Siregar (52 tahun) mendapatkan kabar dari
keluarga mantan suaminya bahwa P Harahap (58 Tahun) – mantan suaminya
meninggal karena serangan Jantung. Keluarga mantan suaminya
memberitahukan : bahwa sebelum meninggal P Harahap pernah berpesan secara
lisan kepada kakaknya D Harahap bahwa salah satu rumah miliknya dan
diberikan kepada A boru Harahap, yaitu anak kandung P Harahap yang berusia
26 tahun. Walaupun keluarganya mengakui wasiat yang diberikan P Harahap
secara lisan melalui kakaknya, T Siregar merasa ragu karena tidak ada bukti
tertulis bahwa P Harahap memang pernah mewasiatkan rumah dan sejumlah
deposito tersebut untuk anak mereka. Yang menjadi masalah disini putra dari P
Harahap anak dari perkawinan ke duanya dengan M boru Samosir yaitu F
Harahap (24 Tahun) tidak menyetujui hal ini. Padahal dia juga sudah mempunyai
hak waris yang sudah ditentukan oleh P harahap. Dari persoalan ini timbul
sengketa karena merasa dia anak lelaki seharusnya dia berhak atas semua harta
dari ayahnya.
192
Menurut hasil dari wawancara dari ketua adat Angkola di Padang
Sidimpuan, memang di dalam hukum adat Angkola benar anak lelaki akan
mendapatkan semua harta warisan peninggalan orang tuanya. Tetapi disini anak
perempuan juga memiliki hak dari harta warisan tersebut, yakni pemberian hibah
atau biasanya disebut dengan Holong Ate. Holong ate ini adalah istilah di Batak
Angkola sebagai istilah untuk menjelaskan pemberian harta kepada anak perempuan
biasanya sebidang tanah atau dengan bangunan kepada anak Putri atau
Perempuannya.193
Pemberian ini biasanya berbentuk pemberian yang cukup hanya disetujui
oleh Istrinya tanpa persetujuan seluruh anak atau ahliwaris lainnya. Besarannya tentu
sudah diperhitungkan dengan cermat, tanpa melebihi legitimasi porsi, atau besaran
hak kewarisan lainnya secara seimbang. Indahan Arian atau Holong ate tentu
tindakan Arif dan Bijaksana bagi seorang orang tua, sebab, menurut adat Batak,
yang menganut turunan laki-laki/partianial, hanya laki-lakilah yang mendapatkan
warisan, sedangkan perempuan tidak mendapatkan oleh karena sudah masuk pada
clan suami dengan menerima sejumlah uang Mahar/boli/jujur.194
B. Bentuk Penyelesaian Sengketa Waris Pada Masyarakat Angkola
Untuk mengatur soal warisan yang sering menjadi masalah di desa,
kiranya perlu dibuat atau ditetapkan ketentuan sebagai patokan dan pedoman
193
Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05 April 2016
194
baik dalam bentuk hukum yang tertulis maupun tidak tertulis demi
terselenggaranya pembagian harta warisan yang adil bagi setiap pihak. Hal ini
disebabkan rasa keadilan pada masing-masing orang adalah tidak sama.
Karakteristik kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap kehidupan masyarakat
Angkola itulah yang mulai dirasakan oleh lembaga penyelesaian sengketa
warisan.
Dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama sengketa-sengketa yang
terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga
adat seperti peradilan desa atau yang disebut dengan peradilan adat. Biasanya
yang bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat
(kepala adat) dan ulama. Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak
semata-mata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus sengketa
dalam semua bidang hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana,
perdata, publik,195 dan lain-lain. Dalam hal ini proses penyelesaian sengketa
dilakukan berdasarkan tiga asas kerja untuk menghadapi perkara-perkara adat,
yaitu asas rukun, patut dan keselarasan.196
Penyelesaian dari sebuah sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan
ataupun dengan jalan di luar pengadilan. Salah satu saran penyelesaian diluar
pengadilan adalah melalui proses Mediasi. Mediasi berasal dari kata mediation
195
Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju, Hal. 40.
196
yang berarti penyelesaian sengketa dengan jalan menengahi197 atau oenyelesaian
sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian
sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan mediator atau orang
yang menjadi penengah.
Menurut Moore198, Mediasi adalah Interventasi terhadap suatu sengekta
atau negosiasi oleh para pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan
netral yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam
membantu para pihak berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara
sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan.
Sedangkan menurut Folberg dan Taylor199,Mediasi adalah suatu proses
dimana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang secara
sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketakan untuk mencari
alternatif dan mencapai kesepakatan penyelesaian yang dapat
mengakomodasikan tujuan mereka.
Dalam melakukan proses mediasi, mediator memberitahukan kepada para
pihak tentang sifat dan proses. Menetapkan aturan-aturan dasar, mengembangkan
hubungan baik dengan par pihak dan memperoleh kepercayaan sebagai pihak
netral dan merundingkan kewenangan dengan para pihak. Ini disebabkan karena
pihak yang bersengketa masing-masing memiliki sudut pandang berbeda dengan
197
Jhoni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, 2001, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama), Hal. 70-71
198
Moore dalam Jhoni Emirzon, Ibid. Hal. 67 199
pihak lain. Jika para pihak meminta seorang mediator membantu mereka, maka
mereka harus memiliki beberapa tingkat pengakuan yang mereka tidak mampu
menyelesaikan dengan cara mereka sendiri dan bahwa intervensi pihak ketiga
mungkin berguna.
Mediator pada umumnya membuka sidang mediasi dengan
memperkenalkan dirinya dan para pihak, dan kemudian membuat pernyataan
pendahulu. Ini menjelaskan proses mediasi perannya sebagai penengah yang
netral dan aturan-aturan bagi para pihak. Hal ini memerlukan penjelasan bahwa
mediasi merupakan proses negosiasi dimana proses para pihak dengan fasilitas
mediator menentukan syarat-syarat setiap penyelesaian sengketa.
Mediator disini hanya sebagai pendengar yang aktif dengan tujuan
memperoleh pemahaman yang jelas dari prepektif dan posisi para pihak pada
tahap pengambilan penyelesaian, mediator bekerja dengan para pihak pada tahap
pengambilan penyelesaian yang sama-sama disetujui dan diterima. Mediator
dapat membantu para pihak untuk memperoleh basis yang adil dan memuaskan
mereka dan membantu meyakinkan bahwa kesepakatan mereka adalah yang
terbaik, mediator membuat syarat-syarat perjanjian seefisien mungkin, agar para
pihak tidak ada yang merasa dirugikan.200
Persoalan pembagian dan sengketa warisan di kalangan masyarakat
Angkola merupakan hal yang biasa dan sering terjadi. Namun demikian apapun
model permasalahan yang terjadi menyangkut sengketa warisan, tetap saja dapat
200
diselesaikan secara kekeluargaan. Hal ini tentu merupakan suatu keunggulan
tersendiri bagi masyarakat Angkola dalam menghadapi setiap masalah didesa
dibanding dengan permasalahan yang terjadi diwilayah kota yang lebih
mengandalkan permasalahn model kapitalis. Keunggulan dalam penyelesaian
setiap sengketa yang terjadi di desa dengan hasil yang lebih baik tersbut,
tentunya dipengaruhi juga faktor panutan atau yang memimpin desa itu sendiri.
Untuk mengatur soal warisan yang sering menjadi masalah di desa,
kiranya perlu dibuat atau ditetapan ketentuan sebagai patokan dan pedoman baik
dalam bentuk hukum yang tertulis maupun tidak tertulis demi terselenggaranya
pembagian harta warisan yang adil bagi setiap pihak. Hal ini disebabkan rasa
keadilan pada masing-masing orang adalah tidak sama. Karakteristik kepentingan
yang berbeda-beda dalam setiap kehidupan masyarakat desa itulah yang mulai
dirasakan oleh Dalihan Na Tolu, Hatobangon maupun Kepala Desa dalam
rangka menyelesaikan setiap sengketa warisan.
C. Kekuatan Hukum dari Penyelesaian Sengketa Waris
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan pada umumnya menggunakan
cara-cara yang berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yakni
digunakan beberapa cara antara lainnya ialah negosiasi dan mediasi. Bentuk
penyelesaian sengkta secara mediasi misalnya, juga telah diatur secara tersendiri
di dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) No. 1 tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang memberikan rumusan bahwa
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”(pasal 1
Angka 7).201
Bentuk penyelesaian sengketa menurut hukum terdiri atas penyelesaian
sengketa melalui pengadilan (legitasi), dan penyelesaian sengketa diluar
pengadilan (non-legitasi). Sedangkan penyelesaian sengketa diluar pengadilan
dibagi atas dua bagian besar yaitu melalui arbitrase, dan melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang meliputi cara-cara : Konsultasi, Negosiasi, Mediasi,
Konsolidasi dan penilaian ahli.
Mediasi adalah cara bermusyawarah dan bermufakat, untuk mencapai
kesepakatan bagi para pihak bersengketa, melalui perantara seseorang selaku
mediator. Jika kata sepakat dicapai maka dibutuhkan penguatan dalam bentuk
akta perdamaian sebagai putusan mediasi yang didaftarkan dan dikuatkan oleh
pengadilan Negri. Tercapainya kesepakatan melalui mediasi, dengan sendirinya
persengketaan selesai atau berakhir.s
Bentuk penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan maupun di luar
pengadilan dikelompokkan sebagai penyelesaian sengketa secara hukum.
Terlepas dari penyelesaian sengketa melalui pengadilan, maka penyelesaian
sengketa di luar pengadilan baik melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi dan bahkan secara adat. Bukan menggunakan kekerasan, dan
perdamaian tersebut ditempuh dengan musyawarah mufakat.
201
Keberadaan peradilan adat atau peradilan desa ini dapat menjadi alternatif
penyelesaian sengketa bagi masyarakat yang sistem kerjanya kurang lebih mirip
dengan penyelesaian sengketa alternatif modern yang sekarang berkembang,
dimana musyawarah menjadi model umum dan utama dalam proses penyelesaian
sengketa. Ini berarti, lembaga peradilan adat tidak berperan sebagai sarana
pemaksa, tetapi memainkan peran sebagai mediator dalam rangka rekonsiliasi dan
konsolidasi para pihak melalui proses penemuan putusan yang melegakan semua
pihak, karena pada dasarnya keputusan diambil secara sukarela oleh para pihak.
Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam menjelaskan bahwa putusan hasil
musyawarah dari penyelesaian sengketa yang disepakati dalam musyawarah adat
tetaplah keputusan hukum adat di desa yang memutuskan, misalnya pada contoh
kasus yang terjadi. Sedangkan status berlakunya tetap pada desa itu saja atas dasar
tanggung jawab tokoh adat atau Hatobangon desa setempat serta raja-raja di desa
itu tidak dan tidak berlaku untuk umum.202
D. Hambatan Yuridis dan Non Yuridis dalam Pelaksanaan Hasil Penyelesaian
Sengketa Waris
Kendala yang terjadi dalam penyelesaian sengketa warisan di Tapanuli
Selatan, yakni terdapat 2 (dua) kendala. Yang pertama kendala yuridis dan
kendala non yuridis. Kendala yuridis dalam hal ini yaitu terkait dengan substansi,
202
dimana dalam tidak adanya mekanisme aturan tertentu terkait penyelesaian
sengketa di Tapanuli Selatan, selain itu adanya suatu asas yang tidak
dilaksanakan dalam sistem pewarisan sehingga hal tersebut menjadikan suatu
kendala dalam penyelesaian sengketa waris di Tapanuli Selatan.203
Selain itu terdapat kendala non yuridis yaitu terkait dengan struktur dan
kultur. kendala yang dihadapi para pihak – pihak bersengketa maupun bagi
mediator. Kurang nya itikad baik dari para pihak yang bersengketa dalam
menyelesaikan sengketa, hal ini menjadi kendala bagi mediator yakni perbekel
Batuan dalam hal membantu melaksanakan upaya penyelesaian sengketa. Dan
hal yang terakhir yaitu kendala yang dihadapi oleh mediator dimana para pihak
yang bersengketa dalam menyelesaikan permasalahan menggunakan emosi,
sehingga upaya penyelesaian sengketa menjadi terhambat.204
Dapat disimpulkan, kesepakatan hanya berlaku oleh para pihak yang
bersengketa saja, namun tidak memiliki kekuatan hukum. Dalam hal mekanisme
penyelesaian sengketa waris, lembaga Desa tidak memiliki dasar hukum tertentu
atau peraturan tertentu yang dikeluarkan oleh pemerintah Desa, sehingga
penyelesaian dilakukan dengan cara atau kebiasaan masyarakat itu sendiri.
Sehingga, ketidakjelasan terkait hasil kesepakatan sering terjadi.
203
Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05 April 2016
204
Dalam hal nya kesepakatan tertulis para pihak, jika para pihak tersebut
tidak melaksanakan kesepakatan yang telah disepakati oleh para pihak, maka
ketentuan terkait sanksi hanya berlaku diantara pihak yang bersengketa saja.
Sanksi dalam hukum Adat tidak dapat diberlakukan, sebab perjanjian yang
bersifat perseorangan tidak dicampuri oleh masyarakat Adat. Namun sanksi Adat
dapat diberlakukan jika suatu perbuatan dari para pihak yang tidak melakukan
kesepakatan tersebut dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan dan
ketenangan masyarakat Adat yang ada disekitarnya.205
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kendala memiliki definisi sebagai
suatu permasalahan yang terjadi dalam menggapai dari suatu tujuan tertentu.
Dalam ilmu hukum, kendala dapat dikenal sebagai kendala yuridis dan kendala
non yuridis. Kendala yang dihadapi dalam penyelesaian sengketa tanah warisan
di Tapanuli Selatan yaitu, kendala yang dihadapi oleh mediator yakni, sulitnya
menghadirkan salah satu pihak yang menjadi pihak yang bersengketa. Sehingga
mengalami kesulitan, ketika lembaga Desa tidak memiliki kewenangan khusus
untuk memanggil paksa para pihak untuk melakukan mediasi, sebab lembaga
Desa bukanlah lembaga peradilan.
Kendala lainnya yang dialami dalam penyelesaian sengketa warisan di
Tapanuli selatan yaitu tidak adanya mekanisme atau aturan tertentu yang menjadi
pedoman dalam menyelesaikan sengketa di Tapanuli Selatan. Sehingga
205
terjadinya ketidakjelasan mengenai aturan kesepakatan damai yang menjadi hasil
upaya penyelesaian sengketa.
Kendala yuridis lainnya yang menjadi hambatan dalam penyelesaian
sengketa yaitu, para pihak – pihak tidak mengingat bahkan tidak mengetahui asas
– asas yang seharusnya diberlakukan dalam pewarisan. Seperti hal nya asas
kesatuan, asas ketergantungan, asas keberlanjutan dan asas kebersamaan. Padahal
dalam hal ini, pentingnya mengingat asas – asas pewarisan Adat Angkola karena
asas – asas tersebut merupakan pedoman bagi masyarakat Adat Angkola di
Tapanuli Selatan.206
Mengenai bagaimana pewarisan itu seharusnya terjadi, salah satu asas
yang seharusnya dilakukan dalam pewarisan, khususnya dalam sistem pewarisan
Adat Angkola di Tapanuli Selatan yaitu asas kebersamaan. Dimana asas
kebersamaan mementingkan harta harus di nikmati bersama – sama dengan ahli
waris lainnya, tidak berkehendak untuk menguasai keseluruhan harta warisan.
Melainkan, mementingkan keharmonisan dan keutuhan keluarga yang harus tetap
terjaga.
206
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pelaksanaan hukum waris pada masyarakat adat Angkola di Kabupaten
tapanuli Selatan pada awalnya menggunakan hukum waris secara adat, yakni
hanya anak laki-laki yang berhak atas harta warisan peninggalan
orangtuanya. Anak perempuan tidak berhak mewarisi, akan tetapi anak
perempuan mendapat harta hibah yang biasa dikenal dengan pemberian kasih
sayang (Holong Ate) yakni pemberian benda bergerak atau benda tidak
bergerak. Namun setelah adanya pengaruh Islam yang masuk ke Tapanuli
Selatan, hukum waris adat Angkola mengalami perubahan khususnya bagi
masyarakat Angkola yang beragama Islam. Masyarakat Angkola yang
beragama Islam tunduk pada hukum waris Islam, yakni menggunakan
pembagian 2:1 untuk anak laki-laki dan perempuan. Sedangkan untuk
masyarakat non Muslim masih tunduk pada hukum waris adatnya.
2. Lembaga Adat yang terdapat di Tapanuli Selatan pada dasarnya memiliki
tugas untuk berbagai kegiatan yakni pernikahan, kelahiran dan kematian.
Lembaga ini dikenal dengan Dalihan Na Tolu, yang dibentuk berdasarkan
peranan adat istiadat. Dalihan Na Tolu secara harfiah diartikan sebagai
tungku yang terdiri dari tiga penyangga. Dalihan Na Tolu juga berfungsi
menentukan kedudukan, hak dan kewajiban masyarakat. Pada dasarnya
yakni keluarga inti yang berkedudukan sebagai Dalihan Na Tolu. Masalah waris di masayarakat Angkola lebih banyak diselesaikan secara kekeluargaan
walaupun terkadang berujung pada sidang adat dan penyelesaian melalui
lembaga pengadilan.
3. Kekuatan hukum dari hasil penyelesaian sengketa waris yang dilakukan
secara adat hanya berlaku jika kedua belah pihak menyetujui hasil dari sidang
adat tersebut. Atas tanggung jawab dari pemimpin sidang adat yakni
Hatobangon dan Harajaon sebagai pemimpin sidang adat didampingi Dalihan Na Tolu sebagai mediatornya. Maka jika hasil dari musyawarah itu
disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa maka harta warisan akan
jatuh ketangan yang bersangkutan dengan perjanjian yang telah disepakati.
Jika keduabelah pihak tidak menyetujui maka akan berlanjut ke pengadilan.
B. Saran
1. Pelaksanaan Hukum waris secara adat dipandang tidaklah sesuai dengan
ajaran Islam. Mengingat 90% masyarakat adat Angkola di Kabupaten
Tapanuli Selatan menganut agama Islam. Pelaksanaan hukum waris secara
adat akan memecah persaudaraan dikarenakan salah satu pihak tidak
menyetujui dikarenakan alasan keadilan. Hendaknya masyarakat Angkola
muslim di Kabupaten Tapanuli Selatan menggunakan Hukum waris Islam,
karena waris Islam sudah ditentukan besaran masing-masing dari para ahli
waris dan merupakan ketentuan dari Allah SWT. Dalam Al-Qur‟an surah An
ibu-bapaknya dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
2. Peran lembaga adat hendaknya seperti yang telah digambarkan oleh Dalihan
Na Tolu, yakni tungku yang terdiri dari penyangga yang menggambarkan suatu komponen yang mempunyai keseimbangan. Diharapkan peranan
lembaga adat tidak hanya menyelesaiakan permasalahan adat saja, tetapi
harus lebih dari itu yakni menjaga persaudaraan agar tidak terjadi
perpecahan. Seperti pada contoh kasus, seharusnya lembaga adat
memberikan penyuluhan-penyulihan adat tentang bagaimana proses
pewarisan baik secara adat maupun secara Islam.
3. Hendaknya keputusan dari hasil musyawarah yang dilakukan secara adat
harus diperkuat dengan ketentuan dari pemerintah. Dengan mengikut
sertakan aparatur pemerintahan seperti kepala desa atau lurah agar menambah
kekuatan hukum dari hasil penyelesaian sengketa yang terjadi di Kabupaten