• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris Berdasarkan Hukum Adat Angkola Di Kabupaten Tapanuli Selatan Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris Berdasarkan Hukum Adat Angkola Di Kabupaten Tapanuli Selatan Chapter III V"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PERAN LEMBAGA ADAT JIKA TERJADI SENGKETA DALAM

PEMBAGIAN WARIS PADA MASYARAKAT ANGKOLA DI KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

A. Pengertian Lembaga Adat Masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan

1. Pengertian Lembaga Adat

Keberagaman yang ada di masyarakat Indonesia harus dikelola dengan

baik. Setiap kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang mempunyai budaya

dan adat istiadat yang berbeda harus dipenuhi dan diselaraskan dengan

kepentingan masyarakat Indonesia. Karena itu, dibentuk lembaga budaya yang

menaungi kebutuhan pengembangan adat istiadat. Lembaga budaya di dalam

masyarakat berperan untuk pengembangan budaya, ilmu pengetahuan,

lingkungan, seni dan pendidikan pada masyarakat yang bersangkutan.

Keberagaman hukum adat yang hidup berkembang dalam masyarakat

indonesia yang masing-masing dilatar belakangi oleh karakter budaya

berbeda-beda menciptakan hukum yang berberbeda-beda-berbeda-beda pula sehingga keberagaman itu

lebih ramah disebutkan oleh kalangan penstudi atropologi hukum sebagai

pluralisme hukum, hal ini pula terjadi perbedaan paradigma penyelesaian

(2)

Disamping itu eksistensi institusi lokal termasuk lembaga adat akhir-akhir

ini adalah sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati, lembaga adat yang

dulunya mampu eksis dan berperan dalam penyelesaian kasus atau perkara di

dalam masyarakat namun sekarang telah terjadi pergeseran paradigma

penyelesaian sengketa dalam masyarakat.

Hal ini dibuktikan dengan berbagai aktifitas penyelesaian sengketa di

kalangan masyarakat di Tapanuli Selatan tengah mengalami kemunduran dan

tidak mampu berbuat banyak dalam penyelesaian sengketa khususnya

penyelesaian sengketa waris di mana untuk penyelesaian sengketa, masyarakat

cenderung lebih menggunakan penyelesaian sengketa waris secara kekeluargaan

ataupun lembaga pengadilan.142 Namun di satu sisi harapan masyarakat untuk

menyelesaikan sengketa melalui lembaga pengadilan justeru kembali

menemukan permasalahan baru berupa resistensi atas sebuah keputusan

pengadilan terhadap perkara tertentu karena dianggap oleh sebagaian masyarakat

tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat.143

Istilah lembaga adat merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata

“lembaga” dan “adat”. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut Institution

yang bermakna pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian literal

ini, lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada

pola prilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki

142

Hasil wawancara dengan Marhan Harahap, Sekertaris camat Batang Angkola, tanggal 03 Maret 2016

143

(3)

struktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Struktur adalah tumpukan logis

lapisan-lapisan yang ada pada sistem hukum yang bersangkutan.144

Menurut Pasal 95 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,

Lembaga adat adalah merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat

istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang

atas prakarsa masyarakar Desa.145 Lembaga yang dimaksud bertugas membantu

pemerintah desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan

mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat

masyarakat desa.

Menurut Ter Haar146 dalam buku Badruzzaman, lembaga hukum adat

lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum,

terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu

pelaksanaan perbuatan-perbuatan hakim yang bertugas mengadili sengketa,

sepanjang keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum.

Menurut ilmu-ilmu budaya, lembaga adalah suatu bentuk organisasi yang

tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-relasi

yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi

hukum guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.147 Sebagaimana

diketahui di Indonesia dikenal kelompok masyarakat adat dan disebut

144

Mohammad Daud Ali, HukumIslam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Hal. 216 145

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. 146

Badruzzaman Ismail, 2007, Mesjid dan Adat Meunasha Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh, MAA, Hal. 150.

147

(4)

persekutuan-persekutuan yang berhubungan erat satu sama lainnya. Dalam

pergaulan sehari-hari, setiap orang sebagi anggota masyarakat persekutuan itu

merasa terikat untuk bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang

tergariskan sebagi suatu kesatuan.

Diketahui masyarakat adat Angkola memiliki lembaga adat yakni

Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu yaitu tiga unsur yang disebut kahanggi

(teman semarga), anak boru (pihak pengambil isteri), dan mora (pihak pemberi

isteri). Dalihan Na Tolu dianalogikan dengan tiga tungku, yang biasanya batu

yang dipakai untuk menyangga periuk atau kuali ketika sedang memasak. Jarak

antara ketiga tungku sama. Sehingga ketiganya dapat menyangga secara kokoh

alat memasak diatasnya.148 Titik tumpu periuk atau kuali berada pada ketiga

tungku secara bersama-sama dan mendapat tekanan berat yang sama. Periuk

dapat diartikan sebagai beban kewajiban bersama,149 atau sebagai kerja bersama

atau lazim diartika Horja. Seluruh tataan Daliha Na Tolu mengambil bagian kekerabatan tersebut menumpukan kehidupan pada tiga unsur Fungsional. Sedangkan dalam

“sastra mandailing dan kita : Suatu Perkenalan Awal”, makalah seminar kebudayaan mandailing,

Fakultas Sastra USU, Medan, 1990, lebih lanjut dikatakan bahwa masyarakat mandiling yang garis keturunannya patrineal disebut dengan Dalihan Na tolu. Inilah yang berperan dan menentukan pada kelompok kekerabatan kahanggi, anak boru, dan mora.

149 Maksud “beban kewajiban bersama” disini adalah beban kewajiban adat, yakni

kebiasaan yang tidak tertulis tetapi sudah sejak lama dipraktikkan. Adanya unsur kebiasaan yang tidak tertulis menjadikannya sebagai hukum adat.

150

(5)

bertujuan untuk menunnjukkan kesamaan peran, kewajiban dan hak dari ketiga

unsur dalam Dalihan Na Tolu.

Sebagai suatu sistem, dalam Dalihan Na Tolu terdapat sejumlah hirarki

pengelompokan kekerabatan (mora,kahanngi,anakboru) yang saling berkaitan

(interpensi) dan berbagai fungsional yang harus dipenuhi dalam melaksanakan

tujuan bersama, memelihara pola, dan memepertahankan kesatuan. Semua kaitan

fungsional ini harus dipenuhi demi tercapainya keseimbangan dan keharmonisan.

Keseimbangan dan keharmonisan masing-masing unsur terlihat pada

ungkapan-ungkapan kata tradisional orang Tapanuli Selatan, “manat sanga pe

jamot marhamaranggi, elek marboru, hormat marmora”, artinya kita harus

berhati-hati kepada kahanggi, berlaku sayang kepada anak boru, dan selalu

hormat kepada mora. Ungkapan lain dan makna yang sama, “sagama

markahanggi, olong maranak boru, dan sangap marmora”. Ketiga unsur

kekerabatan ini terjadi karena hubungan darah dan hubungan perkawinan. Dari

garis keturunan ayah, abang ke atas disebut satu marga dan itulah unsur

kahanggi. Garis keturunan pihak ibu ke atas dinamakan mora. Sedangkan garis

anak perempuan kesamping melalui perkawinan dinamakan anak boru.

Perbedaan kedudukan dan fungsi ini ditentukan oleh kedudukannya,

apakah pada saat itu yang bersangkutan berkedudukan sebagai kahanggi, anak

memperoleh kata sepakat dari semua unsur Dalihan Na Tolu pada waktu pelaksanaan

(6)

boru atau mora. Jika pada suatu saat tertentu seseorang berkedudukan sebagai kahanggi, mora, dan anak boru maka pada saat lain dapat berubah-ubah sesuai

dengan situasi, kondisi dan tempat. Setiap orang secara pribadi memiliki 3 (tiga)

dimensi dalam kedudukannya sebagai Dalihan Na Tolu ataupun sebagai anggota

masyarakat. Oleh sebab itulah orang Mandailing Angkola selalu dapat

menyesuaikan diri jika dibutuhkan.

2. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu

a. Suhut dan Kahanggi

Kahanggi adalah satu kelompok kerabat satu marga. Mereka ini termasuk

dalam salah satu kelompok kerabat dari tiga unsur Dalihan Na Tolu.

Istilah-istilah lain yang menyangkut kerabat kahanggi adalah antara lain : saama saina,

marangka maranggi, saama, saompu, saparaman, saparompuan, sabona, atau

sahaturunan.151 Yang dimaksud dengan suhut dan kahangginya adalah suatu kelompok keluarga yang semarga atau yang mempunyai garis keturunan yang

sama dalam satu huta yang merupakan Bonabulu (pendiri Kampung). Suhut

berkedudukan sebagai tuan rumah didalam pelaksanaan upacara-upacara adat.

Suhut dan kahangginya terdiri dari :152

1. Suhut

2. Hombar Suhut (Kahanggi)

151

(7)

3. Kahanggi Pareban kelompok orang/seseorang yang kedudukannya menjadi kahanggi, karena sepengambilan (isterinya bersaudara).

Didalam suatu huta (Kampung) dikenal dengan apa yang disebut

dengan Namoramora di huta. Yang dimaksud dengan Namora adalah

kerabat-kerabat, kahanggi dan raja huta (yang mendirikan huta dan yang

masih satu keturunan dan semarga dengannya). 153

1. Yang dimaksud dengan “Suhut” adalah mereka yang merupakan tuan rumah didalam pelaksanaan upacacara adat (yang punya hajatan).

Kelompok inilah yang merupakan penanggung jawab terhadap segala

sesuatunya yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara adat tersebut.

2. Hombar suhut, adalah keluarga dan kahanggi semarga dengan suhut tetapi

tidak satu nenek. Hombar suhut ini tidak hanya yang berasal dari huta

yang sama, tetapi juga dari luar huta yang masih mempunyai hubungnya

keluarga dan semarga dengan suhut.

3. Kahanggi pareban, adalah keluarga kelompok pertama dan yang ketiga sama-sama mengambil isteri dari keluarga yang sama. Dalam status adat

Kahanggi Pareban ini dianggap sebagai saudara Markahanggi berdasarkan

perkawinan.

153

(8)

b. Anak Boru

Anak boru adalah kelompok keluarga yang dapat atau yang mengambil

isteri dari kelompok suhut. Anak boru sebagaimana halnya dengan suhut

dibagi diatas:154

1. Anak Boru Bona Bulu ( anak boru asal pengalehenan ni boru) adalah anak

boru yang telah mempunyai kedudukan sebagai anak boru sejak

pertamakalinya suhut menempati huta. Anak boru inilah yang pertama

mengambil boru dari keluarga kelompok suhut. Anak boru ini bahkan turut

membuka huta dan turut bertempat tinggal dengan suhut di huta tersebut.

Anak boru ini didalam paradaton (upacara adat) turut menentukan segala

sesuatunya. Kedudukan anak boru terhadap suhut akan menjadi kedudukan

anak boru terhadap moranya. Jika dipandang dari sudut suhut, maka

pendampingnya adalah anak boru. Anak boru dari kelompok ini disebut

juga dengan bayo-bayo magodang (goruk-goruk hapinis).155

2. Anak boru busir ni pisang (anak boru pengalehenan ni boru) adalah anak

(9)

3. Anak boru sibuat boru adalah anak boru yang mengambil isteri dari suhut,

dengan demikian ia berkedudukan sebagai anak boru (sibuat boru). lama

kelamaan anak boru ini (turunannya) akan menjadi anak boru busir nipisang

(anak boru pada tingka kedua).

c. Mora

Mora adalah tingkat keluarga yang oleh suhut mengambil boru (isteri)

dari kelompok ini. Mora terbagi atas tiga kelompok yaitu: 157

1. Mora mata ni ari adalah kelompok keluarga yang secara turun temurun

menjadi mora, karena kelompok suhut sejak pertamakalinya, telah

mengambil boru dari kelompok ini. Dalam upacara adat mora mata ni ari

ini dapat hadir sebagai harajaon.

2. Mora Ulu Bundar (Pangalapan Boru) adalah Mora tempat kelompok

suhut mengambil boru. Mora ini adalah kelompok keluarga yang telah

pernah memberi boru kepada suhut, oleh kerena itu secara turun temurun

kelompok suhut dapat mengambil boru dari kelompok mora ini.

3. Mora Pambuatan Boru adalah kelompok keluarga tempat suhut

mengambil isteri. Mora sebagai kelompok keluarga yang baru

pertamakalinya memberikan boru kepada keluarga suhut. Suhut yang

mengambil boru secara langsung ini menganggap keluarga mora ini

sebagai mora pambuatan boru.

157

(10)

Apabila Dalihan Na Tolu ini dikembangkan, mora tentu mempunyai mora,

maka jika dipandang dari sudut suhut, maka kedudukannya adalah mora ni mora.

Demikian juga dengan anak boru tentu mempunyai anak boru dan jika dipandang

dari sudut suhut, kedudukannya disebut pisang raut. Upacara-upacara yang

terdapat pada horja (Kerja adat) pada dasarnya adalah musyawarah adat yang telah

tertata dan teratur sebagaimana terlihat pada upacara siriaon dan Siluluton.

Termasuk dalam siriaon (kegembiraan) meliputi kelahiran Perkawinan, dan

memasuki rumah baru. Sedang dalam siluluton (peristiwa kesedihan atau dukacita)

meliputi kematian, tolak bala dan musibah lain.158 Dalam melakukan kedua

peristiwa tersebut orang Tapanuli Selatan berpedoman pada norma-norma dan

aturan yang bersumber dari adat-istiadat159 dan ajaran agama Islam.

Dengan demikian, dalam menyikapi peristiwa-peristiwa tersebut

masyarakat Mandailing dan Angkola dipengaruhi oleh dua nilai pokok, yakni : (1)

nilai-nilai adat dan (2) Islam. Kedua nilai ini saling mempengaruhi sikap, tindakan

dan perilaku masyarakat Muslim Mandailing dan Angkola. Interaksi yang berasal

dari kata social Interaction, memberikan kepada aktornya pengaruh timbal balik

atau saling mempengaruhi.

158

Abbas Pulungan, Peranan Dalihan Na Tolu Dalam Proses Interaksi Antara Nilai-Nilai Adat Dengan Islam Pada Masyarakat Mandailing dan Angkola Tapanuli Selatan, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003, Hal .2

159

Maksud adat istiadat di sini adalah nilai adat, yakni kebiasaan yang tidak tertulis tetapi sudah dipraktikkan (kebiasaan) dimasyarakat. Sebab disamping hukum tertulis biasanya ada apa

yang disebut dengan “hukum kebiasaan” atau hukum tidak terkodifikasi, yakni kompleks

(11)

Sejalan dengan proses interaksi sosial dalam perjalanan sejarah, kedua

etnis Mandailing dan Angkola, mempunyai kecenderungan kehidupan sosial,

budaya, dan keberagaman yang berbeda, Masyarakat Mandailing memiliki

aturan-aturan adat yang relatif melonggar karena intensitas pengaruh nilai-nilai ajaran

Islam.160 Sebaliknya masyarakat Angkola masih sangat terikat dengan

aturan-aturan adat. Kuat dan longgarnya pengalaman aturan-aturan adat dalam sistem kehidupan

sosio religius masyarakat Tapanuli Selatan dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Faktor-faktor tersebut pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua, yakni: (1)

Internal, dan (2) eksternal.161

Basyral Hamidy Harahap menemukan bahwa gubungan Islam dengan adat

sering bersifat antagonistik, bahkan lebih jauh lagi, adat sedang dalam proses

pembersihan dari islam. Lebih lanjut menurut Basyral, kalangan batak muslim

cenderung melaksanakan ketentuan agama Islam sambil tetap melaksanakan

lembaga adat Dalihan Na Tolu dalam memecahkan masalah keseharian.162 Namun

dari segi adat, praktik tersebut telah melemah dan dearajat keberlakuannya berkurang

menjadi sekedar sistem seremonial belaka. Bahkan menurut temuannya, Islam tidak

menyesuaikan diri terhadap adat, tetapi Islam telah turut memberi defenisi terhadap

adat. Ketaatan orang terhadap ajaran agama sekarang lebih kuat daripada adat.163

Basyral Hamidy Harahap, Islam and Adat Among South Tapanuli Migrants in tree

(12)

Adat Tapanuli Selatan juga melentur ketika berhadapan dengan kemajuan

zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, langsung atau tidak

mempengaruhi sistem dan nilai sosial. Faktor-faktor inilah yang dimaksud dengan

faktor eksternal interaksi adat dan Islam. Dengan demikian maksudnya adalah

bagaimana kedua nilai adat dan Islam saling mempengaruhi terhadap tindakan dan

perilaku masyarakat Mandailing dan Angkola.

Sistem nilai adat Tapanuli Selatan adalah sistem nilai yang tak tertulis.

Konsekuensinya sulit mendapatkan satu sistem yang mencakup seluruh aspek

kehidupan,164 yang berfungsi sebagai alat memupuk rasa solidaritas dan rasa

identitas. Ada beberapa prinsip yang telah ditanamkan untuk mengikat rasa

solidaritas dan identitas orang Tapanuli Selatan yaitu:165

1. Baenama huta dohot banua martalaga na so hiang, artinya jadikanlah desa sekitarnya menjadi lahan yang tidak kering. Tujuannya adalah ingin mencapai kemakmuran dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada.

2. Baenma huta dohot banua merguluan na so marlinta, artinya jadikanlah desa dan sekitarnya menjadi kubangan yang tidak berlintah (security/aman). Maknanya agar desa dan sekitarnya harus diperjuangkan supaya menjadi tentram, rukun, bekerja sama, tolong menolong dan saling gotong royong, tidak saling menipu, tidak ada pemerasan, tidak ada lintah daratnya.

3. Baenma huta dohot banua marjalangan na so marrongit, artinya jadikanlah desa dan sekitarnya menjadi lapangan bermain yang tidak bernyamuk artinya bersih dan nyaman.

4. Baenma huta dohot banua mardomu tahi, artinya jadikanlah desa dan sekitarnya menjadi masyarakat yang slalu bermusyawarah mufakat.

164

Belakangan telah dijumpai beberapa literatur tentang adat istiadat etnis Tapanuli Selatan yang mencerminkan etnis-etnis lokal dan marga-marga, di antaranya: Horja :adat istiadat Dalihan Na Tolu Iyang disusun parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna dan Basyral Hamidi Harahap, yang terbit tahun 1993. Pandapotan Nasution, Uraian Singkat tentang adat Mandailing serta tatacara perkawinannya, (Jakarta: Widya press 1994). Lembaga adat kecamatan Sipirok, Adat budaya Angkola-Sipirok Haruannya Mardomu Bulung Napa-napa Ni sibualbuali (sipirok: tnp 1997)

165

(13)

5. Baenma huta dohot banua martonggo tu somboan, artinya jadikanlah desa

dan sekitarnya bertaqwa kepada Tuhan.166

Na di parsinta di atas lebih mengacu kepada masyarakat dan lingkungan.

Sedang prinsip atau sistem nilai yang lebih mengacu kepada individu dinamakan

Poda na lima (ajaran yang lima) meliputi:

1. Paias rohamu, bersihkan jiwamu 2. Paias pamatangmu, bersihkan tubuhmu 3. Paias parabitonmu, bersihkan pakaianmu

4. Paias bagasmu, bersihkan rumahmu

5. Paias pakaranganmu, bersihkan lingkungan tempat tinggalmu

Ajaran di atas mengandung ajaran yang cukup mendalam, sebab kalau na

di parsinta diakhiri dengan ajaran bersifat spiritual, sementara poda na lima diawali dengan ajran bersifat spiritual pula. Maka dapat dianalisi bahwa

masyarakat Angkola sejak dahulu telah menganut nilai spiritual-religius.

B. Lembaga Adat Pada Masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan

Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Waris.

1. Sengketa Waris pada Masyarakat Angkola

Dalam kehidupan sehari-hari persoalan waris seringkali menjadi

persoalan krusial yang terkadang memicu pertikaian serta menimbulkan

keretakan dalam keluarga sehingga hukum waris menduduki tempat yang sangat

penting dalam hukum adat, hukum waris islam maupun hukum positif di

166

(14)

Indonesia. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh

setiap orang. Disamping itu masalah kewarisan sangat mudah menimbulkan

sengketa di antara ahli waris.

Seperti kasus sengketa waris yang terjadi pada keluarga Almarhum T.

Harahap, bukanlah satu-satunya kasus sengketa yang pernah terjadi di Tapanuli

Selatan. Ada beberapa kasus yang terjadi di Tapanuli Selatan, di kecamatan

Angkola Timur misalnya tepatnya pada Desa Pargarutan Pasar. Disana terdapat

kasus yang hampir persis sama seperti yang terjadi pada keluarga almarhum T.

Harahap.

Pada kasus yang terjadi di Desa Pargarutan pasar kecamatan Angkola

Timur, terjadi sengketa pembagian harta warisan yang melibatkan keluarga A.

Siregar dengan B. Boru Siregar. Pokok masalah pada kasus ini, B boru Siregar

tidak menyetujui hasil pembagian harta warisan berupa persawahan. B. Boru

Siregar merasa tidak dipenuhi hak warisnya, hanya dikarenakan dia anak

perempuan dia tidak mendapatkan hak waris. Padahal sebelum ayahnya

meninggal dialah yang mengurus perwasahan tersebut. Tetapi pada akhirnya

kasus ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan menggunakan waris

secara Islam dan tidak sampai pada tingkat musyawarah adat dan pengadilan.167

Lalu berdasarkan data penelitian yang dilakukan, di daerah desa

Parsalakan Kecamatan Angkola Barat, juga pernah terjadi kasus Sengketa waris

167

(15)

yang terjadi kali ini berbeda. Di dalam kasus ini sengketa yang terjadi pada

Keluarga M. Ritonga dengan adiknya N. Ritonga, di kasus ini yang terjadi adalah

M. Ritonga dengan diam-diam menjual sebidang tanah milik keluarga tanpa

persetujuan keluarga lainnya yakni adiknya N. Ritonga. Disini N. Ritonga tidak

diberikan hak warisnya, M. Ritonga kemudian dilaporkan ke pihak yang

berwajib, tetapi kemudian laporan ini dicabut kemudian kasus ini diselesesaikan

secara Kekeluargaan dengan menggunakan penyelesaian waris Islam dengan

bantuan dari Dalihan Na Tolu.168

Di Kecamatan Batang Angkola tepatnya di desa Huta Tongah, pernah

terjadi kasus sengketa waris pada Keluarga H. Siregar dengan adiknya B.

Siregar. Ayah H. Siregar yakni Z. Siregar adalah pemilik Angkutan umum di

desanya. Mereka memiliki 3 petak sawah, Z. Siregar mewariskan 2 petak sawah

kepada anak ke 2nya B. Siregar dan 1 petak sawah lagi kepada anak pertamanya

H. Siregar. H. Siregar tidak menerimanya dikarenakan mereka sama-sama anak

lelaki. H. Siregar merasa ia berhak atas bagian yang sama rata. Kasus ini

kemudian dimusyawarahkan secara kekeluargaan tapi tidak ditemukan kata

kesepakatan, kemudian kasus ini berlanjut untuk dimusyawarahkan secara adat

dan diputuskan bahwa mereka mendapat bagian yang mereka inginkan.169

168

Hasil Wawancara dengan Maruhum Hot Taufiq, S.Sos, sekertaris camat Kecamatan Angkola Barat, Tanggal 02 April 2016

169

(16)

Dari ketiga kasus, dua kasus diselesaikan dengan cara musyawarah

keluarga 2 kasus menggunakan waris Islam sebagai patokan untuk

menyelesaikan masalah dan 1 kasus menggunakan hukum waris Adat. Adapun

penylesaian dilakukan dengan bantuan lembaga Dalihan Na Tolu dan yang satu

menggunakan musyawarah adat yang di mediasi oleh Lembaga Dalihan Na Tolu

dan Hatobangon Harajaon.

2. Peran dan Kedudukan Lembaga Adat dalam Menyelesaikan Sengketa

secara Adat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan

Pengertian lembaga adat menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan,

Lembaga Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk

maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah

masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah

hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak

dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai

permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat

dan hukum adat yang berlaku.170

Pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 Tentang

Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan Lembaga Adat berfungsi bersama

pemerintah merencanakan, mengarahkan, mensinergikan program pembangunan

170

(17)

agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang

dalam masyarakat demi terwujudnya keselarasan, keserasian, keseimbangan,

keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Lembaga adat berfungsi sebagai

alat kontrol keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik

preventif maupun represif, antara lain:171

a. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;

b. Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di

masyarakat.

Kemudian, lembaga adat juga memiliki fungsi lain yaitu:

a. Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan di

segala bidang terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan

kemasyarakatan.

b. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya

c. Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang

berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial kepadatan dan keagamaan.

d. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka memperkaya,

melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan

kebudayaan adat khususnya.

171

(18)

e. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk

kesejahteraan masyarakat desa adat.

Adapun wewenang dari lembaga adat meliputi:

a. Mewakili masyarakat adat dalam pengurusan kepentingan masyarakat adat

tersebut.

b. Mengelola hak-hak dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan

kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.

c. Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan

kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaiannya tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat dan

agama untuk kepentingan desa adat.

e. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan pada

tingkat desa.

f. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, kabupaten/

kota desa adat tersebut berada.

Sengketa dalam pembagian warisan diantara para ahli waris timbul

dikarenakan adanya pihak yang ingin menguasai harta secara perorangan dan

menuntut bagian atas harta warisan. Salah satu faktor yang menyebabkan

sengketa terjadi adalah faktor ekonomi yang merupakan pokok masalah utama

(19)

Contoh dari kasus yang pernah terjadi pada keluaga T Harahap. Yang

menjadi permsalahanya disini ialah pembagian warisan yang menurut salah satu

keturunanya tidak adil. Ibu T Siregar (52 tahun) mendapatkan kabar dari

keluarga mantan suaminya bahwa P Harahap (58 Tahun) – mantan suaminya

meninggal karena serangan Jantung. Keluarga mantan suaminya

memberitahukan : bahwa sebelum meninggal P Harahap pernah berpesan secara

lisan kepada kakaknya D Harahap bahwa salah satu rumah miliknya diberikan

kepada A boru Harahap, yaitu anak kandung P Harahap yang berusia 26 tahun.

Walaupun keluarganya mengakui wasiat yang diberikan P Harahap secara lisan

melalui kakaknya, T Siregar merasa ragu karena tidak ada bukti tertulis bahwa P

Harahap memang pernah mewasiatkan rumah tersebut untuk anak mereka.

Yang menjadi masalah disini putra dari P Harahap anak dari perkawinan

ke duanya dengan M boru Samosir yaitu F Harahap (24 Tahun) tidak menyetujui

hal ini. Padahal dia juga sudah mempunyai hak waris yang sudah ditentukan oleh

P harahap. Dari persoalan ini timbul sengketa karena merasa dia anak lelaki

seharusnya dia berhak atas semua harta dari ayahnya.

Kasus ini pernah diselesaikan secara kekeluargaan namun tidak dapat

mencapai kesepakatan sehingga pihak keluarga berkesimpulan untuk

menyelesaikan kasus ini secara adat dan kedua belah pihak yang bersengketa

(20)

terselsaikan. Sehingga pembagian warisan terlaksana sesuai dengan amanat

pewaris yaitu A. Boru Harahap mendapat sebuah dari almarhum P. Harahap.

Dalam wawancara dengan Kepala adat di Tapanuli Selatan, Sutan Tinggi

Barani Perkasa Alam menyatakan 172 secara hukum adat memang benar semua harta

warisan yang ada berhak dimiliki oleh F. Harahap dikarenakan dia adalah anak lelaki

satu-satunya. Secara adat harta warisan itu adalah haknya seutuhnya. tetapi anak

perempuan juga punya hak atas harta warisan tersebut.

Dalam pelaksanaan pembagian waris di Kabupaten Tapanuli Selatan peranan

pemuka masyarakat memegang peranan penting. Pada masyarakat adat Angkola, di

kecamatan Batang Angkola, Angkola Timur dan Angkola Barat. Khususnya di

kecamatan Angkola Batang Angkola sengketa mengenai warisan pernah terjadi

tetapi tidak sampai dilanjutkan ke pengadilan hanya diselesaikan dengan

musyawarah keluarga.173 karena rasa kekeluargaan masih tinggi dan peranan ketua

adat maupun pemuka agama masih berpengaruh besar bagi masyarakat adat

setempat.

Tabel 6.

Penyelesaian Sengketa waris di Kabupaten Tapanuli Selatan

No. Tindakan yang dilakukan jika terjadi perselisihan diantara

ahli waris terhadap pembagian harta warisan

Responden

n=30

172

Hasil wawancara dengan Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, Ketua Adat di Padang Sidimpuan, Tanggal 05 April 2016

173

(21)

1. Melalui musyawarah Keluarga 12

2. Melalui musyawarah adat/Sidang Adat 18

3. Melalui pengadilan Agama/Pengadilan Negeri 0

jumlah 30

Sumber : Data hasil wawancara di 3 (tiga) kecamatan yakni Kecamatan

Angkola Timur, Angkola Barat dan Batang Angkola, Tahun 2016

Dari tabel diatas 12 orang responden mengambil tindakan yang dilakukan

jika terjadi perselisihan diantara ahli waris terhadap pembagian harta warisan

memilih menyelesaikan melalui musyawarah keluarga dan 18 orang responden

memilih menyelesaikan melalui musyawarah adat. Tabel ini merupakan

keseluruhan dari hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tapanuli Selatan

yang meliputi desa Pargarutan pasar, desa Parsalakan dan desa Huta Tongah.

Dari 12 orang responden yang memilih tindakan melalui musyawarah

keluarga, terdapat 8 orang yang memilih menggunakan pewarisan secara Islam.

Sedangkan 4 responden memilih menggunakan hukum waris adat. Menurut

Darwin Dalimunthe masyarakat desa Pargarutan Pasar dominan beragama Islam

dan tunduk pada Hukum Islam sedangkan hanya sebagian kecil masyarakat

beragama Nasrani.174 Sedangkan 18 orang responden yang memilih melalui

174

(22)

musyawarah adat atau sidang adat, juga terdapat pembagian waris secara Islam

yakni 17 orang responden dan 1 orang responden menggunakan hukum adat.175

Apabila terjadi perselisihan dalam pembagian harta warisan pada

masyarakat Angkola, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara musyawarah,

baik melalui musyawarah keluarga maupun musyawarah dengan Hatobangon

dan Dalihan Na Tolu. Musyawarah ini bertujuan untuk mencapai penyelesaian damai sehingga kerukunan keluarga dapat terpelihara dan masing-masing pihak

yang berselisih dapat menerima hasil musyawarah itu. Adapun perselisihan

dengan cara musyawarah tersebut yaitu:176

a. Musyawarah secara kekeluargaan

Musyawarah keluarga dipimpin oleh keluarga yang tertua yang

dianggap mampu dan bijak sana dalam mengambil keputusan. Di dalam

musyawarah ini juga dihadirkan Dalihan Na Tolu yang diwakili dengan Mora,

Kahanggi Idan Anak Boru. Musyawarah di mulai dengan membicarakan

masalah dari pokok sengketa yang terjadi diantara ahli waris, kemudian

pimpinan musyawarah akan mengemukakan nasihat dan masukan yang isinya

menguraikan arti penting kerukunan hidup dalam keluarga dan menguraikan

dampak buruk akibat perpecahan keluarga yang mungkin terjadi akibat

sengketa harta warisan.

175

Hasil dari Penelitian melalui Angket di 3 desa 176

(23)

Kemudian para ahli waris lain diberi kesempatan oleh pimpinan

musyawarah untuk mengeluarkan pendapat terhadap masalah sengketa

warisan yang terjadi. Setelah semua ahli waris secara bergantian

mengeluarkan pendapat dan usulan untuk menyelesaikan sengketa warisan

tersebut, maka kemudian pihak yang berselisih paham diberi kesempatan

untuk mengemukakan pandangannya dan alasan atas apa yang menjadi

masalah perselisihan.

Apabila dengan musyawarah secara kekeluargaan ini perselisihan

dapat diatasi dan didapatkan jalan keluar yang disetujui oleh para ahli waris,

maka penyelesaian sengketa tercapai.177 Akan tetapi apabila perselisihan tidak

juga menemui titik terang dan pihak yang bersengketa tetap bertahan pada

pendiriannya, maka langkah penyelesaian yang dapat diambil selanjutnya

dapat ditempuh melalui musyawarah adat ataupun sidang adat.178

b. Musyawarah Adat

Menurut Adat Tapanuli Selatan untuk menyelesaikan suatu masalah

ataupu memulai suatu pekerjaan kecil ataupun besar apalagi yang menyangkut

dengan perselisihn maka diadakan musyawarah adat.179 Musyawarah lebih dulu

177

Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05 April 2016

178

Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05 April 2016

179

(24)

dibicarakan keluarga kecil yang kemudian disampaikan kepada keluarga

merupakan keluarga besar. Sehingga musyawarah itupun mempuyai tingkat.

Musyawarah dalam adat disebut “Martahi”.180

Beberapa tingkatan musyawarah sesuai dengan orang yang ikut dalam

musyawarah itu:

1. Tahi Ungut – ungut – ungutni sibahue tahi tot, ini adalah musyawarah antara suami dan isteri, yang didahului dalam rumah tangga yakni antara suami dan

isteri.

2. Tahi sabagas, yakni musyawarah yang dihadiri hibungan darah yang terdekat.

Yaitu pihak Kahanggi, Anak Boru dan Mora, yakni keluarga terdekat atau

musyawarah satu rumah atau tahi sabagas.

3. Tahi Godang parsahutaon, itulah musyawarah yang dihadirkan kawan

sekampung. Termasuk hadir unsur pemerintahan adat, yang ada di kampung

itu, disamping keluarga seluruhnya. Dalam musyawarah ini harus hadir:

a. Kahanggi dan kahanggi hombar suhut b. Anak boru

c. Pisang Rahut (sibuat bere)

d. Mora (kemungkinan mora dongan satahi/mataniari) e. Hatobangon

f. Raja (kemungkinan Raja Pamusuk/ Raja panusunan bulung).

g. Harajaon h. Orang Kaya.

180

(25)

4. Tahi Godang Haruayu Mardomu Bulung, dalam hal ini hadir segala unsur pemerintah adat, dan raja-raja yang berdekatan dihadiri oleh:

a. Kahanggi dan Hombar suhut b. Anak boru

c. Pisang rahut (sibuat bere)

d. Mora dongan satahi (diberi janatan harajaon) e. Ompu ni kotuk

f. Hatobangon g. Harajaon

h. Harajaon torbing balok dan raja-raja luat i. Orang kaya luat dan orang kaya bayo-bayo

j. Raja pamusuk (raja pangundian, banir paroding-oding)

k. Raja panusun bulung

Musyawarah adat dilakukan ketika perselisihan anatara ahli waris yang

timbul dalam pembagian warisan tidak mencapai kesepakatan melalui musyawarah

yang dilakukan secara kekeluargaan. Adapun tata cara penyelesaian sengketa waris

masyarakat Angkola melalui musyawarah adat sebagai berikut.:181

a. Jika musyawarah yang dilakukan secara kekeluargaan tidak diterima oleh

ahli waris, maka dilakukanlah musyawarah secara adat. Yakni dengan

181

(26)

menghadirkan Dalihan Na Tolu, Hatobangon, Harajaon dan tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat termasuk didalamnya alim ulama dan

pemerintahan. Biasanya masyarakat Angkola dalam hal ini melakukan

secara lisan karena dapat langsung memberitahukan secara jelas bagaimana

persolan sengketa yang terjadi diantara para ahli waris yang bersengketa

secara jelas dan langsung kepada Dalihan Na Tolu, Hatobangon, Harajaon

dan tokoh masyarakat.

b. Kemudian Dalihan Na Tolu maupun Tokoh masyarakat mengerti persoalan

sengketa waris dan menerima permohonan penyelesaian sengketa waris

tersebut, maka Dalihan Na Tolu atau tokoh masyarakat mengundang

Hatobangon Harajaon dan tokoh masyarakat beserta para ahli waris yang

bersengketa. Musyawarah biasanya diadakan di sopo godang atau balai

desa setempat. Kemudian Musyawarah dilangsungkan dengan dipimpin

Hatobangon sebagai ketua adat maupun pemuka agama dengan dihadiri

oleh para ahli waris yang bersengketa, Dalihan Na Tolu, Harajaon, kerabat

pihak yang bersengketa yang disaksikan oleh Kepala Desa. Menghindari

perpecahan keluarga akibat harta warisan, dalam hal ketua adat maupun

pemuka agama akan memberikan nasehat dan petuah uang berdasarkan

pada ajaran agama Islam. Kemudian akan dilanjutkan pada Hatobangon

Harajaon dan para ahli waris yang bersengketa untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing terhadap sengketa warisan yang terjadi dan

(27)

yang bersengketa akan mencapai kesepakatan untuk memecahkan sengketa

warisnya, hal ini dikarenakan masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli

Selatan masih benar-benar menghormati keberadaan para ketua adat

(28)

BAB IV

KEKUATAN HUKUM DARI HASIL PENYELESAIAN SENGKETA WARIS

MENURUT LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA WARIS ADAT PADA

MASYARAKAT ANGKOLA DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

A. Pengertian Sengketa Waris Pada Masyarakat Angkola

Sengketa yang sering muncul sebagai salah satu permasalahan yang

terjadi di Angkola merupakan masalah yang menarik untuk dikaji, lebih-lebih

sudah menyangkut tentang pembagian warisan, karena umumnya warisan

mempunyai nilai ekonomis dan religius yang tinggi. Dengan kata lain warisan

dapat menimbulkan kebahagiaan satu pihak dan piha lain dapat menimbulkan

ketidakpuasan. Apabila dalam pengaturan dan pembagian tidak sesuai dengan

ketentuan yang seharusnya diikuti bersama.

Persoalan pembagian dan sengketa warisan di kalangan mayarakat

Angkola merupakan hal banyak terjadi namun jarang sampai diselesaikan di

pengadilan. Apapun model permasalahan yang terjadi menyangkut sengketa

warisan, tetap saja dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Hal ini tentu

merupakan suatu keunggulan tersendiri bagi masyarakat Angkola dalam

menghadapi setiap masalah di desa di banding dengan permasalahan yang terjadi

di wilayah kota yang lebih mengandalakan permasalahan model kapitalis.

Pada dasarnya setiap sengketa di Tapanuli Selatan tidak selamanya harus

(29)

melibatkan masyarakat Angkola idealnya dapat diselesaikan sesegera mungkin di

tingkat desa saja. Apalagi kalau sengketa tersebut masih merupakan sengketa

yang bersifat kekeluargaan, maka penyelesaiannya pun seharusnya diselesaikan

secara kekeluargaan melalui perantaranya seorang Kepala Desa.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala sesuatu

yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau pembantahan timbulnya

sengketa hukum adalah bermula dari pengaduan suatu pihak (orang/badan) yang

berisi keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap suatu tanah, prioritas

maupun kepemilikannya dengan harapan dapat adiministrasi sesuai dengan

ketentua peraturan yang berlaku.182

Dalam kosakata Inggris terdapat dua istilah yakni “conflict” dan

“dispute” yang kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan

kepentingan di antara dua pihak atau lebih tetapi keduanya dapat dibedakan.

Kosakata “conflict” sudah diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”, sedangkan kosakata “dispute” dapat diterjemahkan dengan kosakata “sengketa”.183

Sebuah konflik yakni sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih

dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah

182

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990( Jakarta; Balai Pustaka), Hal. 643

183

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, 2013

(30)

sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak

puas atau keprihatinan.

Menurut Koentjaraningrat, 184 konflik atau sengketa terjadi juga karena

adanya perbedaan persepsi yang merupakan gambaran lingkungan yang

dilakukan secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki seseorang,

lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.

Konflik merupakan suatu peristiwa hukum sehingga sebabnya juga dapat dikenal

dengan melihatnya melalui pandangan hukum. sebuah konflik berkembang atau

berubah menjadi sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah

menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya baik secara langsung kepada

pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian maupun kepada pihak lain.185

Sengketa atau konflik hakekatnya merupakan bentuk aktualisasi dari suatu

pertentangan atau perbedaan anatara dua pihak atau lebih.186

Sengketa menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin adalah persepsi

mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu

kepercayaan bahwa asirasi pihak-pihak yang bersengketa tidak dicapai secara

simultan (secara serentak).187 Sedangkan konflik merupakan perselisihan yang

belum diketahui oleh pihak-pihak yang tidak terlibat di dalam perselisihan yang

184

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mataliteit dan Pembangunan, 1982 (Jakarta;Gramedia), Hal. 103

185

Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, Sengketa dan Penyelesaiannya, Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I, 2013 (Jakarta;Indonesian Center For Environmental Law), Hal. 1

186

Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis: Solusi dan Antisipasi Bagi Peminat Bisnis Dalam Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang, 2006 (Yogyakarta;Citra Media), Hal. 3

187

(31)

belum diketahui oleh pihak-pihak yan tidak terlibat di dalam perselisihan tersebut

mencakup perselisihan yang bersifat laten, oleh karena itu konflik mempunyai

ruang lingkup yang lebih luas daripada sengketa, namun dalam penanganannya

secara ilmiah, khususnya dalam ruang lingkup penelitian hukum, istilah sengketa

(dispute) telah menjadi istilah baku dalam praktik hukum.188

Sedangkan menurut Takdir Rahmadi189 konflik mempunyai cakupan

yang lebih luas daripada sengketa yang termasuk didalamnya

perselisihan-perselisihan yang bersifat laten dan perselisihan-perselisihan yang mengemukakan yang

disebut sengketa. sengketa atau konflik hakikatnya merupakan bentuk aktualisasi

dari suatu perbedaan dan/atau pertentangan antara dua pihak atau lebih.190

Sengketa Waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan

mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan.191

Dengan demikian maka sengketa merupakan kelanjutan dari konflik.

Sebuah kelanjutan dari konflik akan berubah menjadi sengketa apabila tidak

dapat terselaikan. Konflik dapat diartikan “pertentanga” di antara para pihak

untuk menyelesaikan masalah yang kalau tidak diselesaikan dengan baik dapat

mengganggu hubungan di antara mereka. Sepanjang para pihak tersebut dapat

188

Nurmaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, 2011, ( Jakarta, Pt. Grafindo Press), Hal. 12

189

Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat,

(Jakarta: Pt. Grafindo Persada), Hal. 1-2 190

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. 2013, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), Hal. 3

191

(32)

menyelesaikan masalahnya dengan baik maka sengketa tidak akan terjadi. Akan

tetapi jika sebaliknya, para pihak tidak dapat mencapai kesepatan mengenai

solusi pemecahan masalahnya maka sengketa yang akan timbul.192

Masalah sengketa pembagian waris yang terjadi di keluaga T Harahap.

Yang menjadi permsalahanya disini ialah pembagian warisan yang menurut salah

satu keturunanya tidak adil. Ibu T Siregar (52 tahun) mendapatkan kabar dari

keluarga mantan suaminya bahwa P Harahap (58 Tahun) – mantan suaminya

meninggal karena serangan Jantung. Keluarga mantan suaminya

memberitahukan : bahwa sebelum meninggal P Harahap pernah berpesan secara

lisan kepada kakaknya D Harahap bahwa salah satu rumah miliknya dan

diberikan kepada A boru Harahap, yaitu anak kandung P Harahap yang berusia

26 tahun. Walaupun keluarganya mengakui wasiat yang diberikan P Harahap

secara lisan melalui kakaknya, T Siregar merasa ragu karena tidak ada bukti

tertulis bahwa P Harahap memang pernah mewasiatkan rumah dan sejumlah

deposito tersebut untuk anak mereka. Yang menjadi masalah disini putra dari P

Harahap anak dari perkawinan ke duanya dengan M boru Samosir yaitu F

Harahap (24 Tahun) tidak menyetujui hal ini. Padahal dia juga sudah mempunyai

hak waris yang sudah ditentukan oleh P harahap. Dari persoalan ini timbul

sengketa karena merasa dia anak lelaki seharusnya dia berhak atas semua harta

dari ayahnya.

192

(33)

Menurut hasil dari wawancara dari ketua adat Angkola di Padang

Sidimpuan, memang di dalam hukum adat Angkola benar anak lelaki akan

mendapatkan semua harta warisan peninggalan orang tuanya. Tetapi disini anak

perempuan juga memiliki hak dari harta warisan tersebut, yakni pemberian hibah

atau biasanya disebut dengan Holong Ate. Holong ate ini adalah istilah di Batak

Angkola sebagai istilah untuk menjelaskan pemberian harta kepada anak perempuan

biasanya sebidang tanah atau dengan bangunan kepada anak Putri atau

Perempuannya.193

Pemberian ini biasanya berbentuk pemberian yang cukup hanya disetujui

oleh Istrinya tanpa persetujuan seluruh anak atau ahliwaris lainnya. Besarannya tentu

sudah diperhitungkan dengan cermat, tanpa melebihi legitimasi porsi, atau besaran

hak kewarisan lainnya secara seimbang. Indahan Arian atau Holong ate tentu

tindakan Arif dan Bijaksana bagi seorang orang tua, sebab, menurut adat Batak,

yang menganut turunan laki-laki/partianial, hanya laki-lakilah yang mendapatkan

warisan, sedangkan perempuan tidak mendapatkan oleh karena sudah masuk pada

clan suami dengan menerima sejumlah uang Mahar/boli/jujur.194

B. Bentuk Penyelesaian Sengketa Waris Pada Masyarakat Angkola

Untuk mengatur soal warisan yang sering menjadi masalah di desa,

kiranya perlu dibuat atau ditetapkan ketentuan sebagai patokan dan pedoman

193

Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05 April 2016

194

(34)

baik dalam bentuk hukum yang tertulis maupun tidak tertulis demi

terselenggaranya pembagian harta warisan yang adil bagi setiap pihak. Hal ini

disebabkan rasa keadilan pada masing-masing orang adalah tidak sama.

Karakteristik kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap kehidupan masyarakat

Angkola itulah yang mulai dirasakan oleh lembaga penyelesaian sengketa

warisan.

Dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama sengketa-sengketa yang

terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga

adat seperti peradilan desa atau yang disebut dengan peradilan adat. Biasanya

yang bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat

(kepala adat) dan ulama. Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak

semata-mata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus sengketa

dalam semua bidang hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana,

perdata, publik,195 dan lain-lain. Dalam hal ini proses penyelesaian sengketa

dilakukan berdasarkan tiga asas kerja untuk menghadapi perkara-perkara adat,

yaitu asas rukun, patut dan keselarasan.196

Penyelesaian dari sebuah sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan

ataupun dengan jalan di luar pengadilan. Salah satu saran penyelesaian diluar

pengadilan adalah melalui proses Mediasi. Mediasi berasal dari kata mediation

195

Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju, Hal. 40.

196

(35)

yang berarti penyelesaian sengketa dengan jalan menengahi197 atau oenyelesaian

sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian

sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan mediator atau orang

yang menjadi penengah.

Menurut Moore198, Mediasi adalah Interventasi terhadap suatu sengekta

atau negosiasi oleh para pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan

netral yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam

membantu para pihak berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara

sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan.

Sedangkan menurut Folberg dan Taylor199,Mediasi adalah suatu proses

dimana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang secara

sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketakan untuk mencari

alternatif dan mencapai kesepakatan penyelesaian yang dapat

mengakomodasikan tujuan mereka.

Dalam melakukan proses mediasi, mediator memberitahukan kepada para

pihak tentang sifat dan proses. Menetapkan aturan-aturan dasar, mengembangkan

hubungan baik dengan par pihak dan memperoleh kepercayaan sebagai pihak

netral dan merundingkan kewenangan dengan para pihak. Ini disebabkan karena

pihak yang bersengketa masing-masing memiliki sudut pandang berbeda dengan

197

Jhoni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, 2001, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama), Hal. 70-71

198

Moore dalam Jhoni Emirzon, Ibid. Hal. 67 199

(36)

pihak lain. Jika para pihak meminta seorang mediator membantu mereka, maka

mereka harus memiliki beberapa tingkat pengakuan yang mereka tidak mampu

menyelesaikan dengan cara mereka sendiri dan bahwa intervensi pihak ketiga

mungkin berguna.

Mediator pada umumnya membuka sidang mediasi dengan

memperkenalkan dirinya dan para pihak, dan kemudian membuat pernyataan

pendahulu. Ini menjelaskan proses mediasi perannya sebagai penengah yang

netral dan aturan-aturan bagi para pihak. Hal ini memerlukan penjelasan bahwa

mediasi merupakan proses negosiasi dimana proses para pihak dengan fasilitas

mediator menentukan syarat-syarat setiap penyelesaian sengketa.

Mediator disini hanya sebagai pendengar yang aktif dengan tujuan

memperoleh pemahaman yang jelas dari prepektif dan posisi para pihak pada

tahap pengambilan penyelesaian, mediator bekerja dengan para pihak pada tahap

pengambilan penyelesaian yang sama-sama disetujui dan diterima. Mediator

dapat membantu para pihak untuk memperoleh basis yang adil dan memuaskan

mereka dan membantu meyakinkan bahwa kesepakatan mereka adalah yang

terbaik, mediator membuat syarat-syarat perjanjian seefisien mungkin, agar para

pihak tidak ada yang merasa dirugikan.200

Persoalan pembagian dan sengketa warisan di kalangan masyarakat

Angkola merupakan hal yang biasa dan sering terjadi. Namun demikian apapun

model permasalahan yang terjadi menyangkut sengketa warisan, tetap saja dapat

200

(37)

diselesaikan secara kekeluargaan. Hal ini tentu merupakan suatu keunggulan

tersendiri bagi masyarakat Angkola dalam menghadapi setiap masalah didesa

dibanding dengan permasalahan yang terjadi diwilayah kota yang lebih

mengandalkan permasalahn model kapitalis. Keunggulan dalam penyelesaian

setiap sengketa yang terjadi di desa dengan hasil yang lebih baik tersbut,

tentunya dipengaruhi juga faktor panutan atau yang memimpin desa itu sendiri.

Untuk mengatur soal warisan yang sering menjadi masalah di desa,

kiranya perlu dibuat atau ditetapan ketentuan sebagai patokan dan pedoman baik

dalam bentuk hukum yang tertulis maupun tidak tertulis demi terselenggaranya

pembagian harta warisan yang adil bagi setiap pihak. Hal ini disebabkan rasa

keadilan pada masing-masing orang adalah tidak sama. Karakteristik kepentingan

yang berbeda-beda dalam setiap kehidupan masyarakat desa itulah yang mulai

dirasakan oleh Dalihan Na Tolu, Hatobangon maupun Kepala Desa dalam

rangka menyelesaikan setiap sengketa warisan.

C. Kekuatan Hukum dari Penyelesaian Sengketa Waris

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan pada umumnya menggunakan

cara-cara yang berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yakni

digunakan beberapa cara antara lainnya ialah negosiasi dan mediasi. Bentuk

penyelesaian sengkta secara mediasi misalnya, juga telah diatur secara tersendiri

di dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) No. 1 tahun

2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang memberikan rumusan bahwa

(38)

memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”(pasal 1

Angka 7).201

Bentuk penyelesaian sengketa menurut hukum terdiri atas penyelesaian

sengketa melalui pengadilan (legitasi), dan penyelesaian sengketa diluar

pengadilan (non-legitasi). Sedangkan penyelesaian sengketa diluar pengadilan

dibagi atas dua bagian besar yaitu melalui arbitrase, dan melalui alternatif

penyelesaian sengketa yang meliputi cara-cara : Konsultasi, Negosiasi, Mediasi,

Konsolidasi dan penilaian ahli.

Mediasi adalah cara bermusyawarah dan bermufakat, untuk mencapai

kesepakatan bagi para pihak bersengketa, melalui perantara seseorang selaku

mediator. Jika kata sepakat dicapai maka dibutuhkan penguatan dalam bentuk

akta perdamaian sebagai putusan mediasi yang didaftarkan dan dikuatkan oleh

pengadilan Negri. Tercapainya kesepakatan melalui mediasi, dengan sendirinya

persengketaan selesai atau berakhir.s

Bentuk penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan maupun di luar

pengadilan dikelompokkan sebagai penyelesaian sengketa secara hukum.

Terlepas dari penyelesaian sengketa melalui pengadilan, maka penyelesaian

sengketa di luar pengadilan baik melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi,

konsiliasi dan bahkan secara adat. Bukan menggunakan kekerasan, dan

perdamaian tersebut ditempuh dengan musyawarah mufakat.

201

(39)

Keberadaan peradilan adat atau peradilan desa ini dapat menjadi alternatif

penyelesaian sengketa bagi masyarakat yang sistem kerjanya kurang lebih mirip

dengan penyelesaian sengketa alternatif modern yang sekarang berkembang,

dimana musyawarah menjadi model umum dan utama dalam proses penyelesaian

sengketa. Ini berarti, lembaga peradilan adat tidak berperan sebagai sarana

pemaksa, tetapi memainkan peran sebagai mediator dalam rangka rekonsiliasi dan

konsolidasi para pihak melalui proses penemuan putusan yang melegakan semua

pihak, karena pada dasarnya keputusan diambil secara sukarela oleh para pihak.

Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam menjelaskan bahwa putusan hasil

musyawarah dari penyelesaian sengketa yang disepakati dalam musyawarah adat

tetaplah keputusan hukum adat di desa yang memutuskan, misalnya pada contoh

kasus yang terjadi. Sedangkan status berlakunya tetap pada desa itu saja atas dasar

tanggung jawab tokoh adat atau Hatobangon desa setempat serta raja-raja di desa

itu tidak dan tidak berlaku untuk umum.202

D. Hambatan Yuridis dan Non Yuridis dalam Pelaksanaan Hasil Penyelesaian

Sengketa Waris

Kendala yang terjadi dalam penyelesaian sengketa warisan di Tapanuli

Selatan, yakni terdapat 2 (dua) kendala. Yang pertama kendala yuridis dan

kendala non yuridis. Kendala yuridis dalam hal ini yaitu terkait dengan substansi,

202

(40)

dimana dalam tidak adanya mekanisme aturan tertentu terkait penyelesaian

sengketa di Tapanuli Selatan, selain itu adanya suatu asas yang tidak

dilaksanakan dalam sistem pewarisan sehingga hal tersebut menjadikan suatu

kendala dalam penyelesaian sengketa waris di Tapanuli Selatan.203

Selain itu terdapat kendala non yuridis yaitu terkait dengan struktur dan

kultur. kendala yang dihadapi para pihak – pihak bersengketa maupun bagi

mediator. Kurang nya itikad baik dari para pihak yang bersengketa dalam

menyelesaikan sengketa, hal ini menjadi kendala bagi mediator yakni perbekel

Batuan dalam hal membantu melaksanakan upaya penyelesaian sengketa. Dan

hal yang terakhir yaitu kendala yang dihadapi oleh mediator dimana para pihak

yang bersengketa dalam menyelesaikan permasalahan menggunakan emosi,

sehingga upaya penyelesaian sengketa menjadi terhambat.204

Dapat disimpulkan, kesepakatan hanya berlaku oleh para pihak yang

bersengketa saja, namun tidak memiliki kekuatan hukum. Dalam hal mekanisme

penyelesaian sengketa waris, lembaga Desa tidak memiliki dasar hukum tertentu

atau peraturan tertentu yang dikeluarkan oleh pemerintah Desa, sehingga

penyelesaian dilakukan dengan cara atau kebiasaan masyarakat itu sendiri.

Sehingga, ketidakjelasan terkait hasil kesepakatan sering terjadi.

203

Hasil wawancara dengan Ketua Adat Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam, tanggal 05 April 2016

204

(41)

Dalam hal nya kesepakatan tertulis para pihak, jika para pihak tersebut

tidak melaksanakan kesepakatan yang telah disepakati oleh para pihak, maka

ketentuan terkait sanksi hanya berlaku diantara pihak yang bersengketa saja.

Sanksi dalam hukum Adat tidak dapat diberlakukan, sebab perjanjian yang

bersifat perseorangan tidak dicampuri oleh masyarakat Adat. Namun sanksi Adat

dapat diberlakukan jika suatu perbuatan dari para pihak yang tidak melakukan

kesepakatan tersebut dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan dan

ketenangan masyarakat Adat yang ada disekitarnya.205

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kendala memiliki definisi sebagai

suatu permasalahan yang terjadi dalam menggapai dari suatu tujuan tertentu.

Dalam ilmu hukum, kendala dapat dikenal sebagai kendala yuridis dan kendala

non yuridis. Kendala yang dihadapi dalam penyelesaian sengketa tanah warisan

di Tapanuli Selatan yaitu, kendala yang dihadapi oleh mediator yakni, sulitnya

menghadirkan salah satu pihak yang menjadi pihak yang bersengketa. Sehingga

mengalami kesulitan, ketika lembaga Desa tidak memiliki kewenangan khusus

untuk memanggil paksa para pihak untuk melakukan mediasi, sebab lembaga

Desa bukanlah lembaga peradilan.

Kendala lainnya yang dialami dalam penyelesaian sengketa warisan di

Tapanuli selatan yaitu tidak adanya mekanisme atau aturan tertentu yang menjadi

pedoman dalam menyelesaikan sengketa di Tapanuli Selatan. Sehingga

205

(42)

terjadinya ketidakjelasan mengenai aturan kesepakatan damai yang menjadi hasil

upaya penyelesaian sengketa.

Kendala yuridis lainnya yang menjadi hambatan dalam penyelesaian

sengketa yaitu, para pihak – pihak tidak mengingat bahkan tidak mengetahui asas

– asas yang seharusnya diberlakukan dalam pewarisan. Seperti hal nya asas

kesatuan, asas ketergantungan, asas keberlanjutan dan asas kebersamaan. Padahal

dalam hal ini, pentingnya mengingat asas – asas pewarisan Adat Angkola karena

asas – asas tersebut merupakan pedoman bagi masyarakat Adat Angkola di

Tapanuli Selatan.206

Mengenai bagaimana pewarisan itu seharusnya terjadi, salah satu asas

yang seharusnya dilakukan dalam pewarisan, khususnya dalam sistem pewarisan

Adat Angkola di Tapanuli Selatan yaitu asas kebersamaan. Dimana asas

kebersamaan mementingkan harta harus di nikmati bersama – sama dengan ahli

waris lainnya, tidak berkehendak untuk menguasai keseluruhan harta warisan.

Melainkan, mementingkan keharmonisan dan keutuhan keluarga yang harus tetap

terjaga.

206

(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pelaksanaan hukum waris pada masyarakat adat Angkola di Kabupaten

tapanuli Selatan pada awalnya menggunakan hukum waris secara adat, yakni

hanya anak laki-laki yang berhak atas harta warisan peninggalan

orangtuanya. Anak perempuan tidak berhak mewarisi, akan tetapi anak

perempuan mendapat harta hibah yang biasa dikenal dengan pemberian kasih

sayang (Holong Ate) yakni pemberian benda bergerak atau benda tidak

bergerak. Namun setelah adanya pengaruh Islam yang masuk ke Tapanuli

Selatan, hukum waris adat Angkola mengalami perubahan khususnya bagi

masyarakat Angkola yang beragama Islam. Masyarakat Angkola yang

beragama Islam tunduk pada hukum waris Islam, yakni menggunakan

pembagian 2:1 untuk anak laki-laki dan perempuan. Sedangkan untuk

masyarakat non Muslim masih tunduk pada hukum waris adatnya.

2. Lembaga Adat yang terdapat di Tapanuli Selatan pada dasarnya memiliki

tugas untuk berbagai kegiatan yakni pernikahan, kelahiran dan kematian.

Lembaga ini dikenal dengan Dalihan Na Tolu, yang dibentuk berdasarkan

peranan adat istiadat. Dalihan Na Tolu secara harfiah diartikan sebagai

tungku yang terdiri dari tiga penyangga. Dalihan Na Tolu juga berfungsi

menentukan kedudukan, hak dan kewajiban masyarakat. Pada dasarnya

(44)

yakni keluarga inti yang berkedudukan sebagai Dalihan Na Tolu. Masalah waris di masayarakat Angkola lebih banyak diselesaikan secara kekeluargaan

walaupun terkadang berujung pada sidang adat dan penyelesaian melalui

lembaga pengadilan.

3. Kekuatan hukum dari hasil penyelesaian sengketa waris yang dilakukan

secara adat hanya berlaku jika kedua belah pihak menyetujui hasil dari sidang

adat tersebut. Atas tanggung jawab dari pemimpin sidang adat yakni

Hatobangon dan Harajaon sebagai pemimpin sidang adat didampingi Dalihan Na Tolu sebagai mediatornya. Maka jika hasil dari musyawarah itu

disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa maka harta warisan akan

jatuh ketangan yang bersangkutan dengan perjanjian yang telah disepakati.

Jika keduabelah pihak tidak menyetujui maka akan berlanjut ke pengadilan.

B. Saran

1. Pelaksanaan Hukum waris secara adat dipandang tidaklah sesuai dengan

ajaran Islam. Mengingat 90% masyarakat adat Angkola di Kabupaten

Tapanuli Selatan menganut agama Islam. Pelaksanaan hukum waris secara

adat akan memecah persaudaraan dikarenakan salah satu pihak tidak

menyetujui dikarenakan alasan keadilan. Hendaknya masyarakat Angkola

muslim di Kabupaten Tapanuli Selatan menggunakan Hukum waris Islam,

karena waris Islam sudah ditentukan besaran masing-masing dari para ahli

waris dan merupakan ketentuan dari Allah SWT. Dalam Al-Qur‟an surah An

(45)

ibu-bapaknya dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari

harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak

menurut bahagian yang telah ditetapkan”.

2. Peran lembaga adat hendaknya seperti yang telah digambarkan oleh Dalihan

Na Tolu, yakni tungku yang terdiri dari penyangga yang menggambarkan suatu komponen yang mempunyai keseimbangan. Diharapkan peranan

lembaga adat tidak hanya menyelesaiakan permasalahan adat saja, tetapi

harus lebih dari itu yakni menjaga persaudaraan agar tidak terjadi

perpecahan. Seperti pada contoh kasus, seharusnya lembaga adat

memberikan penyuluhan-penyulihan adat tentang bagaimana proses

pewarisan baik secara adat maupun secara Islam.

3. Hendaknya keputusan dari hasil musyawarah yang dilakukan secara adat

harus diperkuat dengan ketentuan dari pemerintah. Dengan mengikut

sertakan aparatur pemerintahan seperti kepala desa atau lurah agar menambah

kekuatan hukum dari hasil penyelesaian sengketa yang terjadi di Kabupaten

Gambar

Tabel 6.

Referensi

Dokumen terkait

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menguasai bahasa Madura lisan dan tulis, reseptif Menilai penggunaan bahasa Madura pada Tingkat keilmuan yang mendukung mata

Dari pekerja yang didiagnosis akne, diklasifikasikan menurut tingkat keparahan akne dan diperoleh bahwa 31% didiagnosis dengan akne berat, 31%lainnya didiagnosis

of our local cultures in terms of world cultural stage, and the other way round, the world cultural stage in terms of local traditions..

Dasar-Dasar Kewirausahaan Panduan Bagi Mahasiswa Untuk Mengenal, Memahami, Dan Memasuki Dunia Bisnis..

Bagaimana perubahan tata ruang yang terjadi pada Desa Wisata Bejiharjo terutama pada Dusun Glaran I dan Bulu akibat adanya aktivitas baru sebagai obyek wisata beserta faktor-

Pada klon IND 68 pengamatan minggu kedua terjadi kenaikan intensitas serangan. sebesar 4,4% pada minggu kedua lalu naik kembali menjadi 8,2%

McDonaldisasi dan ‘Glokalisasi’ dalam Budaya Makan Masa Kini Sejumlah perkembangan dalam industri makanan dan kuliner pada masyarakat kontemporer dapat dilihat sebagai tolok

Pemilik berani mengambil keputusan tersebut karena didasari oleh produk yang dibuatnya antara lain, barang yang diberikan kepada konsumen merupakan barang yang masih baru,