• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi komunikasi orangtua terhadap pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fungsi komunikasi orangtua terhadap pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan Yogyakarta"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

i

FUNGSI KOMUNIKASI ORANG TUA

TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK

DI PAROKI ADMINISTRATIF SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Veronika Saduwale Sogen NIM: 121124052

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan dengan tulus, penuh syukur dan bahagia kepada: Para Suster Kongregasi Puteri Reinha Rosari dan seluruh keluarga di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan serta Program Studi Pendidikan Agama

Katolik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah mendukung dan memberikan kesempatan kepada saya

(5)

v

MOTTO

“Segala Perkara Dapat Kutanggung Di Dalam Dia Yang Memberi Kekuatan Kepadaku.”

(6)
(7)
(8)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul FUNGSI KOMUNIKASI ORANG TUA

TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI PAROKI ADMINISTRATIF SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN YOGYAKARTA. Penulisan skripsi ini berawal dari

keprihatinan penulis terhadap fenomena kehidupan keluarga yang mengalami pergeseran nilai yang seharusnya dihayati dan dikembangkan dalam keluarga, karena dasar pendidikan pertama dan utama adalah keluarga. Dari keluarga anak dibimbing dan diarahkan untuk menghadapi realitas hidupnya. Tentunya pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan karakter dan iman anak. Dalam proses pembentukan karakter dan iman anak, orang tua bertanggungjawab sebagai komunikator utama yang menanamkan nilai-nilai kehidupan yang tercermin dalam kata dan perbuatannya. Baik tidaknya keteladanan yang ditunjukkan oleh orang tua akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Penulis juga merasa tergerak untuk memberikan sumbangan pikiran dan dukungan bagi keluarga-keluarga Katolik di Paroki Admistratif Santo Paulus Pringgolayan dalam meningkatkan kualitas komunikasi di tengah keluarga. Selain itu judul skripsi ini diangkat sebagai acuan untuk menggali lebih dalam sejauh mana tingkat komunikasi dalam keluarga Katolik yang membawa dampak positif bagi pertumbuhan karakter dan perkembangan iman anak.

Melalui penelitian di lapangan penulis menemukan bahwa banyak keluarga dalam hal ini orang tua belum menyadari dan menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara baik dan benar. Banyak orang tua yang hanya sibuk mengejar hal-hal duniawi sementara mengabaikan tugas dan tagggungjawabnya di dalam keluarga secara khusus dalam mendampingi anak-anak. Frekuensi dan mutu perjumpaan di tengah keluarga yang ditunjukkan dalam perilaku komunikasi baik itu komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal tidak mendapat tempat penting, apa lagi perjumpaan dengan Tuhan dalam kebiasaan doa keluarga. Kesetiaan dalam menghayati hidup perkawinan semakin mengalami kemerosotan, karena hadirnya orang ketiga. Akibatnya anak-anak menjadi korban dari ketidakadilan yang diperlihatkan oleh orang tuanya. Banyak anak yang tidak mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas yang nampak dalam perilaku moral dan spiritual.

(9)

ix PRINGGOLAYAN YOGYAKARTA. The writing of this undergraduate thesis

was begun from the concern of the writer to the phenomenon of family life that undergoes degradation of values. These values should be lived and developed life will affect the growth and development of the children. Therefore the writer decided to write a thesis to give support and ideas for the Catholic in the Administrative Parish of Saint Paul Pringgolayan Yogyakarta in order to develop and to improve the quality of communication in the family. The writer also would like to deepen the quality of communication in the family which brings a positive impact on the growth of character and faith of the children.

Through field research, the writer found that there were many families who did not realize and carry out their duties and responsibilities. Many parents were busy to pursue worldly things. They neglected to fulfill their duty and responsibility in the family especially to accompany their children. The frequency and quality of their encounter in the family were shown through the communication both verbal and non-verbal. These types of communication did not have place in the family. They never come together in the family prayer. As a result, the children became victims of injustice that were shown by the parents when they acted. Many children did do not have direction and purpose in life. It was clearly shown through there moral and spiritual behavior.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Dengan perasaan gembira penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, yang telah menyertai penulis dengan Roh kebijaksanaan dan pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:

FUNGSI KOMUNIKASI ORANG TUA TERHADAP PEMBENTUKAN

KARAKTER DAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI

PAROKI ADMINISTRATIF SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN

YOGYAKARTA. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana pada program studi Pendidikan Agama Katolik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa proses penulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Yoseph Kristianto, SFK, M. Pd, selaku dosen penelitian dan penulisan skripsi ini, sekalipun di tengah banyak kesibukan beliau telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan selama proses penyusunan skripsi ini berlangsung.

2. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ selaku dosen penguji II yang telah memberikan dukungan, semangat dan meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberi masukan sehubungan dengan skripsi ini.

(11)

xi

4. Para Romo dan segenap staf dosen yang telah mendukung penulis selama menjalani perkuliahan di PAK dengan pengetahuan, ketrampilan dan spiritualitas sebagai seorang pewarta.

5. Staf dan karyawan Prodi PAK yang secara tidak langsung telah mendukung dan memberi dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Suster Pemimpin Umum dan Dewan Pimpinan Umum Kongregasi Puteri Reinha Rosari yang telah mengutus penulis untuk menjalani perutusan studi di Prodi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma.

7. Pemimpin komunitas dan segenap anggota komunitas PRR Magnificat Pringgolayan Yogyakarta yang telah memberikan dukungan dan setia mendoakan penulis.

8. Agustinus Aryawan, Pr selaku Pastor Kepala Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan yang telah menerima, memberikan izin serta mendukung penulis selama menjalani proses penelitian.

10. Umat Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan teristimewa keluarga-keluarga Katolik yang telah dipilih dan meluangkan waktu untuk diwawancarai sewaktu penulis melakukan penelitian.

11. Segenap keluarga: ayah, ibu dan saudara-saudari serta para sahabat kenalan yang dengan setia menemani, mendukung, mendoakan dan berkorban bagi penulis selama menjalani masa studi.

(12)
(13)

xiii A. Pembentukan Karakter dan Iman Anak dalam Keluarga Katolik ... 1. Keluarga Katolik ... a. Dasar Pembentukan Keluarga Katolik ...

(14)

xiv

b. Pengertian Keluarga Katolik ... c. Perkawinan dan Keluarga Sebagai Panggilan dan Sakramen 2. Anak Dalam Keluarga Katolik ...

a. Anak Adalah Anugerah Allah Bagi Suami Istri ... b. Relasi Orang Tua-Anak dalam Keluarga ... c. Prinsip-prinsip Interaksi Orang Tua-Anak Dalam Keluarga .. d. Suami Istri di Panggil Mengambil Bagian Dalam Tritugas Yesus Kristus ... 1) Kesaksian dan Keteladanan Dalam Keluarga Kristiani ... 2) Harapan Orang Tua Terhadap Kehidupan Anak ... a) Peran Orang Tua Dalam Keluarga ... b) Tugas Orang Tua Dalam Keluarga ... 3. Peran Orang Tua Dalam Pembentukan Karakter dan Iman

Anak ... a. Penanaman Nilai Pada Anak ... b. Pembentukan Karakter Anak ... c. Pembentukan Iman Anak ... B. Fungsi Komunikasi Orang Tua Dalam Pembentukan Karakter dan

Iman Anak Dalam Keluarga Katolik ... 1. Pembentukan Karakter dan Iman Anak yang Didambakan Dalam Keluarga Katolik ... a. Pembentukan Karakter atau Kepribadian Anak yang

Didambakan ... b. Pembentukan Iman Anak Yang Didambakan ... 1) Iman Sebagai Jawaban Pribadi ...

(15)

xv

2) Peranan Keluarga Dalam Pembentukan Iman ... 3) Tahap-tahap Perkembangan Iman ... 4. Fungsi Komunikasi Dalam Pembentukan Kepribadian dan

Iman Anak ... a. Pentingnya Komunikasi Pada Umumnya ... b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Dalam Keluarga ... c. Pola Komunikasi dan Interaksi Dalam Keluarga ... d. Fungsi Komunikasi Dalam Keluarga ... e. Tujuan Komunikasi Orang Tua-Anak Dalam Keluarga

Katolik ... BAB III. PENELITIAN TENTANG DINAMIKA KOMUNIKASI ORANG TUA DALAM RANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI PAROKI ADMINISTRATIF SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN ... A. Deskripsi Paroki Santo Paulus Pringgolayan ...

1. Profil Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan ... a. Latar Belakang Berdirinya Paroki Administratif Santo

(16)

xvi

Paulus Pringgolayan ... b. Visi dan Misi Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan ... c. Keadaan Demografis dan Tantangan ... 2. Keadaan Umat di Paroki Administratif Santo Paulus

Pringgolayan ... a. Data Keluarga di Paroki Administartif Santo Paulus

Pringgolayan ... b. Kondisi Umat ... c. Keterlibatan Umat Dalam Hidup Menggereja dan

Masyarakat ... B. Penelitian Tentang Model Komunikasi Dalam Rangka

(17)

xvii

9. Intrumen Penelitian ... 10. Populasi dan Sample ... 11. Teknik Analisis Data ... C. Laporan dan Pembahasan hasil Penelitian Tentang Model Komunikasi dalam Rangka Pembentukan Karakter dan Iman Anak dalam Keluarga Katolik Di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan ... 1. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... a. Pola Komunikasi ... c. Pembentukan Karakter dan Iman Anak ...

1) Hasil Penelitian ... 2) Pembahasan ... 2. Rangkuman Hasil Penelitian dan Permasalahan yang

Ditemukan ... BAB IV. USULAN PROGRAM UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN KELUARGA KATOLIK DI PAROKI ADMINISTRATIF SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN

SEHUBUNGAN DENGAN FUNGSI KOMUNIKASI

DALAM RANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK ... A. Latar Belakang ... B. Usulan dan Bentuk Program ...

(18)
(19)

xix

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Teks Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia.

Katekismus Gereja Katolik, dicetak oleh Percetakan Arnoldus Ende, 1995

Gaudium Et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja dewasa ini, 7 Desember 1965

(20)

xx

Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983

(21)

xxi St

SJ SK S1 Vikep

:

:

:

:

:

Santo/Santa Serikat Jesuit Surat Keputusan Sarjana

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Situasi dunia saat ini, sedang dipengaruhi oleh proses kemajuan pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Proses kemajuan pengetahuan dan teknologi tersebut adalah bagian dari modernisasi yang cukup mempengaruhi atau mengubah pola kehidupan bermasyarakat pada umumnya dan keluarga pada khususnya. Perubahan pola kehidupan dalam masyarakat dan keluarga ini, tentu menghasilkan pandangan-pandangan kehidupan yang berbeda. Melalui modernisasi manusia memandang segala sesuatu secara berbeda dan lebih rasional. Perkembangan pandangan hidup baru seperti hedonisme, konsumerisme, materialisme dan individualisme nampaknya telah menjadi gaya hidup dalam era modernisasi ini, yang cukup berpengaruh kuat dalam keluarga-keluarga Kristen.

(23)

(Hedonisme). Karena tujuan hidupnya adalah untuk mencapai kenikmatan, maka sangat jelas jika manusia lebih senang menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan ini sulit untuk dihilangkan (Konsumerisme). Ada rasa yang mendominasi untuk mengejar kekayaan dan hal-hal lainnya yang membuat manusia menjadi serakah dengan melibatkan banyak resiko (Materialisme). Jika manusia sudah mencapai taraf di mana ia merasa segalanya terpenuhi, maka ia hanya akan mementingkan dirinya sendiri, tanpa mempedulikan orang lain dan bahkan sampai melupakan kodratnya sebagai makhluk sosial (Individualisme). Situasi ini menandai bahwa manusia pada jaman ini mudah terpengaruh untuk mengejar hal-hal jasmani ketimbang hal-hal rohani, juga pendidikan yang bisa mengarahkan sesorang kepada kebaikan.

(24)

Orang tua perlu menyadari bahwa pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan karakter dan iman anak. Seorang anak berada di dalam keluarga sejak ia dikandung, dilahirkan, serta tumbuh menjadi manusia dewasa dan mandiri. Dengan kasih dan keteladanan orang tua sebagai “guru”

pertama dan utama, tahap demi tahap, anak akan mengerti arti hidup (Alfonsus Sutarno, 2013: 5). Untuk itu baik tidaknya keteladanan yang diberikan dan bagaimana kebiasaan hidup orang tua sehari-hari dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Keteladanan dan kebiasaan yang diperlihatkan oleh orang tua dalam bersikap dan berperilaku tentu tidak terlepas dari perhatian dan pengamatan anak. Anak akan dengan mudah meniru kebiasaan hidup orang tua karena memang pada masa perkembangannya, anak selalu ingin meniru.

(25)
(26)

tidak mau tahu kehidupan anak. Kesunyian rumah memberikan peluang bagi anak untuk pergi mencari tempat-tempat lain atau apa saja yang memberikan keteduhan dan ketenangan dalam kegalauan batinnya. Padahal semestinya waktu-waktu tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang tua untuk mendidik anak-anaknya untuk belajar, terlibat dalam kegiatan di lingkungan, dan sebagainya.

(27)

kepercayaan diri, stabilitas emosi, kemampuan mengenal karakteristik anak, objketif, dan ada dorongan untuk menjadi pribadi yang bisa menyatu dengan anak dalam keluarga karena pada dasarnya orang tua dan anak adalah satu ikatan dalam jiwa. Ikatan itu dalam bentuk hubungan emosional antara anak dan orang tua yang tercermin dalam perilaku. Sebab kehormatan keluarga salah satunya juga ditentukan oleh bagaimana sikap dan perilaku anak dalam menjaga nama baik keluarga. Lewat sikap dan perilaku anak tentu nama baik keluarga dipertaruhkan.

(28)

(harus tinggal dan bekerja terpisah dari keluarga). Persoalan atau kesulitan komunikasi juga bisa muncul karena perbedaan usia kedua pasangan, perbedaan latar belakang budaya, pendidikan dan agama. Semua itu sangat berpengaruh pada cara orang tua mendidik dan membesarkan anak dalam keluarga.

(29)

nasehat. Hubungan komunikasi yang efektif ini terjalin karena adanya rasa keterbukaan, empati, dukungan, perasaan positif, kesamaan antara orang tua dan anak. Komunikasi di sini lebih mengarah pada perlindungan orang tua terhadap anak, misalnya peran ayah dalam memberi informasi dan mengarahkan pada hal pengambilan keputusan pada anak yang peran komunikasinya cenderung meminta dan menerima, sedangkan komunikasi ibu dan anak lebih bersifat pengasuhan karena kecenderungan anak untuk berhubungan dengan ibu lebih kuat, misalnya jika anak merasa kurang sehat, sedih, maka peran ibu lebih menonjol.

Setiap keluarga Kristiani perlu menyadari bahwa komunikasi antara orang tua dan anak dalam keluarga merupakan interaksi yang terjadi antara anggota keluarga dan merupakan dasar dari perkembangan kepribadian dan iman anak. Dalam keluarga orang tua perlu menyadari bahwa anak dibimbing untuk mengembangkan kemampuan diri dan kreativitasnya serta menyimak nilai-nilai sosial yang berlaku di lingkungan di mana ia berada. Oleh karena itu sesibuk apapun pekerjaan yang harus diselesaikan oleh orang tua, meluangkan waktu demi pendidikan anak adalah lebih baik. Bukankah orang tua yang bijaksana adalah orang tua yang lebih mendahulukan pendidikan anak dari pada hanya mengurusi pekerjaan siang dan malam? Lalu bagaimana kesulitan ini bisa dijembatani? Atau bagaimana komunikasi yang intensif itu dikembangkan dalam keluarga?

(30)

baik internal diri maupun eksternal, maka akan memudahkan mereka menemukan jalan keluar yang terbaik bagi keluarga. Untuk bisa mencapai itu semua, maka segala ego diri masing-masing pihak harus dikalahkan oleh kepentingan bersama untuk perkembangan karakter anak dalam segala aspek. Keputusan yang diambil orang tua untuk kebaikan anak itulah yang utama. Sebab anak yang tumbuh dalam keluarga dan lingkungan yang baik, akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang dipaparkan di atas maka permasalahan pokok yang akan di bahas dalam skripsi ini adalah menjawab pertanyaan:

1. Pola komunikasi macam apa yang diterapkan orang tua terhadap anak dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak?

2. Apa peranan fungsi pola komunikasi orang tua terhadap pembentukan karakter dan iman anak?

3. Faktor pendukung dan penghambat apa saja yang dialami oleh orang tua dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak?

4. Sejauh mana usaha orang tua dalam membangun komunikasi dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak?

C.Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk:

(31)

2. Memaparkan peranan pola komunikasi orang tua terhadap pembentukan karakter dan iman anak?

3. Mengungkapkan faktor pendukung dan penghambat yang dialami oleh orang tua dalam berkomunikasi dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak. 4. Mengetahui sejauh mana usaha orang tua dalam membangun komunikasi

terhadap pembentukan karakter dan iman anak?

D.Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Membantu menyadarkan dan meyakinkan orang tua akan pentingnya membangun komunikasi yang benar bagi pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Katolik.

2. Memberi gambaran kepada orang tua tentang berbagai pola komunikasi yang efektif dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak.

3. Membantu orang tua untuk menemukan berbagai masalah yang dihadapi dalam proses pembentukan karakter dan iman anak.

4. Membantu Gereja khususnya seksi pewartaan Paroki dalam bidang pendampingan keluarga.

E.Metode Penulisan

Proses penulisan ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif melalui penelitian kualitatif.

F. Sistematika Penulisan

(32)

Administratif Santo Paulus Pringgolayan Yogyakarta”. Judul ini akan diuraikan menjadi lima bab.

Bab I merupakan pendahuluan yang menyampaikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab tersebut merupakan gambaran awal dari judul yang diajukan oleh penulis dalam tulisan ini.

Bab II membahas gambaran umum tentang pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Kristiani. Penulis juga akan membahas tentang pengertian komunikasi dan sejauh mana komunikasi dibangun dalam keluarga.

Bab III penulis menjelaskan penelitian tentang dinamika komunikasi orang tua dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan. Penulis juga akan membahas hasil penelitian mengenai fungsi komunikasi, keharmonisan dalam keluarga dan pembentuka karakter dan iman anaK.

Bab IV merupakan usulan program yang diajukan penulis sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian. Usulan program berupa rekoleksi keluarga.

(33)

BAB II

FUNGSI KOMUNIKASI ORANG TUA DALAM RANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK

Pada bagian ini penulis akan menguraikan dua hal penting yakni pembentukan kepribadian dan iman anak, dan pola komunikasi orang tua dalam pembentukan kepribadian dan iman anak dalam keluarga Katolik.

a. Pembentukan Karakter dan Iman Anak Dalam Keluarga Katolik

1. Keluarga Katolik

a. Dasar Pembentukan Keluarga Katolik

Ketika manusia berbicara tentang keluarga Katolik maka manusia akan dihantar kepada pemikiran tentang kisah penciptaan. Sebab pada awal mula, penciptaan dan pembentukan keluarga merupakan karya penciptaan Allah. Allah adalah penggagas pertama dan utama pembentukan keluarga. Karena itu dasar utama keluarga Katolik adalah Allah. Atas dasar ini manusia membangun persekutuan dalam keluarga.

Manusia tidak diciptakan Allah untuk hidup seorang diri melainkan untuk hidup dalam kebersamaan. Allah berfirman, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya yang sepadan dengan dia” (bdk, Kejadian, 2: 18). Manusia diciptakan untuk hidup dalam

(34)

Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka” (bdk, Kejadian, 1: 27). Pada mulanya Allah menciptakan manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas kehidupan kepadanya (bdk, Kejadian, 2: 7). Allah melihat bahwa “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja maka Allah

menciptakan seorang penolong yang sepadan dengan dia. Allah membuat manusia itu tidur nyenyak lalu Allah mengambil satu dari rusuknya lalu diciptakanNya seorang perempuan lalu dibawaNya kepada manusia itu” (bdk, Kejadian, 2: 22).

Pikiran yang paling penting di sini bukan soal perempuan diciptakan dari tulang laki-laki melainkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah menurut gambarNya. Laki-laki menerima perempuan sebagai bagian utuh dari dirinya, “Inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (bdk, Kejadian, 2: 23).

Tujuannya untuk saling menolong dan saling menyempurnakan. Demi terwujudnya cita-cita ini, maka “Seorang pria akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging” (bdk,

Kejadian, 2: 24).

(35)

‘persekutuan hidup dan kasih yang mesra’, dan mengemban misi untuk

membangun persekutuan hidup dalam kasih, melalui usaha sebagaimana segala sesuatu yang diciptakan dan ditebus akan mencapai pemenuhannya dalam Kerajaan Allah (Maurice Eminyan, 2000: 85).

b. Pengertian Keluarga Katolik

Berdasarkan pemikiran teologis-biblis tentang keluarga di atas, maka penulis dapat mengatakan bahwa keluarga secara keseluruhan pada dasarnya adalah suatu lembaga atau unit yang paling kecil dalam masyarakat. Sedangkan keluarga Katolik khususnya dapat dipahami sebagai sebuah miniatur dari Gereja. Keluarga adalah suatu tim dalam persekutuan hidup bersama antara ayah, ibu, dan anak-anak yang disebut dengan keluarga kecil atau keluarga inti. Jika kita merujuk pada sejarah keselamatan maka keluarga pertama di dunia ini dibentuk oleh Allah sendiri yang nyata dalam persekutuan hidup Adam dan Hawa (bdk, Kejadian, 1:27-29). Keluarga pertama ini terdiri dari suami-istri dan anak-anak : Adam-Hawa serta Kain dan Abel (bdk, Kejadian, 4: 1-2). Dalam persekutuan hidup keluarga setiap anggota keluarga memiliki fungsi dan peran sosial yang berbeda-beda, namun tujuannya sama yakni untuk membangunn keluarga Kristiani yang harmonis sesuai rencana Allah.

(36)

batih (extendef family) yang disebut keluarga besar yaitu persekutuan hidup antara ayah, ibu, dan anak-anak serta kakek, nenek, paman dan bibi, dan lain-lain. Mereka berasal dari hubungan keluarga (kekerabatan) ayah maupun keluarga (kekerabatan) ibu.

Sedangkan dalam buku yang berjudul “Catholic Parenting” (Alfonsus Sutarno, 2013: 42) dikatakan bahwa: keluarga Kristen adalah tempat anak-anak menerima pewartaan pertama mengenai iman. Karena itu tepat sekali ia dinamakan “Gereja rumah tangga”, satu persekutuan rahmat dan doa, satu sekolah untuk membina kebajikan-kebajikan manusia dan cinta kasih Kristen (KGK 1666).

c. Perkawinan dan Keluarga Sebagai Panggilan dan Sakramen

(37)

dari kemauan manusiawi semata-mata. Allah sendirilah pencipta perkawinan, yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan (GS, art. 48)

Keluarga-keluarga Katolik dewasa ini dapat belajar begaimana membangun persekutuan dalam hidup perkawinan dan keluarga dengan bercermin pada pengalaman dan cara hidup jemaat perdana. Orang Kristen pada umumnya dan keluarga-keluarga Kristen pada khususnya dipanggil untuk mewarisi tradisi hidup Kristen sebagaimana yang diwariskan oleh jemaat perdana (bdk, Kisah Para Rasul, 2: 41-47). Mereka mesti berusaha, antara lain pertama, menggali dan menemukan apa yang menjadi dasar dalam hidup Gereja perdana untuk dijadikan kekuatan menyuburkan hidup bersama dalam keluarga; kedua, berusaha meneruskan apa yang baik, luhur dan berharga dalam kehidupan bersama. Pada titik ini, keluarga-keluarga Kristen dituntut untuk benar-benar menjadi sakramen yaitu tanda dan sarana penyelamatan Allah yang nampak dalam kasih Yesus di tengah keluarga dan dunia. Suami-istri merupakan sakramen yang menyelamatkan dari Allah di tengah dunia (St. Darmawijaya, 1994: 10).

(38)

sepencipta Allah (co-creator) untuk bersama Allah membangun dunia dan manusia teristimewa dalam melahirkan keuturunan baru bagi kemuliaan Allah.

Yoseph Kristianto dalam buku yg berjudul, “Semakin Menjadi Manusia”,

(Ed, B. A Rukyanto dan Sumarah, 2014: 53) mengungkapkan bahwa apabila pria dan wanita telah dipertemukan dalam cinta kasih, selanjutnya dengan kebulatan hati dan kebebasan nuraninya berniat membangun hidup bersama, maka niat suci ini perlu ditempatkan dalam perspektif menanggapi panggilan Tuhan. Karena sejak awal mula manusia telah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sehingga mempunyai potensi untuk bertumbuh dan saling melengkapi satu sama lain di antara suami-istri. Keluarga merupakan tempat suami-istri saling memberi energi, perhatian, komitmen, kasih serta didukung oleh lingkungan yang kondusif untuk bertumbuh dan berkembang dalam pelbagai dimensi kehidupan.

(39)

dipercayakan Tuhan harus dicintai, dirawat, dipelihara, dilindungi, dan dididik secara Kristen. Perkawinan yang sah memungkinkan adanya komitmen yang jelas dari orang tua akan keberadaan keluarga dan masa depan anak-anak. Anak-anak mendapat jaminan kehidupan yang jelas. Sebab di dalam kehidupan perkawinan dan keluarga setiap individu diperkenalkan ke dalam keluarga manusia dan juga ke dalam keluarga Allah. Dengan kelahiran dan pendidikan, anak-anak yang dikaruniakan diantar masuk ke dalam keluarga Allah, yakni Gereja. Keluarga sebagai Gereja mini adalah tempat dan lingkungan untuk bertumbuh dan berkembang dalam setiap generasi (J. Hardiwiratno, 1994: 50).

(40)

Rasul Santo Paulus menegaskan bahwa keluarga Kristiani perlu membiarkan Kristus memerintah sebagai Tuhan atas hidup mereka agar masalah dan tantangan apapun dapat diselesaikan dalam nama Tuhan. Setiap keluarga Katolik perlu memahami bahwa yang menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Suami dan istri dipanggil untuk saling melengkapi dan saling mencintai satu sama lain secara total dan menyeluruh (bdk, Efesus, 5: 22-30).

2. Anak Dalam Keluarga Katolik

a. Anak Adalah Anugerah Allah bagi Suami-Istri

(41)

b. Relasi Orang Tua-Anak Dalam Keluarga

Prinsip persekutuan menuntut pribadi-pribadi dalam keluarga untuk menjalin relasi yang bersifat personal dan fungsional. Dalam pembangunan relasi inilah para anggota keluarga memperlihatkan tanggungjawabnya satu terhadap yang lain. Relasi personal berpusat pada hati sedangkan relasi fungsional berkaitan dengan peran masing-masing pribadi dalam keluarga dan dengan keluarga-keluarga lain. Setiap pribadi mesti menanamkan dalam hatinya prinsip rasa ‘memiliki’ satu sama lain. Artinya setiap anggota keluarga mesti

menunjukkan rasa tanggungjawab satu terhadap yang lain dan merasa bahwa anggota keluarga yang lain merupakan bagian utuh dari dirinya karena “mereka

(42)

1) Relasi suami-Istri. Suami-istri dipanggil untuk hidup dalam persekutuan yang bersifat eksklusif dan tak terputuskan, kecuali oleh kematian. Persekutuan suami istri itu bertujuan saling melengkapi dan menjadi sakramen cinta-kasih Allah yakni tanda dan sarana kehadiran cinta-kasih Allah yang menyelamatkan (KWI, 2011: 22)

2) Relasi Orang Tua-Anak. Relasi orang tua dan anak bertujuan menghayati dan melaksanakan perintah Allah untuk mencintai sesama maupun untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan mereka sendiri. Santo Paulus mengajarkan, “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayah dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (bdk, Efesus, 6: 1-4)

3) Relasi Keluarga Inti-Keluarga Besar. Dalam masyarakat Indonesia, pengertian “keluarga” seringkali juga menunjuk pada “keluarga besar”, yang terdiri dari

(43)

tersebut dipengaruhi oleh budaya-budaya dan tradisi setempat yang tetap pantas diperhatikan, dipelihara, dan dihargai dengan sikap kritis dan kreatif (KWI, 2011: 27)

Menurut Sri Lestari (2012: 9), pada umumnya keluarga dimulai dengan perkawinan antara laki-laki dan perempuan dewasa. Pada tahap ini relasi yang terjadi berupa relasi antarsuami-isteri. Ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi baru, yaitu relasi orang tua-anak. Ketika anak berikutnya lahir muncul lagi bentuk relasi yang lain, yaitu relasi sabling (saudara sekandung). Ketiga macam relasi tersebut merupakan bentuk yang pokok dalam suatu keluarga inti. Dalam keluarga yang lebih luas anggotanya atau keluarga batih, bentuk-bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak lagi.

(44)

aspek yang paling penting, karena berkaitan dengan keseluruhan aspek dalam hubungan pasangan. Hasil dari sebuah diskusi dan pengambilan keputusan di keluarga, yang mencakup keuangan, anak, karier, agama bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat dan kebutuhan akan tergantung pada gaya, pola dan keterampilan dalam berkomunikasi.

c. Prinsip-Prinsip Interaksi Orang tua-Anak Dalam Keluarga

Dalam perkawinan, menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tua pada saat kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan dan dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan (Sri Lestari, 2013: 16).

Dalam buku “Psikologi Remaja”, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari

(2013: 19), menurut Hinde, dikatakan bahwa relasi orang tua dan anak mengandung beberapa prinsip berikut ini:

1) Interaksi. Perlu disediakan waktu agar orang tua dan anakdapat berinteraksi dan berkomunikasi untuk menciptakan keakraban. Berbagai interaksi dan komunikasi dapat membentuk kepribadian anak dan membantu anak untuk bertumbuh secara wajar menuju masa depan yang lebih baik.

(45)

3) Keunikan. Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik. Walaupun demikian keunikan itu dapat dikomunikasikan dalam relasi timbal balik antara orangtua dan anak untuk saling memperkaya dan saling menyempurnakan satu sama lain di dalam keluarga

4) Pengharapan. Interaksi orang tua-anak yang telah terjadi pada awalnya menjadi gambaran pada pengharapan dalam hubungan keduanya. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, orang tua akan memahami bagaimana anaknya akan berindak pada suatu situasi (Demikan pula sebaliknya anak kepada orang tuanya).

5) Antisipasi masa depan. Karena relasi orang tua-anak bersifat kekal, maka masing-masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan keduanya.

Kemudian menurut Dunn, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari dalam buku “Psikologi Remaja” (2012: 20) pola hubungan antara saudara kandung

dicirikan oleh tiga karakteristik yakni:

a) Pertama, kekuatan emosi dan tidak terhambatnya pengungkapan emosi tersebut. Emosi yang menyertai hubungan dengan saudara dapat berupa emosi negatif maupun emosi positif;

(46)

c) Ketiga, adanya perbedaan sifat pribadi yang mewarnai hubungan di antara saudara kandung. Sebagian memperlihatkan afeksi, kepedulian, kerja sama dan dukungan. Sebagian yang lain menggambarkan adanya permusuhan, gangguan, dan perilaku agresif yang memperlihatkan adanya ketidaksukaan satu sama lain

Untuk mengetahui apa arti keluarga bertanggung jawab menurut ajaran Gereja Katolik, pertama-tama perlu dilihat dalam terang Konstitusi Gaudium et Spes (GS). Suami istri harus bertanggung jawab dengan memperhatikan kesejahteraan pasangan, kesejahetraan anak-anaknya yang sudah ada maupun yang akan ada, maka tanggung jawab itu membuka cakrawala suami-isteri lebih luas, sehingga selalu turut memperhitungkan kepentingan masyarakat dan Gereja (GS 50). Dalam surat rasul Paulus kepada jemaat di Efesus dan Kolose (Ef, 5:22-23; 6:1-4 dan Kol, 3:18-21) terungkap secara jelas bentuk-bentukrelasi timbalbalik dalam keluarga yakni: 1) Suami mengasihi istri dan tidak boleh berlaku kasar pada istrinya, 2) Istri tunduk dan taat kepada suami dalam segala hal, 3) Orang tua mendidik anak-anak di dalam ajaran dan nasihat Tuhan, serta tidak membangkitkan amarah anak-anaknya, 4) Anak-anak menghormati dan mentaati orang tuanya.

Bentuk-bentuk relasi di atas memberi inspirasi kepada setiap anggota keluarga untuk menunjukkan rasa tanggung jawab dalam keluarga. Menurut Defrain dan Stinnett, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari dalam buku “Psikologi

(47)

kualitas relasi di dalam keluarga yang memberikan sumbangan bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan (well-being) keluarga. Ada enam karakteristik bagi keluarga yang kukuh, yakni:

a) Memiliki komitmen. Dalam hal ini keberadaan setiap anggota keluarga perlu diakui dan dihargai. Setiap anggota keluarga perlu memiliki komitmen untuk saling membantu satu sama lain dalam meraih keberhasilan.

b) Kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi. Setiap anggota keluarga perlu melihat sisi baik dari anggota keluarga lainnya, dan selalu terbuka untuk mengakui kebaikkan tersebut. Setiap ada keberhasilan maka sangat dianjurkan untuk merayakan bersama. Dengan demikian komunikasi dalam keluarga bersifat positif, cenderung bernada memuji, dan akan menjadi kebiasaan baik. c) Ada waktu untuk berkumpul bersama. Secara berkala keluarga perlu

melakukan aktivitas di luar rutinitas, misalnya rekreasi. Seringnya kebersamaan membantu anggota keluarga untuk menumbuhkan pengalaman dan kenangan bersama yang menyatukan dan menguatkan mereka.

d) Mengembangkan spiritualitas. Ikatan spiritual memberikan arahan, tujuan, dan perspektif. Keluarga yang sering berdoa bersama akan memiliki rasa kebersamaan.

e) Menyelesaikan konflik. Setiap keluarga pasti mengalami konflik. Maka konflik tersebut diselesaikan dengan cara menghargai pendapat masing-masing terhadap permasalahan.

(48)

kehidupan sehari-hari. Ritme atau pola dalam keluarga akan memantapkan dan memperjelas peran keluarga dan harapan-harapan yang dibangunnya

d. Suami-Istri Dipanggil Mengambil Bagian Dalam Tritugas Yesus Kristus

1) Kesaksian dan Keteladanan Dalam Keluarga Kristiani

Dalam perkawinan Katolik, suami-istri menghayati pola hidup persekutuan yang dibangun atas dasar kasih mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali. Allah sendiri adalah pencipta perkawinan. Dengan menghayati pola hidup persekutuan dalam kasih, suami-istri meneladan teladan Keluarga Kudus Nazaret dalam hal kesatuan dan kesucian perkawinan. Cara hidup seperti ini sangat menolong suami istri untuk menghayati gaya hidup miskin, sederhana, memelihara kesetiaan, ketaatan dan kesucian(GS, art. 48). Cara hidup seperti ini menjadi dasar bagi suami-istri dalam mengajar anak, memberi teladan dan kesaksian hidup melalui doa bersama dalam keluarga, menghadiri Ekaristi, melakukan tindakan belaskasih kepada sesama, menghibur yang sakit dan menderita dan tindakan cinta kasih lainnya.

(49)

suami-istri untuk mencintai Allah dan dorongan untuk melaksanakan tugas perutusan dengan baik dalam keluarga. Fungsi sakramen baptis dalam hidup perkawinan suami-istri dan keluarga, antara lain:Pertama,berkat Sakramen Baptis, suami istri dan anak menerima dan memiliki tiga martabat Kristus, yakni martabat kenabian, imamat, dan rajawi. Dengan martabat kenabian mereka mempunyai tugas mewartakan Injil; dengan martabat imamat, mereka mempunyai tugas menguduskan hidup, terutama dengan menghayati sakramen-sakramen dan hidup doa; dan dengan martabat rajawi, mereka mempunyai tugas untuk melayani sesama; Kedua, berkat sakramen Baptis pula, mereka menjadi anggota dan ikut membangun Gereja. Keluarga bukan hanya merupakan sebuah komunitas basis manusiawi belaka, melainkan juga komunitas basis gerejawi yang mengambil bagian dalam karya penyelamatan Allah. Hidup berkeluarga ini menampakkan hidup Gereja sebagai suatu persekutuan (Koinonia) dalam bentuk yang paling kecil namun mendasar, yang merayakan iman melalui doa peribadatan (Leiturgia), mewujudkan pelayanan (Diakonia) melalui pekerjaan, dan memberi kesaksian (Martyria) dalam pergaulan; semuanya itu menjadi sarana penginjilan (Kerygma) yang baru.

(50)

syukur kepada Tuhan. Tuhan Yesus sendiri dalam sabda-Nya berkata: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka

melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga (bdk, Matius 5:16)”.Perbuatan baik ini hendaknya tercermin dalam sikap sabar dalam menanggung penderitaan, lemah lembut dalam sikap, rendah hati dalam bertutur kata, hormat terhadap sesama, menghargai perbedaan, mendoakan orang lain, berani membela kebenaran, dan peduli kepada sesama dengan berbagi. Ini adalah bentuk kesaksian dari setiap orang yang menamakan diri sebagai pengikut Kristus.

2) Harapan Orang Tua Terhadap Kehidupan Anak

Sri Lestari dalam buku “Psikologi Remaja” (2012: 151-152)

(51)

2013: 68) ; Kedua, orang tua mengharapkan anaknya menjadi orang yang sukses ketika dewasa nanti. Kesuksesandi sini tidak hanya dimengerti sebagai sukses dalam karir, jabatan tetapi terutama sukses dalam memainkan peran sosial dalam masyarakat dengan terlibat aktif dalam kegiatan di lingkungan masyarakat jugamenjadi pribadi yang bertanggungjawab atas kehidupan pribadi dan kepentingan sosial. Kesuksesan juga bisa berarti ia mampu menghargai dan menghormati orang lain sebagai pribadi. Orang-orang yang sukses dalam kehidupan ternyata memiliki kemampuan membangun dan membina hubungan dengan orang lain. Ke sana ke mari bukan mencari lawan atau musuh, tetapi mencari teman atau jaringan kerja sebanyak-banyaknya (Syaiful Bahri Djamarah, 2014: 287)

a) Peran Orang Tua Dalam Keluarga

Menurut Sri Lestari (2012: 22), keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak secara fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Karena keluarga merupakan sumber bagi kasih sayang, perlindungan, dan identitas bagi anggotanya. Keluarga menjalankan fungsi yang penting bagi keberlangsungan masyarakat dari generasi ke generasi.

(52)

panggilannya. Suami dan istri akan berjuang demi hidup dan masa depan anak (Alfonsus Sutarno, 2013: 60)

Dalam buku “Catholic Parenting” ada beberapa hal pokok yang menjadi jati diri suami-istri, sebagaimana diungkapkan oleh Alfonsus Sutarno (2012: 60-66). Jati diri tersebut adalah:

1) Menjadi orang tua adalah panggilan. Menjadi orang tua tidak dipandang sebagai upaya manusiawi belaka dari seorang pria dan seorang wanita, tetapi menjadi orang tua adalah panggilan Tuhan. Tuhan sendirilah yang menghendaki agar mereka menjadi orang tua. Dalam diri orang tua Allah ikut campur tangan, berencana, dan menaruh harapan. Bersama Kristus suami-istri dibimbing, diperkaya, diteguhkan dalam tugas luhur sebagai suami-istri, dan diantar menuju Allah

2) Yesus: Pola kesatuan suami-istri. Dengan berpola pada Kristus, keluarga lebih muda menemukan jalan kemanusiaan, keselamatan, dan kesucian. Suami-istri bisa bertekun mendidik anak-anak terutama di bidang keagamaan. Anak-anak ikut menguduskan orang tua dengan berterima kasih, mencintai, membantu dalam kesukaran dan kesunyian usia lanjut.

(53)

4) Bangga menjadi orang tua. Mengingat martabatnya yang luhur dan suci, maka sepantasnya orang tua merasa bangga. Menjadi orang tua sebagai panggilan Allah, kehadiran Yesus sebagai pola hidup rumah tangga, dan kekuatan suami-istri untuk saling menyempurnakan adalah alasan bagi orang tua untuk bersuka-cita dengan dirinya.

b) Tugas Orang Tua Dalam Keluarga.

Alfonsus Sutarno dalam buku “Catholic Parenting” (2013: 69-73) mengungkapkan bahwa: orang tua memiliki peran sentral dalam keluarga terutama dalam proses pembentukan kepribadian dan iman anak. Orang tua tentu memiliki harapan agar anak-anak dapat bertumbuh secara seimbang dalam pelbagai aspek kehidupan jasmani, rohani, psikologis, pengetahuan dan lain-lain. Suami istri akan melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara tepat bila pertama-tama mereka menyadari diri, siapakah sebenarnya diri mereka, siapakah mereka di hadapan anak-anak. Suami-istri sebagai orang tua terhadap anak-anak mengenal dirinya sebagai berikut :

(54)

2) Pemenuh kebutuhan dasar anak. Demi proses tumbuh-kembang anak secara optimal di bidang kesehatan jasmani, maka orang tua memperhatikan anak dari sisi pangan, pakaian, rumah, dan kesehatan. Berbagai upaya pendidikan dan pendewasaan anak bisa berjalan dengan baik jika kebutuhan utama itu terpenuhi. Kesehatan, keamanan, dan kenyamanan yang memadai bagi anak adalah syarat standar guna memudahkan upaya pendidikan anak-anak.

3) Pembimbing. Orang tua dapat membimbing anak-anak dengan baik apa bila orangtua peka terhadap anak-anak. Peka artinya mampu memahami kebutuhan, pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan anak-anak. Kepekaan ini akan memudahkan orang tua dalam mengembangkan iman, moral, pengetahuan, dan kretavitas anak. Selain itu, orang tua dapat memberikan kesempatan, arahan, atau fasilitas yang mungkin ketika anak melakukan sesuatu, menunjukkan kemampuannya dan keinginannya untuk belajar sesuatu. Sebagai pembimbing, orang tua juga perlu terbuka pada anak-anak. Orang tua bisa meminta anak untuk menyatakan hal yang telah ia ketahui atau menanyakan apa yang ingin diketahui. Sambutlah pertanyaan-pertanyaan mereka dan berikanlah anak kesempatan untuk belajar melalui kesalahan.

(55)

Kata-kata, tindakan, pikiran, dan perasaan orang tua menjadi referensi atau orientasi hidup si anak. Oleh karena itu, orang tua harus menunjukan keteladanan hidup yang baik dan pantas agar kebaikkan dan kepantasan cipta, rasa, dan karsa orang tua tertular kepada anak-anak.

5) Penasihat. Menjadi penasihat adalah jiwa orang tua, di mana orang tua menjadi tempat untuk bertanya, berdiskusi, dan mengadu sang anak. Sebagai penasihat orang tua diharapkan mampu memberikan pertimbangan-pertimbangan, mencarikan solusi dan menunjukan jalan yang baik dan benar di kala anak mengalami keraguan atau kebingungan.

6) Sahabat. Menjadi sahabat berarti orang tua perlu mengenal jiwa anak dengan bermain bersama anak. Mengajari anak tentang nilai kejujuran, sportivitas, penghargaan, keteraturan hidup, dan kerja sama dengan sesama. Kemudian mengenal suasana batin anak dengan menciptakan suasana santai, riang, dan gembira.

7) Pelindung. Melindungi anak merupakan suatu keharusan, terlebih ketika anak sedang berada dalam masa sukar dan bahaya. Orang tua bisa menciptakan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak di mana pun mereka berada.

(56)

3. Peran Orang Tua Dalam Pembentukan Karakter Dan Iman Anak

a. Penanaman Nilai Pada Anak

Mengenai penanaman nilai pada anak, menurut Paus Yohanes Paulus II, sebagaimana dikutip oleh Yoseph Kristianto dalam buku “Semakin Menjadi Manusiawi” (Ed, B.A. Rukiyanto dan Sumarah, 2014: 67) menguraikan sebagai berikut: Tugas orang tua untuk mengabdi kehidupan adalah mendidik anak-anak. Pendidikan anak merupakan hak dan kewajiban orangtua. Cinta kasih menjadi sumber yang mendasari mereka dalam mengemban tugas untuk mendampingi anak-anak yang sedang bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baru dalam menghayati hidup manusiawi secara penuh. Orang tua hendaknya mampu menciptakan situasi, relasi dan komunikasi yang penuh cinta kasih dan diliputi semangat cinta kasih kepada Allah dan sesama, sehingga menunjang pendidikan pribadi termasuk pembinaan iman anak.

Sedangkan menurut Sri Lestari (2012: 155-158) proses transformasi nilai ini diketahui melalui pesan-pesan yang sering disampaikan oleh orang tua terhadap anak dalam bentuk kegiatan dan sikap, berikut ini:

1) Pertama, rajin beribadah. Pesan untuk rajin beribadah disampaikan oleh orang tua pada anak dengan harapan agar anak menjadi anak yang saleh;

2) Kedua, bersikap jujur. Semua keluarga menyampaikan pesan moral untuk bersikap jujur kepada anak-anaknya;

(57)

orang tua harus bersedia membantu orang tua untuk melakukan tugas-tugas orang tua di rumah yang telah didelegasikan pada anak. Hormat dapat juga dimaknai sebagai menghargai orang yang lebih tua tanpa memandang status sosialnya. Makna lain dari hormat adalah andhap asor, artinya dalam berelasi dengan orang lain menunjukan sikap rendah hati;

4) Keempat, rukun dengan saudara dan masyarakat. Rukun dalam masyarakat diwujudkan dengan bersedia membantu orang lain dan berpartisipasi dalam masyarakat. Dalam keluarga ada pula orang tua yang menyampaikan pesan pada anak agar enthengan (ringan tangan) dalam kehidupan masyarakat. Maksudnya, anak diminta untuk sering bergaul dengan tetangga, terlibat dalam acara-acara yang berlangsung dalam masyarakat;

5) Kelima, pencapaian pretasi belajar. Pesan untuk rajin bersekolah dan belajar juga merupakan pesan yang umum disampaikan orang tua pada anak. Pada keluarga yang memiliki prioritas terhadap pencapaian prestasi, pesan ini disertai dengan pemantauan orang tua yang cukup intensif terhadap proses pembelajaran yang dilakukan oleh anak selama anak berada di rumah, dan disertai dengan pengecekan terhadap perilaku anak selama di sekolah

Selanjutnya dalam buku “Psikologi Remaja”, Sri Lestari (2012: 161-163) mengemukakan beberapa metode untuk mendukung transformasi nilai yang digunakan oleh orang tua dalam melakukan sosialisasi nilai yakni:

(58)

sedangkan anak sebagai penerima pesan. Pemberian nasihat ini biasanya dilakukan setelah anak melakukan pelanggaran peraturan yang sudah disepakati bersama dalam keluarga.

b) Memberikan contoh/teladan. Dalam metode ini, orang tua melakukan terlebih dahulu perilaku-perilaku yang mengandung nilai-nilai moral yang akan disampaikan pada anak.

c) Berdialog. Dalam metode ini orang tua menyampaikan nilai-nilai pada anak melaui proses interaksi yang bersifat dialogis. Orang tua menyampaikan harapan-harapannya pada anak, kemudian anak diberi kesempatan untuk menyampaikan tanggapannya.

d) Memberikan instruksi. Dalam memberikan instruksi hendaknya orang tua memperhatikan konsistensi antara perkataan dan tindakan dalam berinteraksi. e) Pemberian hukuman. Hukuman yang diberikan oleh orang tua ini sebagai cara

untuk mendisiplinkan anak apabila berperilaku kurang sesuai dengan nilai-nilai yang disosialisasikan. Bentuk-bentuk hukuman yang diberikan orang tua kepada anak bentuknya bervariasi tergantung pada tingkat berat-ringan pelanggaran yang dilakukan oleh anak.

b. Pembentukan Karakter Anak

(59)

seperti depresi, delinkuensi dan kekerasan; kedua, kekuatan karakter berkolerasi positif dengan faktor luar (eksternal) seperti kesuksesan di sekolah, perilaku sosial dan kompetensi. Kekuatan karakter berfungsi mendukung pencapaian kesejahteraan (will-being) dan kebahagiaan anak.

Sementara menurut Ryan dan Lickona, sebagaimana dikutib oleh Sri Lestari (2012: 94-95) mengungkapkan bahwa dalam karakter manusia terdapat tiga komponen yaitu: Pertama, pengetahuan moral (moral knowing). Dalam komponen pengetahuan moral tercakup penalaran moral dan strategi kognitif yang digunakan untuk mengambil keputusan secara sistematis. Melalui komponen ini individu dapat membayangkan konsekuensi yang akan terjadi di kemudian hari dari keputusan yang diambil dan siap bagaimana menghadapi konsekuensi tersebut; Kedua, perasaan moral (moral affect), yang mencakup identitas moral, ketertarikan terhadap kebaikan, komitmen, hati nurani, dan empati, yang semuanya merupakan sisi afektif dari moral pada diri individu. Perasaan moral juga berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan moral dan tindakan moral; Ketiga, tindakan moral (moral action), memiliki tiga komponen: kehendak, kompetensi dan kebiasaan.

(60)

Melakukan tindakan yang benar meskipun tidak ada orang lain yang melihat; 6) Memiliki kekuatan dari dalam untuk mengupayakan keharmonisan dengan lingkungan sekitar; 7) Mengembangkan standar pribadi yang tepat dan berperilaku yang konsisten dan standar tersebut

Menurut pandangan Ryan dan Lickona, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari (2012: 95-96) keluarga dipandang sebagai pendidik karakter yang utama pada anak, di samping sekolah sebagai pusat pengembangan karakter pada anak. Hal ini disebabkan karena pengaruh sosialisasi orang tua pada anak terjadi sejak dini sampai dewasa. Melalui interaksi dan komunikasi dua arah antara orang tua-anak, anak dapat merasa diri diakui dan berharga sehingga dapat dijadikan dasar untuk menghargai orang lain. Nilai dasar yang menjadi landasan dalam membangun karakter adalah sikap hormat (respect). Sikap hormat mencakup respek pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan sosial. Sikap respek membawa anak sampai pada pemahaman bahwa dirinya dan orang lain itu berharga dan sederajad serta memiliki hak untuk saling memberi hormat satu sama lain.

(61)

moral; Kelima, kasih sayang mendorong terjadinya komunikasi orang tua anak yang menjadi variabel mediator antara kasih sayang dan perkembangan penalaran moral. Dengan komunikasi yang baik, orang tua memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan kemampuan dalam menggunakan perspektif orang lain dan berpikir tentang isu-isu moral. Keterbukaan dalam berkomunikasi juga mendukung orang tua untuk memberikan bantuan pada anak ketika anak membutuhkannya.

c. Pembentukan Iman Anak

Dalam buku “Menuju Keluarga Bertanggung jawab” (J. Hardiwiratno,

(62)

saling mau menolong, saling mau berkorban, saling mendoakan dan lain-lain. Kalau orang tua dapat menciptakan keluarga menjadi komunitas anatarpribadi seperti tersebut di atas, maka keluarga dapat berfungsi sungguh-sungguh menjadi Gereja mini, tempat relasi cinta kasih dan iman kepada Kristus dasar hidupnya, sehingga iman anak kemungkinan besar dapat lebih berkembang dengan baik. Tentu saja berkat rahmat Tuhan sendiri.

Dalam ensikliknya (FC, art. 36) Paus Yohanes Paulus II berbicara tentang pendidikan dalam keluarga sebagai berikut:

Orang tua harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan terutama bagi anak-anak mereka. Peranan mereka sebagai pendidik sedemikian menentukan sehingga hampir tiada suatu apa pun yang dapat menggantikan bila mereka gagal menunaikan tugas itu. Menjadi kewajiban orang tualah menciptakan suasana keluarga yang sedemikian dijiwai oleh cinta kasih dan sikap hormat kepada Allah dan orang-orang lain sehingga perkembangan pribadi dan sosial yang utuh dapat dipupuk di antara anak-anak. Maka keluarga adalah sekolah pertama demi keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat.

(63)

yang terjadi dalam perayaan liturgi atau perayaan-perayaan sakramen dan yang terjadi melalui peristiwa hidup sehari-hari. keluarga kemudian menjadi sekolah mengikuti Yesus dan menjadi pusat katekese sakramental bagi anak-anaknya. Orang tualah yang pertama-tama memperkenalkan Allah. Keluarga dipanggil untuk ikut ambil bagian secara aktif dalam mempersiapkan anak untuk menerima sakramen baptis, krisma, pengakuan (tobat) dan Komuni pertama

Dalam buku “Menuju Keluarga Bertanggung Jawab”, J. Hardiwiratno

(1994: 86) menegaskan bahwa pengembangan iman sebenarnya tidak hanya terjadi dengan katekse eksplisit dengan kata-kata atau dengan mengajar secara intruksional saja, melainkan lebih-lebih di dalam keluarga adalah kesaksian hidup keagamaan ibu dan ayahnya sendiri (FC 38-39). Oleh karena itu peranaan kesaksian kehidupan iman orang tua dalam memperkembangkan iman anak-anaknya adalah vital. Dan inilah sebenarnya metode yang paling efektif dalam pendidikan iman di dalam keluarga yakni dengan contoh konkret kehidupan iman orang tuanya serta anggota yang lain yang hidup serumah.

(64)

peranan orang tua atau keluarga menjadi penting. Dengan menghargai anugerah kebebasan pribadi, orang tua mengarahkan anaknya kepada hidup sebagai orang beriman, sedemikian rupa sehingga akhirnya anak sendirilah merasa bahwa iman itu sebagai yang dipilihnya sendiri secara bebas. Ayah dan ibu bertindak seperti itu karena timbul dari kasih kepada anaknya dan demi keselamatan anak-anaknya pula.

b. Fungsi Komunikasi Orang Tua Dalam Rangka Pembentukan Karakter

dan Iman Anak Dalam Keluarga Katolik.

1. Pembentukan Karakter dan Iman Anak yang Didambakan Dalam

Keluarga Katolik

a. Pembentukan Karakter atau Kepribadian Anak yang Didambakan

(65)

kualitas interior diri. Sedangkan kepribadian menurut Widyapranawa dalam buku “Pendididikan Kepribadian Diri Sendiri” (2008: 2) dijelaskan bahwa: kepribadian

merupakan ciri yang khas (unik) yang tidak dapat terpisahkan dari kemanusiaan seseorang. Kepribadian seorang anak tidak boleh dibiarkan begitu saja atau berkembang sendiri, tetapi perlu dibina dan dididik sepanjang hidupnya serta diarahkan ke arah yang lebih baik dan posistif sejak masih kecil sampai dewasa. Untuk itu pembentukan karakter anak menjadi tujuan utama yang ingin dicapai oleh keluarga. Pertama-tama perlu diketahui bahwa kepribadian keluarga merupakan identitas yang khas dari sebuah keluarga. Identitas khas ini lahir dan berkembang dari interaksi dan komunikasi yang dibiasakan dalam keluarga. Keluarga yang terbiasa berinteraksi dan berkomunikasi secara terbuka, dialogis, luwes, akan membentuk kepribadian keluarga yang baik (Alfonsus Sutarno, 2013: 26).

Menurut David Field, sebagaimana dikutip oleh Alfonsus Sutarno (2013: 27-30) terdapat 5 tipe kepribadian keluarga yang sering muncul dalam lingkungan keluarga. Lima (5) Tipe keluarga tersebut adalah:

1) Kepribadian keluarga kacau. Tipe kepribadian keluarga ini dicirikan oleh rendahnya kualitas dan kuantitas interaksi dari anggota keluarga. Masing-masing anggota kelurga sibuk dengan dirinya sendiri (individualis, egois, kekanak-kanakan. Dalam rangka pendidikan anak, sebaiknya tipe kepribadian ini dihindari.

(66)

didiskusikan, akibatnya anak-anak menjadi korban sehingga mereka akhirnya menjadi sangat kesal, benci dan takut kepada orang tua. Kepribadian keluarga seperti ini sebaiknya dihindari.

3) Kepribadian keluarga overprotective. Jika orang tua terlalu melindungi (overprotective), maka anak-anak akan merasa ketakutan, terkekang, dan tertekan. Dampaknya kedewasaan dan kemandirian anak tidak berkembang secara wajar.

4) Kepribadian keluarga simbiotik. Adanya relasi yang sangat lekat di antara anggota keluarga. Saking lekatnya, anggota keluarga merasa saling membutuhkan, saling mendukung, dan tergatung satu sama lain, namun resikonya bahwa anak-anak akan menjadi tidak mandiri dan tidak berani menjadi dirinya sendiri. Untuk itu orang tua wajib mengarahkan agar kedekatan relasi dan interaksi antaranggota keluarga tidak menjadikan anak tidak mandiri

(67)

Dalam buku “Catholic Parenting”, Alfonsus Sutarno (2013: 95-98) mengemukakan beberapa tips membangun keluarga yang berkepribadian positif yakni:

a) Orang tua sebaiknya bisa berinteraksi dan berkomunikasi kepada anak dengan terbuka, dialogis, luwes, dan akrab. Dengan demikian keberadaan keluarga akan lebih dinamis, demokratis, harmonis, dan terhindar dari salah paham. b) Semua anggota keluarga perlu saling peduli dan memberi perhatian. Hindarilah

kesibukan dan keasyikan dengan diri sendiri. Hal ini akan membuat keluarga menjadi solid, solider, altruis; jauh dari sikap individualis.

c) Hendaknya komunikasi (verbal dan non-verbal) menjadi saran pengenalan dan ekspresi diri antaranggota keluarga. Jika terjadi kesalahpahaman maka hendaknya disiasati dengan bijak dan sabar, bukan dengan sikap emosi dan marah.

d) Sebagai penentu keputusan/kebijakan keluarga, sebaiknya orang tua tidak menjadikan anak-anaknya menjadi ‘korban’ (dikuasai, diperdaya, atau hanya dijadikan seorang penurut). Hindarilah kesan orang tua sebagai ‘penguasa’

tunggal dalam rumah.

e) Sebaiknya orang tua bisa menjadi sahabat bagi anak dan bukan penguasa. Orang tua bisa bermain, berdiskusi, bercerita, belajar, atau nonton bersama anak-anak. Dengan demikian, relasi orang tua dengan anak akan semakin akrab dan anak-anak akan merasa dihargai.

(68)

tetap merasa ‘bebas’ berekspresi, berpendapat, bertindak, dan berperasaan,

serta bertumbuh-kembang dalam kedewasaan dan kemandirian secara memadai.

g) Sebaiknya orang tua menciptakan relasi yang sehat antara anak dengan anggota keluarga. Tumbuhkanlah dalam diri anak rasa saling membutuhkan dan saling mendukung, tanpa harus bergantung.

h) Orang tua perlu menciptakan kepribadian keluarga seimbang. Hal ini dicirikan oleh interaksi dan komunikasi keluarga yang luwes, ada pembagian peran secara seimbang, dan bisa saling menggantikan atau partnership. Dalam kepribadian keluarga yang seimbang, orang tua akan menghargai keunikan sikap dan pola pikir masing-masing anak dan semua anggota keluarga dapat bekerja sama dengan baik.

(69)

Dalam buku “Psikologi Remaja”, Sri Lestari mengutip pandangan Ryan

dan Lickon (2012: 96) mengenai lima cara yang dilakukan orang tua terhadap pembentukan karakter anak yakni:

a) Pertama, dengan menyayangi anak, orang tua membantu anak untuk merasakan dirinya berharga

b) Kedua, orang tua menjadikan dirinya sebagai model bagi anak dalam memperlakukan orang lain

c) Ketiga, hubungan yang hangat antara orang tua dan anak menjadi kekuatan dalam menghadapi pengaruh moral

d) Keempat, kasih sayang berperan dalam perkembangan penalaran moral.

e) Kelima, kasih sayang mendorong terjadinya komunikasi orang tua-anak yang menjadi variabel mediator antara kasih sayang dan perkembangan penalaran moral.

b. Pembentukan Iman Anak yang Didambakan

Dalam dokumen “Konsili Vatikan II”, tentang Gravissimum Educationis

no.3 dikatakan bahwa: karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anaknya, maka orang tua harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama. Tugas untuk memberikan pendidikan berakar pada panggilan orang-orang yang sudah menikah untuk mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah (FC, no. 36)

1) Iman Sebagai Jawaban Pribadi

Dalam buku “Iman Katolik” (KWI, 1996: 128) dikatakan bahwa: iman

(70)

karena tidak secara terpaksa, melainkan “dengan sukarela”. Kebebasan di sini lebih berarti mengikuti suara hati dan menentukan arah hidup sendiri. Dengan bebas manusia memasuki kebebasan sebagai anak-anak Allah (bdk, Rm; 8:21) yakni kemerdekaan seseorang yang dibebaskan dari segala rasa takut dan merasa diri aman dalam tangan Tuhan. Iman berarti juga sebagai jawaban pribadi manusia atas perwahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus. Bertolak dari pemahaman ini tentunya usia anak-anak mereka belum dapat menjawab secara pribadi serta bebas atas perwahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus, untuk itu mereka perlu mendapat bimbingan iman secara mendalam dan tertanam dalam hati, sehingga berkat bimbingan dan pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya anak akhirnya mampu menjawabnya secara pribadi dan bebas (J. Hardiwiratno, 1994: 84)

2) Peranan Keluarga Dalam Pembentukan iman

Menurut J. Hardiwiratno (1994: 84) dikatakan bahwa: Peranan keluarga dalam hal ini orang tua sangat besar untuk perkembangan iman anak. Tanpa pendidikan iman anak dalam keluarga, maka mustahil iman anak dapat berkembang. Untuk dapat berkembang dengan baik, maka anak memerlukan lahan yang subur sehingga benih iman yang telah ditaburkan oleh Allah dapat berkembang dan berbuah.

(71)

a) Pertama, orang tua perlu muncul sebagai figur iman dan moral bagi anak. Contohnya seperti rutin ke Gereja, rajin berdoa, biasa berderma, ramah pada tetangga. Semua ini akan diserap oleh anak dan sebagai referensi kehidupan iman dan moralnya.

b) Kedua, orang tua wajib mendidik anaknya secara Katolik dengan memulai membaptis anak-anaknya sejak dini (baptis bayi), kemudian mengajak anaknya untuk berdoa, pergi ke Gereja, memasukkan anak ke sekolah minggu, mengikutkan anak pada persiapan komuni pertama dan melibatkannya pada kegiatan gerejawi.

c) Ketiga, keluarga sebaiknya menciptakan kebiasaan suci dalam keluarga seperti: berdoa bersama, membaca dan merenungkan kitab suci, atau mendalami doa-doa dan iman kristiani, juga membaca riwayat orang kudus. Hal lain yang tidak kalah penting adalah mengajak anak untuk berkunjung ke Seminari, Biara, Pastoran atau Keuskupan guna memperkenalkan kepada anak bentuk panggilan khusus.

d) Keempat, sesekali orang tua bisa meminta anak untuk sharing atau membuat refleksi pribadi atas iman dan tindakannya. Dengan cara ini orang tua bisa memantau perkembangan iman anak, semakin mengenal anak, dan memahami kebutuhan iman anak.

3) Tahap-Tahap Perkembangan Iman

(72)

a) Iman diperoleh dari kesaksian orang lain (experienced faith)

Pada tahap ini seorang anak akan bertindak, bereaksi, mengamati dan mengkopi (mentransfer) iman orang lain. Untuk itu kesaksian orang lain terutama orang tua dan anggota keluarga lainnya sangat penting.Kesaksian orang tua akan membantu anak dalam mengembangkan imannya secara baik dan benar.

b) Iman yang dihayati dalam kebersamaan (affiliated faith)

Perlu diingat bahwa dunia anak tidak hanya di rumah, tetapi meluas di sekitarnya. Kesempatan untuk bertemu dengan orang lain terutama dalam kelompok memainkan peran yang sangat penting dalam mensharingkan iman. Biasanya iman diekspresikan dalam seni, menyanyi, drama, dan kelompok-kelompok kreatif lainnya.

c) Iman yang sedang mencari (the searching faith)

Iman ini berkembang pada masa-masa remaja dan tahun-tahun pertama masa dewasa. Pada kesempatan ini seorang remaja mulai membutuhkan kesempatan untuk bertanya dan berkeksperimen. Anak mulai kritis terhadap segala sesuatu dan sedang memperkembangkan imannya dengan dan mulai dengan tindakan-tindakan yang cocok atau sesuai tuntutan iman itu.

d) Iman yang dimiliki secara pribadi (owned faith)

(73)

2. Pengertian Komunikasi

a. Arti Etimologis Komunikasi

Menurut Prof. Dr. Alo Liliweri (2015: 2) dijelaskan bahwa: Secara etimologis, kata “komunikasi” berasal dari bahasa Latin “comunicare” yang berarti mengalihkan atau mengirimkan. Makna kata “komunikasi” juga sebagai

konsep untuk menjelaskan tujuan komunikasi, “menjadikan semua orang mempunyai pengetahuan dan perasaan yang sama terhadap suatu hal baik secara umum maupun secara rinci. Maka komunikasi berarti hal memberitahukan, menyampaikan sesuatu (pesan) kepada yang lain agar semua anggota persekutuan (communio) memiliki pemahaman yang sekurang-kurangnya sama tentang (isi) pesan tertentu (Saku Bouk Hendrikus, 2012 : 152).

b. Pengertian Komunikasi.

Menurut pandangan Norman Wright sebagaimana dikutip oleh Andreas Christanday dalam buku “Komunikasi Dalam Keluarga Kristen” (2015: 1) dipaparkan bahwa: komunikasi adalah suatu proses (baik lisan ataupun tidak-lisan) dengan saling bertukar informasi kepada orang lain sedemikian rupa sehingga orang lain dapat mengerti akan hal yang dikatakan. Berbicara, mendengarkan, mengerti dan terlibat dalam komunikasi.

Selanjutnya Andreas Christanday (2015: 1-2) menjabarkan dan melengkapi definisi komunikasi sebagaimana yang telah diuraikan di atas yakni: komunikasi merupakan “proses”, maka untuk bisa berkomunikasi yang baik

(74)

saling berbicara dan mendengar (to hear), tetapi juga saling mendengar (to listen) dengan mengerti. Kata “saling” menunjukkan bahwa komunikasi adalah berdialog

dua arah. Dan kata “sedemikian rupa sehingga” menunjukkan suatu yang harus

diusahakan, sebagai seni yang harus dipelajari.

Berdasarkan arti etimologis dan pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari orangtua kepada anak dan sebaliknya,yang berlangsung secara tatap muka maupun melalui media, yang terjadi secara spontan, informal, timbalbalik (feedback) dan fleksibel dalam suasana cinta kasih dan kekeluargaan.

Berbicara mengenai komunikasi dalam keluarga tentu tidak terlepas dari relasi antaranggota keluarga. Menurut Sri Lestari (1994: 12), komunikasi merupakan:

Aspek yang paling penting, karena berkaitan dengan hampir semua aspek dalam hubungan pasangan. Hasil dari semua diskusi dan pengambilan keputusan di keluarga, yang mencakup keuangan, anak, karier, agama bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat, dan kebutuhan akan tergantung pada gaya, pola, dan keterampilan berkomunikasi.

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah Dokumen Laporan Kinerja dan Perjanjian Kinerja Instansi Pemerintah kabupaten Mukomuko. 2

• Dapat bekerja dengan Query didalam OpenOffice Base dengan file DBase Mimbar kelas Papan tulis, OHP dan Komputer ♦ Latihan ♦ Tugas [3] 10. BEKERJA

“Perlindunagn Folklor Indonesia: Perbandingan Sistem Hukum dalam Studi Kasus I La Galigo”, Tesis Universitas Indonesia, 2005. ”Optimalisasi Pameran Museum La Galigo”

Persepsi responden dapat diurutkan menjadi: tidak berpengaruh, agak berpengaruh, berpengaruh dan sangat berpengaruh Kalau tidak berpengaruhdiberi nilai 0 ( nol ), agak

Hasil ekplorasi diharapkan dapat menentukan kriteria desain yang cocok dengan karakter remaja, mempunyai tempat storage yang cukup untuk membawa barang kebutuhan sekolah

Merujuk dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini, Negara-Negara Pihak harus mengambil segala kebijakan yang sesuai dan efektif untuk menjamin kesamaan hak bagi

saran demi kesempurnaan proposal skripsi ini sehingga dapat berguna bagi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan sekaligus sebagai

Note: tidak harus sama dengan yang saya bagi disini, tapi anda boleh mencoba dengan kreasi anda sendiri.. Mainkan