• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Rhizophora stylosa PADA LAHAN SILVOFISHERY DI DESA TANJUNG REJO KABUPATEN DELI SERDANG SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Rhizophora stylosa PADA LAHAN SILVOFISHERY DI DESA TANJUNG REJO KABUPATEN DELI SERDANG SKRIPSI"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Rhizophora stylosa PADA LAHAN SILVOFISHERY DI DESA TANJUNG REJO

KABUPATEN DELI SERDANG

SKRIPSI

Oleh

SAMRENTA DEFINA SIANTURI 131201018

BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

(2)

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Rhizophora stylosa PADA LAHAN SILVOFISHERY DI DESA TANJUNG REJO

KABUPATEN DELI SERDANG SKRIPSI

Oleh

SAMRENTA DEFINA SIANTURI 131201018

BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

JudulPenelitian : Laju Dekomposisi Serasah Daun Rhizophora stylosa pada Lahan Silvofishery di Desa Tanjung Rejo Kabupaten Deli Serdang

Nama : Samrenta Defina Sianturi

NIM : 131201018

Minat : Budidaya Hutan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Dr. Delvian, SP., MP Ridahati Rambey, S. Hut, M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui,

Mohammad Basyuni, S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Departemen Budidaya Hutan

(4)

ABSTRAK

SAMRENTA DEFINA SIANTURI: Laju Dekomposisi Serasah Daun Rhizophora stylosa Pada Lahan Silvofishery di Desa Tanjung Rejo Kabupaten Deli Serdang Dibimbing oleh DELVIAN dan RIDAHATI RAMBEY.

Serasah mangrove yang mengalami dekomposisi memberikan sumbangan bahan organik yang merupakan sumber pakan bagi berbagai jenis ikan dan organisme lain di ekosistem mangrove. Dekomposisi serasah adalah perubahan secara fisik maupun kimia yang sederhana oleh mikroorganisme. Fungi adalah salah satu komponen penting dalam dekomposisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur laju dekomposisi serasahdaun R. stylosa dan untuk mengetahui jenis-jenis fungi yang memiliki peran dalam dekomposisi serasah daun R. stylosa. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanjung Rejo, Deli Serdang. Fungi diisolasi dan diidentifikasi di Laboratorium Biologi Tanah, Universitas Sumatera Utara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Serasah daun R. stylosa pada tingkat salinitas 0-10 ppt terdekomposisi dengan cepat dengan nilai K > 0,005 g/hari.

Dekomposisi pada hari ke-7 adalah 0,029 g/hari dan mencapai 0,302 g/hari di hari ke-56. Terdapat 8 jenis fungi yang diisolasi dari serasah R. stylosa yang terdiri 5 genus, yaitu Aspergillus (3 jenis), Rhizpus (2 jenis), Penicillium (1 jenis), Syncephalastrum (1 jenis) dan Fusarium (1 jenis).

Kata Kunci: Dekomposisi, Serasah, Mangrove, Rhizophora stylosa, Fungi.

(5)

ABSTRACT

SAMRENTA DEFINA SIANTURI: Decomposition Rate of Rhizophora stylosa leaf litter on Silvofishery area in Tanjung Rejo Village, Deli Serdang District Supervised by DELVIAN and RIDAHATI RAMBEY.

The Litter mangrove which has been decomposed gave organic matter contributes a food source for many species of fish and other organisms in the mangrove ecosystem. Litter decomposition is physically and chemically alteration were modest by microorganism. Fungi is one of the components of the ecosystem that play arole in the decomposition. This aims of research was to measure the decomposition rate of R. stylosa litter leaf and to know the species of fungi that role in decomposition of R. stylosa litter leaf. The research applied at the Tanjung Rejo Village, Deli Serdang. Fungi isolated and Identify in Soil Biology Laboratory, University Of North Sumatera.

Research results showed that Leaf litter of R. stylosa that are placed on the level of salinity 0-10 ppt decompose fast with k >0,005 g/day. R. stylosaleaf litter decomposition at 7𝑡𝑡day is 0,029 g/day and 0,302 g/day at 56𝑡𝑡 day. Eight species of fungi were isolated from R. stylosa including 5, genus namely Aspergillus (3 species), Rhizopus (2 species), Penicillium (1 species), Syncephalastrum (1 species) danFusarium (1 species).

Keywords: Decomposition, Litter, Mangrove, Rhizophora Stylosa, Fungi.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pematangsiantar pada tanggal 13 Agustus 1994 dari Bapak (Alm) Abner Mangatar Sianturi dan Ibu Maria Paska Gultom. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Pada tahun 2007 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar dari SD Negeri 121142 Pematangsiantar, pada tahun 2010 lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Pematangsiantar dan pada tahun 2013 lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 4 Pematangsiantar. Di tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selain mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Aek Nauli Kabupaten Simalungun Sumatera Utara dan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan penulis mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) Departemen Kehutanan.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini berjudul “Laju Dekomposisi Serasah Daun Rhizophora stylosa pada Lahan Silvifishery di Desa Tanjung Rejo Kabupaten Deli Serdang”.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepa sdari dukungan berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Orangtua yang selalu memberi dukungan, doa dan motivasi serta segala sesuatu yang penulis butuhkan dalam pembuatan skripsi ini.

2. Dr. Delvian, SP., MP sebagai ketua komisi pembimbing penulis dan Ridahati Rambey, S.Hut., M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan waktu dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Teman-teman 2013 kehutanan yang membantu penulis dalam pengerjaan penelitian maupun penulisan skripsi ini.

4. Masyarakat Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang yang membantu penulis dalam pengerjaan penelitian.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi mahasiswa kehutanan. Akhir kata penulis mengucapkan sekian dan terimakasih.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

RIWAYAT HIDUP... iii

KATA PENGANTAR… ……… iv

DAFTAR ISI ………... v

DAFTAR TABEL ………... vii

DAFTAR GAMBAR ……….. viii

DAFTAR LAMPIRAN ………... ix

I. PENDAHULUAN A. LatarBelakang ……… 1

B. Tujuanpenelitian………. 2

C. ManfaatPenelitian………. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ekosistem Mangrove……… 4

B. Taksonomi dan Morfologi Rhizophora stylosa……… 5

C. Produksi Serasah………... 7

D. Dekomposisi Serasah ………... 8

E. Fungi Dekomposer ……… 10

III. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak Kawasan... 12

B. Kondisi Topografi dan Bentuk Wilayah... 12

C. Kondisi Iklim dan Cuaca... 12

D. Lokasi Penelitian... 13

IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. LokasidanWaktu………. 14

B. Alat dan Bahan………... 14

C. Prosedur Penelitian ………...… 14

C.1. Produksi Serasah……….. 14

C.2. Percobaan Laju Dekomposisi Serasah ………... 15

Analisis Data... 15

C.3. Perhitungan Berat Kepiting... 16

C.4. Isolasi Fungi Dekomposer ……….. 16

Identifikasi jamur perombak serasah... 16

Perhitungan populasi fungi... 17

(9)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Produksi Serasah...………. 18

B. Dekomposisi Serasah ....………... 20

C. Fungi Dekomposer ....………... 23

C.1. Jenis Fungi Dekomposer……….. 25

C.2. Jumlah Total Fungi………. 30

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...………... 32

B. Saran ...………...…... 32

DAFTAR PUSTAKA….………... 33

LAMPIRAN ……….... 37

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Produksi serasah tiap gr/m²/7 hari... 16 2. Laju Dekomposisi Serasah Rhizophora stylosa ... 18

3. Jumlah Total dan Populasi Fungi Rhizophora stylosa... 30

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Lokasi penelitian Dekomposisi serasah R.stylosa... 13 2. Sisa Serasah Rhizophora stylosa dan Laju Dekomposisi Serasah

Rhizophora stylosa... 21

3. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Aspergillus sp 1 yang

diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa... 23 4. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Aspergillus sp 2 yang

diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa... 24 5. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Aspergillus sp 3 yang

diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa... 25 6. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Rhizopus sp 1 yang

diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa... 25 7. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Rhizopus sp 2 yang

diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa... 26 8. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Penicillium sp yang

diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa... 27 9. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Synchephalastrumsp

yang diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa... 28 10. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Fusarium sp yang

diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa... 28

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Sisa Serasah Rhizophora stylosa yang telah terdekomposisi

dari hari ke-7 sampai hari ke-56... 37 2. Perhitungan Laju Dekomposisi Metode Olson... 38

3. Pengamatan Hasil Isolasi Fungi Dekomposer Serasah

Daun Rhizophora stylosa... 42 4. Lampiran 4. Perhitungan Jumlah Total Fungi………... 43 5. Lampiran 5. Percobaan Produksi Serasah daunRhizophora Stylosa….. 44

(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan sumberdaya alam, yakni letak hutan mangrove terbatas pada tempat tertentu, peranan ekologis ekosistem mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran ekosistem hutan lainnya, dan hutan mengrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi, serta hutan mangrove sebagai sumberdaya alam yang dapat dipulihkan pendayagunaannya memerlukan pengelolaan yang tepat, sejauh mungkin dapat mencegah pencemaran lingkungan hidup dan menjamin kelestariannya untuk keperluan masa kini dan akan datang (Basyuni, 2008).

Walaupun ekosistem mangrove tergolong sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), namun bila pengalihan fungsi atau konversi dilakukan secara besar-besaran dan terus menerus tanpa pertimbangan kelestariannya, maka kemampuan ekosistem tersebut untuk memulihkan dirinya tidak hanya terhambat, tetapi juga tidak dapat berlangsung, karena beratnya tekanan akibat perubahan tersebut (Syam, 2014).

Konversi lahan mangrove yang dilakukan menyebabkan ekosistem mangrove menjadi terganggu. Ginting (2014) melaporkan bahwa Kerusakan hutan mangrove di kecamatan Percut Sei Tuan disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya konversi hutan mangrove menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Faktor kedua adalah adanya konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak. Lahan tambak umumnya sebagai tempat untuk budidaya hasil laut seperti udang, ikan kerapu, dan jenis ikan komersil lainnya.

(14)

Salah satu solusi untuk mempertahankan ekosistem mangrove adalah dengan menerapakn sistem Silvofishery. Dimana masyarakat dapat membudidayakan biota laut yang bernilai ekonomis dengan tetap membiarkan vegetasi mangrove di daerah tambak.

Untuk mengetahui dampak positif vegetasi mangrove di sekitar tambak, perlu diketahui produktivitas serasah dan laju dekomposisi serasah daun tanaman mangrove dan jenis mikroorganisme yang menjadi dekomposernya yang dapat memberikan pengaruh positif dalam pengelolaannya. Laju dekomposisi dimaksudkan agar serasah yang terdekomposisi menjadi nutrisi alami bagi biota laut yang dibudidayakan seperti kepiting.

Pemanfaatan berbagai jenis fungi yang diperkirakan berperan dalam proses dekomposisi serasah daun mangove merupakan salah satu usaha yang dapat digunakan untuk memanfaatkan potensi biologis yang terdapat pada ekosistem mangrove. Potensi biologis sangat ramah ligkungan dan berlangsung secara bersama-sama dengan komponen lain yang terdapat pada ekosistem tersebut (Yunasfi dan Suryanto, 2008). Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian guna mengetahui laju dekomposisi serasah dan jenis fungi dekomposernya pada ekosistem mangrove.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengukur laju dekomposisi serasah daun Rhizophora stylosa.

2. Mengetahui jenis fungi yang berperan dalam dekomposisi serasah.

(15)

C. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai pengaruh positif vegetasi Rhizophora stylosa terhadap produktivitas kepiting bakau.

2. Memberikan informasi mengenai jenis fungi yang berperan dalam dekomposisi serasah Rhizophora stylosa di tambak kepitimg.

3. Sebagai acuan terhadap pengelola ekosistem mangrove dalam mengkombinasikan jenis tanaman mangrove dan ternak pada tambak sehingga manfaat ekonomi dan konservasi dapat dicapi secara bersamaan.

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekosistem Mangrove

Kata “mangrove” dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., dengan demikian mangrove merupakan sekelompok tumbuhan yang berbeda satu dengan lainnya, tetapi mempunyai peranan terhadap adaptasi morfologi dan fisiologi terhadap habitat yang dipengaruhi pasang-surut (Suroyo, 1992), sedangkan menurut Wijayanti (2009) Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut didaerah pasang surut, hutan mangrove atau yang sering disebut hutan bakau merupakan sebagian wilayah ekosistem pantai yang mempunyai karakter unik dan khas dan memiliki potensi kekayaan hayati. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.

Ekosistem mangrove memiliki multifungsi, yaitu fisik, ekologis dan sosial ekonomi. Secara fisik, mangrove mampu menahan gelombang tinggi, badai dan pasang sewaktu-waktu, sehingga mengurangi abrasi pantai. Secara ekologis mangrove memiliki fungsi sebagai sumber plasma nutfah, tempat bertelur dan bersarangnya biota laut. Mangrove juga dikatakan sebagai ekosistem yang sangat produktif karena mangrove merupakan tempat yang kaya akan bahan organik dan bahan makanan lain bagi biota. Dari segi sosial ekonomi, mangrove dapat digunakan sebagai areal tumpangsari dengan memelihara jenis-jenis ikan payau yang bernilai ekonomi tinggi, atau yang sering disebut sebagai silvofishery ataupun dimanfaatkan sebagai obyek daya tarik wisata alam dalam pengembangan

(17)

ekowisata. Fungsi ekologis mangrove ini sekaligus juga menjadikan mangrove sebagai habitat bagi banyak satwa liar. Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia (Balai Taman Nasional Alas Purwo, 2011).

Mangrove berperan untuk mempertahankan kelangsungan hidup biota laut seperti ikan, udang, kepiting, siput dan biota lainnya. Mangrove juga berfungsi sebagai sumber makanan atau kesuburan pantai, tempat berlindung, berkembang biak atau tempat pembesaran biota laut lain. Hutan mangrove menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi udang, kepiting, ikan, zooplankton, invertebrata kecil dan hewan pemakan bahan-bahan hasil pelapukan lainnya. Bahan-bahan hasil pelapukan mangrove berasal dari organ pohon mangrove yaitu daun, bunga, cabang, ranting dan sejumlah bagian pohon lain yang jatuh ke lantai hutan yang disebut serasah. Untuk dapat dimanfaatkan oleh organisme yang terdapat dalam hutan mangrove, serasah tersebut perlu didekomposisi terlebih dahulu menjadi bahan lain yang dapat menjadi sumber makanan bagi organisme tersebut (Naibaho, 2015).

B. Taksonomi dan Morfologi Rhizophora stylosa

Secara taksonomi, tata urutan atau klasifikasi Rhizophora stylosa adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Order : Malpighiales Family : Rhizophoraceae

(18)

Genus : Rhizophora Spesies : R.stylosa

Termasuk famili Rhizophoraceae yang merupakan Pohon dengan satu atau banyak batang, tinggi hingga 10 m. Kulit kayu halus, bercelah, berwarna abu-abu hingga hitam. Daun berkulit, berbintik teratur di lapisan bawah, Gagang kepala bunga seperti cagak, biseksual, masing-masing menempel pada gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm. Tumbuh pada habitat yang beragam di daerah pasang surut: lumpur, pasir dan batu. Menyukai pematang sungai pasang surut, tetapi juga sebagai jenis pionir di lingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari mangrove.

Satu jenis relung khas yang bisa ditempatinya adalah tepian mangrove pada pulau/substrat karang. Menghasilkan bunga dan buah sepanjang tahun.

Kemungkinan diserbuki oleh angin (Noor et al., 2012).

Pola adaptasi vegetasi mangrove terhadap lingkungan pasang surut, yang mudah dikenali adalah sistem akar udara. Rhizophora spp di Pulau Kaledupa, yang berada di daerah yang selalu terkena pasang harian dengan penggenangan yang tinggi, memiliki akar udara dan akar tunjang yang berkembang sangat intensif, melengkung dari batang pokok dan juga berasal dari cabang bawah. Akar udara pada vegetasi jenis ini jumlahnya sangat banyak, bahkan ditemukan akar udara yang tumbuh pada cabang dengan ketinggian 6 m dari permukaan tanah (Jamili et al., 2009).

Berkaitan dengan daya adaptasi mangrove terhadap kondisi yang ekstrim dimana beting lumpur baru akan didominasi tumbuhan yang propagulnya paling banyak sampai di tempat tersebut dalam hal ini daya adaptasi Rhizophora stylosa

(19)

lebih tinggi pada komunitas mangrove di sekitar jembatan suramadu sisi surabaya (Hermawan et al., 2013).

C. Produksi Serasah

Produksi serasah adalah guguran struktur vegetatif dan reproduktif dari pohon mangrove Rizophora Stylosa yang disebabkan oleh faktor ketuaan, kematian serta kerusakan dari keseluruhan tumbuhan oleh iklim (hujan dan angin) (Fitriani, 2016).

Serasah mangrove yang dihasilkan berupa daun merupakan serasah yang paling penting peranannya dibandingkan dengan organ lain karena merupakan sumber nutrisi bagi organisme. Semakin tinggi produksi serasah maka semakin tinggi pula produktivitas di hutan mangrove. Perbedaan masing-masing organ terhadap organ terhadap total serasah untuk setiap mangrove berbeda-beda hal ini diduga karena kondisi lingkungan serta ciri biologis. Ciri biologis diantaranya ukuran daun yang kecil dan buah yang berbentuk bulat. Komponen serasah yang lain, dikarenakan bentuk dan ukuran daun yang lebar dan tipis sehingga mudah digugurkan oleh hembusan angin dan terpaan air hujan (Herlina et al., 2014).

Tingginya kontribusi daun terhadap produktifitas serasah yang dihasilkan terkait dengan salah satu bentuk adaptasi tumbuhan mangrove untuk mengurangi kehilangan air agar dapat bertahan hidup pada kondisi kadar garam tinggi (Zamroni dan Suci 2008).

Berdasarkan pengamatan, selalu terjadi variasi serasah yang tertampung di dalam trap pada setiap lokasi, baik variasi antar trap maupun variasi antar waktu pengumpulan. Variasi ini terjadi disebabkan oleh pola penyebaran tumbuh dari berbagai spesies. Pola penyebaran tumbuh dari berbagai spesies mempunyai

(20)

pengaruh terhadap jatuhan serasah. Jenis yang hidupnya merata pada seluruh areal akan menggugurkan serasah secara merata. Pola penyebaran merata dan kerapatan pohon yang relatif tinggi menunjukan jatuhnya serasah dalam jumlah yang relatif besar. Pola penyebaran dan kerapatan pohon dapat tergambar pada struktur hutan seperti pada lokasi hutan bergelombang ringan seperti Sibolangit (Sinaga, 2015).

D. Dekomposisi Serasah

Dekomposisi merupakan proses penghancuran atau penguraian bahan organik mati yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika menjadi bahan- bahan mineral dan humus koloidal organik. Oleh karena itu, dekomposisi bahan organik juga sering disebut proses mineralisasi. Proses ini merupakan proses mikroba (dekomposer) dalam memperoleh energi bagi perkembangbiakannya.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi proses dekomposisi bahan organik dari sisi dekomposernya adalah suhu, kelembaban, salinitas, dan pH. Proses ini sangat besar peranannya dalam siklus energi dan rantai makanan pada ekosistem mangrove (Andrianto et al., 2015).

Proses dekomposisi ini sangat penting karena mengubah serat daun mangrove yang tidak dapat dicerna menjadi serat yang lebih mudah dicerna.

Serasah mangrove yang sudah membusuk kemudian akan dirobek, dicabik-cabik menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan dicerna oleh kepiting dan hewan invertebrata lainnya. potongan-potongan ini dikenal sebagi POM (particular Organic Matter). Setelah dicerna, terbentuk partikel organik yang lebih halus lagi dan kemudian dimanfaatkan oleh organisme penyaring makanan (filter feeder) (Silitonga, 2009).

(21)

Pada waktu awal-awal serasah jatuh kandungan hara dan senyawa organik yang mudah didekomposisi yang terkandung dalam serasah tersebut masih cukup tinggi. Sehingga organisme pengurai dapat menjadikan hara sebagai substrat atau makanan dan senyawa organik yang mudah didekomposisi diuraikan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil. Karena proses dekomposisi kandungan hara dan senyawa organik yang mudah untuk didekomposisi semakin menurun sehingga laju dekomposisi semakin menurun. Selain itu juga kerena banyak sedikitnya senyawa organik yang sulit untuk didekomposisi. Senyawa organik yang mudah untuk didekomposisi akan didekomposisi pada waktu awal dekomposisi. Semakin lama senyawa organik yang didekomposisi ini akan menurun jumlahnya dan proses dekomposisipun semakin melambat (Syaufina et al., 2011).

Serasah yang kaya unsur hara lebih cepat terdekomposisi daripada serasah yang mengandung sedikit unsur hara. Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai makanan detritus. Rantai makanan detritus (detritus food chain) berawal dari proses dekomposisi luruhan daun dan ranting mangrove (bahan organik yang telah mati) yang dipecah oleh mikroorganisme (bakteri dan fungi) menghasilkan detritus. Detritus kemudian dimakan oleh hewan pemakan detritus, kemudian dimakan predatornya. Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dan cacing polychaeta. Sumber utama detritus diperoleh dari guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan kemudian mengalami penguraian dan berubah menjadi partikel kecil yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan jamur dan menghasilkan detritus. Hancuran bahan organik (detritus)

(22)

ini menjadi bahan makanan penting (nutrien) bagi cacing, crustaceae, moluska dan hewan lainnya (Ramli, 2012).

Proses dekomposisi bahan organik secara alami akan berhenti bila faktor- faktor pembatasnya tidak tersedia atau telah dihabiskan dalam proses dekomposisi itu sendiri. Perlu diingat pula bahwa faktor lingkungan yang mendukung proses dekomposisi dalam kondisi yang terbatas dan bukan hanya dimanfaatkan oleh bakteri tetapi juga organisme lainnya. Persaingan atas carrying capacity baik berupa oksigen maupun bahan organik, menjadi faktor kendali dalam proses dekomposisi. Ketersediaan bahan organik yang berlimpah mungkin tidak berarti banyak dalam mendukung dekomposisi bila faktor lain seperti oksigen tersedia dalam kondisi terbatas. Kedua faktor ini terutama oksigen merupakan faktor kritis bagi dekomposisi aerobik (Raharjo, 2006)

E. Fungi Dekomposer Serasah

Fungi adalah mikroorganisme tidak berklorofil, berbentuk hifa atau sel tunggal, eukariotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, bereproduksi seksual dan aseksual. Dalam dunia kehidupan fungi merupakan kingdom tersendiri, karena cara mendapatkan makanannya berbeda dari organisme eukariotik lainnya, yaitu melalui absorpsi. Sebagian besar tubuh fungi terdiri atas benang-benang yang disebut hifa, yang saling berhubungan menjalin semacam jala, yaitu miselium. Miselium dapat dibedakan atas miselium vegetative yang berfungsi menyerap nutrient dari lingkungan, dan miselium fertile yang berfungsi dalam reproduksi (Gandjar, 1999).

Perkembangan fungi dapat secara generatif yaitu terjadi peleburan benang hypa yang berbeda muatan, dan secara vegetatif dengan pembentukan spora dan

(23)

tunas. Hidup pada tempat yang lembab, air sangat dibutuhkan untuk melarutkan bahan organik dan sebagai alat pengangkut makanan serta membantu alat difusi oksigen(Mulyani et al., 1996).

Perbedaan komposisi spesies fungi diamati dari bagian yang berbeda dari tanaman mangrove yang dipilih menunjukkan keanekaragaman jenis fungi di ekosistem mangrove. Komposisi spesies dan kelimpahan fungi tersebut dapat bervariasi secara musiman. Studi telah membuktikan bahwa ekosistem mangrove merupakan lingkungan yang ideal untuk isolat beragam komposisi fungi (Gilna, 2011).

Pada tingkat salinitas 20-30 ppt didapatkan jumlah jenis fungi yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt dan >30 ppt. Hal ini mungkin disebabkan karena bertambahnya tingkat salinitas menciptakan kondisi yang ekstrem bagi fungi sehingga hanya jenis-jenis fungi tertentu saja yang dapat bertahan hidup pada kondisi tersebut (Kurniawan, 2012).

Terdapat 16 jenis fungi yang berhasil di identifikasi yang berperan dalam proses dekomposisi pada serasah daun C. tagal di berbagai tingkat salinitas.

Adapun jenis-jenis fungi tersebut berasal dari genus Aspergillus,Trichoderma, Penicellium, Syncephalastrum (Ratna, 2016).

Pada tingkat salinitas 0-10 ppt, Aspergillus sp. 6 mempunyai jumlah koloni terbesar yaitu 6,15 x 10² cfu/ml dengan frekuensi kolonisasinya 50%.

Sedangkan jumlah koloni terkecil ialah Syncephalastrum sp. 3 dan jenis fungi tidak teridentifikasi 1 yaitu 0,05 x 10² cfu/ml dengan frekuensi kolonisasinya 16,6%. Dengan total jumlah koloni rata-rata sebesar 36,37 x 10² cfu/ml (Nahdilah, 2010).

(24)

III. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

A. Letak Kawasan

Desa Tanjung Rejo yang berada di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, adalah salah satu desa yang letaknya berada di wilayah pesisir pantai timur Sumatera. Luas wilayah Tanjung Rejo 19 Km², dengan jumlah penduduk 10.342 orang. Penduduk desa Tanjung Rejo rata-rata bekerja sebagai petani dan nelayan. Desa Tanjung Rejo sebagian besar wilayahnya adalah terdiri dari perairan pesisir dan laut, yang memiliki potensi besar di bidang perikanan, pariwisata, kawasan hutan mangrove dan sumberdaya alam lainnya. (Kecamatan Percut Sei Tuan Dalam Angka, BPS Deli Serdang 2015).

B. Kondisi Topografi dan Bentuk Wilayah

Topografi lahan baik lahan sawah maupun darat rata-rata datar dengan kemiringan kurang dari 5% dan berjenis alluvial, kondisi tanah di kecamatan Percut sei Tuan memiliki bentuk wilayah yang landai (dataran rendah) dengan ketinggian 0 – 20 mdpl. Secara teknis kondisi lahan tersebut dapat memberikan kemudahan bagi sektor perdagangan dan jasa perindustrian maupun pemukiman.

C. Kondisi Iklim dan Cuaca

Kondisi iklim yang terdapat di Kecamatan Percut Sei Tuan adalah iklim tropis dan memiliki musim hujan dan musim kemarau, cuaca suhu udara pada umumnya panas dan sedang. Sedangkan untuk curah hujan 2.330 mm/thn dengan bulan kering kurang dari 3 bulan dan digolongkan tipe D1 Oldemen, dan suhu udara adalah 27 ºC hingga 33 ºC dan kelembaban udara 75-80%.

(25)

D. Lokasi Penelitian

Tempat penelitian merupakan tambak kepiting tipe kao-kao seluas 1 ha dengan vegetasi mangrove. Jenis tanaman mangrove yang tumbuh dominan antara lain Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Acrosticum spp. Tingkat salinitas 0 - 10 ppt. Berikut gambar lokasi penelitian.

.

Gambar 1. lokasi penelitian Dekomposisi serasah R. stylosa

(26)

IV. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2016 sampai Mei 2017.

Pengambilan sampel serasah daun tumbuhan Rhizophora stylosa dilakukan di desa Tanjung Rejo, Kecamatam Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Sedangkan isolasi fungi dekomposer serasah dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah jaring penampung serasah daun (litter trap) berukuran 1×1 meter, kantung serasah,hand refractometer kantung kertas HVS folio, timbangan, pisau, oven pengering, plastik bening, tali rafia, alat tulis, kamera, cawan petri, gelas ukur, labu erlenmeyer, autoklaf, laminar air flow, mikroskop cahaya, kaca preparat, lampu bunsen, gunting, sprayer, dan komputer.

Bahan yang digunakan adalah serasah daun Rhizophora stylosa dari lokasi penelitian dengan salinitas 0-10 ppt, aquades, alkohol 75%, kapas, label kertas, aluminum foil, plastik clingwrap, lakban, antibakteri chloramfenicol, spiritus dan media Potatoes DextorseAgar (PDA).

C. Prosedur Penelitian C.1. Produksi Serasah

Jatuhan serasah daun mangrove dikumpulkan dengan menggunakan jaring penampung serasah yang ditempatkan di bawah pohon Rhizophora stylosa

(27)

sebanyak 3 buah.Serasah yang jatuh dan tertangkap pada ketiga jaring penampung ditimbang setiap 7 hari sekali untuk melihat produksi serasah perminggu.

C.2. Percobaan Laju Dekomposisi Serasah

Serasah ditimbang sebanyak masing-masing 50 gram kemudian dimasukkan ke dalam 8 buah kantung serasah dan diikat. Kantung-kantung tersebut kemudian diletakkan pada permukaan substrat mangrove dan diikatkan pada akar atau pangkal batang tumbuhan mangrove agar tidak terbawa arus pada saat pasang. Setiap 7 hari selama dua bulan percobaan, diambil 1 kantung.

Kemudian kantung dibersihkan dari lumpur menggunakan aquades atau air bersih dan dikeringkan menggunakan oven pengering 75ºC selama 1 × 24 jam kemudian ditimbang beratnya. Begitu selanjutnya untuk pengambilan kantung serasah minggu berikutnya sampai hari ke-56.

Analisis Data dekomposisi serasah

Pendugaan nilai laju dekomposisi serasah dilakukan menurut persamaan berikut:

𝑘𝑘 = 𝑙𝑙𝑛𝑛

𝑋𝑋𝑡𝑡/𝑋𝑋0𝑡𝑡

Keterangan:

Xt = Berat serasah setelah periode pengamatan ke-t (gr) X0 = Berat serasah awal (gr)

t = periode pengamatan (hr) k = Laju Dekomposisi (gr/hr) (Graca, 2005).

(28)

C.3. Perhitungan Berat Kepiting

Perhitungan kepiting dilakukan dengan mengihitung rata-rata berat kepting per ekor dalam 1 kilogram pada awal penebaran bibit kepiting dan pada masa panen.

C.4. Isolasi Fungi Perombak Serasah

Alat-alat yang akan digunakan terlebih dahulu disterilkan menggunakan oven dengan suhu ±80°C selama 3 jam. Media yang digunakan untuk biakan fungi yaitu media Potato DextroseAgar (PDA) serta ditambahkan antibiotik Cloramfenicol. Media tersebut dipanaskan kemudian disterilkan dengan menggunakan autoklaf.

Serasah daun yang diambil terlebih dahulu dibersihkan dari tanah yang menempel. Kemudian dipotong secara aseptik dengan pisau menjadi potongan- potongan berukuran kurang lebih 1 cm × 1 cm dan diletakkan langsung di atas permukaan agar PDA dalam cawan petri. Kemudian diinkubasi di dalam inkubator. Sesudah diinkubasi selama 2-7 hari pada suhu yang sesuai (28°C)., koloni-koloni jamur yang tumbuh terpisah atau tumbuh tunggal diamati, dan segera dipindahkan secara aseptik ke cawan petri yang lain dengan medium PDA (Gandjar et al., 1999).

1. Identifikasi jamur perombak serasah a. Identifikasi secara makroskopis

Masing-masing jenis fungi yang diperoleh, dikultur tunggal pada media PDA dan diidentifikasi secara makroskopis dengan mengamati warna spora, permukaan atas, permukaan bawah dan diameter koloni.

b. Identifikasi secara mikroskopis

(29)

Identifikasi dilakukan dengan pengamatan hifa, konidia, bentuk spora dan warna spora dilakukan dibawah mikroskop cahaya. Dari hasil pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis diidentifikasi dan dicocokkan dengan menggunakan buku identifikasi jamur (Gandjar et al., 1999).

2. Perhitungan populasi fungi

Sebanyak 10 gram sampel serasah Rhizophora stylosa dihaluskan dengan mortal dan alu secara aseptik. Lalu serasah yang telah dihaluskan disuspensikan dengan 90 ml aquades. Kemudian dilakukan pengenceran 10⁻¹ sam pai 10 ⁻ ³.

Satu milliliter dari masing-masing pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah berisi media PDA dengan metode agar sebar. Kemudian diinkubasi selama 5-8 hari. Fungi yang tumbuh dihitung jumlah koloni dengan rumus:

Jumlah total fungi = Jumlah koloni muncul x faktor pengenceran (Deni dan Delvian, 2011).

(30)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Produksi Serasah

Tanaman Rhizophora stylosa pada penelitian ini berumur sekitar 5 tahun dengan tinggi rata-rata 4 m, diameter rata-rata 4,3 cm dan populasi 9 individu/

500 m². Produksi serasah diambil pada bulan November sampai Januari. Produksi yang dihitung beratnya hanya daun. Mengacu pada hasil penelitian Rusrita et al., (2014) yang menyatakan bahwa baik pada pengamatan di daerah muara sungai maupun pesisir pantai,sumbangan serasah paling banyak berasal dari daun yaitulebih dari 80%.Secara lengkap produksi serasah Rhizophora stylosa disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Produksi serasah tiap gr/m²/7 hari.

Serasah daunRhizophora stylosayang tertangkap pada litter trap selama 8 minggu adalah 290,483 g/m²/7hari, sedangkan rata-ratanya adalah sebesar 36,310 g/m²/7hari. Hasil produksi tersebut lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Wahyuni dan Taqwa (2014) yang mendapatkan produksi serasah daun R.apiculata sebanyak 262 gram selama 3 bulan, yakni sebanyak 66 gram pada bulan April, 96 gram pada bulan Mei dan 100 gram pada bulan juni. Hal ini Waktu Pengamatan Bulan Produksi Serasah

(gram)

Minggu I November 40,00

Minggu II 21,66

Minggu III Desember 40,956

Minggu IV 29,621

Minggu V 39,897

Minggu VI 33,009

Minggu VII Januari 35,00

Minggu VIII 51,00

Total 290,483

Rata-rata 36,310

(31)

diduga karenajarak tanaman R. stylosa yang rapat pada daerah penelitian. Hal ini didukung hasil penelitian Rusrita et al., (2014) yang mengatakan bahwa Tingginya produksi serasah dipengaruhi kerapatan tanaman. Tanaman dengan kerapatan 10/100 m² lebih tinggi produksinya dibandingkan dengan kerapatan 9/100m² dan 5/100 m². Semakin tinggi kerapatan pohon, maka semakin tinggi pula produksi serasahnya, begitu juga sebaliknya.

Produksi serasah daun Rizophora Stylosa terbesar terdapat pada minggu VIII yaitu 51,00 gram pada bulan Januari. Produksi terendah adalah pada minggu II yaitu sebesar 21,66 gram pada bulan November. Hal ini sejalan dengan penelitian Zamroni (2008), yang mengatakan bahwa selama musim kemarau serasah meningkat pada bulan Januari-Maret, pada pertengahan musim hujan serasah meningkat di bulan Juli-Agustus, dan di akhir musim hujan serasah meningkat di bulan Nopember-Desember.

Besar-kecilnya produksi serasah dapat menentukan tingkat kesuburan suatu ekosistem mangrove, dimana serasah-serasah daun yang jatuh akan diuraikan oleh mikroorganisme dan makrobentos pengurai. Serasah daun yang terurai akan menyumbangkan nutrisi besar bagi suatu ekosistem mangrove.

Selanjutnya dijelaskan oleh Andy (2009) yangmengatakan bahwa guguran daun yang banyak akan menyebabkan banyaknya unsur hara di lokasi tersebut, sehingga membuat lokasi tempat Rhizophora itu dapat tumbuh dengan subur.

(32)

B. Dekomposisi Serasah

Dekomposisi serasah Rhizophora stylosa terjadi ditandai dengan adanya pengurangan bobot serasah setiap periode pengamatan. Nilai Dekomposisi dan bobot serasah yang tersisa setiap waktu pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Laju Dekomposisi dan Pengurangan Bobot Serasah Rhizophora stylosa

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa dekomposisi R. stylosa tergolong cepat. Hal tersebut mengacu pada Graca et al. (2005) yang menyatakan bahwa Laju dekomposisi lambat jika nilai k < 0.005 per hari (<1.8 per tahun), laju sedang jika k = 0.005 – 0.01 per hari (1.8 – 3.6 per tahun) dan laju cepat jika k >

0.01 per hari (> 3.6 per tahun). Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh tingkat salinitas yang rendah yaitu 0-10 ppt. Pada salinitas yang tinggi sedikit mikroorganisme dan makrobentos pengurai serasah yang dapat bertahan hidup.

Kurniawan (2012) menyatakan bahwa jumlah jenis fungi pada tingkat salinitas 0- 10 ppt dan 10-20 ppt lebih besar dibandingkan dengan tingkat salinitas 20-30 ppt dan >30 ppt selanjutnya dijelaskan Damanik (2010) bahwa salah satu respons mikroorganisme terhadap salinitas adalah tidak dapat bertoleransi dan akan mati pada kondisi salinitas tinggi.

Pengamatan Hari ke-

BA (gr)

Sisa serasah (gr)

Dekomposisi Serasah (gram/hari)

7 50 10,564 0,029

14 50 10,021 0,061

21 50 9,671 0,094

28 50 8,887 0,132

35 50 8,098 0,174

42 50 8,20 0,208

49 50 7,545 0,253

56 50 6,962 0,302

(33)

Dari Tabel 2 diketahui bahwa sisa serasah cenderung menurun, dimana sisa serasah di hari ke-7 adalah 10,564 gram dan sisa serasah di hari ke-56 adalah 6,962 gram, sementara laju dekomposisinya cenderung semakin meningkat yaitu dari 0,029 gram/hari di hari ke-7 dan mencapai 0,302 gram/hari di hari ke-56.Hal di atas menunjukkan bahwa laju dekomposisi serasah dapat dikatakan berbanding terbalik dengan serasah yang tersisa pada setiap waktu pengamatan, dapat dilihat pada (Gambar 2). Semakin banyak sisa serasah yang tertinggal, artinya dekomposisi serasah yang terjadi lambat. Sebaliknya, semakin sedikit sisa serasah yang tertinggal maka serasah yang terdekomposisi dapat dikatakan berlangsung singkat.

Gambar di bawah ini menunjukkan penurunan berat dan laju dekomposisi serasah daun R. stylosa setiap waktu pengamatan (Gambar 2.)

Gambar 2. Sisa serasah dan Dekomposisi serasah Rhizophora stylosa

Dari Gambar 2 terlihat bahwa pengurangan bobot terbesar terjadi pada pengamatan pertama di hari ke-7 yaitu dari 50 gram menjadi 10,564 gram. Sisa serasah pengamatan kedua di hari ke-14 adalah 10,021 gram. Perbedaan

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35

0 10 20 30 40 50 60

0 7 14 21 28 35 42 49 56

Waktu Pengamatan

Sisa Serasah

(34)

sisaserasah pada pengamatan pertama di hari ke-7 dan pengamatan kedua di hari ke-14 serta selanjutnya sangat berbeda. Penurunan sisa serasah pada awal pengamatan jauh lebih besar dibandingkan pengamatan selanjutnya. MenurutLeo (2017) Penguraian serasah daun di setiap minggunya berbeda, dimana penurunan berat serasah pada awalnya akan tinggi. Hal ini dimungkinkan karena pada serasah yang masih baru masih terdapat banyak persediaan unsur-unsur yang merupakan makanan bagi organisme pengurai, sehingga serasah cepat hancur.

Arief (2003) dalam kurniawan (2011) mengatakan bahwa unsur hara yang dikandung oleh daun-daun mangrove adalah karbon, nitrogen, fosfor, kalium, kalsium dan magnesium. Unsur tersebut semakin berkurang sampai hanya tinggal unsur yang tidak diperlukan oleh dekomposer.

Salah satu dekomposer pengurai tersebut adalah cacing. Pada hari ke-14 dan hari ke-28 ditemukan cacing pada kantung serasah (Lampiran 1). Cacing tersebut mempengaruhi peningkatan laju dekomposisi. Kurniawan (2011) menyatakan bahwa makrobentos termasuk salah satu dekomposer awal yang mencacah sisa-sisa daun yang kemudian dikeluarkankembali sebagai kotoran setelah itu dilanjutkan oleh bakteri dan fungi untuk menguraikan bahan organik.

Yahya (2014) mengatakan bahwa jumlah bakteri yang paling banyak ditemukan pada lingkungan dengan tingkat salinitas 10-20 ppt. Bakteri akan lebih mudah diisolasi dari bagian tanah dengan kedalaman tertentu. Nurrochman (2015) mengatakan, populasi bakteri paling banyak ditemukan pada tanah hutan mangrove dengan kedalaman 20 cm, sedangkan fungi dapat diisolasi dari serasah daun. Oleh karena itu dalam penelitian ini mikroorganisme dekomposer yang diisolasi adalah fungi.

(35)

C. Fungi Dekomposer C.1. Jenis Fungi Dekomposer

Dari hasil isolasi fungi perombak serasah daun Rhizophora stylosa didapatkan 8 jenis isolat fungi. Secara makroskopis dapat dilihat melalui pertumbuhan koloni fungi perombak serasah, sedangkan secara mikroskopis dapat diamati dengan bantuan mikroskop. Adapun jenis-jenis fungi tersebut adalah sebagai berikut.

Isolat 1

Secara makroskopis, koloni berbentuk bulat-bulat kecil seperti kolom yang semula berwarna putih, kemudian menjadi hijau kekuningan, selanjutnya dalam waktu 4 hari berubah menjadi warna coklat hingga hitam di hari ke 5-7. Secara mikroskopis, konidia berbentuk bulat dengan tonjolan-tonjolan yang meruncing.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Gandjar et al.,(1999) yang menyatakan bahwa Aspergillus sp ditandai dengan kepala konidia berwarna hitam, berbentuk bulat, dan cenderung merekah menjadi kolom-kolom pada koloni berumur tua. Konidia berbentuk bulat hingga semibulat, berwarna coklat, memiliki ornamentasi berupa tonjolan dan duri-duri yang tidak beraturan. Berdasarkan penjelasan tersebut, isolat 1 merupakan fungi Aspergillus sp 1. Gambar 3 di bawah merupakan bentuk makroskopis dan bentuk mikroskopis fungi Aspergillus sp 1.

Gambar 3. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Aspergillus sp 1 yang diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa.

A B

(36)

Isolat 2

Secara makroskopis koloni yang mula-mula berwarna hijau kekuningan dengan bagian dasar berwarna putih ini menjadi hitam dalam 7-10 hari. Koloni memenuhi cawan, diameter koloni dapat mencapai 5 cm dalam waktu 7 hari.

Secara mikroskopis, ditandai dengan konidiofor yang halus. Hal ini sesuai pernyataan Gandjar et al.,(1999) yang mengatakan bahwa koloni Aspergillus sp terdiri dari suatu lapisan basal yang kompak berwarna putih hingga kuning dan suatu lapisan konidiofor yang lebat berwarna coklat tua hingga hitam.

Berdasarkan penjelasan tersebut, disimpulkan bahwa isolat 2 merupakan fungi Aspergillus sp 2. Secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 4 yang merupakan bentuk makroskopis dan bentuk mikroskopis dari fungi Aspergillus sp 2.

Gambar 4. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Aspergillus sp 2 yang diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa.

Isolat 3

Secara makroskopis ditandai dengan koloni yang berwarna coklat dan menyebar. Secara mikroskopis, Konidia cenderung berbentuk elips. Mengacu pada Gandjaret al., (1999) menyatakan bahwa koloni Aspergillus sp terdiri dari suatu lapisan padat yang terbentuk oleh konidiofor berwarna coklat kekuningan yang makin gelap dengan bertambahnya umur koloni. Berdasarkan penjelasan tersebut isolat ini merupakan fungi jenis Aspergillus sp 3. Secara lengkap dapat

A B

(37)

dilihat pada Gambar 5yang merupakan bentuk makroskopis dan bentuk mikroskopis fungi Aspergillus sp 3.

Gambar 5. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Aspergillus sp 3 yang diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa.

Isolat 4

Secara makroskopis, isolat ini berbentuk seperti kapas putih dan abu kecoklatan hingga hitam di bagian tengah. Pertumbuhannya agak lambat.

Diameter 1-2 cm dalam waktu 3-5 hari. Pengamatan mikroskopis, isolat memiliki sporangiofor dan pada bagian bawah berbentuk seperti akar, mengacu pada Dwidjoseputro (1978) yang menyatakan bahwa semula Rhizophus sp tampak seperti sekelompok kapas. Miselium Rhizophus terbagi-bagi atas stolon, yang menghasilkan alat-alat seperti akar (Rhizoid) dan sporangiofor. Sesuai dengan penjelasan-penjelasan tersebut maka isolat ini merupakan Rhizophus sp 1. Gambar 6merupakan bentuk makroskopis dan bentuk mikroskopis fungi Rhizophus sp 1.

Gambar 6. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Rhizophus sp 1yang diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa.

A B

A B

(38)

Isolat 5

Jika diamati secara makroskopis, koloni isolat ini berwarna putih dan menyebar. Pertumbuhannya agak lama. Jika diamati secara mikroskopis, isolat ini memiliki sporangia. Sporangiofornya bercabang dan terdapat rhizoid-rhizoid. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gandjar et al., (1999) yang menyatakan bahwa rhizoid Rhizopus sp memiliki warna kecoklatan, bercabang berlawanan arah dengan sporangiofornya, sporangiofor dapat tunggal atau berkelompok hingga 5, kadang-kadang membentuk struktur seperti percabangan garpu. Maka sesuai dengan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa isolat 5 adalah fungi jenis Rhizopus sp 2. Gambar 7merupakan bentuk makroskopis dan bentuk mikroskopis fungi Rhizophus sp 2.

Gambar 7. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Rhizophus sp 2 yang diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa.

Isolat 6

Secara makroskopis, koloni isolat ini berwarna hijau kecoklatan dan bentuknya seperti beludru. Secara mikroskopis, konidianya berbentuk seperti rantai radiate yang memanjang. Mengacu pada buku Gandjaret al., (1999) yang mengatakan bahwa koloni Penicillium sp memiliki permukaan seperti beludru walaupun kadang-kadang seperti kapas dan berwarna kuning sampai hijau

A B

(39)

kecoklatan, sedangkan menurut Kurnia (2011) konidiofor Penicillium sp memiliki panjang 5-50 µm. Konidia radiate dengan panjang rantai 80 µm. Maka sesuai literatur tersebut, dapat disimpulkan bahwa isolat 6 merupakan fungi jenis Penicillium sp. Secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 8 yang merupakan bentuk makroskopis dan bentuk mikroskopis fungi Penicillium sp.

Gambar 8. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Penicillium sp yang diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa.

Isolat 7

Secara makroskopis, awalnya koloni berwarna putih kemudian menjadi abu-abu, dan berubah menjadi coklat. Secara mikriskopis, kepala sporangia berbentuk globe (menbulat). Terdapat seperti rhizoid tempat tumbuh dan percabangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gilman (1957) yang menyatakan bahwa koloni Syncephalastrum sp. pada awalnya putih, kemudian abu-abu.

Konidiopornya kuat, pada awalnya tidak bercabang, kemudian bercabang lateral yang melengkung. Terhubung dengan rhizoid pendek yang menjadi tempat tumbuh. Sesuai penjelasan tersebut, isolat 7 merupakan Syncephalastrum sp.

Secara lengkap dapat dilihat Gambar 9 yang merupakan bentuk makroskopis dan bentuk mikroskopis fungi Penicillium sp.

A B

(40)

Gambar 9. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Syncephalastrum sp yang diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa.

Isolat 8

Secara makroskopis, Koloni berwarna putih seperti kapas dan menyebar.

Secara mikroskopis, konidia berukuran makro yang memanjang. Mengacu pada literatur Gandjar (1999) yang menyatakan bahwa Fusarium sp memiliki miselia seperti kapas, kemudian menjadi seperti beludru. Makrokonidia bersepta berbentuk hampir seperti sabit, agak lurus, sampai sedikit membengkok.

Berdasarkan penjeasan-penjelasan tersebut, isolat 8 dapat dikatakan adalah Fusarium sp. Gambar 10 merupakan bentuk makroskopis dan bentuk mikroskopis fungi Fusarium sp.

Gambar 10. Bentuk makroskopis (A) dan mikroskopis (B) Fusarium sp yang diisolasi dari serasah daun Rhizophora stylosa.

A B

A B

(41)

Berdasarkan isolat yang berhasil diamati, diperoleh fungi dekomposer sebanyak 8 jenis. Adapun jenis-jenis fungi tersebut berasal dari genus Aspergillus, Rhizopus, Penicillium, Syncephalastrum, dan fusarium. Dibandingkan dengan penelitian Ratna (2016) mengenai Keanekaragaman Jenis Fungi Pada ProsesDekomposisi Serasah Ceriops Tagal di BerbagaiTingkat Salinitas di Kampung NipahSei Nagalawan Sumatera Utara, terdapat 5 genus fungi dekomposer yang diisolasi dari daun Ceriops tagal yaitu Aspergillus sp 1, Aspergillus sp 2, Aspergillus sp 3, Aspergillus sp 4, Aspergillus sp 5, Aspergillus sp 6, Aspergillus sp 7, Aspergillus sp 8, Aspergillus sp 9, Syncephalastrum sp 1, Syncephalastrum sp 2, Syncephalastrum sp 3, Syncephalastrum sp 4, Tricodherma sp dan Penicillium sp.

Pada serasah R. stylosa, jenisfungi dekomposer dari genus Aspergillus merupakan yang terbanyak yaitu sebanyak 3 jenis. Melalui pengamatan, Aspergillus adalah jenis fungi yang paling mudah tumbuh pada cawan. Hal ini sesuai pernyataan Gandjar (1999) yang menyatakan bahwa fungi Aspergillus merupakan fungi yang bersifatkosmopolit di daerah tropis dan subtropis, dan mudah diisolasi dari tanah, udara, air, serta serasah dedaunan.

Jenis fungi terbanyak kedua adalah Rhizopus sp, Soeroyo (1992) mengatakan bahwa jenis-jenis Rhizopus dari Sonneratia membiarkan sedikit garam-garam memasuki sistem perakaran mereka melalui akar sebab garam- garam yang memasuki sangat kecil diekskresikan dan kelebihan garam mungkin dihubungkan dengan penyimpanan dalam daun.

Jenis Penicillium didapatkan satu jenis. Gandjar (1999) mengatakan bahwa Spesies ini kosmopolitan, dan umum terdapat di daerah tropis. Spesies ini mudah

(42)

diisolasi dari udara, serelia, rempah-rempah, serasah, sayuran, pulp dan kertas.

Jenis fungi selanjutnya adalah Syncephalastrum sp. Penelitian Ratna (2016) melaporkan bahawa pada tingkat salinitas 21-30 ppt koloni tertinggi adalah Syncephalastrum sp. Ini menunjukkan jenis fungi ini mampu bersaing dengan jenis fungi lain yang bersifat kosmopolit dalam dekomposisi serasah. Jenis terakhir adalah Fusarium sp. Gandjar (1999) mengatakan bahwa Fusarium sp umumnya hanya terdapat pada bagian tumbuhan yang sudah mati.

C.2. Jumlah Total Fungi

Perhitungan total fungi dengan metode pengenceran sampai 10⁻³ m asing - masing dilakukan dua ulangan menghasilkan jumlah koloni rata-rata fungi sebanyak 32,81 cfu/ml. Sementara jumlah total rata-rata adalah 5,99 x 10³ cfu/ml.

Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Jumlah Total Fungi Rhizophora stylosa Ulangan Jumlah Total Fungi

(10³ cfu/ml)

R. Stylosa 1 7,44

R. Stylosa 2 4,55

Cfu: Coloni Forming Unit

Berdasarkan Tabel 3, ditemukan jumlah total rata-rata fungi sebesar 7,44 x 10³ cfu/ml pada cawan 1 dan 4,55 x10³ cfu/ml pada cawan 2. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitianKurniawan (2012) yang menemukan Populasi fungi tertinggi pada tingkat salinitas >30 ppt yaitu sebesar 17,16 x 10²cfu/ml. Jumlah tersebut dipengaruhi oleh aliran sungai dimana propagul fungi berupa spora, hifa ataupun konidia tercuci dan terbawa oleh aliran sungai menuju ke laut sehingga sewaktu terjadinya pasang air laut, banyak propagul fungi yang terbawa ke lokasi penelitian dan menempel pada serasah

(43)

daun A. marina serta terlibat dalam proses dekomposisi serasah pada tingkat salinitas >30 ppt, sementara total fungi yang diperoleh dari R. stylosa pada salinitas 0-10 ppt jauh dari aliran sungai dan pantai sehingga jumlah total fungi lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa populasi pada ekosistem mangrove dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang dibutuhkan fungi untuk bertahan hidup.

Tingginya jumlah total fungi yang berperan dalam dekomposisi serasah, menunjukkan bahwa pertumbuhan ternak (kepiting) pada tambak yang bervegetasi tanaman mangrove dengan lumpur lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan tambak yang tidak bervegetasi. Berdasarkan pengamatan, pada lahan tambak bervegetasi mangrove berat bibit kepiting pada awal penebaran

±57,62 gr/ekor dan dapat mencapai ±500 gr/ekor dalam waktu 2,5 bulan. Hal ini dikarenakan ternak kepiting mendapatkan tambahan pakan alami dari serasah tanaman mangrove. Dimana mikroorganisme akan menguraikan serasah yang menjadi nutrisi bagi tanaman sehingga pakan tambahan bagi ternak pada tambak terpenuhi. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Budi (2011) yang menyatakan bahwa serasah dari tanaman mangrove yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, kemudian didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti bivalva, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting.

(44)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Laju dekomposisi serasah Rhizophora stylosapada tingkat salinitas 0-10 ppt tergolong cepat dengan nilai dekomposisi >0,005 gram/hari.

2. Terdapat 8 jenis fungi yang berhasil di identifikasi yang berperan dalam proses dekomposisi pada serasah daun Rhizophora stylosa pada tingkat salinitas 0-10 ppt. Adapun jenis-jenis tersebut berasal dari genus Aspergillus, Rhizopus, Penicillium, syncephalastrum dan fusarium.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang perbandingan dekomposisi serasah dari daun bergenus Rhizophora lainnya dengan tingkat salinitas yang berbeda.

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, F., Bintoro, A., dan Budi, S.Y. 2015. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove Di Desa Durian Dan Desa Batu Menyan Kecamatan Padang Cermin Kecamatan Pesawaran. Jurnal Sylva lestari 3 (4) : 9-20.

Andy, W. A. 2010. Produksi serasah (guguran daun) pada berbagai jenis mangrove di bangkalan. Jurnal kelautan. 3 (1).

Balai Taman Nasional Alas Purwo. 2011. Seri Buku Informasi dan Potensi Mangrove Taman Nasional Alas Purwo. Banyuwangi.

Basyuni. M. 2000. Evaluasi Penerapan Sistem Silvikultur Pohon Induk Pada Hutan Mangrove (studi Kasus di HPH PT. Bina Lestari, Riau). [Thesis].

USU Repository. Medan.

BPS. 2015. Percut Sei Tuan dalam Angka 2015. BPS: Deli Serdang

Budi. R. H. 2011. Penerapan Wanamina (silvofishery) Berwawasan Lingkungan DI Pantai Utara Kota Semarang. Jurnal Lingkunga Tropis 5 (1) : 11-19.

Deni dan Delvian. 2011. Penuntun Praktikum Biologi Tanah. Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Dwidjoseputro. 1978. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.

Fitriani, F. 2016. Produksi dan dekomposisi serasah daun mangrove rhizophora stylosa di desa pulau sembilan kecamatan pangkalan susu kabupaten langkat sumatera utara. [Skripsi]. Program Studi Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera utara. Medan.

Gandjar, I., R. A. Samson, K. van den Tweel Vermeulen, A. Oetari, dan I.

Santoso. 1999. Pengenalan kapang tropik umum. Yayasan Obor Indonesia.

Jakarta.

Gilna. V. V. 2011. Diversity Of Fungi In Mangrove Ecosystem. Journal of Experimental Sciences 2 (2) : 47-48.

Gilman, J. C. 1957. A Manual of Soil Fungi. The Loa State University Press.

USA.

Ginting, Y. 2014. Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan NDVI dan Kriteria Baku Di Kawasan Hutan Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. [Skripsi]. Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian USU. Medan

Graca, M. A. S., Barlocher. F., Gessner, M. O, Editor. 2005. Methods to Study Litter Decomposition a Practical Guide. Springer. New York.

(46)

Herlina, R. S., Khairijon., dan Fatonah, S. 2014. Produksi Serasah Berdasarkan Zonasi Di Kawasan Mangrove Bandar Bakau, Dumai-Riau. JOM FMIPA 1 (2).

Hermawan, A. S. 2013. Struktur Komunitas Mangrove Di Sekitar Jembatan Suramadu Sisi Surabaya. Bioscientiae. 10 (1): 1-10.

Jamili, D. Setiadi., I. Qayim., E. Guhardja. 2009. Struktur dan komposisi mangrove di pulau kaledupa taman nasional wakatobi, sulawesi tenggara.

Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 14 (4): 36-45.

Kurniawan, F. 2012. Keanekaragaman Jenis Fungi Pada Serasah Daun Avicennia Marina Yang Mengalami Dekomposisi Pada Berbagai Tingkat Salinitas.

Edu-Bio; Vol. 3.

Leo, F. D. 2017. Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea Balangeran (Korth.)Burck Dan Hopea Bancana (Boerl.) Van Slooten Di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Mulyani, M.S., Karrtasapoetra. A.G., Saatroatmojo. R.D.S. 1996. Mikrobiologi tanah. Rineka cipta. Jakarta.

Nahdilah, A. S. 2016. Keanekaragaman Fungi Pada Serasah Daun Bruguiera Cylindrica Yang Mengalami Proses Dekomposisi Pada Berbagai Tingkat Salinitas Di Kampung Nypa, Desa Sei Nagalawan, Sumatera Utara.

[Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Naibaho, R.F. 2015. Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia Marina Dan Kontribusinya Terhadap Nutrisi di Perairan Pantai Serambi Deli Kecamatan Pantai Labu. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian USU. Medan.

Noor, Y. R., M. Khazali., dan I N. N. Suryadiputra. 2012. Panduan pengenalan mangrove di Indonesia. Ditjen PHKA/ WI-IP. Bogor.

Nurrochman, F. 2015. Eksplorasi Bakteri Selulotitik dari Tanah Huutan Mangrove Baros Kretek Bantul Yogyakarta. [Skripsi]. Program Stydi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Raharjo, R. 2006. Studi Terhadap Produktivitas Serasah, dekomposisi serasah, air tembus aliran batang serta leaching pada beberapa kerapatan tegakan pinus (Pinus merkusii), di blok cimenyan, hutan pendidikan gunung walat, sukabumi. [Skripsi]. Program studi budidaya hutan, fakultas kehutanan, institut petanian bogor.

Ramli, M. 2012. Kontribusi Ekosistem Mangrove Sebagai Pemasok Makanan Ikan Belanak (Liza Subviridis) di Perairan Pantai Utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. [Disertasi] Sekolah Pascasarjana Institut Teknologi Pertanian Bogor. Bogor.

(47)

Ratna, S. Keanekaragaman Jenis Fungi Pada Proses Dekomposisi Serasah Ceriops tagal di Berbagai Tingkat Salinitas di Kampung Nipah Sei Nagalawan Sumatera Utara. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Rusrita, G. A., Wardianto. Y., Fahrudin. A., dan Mukhlis, M. K. 2014. Produksi Serasah Mangrove di Pesisir Tangerang, Banten (Litterfall Production of Mangrove in Tangerang Coastal Area, Banten). Jurnal ilmu pertanian indonesia (JIPI). 19 (2) : 91-97.

Silitonga, E. L. 2009. Jenis-jenis fungi yang terdapat pada serasah daun Rhizophora mucronata yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas. [Skripsi]. Departemen Kehutanan, fakultas pertanian, universitas sumatera utara.

Sinaga. T. 2015. Study Productivity And Decomposition Litterfall In Sibolangit Forest, Deli Serdang To Support Field Trip Plantation Ecology. Jurnal Biosains 01: (03)

Siregar, Y. 2010. Pertumbuhan Bibit Bakau (Rhizophora Stylosa Griff) Pada Beberapa Jenis Media Tanam. [Skripsi]. Departemen Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Soeroyo. 1992. Sifat, Fungsi dan Peranan Hutan Mangrove. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta.

Syam, Z. 2014. Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak Silvofishery di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian USU. Medan.

Syaufina, L., Wijayanto N., Istomo., dan Nafia K. 2011. Potensi Jarak Pagar (Jathropa curcas Linn) Sebagai Sekat Bakar Ditinjau Dari Kecepatan Dekomposisi. Deparrtemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Jurnal Silvikultur Tropika 02 (01): 1-4

Wahyuni. Y., dan Taqwa Amrullah. 2014. Analisis Produksi Serasah Rhizophora Apiculata Dan Sonneratia Alba Di Kawasan Konservasi Mangrove Dan Bekantan Kota Tarakan.Jurnal Harpodon Borneo 7 (1).

Wijayanti, T. 2009. Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Wisata Pendidikan.

Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan 1 (16).

Yunasfi dan Suryanto, D. 2008. Jenis-jenis Fungi yang Terlibat Dalam Proses Dekomposisi Serasah Daun Avicennia Marina Pada Berbagai Tingkat Salinitas. Jurnal Penelitian MIPA 2 (1).

Zamroni. Y., dan Suzi, I. R. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Jurnal Biodiversitas 9 (4) : 284-287.

(48)

LAMPIRAN

(49)

Lampiran 1. Sisa SerasahRhizophora stylosa yang telah terdekomposisi dari hari ke-7 sampai hari ke-56.

H7 H14

H21 H28

H35 H42

H49 H56

(50)

Lampiran 2. Perhitungan Laju Dekomposisi Metode Olson:

X₀ /Xt = 𝑒𝑒−𝑘𝑘𝑡𝑡 𝒌𝒌 = 𝒍𝒍𝒍𝒍𝑿𝑿𝑿𝑿

𝑿𝑿𝟎𝟎 ∶ 𝐭𝐭 Keterangan :

Xt : Berat serasah setelah periode pengamatan ke-t X₀ : Berat serasah awal

e : Bilangan logaritma (2,72) t : periode pengamatan k : Laju dekomposisi

1. X₀ = 50 Xt = 10,564

t =

𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑡𝑡𝑎𝑎𝑢𝑢𝑛𝑛 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑙𝑙𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑛𝑛𝑎𝑎𝑒𝑒𝑘𝑘𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑛𝑛

𝑡𝑡 =3657 = 52,14

10,564

50

= 𝑒𝑒

−𝑘𝑘𝑡𝑡

−𝑘𝑘𝑡𝑡 = ln

10,56450

-52,14k = ln 0,21128 -52,14k = -1,55471011 k = 0,029

2. X₀ = 50 Xt = 10,021

t =

𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑡𝑡𝑎𝑎𝑢𝑢𝑛𝑛 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑙𝑙𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑛𝑛𝑎𝑎𝑒𝑒𝑘𝑘𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑛𝑛

𝑡𝑡 =

36514

= 26,07

10,021

50

= 𝑒𝑒

−𝑘𝑘𝑡𝑡

−𝑘𝑘𝑡𝑡 = ln

10,02150

-26,07k = ln 0,20042 -26,07k = -1,6073401144 k = 0,061

(51)

Lampiran 2. Lanjutan 3. X₀ = 50

Xt = 9,671

t =

𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑡𝑡𝑎𝑎𝑢𝑢𝑛𝑛 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑙𝑙𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑛𝑛𝑎𝑎𝑒𝑒𝑘𝑘𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑛𝑛

𝑡𝑡 =

36521

= 17,38

9,671

50

= 𝑒𝑒

−𝑘𝑘𝑡𝑡

−𝑘𝑘𝑡𝑡 = ln

9,67150

-17,38k = ln 0,19342 -17,38k = -1,6428912887

k = 0,094 4. X₀ = 50

Xt = 8,887

t =

𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑡𝑡𝑎𝑎𝑢𝑢𝑛𝑛 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑙𝑙𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑛𝑛𝑎𝑎𝑒𝑒𝑘𝑘𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑛𝑛

𝑡𝑡 =

36528

= 13,03

8,887

50

= 𝑒𝑒

−𝑘𝑘𝑡𝑡

−𝑘𝑘𝑡𝑡 = ln

8,88750

13,03k = ln 0,17774 -13,03k = -1,7274334707

k = 0,132 5. X₀ = 50

Xt = 8,098

t =

𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑡𝑡𝑎𝑎𝑢𝑢𝑛𝑛 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑙𝑙𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑛𝑛𝑎𝑎𝑒𝑒𝑘𝑘𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑛𝑛

𝑡𝑡 =

36535

= 10,42

8,098

50

= 𝑒𝑒

−𝑘𝑘𝑡𝑡

−𝑘𝑘𝑡𝑡 = ln

8,09850

-10,42k = ln 0,16196 -10,42k = -1,8204058878 K = 0,174

(52)

Lampiran 2. lanjutan 6. X₀ = 50

Xt = 8,20

t =

𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑡𝑡𝑎𝑎𝑢𝑢𝑛𝑛 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑙𝑙𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑛𝑛𝑎𝑎𝑒𝑒𝑘𝑘𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑛𝑛

𝑡𝑡 =

36542

= 8,69

8,20

50

= 𝑒𝑒

−𝑘𝑘𝑡𝑡

−𝑘𝑘𝑡𝑡 = ln

8,2050

-8,69k = ln 0,164

-8,69k = -1,8078888512 k = 0,208

7. X₀ = 50 Xt = 7,545

t =

𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑡𝑡𝑎𝑎𝑢𝑢𝑛𝑛 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑙𝑙𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑛𝑛𝑎𝑎𝑒𝑒𝑘𝑘𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑛𝑛

𝑡𝑡 =

36549

= 7,44

7,545

50

= 𝑒𝑒

−𝑘𝑘𝑡𝑡

−𝑘𝑘𝑡𝑡 = ln

7,54550

-7,44k = ln 0,1509 -7,44k = -1,8911379132

K = 0,253

8. X₀ = 50 Xt = 6,962

t =

𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑡𝑡𝑎𝑎𝑢𝑢𝑛𝑛 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑙𝑙𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑒𝑒𝑛𝑛𝑎𝑎𝑒𝑒𝑘𝑘𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑛𝑛

𝑡𝑡 =

36556

= 6,51

6,962

50

= 𝑒𝑒

−𝑘𝑘𝑡𝑡

−𝑘𝑘𝑡𝑡 = ln

6,96250

-6,51k = ln 0,13924 -6,51k = -1,971556216

(53)

k = 0,302

Referensi

Dokumen terkait

bagian dari pada Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang merupakan unsur pelayanan dan unsur pendukung terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi DPRD Kota

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan fisik dan perilaku dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas

The Rainforest Alliance works to conserve biodiversity and ensure sustainable livelihoods by transforming land-use practices, business practices and consumer behavior. The

Hal ini berarti semakin baik price consciousness tidak mempengaruhi purchase intention Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kristanto

Desain penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan menggunakan desain Cross-Sectional dengan total sampel 44 responden yang bekerja di Bank BRI Unit Pasar

Tujuan dilaksanakannya praktikum Geodesi dan Kartografi Hutan adalah untuk melaksanakan pengukuran poligon dengan prosedur yang lengkap, yang terdiri

Dosen yang tidak terpilih dalam Pemilihan Pembantu Rektor. Bahwa b a r aksi mogok makan tersebut dilakukan di Loby Kantor.. aektorat U W, dan datang sekelompok mahasiswa

Transformasi base64 merupakan salah satu algoritma untuk Encoding dan Decoding suatu data ke dalam format ASCII, yang didasarkan pada bilangan dasar 64 atau bisa dikatakan sebagai