KURIKULUM MUATAN LOKAL
Peran dan Pemanfaatan Potensi
Sosial-Budaya, Ekonomi dan Ekologi Lokal bagi Upaya Pembinaan dan Pengembangan
Kurikulum Muatan Lokal Universitas di Daerah
Disampaikan pada Seminar Kurikulum Muatan Lokal di Universitas Nusa Cendana, Kupang, 27 Mei 1998
UATAN Lokal yang tadinya baru berlaku di tingkat pendidikan dasar dan menengah, sekarang dinaikkan lagi ke tingkat pendidikan tinggi, sehingga di samping Muatan Nasional yang sama untuk seluruh Indonesia, juga dikenal Muatan Lokal yang dapat dirancang dan diberlakukan secara otonom oleh masing-masing universitas dan perguruan tinggi di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Inti dari kurikulum Muatan Lokal ini adalah seperti yang termuat dalam KepMen-Depdikbud No. 056/U /1994, Bab IV Fasal 9 Ayat 2, yang mengatakan bahwa “Kurikulum Lokal” ialah “sejumlah bahan kajian dan pelajaran yang ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi, dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan lingkungan serta ciri khas perguruan tinggi bersangkutan.” Sementara “Kurikulum Inti,” seperti pada Ayat 1 dikatakan, ialah “kelompok bahan kajian dan pelajaran yang harus
M
▸ Baca selengkapnya: rpp muatan lokal sd kurikulum 2013
(2)dicakup dalam suatu program studi yang dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku secara nasional.”
Arahan yang kelihatannya jelas dan sederhana ini, di tingkat pelaksanaan di daerah dan di perguruan tinggi masing-masing ternyata tidaklah sejelas dan sesederhana itu. Banyak dari pimpinan fakultas dan jurusan serta para dosen yang tidak bisa membedakan mana yang inti dan mana yang lokal itu, kecuali bahwa kelompok mata kuliah MKU dan MKDK memang adalah kurikulum inti yang berlaku secara nasional, di samping sejumlah MKK pada jurusan dan program studi masing-masing yang juga berlaku secara nasional. Dari hanya melihat Buku Pedoman dari universitas dan perguruan tinggi bersangkutan masing-masing, dan dari susunan mk-mk yang ditawarkan, tidak segera bisa terlihat, sampai sejauh mana kearifan lokal itu telah diterapkan.
Dari pemantauan yang saya lakukan di lapangan, kekaburan dan bahkan kesimpang-siuran ini bermula dari pengertian yang diberikan kepada kata “lokal” itu. Tumpang tindih terjadi antara kata “lokal” yang berarti perguruan tinggi bersangkutan itu sendiri yang memiliki wewenang untuk merancang dan melaksanakan kurikulum bersangkutan, dan kata “lokal” yang merujuk kepada ungkapan “keadaan dan kebutuhan lingkungan serta ciri khas perguruan tinggi bersangkutan.” Dengan kata “lokal” yang pertama, bukan saja bahwa mereka telah merancang dan melaksanakan sendiri mk-mk bersangkutan sesuai dengan ciri khas jurusan dan program studi masing-masing, tetapi juga bahwa kata “lokal” itu diartikan berupa mk-mk penunjang yang ditambahkan atau disisipkan kepada mk-mk MKK yang ada bagi memperkuat ciri khas jurusan dan program studi bersangkutan. Sementara kata
“lokal” yang kedua, yaitu yang berupa kearifan dan sensitivitas terhadap lingkungan sosial-budaya dan ekologi setempat sering terabaikan.
*
Dilema maupun distorsi terhadap kearifan dan kesensitifan sosial-budaya dan ekologi lokal itu sebenarnya sudah bermula sejak dari zaman kolonial dahulu, di mana sistem pendidikan yang berorientasi nasional itu lebih diarahkan kepada dunia luar, khususnya ke pusat-pusat pengaruh dan kekuasaan, ketimbang kebutuhan ke dalam sendiri dari daerah masing-masing. Akibatnya, misalnya, murid-murid sekolah di zaman Belanda dahulu lebih mengenal ilmu bumi negeri Belanda sampai ke detailnya, daripada mengenal ilmu bumi tanah airnya sendiri. Begitu juga dengan bahasa, adat-istiadat, agama, dan sosial-budaya, di samping lingkungan alamnya, yang lebih berorientasi keluar, daripada hal yang sama dari daerah tempat mereka lahir dan dibesarkan sendiri.
Dilema dan distorsi ini kelihatannya bahkan berlanjut sampai sekarang, di mana juga bahagian terbesar dari buku-buku teks yang terpakai di hampir semua program studi dan disiplin ilmu di perguruan tinggi di Indonesia ini adalah buku-buku terjemahan dari bahasa asing, khususnya Bahasa Inggeris, dengan kasus-kasus negeri asalnya, khususnya Amerika. Untuk hal-hal yang bersifat nasional, karena pusat pengaruh dan kekuasaan itu berada di Jawa, maka rata-rata pelajar dan mahasiswa di Indonesia ini lebih mengenal keadaan di Jawa, daripada daerah asalnya sendiri, sementara kasus-kasus di Jawa diangkatkan seolah-olah menggambarkan keadaan di Indonesia seluruhnya.
Dampak sepihak dari kultur pusat pengaruh yang lebih dominan ini bahkan juga berlanjut kepada patronase budaya di hampir semua bidang kehidupan, sehingga bisa saja terjadi, penanaman padi dan makan nasi lebih digalakkan di daerah kering seperti di NTT ini daripada penanaman jagung yang tadinya berupa makanan pokok daerah ini -- hanya karena padi yang ditanam dan nasi yang dimakan di Jawa. Juga, sapi Bali yang memerlukan
rumput hijau dan air yang banyak dikembangkan di bumi Nusa Cendana yang lebih kering dan gersang ini, dan bukan sapi lokal ataupun sapi Australia yang hidup dengan ekologi yang hampir bersama-an, yang bisa dan biasa makan rumput kering serta tahan akan iklim dan ekologi lokal itu.
*
Kecenderungan yang selama ini lebih berorientasi ke luar ini telah menyebabkan rata-rata para dosen yang walaupun dilahirkan dan dibesarkan di daerah bersangkutan masing-masing tetapi rata- rata naïve dan nyaris tidak mengenal ekologi dan sosial-budaya lokal secara akademik. Pengetahuan mereka tentang ekologi dan sosial-budaya lokal itu rata-rata hanya sebatas pengetahuan empiris non-akademik yang didapatkan karena kebetulan lahir dan dibesarkan di daerah itu, dan meminum air budayanya. Tinjauan mereka lebih besifat normatif dan indoktriner daripada obyektif- ilmiah. Untuk studi-studi yang berkaitan dengan keadaan daerah atau Nusantara ini orang bahkan harus pergi ke Cornell atau Leiden, atau sekurangnya ke Jakarta.
Kendala lain dalam memasukkan ataupun menyisipkan kurikulum muatan lokal itu adalah juga ketidak mampuan dalam mengajarkan muatan lokal itu sendiri, baik yang sifatnya ekologik maupun dan apalagi yang sosial-budaya itu. Untuk mengenal ciri- ciri ekologi dan sosial-budaya dari daerah bersangkutan, dosen dari berbagai disiplin ilmu dan program studi, bagaimanapun, harus tahu, yang jika perlu harus belajar kembali tentang ciri-ciri ekologi dan sosial-budaya dari daerah bersangkutan, yang sering berarti harus mengenal berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan itu.
Kendala ini diperburuk lagi oleh tiadanya atau sedikitnya bahan-bahan literatur yang berkaitan dengan keadaan ekologi dan sosial-budaya lokal itu sendiri. Jikapun ada, biasanya juga ditulis oleh penulis asing di masa yang sudah jauh ke belakang, sehingga
gambaran yang ada sekarang bisa sudah jauh berbeda dengan apa yang ditulis itu. Belum lagi kondisi obyektif dari budaya-budaya lokal itu sendiri, yang bukan saja telah banyak yang arkaik dan lapuk dimakan masa, dalam arti, banyak yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman, tetapi juga di banyak tempat tidak satu tetapi multi-kultural, seperti di NTT ini sendiri. Dari daerah provinsi yang sama ditemukan budaya-budaya lokal yang berbeda- beda, dengan bahasa, adat-istiadat, serta anutan kepercayaan yang berbeda-beda.
Hal inilah yang ingin kita bahas dan bicarakan di sini, yakni bagaimana meningkatkan kearifan lokal itu seiring dengan kearifan yang bersifat nasional dan global itu dan memanfaatkannya bagi kepentingan pendaya-gunaan sumberdaya alam dan manusia dalam rangka pembangunan di daerah itu sendiri. Ujung dari semua ini dari segi kepentingan perguruan tingginya adalah bagaimana memasukkannya dan menyusun kurikulum yang bermuatan lokal itu.
Sebenarnya, dengan disebarkannya universitas-universitas dan perguruan tinggi-perguruan tinggi sampai ke daerah-daerah, sehingga praktis di setiap provinsi di Indonesia ini ada universitas dan perguruan tingginya, tujuannya bukan hanya sekadar penyebaran universitas dan perguruan tinggi itu untuk tujuan pemerataan dan memenuhi tuntutan dari daerah-daerah bersangkutan, tetapi juga, dengan adanya universitas-universitas dan perguruan tinggi-perguruan tinggi di daerah itu, dapat pula menyerap, dalam arti mempelajari, mengamati, dan sekaligus memanfaatkan, kekayaan-kekayaan dan potensi-potensi lokal dari segi ekologi dan sosial-budaya dari daerah bersangkutan masing- masing. Di mana perlu, universitas maupun perguruan tinggi itu memiliki pusat-pusat kajian yang meng-gali dan memanfaatkan kekayaan dan potensi ekologi dan sosial-budaya lokal itu untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat di daerah itu. Idealnya, siapa lagi secara akademik yang lebih mengetahui dan mengua-sai situasi dan kondisi ekologi dan sosial-budaya dari daerah bersangkutan kalau bukan universitas dan perguruan tinggi di daerah itu sendiri.
*
Sebuah konsep budaya yang menjalin hubungan dan saling keterkaitan antara budaya lokal dengan nasional dan internasional itu kelihatannya memang masih harus diciptakan untuk tujuan- tujuan yang bersifat saling menunjang sehingga kearifan ekologi dan sosial-budaya yang bersifat inte-gral dan multi-level serta multi- arah bisa dijelmakan dan ditingkatkan.
Konsep budaya yang ada dan berlaku selama ini kelihatannya tidak cukup menunjang untuk tujuan-tujuan yang meletakkan penekanan pada kearifan daerah itu. Jarum anak-panahnya selama ini bahkan menunjukkan arah sebaliknya, yaitu upaya mengganti- kan, atau sedikitnya mewarnai, budaya daerah yang berlaku di daerah setempat dengan budaya dominan dari pusat pengaruh dan kekuasaan itu.
Kecenderungan ini sudah berjalan begitu jauh dalam negara kesatuan ini sehingga muncul kecenderungan baru yang patut dirisaukan, yaitu teralienasinya budaya lokal karena masuknya budaya dominan itu. Kita ambil saja misalnya sistem pemerintahan sampai ke tingkat terbawah di desa-desa, yang selama ini, sejak zaman kolonial, membiarkan sistem desa secara tradisional di daerah masing-masing berfungsi ganda, yakni ke dalam memiliki otonomi sendiri dengan ciri kekhasan dari sistem budaya masing- masing, dan ke luar, sebagai perpanjangan tangan dari pemerintahan yang lebih tinggi yang bertali secara hirarkis ke atas ke tingkat nasional. Sekarang sistem ganda ini dihapus, yang berarti juga sistem pengaturan dan penataan secara tradisional di daerah
masing-masing dihapus, sementara sistem pengaturan dan penataan secara nasional yang berlaku seragam di seluruh daerah di Indonesia ini diterapkan dan yang diambilkan dari pola budaya desa di Jawa yang dominan itu. Kecenderungan ini bahkan berkelanjutan ke bidang-bidang lainnya sehingga budaya-budaya lokal itu sendiri makin lama makin terdesak dan menjadi barang langka dan asing di daerahnya sendiri. Dengan situasi yang seperti itu yang hilang bukan hanya kearifan dan apresiasi terhadap budaya-budaya lokal itu, tetapi juga rasa harga diri dan percaya diri dari budaya dan manusia pengemban budaya lokal itu di daerah masing-masing.
*
Akan halnya budaya lokal itu sendiri, karena datangnya dari masyarakat setempat yang tadinya hidup relatif sederhana, dan mengandalkan kepada kemampuan teknologi yang juga sederhana, maka yang menonjol adalah upaya penyesuaian diri dengan alam.
Alam dilihat sebagai sesuatu yang perkasa, yang membentuk dan menentukan arah kehidupan dari rakyat yang menggantungkan diri kepada alam itu. Dengan sendirinya yang muncul adalah pemujaan terhadap alam melalui seremoni dan upacara-upacara ritual lainnya yang berkaitan dengan pemujaan terhadap alam itu, termasuk pemujaan terhadap roh-roh yang menjaga alam itu. Kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme inilah yang selama ini dianggap sebagai budaya leluhur, yang cenderung lalu dimistikkan dan dimistifikasikan. Budaya leluhur ini ternyata bertahan dan bahkan menyelusup masuk dan mewarnai berbagai macam budaya luar yang kemudian masuk, baik yang datangnya dari India, Cina, Arabia dan Eropah serta Amerika yang moderen sekalipun. Atau sebaliknya, budaya luar yang masuk ini, pada gilirannya, mewarnai budaya tradisional yang ternyata memiliki ketahanan dan sekaligus kelenturan tinggi itu.
Kitapun, dalam perkembangannya, lalu memiliki kebudayaan ganda yang berlapis-lapis, yang kita pakai tergantung kepada penggunaannya. Dalam diri kita lalu berhimpun semua macam unsur budaya itu yang komposisi maupun kombinasinya lebih berbentuk sinkretisme daripada sintetisme yang menyatu dan terintegrasi secara serasi. Dengan kehidupan sosial-budaya kita yang relatif masih feodalistik sifatnya, yang karenanya pelapisan sosial lebih bersifat vertikal-hirarkis daripada horizontal-demokratis, maka corak-corak budaya itu dalam pemakaian dan penghayatannya tergantung pula pada lapisan-lapisan sosialnya, sehingga kita temukanlah ada budaya ningrat-bangsawan di lapisan atas, ada budaya pedagang dan artisan di lapisan menengah dan ada budaya rakyat kecil-petani di lapisan bawah.
Ini hanya sekadar penggambaran betapa bisa kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sosial-budaya itu, yang ke dalam dalam penjabarannya lalu dibagi-bagi lagi ke dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk ekonomi, politik, hukum, pendidikan, agama, etika, estetika, sistem nilai, sistem dan struktur sosial itu sendiri, dsb, yang semua lalu berproses dan berinteraksi dan membentuk pola-pola budayanya sendiri.
Akan halnya kearifan ekologi, kitapun memiliki sikap-sikap * yang berbeda-beda menurut tingkat kesadaran ekologi itu yang umumnya juga terkait kepada latar-belakang tingkat pendidikan, tingkat ketergantungan ekonomi kepada sumber-sumber alam dan tingkat perkembangan sosial budaya, dalam arti, sampai sejauh mana kita tergantung kepada dan menyikapi alam dan sumber-daya alam itu sendiri. Kecenderungan umum yang kita lihat adalah bahwa makin maju tingkat budaya -- yang juga berarti tingkat ekonomi, pendidikan, sains dan teknologi, dsb -- maka makin kurang ketergantungan kita kepada alam, dan makin cenderung
kita memanfaatkannya dan bahkan mengeksploitasi dan memanipulasinya untuk tujuan peningkatan kesejahteraan kehidupan material kita. Jika sikap dan tindakan kita tidak dibarengi dengan disiplin hidup dan kode etik yang tinggi, kita lalu cenderung bersifat merusak kelestarian dan tatanan alam itu sendiri. Sebaliknya juga begitu. Makin terbelakang makin tergantung, dan makin memiliki kearifan dan sensitivitas terhadap alam itu. Mereka hidup masih dalam spiritual culture yang terintegrasi secara utuh, bukan, dan belum, material (complex) culture yang sudah terkotak-kotak dan berke-ping-keping.
Sebagai ilustrasi akan kearifan dan kesensitifan terhadap alam pada masyarakat yang relatif masih sederhana ini, mereka biasanya minta izin terlebih dahulu kepada roh-roh yang menjaga hutan dan kayu-kayuan sebelum menebangnya, dan lalu menggantinya dengan menanam pohon yang baru. Jika mereka harus melakukan land- clearing karena harus menanam umbi-umbian dan padi-padian untuk keperluan makanan pokok mereka, mereka melakukannya tanpa merusak alam sekitar dan mereka laku-kan dengan sistem rotasi berpindah-pindah. Kebakaran hutan yang disebabkan oleh kegiatan land-clearing secara tradisional dengan sistem tebang-bakar atau tebas-bakar (slash and burn) ini jarang terjadi, karena dengan prinsip keserasian terhadap lingkungan alam, mereka menciptakan teknologi tertentu untuk menghindarkan kebakaran hutan itu.
Kalaupun sampai terjadi, biasanya disebabkan karena faktor-faktor eksternal di luar diri dan budaya mereka.
Pada masyarakat yang sudah moderen, sebaliknya, tebang- tebas secara semena-mena bisa berlaku, apalagi dengan mempergunakan alat-alat berat berkekuatan tinggi, karena motif yang berada di baliknya adalah mengalahkan alam untuk tujuan keuntungan material yang maksimal. Apatah pula jika hutan yang dialahkan itu bukan milik kita. Kita datang untuk me-nanamkan
modal dan investasi dengan cara kolusi dan manipulasi dengan pemegang HPH yang adalah juga dari kelompok elite kekuasaan di negeri itu.
Itupun juga adalah sekelumit contoh betapa faktor alam dan lingkungan alam tidak pernah berdiri sendiri, yang kaitannya kembali kepada unsur-unsur yang paling dalam dari sifat dan budaya manusia itu, yaitu hati nurani dan naluri dari manusia yang mengendalikan sikap dan tingkah laku mereka. Yang kita risaukan adalah kecenderungan global dari sifat-sifat manusia itu, yang makin maju dan moderen makin cenderung bersifat mengabaikan akan kelestarian itu. Kecuali jika mereka memiliki sistem disiplin hidup dan kode etik yang tinggi yang memang menempatkan keserasian dan kelestarian ekologik dan ekosistemik dalam wacana kehidupan mereka.
*
Pertanyaan selanjutnya yang merupakan fokus dari perhatian kita di sini adalah, bagaimana lalu kita mengaitkan antara lingkungan alam dan lingkungan sosial-budaya dari manusia dengan kepekaan perguruan tinggi yang harus terlihat dalam sistem dan struktur kurikulum yang ada dan yang perlu kita rancang? Pertama- tama, tentu saja adalah bahwa kita harus memiliki sejumlah proposisi dan definisi yang sama dari makna-makna dasar yang terkait kepada pemahaman terhadap lingkungan sosial-budaya dan alam itu. Kedua, baru bagaimana kita memanfaatkannya bagi kepentingan penyusunan kurikulum bermuatan lokal dari perguruan tinggi yang harus kita rancang itu.
Lingkungan sosial-budaya dan alam itu, seperti telah diisyaratkan di atas, harus diartikan dalam arti yang dinamis yang bersifat multi-level dan multi-directional. Antara yang lokal, nasional dan global itu bukan saja ha-rus diartikan dalam satu kesatuan yang bercorak spiral yang saling berke-sinambungan, seperti
digambarkan pada bagan sederhana berikut, tetapi juga dalam arti keserasian progresif yang saling melengkapi. Oleh karena itu pengertian lokal, nasional dan global itu haruslah juga ditujukan ke arah yang bersifat utilitarianistik dengan tingkat kemanfaatan yang optimal, dan sekaligus tingkat kemudaratan serta risiko yang minimal.
Trilogi Budaya Lokal-Nasional-Global Global
Nasional Lokal
Pengertian lokal, nasional dan global yang dinamis-progresif dan saling terkait dan berkesinambungan secara serasi itu pada gilirannya juga mengharuskan adanya tinjauan dan sikap kritis terhadap budaya lokal, nasional dan global itu yang selalu harus diukur dan dinilai dari segi nilai-nilai luhur moral dan spiritual yang berlaku langgeng dan universal. Dengan demikian, sendirinya ada dari unsur-unsur budaya itu, baik yang lokal, nasional maupun global, yang memang harus dibuang, baik karena sudah arkaik dan lapuk dimakan masa, maupun karena unsur-unsur budaya itu mengandung nilai-nilai yang tidak konstruktif dan kondusif.
Memilah-milah mana yang harus dipakai dan mana yang harus
dibuang adalah salah satu dari tugas laboratorium budaya yang dilakukan oleh perguruan tinggi di daerah bersangkutan masing- masing dalam meningkatkan kearifan trilogi budaya lokal, nasional dan global itu yang dalam kenyataan empirikal hari-hari tidaklah berdiri sendiri-sendiri secara terpisah tetapi hidup ber-dampingan secara koeksisten dan saling berinteraksi pada waktu dan tempat yang sama. Persenyawaan yang harmonis antara ketiga unsur budaya lokal, nasional dan global untuk tujuan peningkatan kualitas kehidupan melalui proses pembangunan yang berkesinambungan adalah tujuan ideal dari kearifan budaya dan sekaligus ekologi itu.
Kurikulum Muatan Lokal dimaksud dengan sendirinya harus * memiliki kearifan-kearifan trilogi budaya dan ekologi itu. Pada level analisis perta-ma sifatnya adalah mengamati, mencatat dan merekam kenyataan obyektif apa adanya, secara saintifik- epistemologik, sementara pada level analisis berikut melakukan pemilahan-pemilahan, peramuan-peramuan dan socio-cultural engineering lainnya untuk tujuan-tujuan kegunaan yang optimal dan konstruktif, secara aplikatif-aksiologik.
Melalui penyusunan kurikulum bermuatan lokal ini, dengan demikian, bisa saja bahwa kearifan lokal itu dimasukkan ke dalam mk-mk MKK yang ada, ataupun penanganan secara khusus yang dituangkan ke dalam mk-mk MKK tersendiri menurut program studi masing-masing. Segi tinjauan yang lebih bersifat topikal multi- disiplin dan multi-faceted bisa saja akan lebih memuaskan melalui metode diskusi dan seminar daripada segi tin-jauan konvensional yang mengacu kepada displin ilmu tertentu di bidang studi masing- masing.
Namun, mendasari dari semua itu, pengetahuan dasar mengenai sosial-budaya dan ekologi dari daerah bersangkutan itu
khususnya, dan dalam rangkaiannya dengan trilogi saling ketergantungan budaya lokal-nasional-global itu umumnya, perlu diberikan di tingkat bawahan di semester-semester awal, di semua program studi. Pengetahuan ini bisa saja bersifat menggantikan atau mendampingi mk-mk MKU yang ada. Dalam suasana politik yang telah berubah pasca OB sekarang ini, mk-mk MKU yang berorientasi indoktrinasi secara subyektif-normatif seperti selama ini sudah harus ditinggalkan dan diganti dengan yang semata obyektif-saintifik. Kearifan sosial-budaya dan ekologi ini di tingkat atasan pada semester-se-mester lanjutan harus juga masuk ke dalam mk-mk MKK yang ada, di samping yang memang dirancang khusus untuk tujuan pemahaman dan penguasaan situasi lokal itu, yang sekarang lebih berorientasi multi-di-sipliner dan topikal dengan sistem seminar, dengan term-paper dan survei lapangan, dsb.
Melalui pendekatan kurikuler yang bertahap tetapi terintegrasi ini diha-rapkan bahwa setiap perguruan tinggi di daerah masing- masing akan mampu tidak hanya memahami tetapi juga menguasai, dan bahkan mengambil manfaat, dari budaya dan ekologi lokal itu yang didasarkan kepada saling ketergantungan trilogi budaya dan ekologi tadi. Dilema keterasingan dan ketidak-tahuan terhadap budaya dan ekologi lokal itu diharapkan akan berganti dengan penguasaan yang mendalam dan intensif dari situasi dan kondisi sosial-budaya dan ekologi lokal dari semua segi kehidupan:
ekonomi, sosial, politik, agama, kesenian, kebudayaan, ekosistem, dsb. Satu waktu orang tidak perlu lagi jauh-jauh pergi ke Leiden ataupun Cornell mengenal budaya dan ekologi setempat tetapi cukup dengan da-tang ke perguruan tinggi di daerah itu sendiri.
Perguruan tinggi itu seka-rang telah menjadi pusat studi dan pengamatan terhadap sosial-budaya dan ekologi daerah itu. ***