BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Congestif Heart Failure (CHF)
2.1.1. Pengertian Congestif Heart Failure (CHF)
Menurut (AHA, 2016) Heart Failure di definisikan sebagai kombinasi tanda dan gejala dimana dikategorikan sebagai HFpEF (fraksi ejeksi ventrikel kiri LVEF >45%) dan HFrEF (LVEF>45%).
(Harrison 2016) Congestif Heart Failure (CHF) gagal jantung adalah sindrom klinis yang terjadi pada pasien-pasien yang mengalami sekumpulan tanda (edema dan ronki) dan gejala (dispnea dan kelelahan) klinis atau akibat kelainan struktur atau fungsi jantung herediter, yang menyebabkan perawatan dirumah sakit yang secara berulang, kualitas hidup yang buruk, serta memendeknya angka harapan hidup.
(Kasron, 2012) Gagal jantung sering disebut dengan Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidak mampuan jantung untuk memompakan darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. Istilah Congestive Heart Failure (CHF) sering digunakan kalu terjadi gagal jantung sisi kiri dan kanan.
Jadi gagal jantung dapat disimpulkan sebagai fraksi ejeksi ventrikel dengan beberapa tanda dan gejala dimana jantung tidak dapat mensuplai darah secara adekuat untuk memenuhi metabolisme jaringan.
Gambar: 1. Congestif Heart Failure (CHF) dalam AHA journal
2.1.3. Penyebab Congestive Heart Failure (CHF)
Menurut (Crawford, 2009) dalam Hanura, 2015) Congestive heart Failure di sebabkan oleh disfungsi miokardial dimana jantung tidak mampu untuk mensuplai darah yang cukup untuk mempertahankan kebutuhan metabolik jaringan perifer dan organ-organ tubuh lainnya.
Gangguan fungsi miokard sebagai akibat dari miokard infark akut (MI), prolonged cardiovaskular stress (hipertensi dan penyakit katup), toksin (ketergantungan alkohol) atau infeksi. (Kasron 2012) ada beberapa penyebab dari gagal jantung.
2.1.3.1 Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung.
Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
2.1.3.2 Aterosklerosis koroner
Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi otot jantung karena terganggunya aliran darah ke otot jantung.
Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat).
2.1.3.3 Hipertensi sistemik atau pulmonal meningkatnya beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
2.1.3.4 Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif sangat berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara lansung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
2.1.3.5 Faktor sistemik
Meningkatnya laju metabolisme, hipoksia, dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalita elektronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
2.1.3.6 Faktor pencetus dekompensasi akut asupan makanan yang berlebihan, iskemia atau infark miokard akut, anemia, konsumsi alkohol, kehamilan, perburukan hipertensi, dan insufisiensi katup akut.
2.1.4. Patofisiologi Congestive Heart Failure (CHF)
Menurut (Reni yuli aspiani, 2015) kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokard yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu pengosongan ventrikel yang efektif.
Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah
gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat (menigkatnya aktivitas adrenergik simpatik, meningkatnya beban awal akibat aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron, dan hipertrofi ventrikel).
Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak pada keadaan beraktivitas dengan berlanjutnya gagal jantung maka kompensasi akan menjadi lebih kurang efektif.
Menurunnya curah sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respon simpatik kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf adrenergik jantung dan medula adrenal.
Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk untuk menambah curah jantung. Juga terjadi kontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteeri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah keorgan yang rendahmetabolismenya, seperti kulit dan ginjal, agar perfusi ke jantung dan otak dapat dipertahankan.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa (penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerolus, pelepasan renin dari paratus juksta glomerolus, interaksi renin dengan angiotansinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I, konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, perangsang sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal,
serta retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul).
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium atau bertambahnya tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium yang tergantung beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung, sarkomer dapat bertambah secara perarel atau serial. Respon miokardium terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi aorta, ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya tebalnya dinding.
Gagal jantung kanan, karena ketidakmampuan jantung kanan mengakibatkan penimbunan darah dalam atrium kanan, vena kava dan sirkulasi besar. Penimbunan darah di vena hepatika menyebabkan hepatomegali dan menyebabkan terjadinya asites.
Pada ginjal akan menyebabkan penimbunan air dan natrium sehingga terjadi edema. Penimbunan secara sistemik selain menimbulkan edema juga meningkat tekanan vena jugularis dan pelebaran vena- vena yang lainnya.
Pada gagal jantung kiri, darah pada atrium kiri ke ventrikel kiri mengalami hambatan sehingga ventrikel kiri dilatasi dan hiopertrofi.
Aliran darah dari dari paru ke atrium kiri terbendung. Akibatnya tekanan pada vena pulmonalis, kapiler paru dan arteri pulmonalis meninggi. Bendungan terjadi juga diparu yang akan mengakibatkan edema paru, sesak waktu bekerja (dyspneu d’effort) atau waktu istirahat (ortopnea).
Gagal jantung kanan dan kiri terjadi sebagai akibat kelanjutan dari gagal jantung kiri. Setelah hipertensi pulmonal terjadi penimbunan darah dalam ventrikel kanan, selanjutnya terjadi gagal jantung kanan.
Setiap hambatan pada arah aliran (forward flow) dalam sirkulasi akan menimbulkan bendungan pada arah berlawanan dengan aliran (backward congestion). Hambatan pengaliran (forward failure) akan menimbulkan adanya gejala backward failure dalam sistem sirkulasi aliran darah.
Mekanisme kompensasi jantung pada kegagalan jantung adalah upaya tubuh untuk mempertahankan peredaran darah dalam memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Mekanisme yang terjadi pada gagal jantung ialah dilatasi ventrikel, hipertrofi ventrikel, kenaikan ransang simpatis berupa takikardia dan vasokontriksi perifer, peninggian kadar katekolamin plasma, retensi garam dan cairan badan serta peningkatan ekstraksi oksigen oleh jaringan. Bila jantung bagian kanan dan kiri bersama-sama dalam keadaan gagal akibat gangguan aliran darah dan adanya bendungan, maka tampak tanda dan gejala gagal jantung pada sirkulasi sistemik dan sirkulasi paru keadaan ini di sebut gagal jantung kongestif.
Menurut (Richard, 2015).Mekanisme kompensasi gagal jantung sehingga menyebabkan edema paru dengan tanda gejala sesak napas dimana jika mekanisme kompensasi tidak terjadi maka penurunan curah jantung dapat menimbulkan dua efek pada tekanan (penurunan tekanan arteri dan peningkatan tekanan vena sentral), kedua perubahan ini akan mengaktifkan mekanisme neurohormonal yang mencoba mengembalikan curah jantung dan tekanan arteri.
Perubahan status neurohormonal menyebabkan kontriksi pembuluh resistensi dan menyebabkan resistensi pembuluh sistemik untuk membantu mempertahankan tekanan arteri. Pembuluh kapasitansi vena juga akan mengalami konstriksi sehingga terjadi peningkatan tekanan vena. Bertambahnya tekanan vena akan meningkatkan preload jantung dan membantu mempertahankan isi sekuncup melalui mekanisme Frank Starling, bertambahnya tekanan atrium kanan akan meransang sintesis dan pelepasan peptida natriuretik untuk mengimbangi sistem renin–angiotensin-aldosteron.
Respon neurohormonal ini berfungsi sebagai mekanisme kompensasi, tetapi respon ini juga dapat memperberat gagal jantung dengan menambah afterload ventrikel (yang menekan isi sekuncup) dan meningkatkan tekanan vena dan preload jantung sampai ke tingkat yang dapat menyebabkan kongesti paru atau kongesti sistemik serta edema yang di tandai dengan adanya sesak napas.
2.1.4.1 Mekanisme frank-Starling
Menurut (Lilly, 2011) dalam Hanura, 2015) mekanisme yang terjadi akibat menumpuknya volume darah di ventrikel melebihi batas normal selama fase diastolik berlangsung yaitu meningkatnya regangan miofibril sebagai bentuk mekanisme Frank-Starling, yang meningkatkan volume stroke volume dan selanjutnya mempengaruhi kontraksi.
Hal ini akan membantu pengosongan ventrikel kiri dan mempertahankan forward cardiac output.
2.1.4.2 Perubahan hormonal
Menurut (Lilly, 2011) dalam Hanura, 2015) terdapat beberapa mekanisme kompensasi neurohormonal penting
sebagai respon terhadap penurunan cardiac output. Tiga dari beberapa mekanisme tersebut adalah adrenergik nervous system, sistem renin angiotensin dan peningkatan antideuretik hormon (ADH).
2.1.4.3 Alur klinis
Gagal jantung
Skema 2.1 : Patofisiologis dari Congestive Heart Failure (CHF) Gagal ventrikel kanan
Gagal ventrikel kiri
Curah jantung Curah jantung
Tekanan atrium kiri Tekanan atrium kanan Tekanan vena pulmonal Tekanan vena sistemik
1. Asites
2. Hepatomegali Edema paru terjadi karena
tekanan arteri pulmonal
Gejala :
1. Edema di kedua tungkai 2. Asites
3. Hepatosplenomegali
4. Peningkatan tekanan vena jugular
5. Penurunan perfusi jaringan Sistolik overload pada ventrikel
kanan.
1. Takikardia
2. Dispneu atau sesak napas 3. Sianosis
4. Penurunan perfusi jaringan
2.1.2. Klasifikasi dan Terminologi
Menurut (Kasron, 2012) Klasifikasi umum pada Congestive Heart Failure (CHF) yaitu gagal jantung akut-kronis, gagal jantung kiri- kanan, dan gagal jantung sistolik-diastolik.
2.1.2.1 Gagal jantung akut-kronis a. Gagal jantung akut :
Terjadinya secara tiba-tiba ditandai dengan penurunan kardiak output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan, ini dapat mengakibatkan edema paru dan koplaps pembuluh darah. Timbulnya sesak napas secara cepat (< 24 jam) akibat kelainan fungsi jantung, ganguan fungsi sistolik atau diastolik, irama jantung, kelebihan beban awal (preload), beban akhir (afterload), atau kontraktilitas. Keadaan ini mengancam jiwa bila tidak ditangani dengan tepat.
b. Gagal jantung kronis :
Terjadinya secara perlahan ditandai dengan penyakit jantung iskemik, penyakit paru kronis. Pada gagal jantung kronis terjadi retensi air dan sodium pada ventrikel sehingga menyebabkan hipervolemia, akibatnya ventrikel dilatasi ddan hipertrofi. Sindrom klinis yang kompleks akibat kelainan struktural atau fungsional yang mengganggu kemampuan pompa jantung atau mengganggu pengisian jantung.
a. Gagal jantung kiri terjadi karena ventrikel gagal untuk memompa darah secara adekuat sehingga menyebabkan kongesti pulmonal, hipertensi dan kelainan pada katub aorta mitral.
b. Gagal jantung kanan disebabkan peningkatan tekanan pulmo akibat gagal jantung kiri yang berlansung cukup lama sehingga cairan yang terbendung berakumulasi secara sistemik di kaki, asites, hepatomegali, efusi pleura, dll.
2.1.2.3 Gagal jantung sistolik-diastolik
a. Sistolik terjadi karena penurunan kontraktilitas ventrikel kiri sehingga ventrikel kiri tidak mampu memompa darah akibatnya cardiac output menurun dan ventrikel hipertrofi.
b. Sistolik karena ketidakmampuan ventrikel dalam pengisian darah akibatnya stroke volume cardiac output turun.
2.1.2.4 Terminologi lain gagal jantung dapat berdasarkan nilai fraksi ejeksi (Chris Tanto, 2014).
a. Heart Failure-reduced ejection fraction (HR-REF) yaitu adanya tanda dan gejala gagal jantung yang disertai penurunan nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri.
b. Heart Failure-preserved ejection fraction (HR-PEF) yaitu adanya tanda dan gejala gagal jantung, namun nilai fraksi ejeksi normal atau menurun sedikit, serta tidak ada dilatasi ventrikel kiri. Kondisi ini
berhubungan dengan struktural, seperti hipertrofi ventrikel kiri atau atrium kiri dan disfungsi sistolik.
2.1.5. Derajat Congestive Heart Failure (CHF)
2.1.5.1 Menurut (Harrison, 2016) pada gagal jantung derajat penyakit secara klinis fungsional dapat dikategorikan.
Berdasarkan kriteria New York Heart Association (NYHA).
a. NYHA I : Penyakit jantung, namun tidak ada gejala atau keterbatasan dalam aktivitas fisik sehari-hari biasa tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea, atau nyeri angina.
b. NYHA II : pasien-pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan keterbatasan ringan dalam aktivitas fisik sehari-hari. Pasien tersebut merasa nyaman jika beristirahat aktivitas fisik biasa menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea, atau nyeri angina.
c. NYHA III : pasien-pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan keterbatasan ringan aktivitas fisik pasien tersebut merasa nyaman jika beristirahat.
Aktivitas yang lebih ringan daripada aktivitas biasa menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea, atau nyeri angina
d. NYHA IV : pasien-pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik apapun tanpa rasa tidak nyaman. Gejala-gejala gagal jantung atau sindrom angina dapat terjadi meskipun saat istirahat. Jika
pasien melakukan suatu aktivitas fisik apapun, rasa tidak nyaman akan meningkat.
2.1.5.2 Menurut (Davis, 2004; Levine,2010) dalam Hanura 2015) derajat gagal jantung, The American Collage of Crdiology/American Heart Association (ACC/AHA) lebih berfokus terhadap pencegahan dan perkembangan gejala gagal jantung. Klasifikasi ini dibagi menjadi 4 tahap yaitu:
a. Stage A :
Pasien mempunyai resiko mengalami gagal jantung tetapi tidak mengalami kelainan struktur jantung atau gagal jantung. Misalnya : pasien hipertensi, penyakit jantung koroner, kegemukan, diabetes militus, alkohlik.
b. Stage B :
Pasien dengan kelainan struktur jantung tetapi tidak mengalami tanda dan gejala gagal jantung. Misalnya : pasien infark miokard lama, pasien hipertropi ventrikel kiri, kelainan katub jantung tanpa gejala.
c. Stage C :
pasien kelainan struktur jantung dengan gejala gagal jantung pada saat ini atau riwayat gagal jantung sebelumnya.
d. Stage D : pasien gagal jantung berulang yang memerlukan intervensi khusus.
2.1.6. Manifestasi klinis
Menurut (Harrison, 2016) gejala utama Congestive Heart Failure (CHF) adalah kelelahan dan sesak napas, pada tahap awal Congestive Heart Failure (CHF) dispnea hanya muncul pada saat aktivitas fisik namun seiring dengan memberatnya penyakit, dispnea terjadi disaat melakukan aktivitas yang lebih ringan bahkan dapat terjadi pada saat istirahat.
2.1.6.1 Ortopneu
Dispnea yang terjadi pada posisi berbaring, ortopneu disebabkan oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanknik dan ekstermtas bawah ke sirkulasi sentral selama berbaring, yang menyebabkan tekanan kapiler pulmonal. Ortopneu biasanya bisa hilang jika duduk tegak atau tidur dengan bantal tambahan.
2.1.6.2 Paroxysmal noctural dyspnea (PND)
Istilah ini merujuk pada episode akut batuk dan sesak napas berat yang biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur, gejala PND dapat berupa batuk atau mengi kemungkinan disebabkan oleh peningkatan tekanan arteri bronkial yang menyebabkan kompresi jalan napas bersamaan dengan edema paru interstisial yang menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas. Meskipun ortopnea dapat dihilangkan dengan duduk tegak dipinggir tempar tidur dengan tungkai yang dijulurkan kebawah (posisi dependen), pasien-pasien PND sering mengalami batuk dan mengi yang persisten bahkan setelah mengambil posisi tegak.
2.1.6.3 Pernapasan Cheyne- Stokes
Pernapasan periodik atau pernapasan siklik, pernapasan cheyne-stoke terjadi pada 40% pasien dengan gagal jantung tahap lanjut dan biasanya berhubungan dengan curah jantung yang rendah. Pernapasan cheyne stoke di sebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pusat pernapasan terhadap Pco₂ arteri. Terjadi fase apneu ketika Po₂ arteri turun dan Pco₂ arteri meningkat. Perubahan-perubahan kandungan gas darah arteri ini meransang pusat pernapasan yang sebelumnya telah tertekan, sehingga menyebabkan hiperventilasi dan hipokapnia, yang diikuti dengan rekurensi apnea. Pernapasan cheyne stoke dapat dianggap pasien sebagai sesaknapas yang berat atau henti napas sementara.
2.1.6.4 Edema paru
Edema paru akut biasanya terjadi dengan onset cepat dispnea saat istirahat, takipnea, takikardia, dan hipoksemia berat. Ronki dan mengi akibat kompresi saluran napas oleh cuffing peribronkial dapat didengar.
2.1.6.5 Gejala-gejala lain
Pasien gagal jantung juga dapat datang dengan gejala-gejala gastrointestinal. Anoreksia, mual, dan cepat merasakan kenyang disertai dengan nyeri abdomen dan begah merupakan keluhan-keluhan yang sering terjadi dan mungkin edema dinding usus atau kongesti hepar. Kongesti hepar dan peregangan kapsulnya dapat menimbulkan rasa nyeri di kuadran kanan atas. Gejala-gejala serebral seperti confusion, disorientasi, serta gangguan tidur dan gangguan
mood dapat terjadi pada pasien gagal jantung yang berat terutama pada pasien yang lanjut usia dan aterosklerosis serebral dan penurunan perfusi serebral. Nokturia sering terjadi pada gagal jantung dan menyebabkan insomnia.
2.1.7. Komplikasi
Menurut (Smeltzer & Bare, 2002) dalam Hanura,2015) beberapa komplikasi yang disebabkan gagal jantung.
2.1.7.1 Hidrotoraks
Penimbunan cairan tersudat dalam rongga pleura yang disebabkan oleh pengeluaran cairan dari pembuluh darah (Reny Yuli Aspiani, 2015).
2.1.7.2 Syok kardiogenik
Kelainan jantung primer yang disebabkan perfusi jaringan yang tidak cukup untuk mendistribusi bahan makanan dan mengambil sisa metabolisme.
2.1.7.3 Episode tromboemboli yang disebabkan pembentukan bekuan vena karena stasis darah. Terjadi bekuan darah didalam sistem kardiovaskular termasuk arteri, vena dan ruang jantung.
2.1.7.4 Efusi dan temponade perikardium
2.1.7.5 Hepatomegali, hepar yang membesar sering terasa nyeri jika ditekan dan dapat berdenyut pada saat sistole jika terjadi regurgitasi trikuspid.
2.1.7.6 Edema paru peningkatan volume cairan interstisial yang secara klinis, cairan tersebut dapat bertambah hingga beberapa liter sebelum tampak kelainan.
2.1.8. Pemeriksaan Diagnostik Menurut (Harrison, 2016) 2.1.8.1 Elektrokardiogram
Mengetahui hipertrofi atrial atau ventrikuler, infark, penyimpanan aksis, kekurangan oksigen.
2.1.8.2 Penilaian fungsi LV
Pemeriksaan yang paling berguna yang dapat menilai ukuran dan fungsi LV secara kuantitatif serta menilai ada tidaknya kelainan gerak dinding regional dan katup (menunjukan riwayat MI).
2.1.8.3 Biomarker
Kadar peptida natriuretik dalam sirkulasi merupakan alat pemeriksaan tambahan yang berguna dalam menegakan diagnosa HF.
2.1.8.4 Uji latihan fisik
Uji latihan fisik sepeda atau treadmill tidk dianjurkan secara rutin pada pasien HF, tetapi berguna untuk menilai perlu tidaknya transplantasi jantung pada pasien-pasien dengan HF tahap lanjut.
2.1.8.5 Tes laboratorium darah
a. Elektrolit kemungkinan berubah karena perpindahan cairan, penurunan fungsi ginjal.
b. Enzim hepar meningkat dalam gagal jantung atau kongesti
c. AGD terjadi alkalosis respiratorik ringan atau hipoksemia dengan peningkatan PCO₂ karena gagal ventrikel kiri.
d. Albumin mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein
2.1.8.6 Radiologi
Sonogram ekokardiogram dapat menunjukan pembesaran bilik perubahan dalam fungsi struktur katup, penurunan kontraktilitas ventrikel.
a. Scan jantung tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding.
b. Rontgen dada akan menunjukan pembesaran jantung.
Bayangan mencerminkan dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam pembuluh darah atau peningkatan tekanan pulmonal.
2.1.9. Penatalaksanaan
2.1.9.1 Penatalaksanaan berdasarkan kelas NYHA :
a. Kelas I :Non-farmakologis meliputi diet rendah garam, batasi cairan, menurunkan berat badan, menghindari alcohol dan rokok, aktifitas fisik, manajemen stress.
b. Kelas II dan III : Terapi pengobatan yang meliputi deuretik, vasodilator, ACE inhibitors, digatalis, dopamineorik, oksigen.
c. Kelas IV : Kombinasi diuretik, digitalis, ACE inhibitors.
2.1.9.2 Penatalaksanaan Congestive Heart Failure (CHF) yang direkomendasikan oleh ACC dan AHA bertujuan untuk menurunkan kejadian hospitalisasi dan mortalitas meliputi (Hunt et al, 2005) dalam Hanura 2015)
a. Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitors yang termasuk golongan ini seperti captopril (capoten), enarapril (vasotec) dan lisinopril (zestril) . ACE inhibitors mencegah konversi angiotensin I ke angiotensin II, yang mengakibatkan terjadinya resistensi perifer, dilatasi arteri dan peningkatan stroke volume.
b. Angiotensin II reseptors blockers (ARBs) terapi yang digolongkan ARBs seperti candesartan (atacan), losartan (cozaar), dan valsartan (diovan). Jenis ini direkomendasikan bila golongan ACE inhibitors tidak dapat ditoleransi menurunkan resistensi arteri dan dilatasi arteri. Selanjurnya terjadi penurunan tekanan darah yang berhubungan dengan retensi cairan, sebagai akibat dari sekresi aldosteron.
c. Beta adrenergik blockers yang termasuk jenis terapi ini adalah carvedilol (coreg), dan metoprolol (tropol XL). Beta adrenergik blockers ini digunakan pada pasien heart failure untuk menghambat kerja beta
adrenergik pada sistem saraf simpatis. Penghambatan kerja beta adrenergik dapat menurunkan kerja jantung dan kebutuhan yang lebih akan oksigen, melalui vasodilatasi arteri dan penurunan heart rate.
d. Human B-type natriuretic peptides dimana terapi ini sering digunakan sebagai pengobatan untuk akut heart failure. Endogen BNP sebagai vasodilator yang baik, berespon terhadap penurunan cardiac output yang disebabkan oleh natriuresis, atau kehilangan natrium dalam tubulus renal.
e. Terapi cardiac glycosides (digoxin) adalah salah satu jenis terapi jenis cardiac glycosides, merupakan terapi tambahan yang menguntungkan bagi pasien heart failure. Efek digoxin yaitu menghambat kerja enzim adenosin triphosphatase (ATP) dalam sel otot jantung.
Direkomendasikan sebagai pengobatan kedua bagi gejala kongestive, dimana digoxin akan meningkatkan perfusi renal dan menstimulasi terjadinya diuresis.
2.2 Konsep Edema Paru pada CHF 2.2.1. Pengertian Edema Paru
Menurut (Harrison, 2016) edema paru merupakan peningkatan volume cairan interstisial yang tampak secara klinis, cairan tersebut dapat bertambah hingga beberapa liter sebelum tampak kelainan.
Edema di kenal dalam bentuk generalisata dilihat dari wajah yang
persistensi indentasi kulit setelah di tekan dimana keadaan ini disebut edema “pitting”.
(Joan M. Robinson, 2014) edema paru merupakan akumulasi cairan pada ruang ekstravaskular paru. Dengan edema paru kardiogenik, akumulasi cairan terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik vena pulmonalis dan kapiler. Edema paru selain sebagai komplikasi gangguan jantung yang sering terjadi, dapat terjadi karena kondisi kronis atau berkembang cepat sehingga menyebabkan kematian.
2.2.2. Penyebab Terjadinya Edema Paru
Menurut (Harrison, 2016) ada beberapa penyebab terjadinya edema paru:
2.2.2.1 Obstruksi drainase vena ekstermitas
Pada kondisi ini tekanan hidrostatik pada aliran keatas (proksimal) bantalan kapiler terhadap obstruksi meningkat sehingga kuantitas cairan abnormal dipindahkan dari ruang vaskular ke ruang interstisial. Karena rute alternatif yaitu kanal limfatik juga dapat tersumbat atau terisi maksimal, terjadi peningkatan volume cairan interstisial pada ekstermitas (yaitu cairan terperangkap dalam interstisium ekstermitas). Pergeseran cairan ke ekstermitas dapat terjadi dengan mengorbankan volume darah dalam bagian tubuh yang lain, sehingga mengurangi volume darah arteri efektif dan menyebabkan retensi natrium klorida dan H2O sampai defisit volume plasma dikoreksi.
2.2.2.2 Gagal jantung kongestive
Pengosongan ventrikel yang tidak sempurna (gagal jantung sistolik) dan relaksasi ventrikel yang tidak adekuat (gagal
jantung diastolik) menyebabkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel. Jika gangguan fungsi jantung terutama pada ventrikel kanan, tekanan vena sistemik dan kapiler akan meningkat, memperbesar transudasi cairan kedalam ruang interstisial dan meningkatkan kemungkinan edema perifer. Peningkatan tekanan vena sistemik ditransmisi keductus thoracicus yang menyebabkan penurunan drainase limfa, semakin memperparah penumpukan edema. Jika gangguan fungsi jantung terutama mengenai ventrikel kiri, tekanan kapiler dan vena pulmonalis akan meningkat.
Tekanan arteri pulmonalis meningkat, akibatnya keadaan ini mengganggu pengosongan ventrikel kanan, serta meningkatkan kemungkinan pembentukan edema perifer.
Peningkatan tekanan vena kapiler paru dapat menyebabkan edema paru yang mengganggu pertukaran gas. Hipoksemia yang terjadi dapat memperparah fungsi jantung, sehingga kadang-kadang membentuk lingkaran setan.
2.2.2.3 Sindrom nefrotik dan keadaan hipoalbuminemia
Perubahan utama pada gangguan ini adalah berkurangnya tekanan unkotik koloid karena hilangnya sejumlah besar protein melalui urin. Pada hipoalbuminemia berat dan diikuti penurunan tekanan osmotik koloid, NaCl dan H2O yang masih tersimpan tidak dapat ditahan lagi dalam kompartemen vaskular, dan volume darah arteri total dan efektif berkurang. Proses ini memulai sekuens terbentuknya edema seperti yang telah dijelaskan sebelumnya termasuk aktivasi sistem RAA. Gangguan fungsi ginjal selanjutnya berperan pada pembentukan edema. Sekuens gangguan
serupa terjadi pada kondisi lain yang menyebabkan hipoalbuminemia berat, meliputi
a. Keadaan difisiensi nutrisi yang berat b. Penyakit hati kronis
c. Enteropati kehilangan protein
2.2.2.4 Sirosis
Sebagian ciri keadaan ini adalah blokade aliran keluar vena hepatika, sehingga memperbanyak volume darah splanknik dan meningkatkan pembentukan cairan limfa hepatik.
Hipertensi intra hepatik merupakan stimulus untuk retensi natrium ginjal dan penurunan volume darah arteri efektif.
Perubahan-perubahan ini sering dipersulit oleh hipoalbuminemia yang disebabkan oleh penurunan sintesis hepatik, serta vasodilatasi sistemik. Efek-efek ini selanjutnya mengurangi volume darah arteri efektif, menyebabkan aktivasi sistem RAA, saraf simpatis ginjal dan mekanisme retensi NaCl dan H2O. Kosentrasi aldosteron dalam darah sering meningkat karena kegagalan hati untuk memetabolisme hormon tersebut. Pada awalnya kelebihan cairan interstisial terutama terletak hanya di proksimal (upstream) sistem vena porta yang mengalami kongesti dan pembuluh limfa hepatik yang tersumbat, aitu dalam rongga peritoneum (asites).
2.2.2.5 Edema diinduksi obat
Banyak obat yang digunakan secara luas dapat menyebabkan edema. Mekanismenya meliputi vasokontriksi ginjal (NSAID dan siklosporin), dilatasi
arterior (vasodilator), peningkatan reabsorpsi natrium ginjal (hormon steroid) dan kerusakan kapiler (interleukin ).
2.2.3. Patofisiologi Edema Paru
Menurut (Harrison, 2016) Luasnya penumpukan cairan dalam interstisium paru bergantung pada keseimbangan gaya hidrostatik dan onkotik dalam kapiler paru dan jaringan sekitar. Tekanan hidrostatik mempermudah gerakan cairan dari kepiler ke dalam interstisium. Tekanan onkotik yang di tentukan berdasarkan kosentrasi protein dalam darah, mempermudah perpindahan cairan kedalam pembuluh darah. Albumin, protein primer dalam plasma, dapat rendah pada kondisi seperti sirosis dan sindrom nefrotik.
Sementara hipoalbuminemia mempermudah perpindahan cairankedalam jaringan untuk tekanan hidrostatik tertentu dalam kapiler, biasanya hipoalbuminemia sendiri tidak cukup untuk menyebabkan edema interstisial. Pada orang yang sehat, tight junction endotel kapiler bersifat tidak permeabel terhadap protein, dan limpa dalam jaringan mengangkut sejumlah kecil protein yang dapat bocor keluar. Faktor-faktor tersebut secara bersamaan meghasilkan gaya onkotik yang mempertahankan cairan dalam kapiler. Meskipun demikian, gangguan barier ndotel memungkinkan protein keluar dari kapiler dan meningkatkan perpindahan cairan kedalam jaringan paru.
(Priscilla LeMone, 2016) pada edema paru kardiogenik, kontraktilitas ventrikel kiri sangat terganggu. Fraksi ejeksi turun saat ventrikel tidak dapat mengeluarkan darah yang memasukinya, menyebabkan kenaikan tajam volume dan tekanan diastolik akhir.
darah. Sebagai hasilnya, kebocoran cairan ddan kapiler paru membendung jaringan interstisial, mengurangi komplians paru dan mengganggu pertukaran gas. Ketika tekanan kapiler dan interstisial meningkat, celah dinding alveolus yang ketat terganggu dan cairan masuk ke alveolus, bersama dengan sel darah merah dan molekul protein berjumlah besar. Ventilasi dan pertukaran gas sangat terganggu dan hipoksia memburuk.
2.2.4. Klasifikasi Edema Paru
2.2.4.1 Edema Paru Kardiogenik
Menurut (Harrison, 2016) kelainan jantung yang menyebabkan peningkatan tekanan vena paru menggeser keseimbangan gaya-gaya antara kapiler dan interstisium.
Tekanan hidrostatik meningkat dan cairan lebih cepat keluar dari kapiler, menyebabkan edema interstitium dan pada kasus lebih parah menyebabkan edema alveolus. Terjadinya efusi pleuradapat memperparah fungsi sistem pernapasan dan berperan menyebabkan ketidaknyamanan bernapas.
2.2.4.2 Edema Paru Non-kardiogenik
Pada edema paru non-kardiogenik, cairan dalam paru meningkat akibat kerusakan lapisan dalam kapiler paru disertai kebocoran protein dan makromolekul lain kedalam jaringan cairan mengikuti protein karena gaya onkotik bergeser dari pembuluh ke jaringan paru sekitar. Proses ini disertai disfungsilapisan surfaktan alveolus, meningkatnya gaya-gaya permukaan dan kecendrungan alveolus untuk kolaps pada volume paru yang rendah.
2.2.5. Manifestasi klinis
Menurut (Priscilla LeMone, 2016) pasien dengan edema paru datang dengan manifestasi klasik.
2.2.5.1 Pernapasan
a. Dispneu, napas pendek, dan pernapasan berat terjadi akut dan berat, disertai dengan ortopnea, ketidakmampuan untuk bernapas pada saat berbaring telentang.
b. Batuk produktif dengan sputum berbusa berwarna merah muda berkembang akibat cairan, SDM, dan protein plasma dalam alveolus dan jalan napas.
c. Ronki terdengar di seluruh lapang paru pada auskultasi, ketika keadaan semakin memburuk bunyi paru menjadi lebih kasar.
2.2.5.2 Kardiovaskular
Sianosis muncul dan kulit dingin, lembab dan berkeringat.
2.2.5.3 Neurologis
Pasien akan gelisah dan sangat ansietas meskipun hipoksia berat dapat menyebabkan kebingungan atau letargi. Tanpa penanganan yang cepat dan efektif maka hipoksia jaringan berat dan asidosis akan menyebabkan gagal sistem organ dan kematian.
2.2.6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Chris Tanto, 2014) pada pasien dengan edema paru sangat disarankan untuk melakukan pemeriksaan rongen thoraks. Tanda- tanda edema paru pada rongent thoraks
2.2.6.1 Penebalan peribronkial
2.2.6.2 Peningkatan corakan vaskular hingga kezona atas paru
oleh pelebaran vena paru bagian atas karena jumlah cairan yang berlebihan.
2.2.6.3 Adanya garis kerley B, yang menandakan adanya interstisial edema. Garis ini merupakan tanda awal edema paru. Garis kerley B adalah garis horizontal yang tampak pada gambaran lateral di bagian bawah lapang paru. Biasanya muncul dari permukaan pleura, setebal 1mm dan sepanjang 10mm, tidak seperti pembuluh darah garis ini mencapai ujung dari paru.
2.2.6.4 pada edema paru yang berat, tampak gambaran opasitas alveolar dengan batas tidak tegas. Awalnya terdistribusi perihilar, lalu menjadi infiltrat alveolus yang di fus.
2.2.6.5 Bisa disertai dengan efusi fleura
2.2.6.6 Pada edema paru kardiak juga ditemukan pembesaran ruang jantung.
2.2.7. Penatalaksanaan
Menurut (Harrison, 2016) terapi edema paru tergantung pada penyebab jika mengancam nyawa sejumlah tindakan perlu dilakukan segera untuk membantu sirkulasi.
2.2.7.1 Terapi oksigenasi dan ventilasi
a. Bantuan oksigenasi esensial untuk menjamin penyaluran O2 yang adekuat kejaringan perifer termasuk jantung.
b. Ventilasi tekanan positif, jika oksigenasi atau ventilasi tidak memadai, meskipun pasien sudah di beri suplemen O2 perlu dilakukan ventilasi tekanan positif dengan sungkup wajah atau hidung atau dengan intubasi endotrakea.
c. Mengurangi preload pada sebagian besar bentuk edema paru, jumlah air paru ekstavaskular ditentukan oleh PCWP dan status volume intravaskular.
d. Metode fisis pengurangan aliran balik vena mengurangi preload. Pasien tanpa hipotensi sebaiknya dirawat dalam keadaan duduk dengan tungkai bawah tergantung disisi tempat tidur.
e. Terapi takiaritmia dan resinkronisasi atrial-ventrikel dimana takikardia sinus atau fibrilasi atrium dapat terjadi akibat peningkatan tekanan atrium kiri dan stimulasi simpatis. Takikardia dapat membatasi waktu pengisian ventrikel kiri serta meningkatkan tekanan atrium kiri lebih lanjut.
2.2.7.2 Terapi Farmakologi a. Deuretik
“Loop diuretics” furosemid, bumetanid aktif pada sebagian besar bentuk edema paru bahkan dalam keadaan hipoalbuminemia, hiponatremia, atau hipokloremia. Furosemid juga merupakan venodilator yang cepat mengurangi preload, sebelum terjadinya diuresis, dan merupakan deuretik pilihan.
b. Nitrat
Nitrogliserin dan isosorbid dinitrat bekerja terutama sebagai venodilator, meskipun juga memiliki sifat vasodilator koroner. Obat golongan ini memiliki awitan cepat dan efektif jika diberikan melalui
edema paru dan hipertensi, tetapi tidak dianjurkan pada keadaan penurunan perfusi arteri koroner.
c. Morfin
Morvin yang diberikan dalam bolus IV merupakan venodilator transien yang mengurangi preload sembari meredakan dispneu dan rasa cemas. Efek ini dapat mengurangi stres, kadar ketokolamin, takikardia, dan afterload ventrikel pada pasien dengan edema paru dan hipertensi sistemik.
d. Inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) ACE inhibitor mengurangi afterload dan preload serta dianjurkan untuk pasien hipertensi. Pasien mula-mula dapat diberikan obat kerja singkat dengan dosis rendah dan kemudian dosis oral ditingkatkan. Pada MI akut dan gagal jantung, ACE inhibitor mengurangi angka kematian jangka pendek dan panjang.
e. Obat penurun preload lain
Peptida natriuretik otak rekombinan (nesiritid) IV merupakan vasodilar kuat dengan sifat diuretik dan efektif dalam mengobati edema paru kardiogenik.
Obat ini sebaliknya dicadangkan untuk pasien refrakter dan tidak dianjurkan pada keadaan iskemia atau MI.
f. Obat inotropik dan inodilator
Amina simpatomimetik dopemin dan dobutamin merupakan obat nitropik poten, inhibitor bipiridin fosfodiesterase-3 meransung kontraktilitas miokardium sembari menyebabkan vasodilatasi perifer dan paru. Obat golongan ini di indikasikan
untuk pasien dengan edema paru kardiogenik dan disfungsi berat ventrikel kiri.
g. Glikosida digitalis
Glikosida digitalis yang dahulu adalah terapi utama karena efek intropiknya, saat ini jarang di gunakan.
Namun obat golongan ini mungkin berguna untuk mengontrol kecepatan ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atau flutter atrium dan disfungsi ventrikel kiri karena mereka tidak memiliki efek inotropik negatif obat-obat lain yang menghambat hantaran nodus atrioventrikel.
2.3 Konsep Dispneu pada Edema Paru CHF 2.3.1. Pengertian Dispneu
Menurut (Price dan Wilson, 2006) dalam Agung Wahyu Permadani, 2017) dispneu atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas ditandai dengan napas yang pendek dan penggunaan otot bantu pernapasan. Dispneu dapat ditemukan pada penyakit kardiovaskuler, emboli paru, penyakit paru interstisial atau alveolar, gangguan dinding dada, penyakit obstruktif paru (emfisema, bronkitis, asma), dan kecemasan.
(Harrison, 2016) dispneu merupakan suatu sensasi tidak nyaman saat bernapas yang bersifat subjektif, secara kualitatif khas dan bervariasi intensitasnya
(Tabrani Rab, 2010) dispneu adalah kesulitan bernapas yang disebabkan karena suplai oksigen ke dalam jaringan tubuh tidak
dengan adanya kontraksi dari otot-otot pernapasan tambahan, dispneu sering ditemukan pada penyakit paru maupun penyakit jantung.
2.3.2. Penyebab Dispneu
Menurut (Tabrani Rab, 2010) penyebab dari dispneu : 2.3.2.1 Dispneu sistem pernapasan
a. Penyakit pada saluran napas
Asma dan PPOK, penyakit paru obstruktif tersering, ditandai dengan obstruksi aliran udara ekspirasi yang biasanya menyebabkan hiperinflasi dinamik paru dan dinding dada.
b. Penyakit pada dinding dada
Efusi pleura dalam jumlah besar dapat menyebabkan dispneu, baik dengan meningkat kan upaya napas maupun dengan merangsang reseptor-reseptor paru jika terdapat atelaktasis.
2.3.2.2 Dispneu pada sistem kardiovaskular a. Penyakit pada jantung kiri
Penyakit pada miokardium akibat penyakit arteri koroner dan kardiomiopati non-iskemik menyebabkan volume diastolik akhir ventrikel kiri yang lebih besar dan peningkatan tekanan sarta tekanan kapiler paru menyebabkan edema interstitium dan stimulasi reseptor paru sehingga timbul dispneu.
b. Penyakit pada pembuluh darah paru
Tromboemboli paru dan penyakit primer pada aliran darah paru menyebabkan dispneu melalui
peningkatan arteri pulmonal dan stimulasi reseptor paru.
2.3.3. Patofisiologi
Menurut (Tabrani Rab, 2010) sensasi bernapas merupakan hasil interaksi antara impuls motorik eferen yaitu keluar dari otak menuju ke otot ventilasi (feed forward), dan impuls sensorik aferen yaitu datang dari reseptor ke seluruh tubuh (umpan balik). Eferen motorik merupakan gangguan pompa ventilasi, terutama peningkatan resistensi saluran nafas atau kekakuan (penurunan komplians) sistem pernapasan, biasanya menyebabkan peningkatan kerja upaya napas atau sensasi peningkatan usaha untuk bernapas. Jika otot-otot melemah atau kelelahan, diperlukan usaha yang lebih besar, meskipun mekanika sistem masih normal.
2.3.4. Gejala klinis
2.3.4.1 Menurut (Tabrani Rab, 2010) New York Heart Association dispneu dapat dibagi menjadi empat tingkatan, yakni : a. Tingkat I
Bila dispneu tidak membatasiaktivitas, artinya kebutuhan oksigen baik pada masa istirahat maupun pada masa setelah latihan dapat dikompensasi oleh paru-paru.
b. Tingkat II
Terjadi pembatasan yang ringan dari fungsi paru, artinya pada penderita yang melakukan aktivitas fisik dapat terjadi dispneu, akan tetapi pada waktu istirahat tidak terjadi dispneu.
Aktivitas fisik penderita sangat terbatas dan dengan aktivitas fisik yang ringan saja sudah dapat menimbulkan sesak napas.
d. Tingkat IV
Dispneu terjadi pada keadaan istirahat, kerja yang ringan akan memperberat keadaan dispneunya.
2.3.4.2 Menurut (Jevon dan Ewens, 2008) dalam Novitasari, 2015) respirasi rate pada orang dewasa yaitu :
a. Normal apabila respirasi rate 12-20 x/menit
b. Bradipneu apabila respirasi rate kurang dari 12 x/menit
c. Takipneu jika respirasi rate lebih dari 20 x/menit
2.3.5. Klasifikasi Dispneu
Menurut (Tabrani Rab, 2010) dispneu dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
2.3.5.1 Inspiratori dispneu, kesukaran bernapas pada wakti inspirasi yang disebabkan oleh karena sulitnya udara untuk memasuki paru-paru.
2.3.5.2 Ekspiratori dispneu, kesukaran bernapas pada waktu ekspirasi yang disebabkan oleh karena sulitnya udara yang keluar dari paru-paru.
2.3.5.3 Kardiak dispneu, yakni dispneu yang disebabkan primer penyakit jantung.
2.3.5.4 Exertional dipsneu, yakni dispneu yang disebabkan oleh karena olah raga.
2.3.5.5 Paroksimal dispneu, dispneu yang disebabkan oleh karena kesulitan ekspansi dari rongga toraks.
2.3.5.6 Ortostatik dispneu, dispneu yang terjadi sewaktu-waktu baik pada malam maupunsiang hari.
2.3.6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan yang akan dilakukan
2.3.6.1 Kelainan yang terdapat pada paru-paru dapat berupa penyempitan saluran pernapasan bawah, wheezing (mengi) atau ronki basah pada paru-paru.
2.3.6.2 Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, terutama untuk mengetahui adanya anemia atau bentuk patologi lainnya.
Sedangkan pemeriksaan EKG dan pemeriksaan foto rontgen harus dilakukan untuk menegakan diagnosis.
2.3.6.3 Pemeriksaan analisis gas darah untuk menganalisis gas darah maupun reaksi dari paru terhadap pemberian O₂ dengan kosentrasi yang tinggi.
2.3.6.4 Pemeriksaan (Scantygraphy) pemeriksaan ini berdasarkan atas inhalasi maupun perfusi sehingga dengan demikian dapat mengetahui ventilasi dan pengaliran darah kedalam paru-paru.
2.3.6.5 Pemeriksaan Ekokardiogram merupakan suatu pemeriksaan yang non-invasif
2.3.6.6 Pemeriksaan invasif jantung meliputi pemeriksaan dengan kateter Swans Ganz, angiografi, dan kateterisasi.
2.4 Macam-macam posisi tubuh untuk menurunkan frekuensi sesak napas pada pasien CHF
2.4.1. Posisi Fowler
5.1.1 Pengertian posisi fowler
Menurut (Suparmi, 2008) dalam Prayitno, 2015) posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, dimana bagian kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikan. Posisi ini dilakukan untuk mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien.
5.1.2 Tujuan
Meningkatkan rasa nyaman dan meningkatkan dorongan pada diafragma sehingga meningkatnya ekspansi dada dan ventilasi paru.
5.1.3 Prosedur
a. Dudukan pasien
b. Berikan sandaran atau bantal pada tempat tidur pasien atau atur tempat tidur pasien
c. Berikan posisi fowler 90O.
d. Anjurkan pasien untuk tetap berbaring
2.4.2. Semi Fowler
2.4.2.1 Pengertian posisi semi fowler
Menurut (Musrifatul Uliyah dan Aziz, 2008) dalam Suhendra, dkk, 2016) posisi semi fowler adalah sebuah posisi setengah duduk atau duduk dimana bagian kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikan 45̊ dan posisi ini dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien.
(Kozier, dkk, 2010) dalam Prayitno, 2015) posisi semi fowler atau posisi setengah duduk adalah posisi tempat tidur yang meninggikan batang tubuh dan kepala dinaikan 15 sampai 45 derajat. Apabila pasien berada dalam posisi ini, gravitasi menarik diafragma ke bawah, memungkinkan ekspansi dada dan ventilasi paru yang lebih besar.
2.4.2.2 Tujuan
Menurut (Suparmi, 2008) dalam Prayitno, 2015) tujuan pemberian posisi semi fowler adalah membantu mengatasi masalah kesulitan pernapasan dan pasien dengan gangguan jantung.
2.4.2.3 Prosedur
a. Tahap Orientasi
1) Identifikasi keluah pasien akan posisi semi fowler
2) Jelaskan tujuan dan manfaat dari posisi semi fowler.
3) Jaga privasi pasien 4) Siapkan alat 5) Cuci tangan
b. Tahap Kerja
1) Buatlah posisi tempat tidur yang memudahkan
2) Sesuaikan berat badan pasien dan perawat. Bila perlu carilah bantuan atau gunakan alat bantu pengangkat.
3) Kaji daerah-daerah yang mungkin tertekan pada posisi tidur pasien, seperti tumit, procesus spinosus, sacrum dan skapula.
4) Atur tempat tidur pada posisi datar. Ambil semua bantal dan perlengkapan lain yang digunakan pada posisi sebelumnya.
5) Beri bantal pada tempat tidur pasien bagian atas 6) Pindahkan pasien ke bagian atas tempat tidur 7) Tekuk lutut pasien dan anjurkan untuk
meletakan tangan diatas dadanya.
8) Letakan satu tangan perawat dibawah bahu pasien dan tangan yang lain dibawah paha pasien.
9) Angkat dan tarik pasien sesuai yang di inginkan, mintalah pasien untuk mendorong kakinya.
10) Yakinkan bahwa bokong pasien berada tepat pada sudut lekukan tempat tidur.
a) Naikan posisi tempat tidur bagian kepala 30-40 derajat atau sesuai kebutuhan.
b) Letakan bantal kecil lunak di bawah kepala.
c) Letakan bantal kecil atau gulungan handuk di daerah lekuk pinggang jika terdapat celah kecil didaerah tersebut.
d) Letakan bantal kecildi bawah lutut sampai tumit
e) Letakan guling atau trochanter roll disisi luar paha.
f) Letakan papan penghalang pada telapak kaki pasien.
g) Letakan bantal untuk mendukung lengan dan tangan jika pasien tidak dapat menggerakan lengan
c. Evaluasi
1) Evaluasi tindakan yang telah dilakukan dengan menilai rasa nyaman pasien.
2) Rapikan alat 3) Cuci tangan
d. Dokumentasi
Catat tindakan yang telah dilakukan
2.5 Konsep Sholat
2.5.1. Pengertian sholat
Menurut (Syakir Jamaluddin, 2010) Sholat dalam bahasa arab adalah do’a, menurut syara’ sholat ialah ibadah kepada allah dalam bentuk beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Sholat adalah kewajiban utama bagi setiap orang islam setelah baligh, hukumnya adalah fardhu ain. Selama masih dapat menghembuskan napas maka kewajiban sholat melekat di pundaknya dan tidak dapat diwakilkan dalam keadaan bagaimanapun, kapanpun,
dan dimanapun sholat harus dikerjakan maka dalam islam terdapat syariat tentang sholat orang yang sakit, ketika dalam perjalanan dll.
ُ مِقَا َو :توبکنعلا.ُ.ُ.ُ ِرَکْن مْلا َوِءۧاَشْحَفْلاُِنَعُیھْنَتَةوٰلَّصلاَُّنِاَةوٰلَّصل١ ۵۴
“kerjakanlah sholat, sesungguhnya sholat itu mencegah perbuatan yang keji dan yang munkar” (Q.S Al-Ankabut : 45)
Sholat mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam syari’at agama islam, hingga kesempurnaan amal seseorang, baik buruk perbuatan manusia dilihat dari sempurna pelaksanaan sholatnya bahkan sholat adalah pembeda antara orang yang beriman dan orang kafir.
2.5.2. Manfaat sholat
Menurut (Elzaky, 2011) dalam Suprapto 2015) Sholat memiliki keutamaan dan faedah yang besar untuk menciptakan kesehatan dan ketenangan jiwa. Sholat dapat meneguhkan dan menyucikan hati serta melapangkan dada. Sebab ketika mendirikan sholat, hati seorang hamba tersambung kepada allah.
(Zainuddin, 2014 ) dalam jurnal Solat Bio Teraphy Module mengemukakan manfaat sholat bagi tekanan darah tinggi, sakit lutut, gout, migran, sakit pinggang, dan pembedahan ovari. Proses kesembuhan secara fisik dan spiritual mampu merawat dan meningkatkan sistem imun tubuh. Sholat sunat pada waktu malam seperti sholat tahajud dan witir, karena pada waktu ini kadar hormon kortison berada pada tahap yang rendah. Keadaan ini dapat meningkatkan sistem imun tubuh.
2.5.2.1. Tekanan darah tinggi
Teknik rukuk 90˚ dan sujud yang sempurna dapat menstabilkan tekanan darah, denyut jantung akan menurun ketika dalam posisi sujud.
2.5.2.2. Pernapasan
Ternik pernapasan ketika sholat amat penting untuk kelancaran oksigen ke paru-paru secara optimal. Keadaan ini sangat penting bagi kesehatan tubuh dan badan.
2.5.2.3. Sakit lutut dan sakit pinggang
Ketika rukuk, sujud dan duduk antara dua sujud maka sendi- sendi pada kaki, lutut dan pinggang lebih fleksibel yang mempengaruhi darah dan oksigen dapat mengalir dengan baik.
2.5.2.4. Penyakit gout
Teknik duduk antara dua sujud dan duduk rakaat terakhir yang sempurna dapat membantu memecahkan lemak asid urik dan melembutkan sendi-sendi pada kaki, tangan dan lutut supaya pengliran darah dapat berfungsi dengan baik keseluruh bada. Pada penyakit gout akan mengalami renggangan pada pada sendi jari kaki.
2.5.2.5. Sakit kepala
Adanya tarikan gravitasi bumi ketika sujud menyebabkan jantung memompa darah ke otak secara optimal.
2.5.2.6. Sakit pinggang
Gerakan dalam sholat mampu menghilangkan toksik dalam tubuh melalui keringat. Semua posisi sholat melibatkan pergerakan, pernafasan yang efektif serta kelenturan badan, berupaya meningkatkan stamina.
Menurut (Zainuddin, 2014) Sholat terdiri dari gerakan yang melibatkan berbagai bagian tubuh. Untuk mengetahui efek dari gerakan-gerakan ini terhadap kesehatan tubuh.
2.5.3.1 Berdiri tegak menghadap kiblat
Awal sholat adalah berdiri tegak pada posisi orang yang bersiap dari struktur tubuh posisi itu memfungsikan setiap struktur tulang dan otot pada semua bagian tubuh mulai dari kaki sampai kepala.
a. Mengarahkan pandangan ke tempat sujud
Menundukan kepala lebih dekat ke khusyuk dan lebih menenangkan mata, sebaliknya membatasi pandangan di atas sajadah saja. Hal ini membantu melayangnya pikiran.
b. Kepala agak menunduk kedepan
Membuat tulang leher pada sendi atas mengalami peregangan otot ringan.
c. Badan tegak
Ruas-ruas tulang belakang mengalami penyempurnaan letak
d. Posisi berdiri tegak
Membuat aliran sistem dan pola saraf menjadi lancar e. Posisi kedua telapak kaki sejajar lurus
Membentuk jaringan otot kaki yang kokoh
2.5.3.2 Takbiratul ihram
Kedua tangan diangkat sampai kedua telapak tangan sejajar dengan telinga dan lengan bagian atas dibuka melebar
menggerakan persendian yang secara umum. Gerakan inimenggabungkan mekanisme pengembangan dan pengempisan paru-paru untuk mendapatkan oksigen yang optimal, mengalirkan darah yang lancar, pergerakan di otot dan tulang dilengan dan dada. Kemudian gerakan ini mengintegrasikan sistem panca indra dengan memfokuskan mata pada tempat sujud memusatkan kosentrasi.
2.5.3.3 Membaca al-fatihah
Dengan mengawali pernapasan, membaca al-fatihah secara perlahan dengan menarik napas lebih dalam dan menghembuskan keluar. Jika pernapasan dalam ini ditahan sebelum di hembuskan keluar, oksigen (O₂) akan lebih meresap masuk ke bagian bawah paru-paru dimana alveoli mendapat oksigen yang optimum, dan karbondioksida (CO₂) dikeluarkan. Dengan teknik pernapasan dalam yang diulang otot-otot rangka akan menjadi rileks dan otak menjadi tenang karena suplai (O₂) yang banyak.
2.5.3.4 Rukuk
Gerakan rukuk dengan membengkokan badan 90˚ serta meluruskan kaki, kepala berada pada garis lurus dengan bahu dan tulang belakang. Posisi rukuk dapat menjaga kesempurnaan fungsi tulang belakang sebagai penyangga tubuh dan pelindung sistem saraf derakan ini merenggangkan ruas antara tulang belakang dengan memanipulasi aliran cairan serebrospinal didalam otak dan tulang belakang.
Posisi rukuk dapat melembutkan ruas-ruas tulang belakang pada waktu bersalin , melancarkan darah keotak karena
jantung berada pada garis lurus agar mensuplai darah ke otak, menurunkan tekanan darah tinggi, jantung, migrain dan stress. Tangan yang menekan lutut berfungsi untuk membuka tempurung lutut supaya O₂ dapat dialirkan dengan baik kelutut.
2.5.3.5 Iktidal
Posisi gerakan setelah rukuk seperti teknik takbiratul ihram berhenti seketika manakala tulang belakang ditegakan mengisyaratkan otak terhadap otak. Keadaan tenang pada otak secara maksimum, posisi ini dapat memberi kestabilan emosi dan mental seseorang dalam berbagai situasi yang genting.
2.5.3.6 Sujud
Posisi sujud dapat meningkatkan aliran darah ke otak karena kedudukan jantung lebih tinggi dari kepala, maka suplai oksigen yang optimal dapat di salurkan ke otak, mengurangi ketegangan bagian atas paru-paru, bagi wanita hamil akan memudahkan wanita bersalin, dan kontraksi pada otot-otot rangka yang membantu pergerakan darah didalam saluran darah vena serta tarikan gravitasi mampu mmeringankan beban aktivitas jantung dalam memompa darah. Pada posisi sujud denyut jantung 72-73 ×/menit sedangkan keadaan biasa 80-90 ×/menit. Oleh sebab itu posisi sujud merupakan terapi dan perawatan yang efektif bagi masalah kardiovaskuler, dan dapat meningkatkan gelombang alpha.
2.5.3.7 Duduk antara dua sujud
Pada posisi duduk ini tumit menekan otot-otot pangkal paha yang besar dimana posisi ini dapat melancarkan pengaliran darah kembali ke jantung, selain itu juga menjadi penawar penyakit saraf pangkal paha dan prostat.
2.5.3.8 Duduk tahyat akhir
(Mohammed Faruque Reza et al., 2012) Posisi ini akan melancarkan pengaliran darah kembali kejantung, ketika ujung jari kaki dilentikan akan memberi renggangan yang kuat untuk memecahkan lemak asid urik yang terkumpul dibawah telapak kaki. Secara tidak lansung menjadi terapi yang efektif untuk mencegah penyakit gout.
2.5.3.9 Memberi salam
Posisi ini merupakan gerakan memutar kepala kekanan dan kekiri merenggangkan otot kepala dan leher, menjadi senam ringan bagi otot kulit wajah.
2.5.4. Jenis-jenis sholat 2.5.4.1 Sholat Fardhu
Menurut (Saktiawan, 2010) waktu-waktu sholat fardu sangat bermanfaat bagi sistem sirkulasi yang sangat bermanfaat bagi tubuh.
a. Subuh
Waktu pelaksanaan sholat subuh adalah sejak terbit fajar sampai hampir terbit matahari. Subuh merupakan waktu yang tepat untuk proses terapi sistem pernapasan dalam paru-paru karena pada saat pagi hari udara masih bersih. Penelitian mutakhir dalam ilmu medis mengungkapkan kebiasaan bangun
sekitar pukul 03.00 – 05.00 terjadi proses detoksin (pembuangan zat racun) dibagian paru-paru. Oleh karena itu biasanya penderita batuk akan mengalami batuk yang hebat karena proses detoksin sudah mencapai saluran pernapasan.
b. Zuhur
Waktu zuhur adalah sejak tergelincirnya matahari dari tengah-tengah langit hingga bayangan benda sama panjang dengan benda itu. Tubuh manusia ibaratkan mesin dimana tengah hari merupakan puncak panasnya sistem organ internal manusia jadi pada saat waktu zuhur dimana puncak kepenatan dari berbagai aktivitas sepanjang hari dengan melakukan sholat zuhur sebagai sebuah bentuk relaksasi, panas jantung yang berlebihan bisa menjadi normal kembali.
c. Ashar
Waktu ashar adalah setelah habis waktu zuhur hingga terbenam matahari. Dalam ilmu kesehatan pukul 15.00-17.00 merupakan waktu yang tepat untuk terapi kandung kemih karena pada saat itu terjadi kesesuaian secara perlahan antara hawa tubuh manusia dan hawa sekitarnya. Pada waktu itu lingkungan alam sudah mengalami penurunan suhu udara yang mulai masuk dalam tahap keseimbangan panas dan dingin. Aktivitas sepanjang siang mengumpulkan energi panas dengan sholat ashar membantu proses kerja jantung dalam melepaskan dalam melepaskan energi panasnya dan dibuang
melalui salah satu cairan yang dialirkan lewat kandung kemih.
d. Magrib
Sholat magrib dalaksanakan pada waktu sesudah matahari terbenam hingga lenyapnya mega merah di sebelah barat. Waktu ini merupakan terapi ginjal yaitu pukul 17.00-19.00 dimana suhu lingkungan dan aktivitas mulai menurun dan sistem organ juga akan menyesuaikan diri dengan energi disekitarnya.
Dengan melakukan gerakan-gerakan sholat tubuh akan menyesuaikan diri dengan hawa disekitar, dan ini akan menyebabkan energi panas dalam tubuh selalu terjaga agar tetap seimbang.
e. Isya
Sholat isya dilaksanakan setelah habis waktu magrib hingga menjelang subuh pada pukul 19.00-21.00 mulailah penurunan kerja organ internal yang telah digunakan dalam aktivitas sehari-hari, tubuh memasuki masa istirahat terutama kerja jaringan otot yang digunakan untuk gerak dan berpikir.
2.5.4.2 Sholat sunnah
Menurut (Danarta, Agung 2010) dalam terminologi fiqh sholat sunnah adalah kategori sholat yang tidak harus dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin tetapi hanya sekedar tambahan dalam ibadah fardhu.
a. Sholat lail
Sholat lail disebut juga dengan sholat tahajjud,
dengan sholat qiyamur ramadhan dan sholat tarawih, sholat lail atau tahajjud sebanyak 11 rakaat atau 4 rakaat-4 rakaat dan 3 rakaat terakhir. Waktunya setelah sholat isya hingga menjelang terbit fajar baik dibulan ramadhan ataupun diluar bulan ramadhan.
b. Sholat dhuha
Sholat dhuha dikerjakan pada waktu matahari meninggi (kira-kira setengah jam setelah matahari terbit sampai setengah jam sebelum matahari tepat ditengah pada siang hari). Dikerjakan sebanyak 2 rakaat atau 4 rakaat hingga 8 rakaat dengan salam di tiap-tiap 2 rakaat.
2.2.5. Syarat-syarat sah sholat
Menurut (Syakir Jamaluddin, 2010) syarat sah sholat yaitu : 2.2.5.1 Suci dari najis dan hadats
a. Najis Hakiki
Najis hakiki merupakan segala kotoran seperti tinja, kencing, darah (termasuk nanah karena merupakan darah yang membusuk) liur anjing, madzi (air berwarna putih cair yang keluar dari kemaluan laki- laki yang biasanya karena syahwat seks, tapi bukan air mani), wadi (air putih agak kental yang keluar dari kemaluan biasanya setelah kencing dan karena kecapekan), dan semacamnya. Najis ini harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum melakukan aktifitas thaharah selanjutnya.
b. Najis Hukmi
Najis hukmi merupakan najis yang diperbuat oleh anggota badan yang menyebabkan ia terhalang untuk melakukan sholat. Hadats ini ada 2 macam yaitu hadats kecil dan hadats besar.
1) Hadats kecil yaitu suatu keadaan dimana seorang muslim tidak dapat mengerjakan sholat kecuali dalam keadaan wudlu atau tayamum sebagai ganti wudlu. Hadats kecil seperti buang air besar atau kecil, kentut, menyentuh kemaluan tanpa pembatas, dan tidur nyenyak dalam posisi berbaring.
2) Hadats besar seperti junub dan haid yaitu harus disucikan dengan mandi besar atau bila tidak memungkinkan untuk mandi maka cukup berwudlu atau tayamum.
2.2.5.2 Wudlu
Dalil tentang wajibnya wudlu terdapat dalam QS. Al- Maidah 5-6 “allah tidak menerima sholat salah seorang kamu bila berhadats sampai ia berwudlu”
a. Rukun dan tata cara berwudlu
Rukun atau fardhu wudlu adalah sesuatu yang wajib dikerjakan dalam berwudlu. Dengan demikian tata cara wudlu secara lengkap berdasarkan sunnah Rasulullah SAW adalah sebagai berikut.
1) Niat berwudlu karena allah semata adalah awal yang sangat menentukan dalam melakukan
setiap perbuatan. Niat cukup dilakukan dalam hati dan tidak perlu dilafalkan.
2) Membasuh tangan tiga kali sambil menyelai- nyelai jemari.
3) Berkumur-kumur secara sempurna sambil memasukan air kehidung dan kemudian menyemburkannya sebanyak tiga kali.
4) Membasuh wajah tiga kali secara merata sambil mengucek ujung bagian dalam kedua mata. Bagi yang berjenggot di tuntunkan supaya menyelai- nyelainya.
5) Membasuh tangan kanan sampai siku tiga kali kemudian tangan kiri dengan cara yang sama.
6) Mengusap kepala sekaligus dengan telinga cukup satu kali kepala yang dimaksud adalah tempat tumbuhnya rambut.
7) Membasuh kaki kanan sampai dua mata kaki sambil menyelai-nyelai jemari sebanyak tiga kali, kemudian kaki kiri dengan gerakan yang sama.
8) Berdo’a setelah berwudlu sambil menghadap kiblat.
b. Hal-hal yang membatalkan wudlu
Ada lima hal yang dapat membatalkan wudlu yaitu : 1) Keluarnya sesuatu dari dua lobang bawah yakni
qubul dan dubur baik karena hadats kecil maupun hadats besar.
2) Tidur nyenyak dalam keadaan berbaring (telentang).
3) Menyentuh kemaluan tanpa alas atau pembatas.
4) Hilang akal seperti gila, pingsan atau mabuk 5) Bersentuhan antara pria dan wanita yang bukan
mahramnya.menurut imam syafi’i bahwa bagi lelaki yang menyentuh wanita selain mahramnya tanpa pembatas membatalkan wudlu meskipun terhadap istrinya sendiri.
2.2.5.3 Menutup aurat
Para ulama umumnya sepakat bahwa batas aurat laki-laki yang wajib di tutupi adalah dari pusat sampai lutut.
Sedangkang aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
2.2.6.7 Menghadap kearah masjidil haram
Yakni al-ka’bah sebagai kiblat saat sholat, sengaja allah memilih kata ke arah masjidil-haram karena memberikan kemudahan bagi orang yang tinggaljauh dari masjidil haram.
2.2.6. Tata cara Sholat 2.2.6.1 Niat
Niat merupakan perbuatan hati bukan perbuatan lisan sehingga tidak perlu diucapkan. Niat secara bahasa berarti mengeja sehingga siapapun yang mengeja suatu perbuatan maka sebenarnya ia telah memiliki maksud didalam hatinya.
Berdiri sempurna menghadap kiblat namun jika dalam keadaan darurat (sakit dan musafir diatas kendaraan) maka diperbolehkan duduk bahkan berbaring jika tidak mampu duduk.
2.2.6.3 Bertakbir
Mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga dan bahu sekaligus, sambil bertakbir. Meletakan tangan kanan diatas punggung pergelangan dan lengan kiri serta mengencangkan keduanya diatas dada. Pandangan kearah tempat sujud tidak boleh menutup mata, memalingkan pandangan serta sajadah yang bergambar karena dapat mengurangi ke khusyukan dalam sholat.
Membaca salah satu do’a iftitah kemudian surat al-fatihah dan ayat pendek lainnya.
2.2.6.4 Ruku
Mengangkat kedua tangan seperti takbiratul ihram menuju ke posisi ruku. Posisi tangan pada saat ruku ada pada kedua lutut dalam keadaan menggenggam, sehingga sudut rukuk diperkirakan 90O bujur sangkar.
2.2.6.5 I’tidal
Setelah ruku maka berdiri tegak dengan sempurna dan tangan lurus kebawah bukan bersedekap meletakan kanan kanan diatas tangan kiri.
2.2.6.6 Sujud
Bertakbir tanpa mengangkat tangan menuju gerakan posisi sujud dengan meletakan kedua lutut lebih dahulu lalu kedua tangan, kemudian meletakan wajah (dahi dan hidung).
Mendahulukan kudua lutut dari kedua tangan saat sujud.
2.2.6.7 Duduk
Setelah sujud kedua maka dituntunkan untuk duduk.
a. Duduk tasyahhud awal
Posisi dalam duduk iftirasy dimana duduk diatas bentangan kaki kiri sebagai alas sementara telapak kaki kanan ditegakan ditegakan dengan jari-jari kaki kanan menghadap kiblat.
b. Duduk tasyahhud akhir
Posisi duduk tawarruk dimana pangkal paha diatas (pantat) yang kiri duduk bertumpu pada lantai sedangkan posisi kaki kanan sama dengan tahiyat awal.
2.2.6.8 Salam
Setelah berdo’a dalam tasyahhud akhir, kemudian salamlah dengan berpaling kekanan hingga terlihat pipimu dari belakang.
2.6 Kerangka konsep
Menurut (Nursalam, 2014) kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel (baik variabel yang diteliti maupun tidak). Kerangka konsep dari penelitian dapat dilihat pada skema dibawah ini:
Skema 2.5 : kerangka konsep
2.7 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara yang diberikan peneliti mengenai hasil penelitian yang dilakukan “ada hubungan antara aktivitas sholat terhadap frekuensi serangan sesak napas pada pasien Congestive Heart Failure (CHF) di ruang Alamanda Tulip II RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2018”.
Congestive
Heart Failure (CHF)
Sholat Pemberian semi
fowler pada CHF
Frekuensi sesak napas
1. Terapi farmakologi 2. Istirahat
3. Pemberian O2
4. Posisi berbaring 5. Latihan napas
dalam
1. Sering 2. Sedang 3. Kurang