• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KADAR HbA1c DAN INDEKS MASSA TUBUH PADA PENDERITA KANKER DENGAN DIABETES MELLITUS DI RSUP HAJI ADAM MALIK TAHUN 2018 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KADAR HbA1c DAN INDEKS MASSA TUBUH PADA PENDERITA KANKER DENGAN DIABETES MELLITUS DI RSUP HAJI ADAM MALIK TAHUN 2018 SKRIPSI"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KADAR HbA1c DAN INDEKS MASSA TUBUH PADA PENDERITA KANKER DENGAN DIABETES MELLITUS DI

RSUP HAJI ADAM MALIK TAHUN 2018

SKRIPSI

Oleh:

SAW JAY WYN 160100219

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

RSUP HAJI ADAM MALIK TAHUN 2018

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

SAW JAY WYN 160100219

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

berkat-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini berjudul “Hubungan Antara Kadar HbA1c dan Indeks Massa Tubuh Pada Penderita Kanker Dengan Diabetes Mellitus di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2018” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), yang banyak memberikan dukungan selama proses penyusunan skripsi.

2. Dosen Pembimbing, Dr. dr. Sry Suryani Widjaja, M.Kes, yang banyak memberikan arahan, masukan, ilmu, dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sedemikian rupa.

3. Ketua Penguji, dr. Selvi Nafianti, M.Ked(Ped), Sp.A(K) dan Anggota Penguji, dr. Almaycano Ginting, M.Kes, M.Ked(Clin.Path), Sp.P.K., untuk setiap kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi ini.

4. Dosen Pembimbing Akademik, Dr. rer. medic, dr. M. Ichwan, M.Sc yang Senantiasa membimbing dan memberikan motivasi selama masa perkuliahan 7 semester.

5. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan dan ilmu yang diberikan dari mulai awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh pihak RSUP Haji Adam Malik yang banyak membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

7. Kedua orang tua saya, Saw Ching Heng dan Lee Geok Lan, kedua saudara penulis, Saw Jay Han dan Saw Jay Leon, yang selalu mendukung, memberikan semangat, kasih sayang, bantuan dan rasa kebersamaan yang tidak pernah berhenti sampai penulis menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabat-sahabat penulis, Nurnasuha binti Zainal Abidin, Jason Christopher, Juardy

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)

Malik Wijaya, Priesly Hokky, dan sahabat terbaik lainnya yang tak bisa disebut satu per satu saling bahu membahu menolong satu sama lain dari awal perkuliahan sampai selesainya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi konten maupun cara penulisannya. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap skirpsi ini dapat bermanfaat dan mampu memberikan sumbangsih bagi bangsa dan Negara terutama dalam bidang pendidikan terkhususnya ilmu kedokteran.

Medan, 30 Desember 2019 Penulis,

Saw Jay Wyn 160100219

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(6)

Kata Pengantar ……… ii

Daftar Isi……….. iv

Daftar Gambar………. vi

Daftar Tabel………. vii

Daftar Lampiran…..……….... viii

Daftar Singkatan…..……….... ix

Abstrak………. xi

Abstract………. xii

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Rumusan Masalah……….. 3

1.3 Tujuan Penelitian………... 3

1.3.1 Tujuan Umum……… 3

1.3.2 Tujuan Khusus………... 3

1.4 Manfaat Penelitian………. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 5

2.1 Diabetes Mellitus………... 5

2.1.1 Definisi ……… 5

2.1.2 Epidemiologi ………... 5

2.1.3 Manifestasi klinis……….. 6

2.1.4 Faktor risiko……….. 2.1.5 Patofisiologi……….. 2.1.6 Diagnosis……….. 2.1.7 Komplikasi……… 2.1.8 Pencegahan……… 2.2 HbA1c………. 7 9 9 10 10 12 2.2.1 Definisi………... 12

2.2.2 Nilai HbA1c……….. 13

2.2.3 HbA1c sebagai Tes Diagnostik.……… 13

2.2.4 Manfaat………. 2.2.5 Kekurangan………... 2.2.6 HbA1c sebagai Penanda Risiko Kanker………... 2.3 Indeks Massa Tubuh /IMT ………. 14 15 15 16 2.3.1 Definisi………. 16

2.3.2 Perhitungan………... 17

2.3.3 Klasifikasi………... 17

2.3.4 Manfaat………... 17

2.3.5 Hubungan antara Obesitas dan DM Tipe II …… 18

2.4 Kanker………... 2.3.1 Definisi ……… 18 18 2.3.2 Epidemiologi ………... 19

2.3.3 Faktor risiko ……….... 19

2.3.4 Patofisiologi ……… 21 iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(7)

2.3.5Mekanisme Potensial Menghubungkan Diabetes dan Malignansi ………

2.5 Kerangka Teori………

22 23

2.6 Kerangka Konsep………. 24

BAB III METODE PENELITIAN……….. 25

3.1 Rancangan Penelitian……… 25

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian……… 25

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian……… 25

3.3.1 Populasi Penelitian………. 25

3.3.2 Sampel Penelitian………... 25

3.4 Metode Pengumpulan Data………... 26

3.5 Definisi Operasional……….. 26

3.5.1 Usia……… 26

3.5.2 Jenis Kelamin ………... 26

3.5.3 IMT ……… 26

3.5.4 Hasil Kadar HbA1c ……… 27

3.5.5 Penyakit Kanker... 27

3.6 Metode Analisis Data………... 27

3.6.1 Pengolahan Data ……….... 27

3.6.2 Analisis Data……….. 3.7 Ethical Clearance………... 28 29 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……… 30

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN……… 37

DAFTAR PUSTAKA………. 39

LAMPIRAN..………. 43

v

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(8)

2.1 Patofisiologi resistensi insulin yg berpotensi mendorong

perkembangan tumor

21

2.2 Kerangka Teori 23

2.3 Kerangka Konsep 24

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Klasifikasi faktor risiko untuk diabetes tipe 2

7 2.2 Tingkat tes-tes darah untuk

diagnosa Diabetes

13

2.3 Klasifikasi IMT/BMI 17

4.1 Data Distribusi Sampel berdasarkan Usia

30 4.2 Data Distribusi Sampel berdasarkan

Jenis Kelamin

31 4.3 Data Distribusi Sampel

berdasarkan IMT

31 4.4 Data Distribusi Sampel

berdasarkan Kadar HbA1c

32 4.5 Data Distribusi Sampel berdasarkan

Jenis Penyakit Kanker

33 4.6 Hubungan kadar HbA1c dan IMT

pada pasien kanker dengan DM

34

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(10)

A Daftar Riwayat Hidup 43 B Surat Pernyataan Orisinalitas 44 C Ethical Clearance Penelitian 45

D Surat Izin Penelitian 46

E Surat Balasan Izin Penelitian 48 F Output Perangkat Lunak Statistik 49

G Data Induk Penelitian 52

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(11)

DAFTAR SINGKATAN

ADA : American Diabetes Association ATP : Adenosine Triphosphate

BMI : Body Mass Index

CDC : Centers for Disease Control and Prevention DCCT : The Diabetes Control and Complications Trial DM : Diabetes Mellitus

DMT2 : Diabetes Mellitus tipe 2 DNA : Deoxyribonuclei acid

EASD : European Association for the Study of Diabetes GDPT :Glukosa Darah Puasa Terganggu

GLOBOCAN : Global Cancer Observatory

HbA1c : Haemoglobin A1c / Glycated haemoglobin HD : High Density

HPV : Human Papilloma Virus

IARC : International Agency for Research on Cancer IDF : International Diabetes Federation

IGF-1 : Insulin-like Growth Factor 1

IGFBP : Insulin-like Growth Factor Binding Protein IGT : Impaired Glucose Tolerance

IIF : International Insulin Foundation IL : Interleukin

IMT : Indeks Massa Tubuh KGD : Kadar Gula Darah

KHNK : Koma Hiperosmoler Non Ketotik

NGSP : The National Glycohemoglobin Standardization OGTT : Oral Glucose Tolerance Test

SHBG : Sex Hormone-Binding Globulin T2DM : Type 2 Diabetes Mellitus TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral

PERKENI : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia PJK : Penyakit Jantung Koroner

PSA : Prostate-specific Antigen TGT : Toleransi Glukosa Terganggu TNF : Tumour Necrosis Factor WHO : World Health Organization

x

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(12)

ditandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan/atau gangguan fungsi insulin (resistensi insulin). Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel terhadap insulin dan dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus. Uji HbA1C sekarang sangat standar, dan menggunakan nilai HbA1c ≥ 6,5% untuk diagnosis diabetes yang sekarang merupakan pemeriksaan baku emas untuk mengetahui keseimbangan gula darah pada pasien. Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan teknik untuk menghitung index berat badan, sehingga dapat diketahui kategori tubuh seseorang. Pengukuran obesitas seperti Indeks Massa Tubuh (IMT) telah dilaporkan berhubungan positif dengan prevalensi dan kejadian diabetes pada pasien.

Tumor ganas disebut juga sebagai kanker yang berpotensi menyerang jaringan disekitarnya dan menyebabkan metastase. Efek langsung dari hiperglikemia yang independent terhadap insulin, dapat meningkatkan risiko kanker dan meningkatkan pertumbuhan kanker. Tujuan penelitian: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara kadar HbA1c dengan IMT pada penderita kanker dengan diabetes mellitus. Metode: Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan studi cross-sectional yg dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Populasi penelitian ini adalah penderita kanker disertai diabetes mellitus tipe 2 dengan metode total sampling. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan program komputer SPSS. Hasil: Dari hasil penelitian diperoleh 108 subjek, dan dari hasil analisis data diperoleh hasil signifikan yaitu p value sebesar 0,012. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara HbA1c dan IMT pada penderita kanker dengan diabetes mellitus.

Kata kunci: DM tipe 2, kanker, HbA1c, IMT

xi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(13)

ABSTRACT

Background: Diabetes Mellitus (DM) Type 2 is a metabolic disorder characterized by an increase in blood sugar due to decreased insulin secretion by pancreatic beta cells and/or impaired insulin function (insulin resistance) known as non-insulin dependent diabetes mellitus. The HbA1c test is now very standard, using the value of ≥ 6.5% for the diagnosis of diabetes, a gold standard to determine blood sugar balance in p atients. Body Mass Index (BMI) is a technique for calculating the body weight index, so that it can be known a person's body category. Obesity measurements such as BMI have been reported to be positively related to the prevalence and incidence of diabetes patients. Malignant tumors or cancers have the potential to attack the surrounding tissue and cause metastases. The immediate effects of hyperglycemia which independent of insulin can increase the risk of cancer and increase cancer growth. Objectives: The purpose of this study is to determine the relationship between HbA1c levels and BMI in cancer patients with diabetes mellitus. Methods: This research was analytical with a cross-sectional study approach conducted at Haji Adam Malik General Hospital Medan. The study population were cancer patients with type 2 diabetes mellitus using total sampling method. Data were analyzed using computer software SPSS.

Results: From the results of the study obtained 108 subjects, and from the results of data analysis obtained significant results, with p value of 0,012. Conclusion: There is a relation between HbA1c and BMI in cancer patients with diabetes mellitus.

Keywords: DM type 2, cancer, HbA1c, BMI

xii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(14)

1.1 LATAR BELAKANG

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kondisi medis endemis dengan prevalensi yang meningkat secara global (Végh et. al., 2017). Penyakit ini merupakan masalah kesehatan global yang serius. Diabetes mellitus berkembang bersama dengan perubahan sosial dan budaya yang cepat, seperti penuaan populasi, urbanisasi, perubahan pola makan, berkurangnya aktivitas fisik, dan perilaku tidak sehat lainnya (Shikata, 2012).

Menurut International Diabetes Federation (IDF) Atlas 2017 melaporkan bahwa epidemi diabetes di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat. Indonesia adalah negara di peringkat keenam di dunia setelah Tiongkok, India, Amerika Serikat, Brazil dan Meksiko dengan jumlah diabetes usia 20-79 tahun sekitar 10,3 juta orang (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).

Hampir 400 juta orang di seluruh dunia menderita diabetes dan di antaranya, sebanyak 85% - 95% mempunyai penyakit tipe 2. Kanker adalah penyebab kematian nomor dua di negara-negara maju secara ekonomi dan penyebab kematian nomor tiga di negara-negara berkembang. Studi dan meta-analisis ganda telah mengklaim bahwa diabetes tipe 2 dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker di termasuk kanker hati, pankreas, endometrium, kolorektum, payudara, dan kandung kemih (Ioannidis et. al., 2015).

Hubungan yang diamati antara diabetes tipe 2 dan kanker dapat berupa sebab akibat (misalnya, disebabkan oleh hiperglikemia atau hiperinsulinemia) atau karena faktor perancu dari faktor risiko umum seperti obesitas (Ioannidis et al., 2015). Kemungkinan mekanisme umum untuk suatu biologis hubungan antara diabetes dan kanker termasuk hiperinsulinemia, hiperglikemia, dan peradangan. Bagaimanapun, mekanisme sebab-akibat yang terlibat dalam asosiasi antara diabetes dan kanker tidak jelas. Telah dilaporkan bahwa beberapa perubahan metabolisme, seperti hiperinsulinemia, resistensi insulin, dan produksi hormon pertumbuhan yang menyimpang dapat menginduksi karsinogenesis (Shikata, 2012).

Karsinogenesis merupakan proses perubahan sel normal menjadi kanker akibat mutasi gen dalam sel. Proses ini melalui tahapan yang disebut sebagai multistep carcinogenesis.

Proses karsinogenesis secara bertahap diawali dengan proses inisiasi, dilanjutkan dengan promosi dan berlanjut dengan progresi dari sel normal menjadi sel kanker (Hardana, 2013).

Berdasarkan catatan dari meta-analisis dan studi observasional, ini telah menunjukkan bahwa pasien dengan DMT2 memiliki kelebihan mortalitas untuk sejumlah kanker, termasuk peningkatan 30% hingga 40% dengan pankreas, 2,5 meningkat dua kali lipat dengan hati,

1 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(15)

peningkatan 30% dengan endometrium, peningkatan 15% hingga 30% dengan kanker payudara, dan peningkatan 20% hingga 50% dengan kanker kolorektal (Shlomai, 2016).

HbA1c merupakan hemoglobin terglikasi (glycated haemoglobin/glycohemoglobin) dan tersubfraksi yang dibentuk oleh pelekatan berbagai glukosa ke molekul HbA (hemoglobin pada usia dewasa) yang akan meningkat dengan konsentrasi sedang glukosa darah (Karimah, 2018). HbA1c sekarang secara resmi disahkan di banyak negara sebagai tes diagnostik untuk diabetes (tipe 2) serta untuk pemantauan, meskipun beberapa perdebatan masih berlanjut mengenai penerapannya untuk diagnosis (Florkowski, 2013). The American Diabetes Association (ADA) telah merekomendasikan glycated hemoglobin (HbA1c) sebagai pengganti glukosa darah puasa untuk diagnosis diabetes. HbA1c adalah indikator penting dari kontrol glikemik jangka panjang dengan kemampuan untuk menggambarkan sejarah glikemik kumulatif dua hingga tiga bulan sebelumnya. HbA1c tidak hanya menyediakan pengukuran yang andal dari hiperglikemia kronis tetapi juga berkorelasi baik dengan risiko komplikasi diabetes jangka panjang (Sherwani et. al., 2016).

HbA1c diperkirakan dapat menggambarkan nilai KGD selama 3 bulan sebelumnya dan telah dibuktikan dalam beberapa percobaan yang dapat digunakan untuk prediksi risiko komplikasi diabetes. Oleh karena itu, ADA merekomendasikan bahwa pengujian HbA1c dilakukan setidaknya dua kali setahun pada pasien yang memiliki glikemia stabil dan telah memenuhi tujuan glikemik mereka, dan setiap tiga bulan pada pasien DM dengan tujuan mengetahui respon terapi. Tes HbA1c yang lebih sering mungkin diperlukan pada pasien yang harus dikelola secara intensif, seperti pasien diabetes gestasional (DeFronzo, 2015).

Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) adalah ukuran yang digunakan untuk menghitung indeks berat badan selanjutnya menilai seseorang itu obesitas atau tidak.

BMI sering digunakan dokter untuk menilai seseorang itu obesitas atau tidak. Rumus ini digunakan sebagai pengontrol berat badan sehingga dapat mencapai berat badan normal sesuai dengan tinggi badan. IMT terdiri dari underweight, overweight, atau obese (Fadhli, 2017).

Indeks massa tubuh juga digunakan untuk melihat status gizi seseorang. Prevalensi indeks massa tubuh mulai meningkat pada usia ≥ 25 tahun dan tertinggi pada usia 45-54 tahun.

Prevalensi diabetes mellitus mulai meningkat sesuai peningkatan prevalensi obesitas, tetapi terus meningkat sampai umur ≥ 65 tahun, sementara pada umur ≥ 55 tahun prevalensi obesitas sudah mulai menurun (Rabrusun, 2015). Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai korelasi antara kadar HbA1c dengan Indeks Massa Tubuh pada penderita kanker dengan diabetes mellitus di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2018.

2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(16)

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan antara kadar HbA1c dengan indeks massa tubuh pada penderita kanker dengan diabetes mellitus di RSUP HAM ?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan kadar HbA1c dan indeks massa tubuh pada penderita kanker dengan diabetes mellitus.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik sampel pasien kanker dengan DM.

2. Mendapatkan data kadar HbA1c pada penderita kanker dengan DM.

3. Mendapatkan data IMT pada penderita kanker dengan DM.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat bagi Institusi Pendidikan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan untuk penelitian yang berikut mengenai korelasi kadar HbA1c dan indeks massa tubuh pada penderita kanker dengan diabetes mellitus. Data dan informasi dari penelitian boleh digunakan untuk membantu dalam penelitian yang lebih lanjut.

1.4.2. Manfaat bagi Masyarakat

Hasil dari penelitian ini boleh dijadikan sumber informasi kepada penderita- penderita kanker dengan DM.

1.4.3. Manfaat bagi Peneliti

1. Penelitian ini dibuat sebagai syarat kelulusan untuk menjadi sarjana kedokteran dan melanjutkan ke program pendidikan profesi dokter.

2. Menambah wawasan peneliti mengenai diabetes mellitus dan kanker dengan diabetes mellitus.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DIABETES MELLITUS 2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kondisi medis endemis dengan prevalensi yang meningkat secara global (Végh et. al., 2017). Penyakit ini merupakan masalah kesehatan global yang serius. Diabetes mellitus berkembang bersama dengan perubahan sosial dan budaya yang cepat, seperti penuaan populasi, urbanisasi, perubahan pola makan, berkurangnya aktivitas fisik, dan perilaku tidak sehat lainnya (Shikata, 2012). World Health Organization (WHO) dan American Diabetes Association (ADA) menggabungkan kedua tahap klinis hiperglikemia dan tipe etiologis. Dua subtipe utama diabetes adalah jenis autoimun atau idiopatik, tipe 2 yang disebabkan oleh resistensi insulin, adanya defek dalam proses sekresi insulin atau keduanya (Goldstein, 2016).

Diabetes tipe 2 adalah kondisi yang ditandai dengan berkurangnya sekresi insulin oleh pankreas dan gangguan penggunaan insulin oleh tubuh yang dikenal sebagai resistensi insulin. Insulin adalah hormon yang mengatur kadar gula darah dalam tubuh. Hasil dari defisiensi insulin atau resistensi insulin akan menyebabkan kadar glukosa darah untuk meningkat (Qiao, 2012).

Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) adalah penyakit progresif kronis yang ditandai dengan resistensi insulin dan hiperinsulinemia sebelum perkembangan hiperglikemia. Fase pradiabetes adalah kejadian sebelum terjadinya diabetes, ini bisa berlangsung kurang lebih 10 tahun (Shlomai, 2016).

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Mellitus

Selama beberapa dekade terakhir, banyak penelitian telah dilakukan pada populasi dan wilayah yang berbeda di seluruh dunia untuk menentukan prevalensi penderita diabetes.

Hasilnya menunjukkan jenis tipe 2 diabetes telah menjadi salah satu ancaman kesehatan utama di seluruh dunia. Jumlah penderita diabetes adalah sekitar 4% - 10% pada orang dewasa berusia 20-79 tahun di sebagian besar wilayah dunia seperti di Eropa, Australia, sebagian besar negara-negara Asia dan Amerika (Qiao, 2012).

Secara global diestimasi bahwa terdapat sekitar 285 juta orang dewasa berusia 20-79 tahun yang menderita diabetes pada tahun 2010 dengan rata-rata mencapai 6.6%. Proporsi diabetes yang tidak terdiagnosis adalah sekitar 50% dari 1 juta studi Islam, yang dilakukan di

4 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(18)

negara maju atau negara berkembang, misalnya, sekitar 40% di Amerika Serikat, 54% - 60%

di India, 61% di Cina, dan mencapai 80% di beberapa negara Afrika (Qiao, 2012).

Diabetes telah menjadi salah satu penyakit kronis yang paling umum di Amerika Serikat, di mana pada usia subjek lebih dari 60 tahun, prevalensinya sudah 18,8%. Sampai saat ini, diabetes tipe 2 dianggap sebagai penyakit yang dialami pada usia lanjut dan lanjut usia.

Namun, bukti menunjukkan bahwa serangan pada subjek berusia di bawah 30 tahun semakin meningkat. Bahkan anak-anak dan remaja didiagnosis menderita diabetes tipe 2. Sebagai contoh, antara anak-anak di Jepang diabetes tipe 2 sudah lebih umum daripada diabetes tipe 1 dan menyumbang 80% dari diabetes pada masa kanak-kanak. Antara 8% dan 15% anak-anak dan remaja yang baru muncul di Amerika Serikat memiliki diabetes tipe 2 (Goldstein, 2016).

DM sekarang menjadi masalah kesehatan global yang umum dan serius, berkembang seiring dengan perubahan sosial dan budaya yang cepat, seperti penuaan populasi, urbanisasi, perubahan pola makan, berkurangnya aktivitas fisik, dan perilaku tidak sehat lainnya, ini menurunkan kualitas hidup dan kelangsungan hidup individu yang terkena dampak. Saat ini, 366 juta orang menderita diabetes di seluruh dunia, dan jumlahnya diperkirakan akan mencapai 552 juta pada tahun 2030. Jepang mencerminkan situasi ini. Survei Diabetes Nasional di Jepang menunjukkan bahwa prevalensi diabetes meningkat dari 8,2% pada tahun 1997 menjadi 10,5% pada tahun 2007. Pada survei berbasis komunitas Jepang, prevalensi glukosa intoleransi meningkat dari 33,9% pada tahun 1988 menjadi 43,5% pada tahun 2004.

Tren ini mungkin disebabkan oleh cepatnya Westernisasi gaya hidup di Jepang, dan kemungkinan besar dimiliki oleh mayoritas populasi Asia Timur (Shikata, 2012).

2.1.3 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus

Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes melitus yaitu: poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) dan mudah lelah (Fatimah, 2015).

Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg (Fatimah, 2015).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(19)

2.1.4 Faktor Resiko

Faktor risiko diabetes tipe 2 dapat diklasifikasikan sebagai yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi (Tabel 2.1). Risiko tertinggi terkena diabetes dikaitkan dengan IGT dan hyperinsulinemia. Selain itu, hipertrigliseridemia, obesitas sentral, lipoprotein densitas tinggi (kolesterol High Density yang tinggi) indeks massa tubuh, hipertensi, dan sejarah diabetes adalah faktor risiko untuk diabetes (Goldstein, 2016).

Tabel 2.1 Klasifikasi faktor risiko untuk diabetes tipe 2

Obesitas adalah satu-satunya prediktor diabetes yang paling penting. Wanita dengan

indeks massa tubuh(BMI) setidaknya 35,0 kg/m2 mempunyai hampir 40 kali lipat risiko menjadi diabetes dibandingkan dengan wanita yang indeks massa tubuhnya < 23.0kg/m2. Latihan mingguan yang dilakukan setidaknya 7 jam / minggu mengurangi risiko taruhan tipe 2 DM sebesar 39% dibandingkan dengan wanita yang latihan 0,5 jam / minggu. Merokok 14 batang / hari meningkatkan risiko diabetes sebesar 39%, tetapi asupan alkohol 10g sehari mengurangi risiko sebesar 41%. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa diet tinggi serat sereal, lemak tak jenuh ganda, rendah lemak jenuh, trans dan beban glikemik mengurangi risiko diabetes. Kombinasi dari beberapa faktor misalnya gaya hidup, termasuk indeks massa tubuh rendah (< 25 kg/m2), diet tinggi serat dan lemak polisaturated, rendah lemak jenuh, lemak trans dan beban glikemik, latihan regular, pantang merokok dan asupan alkohol sedang, dikaitkan dengan pengurangan kejadian diabetes tipe 2 sebesar 90% dibandingkan dengan wanita tanpa faktor-faktor ini (Goldstein, 2016).

6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(20)

Berbagai jenis faktor lingkungan dan gaya hidup telah berkontribusi pada berkembangnya konflik ini selain latar belakang genetik. Populasi yang menua, tren peningkatan obesitas, kurang aktivitas fisik, dan diet yang tidak sehat dianggap sebagai kontributor utama meningkatnya prevalensi diabetes (Qiao, 2012).

Ketidakaktifan fisik orang-orang dengan gaya hidup yang kurang bergerak secara konsisten dilaporkan memiliki risiko tinggi untuk dilabel pada populasi yang berbeda.

Menonton televisi yang berkepanjangan, sebagai pengganti gaya hidup yang tidak bergerak, dilaporkan secara positif terkait dengan risiko diabetes. Risiko terkena diabetes di kalangan pria Amerika menonton TV > 40 jam per minggu adalah 187% lebih tinggi dari lebih tinggi dari mereka yang menghabiskan 0-1 jam per minggu. sementara pada wanita, bahkan 2 jam per hari juga diasosiasikan dengan peningkatan 14% dalam risiko diabetes. Malahan, tingkat yang lebih tinggi dari aktivitas fisik dikaitkan dengan tingkat yang lebih rendah untuk mengembangkan diabetes (Qiao, 2012).

Kelebihan asupan kalori yang menghasilkan keseimbangan energi positif, timbulnya obesitas dan diabetes. Pola diet kebarat-baratan, yang kaya akan lemak jenuh dan karbohidrat sederhana, dan serat yang langka, dikaitkan dengan diabetes tipe 2. Sebaliknya, risiko diabetes adalah rendah pada orang yang mengkonsumsi jumlah sayuran, buah-buahan, produk gandum, dan ikan yang tinggi, ditandai dengan kepadatan energi yang rendah dan index glikemik rendah tetapi serat tinggi dan asam lemak tidak dilembabkan dan antioksidan seperti vitamin C dan E, asam lemak tak jenuh, flavonoid, mungkin juga memiliki efek yang efektif (Qiao, 2012).

2.1.5 Patofisologi DM

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu : 1. Resistensi insulin

2. Disfungsi sel B pancreas

Diabetes melitus tipe 2 tidak disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun adalah karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.

Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2.

Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut. Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(21)

sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin (Fatimah, 2015).

Apabila tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Fatimah, 2015).

2.1.6 Diagnosis

Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat (Fatimah, 2015).

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM yaitu;

(usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring (Fatimah, 2015).

2.1.7. Komplikasi

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI, komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut

- Hipoglikemia: adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (< 50 mg/dl).

Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu. Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.

8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(22)

- Hiperglikemia: hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.

b. Komplikasi Kronis

- Komplikasi makrovaskuler: komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.

- Komplikasi mikrovaskuler: komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi (Fatimah, 2015).

2.1.8. Pencegahan

Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu:

1) Pencegahan Premordial

Pencegahan premordial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan dengan multimitra. Pencegahan premordial pada penyakit DM misalnya adalah menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa konsumsi makan kebarat-baratan adalah pola makan yang kurang baik, pola hidup santai atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan (Fatimah, 2015).

2) Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita DM diantaranya :

a. Kelompok usia tua ( > 45 tahun)

b. Kegemukan (BB(kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)) c. Tekanan darah tinggi ( > 140/90 mmHg)

d. Riwayat keluarga DM

e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.

f. Dislipidemia (HvL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida > 250 mg/dl).

g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (Fatimah, 2015).

Untuk pencegahan primer harus dikenali faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Oleh karena sangat penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(23)

pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat untuk menjaga badan agar tidak terlalu gemuk dan bahayanya risiko merokok bagi kesehatan (Fatimah, 2015).

3) Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit (Fatimah, 2015).

Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Pilar utama pengelolaan DM meliputi:

a. penyuluhan

b. perencanaan makanan c. latihan jasmani

d. obat berkhasiat hipoglikemik (Fatimah, 2015).

4) Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan, misalnya para ahli sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-lain (Fatimah, 2015).

2.2 HbA1c

2.2.1 Definisi HbA1c

HbA1c merupakan hemoglobin terglikasi (glycated haemoglobin/glycohemoglobin) dan tersubfraksi yang dibentuk oleh pelekatan berbagai glukosa ke molekul HbA (hemoglobin pada usia dewasa) yang akan meningkat dengan konsentrasi glukosa dalam darah rata-rata (Karimah, 2018). Pemeriksaan HbA1c merupakan pemeriksaan baku emas untuk mengetahui keseimbangan gula darah. Nilai HbA1c tidak dipengaruhi oleh fluktuasi konsentrasi gula darah harian. Pemeriksaan ini mencerminkan pengendalian metabolisme gula darah selama tiga hingga empat bulan. Pemeriksaan ini juga merupakan indikator yang sangat berguna untuk memonitor sejauh mana kadar gula darah terkontrol, efek diet, olah raga, dan terapi obat pada pasien diabetes melitus (Ya'kub R, 2014).

American Diabetes Association (ADA), International Diabetes Federation (IDF), dan European Association for the Study of Diabetes (EASD) telah merekomendasikan pemeriksaan HbA1c sebagai salah satu alat diagnosis diabetes melitus. Selain itu, pengukuran nilai HbA1c dapat menggambarkan pendekatan yang sesuai pada penanganan diabetes melitus (Ya'kub R, 2014).

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(24)

2.2.2 Nilai HbA1c

ADA mengesahkan HbA1c sebagai tes diagnostik untuk diabetes pada cut-off ≥ 48 mmol/mol ( ≥ 6,5%) dengan ketentuan bahwa ini diukur di laboratorium menggunakan uji NGSP (National Glycohemoglobin Standardization Program) yang selaras dengan studi DCCT (The Diabetes Control and Complications Trial), dan bahwa dengan tidak adanya hiperglikemia tegas, tes harus diulang individu dengan HbA1c 39 - 46 mmol/mol (5,7% - 6,4%) dianggap berada pada 'peningkatan risiko' untuk diabetes serta penyakit kardiovaskular. Individu tersebut harus dinasihati tentang strategi yang efektif, seperti penurunan berat badan dan aktivitas fisik, untuk menurunkan risiko mereka (Florkowski, 2013).

Tabel 2.2 Tingkat tes-tes darah untuk diagnosa Diabetes menurut American Diabetes Association

2.2.3 HbA1c sebagai Tes Diagnostik

Diagnosis DM berdasarkan HbA1c Test ADA 2010, Pernyataan Posisi pada tahun 2008 Komite Biaya Internasional, dengan anggota yang ditunjuk oleh ADA, EASD, dan IIF merekomendasikan penggunaan uji HbA1c untuk diagnosis dari diabetes setelah meninjau bukti-bukti epidemiologi yang telah ada maupun yang sedang berkembang yang mengarah kepada pengembangan kriteria diagnostik untuk diabetes dalam beberapa dekade terakhir (Qiao, 2012).

Pertama, HbA1c memberikan indikasi glikemia kronis daripada menjadi tes glikemia pada satu titik waktu memberikan indeks glikemia terpadu pada seluruh 120-umur hari sel darah merah. Tetapi dalam periode 120 hari ini, glikemia baru-baru ini memiliki pengaruh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(25)

terbesar pada nilai HbA1c, dengan 50% HbA1c terbentuk pada bulan sebelumnya untuk pengambilan sampel dan 25% pada bulan sebelum itu. Oleh karena itu, tampaknya logis bahwa tes semacam itu akan sesuai dalam mendiagnosis penyakit yang ditandai oleh hiperglikemia kronis dan perkembangan komplikasi (Florkowski, 2013).

Kedua, ini adalah tes yang relatif mudah, tidak memerlukan sabar untuk berpuasa dan hanya menggunakan sampel darah tunggal. Ini adalah pertimbangan penting, karena memungkinkan peningkatan pengambilan pengujian dan peningkatan deteksi diabetes, mengingat sebagian besar kasus diabetes tidak terdiagnosis (Florkowski, 2013).

2.2.4 Manfaat

Beberapa manfaat pengujian HbA1c atas pengukuran glukosa telah diidentifikasi termasuk kemudahan yang lebih besar, karena puasa tidak diperlukan, stabilitas pra-analitik yang lebih besar dan lebih sedikit gangguan sehari-hari selama periode stres dan penyakit, dan penanda yang lebih baik dari paparan glikemik kronis (Qiao, 2012).

HbA1c tidak dianggap sebagai tes diagnostik untuk diabetes yang sebelumnya karena kurangnya standardisasi pengujian. Mempertimbangkan uji HbA1c sekarang sangat standar, Komite Pakar Internasional mencapai konsensus untuk menggunakan HbA1c > 6,5% untuk diagnosis diabetes dan ADA menegaskan keputusan pada 2010 (Qiao, 2012).

Tidak seperti glukosa plasma, HbA1c menunjukkan variabilitas pra-analitik minimal dan sangat stabil setelah pengumpulan tanpa perubahan dalam konsentrasi 'dalam tabung koleksi'.

Idealnya saat mengukur glukosa plasma, sampel darah vena harus berputar dan plasma dipisahkan dalam beberapa menit setelah pengambilan sampel karena sel darah merah terus mengkonsumsi glukosa sekitar 7% per jam in vitro, yang mengarah ke glukosa terukur yang sangat rendah. Pengumpulan sampel ke dalam wadah dengan pengawet antiglikolitik (fluorida) hanya sebagian efektif. Idealnya sampel juga harus ditempatkan dalam air es dan diproses dalam 30-60 menit, meskipun sebagian besar laboratorium tidak memenuhi persyaratan penanganan sampel yang ketat ini. HbA1c memiliki stabilitas pra-analitik yang tinggi (satu minggu pada suhu 4 °C) (Florkowski, 2013).

Variasi biologis dalam subjek HbA1c berada di urutan 3,6%, dibandingkan dengan 5,7%

untuk glukosa plasma puasa dan 16,7% untuk nilai pasca-OGTT 2 jam. Ketepatan analitik untuk HbA1c sekarang mendekati itu untuk glukosa, dengan intra dan variabilitas analitik antar-laboratorium di urutan 2,5%. Standarisasi pengukuran HbA1c juga lebih baik daripada untuk glukosa (Florkowski, 2013).

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(26)

2.2.5. Kekurangan

Namun, tes HbA1c jauh lebih mahal, tidak tersedia di wilayah tertentu di negara berkembang. kurang sesuai dengan glukosa kembali, dan tunduk pada kesalahan pengukuran di hadapan beberapa bentuk anemia dan hemoglobinopati tertentu, yang mungkin juga memiliki distribusi etnis atau geografi yang unik (Qiao, 2012).

2.2.6. HbA1c sebagai Penanda Risiko Kanker

HbA1c mencerminkan kadar glukosa keseluruhan untuk jangka waktu 120 hari, yang merupakan masa hidup rata-rata eritrosit. Karena nilai-nilai ini tidak mengalami variasi harian, hemoglobin terglikasi muncul sebagai indikator glikemia yang lebih objektif dan dapat diandalkan, terutama berkaitan dengan penelitian prospektif panjang menganalisis kejadian kanker yang kronis rata-rata tampaknya paling relevan. Pada 2010, kadar HbA1c di atas 6,5% dimasukkan sebagai kriteria lain untuk diagnosis DM (Habib, 2013).

Suatu studi menunjukkan bahwa hiperglikemia kronis, sebagaimana diukur dengan kadar HbA1c, berkorelasi dengan peningkatan risiko kanker pada kanker kolorektal, lambung, hati dan pankreas, dan mungkin kanker payudara, sementara berkorelasi dengan penurunan risiko kanker prostat. Hubungan untuk jenis kanker lain yang diselidiki tidak signifikan secara statistik. Juga jelas bahwa ada peningkatan risiko untuk tingkat / stadium kanker yang lebih tinggi dan kejadian prakursor kanker untuk beberapa jenis kanker dengan meningkatnya kadar HbA1c (Beer, 2014).

Hubungan dekat-linier dari kadar HbA1c dengan risiko beberapa kanker mendukung dugaan bahwa mungkin untuk menggunakan HbA1c sebagai biomarker metabolik independen untuk risiko kanker pada orang diabetik atau non-diabetik. Secara signifikan, penelitian ini juga memberikan bukti awal untuk peningkatan risiko kanker dalam kategori normal dan pra-diabetes untuk sejumlah kanker (Beer, 2014).

Berdasarkan hasil suatu penelitian, untuk individu tanpa diabetes yang diketahui, mereka yang memiliki kadar HbA1c yang lebih tinggi (dalam rentang non-diabetes dan diabetes) memiliki risiko lebih tinggi dari semua kanker dibandingkan mereka yang memiliki kadar HbA1c dari 5,0% hingga 5,4%. Tingkat HbA1c yang lebih tinggi (dalam rentang non- diabetes dan diabetes) dikaitkan dengan risiko kanker kolorektal, terutama untuk kanker usus besar. Diabetes yang dikenal dikaitkan dengan peningkatan risiko semua kanker; hubungan ini sedikit ketika kasus diagnosis dini dikeluarkan. Diabetes yang diketahui juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker pankreas. Wanita dengan HbA1c ≥ 6,5% memiliki risiko lebih tinggi dari semua kanker dan kanker payudara (Goto, 2015).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(27)

2.3 Indeks Massa Tubuh (IMT) 2.3.1 Definisi

Indeks Massa Tubuh (Body Mass Index (BMI)) merupakan ukuran yang digunakan untuk menilai proporsionalitas perbandingan antara tinggi dan berat seseorang. BMI sering digunakan dokter untuk menilai seseorang itu obesitas atau tidak. IMT merupakan teknik untuk menghitung index berat badan, sehingga dapat diketahui kategori tubuh kita apakah tergolong kurus, normal dan obesitas (kegemukan) (Fadhli, 2017)

Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat digunakan untuk mengontrol berat badan sehingga dapat mencapai berat badan normal sesuai dengan tinggi badan. IMT adalah kalkulasi statistik yang dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan penaksiran. IMT bisa diterapkan pada sekelompok orang untuk menentukan trend, atau bisa juga diterapkan secara individual.Saat diterapkan pada individual, hanya satu dari beberapa penaksiran yang digunakan untuk menentukan resiko terhadap penyakit yang berhubungan dengan berat badan (underweight, overweight, atau obese) (Fadhli, 2017).

2.3.2. Perhitungan IMT

Rumus dibawah yang digunakan untuk mengukur tinggi dan berat badan dengan mengacu pada Indeks Massa Tubuh (IMT)

Berat Badan (Kg)

IMT = --- Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)

2.3.3 Klasifikasi

Untuk mengkategorikan klasifikasi berat badan, hasil hitung BMI tersebut dapat dicocokkan pada Tabel Klasifikasi BMI menurut versi organisasi kesehatan dunia, WHO yang disepakati tahun 2004 sebagai berikut :

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(28)

Tabel 2.3 Klasifikasi IMT/BMI menurut WHO

2.3.4 Manfaat

Selain itu ada pula kegunaan dari Indeks Massa Tubuh (IMT) ini adalah :

1. Sebagai indikator untuk menentukan status berat badan seseorang apakah memiliki badan yang kurus, normal dan obesitas (kegemukan).

2. Serta dapat membantu nilai status berat badan seseorang terhadap resiko masalah kesehatan seseorang. (Fadhli, 2017)

2.3.5. Hubungan antara Obesitas dan DM Tipe II

Obesitas Epidemic; DM tipe 2 sangat terkait dengan obesitas dan kenaikan berat badan.

Pengukuran obesitas, seperti Body Mass Index (BMI), lingkar pinggang, rasio pinggang ke panggul, massa lemak keseluruhan atau viseral dll., telah dilaporkan berhubungan positif dengan prevalensi dan kejadian diabetes di berbagai studi. Kenaikan berat badan selama waktu tindak lanjut dan durasi obesitas secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko insiden diabetes di kalangan Pima Indians menurut American Nurses Study dan dalam suatu studi prospektif Inggris (Qiao, 2012).

2.4 Kanker 2.4.1 Definisi

Malignan tumor disebut juga sebagai kanker. Kanker berpotensi menyerang atau merusak jaringan disekitarnya dan menyebabkan metastase (penyebaran bibit penyakit). Sedangkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(29)

benign tumor tidak menyerang jaringan disekitarnya dan tidak membentuk metastase, tapi secara lokal dapat bertumbuh menjadi besar. Biasanya benign tumor tidak muncul lagi setelah dilakukan operasi pengangkatan tumor. Perbedaan utama di antara keduanya adalah bahwa tumor ganas lebih berbahaya dan fatal sehingga dapat mengakibatkan kematian (Saleh, 2016).

Pada sel neoplasma terjadi perubahan sifat, sehingga sebagian besar energi digunakan untuk berkembang biak. Pertumbuhan tak terkontrol yang seringnya terjadi dengan cepat itu dapat mengarah ke pertumbuhan jinak (benign) maupun ganas (malignan atau kanker).

Sedangkan tumor ganas dapat menginvasi jaringan lain dan beranak sebar ke tempat jauh (metastasis) bahkan dapat menimbulkan kematian. Sel-sel malignan ini mempunyai sifat resisten terhadap apoptosis, tidak sensitif terhadap faktor anti pertumbuhan dan contact inhibition nya disupresi (Chrestella, 2019).

2.4.2. Epidemiologi

Di Indonesia, prevalensi kanker adalah sebesar 1,4 per 1.000 penduduk (Riskesdas, 2013), serta merupakan penyebab kematian nomor 7 (5,7%) dari seluruh penyebab kematian (Riskesdas, 2013). Estimasi insidens kanker payudara di Indonesia sebesar 40 per 100.000 perempuan dan kanker leher rahim 17 per 100.000 perempuan (GLOBOCAN/IARC 2012).

Angka ini meningkat dari tahun 2002, dengan insidens kanker payudara 26 per 100.000 perempuan dan kanker leher rahim 16 per 100.000 perempuan (GLOBOCAN/IARC 2012).

Jenis kanker tertinggi pada pasien rawat inap di rumah sakit seluruh Indonesia tahun 2010 adalah kanker payudara (28,7%), disusul kanker leher rahim (12,8%). Estimasi tahun 1985, hanya 5% perempuan di negara sedang berkembang yang mendapat pelayanan penapisan, dibandingkan dengan 40% perempuan di negara maju (Kementerian Kesehatan RI, 2015).

Sejumlah skala besar studi epidemiologi dan meta-analisis, termasuk tinjauan payung baru-baru ini dari meta-analisis dan studi observasional, telah menunjukkan peningkatan yang konsisten dalam kejadian kanker spesifik lokasi di antara pasien dengan T2DM. Ini termasuk peningkatan dua sampai tiga kali lipat dalam tingkat kejadian kanker pankreas, peningkatan risiko kanker hepatobilier dua kali lipat, peningkatan risiko 20% untuk kanker payudara, peningkatan risiko kanker endometrium dua kali lipat, dan peningkatan insiden kanker kolorektal sebesar 50%. Dari catatan, kejadian kanker prostat telah ditemukan secara konsisten lebih rendah di antara pria dengan diabetes tipe 2 (Shlomai, 2016).

Bukti yang berkembang menunjukkan bahwa kelainan metabolisme glukosa dapat mewakili faktor risiko independen untuk pengembangan kanker spesifik dan dapat mempengaruhi prognosis mereka (Shlomai, 2016).

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(30)

2.4.3. Faktor Risiko Kanker

Tingginya kasus baru kanker dan sekitar 40% dari kematian akibat kanker berkaitan erat dengan faktor risiko kanker yang seharusnya dapat dicegah. Faktor risiko kanker yang terdiri dari faktor risiko perilaku dan pola makan, di antaranya adalah:

a. Indeks massa tubuh tinggi;

b. Kurang konsumsi buah dan sayur;

c. Kurang aktivitas fisik;

d. Penggunaan rokok;

e. Konsumsi alkohol berlebihan;

Faktor risiko kanker lainnya, adalah akibat paparan:

a. Karsinogen fisik, seperti ultraviolet (UV) dan radiasi ion;

b. Karsinogen kimiawi, seperti benzo(a)pyrene, formalin dan aflatoksin (kontaminan makanan), dan serat contohnya asbes;

c. Karsinogen biologis, seperti infeksi virus, bakteri dan parasit (Kementerian Kesehatan RI, 2015)

Intervensi terhadap faktor risiko kanker tidak hanya bertujuan untuk menurunkan kasus baru kanker, namun juga menurunkan kemungkinan penyakit lainnya yang disebabkan faktor risiko tersebut. Di antara faktor risiko penting penyakit kanker yang dapat dimodifikasi adalah:

a. Merokok, yang menyebabkan terjadinya sekitar 1,5 juta kematian akibat kanker setiap tahunnya (60% kematian terjadi di negara berpenghasilan rendah-menengah);

b. Kelebihan berat badan, obesitas dan kurangnya aktivitas fisik, yang menyebabkan 274.000 kematian akibat kanker setiap tahunnya;

c. Konsumsi alkohol berlebihan, yang menyebabkan sekitar 351.000 kematian akibat kanker setiap tahunnya;

d. Penularan human papilloma virus (HPV) melalui hubungan seksual, yang menyebabkan sekitar 235.000 kematian akibat kanker setiap tahunnya;

e. Polusi udara (di luar maupun di dalam ruangan), yang menyebabkan sekitar 71.000 kematian akibat kanker setiap tahunnya;

f. Karsinogen di lingkungan kerja, yang menyebabkan setidaknya 152.000 kematian akibat kanker setiap tahunnya, (Kementerian Kesehatan RI, 2015)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(31)

Gambar 2.1. Efek sistemik dari diabetes tipe 2 dan resistensi insulin yang berpotensi mendorong pertumbuhan dan perkembangan tumor.

2.4.4. Patofisiologi

Resistensi insulin dalam jaringan metabolik, seperti lemak, hati, dan otot rangka, menghasilkan peningkatan produksi insulin dari sel-sel beta pankreas, yang menyebabkan sirkulasi hiperinsulinemia. Hiperglikemia juga berkembang sebagai akibat dari peningkatan produksi glukosa hepatik sekunder akibat resistensi insulin di hati dan menurunnya penyerapan ke dalam otot rangka dan jaringan adiposa. Insulin endogen yang bekerja pada hati meningkatkan sintesis insulin-like factor-1 (IGF-1) dan menyebabkan penurunan konsentrasi protein pengikat IGF (IGFBPs) 1 dan 2, sehingga berpotensi meningkatkan konsentrasi lokal IGF-1 yang tersedia secara biologis. (Shlomai, 2016).

Peradangan jaringan adiposa terjadi dengan resistensi insulin dengan produksi sitokin dan perubahan konsentrasi sirkulasi adipokin, seperti peningkatan leptin dan penurunan adiponektin. Resistensi insulin juga dikaitkan dengan kelainan lipid, termasuk trigliserida tinggi (TG) dan penurunan kolesterol HD, interleukin (IL), faktor nekrosis tumor (TNF) (Shlomai, 2016).

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(32)

Sejumlah faktor telah diusulkan untuk berkontribusi pada peningkatan risiko perkembangan kanker dan kematian dalam pengaturan obesitas dan T2DM. Ini termasuk hiperglikemia, resistensi insulin, hiperinsulinemia, peningkatan insulin-like growth factor-1 (IGF-1) tingkat, dislipidemia, sitokin inflamasi, meningkat leptin, dan penurunan adiponektin. Mekanisme ini dirangkum dalam Gambar 1 dan 2 (Shlomai, 2016).

Hiperinsulinemia endogen dan kadar C-peptida yang tinggi suatu penanda sekresi insulin berhubungan dengan perkembangan kanker payudara dan kolorektal, rekurensi, dan mortalitas (Shlomai, 2016).

Mekanisme biologis yang mendasari hubungan antara diabetes dan kanker tidak jelas.

Kanker dan diabetes memiliki beberapa faktor risiko umum seperti usia, jenis kelamin, obesitas, dan gaya hidup yang menetap. Hiperinsulinemia kronis, baik endogen sekunder karena resistensi insulin dan eksogen sebagai bagian dari terapi pada pasien dengan diabetes, terbukti memiliki efek proliferasi yang dapat meningkatkan pembentukan kanker melalui aktivasi insulin-like receptor faktor pertumbuhan (IGF). Akhirnya, efek langsung dari hiperglikemia, tidak tergantung insulin, disarankan untuk meningkatkan risiko kanker dan meningkatkan pertumbuhan kanker, terutama karena ketergantungan kanker pada glikolisis aerobik untuk generasi adenosin trifosfat (ATP) (dikenal sebagai efek Warburg) (Boursi dkk., 2016).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(33)

2.5 Kerangka Teori

Berdasarkan judul penelitian di atas maka kerangka teori dalam penelitan ini adalah :

Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian

BMI yang tinggi ( ≥30 kg/m2)

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(34)

2.6 Kerangka Konsep

Independent Dependent

Gambar 2.3 Kerangka konsep

IMT (BMI ≥ 25kg/m2)

• Pasien kanker dengan DM

Kadar HbA1c (HbA1c ≥ 6.5% )

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Referensi

Dokumen terkait

Harapan peneliti selanjutnya adalah dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca baik itu pengetahuan tentang adat dan kebudayaan yang ada di Kecamatan Paloh

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa semakin baik tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi anjuran maka semakin berminat melakukan imunisasi anjuran pada

Tekanan darah sistolik lansia penderita hipertensi di Posyandu Lansia Wreda Pratama Bangunjiwo Kasihan Bantul setelah pemberian rebusan daun alpukat masuk kategori pre

Penulisan ini membahas tentang penggunaan Router sebagai alat yang igunakan untuk menghubungkan dan mengatur komunikasi antar jaringan dalam satu kesatuan jaringan yang berskala

Penulisan ilmiah ini membahas mengenai pembuatan aplikasi multimedia mengenai pembuatan dokumentasi yang sifatnya pribadi mengenai salah satu musisi anak negeri yaitu Iwan

[r]

Teknik pembangunan WarNet pada penulisan ilmiah ini, menggunakan teknologi LAN (jaringan area lokal) yang berbasis jaringan secara Workgroups di Microsoft Networks, dengan PC

Tabel 4.3 Kepemilikan SIUP Menurut Sektor 41 Tabel 4.4 Kepemilikan SIUP Menurut Skala Usaha 41 Tabel 4.5 Kepemilikan NPWP Menurut Sektor 42 Tabel 4.6 Kepemilikan NPWP Menurut Skala