BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Proyek studi kasus adalah proyek konstruksi bangunan gudang yang berfungsi sebagai sarana penyimpanan beras. Proyek gudang ini memiliki kapasitas penyimpanan sebesar 3.500 ton. Pemilik proyek/owner adalah Perusahaan BUMN yang bergerak dalam bidang logistik pangan. Metoda kontrak yang digunakan pada proyek ini adalah metode kontrak umum (generally contract method), dengan menempatkan manajemen konstruksi profesional sebagai wakil pemilik. Dalam industri konstruksi dikembangkan sepuluh indikator kinerja supply chain yang disusun berdasarkan pada tiga aspek utama lean construction yaitu “conversion,”
“flow,” dan “value”.
Tabel 4.1.
Data Umum Proyek Studi Kasus Proyek Pembangunan Gudang
Penggunaan Gudang Sarana Penyimpanan Beras
Pemilik BUMN
Pola Jaringan Supply Chain Pola Umum
Metoda Kontrak Umum
Kontraktor Utama Kontraktor X
Sub Kontraktor Struktur 1 Perusahaan
Sub Kontraktor Arsitektur 1 Perusahaan
Supplier 5 Perusahaan
Nominated Sub Contractor Tidak Ada
Material disediakan Pemilik Tidak Ada
Gambar 4.1. Pengelompokkan indikator penilaian terhadap prinsip lean construction
(Sumber : Wirahadikusumah (2006)
4.1. Pola Supply Chain Konstruksi pada Proyek Studi Kasus
Pengukuran kinerja supply chain dengan menggunakan indikator-indikator seperti dijelaskan pada Gambar 4.1., dilakukan pada proyek konstruksi bangunan
Gudang di Nusa Tenggara Barat, yaitu Proyek Pembangunan Gudang BULOG Modern Kapasitas Penyimpanan 3500 Ton. Seperti diuraikan pada Tabel 1, Proyek ini dilaksanakan oleh Kontraktor X. Karena beberapa jenis data tidak tersedia dalam bentuk yang langsung dapat digunakan dalam pengukuran, maka proses pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan dokumen kegiatan konstruksi ditambah pula dengan wawancara dengan pihak manajemen proyek. Pengukuran kinerja difokuskan pada lingkup kontraktor utama.
Karena lingkup pengamatan dan pengumpulan data diambil selama bulan November 2016 sampai dengan Januari 2017 yang sangat terbatas, pengukuran dibatasi pada pekerjaan - pekerjaan konstruksi baja, pekerjaan pembetonan dan mekanikal elektrikal. Pengadaan material yang diamati meliputi material baja, beton, dan mekanikal-elektrikal. Dengan demikian, melalui suatu analisa deskriptif akan dihasilkan sebagai berikut :
Kontraktor X terpilih sebagai kontraktor utama, dan merupakan satu-satunya pihak yang memiliki hubungan kontrak langsung dengan owner. Dengan demikian tentunya Kontraktor X bertanggungjawab penuh atas keseluruhan proyek. Pada proyek ini tidak terdapat nominated subcontractor ataupun nominated supplier, pihak pemilik tidak melakukan intervensi terhadap pengadaan yang dilakukan oleh kontraktor selama masa pelaksanaan. Supply chain konstruksi yang terbentuk merupakan anggota supply chain Kontraktor X, pola supply chain pada proyek ini dijelaskan pada Gambar 4.2.
Pola supply chain pada Proyek Pembangunan Gudang ini menggambarkan bentuk yang lebih tradisional. Kontraktor X melakukan sendiri pekerjaan struktur
dikecualikan pekerjaan jalan beton dan drainase, sehingga terdapat hubungan langsung dengan penyedia material, penyedia alat, dan pekerja.
Selain itu ada pekerjaan yang disubkontrakkan kepada subkontraktor biasa dan kepada kontraktor spesialis (untuk jenis pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus seperti pekerjaan mekanikal elektrikal). Dalam hal ini, umumnya subkontraktor dan kontraktor spesialis tersebut melakukan pengadaan material, alat dan tenaga kerjanya sendiri. Dengan demikian maka dalam pekerjaan yang disubkontrakkan, pola pasokannya terjadi secara hirarkis (berantai).
Gambar 4.2.
Pola Supply Chain pada Proyek
4.2. Pengukuran Indikator Kinerja Supply Chain Konstruksi
Pengelolaan “conversion” dalam konteks proyek konstruksi dapat dilakukan dengan mengendalikan dan mengoptimalkan penggunaan sumberdaya secara hirarkis, sehingga proses produksi dari input menjadi output di proyek konstruksi dapat berjalan dengan baik.
Untuk pengelolaan “flow” dapat dilakukan dengan meningkatkan sistem perencanaan dan pengendalian proyek. Perencanaan yang baik dapat mengoptimalkan aktivitas proses produksi yaitu fokus pada value adding activities dan mengurangi non value-adding activities. Dengan demikian, flow seluruh pekerjaan menjadi lancar.
Penciptaan “value” yang sesuai dengan keinginan konsumen merupakan prinsip dasar yang melingkupi semua tahapan dalam proses produksi suatu produk.
Dalam seluruh tahapan proses produksi, seluruh pihak yang terlibat selayaknya melakukan usaha-usaha ke arah pencapaian hasil akhir yang sesuai dengan keinginan konsumen.
Seperti telah dijelaskan pada Gambar 4.1., terdapat sepuluh indikator yang dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai kinerja supply chain pada proyek konstruksi studi kasus. Dengan konsep yang berdasarkan konstruksi ramping tersebut, kesepuluh indikator dapat digunakan dengan definisi dan formulasi sesuai dengan uraian pada Tabel 2.
Selanjutnya, pengukuran dilakukan pada proyek konstruksi pembangunan gudang. Pengukuran difokuskan pada pekerjaan struktur dan pekerjaan mekanikal- elektrikal. Pengadaan material yang diamati adalah baja, beton dan M/E. Indikator- indikator pada Tabel 4.2. digunakan untuk mengukur dan mendapatkan gambaran mengenai kinerja supply chain di Proyek ini. Hasil pengukuran dijelaskan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.2.
Formulasi Indikator Kinerja Supply Chain Pada Proyek Konstruksi
No. Indikator Rumus Penilaian Kuantitatif 1. Intensitas perubahan/revisi Jumlah kejadian revisi
terhadap rencana kerja
2. Intensitas kendala selama Jumlah kejadian kendala pelaksanaan pekerjaan
3. Intensitas rapat koordinasi Jumlah seluruh rapat koordinasi antar pihak yang terlibat
4. Intensitas defect pekerjaan (Jumlah kegagalan dalam tes/
Jumlah inspeksi dan tes) x 100%
5. Kinerja supplier dalam (Jumlah kedatangan material memenuhi jadwal pengiriman tidak tepat waktu/ Jumlah material kedatangan material) 6. Waktu tenggang (lead time) (actual lead time - expected antara pemesanan dan lead time)/Jumlah kedatangan pengiriman material) x 100%
7. Intesitas kejadian reject (Jumlah kejadian reject/ jumlah material kedatangan material) x 100 % 8. Inventory material (Vol. material di gudang/vol.
total material yang dibeli) x 100 % 9. Keikutsertaan subkontraktor Kualitatif (ada/tidak ada
di dalam perencanaan keikutsertaannya
10. Intensitas complainst dari owner Jumlah keluhan owner to ke kontraktor dan kontraktor ke kontraktor + jumlah keluhan supplier dari kontraktor to supplier.
Sumber : Yuliatin (2015)
Tabel 4.3.
Kinerja Supply Chain Pada Proyek Studi Kasus
Seperti telah dijelaskan pada tabel 4.3., hasil diperoleh dari wawancara dengan pihak – pihak kontraktor utama dengan formulasi atau rumus seperti pada tabel 4.2. Pengukuran kinerja supply chain ini secara khusus dilakukan dalam konteks pencapaian pelaksanaan proyek yang berdasarkan pada konsep-konsep konstruksi ramping (lean construction). Tiga konsep dasar konstruksi ramping (lean construction) menurut Koskela adalah “conversion,” ”flow,” dan ”value.”
No. INDIKATOR HASIL
1 Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana
kerja 3 kali
2 Intensitas kendala selama pelaksanaan
pekerjaan 5 kali
3a Intensitas rapat koordinasi intern antar
pihak yang terlibat 11 kali
3b Intensitas rapat koordinasi ekstern antar
pihak yang terlibat 6 kali
4 Intensitas defect pekerjaan 3%
5 Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal
pengiriman material 100%
6 Waktu tenggang (lead time) antara
pemesanan dan pengiriman 25%
7 Intensitas kejadian reject material 22%
8 Inventory material 13%
9 Keikutsertaan subkontraktor di dalam
perencanaan pelaksanaan Tidak Ada
10a Intensitas complaints dari owner kepada
kontraktor 2 kali
10b Intensitas complaints dari kontraktor kepada
supplier 3 kali
Konsep “Conversion”
Pengelolaan conversion pada proyek konstruksi diharapkan dapat meningkatkan efektifitas pelaksanaan proses produksi. Terkait dengan konsep conversion ini terdapat 4 indikator kinerja supply chain (Gambar 4.3.). Hasil pengukuran kinerja terhadap 4 indikator yang mengarah pada konsep conversion menunjukkan bahwa kinerja proyek studi kasus cukup baik. Segala upaya pencapaian konsep conversion telah secara rutin dilakukan sesuai dengan kualitas kerja perusahaan yang telah memiliki prosedur standar kegiatan-kegiatan operasional, termasuk juga kepemilikan sertifikat ISO. Kontraktor menjalankan proses konstruksi sebaik-baiknya dan tidak terpengaruh dengan pola supply chain proyek konstruksi.
Perencanaan pelaksanaan konstruksi yang matang sebenarnya sangat dibutuhkan bagi kesuksesan proyek yang meminimalkan penggunaan sumberdaya. Walaupun konsep ini telah disadari oleh pihak kontraktor utama, namun belum diterapkan. Di Indonesia, secara umum hubungan antara kontraktor utama dengan subkontraktor memang belum merupakan hubungan yang bersifat partnership.
Konsep “Flow”
Upaya pengelolaan flow adalah mengidentifikasi dan meminimalisasi kegiatan-kegiatan yang tidak menambahkan nilai (non value-adding activities).
Indikator-indikator 1, 2, 3, 5, 7, dan 8 menggambarkan upaya-upaya tersebut (Gambar 4.4.).
Berdasarkan hasil pengukuran dapat diketahui bahwa telah banyak perhatian dari kedua kontraktor dalam menerapkan konsep flow dalam proses produksi lapangan, terutama terkait dengan kelancaran pasokan material. Kelancaran pasokan material diupayakan dengan pemesanan yang baik (waktu tenggang atau lead time yang cukup), sehingga pemasok dapat memenuhi jadwal pengiriman material dengan baik.
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa kelancaran pasokan material didukung dengan penerapan sistem kontrak payung untuk pengadaan material- material strategis. Dengan kontrak yang bersifat lebih jangka panjang, hubungan antara kontraktor dengan pemasok menjadi lebih baik. Kontraktor mendapatkan material dengan kualitas yang lebih terjamin, serta kontraktor dapat melakukan pengelolaan persediaan (inventory) secara lebih optimal.
Kelancaran pasokan material juga diupayakan dengan pengelolaan gudang yang mencakup pemeriksanaan dan pencatatan mendetil setiap kedatangan material sebelum masuk gudang dan setiap pengeluaran material dari gudang.
Kemudian, setiap hari pada akhir waktu kerja juga dilakukan pemeriksaan dan pencacatan sisa material oleh petugas gudang. Pada setiap akhir bulan dilakukan pemeriksaan bersama menyeluruh (opname) terhadap ketersediaan material.
Jumlah material yang tersimpan di gudang pada akhir bulan diupayakan kurang dari 10% dari nilai pembelian yang dilakukan pada bulan berjalan.
Gambar 4.3. Indikator Kinerja Supply Chain yang Terkait dengan Konsep Conversion
Gambar 4.4. Indikator Kinerja Supply Chain yang Terkait dengan Konsep Flow
INDIKATOR 4 Intensitas defect pekerjaan
INDIKATOR 5
Kinerja supplier dalam memenuhi
jadwal pengiriman KONTROL DAN OPTIMALISASI PENGGUNAAN SUMBER DAYA INDIKATOR 7
Intensitas reject material
INDIKATOR 9 Keikutsertaan subkontraktor dalam perencanaan pelaksanaan
INDIKATOR 1 Intensitas perubahan/revisi
terhadap rencana kerja INDIKATOR 2 Intensitas constrainst selama
pelaksanaan kerja
IDENTIFIKASI DAN MINIMALISASI TERHADAP
AKTIFITAS YANG TIDAK MEMBERIKAN TAMBAHAN VALUE (NON VALUE ADDING
ACTIVITIES) MINIMALISASI WASTE INDIKATOR 3
Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat
INDIKATOR 5
Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman material
INDIKATOR 6 Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dengan
pengiriman delivery INDIKATOR 7 Intensitas reject material
INDIKATOR 8 Inventory Material
Gambar 4.5. Indikator Kinerja Supply Chain yang Terkait dengan Konsep Value
Kontraktor juga mengelola material sisa pelaksanaan konstruksi.
Perhitungan kebutuhan dilakukan secara seksama dengan tujuan meminimalkan sisa material. Material sisa yang tidak dapat dihindari, seperti sisa pengecoran beton, potongan-potongan baja/besi, dan M/E dimanfaatkan lagi sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan permasalahan baru.
Konsep ”Value”
Tujuan mendasar semua tahapan dalam proses produksi adalah penciptaan value yang sesuai keinginan konsumen. Value merupakan nilai yang ditentukan oleh konsumen yang merupakan kebutuhan yang harus diterjemahkan secara spesifik yaitu dalam spesifikasi teknis, batas waktu, dan biaya sesuai kontrak.
Proses penciptaan value ini didukung oleh proses conversion dan flow yang telah dibahas sebelumnya. Terkait dengan konsep value, terdapat dua indikator yang digunakan seperti dijelaskan pada Gambar 4.5.
Kegiatan pengendalian defect (pekerjaan tidak sesuai dengan kualitas dan kuantitas) telah dilakukan dengan baik oleh kontraktor, pemeriksaan mutu pekerjaan dilakukan oleh pengawas internal perusahaan, sehingga setiap defect yang ditemukan langsung diperbaiki. Pemeriksaan kualitas pekerjaan pada proyek
MEMBERIKAN KEPUASAN TERHADAP KONSUMEN
INDIKATOR 4 Intensitas defect pekerjaan
INDIKATOR 10 Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor dan kontraktor ke supplier
negara biasanya dilakukan secara terpadu pada masa akhir konstruksi, namun demikian pihak kontraktor selalu melakukan pemeriksaan periodik secara mandiri oleh tim pengawas internalnya.
Jumlah keluhan dari pemilik kepada kontraktor utama cukup sedikit ditemui, namun tetap saja jika ada keluhan tersebut segera ditangani oleh kontraktor.
Pemahaman kontraktor terhadap definisi value masih terbatas pada nilai - nilai yang tertera dalam kontrak. Namun keinginan pihak pemilik tidak seluruhnya dapat disampaikan secara eksplisit dalam dokumen kontrak, sehingga sejak sebelum dimulainya tahap konstruksi perlu dilakukan komunikasi yang baik dengan pemilik untuk mengurangi potensi kegagalan value tersebut. Hal ini terutama penting diupayakan pada proyek - proyek konstruksi yang kompleks.
4.3. Efektifitas penerapan supply chain management pada proyek proyek konstruksi
Berdasarkan angket/kuesioner yang telah disebar kepada responden dalam hal ini adalah dari pihak kontraktor utama pada proyek studi kasus ini terdiri dari tingkat kepentingan pelaksanaan dan tingkat kinerja pelaksanaan.
4.3.1. Tingkat Kepentingan Pelaksanaan Pekerjaan (sesuai indikator lean construction)
Tingkat kepentingan akan mempengaruhi kepuasan responden. Peningkatan kinerja atribut yang dianggap penting akan meningkatkan kepuasan total lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan kinerja atribut yang dianggap tidak begitu penting oleh responden. Semakin tinggi nilai yang diperoleh, berarti semakin penting atribut tersebut.
Tabel 4.4.
Tingkat Kepentingan Pelaksanaan Pekerjaan Menurut Responden
Dari tabel 4.4. dapat dilihat bahwa ternyata dari tingkat kepentingan, indikator yang menempati urutan terpenting menurut responden yaitu Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor dan kontraktor ke supplier dengan nilai 14,90.
Terlihat bahwa pihak kontraktor menggangap sangat penting dalam meminimalisir complaints dari pihak owner karena hal ini mencerminkan kualitas pekerjaan dari kontraktor.
4.3.2. Tingkat Kinerja Pelaksanaan Pekerjaan (sesuai indikator lean construction)
Tingkat kinerja menunjukkan tingkat penilaian terhadap pencapaian hasil pelaksanaan pekerjaan. Semakin tinggi nilai yang diperoleh, maka semakin puas responden terhadap indikator pelaksanaan.
1 Intensitas defect pekerjaan 13.80
2 Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal
pengiriman 14.10
3 Intensitas reject material 13.20
4 Keikutsertaan subkontraktor dalam
perencanaan pelaksanaan 10.40
5 Intensitas perubahan/revisi terhadap
rencana kerja 12.30
6 Intensitas constrainst selama pelaksanaan
kerja 12.50
7 Intensitas rapat koordinasi antar pihak
yang terlibat 13.70
8 Waktu tenggang (lead time ) antara pemesanan (order ) dengan pengiriman (delivery)
14.40
9 Inventory Material 13.90
10 Intensitas complaints dari owner kepada
kontraktor dan kontraktor ke supplier 14.90 Nilai Kepentingan
No. Indikator
Tabel 4.5.
Tingkat Kinerja Pelaksanaan Pekerjaan Menurut Responden
Dari tabel 4.5. menunjukkan bahwa tingkat kinerja yang paling baik adalah intensitas complaints dari owner kepada kontraktor dengan nilai 12,60. Hal ini menunjukkan komitmen kontraktor dalam menjaga kualitas pekerjaan yang baik.
Kemudian ada intensitas reject material dengan nilai 12,50. Dalam hal ini menunjukkan bahwa kontraktor utama memiliki hubungan yang baik dengan pihak supplier sehingga mendapatkan kepercayaan dalam hal pengiriman dan kualitas material yang baik.
Untuk tingkat nilai kinerja paling rendah menurut responden adalah kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman dengan nilai 10,90. Hal ini mengindikasikan bahwa memang terjadi kendala khususnya dalam hal
1 Intensitas defect pekerjaan 12.20 2 Kinerja supplier dalam memenuhi
jadwal pengiriman 10.90
3 Intensitas reject material 12.50 4 Keikutsertaan subkontraktor dalam
perencanaan pelaksanaan 11.00
5 Intensitas perubahan/revisi terhadap
rencana kerja 12.00
6 Intensitas constrainst selama
pelaksanaan kerja 11.80
7 Intensitas rapat koordinasi antar pihak
yang terlibat 11.70
8 Waktu tenggang (lead time ) antara pemesanan (order ) dengan pengiriman (delivery)
12.10
9 Inventory Material 12.00
10 Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor dan kontraktor ke supplier
12.60 Nilai Kinerja
No. Indikator
pengiriman material – material besar seperti baja yang memang dikirim langsung dari wilayah pulau Jawa (Surabaya) yang mengakibatkan terjadinya ketidaktepatan waktu sampai pengiriman.