• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pangan

Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman.

Pangan dibedakan atas : a. Pangan Segar

Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan, yang dapat dikonsumsi langsung atau dijadikan bahan baku pengolahan pangan.

Misalnya beras, gandum, segala macam buah, ikan, air segar.

b. Pangan Olahan

Makanan/ pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi kelomjpok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan kelompok tersebut.

c. Pangan Siap Saji

(2)

Pangan siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah diolah dan bias langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan.

Pangan yang dikonsumsi secara teratur setiap hari tidak hanya sekedar memenuhi ukuran kuantitas saja namun juga harus memenuhi unsur kualitas. Unsur kuantitas sering dikaitkan dengan jumlah makanan yang harus dikonsumsi. Bagi mereka, ukuran cukup mungkin adalah kenyang, atau yang penting sudah makan.

Sedangkan ukuran kualitas adalah terkait dengan nilai-nilai intrinsik dalam makanan tersebut seperti keamanannya, gizi dan penampilan makanan tersebut.

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (UU RI no.7 Tahun 1996 Tentang Perlindungan Pangan).

Pengawetan pangan dengan menambahkan zat kimia merupakan teknik yang relatif sederhana dan murah. Cara ini terutama bermanfaat bagi wilayah yang tidak mudah menyediakan sarana penyimpanan pada suhu rendah (refrigerasi). Sebaliknya, kekhawatiran akan keamanan zat kimia yang biasa digunakan dalam pengawetan pangan telah mendorong sejumlah Negara untuk membatasi atau melarang pengunaannya dalam pangan (WHO, 1991).

7

(3)

2.2. Bahan Tambahan pangan

2.2.1. Pengertian dan Tujuan Penggunaan

Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/Per/IX/88 No. 1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merrupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan.

Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan.

Bahan tambahan pangan harus memenuhi beberapa persyaratan untuk

menjaga keamanan penggunaannya, yaitu tidak menunjukkan sifat-sifat bereaksi

dengan bahan, mengganggu kesehatan konsumen, menimbulkan keracunan,

merangsang atau menghilangkan rasa dan menghambat kerja enzim. Bahan tersebut

haruslah mudah dianalisis, efisien dalam rekasi dan mempertahankan mutu. Bahan

tambahan pangan yang dilarang adalah semua bahan tambahan yang dapat menipu

konsumen, menyembunyikan kesalahan dan teknik penanganan serta penurunan

mutu (Sulaeman, 1990).

(4)

2.2.2. Jenis-Jenis Bahan Tambahan Pangan

Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, citarasa, dan membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida, dan rodentsia), antibiotik, dan hidrokarbon aromatic polisiklis.

Apabila dilihat dari asalnya, bahan tambahan pangan dapat berasal dari

sumber alamiah, seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya. Bahan ini dapat

juga disintesis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah

yang sejenis, baik susunan kimia maupun sifat metabolismenya, misalnya β-Karoten

dan asam aksorbat. Pada umumnya bahan sintetis mempunyai kelebihan yaitu lebih

pekat, lebih stabil, dan lebih murah, tetapi ada pula kelemahannya, yaitu sering

terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi

(5)

kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat merangsang terjadinya kanker pada hewan atau manusia.

Penggolongan Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan oleh Departemen kesehatan yang diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88, yaitu:

1. Antioksidan (Antioxidant) 2. Antikempal (Anticaking Agent)

3. Pengatur Keasaman (Acidity Regulator) 4. Pemanis Buatan (Artificial sweetetrner)

5. Pemutih dan Pematang Telur (Flour Treatment Agent)

6. Pengemulsi, Pemantap, dan Pengental (Emulsifier, Stabilizer, Thickener) 7. Pengawet (Preservative)

8. Pengeras (Firming Agent) 9. Pewarna (colour)

10. Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa (Flavour, Flavour Enhancer) 11. Sekuesteran (Sequesterant)

Bahan Tambahan Pangan yang dilarang digunakan dalam makanan menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88, sebagai berikut:

1. Natrium Tetraborat (Boraks) 2. Formalin (Formaldehyd)

3. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated Vegetable Oils)

(6)

4. Kloramfenicol (Chloramfenicol) 5. Kalium Klorat (Pottasium Chlorate)

6. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC) 7. Nitrofuranzon (Nitrofuranzone)

8. P-Phenethylcarbamide, Dulcin, 4-ethoxyphenyl urea 9. Asam salisilat dan garamnya (Salicyclic Acid and its salt) 2.3. Bahan Pengawet

2.3.1. Pengertian Bahan Pengawet

Pengawetan yaitu suatu teknik atau tindakan yang digunakan oleh manusia pada bahan pangan sedemikian rupa, sehingga bahan tersebut tidak mudah rusak.

Istilah awet merupakan pengertian relatif terhadap daya awet alamiah dalam kondisi yang normal. Daya keawetan bahan berbeda beberapa hari atau beberapa bulan.

Dalam pangan dapat diawetkan dalam keadaan segar atau berupa bahan olahan. Dalam teknologi pangan, pengertian pengawetan tidak sekedar memperpanjang umur pakai dan daya guna bahan, tetapi pengawetan sering merupakan bagian dari pengolahan hasil pertanian yang tidak terpisahkan.

Pengawetan dapat merupakan bagian utama proses pengolahan.

Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau

menghambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian lain terhadap makanan

yang disebabkan oleh mikroorganisme. Bahan tambahan pangan ini biasanya

ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak, atau makanan yang disukai

(7)

sebagai media tumbuhnya bakteri atau jamur, misalnya pada produk daging, buah- buahan, dan lain-lain. Definisi lain bahan pengawet adalah senyawa atau bahan yang mampu menghambat, menahan atau menghentikan, dan memberikan perlindungan bahan makanan dari proses pembusukan (Cahyadi,2006).

2.3.2. Tujuan Penggunaan Bahan Pengawet

Secara ideal, bahan pengawet akan menghambat atau membunuh mikroba yang penting dan kemudian memecah senyawa berbahaya menjadi tidak berbahaya dan tidak toksik. Bahan pengawet akan mempengaruhi dan menyeleksi jenis mikroba yang dapat hidup pada kondisi tersebut. Derajat penghambatan terhadap kerusakan bahan pangan oleh mikroba bervariasi dengan jenis bahan pengawet yang digunakan dan besarnya penghambatan ditentukan oleh konsentrasi bahan pengawet yang digunakan.

Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut:

1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat pathogen maupun yang tidak pathogen.

2. Memperpanjang umur simpan pangan

3. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan.

4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah.

(8)

5. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan.

6. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.

2.3.3 Jenis Bahan Pengawet

Berdasarkan sumbernya, bahan pengawet dapat digolongkan menjadi 2 yaitu:

1. Zat Pengawet Anorganik

Zat pengawet anorganik yang masih sering digunakan adalah sulfit, hydrogen peroksida, nitrat dan nitrit. Selain untuk mencegah tumbuhnya bakteri Clostridium botulinum, senyawa juga berfungsi untuk mempertahankan

warna dan menghambat pertumbuhan mikroba pada proses curing daging.

2. Zat Pengawet Organik

Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada yang anorganik karena bahan ini lebih mudah dibuat. Bahan organik ini digunakan baik dalam bentuk asam maupun dalam bentuk garamnya. Zat kimia yang sering dipakai sebagai bahan pengawet ialah asam sorbet, asam propionate, asam benzoate, asam asetat dan epoksida.

Pengawet yang berasal dari senyawa oranik biasanya digunakan untuk

produk-produk olahan nabati seperti roti, sari buah, minuman ringan serta

selai dan jeli.

(9)

2.4. Formalin

2.4.1. Pengertian Formalin

Formalin adalah nama dagang larutan formaldehid dalam air dengan kadar 30-40 persen. Di pasaran, formalin dapat diperoleh dalam bentuk yang sudah diencerkan , yaitu dengan kadar formaldehidnya 40, 30, 20 dan 10 persen serta dalam bentuk tablet yang beratnya masing-masing sekitar 5 gram. Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di dalam formalin terkandung sekitar 37% formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan methanol hingga 15%

sebagai pengawet (Handayani, 2006).

Formalin mempunyai banyak nama kimia yang biasa kita dengar di masyarakat, diantaranya formol, methylene aldehyde, paraforin, morbicid, oxomethane, polyoxymethylene glycols, methanol, formoform, superlysoform, formic aldehyde, formalith, tetraoxymethylene, methyl oxide, karsan, trioxane, oxymethylene dan methylene glycol (Nurheti, 2007).

Formalin yang biasa ditambahkan pada makanan adalah larutan 30-50% gas

formaldehid, untuk stabilitas dalam larutan formalin biasanya mengandung methanol

10-15%. Formalin mempunyai bau yang menyengat dan dapat menimbulkan pedih

pada mata. Senyawa ini termasuk golongan aldehid yang paling sederhana karena

hanya mempunyai satu atom karbon (Murtini dan Widyaningsih, 2006).

(10)

2.4.2. Fungsi Formalin

Formalin sudah sangat umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila digunakan secara benar, formalin akan banyak kita rasakan manfaatnya, misalnya sebagai antibakteri atau pembunuh kuman dalam berbagai keperluan jenis industri, yakni pembersih lantai, kapal, gudang dn pakaian, pembasmi lalat maupun berbagai serangga lainnya. Dalam dunia fotografi biasanya digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan kertas. Formalin juga sering digunakan sebagai bahan pembuatan pupuk urea, bahan pembuatan produk parfum, pengawet produk kosmetika, pengeras kuku dan bahan untuk insulasi busa. Formalin boleh juga dipakai sebagai pencegah korosi untuk sumur minyak. Di bidang industri kayu, formalin digunakan sebagai bahan perekat untuk produk kayu lapis (plywood).

Dalam konsentrasi yang sangat kecil (<1 persen) digunakan sebagai pengawet untuk berbagai barang konsumen sepertinpembersih rumah tangga, cairan pencuci piring, pelembut, perawat sepatu, shampoo mobil, llin dan karpet.

Di dalam industri perikanan, formalin digunakan menghilangkan bakteri yang biasa hidup di sisik ikan. Formalin diketahui sering digunakan dan efektif dalam pengobatan penyakit ikan akibat ektoparasit seperti fluke dan kulit berlendir.

Meskipun demikian, bahan ini juga sangat beracun bagi ikan. Ambang batas

amannya sangat rendah sehingga terkadang ikan yang diobati malah mati akibat

formalin daripada akibat penyakitnya. Formalin banyak digunakan dalam

pengawetan sampel ikan untuk keperluan penelitian dan identifikasi. Di dunia

kedokteran formalin digunakan dalam pengawetan mayat (Yuliarti, 2007).

(11)

2.4.3. Sifat Formalin

Formaldehid adalah salah satu zat tambahan makanan yang dilarang.

Dipasaran zat ini dikenal dengan nama formalin. Senyawa ini dipasaran dikenal dengan nama formalin dengan rumus CH2O.

Formalin adalah nama komersil dari senyawa formalin yang mengandung 35 - 40 % dalam air. Formalin termasuk kelompok senyawa disinfektan kuat yang sering dipakai sebagai bahan pengawet mayat tetapi dapat juga digunakan sebagai pengawet makanan, walaupun formalin tidak diizinkan untuk bahan pengawet makanan serta bahan tambahan. Formalin biasanya mengandung alcohol (metanol) sebanyak 10 – 15 % yang berfungsi sebagai stabilator supaya formaldehidnya tidak mengalami polimerisasi. Formaldehida mudah larut dalam air, sangat reaktif dalam suasana alkalis, serta bersifat sebagai pereduksi yang kuat. Secara alami formaldehida juga dapat ditemui dalam asap pada proses pengasapan makanan, yang bercampur dengan fenol, keton, dan resin. Bila menguap di udara, berupa gas tidak berwarna, dengan bau yang tajam menyengat (Mark, 2009).

Pengawet ini memiliki unsur aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan

protein, karenanya ketika disiramkan ke makanan seperti tahu, formalin akan

mengikat unsur protein mulai dari bagian permukaan tahu hingga terus meresap

kebagian dalamnya. Dengan matinya protein setelah terikat unsur kimia dari formalin

maka bila ditekan tahu terasa lebih kenyal . Selain itu protein yang telah mati tidak

(12)

akan diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam, Itulah sebabnya tahu atau makanan berformalin lainnya menjadi lebih awet.

Formaldehida membunuh bakteri dengan membuat jaringan dalam bakteri dehidrasi (kekurangan air), sehingga sel bakteri akan kering dan membentuk lapisan baru di permukaan. Artinya, formalin tidak saja membunuh bakteri, tetapi juga membentuk lapisan baru yang melindungi lapisan di bawahnya, supaya tahan terhadap serangan bakteri lain. Bila desinfektan lainnya mendeaktifasikan serangan bakteri dengan cara membunuh dan tidak bereaksi dengan bahan yang dilindungi, maka formaldehida akan bereaksi secara kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk melindungi dari serangan berikutnya. Melihat sifatnya, formalin juga sudah tentu akan menyerang protein yang banyak terdapat di dalam tubuh manusia seperti pada lambung. Terlebih, bila formalin yang masuk ke tubuh itu memiliki dosis tinggi.

2.4.4. Dampak Penggunaan Formalin Terhadap Kesehatan

Sangat kita pahami bahwa formalin sangat berbahaya jika digunakan tidak

sewajarnya mengingat formalin merupakan zat yang bersifat karsinogenik atau bisa

menyebabkan kanker. Beberapa penelitian terhadap tikus dan anjing menunjukkan

bahwa pemberian formalin pada dosis tertentu pada jangka panjang bisa

mengakibatkan kanker saluran cerna seperti adenocarcinoma pylorus, preneoplastic

hyperplasia pylorus dan adenocarcinoma duodenum. Penelitian lainnya menyebutkan

(13)

peningkatan resiko kanker faring ( tenggorokan), sinus dan cavum nasal (hidung) pada pekerja tekstil akibat paparan formalin melalui hirupan.

Dalam jumlah sedikit, formalin akan larut dalam air, serta akan dibuang keluar bersama cairan tubuh. Dengan demikian keberadaan formalin dalam darah sulit dideteksi. Kekebalan tubuh sangat berperan pada berdampak tidaknya formalin di dalam tubuh. Jika kekebalan tubuh atau mekanisme pertahanan tubuh rendah, sangat mungkin formalin berkadar rendah sekalipun bisa berdampak buruk terhadap kesehatan. Anak-anak, khususnya bayi dan balita, adalah salah satu kelompok usia yang rentan mengalami gangguan ini. Secara mekanik integritas mukosa (permukaan) usus dan peristaltic (gerakan usus) merupakan pelindung masuknya zat asing ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi zat berbahaya tersebut. Secara imunologik sIgA (sekretori Imunoglobulin A) pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat menangkal zat asing masuk ke dalam tubuh. Namun demikian, pada usia anak, usus imatur ( belum sempurna ) atau sistem pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi sehingga memudahkan bahan berbahaya masuk ke dalam tubuh dan sulit dikeluarkan. Hal ini juga akan lebih mengganggu pada penderita gangguan saluran cerna yang kronis seperti pada penderita autism, penderita alergi dan sebagainya. (yuliarti,2007).

Efek samping penggunaan formalin tidak secara langsung akan terlihat. Efek

ini hanya terlihat secara kumulatif, kecuali jika seseorang mengalami keracunan

(14)

lambung dan alergi. Formalin juga bersifat karsinogen (bersifat kanker) dan mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel). Dalam kadar yang sangat tingi formalin bisa menyebabkan kegagalan peredaran darah yang bermuara pada kematian.

Efek akut penggunaan formalin adalah:

1. Tenggorokan dan perut terasa terbakar, tenggorokan terasa sakit untuk menelan

2. Mual, muntah, dan diare

3. Mungkin terjadi pendarahan dan sakit perut yang hebat 4. Sakit kepala dan hipotensi ( tekanan darah rendah) 5. Kejang, tidak sadar hingga koma; dan

6. Kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, serta sistem susunan saraf pusat dan ginjal.

Sementara, efek kronis akibat penggunaan formalin adalah

1. Iritasi pada saluran pernapasan 2. Muntah-muntah dan kepala pusing 3. Rasa terbakar pada tenggorokan

4. Penurunan suhu badan dan rasa gatal di dada; dan 5. Bila dikonsumsi menahun dapat mengakibatkan kanker.

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, berikut adalah dampak buruk formalin bagi tubuh manusia:

a. Kulit : Iritatif, kulit kemerahan, kulit seperti terbakar, alergi kulit

(15)

b. Mata : Iritatif, mata merah, dan berair dan kebutaan

c: Hidung : Mimisan

d. Saluran Pernafasan : Iritasi lambung, mual, muntah, mules

e. Hati : Kerusakan hati

f. Paru-paru : radang paru-paru karena zat kimia (pneumonitis)

g. saraf: Sakit kepala, lemas, susah tidur, sensitive, sukar konsentrasi, mudah lupa h. ginjal : Kerusakan ginjal

i. Organ Reproduksi : Kerusakan testis dan ovarium, gangguan menstruasi sekunder

2.5. Bahan Pengawet Pengganti Formalin

Menurut Institut Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB bekerjasama dengan jejaring intelijen pangan BPOM-RI (2006), formula alternative pengganti formalin yang sudah diuji cobakan di beberapa UKM adalah formula 1/20 Na-asetat.

Dalam penggunaannya harus memperhatikan kondisi hygiene sanitasi dan

konsentrasi bahan tambahan yang digunakan. Formula tersebut dapat berguna untuk

pengawet mi apabila sanitasi produksi dalam keadaan baik, penggunaan formula

sesuai dengan konsentrasi yang telah diujicobakan dan produk mi disimpan pada

penyimpanan dingin.

(16)

Menurut Dr. Purnama dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada (Kompas, 9 Januari 2006). Pengawet alami yang dapat menggantikan formalin adalah pengawet dari asap cair. Meskipun tidak sehebat dan selama formalin.

Tabel 1. Alternatif pengga nti formalin

Bahan Baku Proses Nama Produk

Tempurung kelapa Pendinginan dan pencairan asap Asap cair Limbah udang Penghilangan protein dan

kandungan mineral melalui proses kimiawi

Chitosan

Kunyit Dicampur dengan bahan yang akan diwetkan

Air bawang putih Direndam dengan bahan yang akan diawetkan

Jerami Padi Merang dibakar, abunya dicampur air dan diendapkan

Air ki

Air Kelapa Air kelapa diberi mikroba Asam Sitbat

Menurut Dra. Sukesi M.Si, seorang Dosen Jurusan Kimia Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITS, untuk mengurangi kandungan

formalin dalam makanan yang telah diawetkan dengan formalin, ada beberapa cara

yang dapat digunakan untuk mengurangi kandungan formalin tersebut dalam

makanan yang bersangkutan dengan tidak mengeluarkan biaya , hanya dengan

bagaimana cara memperlakukan bahan makanan itu sebelum dikonsumsi. Formalin

dalam makanan tidak dapat dihilangkan, namun dapat diminimalisir. Deformalinisasi

dapat dilakukan untuk mengurangi kadar formalin pada makanan, yaitu dengan

melakukan perendaman bahan makanan ke dalam tiga macam larutan yaitu: air, air

(17)

garam dan air leri. Perendaman yang dilakukan dalam air selama 60 menit mampu menurunkan kadar formalin sampai 61,25%. Dengan air leri mampu menurunkan kadar formalin sampai 66,03%, sedangkan pada air garam dapat mengurangi kadar formalin hingga 89,53%. Deformalisasi pada mi baiknya dilakukan dengan perendaman air panas selama 30 menit.

2.6. Ciri-Ciri Beberapa Makanan yang Mengandung Formalin 2.6.1. Mi basah

1. Bau sedikit menyengat

2. Awet, tahan dua hari dalam suhu kamar (25

0

Celcius). Pada suhu 10

0

C atau dalam lemari es bisa tahan lebih 15 hari

3. Mi tampak mengkilat (seoerti berminyak), liat (tidak mudah putus) dan tidak lengket.

2.6.2. Tahu

1. Bentuknya sangat bagus 2. Kenyal

3. Tidak mudah hancur dan awet (sampai tiga hari pada suhu kamar). Pada suhu lemari es (10

0

) tahan lebih dari 15 hari

4. Bau agak menyengat

5. Aroma kedelai sudah tidak nyata lagi 2.6.3. Bakso

1. Kenyal

2. Awet, setidaknya pada suhu kamar bisa tahan sampai lima hari

(18)

2.6.4. Ikan

1. Warna putih bersih 2. Kenyal

3. Insangnya berwarna merah tua dan bukan merah segar

4. Awet (pada suhu kamar) sampai beberapa hari dan tidak mudah busuk 5. Tidak terasa bau amis ikan, melainkan ada bau menyengat

2.6.5. Ikan asin

1. Ikan berwarna bersih cerah 2. Tidak berbau khas ikan

3. Awet sampai lebih dari 1 bulan pada suhu kamar (25

0

C) 4. Liat (tidak mudah hancur)

2.6.6. Ayam Potong

1. Berwarna putih bersih

2. Tidak mudah busuk atau awet dalam beberapa hari (Anonimous, 2009) 2.7. Mi

2.7.1. Jenis-Jenis Mi

Berdasarkan segi tahap pengolahan dan kadar airnya, menurut Koswara, 2005, mi dapat dibagi menjadi 5 golongan:

a. Mi mentah/ segar adalah mi produk langsung dari proses pemotongan

lembaran adonan dengan kadar air 35 persen.

(19)

b. Mi basah, adalah mi mentah yang sebelum dipasarkan mengalami perebusan dalam air mendidih lebih dahulu, jenis mi ini memiliki kadar air sekitar 52 persen.

c. Mi kering, adalah mi mentah yang langsung dikeringkan, jenis mi ini memiliki kadar air sekitar 10 persen.

d. Mi goreng, adalah mi mentah sebelum dipasarkan lebih dahulu digoreng.

e. Mi instan (mi siap hidang), adalah mi mentah, yang telah mengalami pengukusan dan dikeringkan sehingga menjadi mi instan kering atau digoreng sehingga menjadi mi instan goreng ( instant freid noodles).

2.7.2. Bahan Pembuatan Mi

Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mi. tepung terigu diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Tepung terigu berfungsi membentuk struktur mi, sumber protein dan karbohidrat. Kandungan protein utama tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mi adalah gluten. Gluten dapat dibentuk dari gliadin (prolamin dan gandum) dan glutenin. Protein dalam tepung terigu dalam pembuatan mi harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya mi menjadi elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksinya. Bahan- bahan yang digunakan antara lain air, garam, bahan pengembang, zat warna, bumbu dan telur.

Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dan karbohidrat, melarutkan

garam dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akanmengembang dengan

(20)

disebabkan absorpsi air semakin meningkat dengan naiknya PH. Makin banyak air yang diserap, mi menjadi tidak mudah patah. Jumlah air yang optimum membentuk pasta yang baik.

Garam berperan dalam member rasa, memperkuat tekstur mi, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mi serta mengikat air. Garam dapat menghambat aktifitas enzim protease dan emilase sehingga pasta tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan.

Putih telur akan menghasilkan suatu lapisan tipis dan kuat pada permukaan mi. lapisan tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak sewaktu digoreng dan kekeruhan saus mi sewaktu pemasakan. Lesitin pada kuning telur merupakan pengemulsi yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu, dan bersifat mengembangkan adonan (Koswara, 2005).

2.7.3. Pengertian Mi Basah

Mi merupakan makanan yang sangat digemari mulai anak-anak sampai orang dewasa. Alasannya karena rasanya yang enak, praktis, dan mengenyangkan. Di pasaran saat ini dikenal ada beberapa jenis mi, yaitu mi mentah (mi pangsit), mi basah, mi kering, dan mi instan. Mi kering dan instan merupakan mi yang kering dengan kadar air yang rendah sehingga lebi awet dibandingkan dengan mi mentah atau mi basah (Murtini dan Widyaningsih, 2006).

Mi basah atau disebut juga mi kuning adalah jenis mi yang mengalami proses

perebusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar air mi basah

(21)

dapat mencapai 52% sehingga daya tahan atau keawetannya cukup singkat. Pada suhu kamar mi basah ini hanya bertahan 10-12 jam saja karena setelah itu mi akan berbau asam dan berlendir atau basi (Murtini dan Widyaningsih, 2006).

2.7.4. Tahapan Pembuatan Mi Basah

Tahapan pembuatan mi basah menurut Murtini dan Widyaningsih yaitu:

1. Pencampuran Bahan

Bahan-bahan yang telah disiapkan dicampur menjadi satu, kecuali minyak

kacang. Pencampuran dapat digunakan dengan tangan atau mixer, sampai membentuk adonan yang homogen, yaitu menggumpal bila dikepal dengan tangan.

2. Pengulenan Adonan

Adonan yang sudah berbentuk gumpalan selanjutnya diuleni. Pengulenan ini dapat menggunakan alat kayu berbentuk silindris. Pengulenan dilakukan secara berulang-ulang sampai adonan kalis (halus).

3. Pembentukan Lembaran

Adonan yang sudah kalis sebagian dimasukkan ke dalam mesin pembuat mi

untuk mendapatkan lembaran-lembaran. Pembentukan lembaran ini diulang

beberapa kali untuk mendapatkan lembaran yang tipis (tebal 0,8 mm).

(22)

4. Pembentukan Mi

Proses pembentukan / pemotongan mi dilakukan dengan alat pencetak mi (roll press) manual dengan tenaga atau yang digerakkan oleh tenaga listrik.

Lembaran adonan yang tipis dimasukkan ke dalam alat pencetak sehingga terbentuk mi yang panjang.

5. Perebusan

Mi yang telah terbentuk dimasukkan dalam panci yang berisi air mendidih.

Mi direbus selama 2 menit sambil diaduk perlahan. Perebusan jangan terlalu lama karena akan membuat mi menjadi lembek.

6. Pendinginan

Mi hasil perebusan kemudian ditiriskan, selanjutnya didinginkan secara cepat

dengan disiram air. Agar mi tidak lengket diberi minyak kacang atau minyak

goring sambil diaduk-aduk agar merata.

(23)

2.8. Kerangka Konsep

Mi Basah dan ciri- ciri fisiknya:

1.Bau

2.Masa simpan 3.struktur mi:

- Tampak mengkilat - Liat

- Tidak lengket

Uji

Laboratoriu m

Ada t

Tidak ada formalin

Permenkes RI No. 1168/Menkes/Per/X/1999

Gambar

Tabel 1. Alternatif pengga nti formalin

Referensi

Dokumen terkait

1168/Menkes/Per/X/1999 menyatakan bahwa bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan,

1168/Menkes/Per/X/1999 menyatakan bahwa bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas

1168/ Menkes/ Per/X/1999 menyatakan bahwa bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1168/Menkes/PER/X/1999 pengertian bahan tambahan pangan (BTP) secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan

1168/Menkes/PER/X/1999 adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai

Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI NO.722/Menkes/Per/IX/88 No.1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan

Bahan tambahan pangan secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai

Bahan tambahan pangan (BTP) dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.772/Menkes/Per/IX/88 dan No.1168/Menkes/PER/X/1999, adalah : “Bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan