• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

(Studi Kasus Saenal Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia)

Skripsi ini Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

CHIKITA CETIZA 45 14 060 013

FAKULTAS HUKUM / ILMU-ILMU HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2018

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah mencurahkan segenap kemampuan, kesungguhan hati dan pikiran untuk merampungkan karya ilmiah ini, guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

Dalam penyelesaian karya ilmiah ini, cukup banyak hambatan yang penulis dapatkan terutama berkenan dengan keterbatasan kemampuan, literatur dan sarana lainnya, sehingga saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak senantiasa penulis harapkan.

Berbagai kendala dan tantangan yang memang tidak akan mudah ditempuh tanpa pertolongan dan doa baik dikala penulis masih studi hingga penulisan skripsi ini. Berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kendala dan tantangan itu Alhamdulillah dapat penulis lalui. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin berterimakasih kepada:

1. Mamaku Tersayang yang telah membesarkan, mengasuh, mendidik dengan curahan kasih sayangnya, atas doa-doa yang tiada henti dipanjatkan dengan ketulusan hati, dan dengan kebesaran jiwanya memberi dukungan bagi penulis baik moril maupun materil.

(6)

2. Ibu ketua yayasan, Bapak Rektor, Bapak Dekan Fakultas Hukum, Ibu Wakil Dekan I, Ketua Prodi, Para dosen, beserta Staf Pegawai Fakultas Hukum Universitas Bosowa atas segala bantuan, bimbingan, dan ilmu pengetahuannya.

3. Bapak Dr. Abd Haris Hamid, SH,MH selaku Dosen Pembimbing I (satu) dan Basri Oner, SH,MH selaku Dosen Pembimbing II (dua) yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan pada penulis.

4. Untuk Suamiku Farid Mustafa, terima kasih untuk semuanya. Yang selalu menemani di saat-saat terpuruk dan membantu pembuatan skripsi ini hingga selesai.

5. Kepada Sahabat-sahabatku Dita Rahmayanti, Putri Candra Sakarani, Fitriani Ihsan, Novita Angraini dan kawan-kawan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu terima kasih untuk selalu menghibur pada saat proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas support dan doanya.

Sebagai akhir kata, harapan penulis semoga karya ilmiah ini yang berupa skripsi dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya dan pada bidang Ilmu Hukum khususnya.

Makassar, 31 Juli 2018 Penulis

Chikita Cetiza

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI vii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4 Metode Penelitian ... 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Hukum Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ... 13

2.1.1 Perjanjian Bilateral ... 16

2.1.2 International Labour Organization (ILO) ... 18

2.2 Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Di Indonesia ... 24

2.3 Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri ... 30

(8)

2.4 Syarat Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI)

Di Luar Negeri ... 42 BAB 3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 48 3.2 Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Indonesia

Yang Di Luar Negeri (Kasus Saenal Di Malaysia) ... 54 3.3 Upaya Pemerintah Indonesia Melakukan Perlindungan Hukum Kepada Warga Negara Indonesia Di

Luar Negeri ... 60 BAB 4 PENUTUP

4.1 Kesimpulan ... 67 4.2 Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA ... 70 LAMPIRAN...

(9)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Hukum Perjanjian Internasional dewasa ini telah mengalami perkembangan pesat seiring dengan perkembangan Hukum Internasional.

Hubungan internasional akibat globalisasi telah ditandai dengan perubahan – perubahan mendasar, antara lain munculnya subjek – subjek baru non – negara disertai dengan meningkatnya interaksi yang intensif antara subjek – subjek baru tersebut sesuai dengan Undang – undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Damos Dumoli Agusman (2010 : 2-3) menyatakan bahwa perubahan mendasar tersebut bersamaan dengan karakter pergaulan internasional yang semakin tidak mengenal batas negara, berpeluang untuk melahirkan perkara – perkara hukum yang bersifat lintas Negara.

Munculnya perjanjian Internasional karena adanya hubungan Internasional. Hubungan internasional adalah hubungan antarbangsa atau negara dalam segala aspeknya yang dilakukan negara untuk mencapai kepentingan negara tersebut. Dampak bagi suatu negara yang mengucilkan diri dari pergaulan antarbangsa, negara tersebut akan sulit mempertahankan kekuasaan atau kedaulatannya juga dalam memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh rakyatnya berdasarkan pada Undang - undang No. 37 Tahun 1999 tentang hubungan luar negeri.

(10)

Perjanjian – perjanjian dewasa ini khususnya di bidang ekonomi, investasi dan perdagangan telah banyak menyentuh bukan hanya kepentingan negara sebagai pihak perjanjian melainkan juga melahirkan hak dan kewajiban terhadap individu – individu di negara pihak. Praktik di negara – negara yang telah mengalami pasar bebas menunjukkan bahwa pemahaman hukum perjanjian internasional oleh para praktisi hukum menjadi mutlak karena perjanjian internasional telah menjadi kepentingan bagi para pelaku pasar, investor, serta pedagang. Sebagai contoh dengan telah terbentuknya WTO (World Trade Organization), APEC (Asian Pasific Economic Cooperation), EEC (European Economic Community), dan masih

banyak lagi perjanjian – perjanjian bilateral dan multilateral lainnya, (http://www.slideshare.net/atsturdy/politik-hukum-perjanjian-internasional- indonesia, diakses pada tanggal 08 Juli 2018).

Menurut Mochtar Kusumaatmaja (2003 : 177), perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh masyarakat bangsa – bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat – akibat hukum tertentu. Dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian Internasional didefinisikan sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh Hukum Internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau lebih yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.

Definisi perjanjian Internasional kemudian dikembangkan oleh Pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999

(11)

Tentang Hubungan Luar Negeri dimana dijelaskan bahwa perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.

Suatu hal yang tidak dapat di pungkiri adalah saling membutuhkannya antara Negara yang satu dengan Negara lainnya yang di berbagai lapangan kehidupan seperti lapangan kerja, tentunya hal tersebut mengakibatkan hubungan yang terus – menerus bahkan tetap antar bangsa – bangsa.

Sehingga tentunya diperlukan suatu aturan untuk memelihara dan mengatur hubungan yang demikian tersebut, salah satunya adalah memberikan perlindungan dan penegakan hukum bagi tenaga kerja Indonesia di luar Negeri.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma - norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum dan melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan

(12)

diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Menurut Mansyur Effendi (2005 : 21) dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak

Menurut L.J. van Apeldoorn (2000 : 6) menyatakan bahwa semua hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum (rechtsbetrekkingen). Untuk itulah dalam mengatur hubungan-hubungan hukum pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi hukum yang mempunyai tujuan luhur yaitu menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari subtansi hukum tersebut. Sekalipun telah terkodifikasi, hukum tidaklah dapat bersifat statis karena hukum harus terus menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hukum publik karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan berlaku secara umum.

Berbagai cara untuk melindungi warga Negara Indonesia demi menciptakan keadilan salah satu cara yang paling penting adalah adanya dasar hukum yang menguatkannya yaitu UU No. 34 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, namun bagaimana jika warga tersebut berada di luar negeri. Banyaknya warga Negara Indonesia pergi keluar negeri demi mencari keuntungan yang besar. Kurangnya pekerjaan yang ada di Indonesia mengakibatkan

(13)

banyaknya pula warga Negara Indonesia pergi keluar negeri hanya mencari nafkah dengan berimigran ke negara – negara lain.

Kurangnya lapangan kerja di dalam negeri mengakibatkan banyaknya warga negara yang mencoba mengadu nasib mencari uang ke luar negeri dengan harapan akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok bagi diri dan keluarga mereka baik kebutuhan akan sandang, pangan, papan, dan pendidikan. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 pasal 38 ayat 2 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa warga negara berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka warga negara Indonesia tidak dapat dilarang untuk bekerja dimana saja termasuk di luar negeri dengan syarat sudah memenuhi segala persyaratan yang sudah di tetapkan oleh pemerintah demi keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan para tenaga kerja Indonesia sejak akan berangkat, pada penempatan, dan pasca menjadi tenaga kerja Indonesia. Penelitian ini diperoleh dari studi kepustakaan atau studi dokumen di mana literatur ataupun ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Dengan membaca buku-buku literatur dan bahan hukum lain disamping dengan menginventarisir dan mengumpulkan bahan-bahan tertulis lainnya.

Ketenaga kerjaan diatur dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003. Sebagaimana tercantum dalam undang - undang tersebut

(14)

pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia secara umum ditujukan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi, mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Meningkatnya tenaga kerja Indonesia di luar negeri maka meningkat pula berbagai masalah yang harus diselesaikan.

Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan permasalahan yang saat ini sering kali terjadi. Permasalahan tersebut dimuali dari proses awal pemberangkatan sampai dengan proses kepulangan dari Negara tempat TKI bekerja. Permasalahan awal dalam keberangkatan adalah permasalahan terkait keabsahan calon TKI untuk berangkat menuju tempat bekerja, permasalahan tersebut terkadang diiringi dengan adanya Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang terkadang illegal.

Permasalahan selanjutanya adalah dalam proses pemberangkatan para TKI ketempat/ Negara tujuan kerjanya, permasalahan ini meliputi penempatan serta jaminan akan hak dan kewajiban para TKI. Permasalahan tersebut sering kali menjadi sorotan media pemberitaan baik media cetak, media massa, mengingat banyaknya TKI yang melakukan tindakan-tindakan yang pada dasarnya digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap hak- haknya tetapi dianggap melanggar ketentuan yang berlaku. Permasalahan

(15)

terakhir yang juga sering kali menjadi sorotan adalah terkait proses pemulangan para TKI dari Negara tempat dia bekerja menuju kembali ke Negara Indonesia. Permasalahan yang sering kali terjadi saat kepulangan yaitu mengenai rumitnya proses yang harus di lalui. Permasalahan- permasalahan yang uraikan di atas merupakan sedikit dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi oleh saudara-saudara kita yang bekerja di luar negeri sebagai TKI. Mengetahui permasalahan tersebut Negara Indonesia sebagai suatu Negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai suatu Negara hukum tidaklah terlalu berlebihan kiranya untuk melakukan perlindungan hukum kepada warga negaranya yang hendak atau sedang bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia. Perlindungan hukum tersebut nantinya dapat digunakan untuk memberikan jaminan perlindungan bagi para TKI serta memberikan kepastian hukum pemerintah dalam mengambil tindakan untuk melindungi para TKI yang sedang mengalami permasalahan.

Dalam konteks wilayah teritorial yang lebih sempit, daerah merupakan pihak yang paling dekat dengan masyarakat serta merupakan pihak yang dianggap paling awal dalam memberikan perlindungan hukum bagi para TKI atau calon TKI. Dianggap demikian karena pada dasarnya proses awal dimulainya penyelenggaraan TKI adalah dari daerah, sehingga daerah merupakan ujung tombak dalam perlindungan TKI. Daerah sebagai gerbang awal dalam memberikan perlindungan hukum bagi TKI perlu kiranya memberikan perlindungan secara maksimal. Perlindungan tersebut dapat

(16)

berupa tindakan untuk memperjelas proses perizinan PJTKI maupun perizinan TKI secara individu. Dalam lingkup pemerintah daerah, maka untuk memberikan jaminan hukum terhadap perlindungan TKI dapat dimulai dengan pembentukan peraturan daerah sebagai dasar hukum dalam menjalankan kebijakan serta berlandaskan dengan Pancasila dan UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri serta UU. No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenaga Kerjaan.

Ada beberapa kasus yang dialami oleh tenaga kerja Indonesia (TKI) salah satunya adalah Saenal, TKI asal Pangkep, Sulsel, benar-benar telah bebas bersyarat. Sejauh ini, informasi bebas bersyarat Saenal baru sepihak disampaikan kepada keluarganya. Belum ada penyampaian resmi. Sesuai rencana, hari ini tim satgas perlindungan TKI Konjen RI di Kota Kinabalu, Negara bagian Sabah, Malaysia, baru akan menemui Saenal di tahanan.

Wakil Bupati Pangkep, Syahban Sammana, mengatakan, pihaknya intens memantau perkembangan informasi tentang Saenal. Dia pun bersedia menjemput langsung ke Negeri Jiran itu."Kalau memang bisa, maka kita juga akan jemput langsung Saenal di Malaysia untuk dibawa kembali ke sini.

Tentu bersama keluarganya juga," ucap Syahban usai mengikuti senam maumere di Tugu Bambu Runcing, Pangkajene, Minggu, 04 Maret 2018 (sumber berita : Fajaronline.co.id, diakses pada tanggal 05 Juni 2018).

Oleh karena itu, dari latar belakang masalah di atas Penulis mengangkat judul skripsi sebagai berikut ; “Perlindungan Hukum Tenaga

(17)

Kerja Indonesia Di Luar Negeri (Studi Kasus Saenal Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka Penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perlindungan hukum kepada Tenaga Kerja Indonesia di luar Negeri ?

2. Bagaimakah upaya Pemerintah Indonesia dalam melakukan perlindungan hukum kepada Warga Negara Indonesia di luar Negeri ? 1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisa perlindungan hukum kepada Tenaga Kerja Indonesia di luar Negeri.

b. Untuk mengetahui dan menganalisa upaya - upaya Pemerintah Indonesia melakukan perlindungan hukum kepada Warga Negara Indonesia di luar Negeri.

2. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintahan khususnya kepada Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi dan semua pihak-pihak yang berkaitan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi terhadap perkembangan Ilmu lPengetahuan, khususnya dalam Ilmu

(18)

Hukum Internasional, dan dapat juga dijadikan bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang mempunyai kesamaan minat terhadap kajian ini.

1.4 Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif dan empiris. Pendekatan normatif digunakan untuk menganilis berbagi peraturan perundang-undangan terkait dengan tanggungjawab Pemerintah dalam melakukan perlindungan kepada Warga Negara Indonesia di luar Negeri, sedangkan pendekatan empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai perilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang berinteraksi dan berhubungan dengan kemasyarakatan atau dengan kata lain terjun ke lapangan yang berhubungan dengan judul skripsi yang dibuat oleh Penulis.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar. Adapun Instansi yang dituju adalah Balai Pelayanan Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kota Makassar. Alasan memilih tempat penelitian tersebut adalah karena instansi tersebut telah mengatur kebijakan teknis di bidang pembinaan dan penempatan tenaga kerja, perlindungan ketenagakerjaan dan ketransmigrasian dan khususnya sesuai dengan judul yang Penulis angkat.

3. Jenis Dan Sumber Data

(19)

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian, berupa data yang terkait dengan penelitian, dan hasil wawancara dengan pihak Balai Pelayanan Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kota Makassar.

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi dari buku- buku, literatur-literatur, laporan hasil penelitian, karya ilmiah, peraturan perUndang-undangan, dan sumber lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yakni:

a. Penelitian Pustaka (library research)

Dalam melakukan penelitian kepustakaan (library research), penulis mengumpulkan data melalui buku-buku, jurnal ilmiah hukum serta peraturan- peraturan yang ada hubungannya dengan skripsi.

b. Penelitian Lapangan (field research)

Dalam melakukan penelitian lapangan (field research), penulis menggunakan metode wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan kepada pihak Balai Pelayanan Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kota Makassar.

(20)

5. Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian deskriptif analitis, maka data yang diperoleh dari penelitian lapangan diuji kebenarannya kemudian dihubungkan dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif kemudian dideskripsikan, yaitu dengan menggambarkan, menguraikan kemudian menjelaskan permasalahan - permasalahan yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Hukum Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI)

Setiap tenaga kerja diberikan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya serta diberikan penghasilan yang layak sehingga dapat menjamin kesejahteraan dirinya beserta keluarga yang menjadi tanggungannya. Peran tenaga kerja sebagai modal usaha dalam melaksanakan pembangunan harus didukung juga dengan jaminan hak setiap pekerja (Asri Wijayanti, 2009 ; 6).

Pengertian hukum ketenagakerjaan sangat tergantung pada hukum positif masing-masing negara. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau definisi mengenai hukum perburuhan (ketenagakerjaan) yang dikemukakan oleh para ahli hukum juga berlainan, terutama yang menyangkut keluasannya.

Hal ini mengingat keluasan cakupan hukum perburuhan (ketenaga kerjaan) di masing-masing negara juga berlainan. Disamping itu, perbedaan sudut pandang juga menyebabkan para ahli hukum memberikan definisi hukum perburuhan (ketenagakerjaan) yang berbeda pula. Berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi hukum perburuhan (ketenagakerjaan) oleh beberapa ahli. Dengan definisi seperti ini berarti yang dimaksudkan dengan hukum perburuhan (ketenagakerjaan) tidak saja hukum yang bersangkutan dengan hubungan kerja, melainkan juga hukum yang bersangkutan dengan

(22)

pekerjaan di luar hubungan kerja. Misalnya seorang dokter yang mengobati pasiennya, seorang pengacara yang membela kliennya, atau seorang pelukis yang menerima pesanan lukisan.

Definisi ini lebih menunjukkan pada latar belakang lahirnya hukum perburuhan (ketenagakerjaan). Sebab, pada mulanya selain mengenai perbudakan, baik orang yang bekerja maupun pemberi kerja bebas untuk menentukan syaratsyarat kerja, baik mengenai jam kerja, upah, jaminan sosial dan lainnya. Para pihak benar-benar bebas untuk membuat kesepakatan mengenai hal – hal tersebut. Kenyataannya orang yang bekerja (yang kemudian dalam hukum perburuhan (ketenagakerjaan) disebut buruh/pekerja) sebagai orang yang hanya mempunyai tenaga berada dalam kedudukan yang lemah, sebagai akibat lemahnya ekonomi mereka. Tetapi lambatnya pembangunan dalam bidang ekonomi mengakibatkan kesenjangan ekonomi baik antara pusat dan daerah sehingga mengakibatkan dampak bagi kehidupan masyarakat, yakni pengangguran meningkat, penduduk miskin bertambah, dan lapangan kerja menjadi hal yang susah untuk dicari (Dewi Natalia, 2013 : 2-3).

Menurut Hardijan Rusli menyatakan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (Hardijan Rusli, 2003 ; 12).

(23)

Dalam kedudukan yang demikian ini sulit diharapkan mereka akan mampu melakukan bargaining power menghadapi pemberi kerja (yang kemudian dalam hukum ketenagakerjaan disebut majikan/pengusaha).

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka hadirlah pihak ketiga, yakni penguasa (pemerintah) untuk melindungi orang yang bekerja. Hal – hal yang disebutkan inilah yang merupakan embrio hukum perburuhan (ketenagakerjaan). Seberapa jauh campur tangan pihak penguasa inilah yang ikut menentukan keluasan batasan hukum perburuhan. Di Indonesia peraturan mengenai Upah Minimum Regional/Upah Minimum Kabupaten merupakan contoh campur tangan pemerintah dalam melindungi buruh.

Jelaslah bahwa substansi hukum perburuhan (ketenagakerjaan) hanya menyangkut peraturan yang mengatur hubungan hukum seorang yang disebut buruh pekerja pada orang lain yang disebut majikan (bersifat keperdataan), jadi tidak mengatur hubungan hukum di luar hubungan kerja.

Konsep ini sesuai dengan pengertian buruh/pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 butir 3 Undang - undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang-undang Ketenagakerjaan) disebutkan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Batasan pengertian buruh/pekerja tersebut telah mengilhami para penulis sampai sekarang dalam memberikan batasan hukum perburuhan (ketenagakerjaan). Saat ini kondisinya telah berubah dengan intervensi

(24)

pemerintah yang sangat besar dalam bidang perburuhan, sehingga kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah sudah demikian luas tidak hanya aspek hukum yang berhubungan dengan hubungan kerja saja, tetapi sebelum dan sesudah hubungan kerja. Konsep ini secara jelas diakomodasi dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Keterkaitan ketenagakerjaan dengan hubungan Internasional adalah adanya perjanjian bilateral dengan International Labour Organization (ILO) untuk melindungi TKI yang berada di luar Negeri, penjelasannya sebagai berikut ;

2.1.1 Perjanjian Bilateral

Telah menjadi bagian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bahwa setiap bangsa-bangsa di dunia ini akan melakukan interaksi antar- bangsa yang mana terselenggaranya suatu hubungan internasional baik melalui berbagai kriteria seperti terselengaranya suatu hubungan yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral.

Menurut Pristika Handayani (2014 : 32) perjanjian Internasional dibuat melalui tiga proses, yaitu: perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan (ratification). Pada tahap perundingan biasanya pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian mempertimbangkan terlebih dahulu materi-materi apa yang hendak dicantumkan dalam perjanjian. Pada tahap ini pula materi yang akan dicantumkan dalam perjanjian ditinjau dari berbagai segi, baik politik, ekonomi maupun keamanan. Tahap perundingan diakhiri

(25)

dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah (authentication of the text). Dalam praktek perjanjian internasional, peserta biasanya menetapkan ketentuan mengenai jumlah suara yang harus dipenuhi untuk memutuskan apakah naskah perjanjian diterima atau ditolak.

Perjanjian bilateral merupakan klasifikasi perjanjian Internasional yang dilihat dari para pihak yang membuatnya.

1. Perjanjian Bilateral, suatu perjanjian yang diadakan oleh dua pihak (negara) saja dan mengatur soal-soal khusus yang menyangkut kepentingan dua belah pihak, misalnya perjanjian mengenai batas negara.

2. Perjanjian Multilateral, adalah perjanjian yang diadakan banyak pihak (negara) yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka (open verdrag) dimana hal-hal yang diaturnya pun lazimnya menyangkut kepentingan umum yang tidak terbatas pada kepentingan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tetapi juga menyangkut kepentingan yang bukan peserta perjanjian itu sendiri. Perjanjian ini digolongkan pada perjanjian

"law making treaties" atau perjanjian yang membentuk hukum.

Hal ini berdasarkan pada UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Pasal 4 :

(1) Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan

(26)

para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.

(2) Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.

2.1.2 International Labour Organization (ILO)

Sebelum jauh membahas tentang hubungan Pemerintah Indonesia dengan International Labour Organization (ILO), maka Penulis ingin menjelaskan sejarah terbentuknya International Labour Organization (ILO), tujuannya serta strukturnya.

a. Sejarah Pembentukan International Labour Organization

International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Buruh

Internasional adalah sebuah organisasi internasional yang bertanggung jawab dalam menangani, mengawasi serta meningkatkan standar buruh internasional. ILO dibentuk pada tahun 1919 melalui Perjanjian Versailles yang mengakhiri perang dunia pertama. Konstitusi organisasi ini dirancang pada pertengahan Januari dan April 1919 oleh Labour Commission yang selanjutnya disusun oleh Peace Conference yang bertempat di Paris kemudian di Versailles.

International Labour Organization dibentuk oleh komisi yang diketuai

oleh Samuel Gompers, ketua American Federation of Labour (AFL) di Amerika Serikat, dan diprakarsai oleh sembilan negara yaitu: Belgia, Kuba, Republik Ceko, Perancis, Italia, Jepang, Polandia, Inggris dan Amerika

(27)

Serikat. Saat ini, ILO sudah beranggotakan 183 anggota Markas besar ILO berlokasi di Genewa, Swiss.

International Labour Organization memiliki model perwakilan yang unik

di mana perwakilan negara anggota dikenal dengan model tripartit (tiga pihak). Model tripartit merupakan sebuah bentuk perwakilan di mana negara anggota ILO mengirimkan tiga perwakilan yaitu perwakilan pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh. Model ini bertujuan agar seluruh komponen dapat menyampaikan aspirasinya dalam memperkuat kebijakan dan program-program ILO (John Budd W , 2005 : 406).

b. Maksud dan Tujuan International Labour Organization

International Labour Organization merupakan organisasi internasional

yang berupaya untuk melindungi hak-hak buruh, meningkatkan peluang kerja, serta berupaya meningkatkan perlindungan sosial dan memperkuat pembahasan mengenai isu-isu ketenagakerjaan. ILO berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dengan cara mengorganisasikan hak-hak buruh, hal ini mengingat bahwa kelangsungan hidup buruh akan menentukan tingkat kesejahteraan.

Tujuan utama ILO adalah meningkatkan kesempatan kepada pria dan wanita untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, produktivitas kerja dalam kemerdekaan, kekayaan, keamanan, dan martabat kemanusiaan. Saat ini, ILO berupaya untuk mempromosikan pekerjaan yang layak dan memperhatikan kondisi pekerjaan dalam perdamaian abadi, kesejahteraan

(28)

dan kemajuan. Untuk mewujudkan visinya, langkah strategis yang dilakukan ILO di antaranya: mempromosikan dan menyadari akan pentingnya standar dan prinsip-prinsip yang fundamental mengenai hak-hak buruh, membuka kesempatan yang lebih besar untuk pria dan wanita demi mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak, mempertinggi pembaharuan dan efektivitas perlindungan sosial untuk semua, memperkuat lembaga tripartit serta melakukan dialog sosial.

c. Struktur Organisasi International Labour Organization.

Struktur dan organisasi International Labour Organization terdiri dari tiga lembaga, yaitu (International Labour Organization (ILO), dimuat di website resmi Binapenta Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja

<http://www.binapenta.go.id/mod.php?i=85> diakses pada tanggal 12 Maret 2018 pukul 19.04 Wita).

1) International Labour Conference (ILC)

International Labour Conference (ILC) adalah forum pleno ILO yang

mempunyai kekuasaan tertinggi dan memutuskan semua aktivitas ILO. Sidang diadakan sekali setiap tahun pada bulan Juni di kantor PBB dan kantor pusat ILO di Jenewa. Sidang dihadiri oleh para Menteri Tenaga Kerja sebagai "Minister attending to the conference"

dan delegasi negara anggota yang tersusun secara tripartit dengan komposisi: Pemerintah (2), Pengusaha (1), Pekerja (1). Selain itu,

(29)

masing-masing unsur dapat membawa penasehat yang jumlahnya paling banyak 10 orang agar bisa mengikuti tiap mata acara.

2) Governing Body (GB)

Governing Body (GB) merupakan Sidang Badan Pimpinan yang

diselenggarakan tiga kali dalam setahun bertempat di Kantor Pusat ILO di Jenewa. Governing Body adalah badan pengambil keputusan ILO yang mempunyai tugas utama memutuskan kebijakan, menetapkan program dan anggaran organisasi, menyusun acara ILO dan lain sebagainya.

3) ILO Office

ILO Office merupakan sekretariat permanent ILO yang dipimpin oleh seorang Dirjen, dibantu 5 orang Direktur Eksekutif dan 1 orang Asisten Dirjen. Kantor Pusat ILO berkedudukan di Jenewa, Swiss.

Kantor Pusat ILO mempunyai kantor-kantor cabang yang tersebar di beberapa wilayah di dunia yang terdiri dan Kantor Wilayah dan Kantor Lokal. Kantor Wilayah ILO terdapat di 5 negara yaitu Kantor Wilayah Afrika di Abidjan (Ethiopia), Amerika Latin dan Karibia berkedudukan di Lima (Peru), Asia dan Pasifik berkedudukan di Bangkok (Thailand), Eropa dan Asia Tengah berkedudukan di Jenewa (Swiss) dan negara-negara Arab berkedudukan di Beirut.

Masing-masing Kantor Wilayah mempunyai Kantor Lokal. Kantor Lokal untuk Wilayah Asia Pasifik berkedudukan di New Delhi (India),

(30)

Islamabad (Pakistan), Dhakar (Bangladesh), Manila (Philipina), Jakarta (Indonesia), Tokyo (Jepang), Colombo (Sri Lanka), Beijing (China), dan Suva (Fiji).

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka hubungan antara Pemerintah Indonesia dengan International Labour Organization (ILO) adalah ingin meningkatkan kesempatan kepada pria dan wanita untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, produktivitas kerja dalam kemerdekaan, kekayaan, keamanan, dan martabat kemanusiaan serta berupaya untuk mempromosikan pekerjaan yang layak dan memperhatikan kondisi pekerjaan dalam perdamaian abadi, kesejahteraan dan kemajuan di seluruh dunia.

Adapun landasan hukum International Labour Organization (ILO) adalah berdasarkan UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada bulan Juli 2000 lalu, dan mulai diberlakukan pada tanggal 4 Agustus 2000. Ia merupakan kewajiban yang harus dijalankan Indonesia setelah meratifikasi Konvensi ILO No.87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berorganisasi, sekaligus mengganti berbagai peraturan pemerintah tentang pendaftaran organisasi buruh. Undang-undang ini menjamin:

1. hak pekerja untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat;

2. hak serikat untuk melindungi, membela dan meningkatkan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya;

(31)

3. perlindungan terhadap pekerja dari tindakan diskriminatif dan intervensi anti-serikat.

Berdasarkan undang-undang ini serikat harus didaftarkan ke badan pemerintah yang menangani urusan perburuhan, dan harus memenuhi berbagai persyaratan dasar menyangkut AD/ART, hak dan kewajiban anggota serta pengurus, administrasi keuangan, kepemilikan properti dan pembubaran organisasi.

Sebenarnya secara khusus tenaga kerja dibagi menjadi buruh dan karyawan, dan pegawai. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBII, 2000)

1. buruh adalah mereka yang berkerja pada usaha perorangan dan di berikan imbalan kerja secara harian maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, baik lisan maupun tertulis, yang biasanya imbalan kerja tersebut diberikan secara harian,

2. Karyawan yaitu mereka yang berkerja pada suatu badan usaha atau perusahaan baik swasta maupun pemerintahan dan diberikan imbalan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang bersifat harian, mingguan, maupun bulanan yang biasanya imbalan tersebut diberikan secara mingguan,

3. Pegawai ( Pegawai Negeri ) yaitu mereka yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas jabatan

(32)

negeri atau tugas negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.

2.2 Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Di Indonesia

Membahas tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kerja di Indonesia, maka di dalamnya terkait dengan pelaksanaan hak – hak pekerja, kewajiban pekerja, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan sosial tenaga kerja, perlindungan teknis terhadap tenaga kerja, dan kesehatan kerja. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka Penulis menguraikan penjelasan sebagai berikut ;

1. Hak – hak Pekerja

Menurut Darwan Prints (2000 : 22-23), yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atau statusnya.

Mengenai hak-hak bagi pekerja adalah sebagai berikut :

1) Hak mendapat upah/gaji (Pasal 1602 KUH Perdata, Pasal 88 s/d 97 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah);

(33)

2) Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 4 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);

3) Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya (Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan);

4) Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah keahlian dan keterampilan lagi ( Pasal 9 – 30 Undang undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan);

5) Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama (Pasal 3 Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek);

6) Hak mendirikan dan menjadi anggota Perserikatan Tenaga Kerja (Pasal 104 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan jo. Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh )

7) Hak atas istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi majikan (Pasal 79 Undang- undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan);

8) Hak atas upah penuh selama istirahat tahunan ( Pasal 88 – 98 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan);

(34)

9) Hak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan, bila pada saat diputuskan hubungan kerja ia sudah mempunyai masa kerja sedikitdikitnya enam bulan terhitung dari saat ia berhak atas istirahat tahunan yang terakhir; yaitu dalam hal bila hubungan kerja diputuskan oleh majikan tanpa alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh buruh, atau oleh buruh karena alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh Majikan (Pasal 150 – 172 Undang- undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan);

10) Hak untuk melakukan perundingan atau penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan penyelesaian melalui pengadilan (Pasal 6 – 115 Undang- undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)

2. Kewajiban Pekerja

Disamping mempunyai hak-hak sebagaimana diuraikan di atas, tenaga kerja juga mempunyai kewajiban sebagai berikut :

1) Wajib melakukan prestasi/pekerjaan bagi majikan;

2) Wajib mematuhi peraturan perusahaan;

3) Wajib mematuhi perjanjian kerja;

4) Wajib mematuhi perjanjian perburuhan;

5) Wajib menjaga rahasia perusahaan;

6) Wajib mematuhi peraturan majikan;

(35)

7) Wajib memenuhi segala kewajiban selama izin belum diberikan dalam hal ada banding yang belum ada putusannya (Darwan Prints, 2000 : 23).

3. Keselamatan Dan Kesehatan Kerja

Mengenai Keselamatan Kerja Pasal 86 (1) Undang – undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa : Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :

1) keselamatan dan kesehatan kerja;

2) moral kesusilaan;

3) perlakukan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Undang - undang yang khusus mengatur keselamatan kerja adalah Undang - undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Ditinjau dari segi hukum keilmuan, keselamatan dan kesehatan kerja dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja.

Keselamatan dan kesehatan kerja harus diterapkan dan dilaksanakan di setiap tempat kerja (perusahaan). Tempat kerja adalah setiap tempat yang di dalamnya terdapat 3 (tiga) unsur yaitu (Lalu Husni, 2000 : 101) ;

1) Adanya suatu usaha, baik itu usaha yang bersifat ekonomis maupun usaha social

2) Adanya sumber bahaya

(36)

3) Adanya tenaga kerja yang bekerja di dalamnya, baik secara terus menerus maupun hanya sewaktu-waktu.

Bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja adalah pimpinan atau pengurus tempat kerja/perusahaan dalam melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja adalah (Lalu Husni, 2000 : 101) ;

1) Terhadap tenaga kerja yang baru bekerja, ia berkewajiban menunjukan dan menjelaskan tentang :

a. Kondisi dan bahaya yang dapat timbul di tempat kerja.

b. Semua alat pengamanan dan perlindungan yang diharuskan.

c. Cara dan sikap dalam melakukan pekerjaannya.

d. Memeriksa kesehatan baik pisik maupun mental tenaga kerja yang bersangkutan.

2) Terhadap tenaga kerja yang telah / sedang dipekerjakan, ia berkewajiban :

a. Melakukan pembinaan dalam hal pencegahan kecelakaan, penanggulangan kebakaran, pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dan peningkatan usaha keselamatan dan kesehatan kerja pada umumnya.

b. Memeriksakan kesehatan baik pisik maupun mental secara berkala.

(37)

c. Menyediakan secara Cuma-Cuma semua alat perlindungan diri yang diwajibkan untuk tempat kerja yang bersangkutan bagi seluruh tenaga kerja.

d. Memasang gambar dan undang-undang keselamatan kerja serta bahan pembinaan lainnya di tempat kerja sesuai dengan petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan dan kesehatan kerja.

e. Melaporkan setiap peristiwa kecelakaan termasuk peledakan, kebakaran dan penyakit akibat kerja yang terjadi di tempat kerja tersebut kepada Kantor Depertemen Tenaga Kerja setempat.

f. Membayar biaya pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja ke Kantor Perbendaharaan Negara setempat setelah mendapat penetapan besarnya biaya oleh Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.

g. Mentaati semua persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja baik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun yang diterapkan oleh pegawai pengawas.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia wajib bagi Pemerintah untuk melakukan berbagai upaya agar tenaga kerja Indonesia aman dan terlindungi oleh hukum sehingga tercipta asas kepastian hukum untuk para tenaga kerja.

(38)

Menurut Zaeni Asyhadie (2008 ; 20) menyatakan perlindungan tenaga kerja menjadi 3 (tiga) macam yaitu :

a. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja mengenyam dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial ini disebut juga dengan kesehatan kerja.

b. Perlindungan teknis, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja terhindar dari bahaya kecelakaan saat bekerja. Perlindungan ini disebut sebagai keselamatan kerja.

c. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketiga perlindungan jenis ini disebut jaminan sosial.

2.3 Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri

Setiap tenaga kerja mempunyai kesempatan yang sama dalam memilih dan mengisi lowongan pekerjaan dalam wilayah pasar kerja nasional, untuk memperoleh pekerjaan, tanpa diskriminasi karena jenis kelamin, suku, ras, agama dan aliran politik, sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan

(39)

memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri (Pasal 31 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).

Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, adil dan setara tanpa diskriminasi. Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, ketrampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperlihatkan harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum.

Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperlihatkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah (Pasal 32 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).

Setiap pencari kerja berhak memperoleh pelayanan yang sama untuk memperoleh pekerjaan. Pelayanan dimaksud meliputi pemberian informasi, pendaftaran, bimbingan dan penyuluhan jabatan, pelatihan untuk penempatan, serta tindak lanjut penempatan. Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja (Pasal 35 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).

Pelaksana penempatan tenaga kerja, dapat dilakukan oleh instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau

(40)

lembaga swasta berbadan hukum. Lembaga penempatan tenaga kerja swasta dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja, wajib memiliki izin tertulis dari instansi ketenagakerjaan. Pelaksana penempatan tenaga kerja dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja, kecuali untuk golongan dan jabatan tertentu (Pasal 37 dan 38 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan )

Golongan dan jabatan tertentu dimaksud adalah golongan pimpinan dengan jabatan manajer atau yang sederajat, golongan supervisi dengan jabatan supervisi atau yang sederajat, golongan pelaksana dengan jabatan operator atau yang sederajat, dan golongan professional dengan syarat pendidikan strata satu (S1) ditambah pendidikan profesi, yang menerima upah sekurang kurangnya tiga kali upah minimum yang berlaku diwilayah setempat. Besarnya biaya penempatan tenaga kerja yang dipungut dari pemberi kerja ditetapkan sesuai dengan kesepakatan, dengan ketentuan tidak melebihi satu bulan upah yang diterima. Biaya penempatan diangsur sekurang-kurangnya lima kali.

Dalam hal terjadi PHK sebelum selesainya angsuran, pekerja dibebaskan dari kewajiban membayar kekurangan angsuran. Pemberi kerja dilarang membedakan biaya penempatan dimaksud kepada tenaga kerja yang bersangkutan. Pencari kerja yang memerlukan pelayanan penempatan tenaga kerja mendaftarkan diri kepada pelaksana. Setiap pencari kerja

(41)

mempunyai kesempatan yang sama untuk mengisi lowongan pekerjaan, sepanjang memenuhi kualifikasi persyaratan jabatan yang dibutuhkan. Dalam rangka menjamin kesempatan kerja bagi setiap orang, penempatan tenaga kerja dapat dilakukan dengan penempatan di dalam negeri dan/atau di luar negeri (Pasal 33 Undang - Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).

Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, merupakan bagian dari prinsip perlindungan hukum . Istilah Hak Asasi Manusia di Indonesia, sering disejajarkan dengan istilah hak-hak kodrat, hak- hak dasar manusia, natural rights, human rights, fundamental rights, gronrechten, mensenrechten, rechten van den mens, dan fundamental rechten. Menurut Philipus M hadjon, di dalam hak (rights), terkandung adanya suatu tuntutan claim (Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005 : 33-34).

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 77 Ayat (1) UU No 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri bahwa Setiap calon TKI/TKI mempuyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun pengertian perlindungan TKI telah disebutkan dalam Pasal 1 Angka 4, yang dimaksud dengan perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan., baik sebelum, selama, dan

(42)

sesudah bekerja. Perlindungan TKI yang dimaksud pada ayat (1) tersebut dilaksanakan mulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna penempatan.

Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian (Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat).

Perlindungan hukum yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah perlindungan terhadap hak-hak calon TKI/ TKI yang wajib diberikan oleh pemerintah maupun oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) terhadap TKI dari masa pra penempatan, masa penempatan, sampai kembali lagi ke Indonesia (masa purna penempatan).

Penulis berpendapat bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan hukum tersebut sebagai timbal balik/ balasan terhadap jasa-jasa para TKI karena bagaimanapun mereka telah memberikan sumbangsih berupa devisa negara.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka ada beberapa dasar hukum yang mengikat perlindungan tenaga kerja Indonesia baik itu pada masa prapenempatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.

Penjelasannya sebagai berikut ;

a. Perlindungan Hukum Pada Masa Prapenempatan

(43)

Perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah kepada calon TKI sebelum diberangkatkan (pra penempatan) menurut UU No 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri antara lain :

1) Pasal 4

Orang perseorangan dilarang menempatkan WNI untuk bekerja di luar negeri. Dicantumkan dalam penjelasan Pasal 4 bahwa menempatkan WNI dalam Pasal ini mencakup perbuatan dengan sengaja memfasilitasi atau mengangkut atau memberangkatkan WNI untuk bekerja pada pengguna di luar negeri baik dengan memungut biaya maupun tidak dari yang bersangkutan.

2) Pasal 12

Perusahaan yang akan menjadi PPTKIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b wajib mendapat izin tertulis berupa SIPPTKI dari Menteri.

3) Pasal 17 Ayat (1)

PPTKIS wajib menambah biaya keperluan penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI/ TKI apabila deposito yang digunakan tidak mencukupi.

4) Pasal 19

PPTKIS dilarang mengalihkan atau memidahtangankan SIPPTKI kepada pihak lain. Dicantumkan dalam penjelasan Pasal 19 bahwa yang dimaksud dengan mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI adalah yang dalam praktek sering disebut dengan istilah

“jual bendera” atau “numpang proses”. Apabila hal ini ditolerir, akan membuat kesulitan untuk mencari pihak yang harus bertanggung jawab dalam hal terjadi permasalahan terhadap TKI.

5) Pasal 20

a) Untuk mewakili kepentingannya, pelaksana penampatan TKI swasta wajib mempunyai perwakilan di negara TKI ditempatkan.

Dijelasakan dalam penjelasan Pasal 20 Ayat (1) ini bahwa Pembentukan perwakilan dapat dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa pelaksana penempatan TKI swasta.

(44)

b) Perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus berbadan hukum yang dibentuk berdasarkan hukum yang dibentuk berdasarkan peraturan perundangundangan di negara tujuan.

6) Pasal 24

a) Penempatan TKI pada Pengguna perseorangan harus melalui Mitra Usaha di negara tujuan. Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 24 Ayat (1) ini bahwa Pengguna perseorangan dalam Pasal ini adalah orang perseorangan yang mempekerjakan TKI pada pekerjaan-pekerjaan antara lain sebagai penata laksana rumah tangga, pengasuh bayi atau perawat manusia lanjut usia, pengemudi, tukang kebun/taman. Pekerjaan-pekerjaan tersebut biasa disebut sebagai pekerjaan di sektor informal.

b) Mitra Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum yang didirikan sesuai dengan peraturan perundangan di negara tujuan.

7) Pasal 26 Ayat (1)

Selain oleh Pemerintah dan pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, perusahaan dapat menempatkan TKI di luar negeri, untuk kepentingan perusahaan sendiri atas izin tertulis dari Menteri.

8) Pasal 30

Setiap orang dilarang menempatkan calon TKI/TKI pada jabatan dan tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan serta peraturan perundangundangan, baik di Indonesia maupun di negara tujuan atau di negara tujuan yang telah dinyatakan tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.

9) Pasal 32 Ayat (1)

Pelaksana penempatan TKI swasta yang akan melakukan perekrutan wajib memiliki SIP dari Menteri.

10) Pasal 33

(45)

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang mengalihkan atau memindahkan SIP kepada pihak lain untuk melakukan perekrutan calon TKI.

11) Pasal 34 Ayat (3)

Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wajib mendapatkan persetujuan dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan disampaikan oleh pelaksana penempatan TKI swasta .

12) Pasal 35

Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan:

a) Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 ( dua puluh satu) tahun. Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 35 huruf a bahwa Dalam prakteknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna, yang dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual. Mengingat hal itu, maka pada pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek kepribadian dan emosi. Dengan demikian resiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi.

b) Sehat jasmani dan rohani;

c) Tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan;

dan d) Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat.

13) Pasal 38 Ayat (2)

Perjanjian penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

14) Pasal 45

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja.

15) Pasal 46

(46)

Calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan dilarang untuk dipekerjakan.

16) Pasal 50

Pelaksana penempatatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan psikologi.

17) Pasal 51

untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI harus memiliki dokumen yang meliputi :

a) Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terkahir, akte kelahiran atau surat keterangan kenal lahir;

b) Surat keterangan status perkawinan bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah;

c) Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;

d) Sertifikat kompetensi kerja;

e) Surat keterangan sehat berdasarkan hasil hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi;

f) Paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;

g) Visa kerja;

h) Perjanjian penempatan kerja;

i) Perjanjian kerja, dan

j) Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) 18) Pasal 58

Ayat (1)

Perjanjian kerja dan jangka waktu perpanjangan perjanjian kerja wajib mendapat persetujuan dari pejabat berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

Ayat (2)

Pengurusan untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggungjawab pelaksana penempatan TKI swasta.

19) Pasal 62 Ayat (1)

(47)

Setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri, wajib memiliki dokumen KTKLN yang dikeluarkan oleh Pemerintah. KTKLN sebagai tanda atau identitas bahwa TKI tersebut telah memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.

20) Pasal 64

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak memiliki KTKLN.

21) Pasal 67

a) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sesuai dengan perjanjian penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).

b) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib melaporkan setiap keberangkatan calon TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

c) Pemberangkatan TKI ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui tempat pemeriksaan imigrasi yang terdekat.

22) Pasal 68

a) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib menginstruksikan TKI yang diberangkatkan ke luar negeri dalam program asuransi.

b) Jenis program asuransi yang wajib diikuti oleh TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri

23) Pasal 69 ayat (1)

Pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikutsertakan TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri dalam pembekalan akhir pemberangkatan.

24) Pasal 70 Ayat (3)

Selama masa penampungan, pelaksana penempatan TKI swasta wajib memperlakukan calon TKI secara wajar dan manusiawi.

b. Perlindungan Hukum Masa Penempatan

(48)

Pasal 71

1) Setiap TKI wajib melaporkan kedatangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia di negera tujuan.

2) Kewajiban untuk melaporkan kedatangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi TKI yang bekerja pada Pengguna Perseorangan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.

Pada dasarnya kewajiban untuk melaporkan diri sebagai seorang warga negara yang berada di negara asing. Namun, mengingat lokasi penempatan yang tersebar, pelaksanaan kewajiban melaporkan diri dapat dilakukan oleh PPTKIS.

Pasal 72

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan TKI yang tidak sesuai dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perjanjian kerja yang disepakati dan ditandatangani TKI yang bersangkutan. Misal, X dalam perjanjian kerja akan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Nnamun ketika berada di negara tujuan, ternyata X dipekerjakan sebagai Pegawai Seks Komersial.

Pasal 80 Ayat (1)

1) Pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional.

2) Pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja dan/ atau peraturan perundang-undangan di negara TKI ditempatkan.

c. Perlindungan Hukum Purna Penempatan Pasal 73 Ayat (2)

Dalam hal TKI meninggal dunia di negara tujuan sebagaimana dimaksud pada 73 ayat (1) huruf e, pelaksana penampatan TKI berkewajiban:

1) Memberitahukan tentang kematian TKI kepada keluarganya paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak diketahuinya kematian tersebut;

(49)

2) Mencari informasi tentang sebab-sebab kematian dan memberikannya kepada pejabat Perwakilan Republik Indonesia dan anggota keluarga TKI yang bersangkutan;

3) Memulangkan jenazah TKI ke tempat asal dengan cara yang layak serta menanggung semua biaya yang diperlukan, termasuk biaya penguburan sesuai dengan tata cara agama TKI yang bersangkutan;

4) Mengurus pemakaman di negara tujuan penempatan TKI atas persetujuan pihak keluarga TKI atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku de negara yang bersangkutan;

5) Memberikan perlindungan terhadap seluruh harta milik TKI untuk kepentingan anggota keluarganya; dan

6) Mengurus pemenuhan semua hak-hak TKI yang seharusnya diterima.

Pasal 73 Ayat (3)

Dalam hal terjadi perang, bencana alam, wabah penyakit, dan deportasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (1) huruf c, dan huruf g, Perwakilan Republik Indonesia, Badan Nasional Penempatan kepulangan TKI sampai ke daerah asal TKI.

Pasal 75

1) Kepulangan TKI dari negara tujuan sampai tiba di daerah asal menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI.

2) Pengurusan kepulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hal:

a. Pemberian kemudahan atau fasilitas kepulangan TKI;

b. Pemberian fasilitas kesehatan bagi TKI yang sakit dalam kepulangan; dan

c. Pemberian upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan adanya tindakan pihak-pihak lain yang tidak bertanggungjawab dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan.

Pasal 82

Pelaksana penempatan TKI swasta bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan kepada calon TKI/TKI sesuai dengan perjanjian penempatan.

Pasal 83

Setiap calon TKI/TKI yang bekerja ke luar negeri baik secara perseorangan maupun yang ditempatkan oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikuti program pembinaan dan perlindungan TKI.

(50)

2.4 Syarat Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Di Luar Negeri

Adanya TKI yang bekerja di luar negeri membutuhkan suatu proses perencanaan. Perencanaan tenaga kerja ialah suatu proses pengumpulan informasi secara reguler dan analisis situasi untuk masa kini dan masa depan dari permintaan dan penawaran tenaga kerja termasuk penyajian pilihan pengambilan keputusan, kebijakan dan program aksi sebagai bagian dari proses perencanan pembangunan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri bahwa setiap calon TKI yang akan mendaftarkan diri untuk bekerja di luar negeri harus memenuhi prosedur yang telah ditentukan.

Menurut Pasal 51 Undang - Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, calon TKI juga wajib memiliki

dokumen – dokumen, yaitu :

a. Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat keterangan kenal lahir;

b. surat keterangan status perkawinan bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah;

c. surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;

d. sertifikat kompetensi kerja;

e. surat keterangan sehat berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi;

f. paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;

g. visa kerja;

h. perjanjian penempatan kerja;

i. perjanjian kerja, dan

(51)

j. Kartu Tenaga Kerja Luar Nigeri (KTKLN) adalah kartu identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.

Adanya persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi oleh calon TKI tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dengan perencanaan tenaga kerja akan memudahkan pemerintah maupun calon TKI dalam memecahkan persoalan mengenai ketenagakerjaan termasuk perlindungan kepada calon TKI, baik waktu sekarang maupun yang akan datang. Sehingga hal itu akan memudahkan pemerintah melalui Instansi yang tekait dalam hal ini Dinsosnakertrans maupun masyarakat dalam mengambil suatu kebijaksanaan guna mengatasi masalah ketenagakerjaan tersebut sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai termasuk perlindungan calon TKI yang bekerja di luar negeri.

Dalam penempatan TKI di luar Negeri, ada dua institusi yang menanganinya yaitu Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) dan Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS).

1) Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans)

Sesuai ketentuan Pasal 10 dan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri terdiri dari Pemerintah, Pelaksana Penempatan TKI swasta dan Perusahaan untuk kepentingan perusahaan sendiri. Pelaksanaan penempatan TKI dari

(52)

pemerintah dilaksanakan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans).

a. Kedudukan :

Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah.

b. Tugas :

Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi mempunyai tugas

melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi serta tugas lain yang diberikan oleh Bupati.

c. Fungsi :

(1) perumusan kebijakan teknis di bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi ;

(2) penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi ;

(3) pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi ;

(4) pembinaan terhadap Unit Pelaksana Teknis Dinas ; dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya

(53)

2) Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS)

Perusahaan yang akan menjadi Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) wajib mendapat izin tertulis berupa Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI yang disebut SIPPTKI dari Menteri. Untuk dapat memperoleh SIPPTKI Pasal 13 ayat 1 UU No. 39 tahun 2004, pelaksana penempatan TKI swasta harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan;

b. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan, sekurang-kurangnya Rp 3.000.000,00 (tiga miliar rupiah);

c. menyetor uang kepada bank sebagai jaminan dalam bentuk deposito sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) pada bank pemerintah;

d. memiliki rencana kerja penempatan dan perlindunganTKI di luar negeri sekurang-kurangnya untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun berjalan;

e. memiliki unit pelatihan kerja; dan

f. memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan TKI.

Sebelum TKI diberangkatkan Ke luar negeri wajib diberikan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP). Menurut ketentuan dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi transfer yang didapatkan kemudian digunakan sebagai persamaan dalam program pada sensor serat optik untuk mengukur konsentrasi ion logam berat timbal yang terbaca

Tidak hanya itu Komunikasi, Lingkungan kerja, Kepuasan Kerja sangat dibutuhkan oleh Perangkat Desa, Sehingga dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemerintah Desa

Dari penelitian yang dilakukan, hasil penelitian ini menunjukan bahwa variabel soft skill dan pengalaman kerja sangat berpengaruh penting untuk meningkatkan kinerja

Apabila dikaitkan dengan pasangan menikah lanjut usia di Kecamatan Mandalle Kabupaten Pangkep suami istri dalam keadaan baik bisa dikatakan dalam keadaan harmonis, sehingga

Tahun 2014 Tentang Pendirian Satuan Pendidikan Anak Usia Dini;. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia

Pajak PBB-KB dipungut atas bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan atau dianggap berguna untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk

5) Pada suatu kondisi, sebuah kebijakan optimum untuk tahapan selanjutnya tidak terkait oleh kebijakan optimum dari tahapan sebelumnya.Jadi keputusan optimum yang diambil

Pembangunan perumahan di Kecamatan Kasihan terus mengalami peningkatan sehingga dibutuhkan suatu perencanaan, terutama dari aspek lokasi karena berkaitan dengan masalah keruangan