• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB II"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Dua

Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai lembaga keuangan mikro syariah (LKM S) di Indonesia bukanlah merupakan suatu bidang kajian baru. Sejalan dengan perkembangannya yang sangat cepat selama satu dekade terakhir ini, penelitian mengenai LKM S yang biasanya berwujud dalam bentuk BMT (Baitul M aal wat Tamwil) juga mengalami perkembangan yang pesat. Sudah barang tentu fenomena kemunculan dan perkem-bangan BM T beserta penelitian yang dilakukan terhadapnya merupakan bagian dari proses dialektika dalam perkembangan lembaga keuangan mikro konvensional yang sudah berkembang satu dekade sebelumnya. Dengan demikian antara LKM K (lembaga keuangan mikro konvensional) dan LKM S memiliki hubungan dialektis yang sangat erat, sehingga penelitian mengenai LKM S seringkali tidak dapat dilepaskan dari perkembangan LKM K itu sendiri. Oleh sebab itu bagian Tinjauan Pustaka ini akan mengkaji berbagai hasil penelitian mengenai lembaga keuangan mikro baik konvensional maupun syariah selama satu dekade terakhir ini.

Penelitian tentang Perkembangan LKM S

(2)

diperkenalkan oleh M uhammad Yunus (peraih nobel perdamaian tahun 2006) di Bangladesh pada tahun 1980, institusi keuangan dunia mulai menaruh perhatian yang besar kepada pembiayaan mikro dalam mengentaskan kemiskinan di samping juga memperoleh keuntungan.

M icrofinance sesungguhnya merupakan pembiayaan yang bisa mencakup banyak jenis layanan keuangan, termasuk di dalamnya adalah microcredit atau kredit mikro, yakni jenis pinjaman yang di berikan kepada nasabah yang mempunyai skala usaha menengah ke bawah dan cenderung belum pernah berhubungan dengan dunia perbankan. Nasabah jenis ini sering kali tidak memiliki jaminan, pendapatan tetap, dan persyaratan administrasi yang dibutuhkan cenderung lebih sederhana. M eskipun demikian, besarnya keyakinan bahwa keuangan mikro merupakan salah satu strategi penting dalam penanggulangan kemiskinan, maka banyak pihak berusaha membuka pelayanan microfinance. Apalagi pemerintah baik pusat maupun daerah, menyalurkan berbagai program dana bergulir kepada kelompok masyarakat atau mendirikan semacam LKM (Lembaga Keuangan M ikro). Demikian pula lembaga donor dan LSM juga membentuk LKM dengan mereplikasi model Grameen Bank atau ASA dari Bangladesh.

Lembaga keuangan mikro di dunia terus mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berdasarkan data yang dipublikasikan M icrocredit Summit Campaign tahun 2012, sebanyak 1.746 program pembiayaan mikro telah dilakukan dan mencapai sekitar 169 juta klien pada tahun 2010 untuk kawasan Asia-Pasific saja. Kawasan ini memang merupakan kawasan yang paling banyak menerima program pembiayaan mikro, di samping karena jumlah penduduknya yang banyak juga tingkat penduduk miskinnya cukup tinggi. Tingkat jangkauan program yang diberikan I nstitusi Keuangan M ikro atau M icro Finance Institution (M FI) mencapai 68,8 persen, dengan kata lain dari sekitar 182,4 juta penduduk miskin di kawasan tersebut, 125,53 juta yang mendapat akses dalam program pembiayaan mikro (Jurnal Buletin Studi Ekonomi, Agustus 2013).

(3)

kredit mikro. Demikian pesatnya perkembangan kegiatan keuangan mikro ini sehingga meninggalkan kemajuan di bidang pengaturan hukum mengenai keberadaannya, yang pada akhirnya status hukum kebanyakan LKM menjadi tidak jelas dalam kerangka hukum negara. Dalam hal ini LKM dapat dikelompokkan menjadi: 1) LKM formal, terdiri dari unit bank dan non bank (koperasi, pegadaian); 2) LKM nonformal, baik yang telah berbadan hukum (yayasan) maupun yang belum; 3) LKM yang dibentuk melalui program pemerintah; serta 4) LKM informal, seperti arisan, rentenir, dan sebagainya.

M enurut Bintoro (2003) lembaga keuangan bukan bank di Indonesia terdiri dari lembaga formal dan informal. LKM bukan bank formal dapat berbentuk Koperasi, LDKP, pegadaian dan BKK. Sementara itu LKM bukan bank informal dapat berbentuk BM T, kelompok arisan, Simpan-Pinjam, Pelepas Uang dan lain-lain termasuk lembaga-lembaga yang didirikan atas dasar program pemerintah.

Alamsyah (2012) menuliskan bahwa BM T paling berkembang pesat di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. BMT memiliki dasar hukum agama berupa sumber hukum tertinggi umat Islam yaitu Alqur’an, Hadits dan Ijtihad. Dasar utama operasional BM T terdapat dalam Alqur’an terletak pada QS. Al-Baqarah ayat 275, 276 dan 278, dan QS. Ali-Imran 104 serta QS. An-Nissa’ ayat 29. Hadist yang menjadi dasar transaksi bisnis dalam Islam dapat dipahami dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas r.a yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sirah Nabawiyah oleh Syaikh Syaifurrahman pada halaman 621. Ijtihad merupakan kesepakatan para alim ulama terhadap hukum yang tidak ditetapkan secara tersurat dalam Islam, namun tetap berpegang teguh dan berdasarkan pada sumber hukum tertinggi umat Islam, yaitu Alqur’an dan Hadist.

(4)

aset Rp. 1,4 miliar (atau setara dengan USD 154 juta). Apapun kedudukan BM T dalam ranah hukum negara, kenyataannya adalah bahwa BM T sendiri sesunggunya merupakan kepanjangan tangan penerapan ekonomi syariah Islam, yang merupakan leading sector untuk pembiayaan usaha mikro (M uttaqien, 2008).

Kajian tentang Latar Belakang Kelahiran LKM Syariah

Penelitian mengenai latar belakang kelahiran berbagai lembaga keuangan mikro syariah sebetulnya sudah cukup banyak dilakukan oleh para peneliti sejak satu dekade terakhir ini. Hal ini terkait dengan gejala ketidakmampuan lembaga perbankan konvensional untuk menjangkau pelayanan jasa keuangan pada masyarakat golongan ekonomi lemah yang tidak bankable. Selain itu, kejenuhan terhadap sistem keuangan konvensional yang mendasarkan perhitungan profitnya pada bunga atau riba juga menjadi salah satu pendorong bagi masyarakat untuk mencoba sistem syariah yang mendasarkan pada ikatan bagi hasil. Hal ini tampaknya sejalan dengan semakin meningkatnya pemahaman sebagian elemen masyarakat tentang syariat Islam yang melarang riba dan memperbolehkan sistem bagi hasil.

(5)

memberikan ladang subur untuk diteliti secara lebih serius di masa yang akan datang.

Lebih lanjut berdasarkan hasil penelitiannya, M uttaqien menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sistem ekonomi Islam di Indonesia adalah adanya ketidakpuasan yang sangat besar dalam hal penyelesaian masalah-masalah ekonomi dan cara yang telah digunakan. Faktor lain adalah arti penting ekonomi neo-klasik mempunyai dasar yang sempit dan mempunyai asumsi yang tidak realisitik terhadap manusia. Teori tentang ekonomi pasar telah banyak dipertanyakan tentang pendekatan dan kesimpulan yang diambil. Selama era kolonial terjadi, maka ajaran neo-klasik masuk ke dalam nilai budaya penduduk setempat, lembaga sosial, dan teknologi lokal negara jajahan. Faktor selanjutnya adalah ketidakseimbangan antara masyarakat kaya dan miskin, yang terjadi tidak berhasil diselesaikan dengan pelayanan keadilan dan persaingan yang jujur. M ekanisme ekonomi Internasional secara keseluruhan telah dibuat untuk mengabadikan hegemoni kemajuan industri, yang sekarang ini telah disadari secara luas akan membawa benih kehancuran sendiri (M uttaqien, 2008).

Penelitian M uttaqien tersebut memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Venardos (2005). Venardos mengungkapkan bahwa sistem keuangan konvensional yang menggunakan sistem bunga dinilai sebagai sistem yang tidak menguntungkan masyarakat yang berada dalam tingkat miskin. Konsep operasional lembaga keuangan yang dinilai menghormati hak-hak manusia untuk mendapatkan kehidupan sejahtera adalah sistem bukan riba yang mendasarkan transaksi penyediaan modal keuangan pada konsep bagi hasil. Dalam hal ini lembaga keuangan mikro syariah dalam bentuk BM T (Baitul M aal wat Tamwil) merupakan salah satu lembaga penyedia jasa keuangan bukan bank tanpa bunga yang memiliki potensi akses lebih besar kepada masyarakat miskin, begitu pula dengan LKM bukan bank seperti bentuk KSP (Koperasi Simpan Pinjam).

(6)

merupakan bentuk riba dalam pandangan Islam. Riba merupakan segala bentuk penambahan untuk mencapai keuntungan sepihak yang terdapat dalam transaksi pihak-pihak tertentu. Perkembangan bunga bank yang diidentikkan dengan riba dalam Islam tersebut kemudian berpengaruh buruk terhadap masyarakat, terutama masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. M asyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses dan mengembalikan pembiayaan yang telah dipinjam dari sebuah lembaga keuangan yang menerapkan sistem pengembalian berbunga tersebut. Hal ini mendorong dibentuknya sistem pembiayaan dari lembaga keuangan yang baru untuk mempermudah pelayanan kepada masyarakat miskin dalam upaya pengentasan kemiskinan sebagai usaha untuk mendorong perekonomian Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Bila dipetakan, perbandingan antara LKM Konvensional dan LKM Syariah dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1: Perbandingan Lembaga Keuangan Mikro Konvensional dan Syariah

Pendanaan Hasil yang diperoleh dicampur dengan hasil (murahabah) atau dasar sewa guna (ijarah)

Bentuk LKM Biasanya hanya sebagai satu macam saja

(7)

Elemen dengan kaidah syariah atau belum.

Akad dan

Sumber: Kompilasi teori dan hasil reset

Alamsyah (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa peran lembaga keuangan mikro di Indonesia yang memberikan layanan jasa keuangan mikro kepada nasabah masyarakat miskin produktif termasuk Usaha M ikro, Kecil dan M enengah (UMKM ) sudah banyak yang dituangkan dalam artikel jurnal dan buku. UM KM merupakan salah satu unit usaha yang sangat vital bagi perekonomian di Indonesia pasca krisis yang melanda seluruh wilayah Indonesia. Badan UM KM juga berkontribusi di berbagai unit usaha, tenaga kerja hingga output usaha yang dihasilkan oleh UM KM .

Secara internasional istilah pembiayaan mikro atau micro finance sendiri mengacu pada jasa keuangan yang diberikan kepada pengusaha kecil atau bisnis kecil, yang biasanya tidak mempunyai akses perbankan terkait tingginya biaya transaksi yang dikenakan oleh institusi perbankan.

(8)

mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Definisi tersebut menyiratkan bahwa LKM merupakan sebuah institusi profit motive yang juga bersifat social motive, yang kegiatannya lebih bersifat community development dengan tanpa mengesampingkan perannya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi, LKM juga melaksanakan kegiatan simpan pinjam, yang aktifitasnya disamping memberikan pinjaman namun juga dituntut untuk memberikan kesadaran menabung kepada masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.

Alamsyah (2012), M uttaqien (2008) dan M uhammad (2003) mendefiniskan BM T atau dalam bahasa Indonesia diartikan Balai Usaha M andiri Terpadu merupakan lembaga ekonomi rakyat yang memiliki fungsi ganda, yaitu untuk menjalankan fungsi sosial dalam masyarakat sekaligus fungsi bisnis, yang kegiatan operasionalnya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. M uhammad (2003) menuliskan bahwa BM T adalah suatu lembaga usaha ekonomi rakyat yang beranggotakan perorangan, atau badan hukum berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang berasaskan kegotongroyongan, kekeluargaan, kebersamaan dan merupakan usaha bersama dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat di lingkungan tempat BM T didirikan dan beroperasi. BMT diharapkan memiliki kegiatan operasional seperti bank yang mendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dan kecil bawah dengan berlandaskan sistem syariah.

(9)

Alamsyah (2012) kembali menegaskan bahwa tujuan utama lembaga ini adalah menyediakan permodalan bagi unit-unit usaha mikro dan kecil yang jumlahnya sangat banyak tetapi kesulitan mendapatkan akses permodalan dari lembaga keuangan formal seperti bank meskipun secara konseptual memiliki fungsi sosial dan fungsi bisnis. Ia menjelaskan bahwa searah dengan perubahan tata ekonomi dan perdagangan, konsep baitul mal yang sederhana itu pun berubah, tidak sebatas menerima dan menyalurkan harta tetapi juga mengelolanya secara lebih produktif untuk memberdayakan perekonomian masyarakat. Penerimaan dana juga tidak terbatas pada zakat, infak dan sedekah yang diperuntukkan bagi delapan asnaf atau mustahiq tetapi juga pembangunan fasilitas umum, dan kegiatan-kegiatan sosial untuk mencapai kesejahteraan umat, tidak hanya terbatas pada kalangan umat Islam saja. Oleh sebab itu BM T dapat dikatakan sebagai salah satu lembaga keuangan di I ndonesia, di mana pengertian lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, menghimpun dana, menyalurkan dana atau kedua-duanya. Selain itu, dengan kehadiran BM T diharapkan mampu menjadi sarana dalam menyalurkan dana untuk usaha bisnis kecil dengan mudah dan bersih baik produktif maupun konsumtif karena didasarkan pada kemudahan dan bebas riba/ bunga dengan menggu-nakan transaksi akad-akad syariah, memperbaiki/ meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah, lembaga keuangan alternatif yang mudah diakses oleh masyarakat bawah dan bebas riba/bunga, lembaga untuk memberdayakan ekonomi ummat, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan produktivitas (Alamsyah, 2012).

(10)

sosial (termasuk program pemerintah di dalamnya), kelompok masyarakat usaha mikro-kecil yang dilayani oleh lembaga keuangan mikro (termasuk BM T di dalamnya), sampai masyarakat usaha besar yang dilayani oleh bank umum komersial dan pasar modal (Alamsyah, 2012).

Hal menarik lain yang ditemukan oleh penelitian yang dilakukan oleh Purnomo (2003) adalah tentang latar belakang pembentukan dan perkembangan BMT di Indonesia. Dia menemukan fakta bahwa beberapa BM T di Indonesia dibentuk sebagai aspirasi masyarakat kecil yang ingin mendapatkan kesetaraan kelayakan hidup dan ekonomi sehingga kehadiran BM T sangatlah mendukung pengusaha-pengusaha kecil yang berada di pedesaan, di perkampungan kota maupun di pasar-pasar tradisional. Hal ini disebabkan karena banyak perbankan syariah, instansi-instansi besar, baik pemerintah maupun swasta, yang kurang memberikan perhatian dalam membantu permodalan untuk usaha kecil. Banyak pedagang atau pengusaha kecil tidak mendapatkan modal karena dianggap tidak memiliki sistem usaha yang baik, manajemen laporan keuangan yang kurang terkontrol, legalitas usaha yang belum ada, serta surat berharga lainnya untuk dijadikan agunan (jaminan) pinjaman modal usaha.

Alamsyah menggambarkan mekanisme kerja operasional BM T sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1: M ekanisme Operasional BM T di Indonesia

(11)

Kajian tentang Dasar-dasar Operasionalisasi LKM Syariah

Dalam penelitiannya, Purnomo (2003) menemukan bahwa pihak pengelola BM T menerima dana yang berasal dari modal awal dan tabungan dari para anggota dan pendiri anggota BM T itu sendiri. M odal itu kemudian dapat digunakan untuk melakukan pembiayaan bagi para anggota dan nasabah yang ingin menjalankan usaha baik skala mikro maupun skala kecil. Para pemanfaat dana dalam hal pembiayaan usaha skala mikro dan kecil, dan para anggota serta pendiri anggota menerima bagi hasil yang diperoleh berdasarkan kesepakatan antar BM T dan pemanfaat dana. Kesepakatan yang dicapai dari tawar-menawar harga tersebut selanjutnya diharapkan dapat menghasilkan kerja sama yang saling menguntungkan antara BM T dalam hal ini pengelola dan masyarakat (sebagai anggota, pendiri anggota dan pemanfaat dana BMT).

Kholim (2004), dalam penelitiannya tentang persoalan keuangan dalam BM T menemukan bahwa penghimpunan dana di BM T dilakukan dari berbagai sumber, baik dari anggota maupun pihak lain. Penghimpunan dana ini bertujuan untuk memperbesar permodalan, memperbesar aset, memperbesar pembiayaan. Jenis sumber permodalan BM T berasal dari simpanan berupa mudharabah, mudharabah berjangka dan wadi’ah. Pinjaman dana dapat berasal dari pinjaman bank, BUM N atau pihak lain. Sedangkan yang berasal dari modal berupa simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan pokok khusus, donasi dan penyertaan modal. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh anggota, calon anggota atau koperasi-koperasi lain dan atau anggotanya kepada koperasi dalam bentuk simpanan biasa dan simpanan berjangka.

(12)

dengan jangka waktu. Simpanan wadi’ah merupakan simpanan yang bersifat dana titipan pihak ketiga dan tidak mendapatkan jasa bagi hasil. Simpanan pembiayaan merupakan simpanan yang mendapatkan fasilitas dari pembiayaan, sistem penyetorannya digabungkan dengan angsuran, dan boleh diambil bila pinjaman telah lunas. Simpanan pokok merupakan simpanan sebagai anggota yang dibayarkan satu kali yaitu waktu mendaftar sebagai anggota dan merupakan komponen modal. Simpanan wajib merupakan simpanan anggota yang disetorkan secara berangsur dan teratur oleh anggota dan besarnya sama antara anggota satu dengan anggota yang lain sesuai dengan kesepakatan. Simpanan pokok khusus adalah simpanan pendiri yang disetorkan pada waktu awal pembentukan.

Kholim juga menuliskan bahwa dalam menjalankan kegiatannya BM T dapat memiliki bentuk hukum yang berupa Koperasi Syariah atau Koperasi Simpan Pinjam Syariah. Pendirian lembaga ini memerlukan anggota pendiri minimal 20 orang dan dipertahankan maksimum 40 orang. Bentuk hukum yang kedua adalah KSM (Kelompok Swadaya M asyarakat) dengan sertifikasi berupa Surat Keterangan Operasional dari PINBUK. Program PHBK-BI (Proyek Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya M asyarakat) memberikan izin kepada Lembaga Pengembang Swadaya M asyarakat (LPSM ) tertentu untuk membina KSM atau prakoperasi, termasuk memberikan izin kepada PINBUK untuk melakukan kegiatan pembinaan dan pengembangan pengusaha mikro melalui pendekatan kelompok. LPSM inilah yang memberikan sertifikat kepada KSM atau prakoperasi. Dengan demikian, PINBUK adalah sebuah lembaga yang sengaja dibentuk untuk menumbuhkan usaha kecil di Indonesia yang kelahirannya difasilitasi oleh M UI, Bank Mu’amalat dan ICM I.

(13)

perbedaan mendasar di antara keduanya. Secara umum, perbedaan antara LKM bukan bank yang bersifat formal (khususnya bentuk KSP) dan informal (khususnya bentuk BMT) dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2: Perbedaan antara KSU/KSP dan BM T

Unsur KSU/KSP BMT

Akad & Aspek legalitas Hukum Positif Hukum Islam dan Hukum Positif Lembaga Penyelesaian

Sengketa

Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Badan Arbitrase MuamalaSt Indonesia (BAMUI), Basyarnas Struktur organisasi Tidak ada DSN dan

DPS

Ada Dewan Syariah Nasional (DSN) & Dewan Pengawas Syariah (DPS)

Investasi Halal & Haram Halal

Prinsip Organisasi Perangkat bunga Bagi hasil, jual beli dan sewa

Tujuan Profit oriented Profit & Falah Oriented

Hubungan nasabah Debitur-Kreditur Kemitraan Sumber : Muttaqien, 2008

Dalam hal regulasi, BMT tidak diatur dan diawasi/diaudit oleh Bank Indonesia, dan dalam pembentukan BM T cukup disahkan oleh M enteri Koperasi dan UM KM . Dalam proses operasionalnya BM T tidak terlalu bankable dibandingkan dengan BPRS, karena mengacu kepada peraturan BI. Kondisi pendukung kerja BMT cukup sederhana walaupun banyak yang sudah layak seperti BPRS, di mana rata-rata pendukung kerjanya sudah layak dan memenuhi standardisasi (Alamsyah, 2012).

(14)

BM T terhadap perekonomian nasional terutama berdampak tidak langsung pada pertumbuhan industri perbankan syariah. Bank Indonesia melakukan inisiatif untuk melakukan kajian ini. Adapun BM T yang dimaksud dalam kajian ini adalah lembaga yang juga melakukan fungsi intermediasi (menghimpun dana dan menyalurkan dana disertai imbalan jasa dari dana yang dihimpum/disalurkan) selain fungsi sosial sebagai baitul maal. Pemberian rekomendasi untuk pemerintah dalam penyusunan kebijakan menjadi suatu hal yang penting dari kegiatan pemetaan BMT yang dilakukan.

Kebijakan Negara: Peran LKM Syariah dan Peningkatan Kesejahteraan M asyarakat

Berbagai penelitian mengenai LKM menyatakan bahwa meskipun lembaga ini telah berkembang pesat di dalam masyarakat namun keberadaannya belum memiliki kerangka hukum yang jelas dalam sistem hukum negara. Penelitian yang dilakukan oleh El-Zoghbi & Tarazi (2013) yang berfokus pada aspek-aspek legalitas dari BM T menyatakan bahwa BM T yang terdaftar di Kementerian Koperasi dan UKM tidak diawasi negara sebagai pemberi jasa keuangan. Padahal seperti diketahui bahwa lembaga ini memiliki peran yang semakin signifikan dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Dengan demikian LKM Syariah memiliki potensi strategis dalam rangka mengurangi ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Pada gilirannya, kesejahteraan dapat meningkatkan beberapa nilai yang paling berharga dalam diri seorang manusia. Nilai-nilai tersebut adalah Nilai-nilai kebebasan, rasa tanggung jawab, pekerjaan, keluarga, komunitas dan kepedulian sosial, dimana konflik tidak termasuk di dalamnya (Dye, 2002).

(15)

ditujukan untuk melayani masyarakat tingkat bawah sangat tidak terkenal dan dikelilingi oleh banyak kontroversi.

M enurut Dye (2002) pengaruh dari kondisi kesejahteraan umum yang menguntungkan dan pemenuhan kebutuhan yang tercapai pada pekerja telah terjadi pada beberapa negara. Survei menunjukkan bahwa masyarakat miskin lebih suka bekerja untuk kesejahteraan mereka, namun dengan pembayaran kesejahteraan yang mungkin menghasilkan pengaruh yang tidak terlalu kelihatan pada tingkah laku kemiskinan mereka. M asyarakat enggan untuk mengambil pekerjaan dengan upah minimum yang bisa jadi tidak pernah memperoleh kebiasaan bekerja yang dibutuhkan untuk berpindah ke posisi pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dalam waktu yang akan datang dalam kehidupan mereka. Kesejahteraan bahkan membantu menghasilkan kebudayaan masyarakat yang mengalah dan bergantung, sehingga menurunkan harga diri seseorang secara personal dan meningkatkan pengangguran, pelanggaran hukum, dan keretakan rumah tangga.

(16)

Sesuai dengan sumber hukum tertinggi umat Islam (Alqur’an, Hadits dan Ijtihad), amanah Pembukaan alinea ke empat UUD 1945, UUD 1945 pasal 33 ayat 1 dan 4, serta UUD 1945 pasal 27 ayat 2, Ketetapan M PR No. XVI/M PR/1991, Tap. M PR No. IV/M PR/1999, UU No. 25/2000 tentang Propenas, UU No. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasin dan UU No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan M ikro maka jika dapat disimpulkan, negara berkewajiban untuk menjamin sistem yang selalu berpihak pada kesejahteraan rakyat dengan berdasarkan atas asas menguntungkan semua pihak tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan status sosial dalam konteks nilai-nilai spiritual dan kepedulian sosial untuk mendukung terwujudnya manusia yang berkualitas dan bermartabat.

Pembangunan kesejahteraan sosial sejatinya adalah segenap strategi dan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang diarahkan pada pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat (Suharto, 2006).

(17)

Tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yang pertama dan utama adalah penanggulangan kemiskinan dalam segala bentuk manifestasinya (Suharto, 2005). M eskipun pembangunan sosial dirancang untuk memenuhi kebutuhan publik secara luas, target utamanya adalah para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), yakni mereka yang termasuk dalam kelompok kurang beruntung seperti orang miskin, anak-anak dan wanita korban tindak kekerasan, anak jalanan, pekerja anak, orang dengan kemampuan khusus (difabel) serta kelompok rentan dan marjinal lainnya. Pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi sosial, bantuan sosial, asuransi sosial, jaring pengaman sosial dan penguatan kapasitas kelompok marjinal adalah beberapa contoh program pembangunan kesejahteraan sosial (Suharto, 2006). Ideologi “kesejahteraan negara” (welfare state) yang dianut oleh negara-negara maju mendefinisikan pembangunan kesejahteraan sosial sebagai wujud dari kewajiban negara (state obligation) dalam menjamin hak-hak dasar warga negara. Di Indonesia, meskipun konstitusinya secara de jure (legal-formal) merujuk pada sistem kesejahteraan negara, implementasi dari pembelaan negara terhadap hak-hak fakir miskin, anak terlantar dan penyelenggaraan jaminan sosial masih dihadapkan pada beragam tantangan.

(18)

memberikan kontribusi terhadap penciptakaan keadilan di dalam masyarakat.

LKM Syariah dalam Konteks Keadilan Distributif John Rawls

John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice (2011) menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun, tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal lebih besar yang didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang.

M asyarakat tertata dengan baik ketika ia tidak hanya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya namun ketika ia juga secara efektif diatur oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yaitu: masyarakat di mana (1) setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama (2) institusi-institusi sosial dasar yang ada umumnya sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut. Dalam hal ini kendati orang saling mengajukan tuntutan yang sangat besar, namun mereka mengakui sudut pandang bersama untuk mengungkapkan pernyataan-pernyataan mereka. Jika kecenderungan orang-orang pada kepentingan diri sendiri memerlukan saling perhatian satu sama lain, maka rasa keadilan publik memungkinkan asosiasi bersama mereka.

(19)

semata, betapapun bergunanya peran tersebut dalam mengidentifikasi konsep keadilan. Orang harus mempertimbangkan kaitan yang lebih luas, sebab kendati keadilan punya prioritas tertentu, menjadi kebajikan utama dari institusi namun salah satu konsepsi tentang keadilan lebih disukai dibanding yang lain ketika konsekuensinya yang lebih luas lebih dikehendaki.

Banyak hal dikatakan adil dan tidak adil, tidak hanya hukum, institusi dan sistem sosial bahkan juga tindakan-tindakan tertentu termasuk keputusan, penilaian, dan tuduhan. Orang juga menyebut sikap-sikap serta kecenderungan orang adil dan tidak adil. Namun demikian topik keadilan yang dibahas di sini adalah mengenai keadilan sosial. Dalam hal ini subjek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan.

M ereka yang terlibat dalam kerja sama sosial memilih bersama prinsip-prinsip yang akan memberikan hak dan kewajiban dasar serta menentukan pembagian keuntungan sosial. Orang lantas memutuskan bagaimana mereka mengatur klaim-klaim mereka satu sama lain dan apa yang mesti menjadi kontrak dasar masyarakat mereka. Sebagaimana tiap orang harus memutuskan dengan pemikiran rasional apa yang membentuk manfaatnya yakni sistem tujuan yang baginya rasional untuk dikejar, sehingga sekelompok orang harus memutuskan apa yang menurut mereka adil dan tidak adil. Pilihan yang akan dibuat orang-orang rasional setara dalam situasi hipotesis tentang kebebasan yang setara dengan mengasumsikan bahwa pilihan ini mempunyai solusi, akan menentukan prinsip keadilan.

Salah satu bentuk keadilan sebagai fairness adalah memandang berbagai pihak dalam situasi awal sebagai rasional dan sama-sama netral. Ini tidak berarti bahwa pihak-pihak tersebut egois yakni individu-individu dengan jenis kepentingan tertentu katakanlah dalam kekayaan, prestise dan dominasi. Namun demikian mereka dianggap tidak saling tertarik pada kepentingan mereka satu sama lain.

(20)

dalam posisi asal. Untuk melakukan hal ini orang harus menjelaskan situasi ini dengan sejumlah detail dan merumuskan persoalan pilihan yang diungkapkan dengan cermat. Orang-orang dalam situasi awal akan memilih dua prinsip yang agak berbeda: yang pertama membutuhkan kesetaraan dalam penerapan hak dan kewajiban dasar, sedangkan yang kedua menyatakan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi, misalnya ketimpangan kekayaan dan kekuasaan, hanyalah jika mereka menghasilkan kompensasi keuntungan bagi semua orang, khususnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Prinsip-prinsip ini menyingkirkan pembenaran institusi-institusi dengan alasan bahwa kebutuhan sebagian orang diseimbangkan dengan manfaat yang lebih besar secara keseluruhan. Ini mungkin bisa saja dilakukan, namun tidak adil jika sebagian orang harus kekurangan agar orang lain bisa menikmati kemakmuran. Akan tetapi tidak ada ketidak adilan dalam keuntungan yang lebih besar yang diperoleh oleh segelintir orang yang menyatakan bahwa situasi orang-orang lemah lantas membaik. Gagasan intuitifnya adalah bahwa karena kesejahteraan semua orang tergantung pada skema kerja sama yang tanpanya orang tidak akan bisa mencapai kepuasan hidup, pembagian keuntungan harus menggambarkan kehendak kerja sama semua orang yang ada di dalamnya, termasuk mereka yang kurang beruntung.

(21)

pelanggaran keadilan tidak punya nilai. Dengan tidak mempunyai nilai maka mereka tidak bisa menolak klaim-klaimnya.

Prioritas asas hak dari pada asas manfaat dalam keadilan sebagai fairness ini ternyata menjadi bentuk utama konsepsi ini. John Rawls merupakan kriteria pada desain struktur dasar secara keseluruhan, tatanan ini tidak boleh melahirkan kecendrungan dan sifat-sifat yang berprinsip tertentu yang telah sejak awal memberikan kepuasan dan mereka harus menjamin bahwa lembaga-lembaga yang adil adalah stabil. Oleh sebab itu ikatan awal tertentu diletakkan pada manfaat dan bentuk karakter yang bermanfaat dan bentuk karakter yang secara moral bernilai, dan jenis person seperti apa seharusnya. Sekarang setiap teori keadilan akan membuat batasan, yakni batasan-batasan yang diperlukan jika prinsip-prinsip pertamanya ingin dipuaskan dengan kondisi yang ada. Utilitarianisme menyingkirkan berbagai hasrat dan kecendrungan yang jika didorong atau dibiarkan akan mengarah pada keseimbangan dengan netto yang lebih rendah.

Subjek utama dari prinsip keadilan sosial adalah struktur dasar masyarakat, tatanan institusi-institusi sosial utama dalam satu skema kerja sama. Orang telah melihat bahwa prinsip-prinsip tersebut mengatur pemberian hak dan kewajiban dalam institusi-institusi ini serta menentukan pembagian kenikmatan serta beban kehidupan sosial. Prinsip keadilan bagi institusi tidak boleh dikacaukan dengan prinsip-prinsip yang diterapkan pada individu dan tindakan-tindakan mereka dalam situasi tertentu. Dua jenis prinsip ini diterapkan pada subjek yang berbeda dan harus dibahas secara terpisah.

(22)

sebagai perwujudan pemikiran dan tindakan orang-orang tertentu pada masa dan tempat yang ditunjukkan oleh aturan-aturan tersebut. Oleh sebab itu ada ambiguitas mengenai hal yang adil atau tidak adil, mengenai institusi sebagaimana wujudnya atau institusi sebagai objek abstrak. Institusi sebagai objek abstrak adalah adil dan atau tidak adil dalam pengertian bahwa setiap perwujudannva akan adil atau tidak adil.

Institusi ada pada masa dan tempat tertentu ketika tindakan yang dispesifikasi olehnya secara teratur dimunculkan sesuai dengan pemahaman publik bahwa sistem aturan yang menentukan institusi diikuti. M aka institusi parlementer ditentukan oleh sistem aturan tertentu (atau rangkaian sistem semacam itu). Aturan-aturan ini merinci bentuk-bentuk tindakan tertentu, penyelenggaraan sidang parlemen hingga pengambilan suara atas kenaikan pajak. Berbagai jenis norma umum diatur ke dalam skema yang koheren. Institusi parlemen eksis di masa dan tempat tertentu ketika orang menampilkan tindakan yang pas, terlibat dalam aktivitas-aktivitas tersebut dalam cara yang diperlukan, dengan pengakuan resiprokal atas pemahaman satu-sama lain sehingga tindakan mereka sesuai dengan aturan-aturan yang mereka ikuti.

(23)

dari orang lain dan jenis tindakan apa yang diperbolehkan. Terdapat pijakan umum untuk menentukan harapan bersama. Selain itu, dalam masyarakat yang tertata dengan baik, masyarakat yang secara efektif diatur oleh konsep keadilan bersama, juga terdapat pemahaman publik mengenai apa itu adil dan tidak adil. Kemudian John Rawls mengasumsikan bahwa prinsip-prinsip keadilan yang dipilih tunduk pada pengetahuan bahwa mereka bersifat publik.

Pembedaan antara aturan konstitutif dan institusi yang mengukuhkan berbagai hak dan kewajibannya dengan strategi-strategi dan dalil-dalil tentang bagaimana mengambil keuntungan dari institusi demi tujuan tertentu. Strategi-strategi dan dalil-dalil rasional tidak dengan sendirinya menjadi bagian dari institusi. Namun mereka adalah bagian dari teori tentang institusi, misalnya teori politik parlementer. Biasanya teori institusi menggunakan aturan-aturan konstitutif sebagai apa adanya dan menganalisis bagaimana kekuasaan didistribusikan dan menjelaskan bagaimana mereka terlibat di dalamnya, cenderung menguntungkan diri mereka. Dalam merancang dan mereformasi tatanan sosial orang harus menguji skema dan taktik yang dibiarkannya dan bentuk-bentuk perilaku yang cenderung didorongnya. Aturan-aturan tersebut secara ideal mesti disusun sehingga orang terbawa oleh kepentingan utama mereka untuk bertindak dengan cara-cara yang memperluas berbagai tujuan yang dikehendaki secara sosial. Perilaku para individu yang dibimbing oleh rencana rasional mereka mesti dikoordinasikan sebaik mungkin untuk meraih hasil-hasil yang terbaik dari sudut pandang keadilan sosial, kendati tidak dimaksudkan atau barangkali tidak diperkirakan oleh mereka. Bentham menganggap koordinasi ini sebagai identifikasi artifisial dari kepentingan, Adam Smith menganggapnya sebagai karya tangan gaib (invisible hand). Ini merupakan tujuan legislator ideal dalam menegakkan hukum dan kaum moralis dalam mendesakkan reformasi mereka. Namun, strategi dan taktik-taktiknya yang diikuti oleh para individu, kendati sangat esensial bagi penilaian atas institusi, bukan merupakan bagian dari sistem aturan publik yang menentukannya.

(24)

adalah karena satu atau beberapa aturan penataan bisa menjadi tidak adil tanpa institusinya sendiri menjadi tidak adil. Sama halnya, institusi bisa menjadi tidak adil kendati sistem sosialnya secara keseluruhan adil. Tidak hanya ada kemungkinan bahwa aturan dan lembaga tunggal tidak dengan sendirinya penting namun bahwa di dalam struktur institusi atau sistem sosial, satu ketidakadilan menggantikan ketidak-adilan yang lain. Keseluruhannya akan kurang tidak adil dibanding jika ia hanya mengandung satu bagian yang tidak adil. Lebih jauh, adalah masuk akal jika sebuah sistem sosial menjadi tidak adil kendati tak ada satu pun dan institusi-institusinya yang tidak adil jika dilihat secara terpisah: ketidakadilan adalah konsekuensi dari bagaimana mereka dikombinasikan bersama menjadi satu sistem tunggal. Suatu institusi mungkin mendorong dan terlihat menjustifikasi harapan-harapan yang ditolak atau diabaikan oleh institusi lain. Pembedaan ini cukup jelas karena merefleksikan fakta bahwa dalam memandang berbagai lembaga orang bisa meletakkan mereka dalam konteks yang lebih luas atau pun lebih sempit.

Terdapat lembaga-lembaga yang tidak bisa dikenai konsep keadilan. Suatu ritual biasanya tidak dinilai adil atau tidak adil, kendati berbagai kasus dapat dibayangkan tidak benar, misalnya ritual pengorbanan bayi atau pengorbanan para tawanan perang. Teori akan mempertimbangkan kapan ritual-ritual dari berbagai praktik lainnya dianggap adil atau tidak adil tunduk pada bentuk kritisisme ini. Anggap saja mereka pasti terlibat dalam alokasi berbagai hak dan nilai di kalangan orang-orang tertentu.

(25)

menjumpai keadilan formal, rule of law dan penghormatan pada harapan yang sah, di sana orang akan cenderung menjumpai keadilan substantif pula. Hasrat untuk mengikuti aturan-aturan secara netral dan konsisten, untuk memperlakukan kasus serupa secara sama, dan untuk menerima konsekuensi-konsekuensi penerapan norma-norma publik, itu semua sangat terkait dengan hasrat, atau setidaknya kehendak, untuk mengakui hak dan kebebasan orang lain serta untuk memperoleh bagian keuntungan dari beban kerja sama sosial secara fair. Satu hasrat cenderung diasosiasikan dengan hasrat yang lain. Sebab ia tidak bisa dinilai secara layak hingga orang mengetahui prinsip keadilan substantif mana yang paling masuk akal dan dalam kondisi apa orang-orang mengikutinya.

Keadilan distributif dalam ilmu ekonomi memiliki beberapa persyaratan yang menentukan apakah suatu lembaga atau institusi dapat dikatakan sebagai lembaga yang telah menerapkan keadilan tersebut. Ilmu ekonomi Islam syariah juga memiliki karakteristik dalam suatu lembaga pelaksanaan sistem syariah. Lembaga-lembaga perwujudan sistem ini, yang marak berdiri di masyarakat adalah Badan M aal W at Tamwil (BM T), Koperasi, KSU dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang menyediakan pinjaman atau simpanan bagi para nasabah yang membutuhkan. Beberapa lembaga tersebut telah secara sporadis berdiri di beberapa provinsi di Indonesia mengingat tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap sistem ekonomi yang baru, non kapitalis, non imperialis, non sekuler dan non materialis. Akan tetapi, sampai saat ini, lembaga keuangan syariah tersebut masih dipertanyakan terkait definisi dan pelaksanaan di masyarakat.

(26)

Pertama, keadilan adalah kejujuran (justice as honesty). M asyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan individu, tetapi di sisi yang lain masing-masing individu memiliki pembawaan serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur dalam kehidupan sosial.

Kedua, selubung ketidaktahuan (veil of ignorance), dimana setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang dan orang-orang atau kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui konsepsi-konsepsi mereka tentang kebaikan.

Ketiga, posisi original (original position), yaitu situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat,tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, pada keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang. “Posisi Original” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri: Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom), dan Persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).

Keempat, prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain.

(27)

Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Baqarah, terkandung dasar-dasar natural-moral tingkah laku manusia, yang menunjuk kepada: (1) W atak moral yang universal dan obyektif yang membuat semua manusia diperlakukan secara sama dan sama-sama bertanggung jawab kepada Allah,dengan perbuatan-perbuatan yang baik, keyakinan-keyakinan yang berasal dari sumber yang sama yaitu dari Allah SW T. (2) Semua umat manusia harus berusaha keras menegakkan suatu skala keadilan yang diakui secara obyektif terlepas dari perbedaan keyakinan-keyakinan relegius. M anusia yang ideal bisa mengga-bungkan kebajikan moral dengan religius yang sempurna. Tabel 2.3 memperlihatkan perbandingan antara teori John Rawls (2011) dan Alquran.

Tabel 2.3: Perbandingan Teori John Rawls dan Al-Quran

Teori Prinsip Implikasi beruntung menjadi lebih baik dilakukan dengan cara

 Menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia

 kemitraan dalam kepemilikan kekayaan alam tertentu dapat mereduksi disparitas atau

Sumber : Kompilasi dari Teori John Rawls dan Al-Quran.

(28)

Gambar

Tabel 2.1:   Perbandingan Lembaga Keuangan Mikro Konvensional dan Syariah
Gambar 2.1:  Mekanisme Operasional BMT di Indonesia
Tabel 2.2:  Perbedaan antara KSU/KSP dan BMT
Tabel 2.3:  Perbandingan Teori John Rawls dan  Al-Quran

Referensi

Dokumen terkait

Belanja Pakaian Dinas dan Atributnya. Barang

Dengan metode ini peserta pelatihan akan mempraktikkan pengelolaan usaha pada jenis usaha yang telah dijalankan dan praktik penyusunan perencanaan usaha (business plan) sebagai

Diagram sebab-akibat /Fishbone Diagram digunakan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab kerusakan produk.Penyebab kerusakan produk paving block adalah man

Mengingat pentingnya acara ini diminta kepada saudara hadir tepat waktu dan membawa berkas kelengkapan kualifikasi yang terdiri dari :..  Jaminan Penawaran dan Dukungan

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Kemudian setelah itu bapak/ ibu / sdr , apakah ingin merekomendasikan kepada perusahaan bahwa bukti pengeluaran barang dari gudang dan bukti permintaan dari

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing

Dana Alokasi Umum Alokasi dasar Belanja pegawai Alokasi berdasarkan celah fiskal Kebutuhan fiskal Kapasitas Fiskal Indeks Penduduk Indeks Luas Wilayah Indeks Kemahalan