• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keadilan Distributif: studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah D 902009003 BAB I"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Satu

Pendahuluan

Pada saat ini Indonesia masih berada pada posisi yang mengkhawatirkan terkait dengan ketimpangan distribusi pendapatan di dalam masyarakat. Di satu sisi, terdapat sejumlah kecil kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi namun di sisi lain ada sejumlah besar kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan rendah. M enurut BPS (Biro Pusat Statistik) dalam survei sosial-ekonomi per M aret 2013, Indeks Gini Indonesia sebesar 0,41 atau dengan kata lain kondisi keadilan ekonomi Indonesia masih jauh dari titik diagonal pemerataan. Bahkan dalam perkembangannya, Indeks Gini Indonesia dari tahun ke tahun menjauh dari angka 0 dan cenderung mendekat ke angka 1. Indeks Gini Indonesia sejak 2009 hingga 2013 secara berturut-turut adalah 0,37; 0,38; 0,39; 0,40 dan 0,41. Sehingga bisa dikatakan bahwa terdapat kesenjangan antara penduduk berpendapatan rendah dengan yang berpendapatan tinggi dimana penduduk berpendapatan rendah dan menengah berada pada kisaran masing-masing 40%, sedangkan penduduk berpendapatan tinggi sebesar 20%, dimana pengeluaran dari penduduk berpendapatan rendah tersebut sebesar 16,87% dari keseluruhan pengeluaran. M enurut BPS, ketimpangan terjadi dalam distribusi asset.1

(2)

arranged based on the principles of: (1) the different principle, dan (2) the principle of fair equality of opportunity.

The greatest equal principle mengacu kepada azas bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini berarti bahwa hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud atau yang disebut sebagai Prinsip Kesamaan Hak.

Sementara prinsip kedua, yaitu mengenai pengaturan ketidaksamaan sosial ekonomi yang didasarkan atas prinsip the different principle (prinsip yang berbeda) dan the principle of fair equality of opportunity (prinsip kesamaan kesempatan yang adil) dimaksudkan untuk memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama di mana semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang. M enurut Rawls, prinsip kedua ini merupakan “prinsip perbedaan obyektif” yang menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, sehingga secara wajar (obyektif) diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith (loyalitas/keimanan yang baik) dan fairness (kejujuran/ keadilan).

(3)

saja yang berhak menikmati berbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan masa depan kehidupannya.

Rawls juga menambahkan bahwa pertanggungjawaban moralitas ”kelebihan” dari mereka yang beruntung harus ditempatkan pada ”bingkai kepentingan” kelompok mereka yang kurang beruntung. Dalam hal ini “the different principle” tidak menuntut manfaat yang sama (equal benefits) bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik (reciprocal benefits). Namun demikian menurut Rawls agar terjamin suatu aturan main yang obyektif maka keadilan yang dapat diterima sebagai fairness adalah pure procedural justice, artinya keadilan sebagai fairness harus berproses sekaligus terrefleksi melalui suatu prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula. Di sini aturan main yang dapat diwujudkan dalam bentuk produk perundang-undangan menjadi sangat penting yang akan mengatur hubungan-hubungan kontrak antar berbagai elemen dalam kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya kontrak-kontrak bisnis.

(4)

Dalam keadilan komutatif yang menjadi landasan hubungan antara person, termasuk dalam kontrak, hendaknya tidak dipahami sebagai kesamaan semata karena pandangan ini akan membawa ketidakadilan ketika dihadapkan dengan ketidakseimbangan para pihak yang berkontrak. Dalam keadilan komutatif terkandung pula makna distribusi-proporsional. Demikian pula dalam keadilan distributif yang dipolakan dalam hubungan negara dengan warga negara, konsep distribusi-proporsional yang terkandung di dalamnya dapat ditarik ke dalam perspektif hubungan kontraktual para pihak. Namun demikian barangkali persoalan akan muncul ketika penciptaan perundangan yang mengatur hubungan kontrak bisnis itu dikooptasi oleh kepentingan kelompok dominan yang menguasai modal sehingga aturan-aturan mengenai kontrak bisnis itu hanya akan mengesahkan ketidakadilan.

Sementara itu terkait dengan penyebab terjadinya ketidakadilan dan ketimpangan atau pun kecenderungan ke arah ketimpangan yang terjadi di dalam suatu masyarakat, Roemer (1998) mengidentifikasikan adanya beberapa faktor, yaitu: 1) ketimpangan dalam usaha, kerja keras, atau talenta dari individu; 2) ketimpangan dalam opportunity (kesempatan); dan 3) ketimpangan dalam kebijakan.

(5)

hal besar, yaitu: meningkatkan equality of opportunity (penyamaan kesempatan) dan melakukan redistribution (redistribusi).

Equality of opportunity bisa dilakukan dengan berbagai kebijakan, misalnya pemberian akses kepada kelompok masyarakat ekonomi lemah dalam hal permodalan yang bisa dilakukan dalam bentuk pemberian kredit lunak. Dalam hal inilah lembaga keuangan mikro (micro finance) seperti LKM S maupun LKM K sebetulnya memiliki peluang atau peran yang strategis dalam ikut mengondisikan terbentuknya equality of opportunity di kalangan masyarakat ekonomi lemah.

(6)

keuangan ini kemudian yang menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mendorong berdirinya bank-bank pasar (bank yang khusus memberi pinjaman kecil dengan bunga rendah kepada pedagang pasar), serta lembaga-lembaga keuangan mikro oleh pemerintah daerah, seperti Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP) di Jawa Barat, Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur, Lumbung Putih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali (Bank Indonesia, 2).

Pada saat itu lembaga-lembaga tersebut belum disebut sebagai Lembaga Keuangan M ikro (LKM ), tetapi lebih sebagai bank pasar, atau lembaga kredit desa atau kecamatan. Keadaan ini berubah setelah keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menetapkan bahwa hanya ada dua jenis bank di Indonesia, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Lembaga keuangan yang tidak memenuhi syarat sebagai BPR kemudian dikenal sebagai lembaga keuangan nonformal atau bank gelap. Tercatat ada 2.272 LDKP dan 5.345 BKD yang tidak memenuhi syarat sebagai BPR (Ibrahim, 2003).

Besarnya keyakinan bahwa keuangan mikro merupakan salah satu strategi penting dalam penanggulangan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan pendapatan telah mendorong banyak pihak berusaha membuka pelayanan pembiayaan mikro. Apalagi pemerintah baik pusat maupun daerah menyalurkan berbagai program dana bergulir kepada kelompok masyarakat atau mendirikan semacam LKM . Demikian pula lembaga donor dan LSM (Lembaga Swadaya M asyarakat) juga membentuk LKM. Pada saat ini usaha mikro merupakan usaha yang memiliki porsi tertinggi dibandingkan dengan jenis usaha masyarakat yang lain, yaitu sebesar 98, 9% dari jumlah keseluruhan.

(7)

dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Definisi tersebut menyiratkan bahwa LKM di samping merupakan sebuah institusi profit motive juga bersifat social motive, yang kegiatannya lebih bersifat community development dengan tanpa mengesampingkan perannya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi, LKM juga melaksanakan kegiatan simpan-pinjam, yang aktifitasnya di samping memberikan pinjaman juga membangkitkan kesadaran menabung kepada masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.

Namun sistem keuangan konvensional yang menggunakan sistem bunga seringkali dinilai sebagai sistem yang tidak menguntungkan masyarakat yang berada dalam tingkat miskin. Konsep operasional lembaga keuangan yang dinilai menghormati hak-hak manusia untuk mendapatkan kehidupan sejahtera adalah sistem bukan riba yang mendasarkan transaksi penyediaan modal keuangan pada konsep bagi hasil. Dalam hal in secara teoritik BM T (Baitul M aal wat Tamwil) merupakan salah satu lembaga penyedia jasa keuangan bukan bank tanpa bunga yang memiliki potensi akses lebih besar kepada masyarakat miskin, begitu pula dengan LKM bukan bank seperti bentuk KSP (Koperasi Simpan Pinjam).

M elihat sistem keuangan konvensional yang mengarah ke riba dan belum teraplikasi dengan perannya untuk kesejahteraan rakyat, maka banyak orang berpandangan perlu adanya sistem Keuangan M ikro Syariah yang memberikan jasa keuangan secara syariah bagi pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah, baik formal, semi formal, maupun informal yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal yang lebih berorientasi pasar untuk tujuan bisnis. Keuangan mikro sendiri adalah kegiatan sektor keuangan berupa penghimpunan dana dan pemberian pinjaman atau pembiayaan dalam skala mikro dengan suatu prosedur yang sederhana kepada masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah.

(8)

kekuasaan, ruang lingkup maupun tanggung jawabnya. Setiap institusi dalam lembaga keuangan syariah menjadi bagian integral dari sistem syariah. Dalam hal ini Lembaga Keuangan Syariah bertujuan membantu mencapai tujuan sosial ekonomi masyarakat Islam.

LKM S mengalami perkembangan yang pesat di Jawa Tengah. Hal ini didukung oleh ajaran agama yang melarang riba dan menganjurkan sedekah. Contoh riil dari LKM S adalah BM T yang merupakan leading sector untuk pembiayaan usaha mikro. Ini dikarenakan BM T merupakan salah satu multiplier effect dari pertumbuhan dan perkembangan lembaga ekonomi dan keuangan syariah. LKM S ini dekat dengan kalangan masyarakat bawah (grass root). Namun demikian perkembangan BMT belum diikuti dengan pengaturan atau landasan hukum yang memadai. Kekosongan hukum ini menyebabkan banyak penunggang liar (free riders) yang memanfaatkan keberadaan BM T untuk tujuan pragmatis dan kepentingan pribadi bahkan label syariah hanya sebagai slogan.

Bila syariah hanya sebagai slogan, tentu akan mengarah pada perwujudan dari ketidakadilan ekonomi yang bisa menambah penderitaan, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan sebagainya. Dengan begitu LKM S tidak akan mampu memberikan dukungan bagi terciptanya keadilan dalam masyarakat. Sama seperti teori keadilan yang dibahas oleh John Rawls, terdapat pokok-pokok pikiran tentang keadilan yang merupakan salah satu nilai moral, meskipun dalam penerapannya pun sering kali juga menimbulkan polemik. M enurut John Rawls, dalam menyikapi hal tersebut diperlukan adanya kesamaan pandangan dan kesepakatan dari berbagai unsur masyarakat yang terlibat, demi terwujudnya kehidupan sosial yang adil dan makmur. Di sisi lain, kesamaan pandangan tentang keadilan saja juga tidak dapat menjamin terwujudnya keadilan sosial, tanpa dilandasi oleh itikad baik untuk melaksanakan prinsip keadilan sosial tersebut.

(9)

Rawls, yang berprinsip pada “keadilan sebagai fairness” dalam konteks ke-Indonesia-an tersebut kiranya cukup penting. Studi ini akan mengkaji sejauh mana LKM S yang diharapkan mampu menjadi salah satu media untuk mewujudkan keadilan distributif benar-benar bisa dipraktikkan dalam bidang pembiayaan dalam berbagai bisnis skala kecil di dalam masyarakat.

Dengan menggunakan perspektif yang dikembangkan oleh John Rawls yang menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, maka ada beberapa patokan yang akan digunakan untuk melihat lebih jauh eksistensi LKM S di Jawa Tengah. Pertama, setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama sesuai dengan dasar syariah Islam. Kedua, lembaga dianggap adil ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang antar orang dalam memberikan hak dan kewajiban sesuai dengan syariah dan ketika aturan menentukan keseimbangan yang pas antara klaim-klaim yang saling berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial. Ketiga, adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan pada pembagian keuntungan dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini makna keadilan sebagai fairness bukan merupakan prinsip yang berdiri sendiri, melainkan melibatkan persoalan tentang bagi hasil atau margin serta bunga maupun jasa. Untuk melaksanakan prinsip keadilan maka seharusnya profesionalisme di bidang lembaga keuangan mikro syariah harus dikembangkan.

(10)

menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan.

Data yang diperoleh dari surat kabar harian Kompas pada tanggal 8 M aret 2013 menyebutkan bahwa volume usaha atau jumlah pinjaman yang disalurkan oleh lembaga keuangan seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Usaha Simpan Pinjam (USP) koperasi, serta Usaha Jasa Keuangan Syariah pada tahun 2012 juga mencapai jumlah yang tidak sedikit, yaitu Rp. 49,78 miliar. Sumbangsih UM KM khususnya usaha skala mikro sebagai bagian dari pembangunan perekonomian bangsa dalam menciptakan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini berdasarkan data dari Kemenkop dan UKM (2011) bahwa usaha mikro tahun 2011 sebesar 50,70 juta unit (98,90%), usaha kecil sebanyak 520,22 ribu unit (1,01%), usaha menengah sebanyak 39,66 ribu unit (0,08%) dan usaha besar 4,37 ribu unit (0,01%).

BM T sebagai salah satu lembaga penyedia jasa keuangan bukan bank memiliki potensi akses lebih besar kepada masyarakat miskin, begitu pula dengan LKM bukan bank seperti KSP. Selain itu, Provinsi Jawa Tengah juga menjadi basis perkembangan BM T di Indonesia karena jumlah BM T yang telah tercatat menduduki posisi tiga besar dari seluruh provinsi di Indonesia (Sakai & M arijan, 2008). Dalam hubungan ini penelitian tentang kondisi LKM bukan bank dan pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan operasional LKM bukan bank yang berada di Jawa Tengah sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Selama ini, penelitian-penelitian yang telah dilakukan belum ada yang menganalisis kontribusi LKM S dalam menciptakan keadilan di bidang ekonomi.

(11)

penyaluran kredit mikro dan kecil dilakukan di 29 kabupaten di Jawa Tengah periode tahun 2000-2005, serta dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil dari penelitian ini adalah jumlah kantor koperasi, jumlah anggota koperasi, jumlah aset koperasi, jumlah giro masyarakat, jumlah pinjaman per nasabah, jumlah nasabah per kantor bank, jumlah kantor bank, jumlah tabungan masyarakat, dan jumlah simpanan deposito berpengaruh nyata terhadap penyaluran kredit mikro dan kecil di wilayah Jawa Tengah.

Sedangkan kajian yang berhubungan dengan metode perhitungan bagi hasil pada pembiayaan mudharabah di BM T Khonsa di Cilacap dibandingkan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) telah dilakukan oleh Fausziyah (2006). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa BMT Khonsa di Cilacap Jawa Tengah telah menggunakan metode bagi hasil (net revenue sharing) yang sesuai dengan fatwa dalam DSN No. 15/DSN-M UI/IX/2000. Kesesuaian metode revenue sharing dengan fatwa DSN tersebut dilihat dari kemaslahatan bersama karena pembagian hasil usaha (metode revenue sharing).

Sementara itu Anggadini (2010) melakukan penelitian tentang penerapan margin pembiayaan murabahah pada BM T As-Salam Pacet di Cianjur Jawa Barat. Kajian ini memberikan informasi bahwa prosedur keuangan yang terdapat pada sistem keuangan BM T As-Salam yang diadopsi dari petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam panduan konsep syariah, secara efektif dan efisien dengan visi yang menggunakan formula dalam perhitungan persentase margin dan dalam penentuan harga.

(12)

peranan bank syariah dalam kegiatan perbankan yang dilakukan di Indonesia.

Kajian mengenai analisis perbandingan antara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) BM T dari tinjauan yuridis dilakukan oleh M a’wa (2013), bahwa secara yuridis, koperasi tersebut menggunakan Keputusan M enteri Koperasi dan Usaha Kecil dan M enengah Nomor 91/Kep/M .KUKM /IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah sebagai payung hukum dalam melaksanakan kegiatannya, dan belum memiliki UU yang mengatur khusus terkait BMT. Namun dalam praktiknya, kegiatan usaha koperasi ini sama dengan Koperasi Simpan Pinjam dan memiliki kemiripan dengan konsep kegiatan perbankan syariah.

Berdasarkan mapping penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh para peneliti yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini mengambil judul: Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan M ikro Syariah (LKM S) di Jawa Tengah. Pemilihan judul ini didasari atas beberapa pertimbangan utama bahwa LKM S mengalami perkembangan yang pesat meskipun Jawa Tengah bukan merupakan basis Islam yang kuat sehingga dapat diangkat sebagai studi kasus mengenai kontribusi LKM S dalam penciptaan keadilan khususnya di bidang ekonomi.

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang digambarkan di atas, permasalahan yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana gambaran perkembangan LKM S di Jawa Tengah (2) Bagaimana Perbandingan Sistem Bagi Hasil atau Bunga antara LKM S dan LKM K di Jawa Tengah?; (3) Apa kontribusi LKM S terhadap usaha para anggota dalam dimensi keadilan distributif?; (4) Bagaimana Implikasi kebijakan Pemerintah terhadap peran LKM S di Jawa Tengah?

(13)

terhadap Usaha para anggota dalam dimensi keadilan distributif; (4) Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap peran LKM S di Jawa Tengah.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: (1) Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berharga dalam bidang Pendidikan dan Ilmu Ekonomi Pembangunan di masa yang akan datang; (2) Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pengambil kebijakan untuk melaksanakan mekanisme pengawasan terhadap LKM K atau LKM S secara umum, sehingga dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan peningkatan keadilan distributif dalam masyarakat di masa yang akan datang; (3) Secara umum penelitian ini diharapkan dapat membangkitkan hubungan yang sinergi antara masyarakat dan pemerintah sehingga masyarakat tidak merasa dipinggirkan dan terjadi pemerataan pendapatan sehingga jurang ekonomi bisa dikurangi serta kemakmuran dan kesejahteraan dapat tercapai.

Garis Besar Penulisan

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH PENAMBANGAN BATU ANDESIT TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PENAMBANG DI DESA MALANGNENGAH KECAMATAN SUKATANI

Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai ciri yang sama, yaitu memiliki cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil..

Belanja Pakaian Dinas dan Atributnya. Barang

Dengan metode ini peserta pelatihan akan mempraktikkan pengelolaan usaha pada jenis usaha yang telah dijalankan dan praktik penyusunan perencanaan usaha (business plan) sebagai

Diagram sebab-akibat /Fishbone Diagram digunakan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab kerusakan produk.Penyebab kerusakan produk paving block adalah man

Mengingat pentingnya acara ini diminta kepada saudara hadir tepat waktu dan membawa berkas kelengkapan kualifikasi yang terdiri dari :..  Jaminan Penawaran dan Dukungan

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

corporate social responsibility , perputaran modal kerja, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional terhadap profitabilitas perusahaan yang diukur dengan ROA