• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Media Atas Pengibaran Bendera Bintang Kejora T1 362009099 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Media Atas Pengibaran Bendera Bintang Kejora T1 362009099 BAB I"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dalam Kehidupan bersama manusia tak pernah terlepas dari simbol-simbol yang ada didalam lingkungan tempat ia berinteraksi. Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Ungkapan yang simbolis ini yang kemudian menjadi ciri khas yang paling mendasar dari manusia (Satoto, 1987:4). Oleh karenanya setiap karya budaya nenek moyang pasti memiliki simbol sebagai suatu bentuk warisan budaya turun-temurun, dari generasi ke generasi, yang dapat berbentuk sebagai ketrampilan, pengetahuan, sikap, nilai dan motif kelompok tertentu. Mengapa demikian, karena simbol merupakan tanda yang dirancang untuk menjadikan sumber acuan yang disepakati atau disetujui (Danesi, 2010:39) yang kemudian membentuk namanya masyarakat hingga menjadi sebuah negara.

Mengacu McIver (Budiardjo, 2008:46) menyatakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem hubungan-hubungan yang ditata “(society means a system

of ordered relations). Sistem hubungan dapat terbentuk karena manusia

mempunyai naluri (instinct) untuk hidup bersama dengan orang lain secara harmonis dengan menggunakan berbagai simbol agar dapat berinteraksi. Simbol-simbol tersebut tentunya dapat dipelajari dan disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi atau pelembagaan (Liliweri, 2003:9) yang kemudian membentuk identitas sosialnya sendiri. Karenanya identitas secara esensial dimaknai melalui tanda, selera, kepercayaan, sikap dan gaya hidup sekelompok masyarakat. Ketika simbol-simbol tersebut didekatkan pada kelompok atau suku bangsa tertentu, dia dapat dinamakan sebagai identitas etnis, yang dipahami sebagai entitas tetap, yang diciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak maju daripada sesuatu yang datang kemudian, dan sebagai deskripsi tentang diri yang diisi secara emosional dalam konteks situasi tertentu (Kumbara, 2008). Hall (1990) kemudian memahami identitas sebagai “sesuatu yang tidak pernah sempurna”, selalu dalam proses dan selalu dibangun dari dalam.

(2)

situasi-situasi tertentu dapat bermakna kekhawatiran, ketakutan atau keakuan. Ini terjadi ketika identitas ada didalam posisi defensif sebagaimana cenderung terjadi di Indonesia (Kumbara, 2008). Pemaknaaan ini dimungkinkan karena sebagai negara kesatuan, wilayah Indonesia terdiri dari berbagai kepulauan dengan berbagai latar belakang sosial budaya dan dalam sepanjang sejarahnya selalu mengalami pasang surut dalam membangun hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Akibatnya muncul sejumlah konflik yang dalam banyak hal mengakibatkan lepasnya beberapa wilayah kesatuan menjadi negara sendiri, seperti lepasnya Timor Timur. Dari berbagai konflik kedaerahan tersebut, yang hingga saat ini masih menyisakan satu daerah konflik yang belum tuntas penyelesaiannya, yaitu konflik di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Bagi orang Papua tanggal 1 Mei 1963 adalah awal malapetaka dan pemusnahan etnis Papua dan ras Melanesia. Mengapa demikian? karena dalam upaya penyelesaiannya sebelum orang Papua menyatakan pilihannya dalam PEPERA 1969, Indonesia sudah mengirimkan pasukan militer Indonesia dan menerapkan peraturan-peraturan Indonesia di Papua dan militer melakukan tugasnya dengan lebih kejam dalam menghadapi orang-orang Papua (Yoman, 2007:119. Namun setelah runtuhnya kekuasaan orde baru, bangsa Indonesia pun mengalami berbagai pergolakan yang sangat besar, sehingga membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman orde baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa Indonesia sepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk dan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan oleh lembaga wakil rakyat (DPR) (Budiardjo, 2008:134).

(3)

Proses transisi demokrasi yang diawali dari kejatuhan rezim orde baru Soeharto tahun 1998 berlangsung dengan penuh gejolak konflik elite, agama dan munculnya gerakan pemisahan (separatisme). Melihat situasi dan perkembangan terakhir dalam politik nasional, ada kecenderungan bahwa transisi menuju demokrasi secara damai atau non kekerasan masih jauh dari kenyataan. Sebaliknya, fenomena dan ancaman terjadinya kekerasan politik tetap tinggi, terutama di wilayah-wilayah yang sedang bergejolak seperti Aceh, Kepulauan Maluku dan Papua (Nugroho, 2001).

Kemerdekaan Papua dalam sejarahnya merupakan tonggak dimana bangsa Papua dapat menentukan nasibnya sendiri, dengan pemerintahan yang dibentuk oleh kolonial Belanda saat itu. Bagi orang Papua yang pernah berada, hidup, dan menyaksikan masa tahun 1950-1960-an sulit melupakan peristiwa demokrasi yang amat bersejarah ini. Tetapi sebaliknya, bagi bangsa Indonesia ini peristiwa yang melawan bangsa Indonesia. Sebelum orang Papua menyatakan pilihannya dalam PEPERA 1969, apakah ingin tetap dengan Indonesia atau memisahkan diri dengan mendirikan negara merdeka. Saat itu Indonesia sudah mengirimkan pasukan militernya dan menerapkan peraturan-peraturan Indonesia di Papua dan militer melaksanakan tugasnya dengan lebih kejam dalam menghadapi orang Papua (Yoman, 2009:220 & 228).

(4)

Lebih dari itu, Orang Papua merasa pernah menjadi bangsa berdaulat sejak 1 Desember 1961 silam. Hanya saja, kedaulatan itu telah dicabik-cabik Indonesia lewat aneksasi Papua ke dalam NKRI melalui Operasi Mandala 1961 dan berbagai operasi militer hingga manipulasi Pepera 1969. Munculnya era reformasi tahun 1998 terkait dengan kuatnya tuntutan rakyat Indonesia yang dipelopori kaum intelektual dan mahasiswa. Mereka menuding rezim Soeharto adalah penyebab berbagai krisis multi-dimensional (ekonomi, politik, hukum, etika/moral, dan sosial) di penghujung 1990-an. Soeharto didesak mengakhiri kekuasaannya dan bila perlu dihukum mati. Lewat akumulasi tuntutan dan aksi massa yang membesar di seantero wilayah Indonesia, rezim Orde Baru yang otoriter dan koruptif akhirnya tumbang.

Soeharto lengser pada 21 Mei 1998 setelah 31 tahun lebih berkuasa. Kekuasaan selanjutnya diambil alih B.J. Habibie yang saat itu menjadi wakil presiden. Kran demokrasi pun dibuka lebar-lebar sehingga partipasi politik rakyat meningkat. Lantas, banyak organisasi perjuangan Papua juga mulai bermunculan.Seperti komunitas ataupun ikatan mahasiswa yang berstudi di luar Papua yang melakukan demo damai ataupun unjuk rasa untuk menuntut penegakkan Hak Asasi Manusia Papua. Hal ini pun yang mendorong terjadinya aksi-aksi demonstrasi diiringi penaikan bendera Bintang Kejora di seluruh wilayah Papua dan Jawa dengan tuntutan kemerdekaan (Nugroho, 2001).

Seiring berjalannya waktu, provinsi Papua terus mengalami berbagai macam tindak kekerasan, kriminal, HAM, dan sebagainya, yang menyebabkan keresahan serta mengganggu aktivitas masyarakat. Hal ini ditopang dengan sistem oposisi media yang cenderung mengkonstruksi realitas politik di Papua sebagai bentuk dan atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh negara. Dampaknya sejumlah aksi perlawanan kembali muncul melalui pengibaran Bendera Bintang Kejora. Gerakan perlawanan ini kemudian disebut separatisme. Separatisme adalah kelompok yang memisahkan diri dari kesatuan/negaranya (Deni Kurniawan As’ari, 2006:192).

(5)

menyatakan bahwa sebagian dari pembingkaian penting yang dilaksanakan oleh media berhubungan dengan pengajuan siapa yang bertanggung jawab atas suatu masalah dan siapa yang dapat membantu memberi cara untuk perbaikan masalah tersebut.

McNair mengatakan komunikasi politik adalah murni membicarakan tentang alokasi sumber daya publik yang memiliki nilai, apakah itu nilai kekuasaan atau nilai ekonomi, petugas yang memiliki kewenangan untuk memberi kekuasaan dan keputusan dalam pembuatan undang-undang atau aturan, apakah itu legislatif atau eksekutif, serta sanksi-sanksi, apakah itu dalam bentuk hadiah atau denda (Cangara, 2011:29-30). Beranjak dari pengertian ini, sebenarnya komunikasi (politik) yang baik dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Melalui kebijakan yang dibuat untuk menyejahterakan masyarakat dapat dilakukan dengan baik. Karena itu dalam setiap peristiwa yang membawa nama Papua selalu didalamnya ada tuntutan dialog damai. Hal ini agar supaya ada solusi yang menyenangkan agar hak asasi manusia Papua dapat ditegakkan.

Sejak Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, pembangunan yang dilakukan masih sangat lamban. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia di masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur juga dikenang oleh tokoh dan masyarakat Papua karena pendekatan politiknya yang manusiawi atas persoalan Irian Jaya. Ia juga mengawali dialog menuju Otonomi Khusus Papua, mengenyampingkan pendekatan militeristik, tetapi juga membolehkan Bintang Kejora menjadi lambang daerah Papua.1

Sesungguhnya bagi orang Papua, bendera Bintang Kejora punya arti khusus, kibarannya menjadi simbol panggilan suci pada leluhur untuk membebaskan mereka dari kehidupan fana di dunia yang penuh derita. Kibaran Bintang Kejora adalah rangkaian puisi pengharapan. Mengharap akan

       

1Presiden Abdurrahman Wahid adalah presiden RI yang paling dikenang oleh tokoh dan masyarakat Papua

(6)

terbebaskan dari peluru, sangkur, dan bayonet. Suburkanlah kebunku dengan batatas (ubi) dan keladi (talas). Kembalikan hutan Papua, agar sagu dan babi tersedia untuk saya dan seluruh kerabat serta masyarakat. Bersihkan sungai-sungai agar ikan dan udang kembali melompat ke perahu. Jika pembebasan tidak kunjung datang pada saat bendera sudah dikibarkan, mereka lalu berintrospeksi, adakah sesuatu yang salah dalam proses sehingga ritus tidak berhasil. Maka, pada saat lain mereka akan mencoba mengibarkannya kembali.2

Media massa (pers) sebagai pilar ke-empat dalam negara demokrasi, selain Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, mempunyai fungsi selain menginformasikan, juga mempengaruhi khalayak, dimana media berfungsi sebagai sosial kontrol masyrakat. Mengutip tulisan bangsawan dan pemikir Swiss Benyamin Constant (1767-1834) “Dengan surat kabar kadang muncul

kericuhan, tapi tanpa surat kabar akan selalu muncul penindasan

mengingatkan bahwa demokrasi tidak dapat berdiri tegak tanpa memiliki empat pilar. Pilar legislatif sebagai fungsi aspirasi rakyat, eksekutif sebagai fungsi pemerintahan, yudikatif dan pers sebagai fungsi civil society.3

Misalnya dalam kasus bendera Aceh, Aceh belum bisa menerima usulan pemerintah pusat agar menerima bendera dan lambang provinsi itu. Namun perwakilan Aceh menjamin bendera Aceh hanya menjadi identitas daerah dan bukan tanda kedaulatan (Kompas, Rabu 8 Mei 2013). Hal ini disampaikan ketika perwakilan Aceh bertemu dengan tim Jakarta tanggal 7 Mei 2013 untuk membahas soal lambang bendera Aceh. Media massa dengan gencar menginformasikan proses pengesahan lambang daerah Aceh,bagaimana dan kapan mengenai kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah di informasikan ke publik, agar semua yang terjadi dapat dipahami orang banyak dengan jelas. Begitu pula dengan kasus bendera Bintang Kejora, yang sudah sekian lama ada tapi belum ada kejelasan dari pihak pusat (Jakarta). Dialog damai yang dinginkan masyarakat Papua pun sulit untuk direalisasikan, padahal dengan Aceh sangat mudah dilakukan. Dampaknya tiap kali aksi massa terjadi selalu menggunakan bendera bintang kejora dan diterbitkan oleh        

2

http://www.tempo.co.id/harian/kolom/17102000-2.html).

  3

http://politik.kompas.com/2011/06/03/pers-pilar-keempat-the-fourth-estate-370118

(7)

media massa seringkali salah diartikan. Misalnya, bendera Bintang Kejora sebagai symbol OPM.

Penelitian ini melihat bagaimana media massa (cetak) mewacanakan simbol Bendera Bintang Kejora sebagai simbol perlawanan orang Papua dalam pemberitaannya. Dalam hal ini penulis menggunakan media massa (cetak) sebagai sumber analisis. Penulis menganalisis bagaimana media cetak (Surat Kabar) baik lokal, nasional menyampaikan wacananya serta opini publik mengenai simbol bendera Bintang Kejora yang digunakan sebagai simbol perlawanan ataupun protes terhadap rezim yang berkuasa.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: Bagaimana media massa (cetak) mewacanakan Bendera Bintang Kejora sebagai simbol perlawanan orang Papua dalam pemberitaannya?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan wacana media mengenai simbol bendera Bintang Kejora yang digunakan sebagai simbol perlawanan orang Papua.

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini, sebagai berikut:

1.4.1 Secara teoritis, penelitian ini untuk menjelaskan wacana media dalam menyampaian informasi kepada khalayak mengenai bendera Bintang Kejora sebagai simbol perlawanan. Juga sebagai bahan informasi publik, dimana secara teori memberikan pengetahuan kepada khalayak luas akan makna simbol bendera bintang kejora bagi masyarakat orang asli Papua.

(8)

yang tak pernah terlepas dari kehidupan kita. Juga untuk melatih penulis dalam proses penulisan sebuah penelitian.

1.5Batasan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis membatasi fokus penelitian yang dilakukan yaitu dengan melihat isi pesan media cetak (surat kabar) dalam pemberitaan tentang aksi massa yang menggunakan simbol bendera Bintang Kejora. Dengan demikian penulis mengambil berita tersebut dari beberapa media cetak yang digunakan sebagai bahan penelitian, seperti harian Kompas dan Cenderawasih Pos, dimana media-media tersebut cukup aktif dalam pemberitaan mengenai aksi massa yang menanpilkan simbol bendera Bintang Kejora tersebut. Kedua media massa (cetak) yang digunakan sebagai bahan analisis dari penulis, yakni pemberitaan Kompas tanggal 02 Mei 2012 dan pemberitaan Cenderawasih Pos tanggal 21 April 2012. Selain itu, Harian Kompas merupakan media cetak yang statusnya media nasional, sedangkan Cenderawasih Pos adalah media lokal di Provinsi Papua.

1.6Konsep dan Definisi Yang Digunakan 1.6.1Bendera Bintang Kejora

Bendera Bintang Kejora, berdasarkan sejarah ini merupakan simbol kedaulatan bangsa Papua. Namun dalam perjalanan panjang yang telah terlewati, sejak bangsa Indonesia mengambil alih kekuasaan Tanah Papua simbol ini digunakan sebagai simbol perlawanan. Dimana mengartikan bahwa “kami” (Orang Papua) adalah bangsa yang merdeka.

1.6.2 Komunikasi Politik

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia hidup saling berdampingan dan saling berkomunikasi dengan yang lainnya. Untuk membangun pengertian dan kesepahaman dibutuhkan komunikasi.

(9)

significant extent have been shaped by or have consequences for political

system.”

System politik yang berlangsung pun memiliki aturan main didalamnya, yang berkaitan dengan keputusan-keputusan yang ditetapkan. McNair (2003) dinyatakan bahwa “political communication as pure discussion about the allocation of public resources (revenues), official authority (who

is given the power to make legal, legislative, and excecutive decision), and

official sanctions (what the state reward or punishes).”

1.6.3 Peran Media Massa

Peranan adalah pelaksanaan fungsi. Jika fungsi merupakan tugas yang diembankan pada sesuatu, maka peranan ialah ketika sesuatu itu melaksanakan fungsinya (Pareno, 2005:10). Media berita disebut lembaga keempat dari pemerintah. Istilah ini menunjukkan peran independen dari media adalah semacam watch-dog atas nama warga.

1.6.4 Analisis Wacana Kritis Van Dijk

Analisis Wacana model Van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial”. Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Harus juga dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu (Eriyanto, 2001: 221).

1.6.5 Gerakan Perlawanan Rakyat

Giddens (1993) menyatakan bahwa gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendapatkan data yang di perlukan, penulis akan menganalisa setiap percakapan yang ada di dalam film animasi tersebut yang kemudian akan di jadikan

Upaya Menumbuhkan Kembali Nilai Pancasila pada Masyarakat Indonesia Dengan memahami dan mempelajari kearifan lokal yang ada di suatu daerah seperti tradisi Bau Nyale,

Sebagaimana telah disampaikan pada prinsip penilaian hasil belajar, penilaian hasil belajar dilakukan secara (1) terpadu, yang berarti penilaian mencakup ranah sikap,

Yang pertama, mengingat perubahan-perubahan yang terus berlangsung dalam pembangunan dan pelaksanaan Undang-Undang dan peraturan baru di semua tingkat pemerintahan, Pemda kabupaten

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan media gambar dalam pembelajaran khususnya mata pelajaran IPA materi sumber daya alam

Herbisida 1,8-cineole 3,0 – 10,5 g/ha memiliki daya kendali yang berbeda dengan herbisida paraquat 900 g/ha dan penyiangan mekanis sehingga dapat diketahui bahwa herbisida

Salah satu metode dalam statistik yang dapat digunakan untuk memodelkan faktor- faktor yang mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto adalah dengan menggunakan metode Multivariate

Disimpulkan bahwa durasi renjatan, dan hematokrit (hemokonsentrasi) merupakan faktor prognosis terjadinya perdarahan gastrointestinal pada pasien DBD, sedangkan usia,