PENYESUAIAN DIRI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
DI SDN INKLUSI PULUTAN WETAN II
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Bayu Wiratsongko NIM. 11104241012
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
PENYESUAIAN DIRI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
DI SDN INKLUSI PULUTAN WETAN II
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Bayu Wiratsongko NIM. 11104241012
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
FEBRUARI 2016
PERSETUJUAN
Skripsi yang berjudul “Penyesuaian Diri Anak Berkebutuhan Khusus di SDN
Inklusi Pulutan Wetan II” yang disusun oleh Bayu Wiratsongko, NIM
11104241012 ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.
Yogyakarta, 30 Desember 2015
Pembimbing I,
Prof. Dr. Edi Purwanta
NIP. 19601105 198403 1 001
Pembimbing II,
Eva Imania Eliasa, M.Pd.,
NIP.19750717 200604 2 001
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri.
Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya tulis atau diterbitkan orang lain
kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah
yang lazim.
Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika
tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berkutnya.
Yogyakarta, 30 Desember 2015
Yang menyatakan,
Bayu Wiratsongko
NIM. 11104241012
PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “PENYESUAIAN DIRI ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS DI SDN INKLUSI PULUTAN WETAN II” yang disusun oleh Bayu
Wiratsongko, NIM 11104241012 ini telah dipertahankan di depan dewan penguji
pada tanggal 18 Januari 2016 dan dinyatakan Lulus,
DEWAN PENGUJI
Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal
Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd. Ketua Penguji ….………... ………
Isti Yuni Purwanti, M.Pd. Sekretaris Penguji ….…………... ………
Prof. Dr. Suparno, M.Pd. Penguji Utama ….…………... ………
Eva Imania Eliasa, M.Pd. Penguji Pendamping ….…………... ………
Yogyakarta, Februari 2016 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas NegeriYogyakarta Dekan,
Dr. Haryanto, M.Pd.
NIP.19600902 198702 1 001
MOTTO
“Setiap anak memiliki kemampuan mereka sendiri, potensi mereka sendiri, dan kesukaan mereka sendiri”
(Aamir Khan)
“kamu memiliki duniamu sendiri, ciptakan duniamu sendiri dan tersenyumlah pada kehidupan, semua itu terasa menyenangkan”
(Onizuka Eikichi)
“Menghina tidak menunjukkan penghargaan terhadap perasaan anak” (Goleman)
“Orang yang mampu bertahan adalah dia yang bisa sesuai dengan lingkungannya atau dia yang berusaha menciptakan sekitar seperti keinginannya”
(Anonim)
PERSEMBAHAN
Segala puji, hormat dan ucapan syukur bagi Tuhan Yesus Kristus atas kasih karunia
dan penyertaan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Hasil karya
tulisan ini saya persembahkan dengan segenap hati kepada :
1. Bapak dan ibu ku terkasih, sebagai tanda bakti, hormat, terimakasih dan
kebanggan yang tak terhingga atas segala kasih sayang, perjuangan,
pengorbanan, dukungan serta doa yang tulus tiada henti yang telah diberikan
selama ini.
2. Almamaterku tercinta prodi BK Fakultas Ilmu Pendidikan UNY.
3. Indonesia tercinta, Pak Jokowi dan Koh Ahok idolaku.
PENYESUAIAN DIRI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SDN
Sekolah inklusi, mulai dikembangkan dewasa ini dan sudah menampung banyak sekali anak-anak yang memiliki kategori kebutuhan khusus untuk menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus yang sedang menempuh pendidikan formal di sekolah dasar inklusi.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Setting penelitian ini dilaksanakan di SDN Inklusi Pulutan Wetan II. Subjek penelitian terdiri dari 7 orang dengan kriteria anak berkebutuhan khusus dan sedang menempuh pendiikan minimal pada kelas 3 SD serta 3 orang key informant yaitu guru dari ABK tersebut. Metode pengumpulan data dengan observasi dan wawancara mendalam. Uji keabsahan data pada penelitian ini menggunakan teknik triangulasi metode dan sumber. Teknik analisis data dalam penelitian ini mengacu pada model interaktif Miles & Huberman yang terdiri dari empat tahap yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyesuain diri pada ke tujuh subjek dilihat dari masing-masing aspek yaitu : 1) penyesuain diri psikologis yang meliputi unsur kognitif dan afektif, keenam subjek mampu menyesuaikan diri dengan baik sementara satu orang subjek tidak 2) penyesuian sosial yang meliputi unsur interaksi sosial dan partisipasi sosial, keenam subjek mampu menyesuaikan diri dengan baik sementara satu orang subjek tidak 3) reaksi penyesuain diri rata-rata dari subjek memunculkan reaksi penyesuaian diri represi sementara untuk reaksi penyesuaian diri konversi maupun rasionalisasi hanya ditunjukkan satu siswa.
Kata kunci : penyesuaian diri, anak berkebutuhan khusus, sekolah inklusi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih, karunia
dan tuntunan-Nya telah memberikan kekuatan lahir dan batin kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas
dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah mengijinkan penulis
menuntut ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah
membimbing selama perkuliahan penulis.
3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan
ijin dan pengarahan dalam melaksanakan penelitian ini.
4. Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd. dan Eva Imania Eliasa, M.Pd., sebagai dosen
pembimbing yang dengan berbesar hati meluangkan waktu dan membimbing
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen-dosen yang mengajar di Prodi Bimbingan dan Konseling yang
telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman kepada penulis.
6. Kepada semua subjek dan key informant dalam penelitian ini yang telah
memberikan banyak sekali informasi bagi penelitian ini.
7. Bapak dan ibu ku serta kakak ku yang selalu mendoakan, memberi dorongan,
semangat dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Keluarga saya yang kedua di kontrakan yang selalu memberikan semangat
dan keceriaan.
9. Teman-teman PMK UNY dan BK 2011 terimakasih telah menjadi partner
mengasah banyak soft skill dan menjadi tempat berdinamika.
10. Septi Wibakti yang bagaimanapun juga kehadirannya selalu membuat
bersemangat dan termotivasi.
11. Semua pihak yang telah mendukung penelitian dan penulisan skripsi ini.
Semua yang telah diberikan untuk penulis menjadi hal yang sangat
bermanfaat. Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat untuk semua yang
membutuhkan. Kiranya kasih dan damai sejahtera Tuhan menyertai kita semua. Amin
Yogyakarta, 30 Desember 2015
Penulis
Bayu Wiratsongko
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Pembatasan Masalah ... 7
BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Kajian tentang Penyesuaian Diri ... 12
1. Pengertian Penyesuaian Diri ... 12
2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri... 13
3. Karakteristik Penyesuaian Diri ... 14
4. Aspek Psikologis dan Sosial dalam Penyesusian Diri ... 17
a. Kognitif ... 17
b. Afektif ... 19
c. Sikap (attitude) ... 21
d. Interaksi Sosial ... 22
5. Reaksi-reaksi Penyesusian Diri ... 24
B. Kajian Tentang Anak Berkebutuhan Khusus ... 29
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus... 29
2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ... 30
3. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus ... 32
a. Tunagrahita ... 32
b. Lambat Belajar (Slow Learner) ... 34
C. Kajian tentang Pendidikan Inklusif ... 35
1. Pengertian Pendidikan Inklusif ... 35
2. Landasan Pendidikan Inklusif ... 37
a. Landasan Filosofis ... 37
b. Landasan Yuridis ... 38
c. Landasan Empiris ... 40
3. Prinsip-prinsip Dasar dalam Pendidikan Inklusif ... 41
4. Karakteristik Pendidikan Inklusif ... 44
5. Dampak Pendidikan Inklusif ... 45
6. Model Pendidikan Inklusif di Indonesia ... 46
D. Tugas Perkembangan Usia SD (Kanak-kanak Akhir) ... 47
E. Bimbingan Konseling Pribadi dan Sosial ... 49
F. Bimbingan Konseling Berkebutuhan Khusus ... 51
G. Penelitian yang Relevan ... 52
H. Paradigma Penelitian ... 54
I. Pertanyaan Penelitian ... 55
BAB III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 56
B. Setting Penelitian ... 57
C. Subjek Penelitian ... 58
D. Instrumen Penelitian... 59
1. Observasi ... 59
2. Wawancara ... 60
E. Keabsahan Data ... 62
F. Metode Analisis Data ... 63
1. Reduksi data (data reduction) ... 64
2. Penyajian data (display data ... 64
3. Verifikasi/kesimpulan ... 65
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 66
1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 66
2. Deskripsi Subjek dan Key Informant Penelitian ... 66
3. Deskripsi Hasil Penelitian ... 77
a. Penyesuaian Diri Psikologis ABK di Sekolah Inklusi ... 79
b. Penyesuaian sosial ABK di Sekolah Inklusi ... 89
c. Reaksi penyesusian diri ABK di sekolah inklusi ... 99
B. Pembahasan ... 103
C. Temuan Lapangan ... 108
D. Keterbatasan Penelitian ... 109
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 110
B. Saran ... 111
DAFTAR PUSTAKA ... 113
LAMPIRAN ... 116
DAFTAR BAGAN
Hal Tabel 1. Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman ... 65
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1. Instrumen Penelitian ... 66
Tabel 2. Penyajian Data ... 67
Tabel 3. Profil Subjek Penelitian ... 70
Tabel 4. Profil Key Informant ... 79
Tabel 5. Display Data Penyesuaian Diri PsikologisABK di Sekolah Inklusi ... 79
Tabel 6. Display Data Penyesuaian Sosial ABK di Sekolah Inklusi ... 89
Tabel 7. Display Data Reaksi Penyesuaian Diri ABK di Sekolah ... 99
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1. Rambu-Rambu Wawancara
Key Informant Guru ... 118
Lampiran 2. Pedoman Observasi ... 119
Lampiran 3. Hasil Wawancara ... 120
Lampiran 4. Hasil Observasi ... 129
Lampiran 5. Surat Izin Penelitian... 136
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, khususnya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang
unggul, berkompeten dan kompetitif dalam upaya menghadapi tantangan
perkembangan zaman yang meningkat secara tajam. Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara (UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Komitmen yang kuat sangat diperlukan dalam membangun kemandirian
dan pemberdayaan yang mampu memberi pilar penopang bagi kemajuan
pendidikan di masa yang akan datang. Pemerintah mempunyai tugas dan
tanggung jawab untuk merealisasikan visi pendidikan nasional yaitu untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa seperti tertulis pada pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945.
Pemerintah menjamin tentang hak memperoleh pendidikan yang layak
bagi setiap warga negara tak terkecuali, seperti yang tertuang pada
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pasal 31 amandemen ke IV tahun 2002 yang
menjamin kesejahteraan rakyatnya untuk memperoleh pendidikan yang layak, tak
terkecuali bagi mereka yang masuk ke dalam kategori berkebutuhan khusus.
Pendidikan tidak hanya diprioritaskan bagi anak-anak yang memiliki
tingkat kecerdasan tinggi maupun anak-anak yang berasal dari keluarga mampu,
tapi juga bagi meraka yang dianggap berbeda dan berkebutuhan khusus. Jika
pendidikan di Indonesia tidak memerhatikan masa depan anak yang berkebutuhan
khusus, bisa dipastikan bahwa mereka akan selalu tersisih dalam lingkungan
mereka tinggal, apalagi untuk mendapatkan perlakuan khusus hanya mereka
peroleh melalui pendidikan luar biasa yang memang diperuntukkan bagi
anak-anak yang berkelainan.
Tindak lanjut yang dilakukan pemerintah dalam upayanya memenuhi
hak-hak pendidikan yang layak bagi seluruh warga negaranya yang termasuk dalam
kategori berkebutuhan khusus adalah pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi yang
dicanangkan oleh pemerintah ditujukan sebagai solusi bagi mereka (anak
berkebutuhan khusus) untuk melanjutkan pendidikan tanpa harus merasa kurang
percaya diri ketika berkumpul dengan mereka yang memiliki kondisi fisik, sosial,
maupun psikologis yang normal.
Penyelenggaraan pendidikan inklusi memiliki landasan yuridis sebagai
payung hukum. Landasan tersebut tertuang dalamUU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2):
Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di
daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak
memperoleh pendidikan layanan khusus’. Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus’.
Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi’.
Sekolah inklusi, khususnya sekolah dasar (SD) inklusi mulai
dikembangkan dewasa ini dan sudah menampung banyak sekali anak-anak yang
memiliki kategori kebutuhan khusus untuk menempuh pendidikan di sekolah
tersebut. Sekolah-sekolah inklusi tersebut adalah sekolah-sekolah formal umum
yang ditunjuk oleh pemerintah melalui dinas pendidikan sebagai sekolah
non-SLB yang memfasilitasi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menempuh
pendidikan seperti anak normal pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus yang
berada di seklah inklusi tentunya juga memerlukan penyesuaian diri sama seperti
anak normal namun penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus tentu berbeda
dari anak-anak normal lainnya yang disebabkan adanya perbedaan fisik, mental,
maupun kemampuan kademik mereka. Perlunya penyesuaian diri anak
berkebutuhan khusus di sekolah inklusi dimaksudkan supaya anak berkebutuhan
khusus di sekolah inklusi mendapat hak pendidikannya secara layak.
Menurut M. Ali dan M. Asrori (2005:24) penyesuaian diri didefinisikan
sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang
diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan
internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas
keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar
atau lingkungan tempat individu berada. Penyesuaian diri mencakup dua aspek
yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial (Fatimah, 2006:68),
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan seseorang utnuk menerima dirinya
dengan lingkungan sekitar, sedangakn penyesuaian sosial adalah penyesuaian
individu dengan lingkungan sekitar dimana individu hidup dan berinteraksi
dengan orang lain.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan
Wuryantoro (observasi dan wawancara tanggal 6 Maret 2015), terdapat 5 (lima)
sekolah dasar inklusi di lingkup kecamatan Wuryantoro yakni SDN Gumiwang
Lor I, SDN Genukharjo III, SDN Pulutan Wetan II, SDN Wuryantoro IV, dan
SDN Mojopuro I. Data yang diperoleh dari kelima sekolah dasar penyelenggara
pendidikan inklusi empat diantaranya hanya terdapat kategori inklusi anak lambat
belajar, hanya SDN Pulutan Wetan II yang memiliki lebih dari satu kategori anak
berkebutuhan khusus. Kategori anak berkebutuhan khusus yang ada di SDN
Pulutan Wetan II adalah tuna grahita ringan, tuna grahita sedang dan lambat
belajar.
Peneliti memilih SDN Pulutan Wetan II sebagai setting penelitian karena
di sekolah tersebut berdasarkan data yang dihimpun mempunyai peserta didik
anak berkebutuhan khusus yang cenderung bervariasi, tidak hanya kategori
lambat belajar saja tetapi juga memiliki peserta didik berkategori tunagrahita
ringan maupun tunagrahita sedang.
Berdasarkan pengamatan di SDN Pulutan Wetan II (observasi tanggal
13-14 Maret 2015), sekolah inklusi masih banyak menemui kendala. Kendala yang
jelas dapat dilihat adalah seorang guru dapat menangani satu kelas yang sangat
heterogen : ada anak yang normal, anak tunagrahita ringan, tunagrahita sedang,
anak berkecerdasan rata-rata, dan anak slow learner. Satu perintah yang
diucapkan oleh guru belum tentu akan diinterpretasikan secara sama oleh anak
didik yang sangat heterogen tersebut. Kendala selanjutnya adalah kurang
memadainya dukungan sosial yang diberikan dalam lingkungan sekolah terhadap
anak berkebutuhan khusus baik dukungan sosial dari guru, teman sebaya, staf dan
warga sekolah lainnya. Kendala ini dapat diamati di lapangan bahwasanya anak
berkebutuhan khsusus sering mendapat bullying dari teman-teman nya baik itu
secara verbal maupun non verbal. Dipihak guru sendiri dukungan sosial yang
diberikan kepada anak berkebutuhan khusus masih dikatakan belum optimal.
Alasan guru belum terbiasa, tidak berkompeten dalam bidang menangani anak
berkebutuhan khusus, bukan berlatar belakang dari pendidikan luar biasa sering
kali dijumpai pada guru-guru di sekolah inklusi yang faktanya adalah berasal dari
sekolah formal umum tetapi kemudian ditunjuk dan atau mengajukan diri untuk
menjadi sekolah inklusi. Guru pendamping khusus disiapkan dari SLB (sekolah
Luar Biasa) terdekat yang seharusnya mendampingi dan hadir di sekolah tersebut
jarang atau bahkan bisa dikatakan tidak pernah hadir di sekolah tersebut untuk
mendampingi peserta didik berkebutuhan khusus. Berdasarkan permasalahan
yang ada inilah tentunya berpengaruh terhadap proses penyesuaian diri peserta
didik berkebutuhan khusus yang berada di SDN Pulutan Wetan II.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses penyesuaian diri anak
berkebutuhan khusus yang menempuh pendidikan di sekolah dasar inklusi baik
dari aspek penyesuaian diri psikologis maupun sosial dengan subjek penelitian
adalah SDN Pulutan Wetan II. Ketertarikan peneliti untuk meneliti masalah ini
adalah adanya perbedaan reaksi penyesuaian diri pada anak berkebutuhan khusus
yang berada di SDN Inklusi Pulutan Wetan II. Perbedaan tersebut misalnya ABK
A yang mendapat bullying kemudian berdampak pada kehadirannya di sekolah.
ABK B yang pada awal masuk tidak dapat menyesuaikan diri baik dalam
pergaulan maupun proses belajar lambat laun dapat menyesuaiakan.ABK C yang
menerima bullying kemudian melampiaskan pada perilakunya yang menjdi
agresif. Jarangnya penelitian tentang sekolah inklusi berkaitan tentang bimbingan
konseling berkebutuhan khusus turut mendorong peneliti untuk melakukan
penelitian yang berhubungan dengan sekolah dasar inklusi. Hal yang tak kalah
penting terkait dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah yang tertuang dalam pasal 10 ayat 1
bahwa konselor sekolah atau guru BK juga bertugas di dalam lingkup pendidikan
dasar (SD), maka penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan tentang
bagaimana penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi
bagi calon konselor yang akan terjun di sekolah dasar.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan beberapa latar belakang masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Belum diketahuinya penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus secara detail
pada sekolah dasar inklusi di SDN II Pulutan Wetan.
C. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dikemukakan sebelumnya, agar beberapa permasalahan dapat dikaji dan diteliti
lebih mendalam serta tidak ke luar konteks penelitian maka peneliti melakukan
pembatasan masalah. Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah
penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus pada sekolah dasar inklusi di SDN II
Pulutan Wetan
D. Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan
masalah yang telah dikemukakan di atas, perumusan masalah adalah, bagaimana
penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi di SDN Pulutan
Wetan II?
E. Fokus Penelitian
Penelitian ini mengenai penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus yang
mengambil lokasi di SDN Inklusi Pulutan Wetan II ini mengambil fokus
penelitian meliputi:
1. penyesuaian psikologis
2. penyesuaian sosial dan
3. reaksi penyesuaian diri.
F. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi di SDN Inklusi
Pulutan Wetan II
G. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membeikan manfaat sebesar-besarnya baik
secara teoritis maupun praktis dalam dunia pendidikan, yakni :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan informasi mengenai wacana, pengembangan, dan penelaahan
dari bentuk2 penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar
inklusi.
b. Memperkaya khasanah kepustakaan tentang proses terjadinya penyesuaian
diri anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi instansi sekolah
Manfaat praktis penelitian ini bagi sekolah dasar inklusi adalah
memberikan tambahan wawasan mengenai bentuk-bentuk dan proses
penyesuaian diri anak berkebutuhan khusus di dalam lingkungan sekolah.
Harapannya sekolah dapat menciptakan lingkungan dan suasana yang
ramah, nyaman, dan kondusif bagi penyesuaian diri anak berkebutuhan
khusus sehingga anak berkebutuhan khusus bisa mendapatkan hak
memperoleh pendidikan yang layak serta anak didik berkebutuhan khusus
dapat mengaktualisasikan dirinya di lingkungan sekolah.
b. Bagi guru
Manfaat praktis melalui penelitian ini bagi guru adalah
memberikan wawasan terkait karakteristik dan bentuk-bentuk dari anak
berkebutuhan khusus. Sehingga dengan mengetahui karakteristik dan
bentuk-bentuk anak berkebutuhan khusus tersebut guru tidak
menyamaratakan cara dan teknik dalam proses pembelajaran, karenan
memang anak berkebutuhan khusus memerlukan tekhnik yang khusus
pula dalam kegiatan belajar mengajar.
c. Bagi siswa berkebutuhan khusus
Manfaat praktis melalui penelitian ini bagi anak didik
berkebutuhan khusus di sekolah inklusi adalah tercapainya penyesuaian
diri yang ideal berkat dukungan lingkungan sekolah, guru, dan seluruh
masyarakat sekolah yang menciptakan suasana adaptif bagi anak didik
berkebutuhan khusus.
d. Bagi orang tua anak berkebutuhan khusus
Manfaat praktis penelitian ini bagi orang tua anak berkebutuhan
khusus adalah memberikan tambahan wawasan mengenai sekolah inklusi.
Hal ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan yang matang bagi
orang tua dalam hal pilihan sekolah bagi anaknya disamping sebagai
upaya tindak lanjut orang tua atas proses penyesuaian diri yang dilakukan
oleh anak dalam lingkungan sekolah, sehingga proses penyesuaian diri
anak tidak terhenti sebatas di lingkungan sekolah tetapi juga memperoleh
penguatan dari orang tua.
e. Bagi masyarakat
Manfaat penelitian ini bagi masyarakat adalah semakin terbukanya
wawasan masyarakat terhadap sekolah inklusi serta dapat memberikan
dukungan bagi anak berkebutuhan khusus dalam upayanya mencapai
penyesuain diri mereka di lingkungan sekolah.
H. Batasan Istilah
Batasan istilah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Penyesuaian diri
Penyesuaian diri merupakan proses yang dialami atau dilakukan
individu atau kelompok terhadap diri sendiri, orang lain, lingkungan serta
budaya berupa kognitif dan tingkah laku secara terus menerus hingga
tercapainya kesinambungan. Penyesuaian diri terjadi pada lingkungan yang
berbeda agar dapat berbaur dan berjalan seimbang. Manusia dituntut
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam
sekitarnya. Penyesuaian diri pada penelitian ini meliputi aspek psikologis
yang mencakup unsur kognitif dan afektif serta penyesuaian sosial yang
mencakup interaksi sosial dan partisipasi sosial.
2. Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kelainan
baik fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki kecerdasan dan bakat
istimewa
3. SD Inklusi
Sekolah dasar inklusi adalah sekolah dasar regular (biasa) yang menerima ABK dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK) dan ABK melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana prasarananya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian tentang Penyesuaian Diri
1. Pengertian penyesuaian diri
M. Ali dan M. Asrori (2005:24) penyesuaian diri didefinisikan sebagai
suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang
diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan
internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas
keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia
luar atau lingkungan tempat individu berada.
Scheneiders (Syamsu Yusuf, 2004:32) penyesuaian diri sebagai suatu
proses yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan individu dalam
upaya untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi ketegangan, frustasi, dan
konflik secara sukses serta menghasilkan hubungan yang harmonis antara
kebutuhan dirinya dengan norma atau tuntutan lingkungan tempat hidupnya.
Kartono (2000:16) penyesuaian diri merupakan usaha manusia untuk
mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Untuk itu,
semua manusia harus mampu atau dapat untuk mencari kebahagiaan yang
diinginkannya untuk membuat dirinya bahagia.
James F. Calhoun dan Joan Ross Acocella (Alex Sobur 2003: 526)
memberikan definisi yang lebih plastis mengenai penyesuaian diri yaitu
sebagai interaksi anda yang kontinu dengan diri anda sendiri, dengan orang
lain dan dengan dunia anda.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas tentang penyesuaian diri dapat
diambil kesimpulan penyesuaian diri merupakan proses yang dialami atau
dilakukan individu atau kelompok terhadap diri sendiri, orang lain,
lingkungan serta budaya berupa kognitif dan tingkah laku secara terus
menerus hingga tercapainya kesinambungan. Penyesuaian diri terjadi pada
lingkungan yang berbeda agar dapat berbaur dan berjalan seimbang. Manusia
dituntut menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan
lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu sendiri secara alamiah juga
mendorong manusia untuk terus menerus menyesuaikan diri.
2. Aspek-aspek penyesuaian diri
Menurut Fatimah (2006:68) aspek-aspek penyesuaian diri adalah :
a. Penyesuaian psikologis. Penyesuaian psikologis adalah kemampuan
seseorang untuk menerima diri demi tercapainya hubungan yang harmonis
antara dirinya dengan lingkungan sekitar. Ia menyatakan sepenuhnya siapa
dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dalam mampu
bertindak objektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut.
b. Penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan
sosial di tempat individu itu hidup dan berinteraksi dengan orang lain.
Hubungan-hubungan sosial tersebut mencakup hubungan dengan anggota
keluarga, masyarakat, sekolah, teman sebaya atau anggota masyarakat luas
secara umum. Proses yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian
sosial adalah kemauan untuk mematuhi nilai dan norma sosial yang
berlaku dalam masyarakat. Setiap kelompok masyarakat atau suku bangsa
memiliki sistem nilai dan norma sosial yang berbeda-beda. Dalam proses
penyesuaian sosial individu berkenalan dengan nilai dan norma sosial
yang berbeda-beda kemudian berusaha untuk mematuhinya, sehingga
menjadi bagian dan membentuk kepribadiannya.
Aspek-aspek penyesuaian diri dalam penelitian ini yaitu tentang
penyesuaian psikologis berkaitan dengan penerimaan diri terhadap
kelebihan dan kekurangan, serta penyesuain terhadap lingkungan sekolah,
guru, teman sebaya dan masyarakat sekolah.
3. Karakteristik penyesuaian diri
Menurut Sugeng Hariyadi, dkk (2003:67-69) terdapat beberapa
karakteristik penyesuaian diri yang positif, diantaranya:
a. Kemampuan menerima dan memahami diri sebagaimana adanya.
Karakteristik ini mengandung pengertian bahwa orang yang mempunyai
penyesuaian diri yang positif adalah orang yang sanggup menerima
kelemahan-kelemahan, kekurangan-kekurangan di samping
kelebihan-kelebihannya. Individu tersebut mampu menghayati kepuasan terhadap
keadaan dirinya sendiri, dan membenci apalagi merusak keadaan dirinya
betapapun kurang memuaskan menurut penilaiannya. Hal ini bukan berarti
bersikap pasif menerima keadaan yang demikian melainkan ada usaha
aktif disertai kesanggupan mengembangkan segenap bakat, potensi, serta
kemampuannya secara maksimal.
b. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya
secara objektif. Sesuai dengan perkembangan rasional dan perasaan.
Orang yang memiliki penyesuaian diri positif memiliki ketajaman dalam
memandang realita, dan mampu memperlakukan realitas atau kenyataan
secara wajar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ia dalam
berperilaku selalu bersikap mau belajar dari orang lain, sehingga secara
terbuka pula ia mau menerima feedback dari orang lain.
c. Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi. Kemampuan yang ada pada
dirinya dan kenyataan objektif di luar dirinya. Karakteristik ini ditandai
oleh kecenderungan seseorang untuk tidak menyia-nyiakan kekuatan yang
ada pada dirinya dan akan melakukan hal-hal yang jauh di luar jangkauan
kemampuannya. Hal ini terjadi pertimbangan yang rasional antara energi
yang dikeluarkan dengan hasil yang diperolehnya, sehingga timbul
kepercayaan terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya.
d. Memiliki perasaan yangan aman dan memadahi. Individu yang tidak lagi
dihantui oleh rasa cemas ataupun ketakutan dalam hidupnya serta tidak
mudah dikecewakan oleh keadaan sekitarnya. Perasaan aman mengandung
arti pula bahwa orang tersebut mempunyai harga diri yang mantap, tidak
lagi merasa terancam dirinya oleh lingkungan dimana ia berada, dapat
menaruh kepercayaan terhadap lingkungan dan dapat menerima kenyataan
terhadap keterbatasan maupun kekurangan-kekurangan dan
lingkungannya.
e. Rasa hormat pada manusia dan mampu bertindak toleran. Karakteristik ini
ditandai dengan oleh adanya pengertian dan penerimaan keadaan di luar
dirinya walaupun sebenarnya kurang sesuai dengan harapan atau
keinginannya.
f. Terbuka dan sanggup menerima umpan balik. Karakteristik ini ditandai
oleh kemampuan bersikap dan berbicara atas dasar kenyataan sebenarnya,
ada kemampuan belajar dari keadaan sekitarnya, khususnya belajar
mengenai reaksi orang lain terhadap perilakunya.
g. Memiliki kestabilan psikologi terutama kestabilan emosi. Hal ini
tercermin dalam memelihara tata hubungan dengan orang lain, yakni tata
hubungan yang hangat penuh perasaan, mempunyai pengertian yang
dalam dan sikapnya wajar
h. Mampu bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. Individu diharapkan
selaras dengan hak dan kewajibannya, sehingga bertindak dengan norma
yang berlaku.
i. Individu mampu mematuhi dan melaksanakan norma yang berlaku.
Individu mematuhi dan melaksanakan norma tanpa adanya paksaan dalam
setiap perilakunya. Sikap dan perilakunya selalu didasarkan atas kesadaran
akan kebutuhan norma, dan atas keinsyafan sendiri.
4. Aspek Psikologis dan Sosial dalam Penyesuaian Diri
Aspek psikologis dan aspek sosial psikologis menggambarkan semua
yang berhubungan dengan pikiran, perasaan, dan perilaku individu sehingga
aspek-aspek tersebut berkaitan erat dengan penyesuaian diri. Sosial berkaitan
dengan situasi-situasi individu dengan individu lainnya. Hal-hal yang
berhubungan dengan pribadi dan sosial adalah sebagai berikut :
a. Kognitif
Menurut Drever (Ahmad Fauzi, 2004: 62) disebutkan bahwa
kognitif adalah istilah umum yang mencakup segenap model pemahaman,
yakni persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian, dan penalaran.
Menurut Piaget (Paul Suparno, 2001: 108) menyebutkan bahwa
kognitif adalah bagaimana seseorang beradaptasi dan menginterpretasikan
objek dan kejadian-kejadian di sekitarnya. Piaget memandang bahwa
seseorang memainkan peran aktif dalam menyusun pengetahuannya
mengenai realitas dan tidak pasif menerima informasi. Selanjutnya
walaupun proses berpikir dan konsepasali mengenai realitas telah
dimodifikasi oleh pengalamannya dengan dunia sekitarnya, namun anak
juga aktif menginterpretasikan informasi yang ia peroleh dari pengalaman
serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsep asal.
Kognitif adalah cara informasi diolah dan dimanipulasi dalam
mengingat, berpikir dan mengetahui. Kognitif menggunakan proses
berpikir dengan membentuk konsep-konsep abstrak, menyelesaikan
beragam masalah, mengambil keputusan dan melakukan refleksi kritis
atau menghasilkan gagasan kreatif. Keterbukaan pikiran mampu
menerima sudut pandang orang lain dalam melihat satu hal (Laura A.
King, 2010: 4-7).
Disonansi kognitif adalah keadaan internal yang tidak nyaman
akibat adanya ketidaksesuaian antara dua sikap atau lebih serta sikap dan
tingkah laku. Menurut Leon Festinger (1957) disonasi terjadi apabila
terdapat hubungan yang bertolak belakang antara elemen-elemen kognitif
dalam diri individu. Hubungan bertolak belakang tersebut terjadi apabila
ada penyangkalan elemen kognitif yang satu dengan yang lain
Menurut Aronson (1968) dan festinger (1957) ada tiga jenis
mekanisme untuk mengurangi disonasi kognitif adalah sebagai berikut
(Sarlito W. Sarwono, 2011: 97-98):
1) Mengubah sikap atau perilaku menjadi konsisten satu sama lain.
2) Mencari informasi baru yang mendukung sikap atau perilaku untuk
menyeimbangkan elemen kognitif yang bertentangan.
3) Trivilization, yaitu mengabaikan atau menganggap ketidaksesuaian
antara sikap atau perilaku yang menimbulkan disonansi sebagai
sesuatu yang tidak penting.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan diatas adalah,
kognitif adalah kata yang digunakan untuk menjelaskan seluruh aktivitas
mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan
pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh
pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau
semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu
mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan,
memperkirakan, menilai, dan memikirkan lingkungannya. Di dalam
kognisi terkadang terdapat adanya ketidakserasian karena keadaan yang
bertolak belakang terhadap sikap ataupun perilaku orang lain yang tidak
sesuai.
b. Afektif
Menurut Laura A. King (2010: 8) afektif mencakup kemampuan
yang menyangkut aspek perasaan dan emosi. Pada ranah ini juga terbagi
dalam beberapa bagian yang meliputi aspek penerimaan terhadap
lingkungan , tanggapan atau respon terhadap lingkungan, penghargaan
dalam bentuk ekspresi nilai terhadap sesuatu, mengorganisasikan nilai
untuk menemukan pemecahan serta karakteristik dari nilai-nilai yang
menginternalisasi dalam diri.
Menurut Bloom (Ahmad Fauzi, 2004: 64) afektif adalah kawasan
yang berkaitan aspek-aspek emosional seperti perasaan, minat, sikap,
kepatuhan terhadap moral, apresiasi, dan cara menyesuaikan diri.
Piaget mengemukakan pengaruh afeksi dalam perkembangan
pemikiran seseorang. Unsur afeksi dalam kebutuhan seseorang untuk lebih
bersemangat untuk mengembangkan diri dan menentukan diri, untuk
mencintai dan menghargai, serta untuk membentuk motivasi yang kuat
bagi intelegensi seseorang. Afeksi menjadi motivasi untuk lebih semangat
mengembangkan pikiran. Afeksi menjadi semacam kekuatan pola tingkah
laku yang unsur kognitifnya merupakan struktur kognitif. Tidak ada pola
tingkah laku yang tidak memuat unsur afeksi sebagai motivasi tetapi
sebaliknya, tidak ada afeksi yang tanpa dipengaruhi persepsi dan
komprehensi yang membentuk struktur kognitif. Afeksi dan kognisi
merupakan dua aspek dalam perkembangan yang tidak dapat dipisahkan
(Paul Suparno. 2001: 110).
Kesimpulan mengenai afektif adalah perasaan yang ada pada
individu seperti suasana hati yang sedih, seanang, terharu dan lain
sebagainya. Afektif dan kognitif saling berhubungan dalam menentukan
tingkah laku individu.
c. Sikap (attitude)
Sikap adalah konsep yang dibentuk oleh tiga komponen yaitu
kognitif, afektif dan perilaku. Komponen kognitif berisi semua pemikiran
serta ide-ide yang berkenaan dengan objek sikap dapat berupa tanggapan
atau keyakinan, kesan, atribusi dan penilaian tentang objek sikap tadi.
Komponen afektif dari sikap meliputi perasaan atau emosi seseorang
terhadap objek sikap. Adanya komponen afeksi dari sikap dapat
diketahuai melalui perasaan suka atau tidak suka, senang atau tidak senang
terhadap objek sikap. Isi perasaan atau emosi pada penilaian seseorang
terhadap objek sikap inilah yang mewarnai sikap menjadi suatu dorongan
atau kekuatan. Komponen perilaku dapat diketahui melalui respon subjek
yang berkenaan dengan objek sikap. Respons yang dimaksud dapat berupa
tindakan atau perbuatan yang dapat diamati dan dapat berupa intense atau
niat untuk melakukan perbuatan tertentu sehubungan dengan objek sikap
(Sarlito W. Sarwono, dkk., 2009: 83-84)
Sikap manusia bukan sesuatu yang melekat sejak ia lahir tetapi
diperoleh melalui proses pembelajaran yang sejalan dengan perkembangan
hidupnya. Seseorang tumbuh dan berkembang dilingkungan keluarga serta
sikapnya terbentuk dari interaksinya bersama orang-orang disekitarnya.
Sikap dibentuk melalui proses belajar sosial, yaitu proses dimana individu
memperoleh informasi, tingkah laku, atau sikap baru dari orang lain
(Sarlito W. Sarwono, dkk., 2009: 84).
Dapat disimpulkan sikap merupakan konsep yang dibentuk dari
kognitif, afektif, dan tingkah laku. Sikap yang ada pada individu bukan
merupakan faktor bawaan. Sikap tumbuh dan berkembang melalui
pengalaman yang dialami oleh individu dalam perjalanan hidupnya.
d. Interaksi Sosial
Menurut H. Borner (1953) interaksi sosial adalah suatu
hubungan antara dua individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang
satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang
lain atau sebaliknya (Abu Ahmadi, 2002: 54).
Menurut Gillin dan Gillin (1954) interaksi sosial merupakan
hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang
perorangan, anatara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
perorangan dengan kelompok manusia. Apabila orang bertemu, interaksi
soaial dimuali pada saat itu. Mereka akan saling berjabat tangan, berbicara
bahkan berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan
bentuk-bentuk interaksi sosial.
Interaksi sosial memiliki faktor-faktor yang mempengaruhi, baik
secara tunggal maupun bergabung ialah (Abu Ahmadi, 2002: 57-64) :
1. Faktor Imitasi. Imitasi dilakukan dalam berinteraksi dengan
mengimitasi orang lain dalam berbahasa, tingkah laku tertentu, cara
memberi hormat, cara berterimakasih dan lain-lain. Imitasi dalam
interaksi sosial mempunyai sisi yang negatif yaitu mungkin yang
diimitasi itu salah sehingga menimbulkan kesalahan kolektif yang
meliputi jumlah manusia yang besar dan kadang-kadang orang yang
mengimitasi sesuatu tanpa kritik sehingga dapat menghambat
perkembangan kebiasaan berpikir.
2. Faktor Sugesti. Sugesti yang dimaksud ialah pengaruh psikis baik
yang datang dari dirinya sendiri maupun orang lain, yang pada
umumnya diterima tanpa adanya kritik. Dalam psikologi, sugesti
dibedakan adanya auto-sugesti yaitu sugesti terhadap diri yang datang
dari dirinya sendiri atau hetero-sugesti yaitu sugesti yang datang dari
orang lain.
3. Faktor Identifikasi. Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan
untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah
maupun batiniah. Proses identifikasi mula-mula berlangsung secara
tidak sadar kemudian irrasional , yaitu berdasarkan perasaan-perasaan
atau kecenderungan-kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan
secara rasional. Identifiksi berguna untuk melengkapi sistem
norma-norma, cita-cita dan pedoman-pedoman tingkah laku orang yang
mengidentifikasi tersebut.
4. Faktor Simpati. Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu
terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar rasional.
Melainkan berdasarkan penilaian perasaan seperti juga pada proses
identifikasi. Bahkan orang dapat tiba-tiba merasa tertarik kepada orang
lain dengan sendirinya karena keseluruhan cara-cara bertingkah laku
menarik baginya. Simpati hanya akan berlangsung dan berkembang
dalam relasi kerja sama antara dua orang atau lebih, bila terdapat
saling pengertian.
Dapat disimpulkan interaksi sosial adalah kontak anatar
individu satu dengan yang lain dengan syarat saling berkomunikasi
dan adanya kontak sosial yang terjadi antar individu atau kelompok
sosialnya.
5. Reaksi-reaksi penyesuaian diri
Suatu kesadaran tentang adanya reaksi penyesuaian utama, atau
mekanisme pertahanan mungkin membuat individu sanggup lebih efektif
menghadapi ketegangan-ketegangan dan tekanan-tekanan yang relatif normal
dari kehidupan setiap hari yang dapat memengaruhi individu dan orang lain.
Menurut Mahmud (Alex Sobur, 2003 : 531) Mekanisme penyesuaian
adalah berbagai kebiasaan yang biasa dipakai orang untuk memuaskan
motif-motifnya. Termasuk di sini ialah mekanisme pemecahan masalah secara
realistis dan mekanisme yang lebih bersifat primitif berupa sikap agresif
melawan hal-hal yang merintangi.
Bentuk respon jika motif terpuaskan secara berhasil, muncullah
mekanisme-mekanisme yang dipergunakan untuk mereaksi terhadap
keberhasilan. Misalnya, orang lalu menunjukkan sikap berterimakasih, atau
mungkin bergirang hati, atau mungkin pula lalu mereka merasa bersalah.
Sebaliknya, kalau seseorang tidak berhasil memuaskan motifnya,
terjadilah berbagai mekanisme reaksi terhadap kegagalan, kekurangan diri
sendiri dan terhadap motif yang tidak terpuaskan itu. Misalnya saja,
orang-orang lalu mengutuk kegagalan tersebut, atau menyalahkan orang-orang lain dan
membalas dendam.
Menurut Kossem (Alex Sobur, 2003:532) kalangan psikolog telah
membuat aneka istilah untuk melukiskan banyak tipe reaksi penyesuaian pada
kekecewaan. Berikut ini adalah beberapa reaksi tipikal yang ada kalanya yang
dialami oleh orang-orang bila berupaya menanggulani banyak kekecewaan
hidup.
a. Rasionalisasi (Rationalization). Terjadi bila individu berupaya
memberikan penjelasan yang menyenangkan (rasional) tapi tidak usah
benar. Penjelasan untuk perilaku yang khusus dan sering tidak diinginkan.
Sebenarnya orang yang berupaya membenarkan perilaku yang
dirasakannya tidak dikehendaki secara sadar atau bawah sadar terlibat
dalam rasionalisasi.
b. Konpensasi (Conpensation). Merujuk pada konsep konpensasi ketika
membicarakan suatu situasi saat orang-orang dengan perasaan
ketidakcukupan (sesungguhnya maupun dibayangkan) berusaha sendiri
dengan upaya tambahan guna mengatasi perasaan-perasaan tidak aman.
Beberapa bentuk konpensasi mengkin sangat bermanfaat atau positif,
sedangkan yang lain-lain merugikan atau negatif. Konpensasi positif
mungkin terdapat pada diri seseorang yang anaknya meninggal dunia
karena cacat lahir kemudian menghabiskan waktu, kemampuan, dan
tenaganya untuk membantu anak-anak cacat.
c. Negativisme (Negativism). Suatu reaksi yang dinyatakan sebagai
perlawanan bawah sadar pada orang-orang atau objek-objek lain.
Orang-orang dengan kegelisahan yang khas memang cenderung meyakini bahwa
makhluk-makhluk hidup yang lain tidak sama merasa seperti mereka,
tetapi hanya sedikit saja dari kita yang bisa hidup tenang, terlepas dari
penampilan “luar”.
d. Kepasrahan (Resignation). Kepasrahan adalah suatu istilah psikologi yang
umumnya merujuk pada suatu tipe kekecewaan mendalam yang sangat
kuat, yang ada kalanya dialami oleh individu-individu. Kondisinya
mungkin berlangsung lama atau sementara. Kepasrahan dapat dikatakan
sebagai keadaan menyerah, menarik diri dari keterlibatan seseorang
dengan suatu keadaan khusus.
e. Pelarian (Flight). Pelarian mencakup sesuatu yang lebih jauh daripada
kepasrahan, yakni melarikan diri dari situasi khusus yang menyebabkan
kekecewaan atau kegelisahan. Pelarian dapat mengakibatkan seseorang
mengambil suatu pekerjaan baru sebagai sarana untuk melarikan diri dari
pekerjaaan yang sekarang, melamun, lari dari rumah, bahkan meminum
obat-obatan yang melebihi dosis. Seseorang yang menunjukkan reaksi
pelarian, secara sadar maupun bawah sadar, ingin menghindari suatu
keadaan dan mengasumsikan bahwa segala sesuatu akan menjdi lebih baik
“dimanapun, kecuali disini”.
f. Represi (Represion). Jika tanpa diketahui, seseorang mengeluarkan
pengalaman atau perasaan tertentu dari kesadarannya, berarti ia
melakukan suatu reaksi penyesuaian diri yang disebut represi. Tidak
semua represi harus negatif. Jiwa manusia adalah jiwa ajaib yang
berkecenderungan untuk menekan aspek-aspek yang tidak menyenangkan.
Misal, bertahun-tahun sesudah liburan, umpamanya, anggota-anggota
keluarga mungkin teringat akan berbagai peristiwa yang menyenangkan
mereka, namun mereka cenderung menekan, atau melupakan
bagian-bagian yang kurang menyenangkan, seperti ban kempes, perut yang
terganggu dan nyamuk-nyamuk yang menggigit.
g. Kebodohan semu (Pasaleudostupidity). Dalam beberapa hal tindakan
lupa, sebaliknya dari represi peristiwa-peristiwa secara tak sadar, adalah
disengaja dan digunakan sebagai alat untuk menghindarkan tipe-tipe
kegiatan tertentu. Disebut sebagai kebodohan semu, hal ini tampak pada
sementara orang yang dengan sadar berupaya memberi kesan menjadi
pelupa.
h. Pemikiran obsesif (Obsessive Thinking). Istilah ini merujuk pada perilaku
seseorang yang memperbesar semua ukuran realistis dari masalah atau
situasi yang dia alami. Misal, orang-orang yang dipekerjakan dalam
pekerjaan yang monoton dan membosankan, hanya sedikit menghendaki
pemikiran kreatif atau pemusatan pikiran, mungkin terus menerus
mempertimbangkan masalah pribadi atau perusahaan dalam pikiran
mereka. Barangkali masalah-masalah khusus tidak luar biasa gawat, tetapi
obsesi terhadap semua ini dapat menimbulkan pengaruh yang
dilebih-lebihkan, dengan menciptakan masalah tampak menjadi luar biasa
hebatnya.
i. Pengalihan (Displacement). Pengalihan dapat didefinisikan sebagai proses
psikologis dari perasaan-perasaan terpendam yang kemudian dialihkan ke
arah objek-objk lain daripada ke arah sumber pokok permasalahan.
Pengambinghitaman (scapegoating, yaitu menyalahkan orang lain karena
problem atau kegelisahan-kegelisahan sendiri merupakan salah satu
bentuk pengalihan.
j. Perubahan (Convension). Istilah ini digunakan untuk melambangkan suatu
proses psikologis, dalam hal kekecewaan-kekecewaan emosional
diekspresikan dalam gejala-gejala jasmani yang sakit atau tak berfungsi
sebagaimana mestinya.
B. Kajian tentang anak berkebutuhan Khusus
1. Pengertian anak berkebutuhan khusus
Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat
luas. Dalam sudut pandang pendidikan kebutuhan khusus, keberagaman
sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang dan perkembangan yang
berbeda-beda, oleh karena intu setiap anak dimungkinkan akan memiliki
kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda-beda pula, sehingga
setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan
sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak.
Anak berkebutuhan khusus ditujukan pada segolongan anak yang
memiliki kelainan pada perbedaan sedemikian rupa dari anak rata-rata normal
dalam segi fisik, mental, emosi, sosial atau gabungan dari ciri-ciri itu dan
menyebabkan mereka mengalami hambatan untuk mencapai perkembangan
yang optimal sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan khusus untuk
mencapai perkembangan yang optimal (Mega Iswari, 2007:43).
Menurut Mulyono (Mohamad Takdir Ilahi, 2013:137) anak
berkebutuhan khusus dapat dimaknai dengan anak-anak yang tergolong cacat
atau menyandang ketunaan, dan juga anak potensial dan berbakat.
Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan
khusus sementara atau permanen sehingga membutuhkan pelayanan
pendidikan yang lebih intens (Mohamad Takdir Ilahi, 2013:138).
Anak berkebutuhan khusus menurut Undang-undang nomor 12
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 32 ayat 1,
dan penjelasan pasal 15, yaitu mereka yang memiliki kelainan baik fisik,
emosional, mental, sosial, dan atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa
(Haenudin, 2013 : 9).
Pengertian anak berkebutuhan khusus apabila ditarik dari pendapat
para ahli tersebut adalah anak-anak yang memiliki karakteristik yang
menyimpang dari anak rata-rata normal pada umumnya baik dari segi fisik,
psikologis, sosial, emosi maupun gabungan dari lebih dari satu karakteristik
tersebut, sehingga memerlukan adanya pelayanan yang bersifat khusus bagi
mereka.
Anak-anak yang memiliki kelainan secara edukatif dikategorikan
sebagai anak berkebutuhan khusus bilamana kelainannya itu menyababkan
perlunya mengubah program pendidikan untuk menyesuaikan dengan
kebutuhannya. Seringkali pandangan yang timbul di masyarakat bahwa anak
berkelainan adalah anak berkebutuhan khusus, walaupun tidak selamanya
anak berkelainan memerlukan kebutuhan yang “khusus”.
2. Klasifikasi anak berkebutuhan khusus
Anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan ke dalam dua
kelompok besar, yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara
(temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen).
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah
anak yang memiliki hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang
disebabkan faktor-faktor eksternal sementara menurut Hurlock (Mohamad
Takdir Ilahi, 2013: 140) anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap
(permanen) adalah anak yang memiliki hambatan belajar dan perkembangan
akibat langsung karena kecacatan atau bawaan sejak lahir.Menurut Kirk dan
Gallagher (Mega Iswari, 2003:46) mengklasifikasikan anak dengan kebutuhan
khusus berdasarkan ciri-cirinya :
a. Perbedaan intelektual, termasuk anak-anak yang berintelektual superior
dan anak-anak lambat belajar.
b. Perbedaan dalam indera, termasuk anak-anak dengan kerusakan dalam
pendengaran, kerusakan penglihatan.
c. Perbedaan komunikasi termasuk anak-anak yang tidak mampu belajar atau
mempunyai gangguan berbicara atau bahasa.
d. Perbedaan perilaku , termasuk anak-anak yang emosinya terganggu atau
secara sosial tidak dapat menyesuaikan diri.
e. Perbedaan fisik, termasuk anak-anak yang cacat indera yang mengganggu
gerakan tubuh dan fasilitas tubuh.
f. Cacat ganda, termasuk anak-anak dengan kombinasi kecacatan (tuli-buta,
keterbelakangan mental dan sebagainya)
Menurut Dembo (Depdiknas, 2003) mengklasifikasikan anak-anak
berkebutuhan khusus untuk keperluan pembelajaran sebagai berikut :
a. Tunagrahita (mental retardation)
b. Kesulitan belajar (learning disabilities)
c. Gangguan perilaku atau gangguan emosional (behaviour disorder)
d. Gangguan bicara dan bahasa (Speech and language disorder)
e. Kerusakan pendengaran (hearing impairments)
f. Kerusakan penglihatan (visual impairments)
g. Kerusakan fisik dan gangguan kesehatan (physical and other health
impairments)
h. Cacat berat atau cacat ganda (severe and multiple handicap)
i. Berkecerdasan luar biasa tinggi atau berbakat (gifted and talented)
3. Karakteristik anak berkebutuhan khusus
Anak berkebutuhan khusus ada berbagai macam karakteristiknya
seperti anak tunagrahita, tunadaksa, tunarungu, tunawicara, tunanetra,
tunalaras, gifted, tallented, dan lambat belajar, tetapi didalam penelitian ini
hanya akan dijelaskan beberapa macam karakteristik anak berkebutuhan
khusus menyesuaiakan dengan apa yang ada di SD Inklusi Pulutan Wetan II
yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan lambat belajar. Karakteristik
tersebut akan dijelaskan dalam uraian di bawah ini sebagai berikut :
a. Tunagrahita
Anak tunagrahita atau anak dengan inteligensi rendah diketahui
melalui tes inteligensi (Yoswan Awandi, 2007 : 17). Seseorang yang
memiliki IQ di bawah 70 (skala Weschler) disebut tunagrahita.
Tunagrahita atau keterbelakangan mental dapat dibagi menjadi :
1) Keterbelakangan mental riangan (IQ = 55-59)
2) Keterbelakangan mental sedang (IQ = 40-54)
3) Keterbelakangan mental berat (IQ = 25-39)
4) Keterbelakangan metal berat (IQ = < 24)
Anak tunagrahita akan mengalami kesulitan yang besar untuk
menyelesaikan program pendidikan dasar. Dakam sistem pendidikan
inklusi, anak tunagrahita diperbolehkan masuk ke dalam kelas reguler
dengan konsekuensi diperlukan layanan PLB di sekolah reguler yang
menyelenggarakan pendidikan inklusi.
SD Inklusi Pulutan Wetan II memiliki peserta didik dengan
kategori tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang yang tengah
menempuh pendidikan dasar di sekolah tersebut.
Menurut Sumantri (Yoswan Azwandi, 2007 : 33-34) intelektual
yang rendah menimbulkan dampak pada aspek fisik/penampilan dan aspek
kemampuan belajar. Ciri-ciri fisik dan penampilan anak dengan gangguan
intelektual antara lain :
1) Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar.
2) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia.
3) Perkembangan bicara/bahasa terlambat.
4) Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan.
5) Koordinasi gerak kurang.
6) Sering keluar ludah dari mulut (ngiler).
Dampak dari keterbatasan intelektual/tunagrahita dalam belajar,
keterampilan membaca, keterampilan motorik, dan keterampilan lainnya.
Perbedaan keterampilan belajar anak tunagrahita terdapat pada tiga daerah
yaitu :
1) Tingkat kemahirannya dalam keterampilan tersebut
2) Generalisasi dan transfer keterampilan yang baru diperoleh
3) Perhatian terhadap tugas yang diembannya.
b. Lambat belajar (Slow learner)
Lambat belajar adalah istilah yang digunakan untuk menyebut
anak yang ber-IQ antara 70-90, mereka termasuk kategori borderline
(garis batas) yang secara pendidikan disebut slow learner (lambat belajar).
Gejala yang tampak pada anak lambat belajar antara lain prestasi belajar
yang rendah, sering tidak naik kelas, sulit menangkap perlajaran, dan
sebagainya.
Anak yang tergolong lambat belajar masih dapat mengikuti
program pembelajaran reguler pada jenjang pendidikan dasar tapi
membutuhkan bantuan yang intensif.
Dampak dari kelambatan belajar pada anak slow learner dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1) Rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah
2) Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat
dibanding teman-teman seusianya.
3) Daya tangkap terhadap pelajaran terlambat
4) Pernah tidak naik kelas.
Anak lambat belajar memiliki kebutuhan pembelajaran khusus
antara lain :
1) Waktu yang lebih lama dibandingkan anak lain
2) Kecerdasan dan kesabaran guru untuk tidak terlalu cepat dalam
memberikan penjelasan
3) Diperbanyak latihan daripada hafalan dan pemahaman
4) Menuntut digunakannya media pembelajaran yang variatif oleh guru
5) Diperbanyak kegiatan remedial.
C. Kajian Tentang Pendidikan Inklusif
1. Pengertian pendidikan inklusif
Pengertian pendidikan inklusif meurut Direktorat PLB adalah model
pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khuus untuk
belajar bersama-sama dengan anak-anak sebayanya di sekolah umum dan
pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah tersebut,
sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif (Budiyanto, 2005: 17-18).
O’ Neil mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sistem pelayanan
PLB yang mempersyaratkan agar semua ALB dilayani di sekolah-sekolah
terdekat dikelas biasa bersama teman-teman seusianya (Budiyanto, 2005: 18).
Menurut Ormrod (Syafrida Elisa dan Aryani Tri Wrastari, 2013)
Inklusi adalah praktek yang mendidik semua siswa, termasuk yang mengalami
hambatan yang parah ataupun majemuk, di sekolah-sekolah reguler yang
biasanya dimasuki anak-anak non berkebutuhan khusus.
J. David Smith (2006) mengatakan bahawa inklusi berarti penerimaan
anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan,
interaksi sosial dan konsep diri (visi-misi) sekolah.
Pengertian-pengertian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahawa
pendidikan inklusi adalah adalah sebuah model pendidikan untuk semua yang
mengakomodasi anak berkebutuhan khusus untuk masuk di kelas reguler
seperti teman-teman sebayanya yang normal. Berdasarkan definisi pendidikan
inklusi yang telah dijelaskan maka diperoleh suatu pengertian bahwa sekolah
dasar inklusi adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia
dan ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6 dengan
kriteria semua dapat menempuh pendidikan di sekolah tersebut baik peserta
didik normal maupun berkebutuhan khusus.
2. Landasan pendidikan inklusi
Penyelenggaraan pendidikan inklusi dalam konteks sekolah formal di
Indonesia tentu memiliki landasan yang kuat. Berikut ini akan dijelaskan
landasan yang menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia
(Komunitas Peduli Anak Berkebutuhan Khusus) adalah sebagai berikut:
a. Landasan filosofis
1) Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang
negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka tunggal ika’. Keragaman
dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya
merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan
dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2) Pandangan religius masyarakat Indonesia antara lain ditegaskan
bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan
seseorang di hadapan Tuhan bukan karena fisik tetapi imannya, (3)
Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri
(4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling melengkapi .
3) Pandangan universal hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap
manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak
kesehatan, hak pekerjaan.
b. Landasan yuridis
1) UUD 1945 (Amandemen) pasal 31: (1) berbunyi ‘Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) ’Setiaap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’.
2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 48
‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9
(sembilan) tahun untuk semua anak. Pasal 49 ’Negara, pemerintah,
keluarga, dan orangtua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan’.
3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 5
ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2): Warganegara yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di
daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil
berhak memperoleh pendidikan layanan khusus’. Ayat (4) ‘Warga
negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2)
‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi’. Pasal 32 ayat
(1) ‘Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik
yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan layanan
khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil
atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan/atau mengalami
bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.’
Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa
‘Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk
peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki
kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa
satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah’.
4)
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar NasionalPendidikan. Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan
meliputi Standar isi, Standar proses, Standar kompetensi lulusan,
Standar pendidik dan kependidikan, Standar sarana prasarana, Standar
pengelolaan, Standar pembiayaan, dan Standar penilaian pendidikan.
Dalam PP No. 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan
pendidikan khusus terdiri atas: SDLB, SMPLB dan SMALB.
5) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003
tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif:
menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota
sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari: SD, SMP,
SMA, dan SMK.
c. Landasan empiris
1) Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Rights)
2) Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of the Child)
3) Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990 (World
Conference on Education for All)
4) Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan
Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the
equalization of opportunities for persons with disabilities)
5) Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994 (The
Salamanca Statement on Inclusive Education)
6) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000 (The
Dakar Commitment on Education for All)
7) Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju
pendidikan inklusif”
8) Rekomendasi Bukittinggi (2005)
3. Prinsip-prinsip dasar dalam pendidikan inklusi
Mulyono (Budiyanto, 2005: 54-58) mengidentifikasi prinsip-prinsip
dalam pendidikan inklusif menjadi sembilan elemen dasar yang
memungkinkan pendidikan inklusif dapat dilaksanakan. 9 prinsip tersebut
adalah:
a. sikap guru yang positif terhadap kebhinekaan, maksudnya dalam hal ini
sikap guru menjadi hal paling penting. Sikap guru tidak hanya
berpengaruh pada setting kelas tetapi juga dalam pemilihan strategi
pembelajaran. Sikap positif guru terhadap keragaman kebutuhan siswa
dapat ditingkatkan dengan cara memberi informasi yang akurat tentang
siswa dan cara penangannya.
b. Interaksi promotif, pendidikan inklusi menuntut adanya interaksi promotif
antara siswa. Interaksi promotif yang dimaksud adalah upaya untuk saling
menolong dan saling memberi motivasi dalam belajar. Interaksi promotif
hanya dimungkinkan jika terdapat rasa saling menghargai dan saling
memberikan andil dalam meraih keberhasilan bersama.
c. Pencapaian kompetensi akademik dan sosial, pendidikan inklusi tidak
hanya menekankan pencapaia tujuan dalam bentuk kompetensi akademik
tetapi juga kompetensi sosial, oleh sebab itu perencanaan pembelajaran
harus melibatkan tidak hanya pencapaian tujuan akademik tetapi juga
tujuan keterampilan bekerjasama mencakup keterampilan memimpin,