PELAJARAN SEJARAH ISLAMISASI MELALUI METODE
RESITASI DENGAN OBJEK “MENARA KUDUS”
(Studi Kasus di SMA NU Al Ma’ruf Kudus)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh : Gufron S860208006
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
PELAJARAN SEJARAH ISLAMISASI MELALUI METODE
RESITASI DENGAN OBJEK “MENARA KUDUS”
(Studi Kasus di SMA NU Al Ma’ruf Kudus)
Disusun oleh :
Gufron
S 860208006
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing :
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Dr. Warto, M.Hum ... ... NIP. 131633898
Pembimbing II Prof. Dr. Siswandari, M.Stats. ... ... NIP:131476622
Mengetahui
Ketua Program Pendidikan Sejarah
PELAJARAN SEJARAH ISLAMISASI MELALUI METODE
RESITASI DENGAN OBJEK “MENARA KUDUS”
(Studi Kasus di SMA NU Al Ma’ruf Kudus)
Disusun oleh :
Gufron
S 860208006
Telah disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua : Prof. HB. Sutopo, M.Sc, M.Sc, Ph.D ... ...
NIP:130444310
Sekretris : Dr.Suyatno Kartodirjo. ... ... NIP: 130324012
Anggota Penguji :
1. Dr. Warto, M. Hum ... ... NIP:131633898
2. Prof.Dr.Siswandari,M.Stat ... ... NIP: 131476622
Mengetahui Ketua
Direktur PPS UNS Program Studi Pendidikan Sejarah
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
Nama : Gufron NIM : S 860208026
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa Tesis yang berjudul Pembelajaran
Sejarah Islamisasi Melalui Metode Resitasi Dengan Objek “Menara Kudus”
(Studi Kasus di SMA NU Al Ma’ruf Kudus) adalah benar-benar karya saya
sendiri.
Hal-hal yang bukan hasil karya saya sendiri dalam tesis ini diberi tanda citasi
dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti peryataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang
saya peroleh dari tesis tersebut.
Kudus, Mei 2009
Yang membuat pernyataan
MOTTO
“Mempertahankan tradisi dan budaya berarti menghormati karya leluhur dan
mempertahankan jatidiri bangsa.” (anonim)
“Sejarah adalah ilmu tentang waktu dan kehidupan manusia. Waktu mencakup
masa lampau, masa kini, dan masa depan, yang dijadikan pijkan manusia dalam
menjalani kehidupan. Manusia Sejarah akan tetap ada selama pembuat sejarah
masih ada di dunia, yaitu manusia” (Shodiq Mustofa, 2006 : 1).
PERSEMBAHAN
Karya Tesis ini dipersembahkan kepada :
1. Orang tua ku tercinta yang telah mengukir jiwa dan ragaku
2. Istri ku tersayang, Sri Indarti yang penuh setia memberikan
motivasi dan membangkitkan semangat dalam studiku.
3. Alvin dan Romy yang menjadi pelita hatiku.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih yang telah melimpahkan
berkat, rahmat dan karunia– Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
tesis ini.
Dalam penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan
dorongan semua pihak sehingga bisa selesai tepat waktu. Untuk itu dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. dr. HM. Syamsulhadi, Sp.Kj, Rektor Univesitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D Direktur Program Pascasarjana Univesitas
Sebelas Maret Surakarta.
3. Dr. Warto, M. Hum., Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Program
Pascasarjana Univesitas Sebelas Maret Surakarta; selaku pembimbing satu.
4. Dra. Sutiyah M. Pd., M. Hum., selaku Sekretaris Program Studi Pendidikan
Sejarah Program Pascasarjana Univesitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Dr. Suyatno Kartodirdjo, selaku Penasehat Program Studi Pendidikan
Sejarah Program Pascasarjana Univesitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Prof. Dr. Siswandari, M.Stats, selaku pembimbing kedua dalam penyusunan
Tesis.
7. Para dosen pengampu mata kuliah pada Program Studi Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Univesitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Drs. Slamet Hariyadi, MM, Kepala UPT Pendidikan Kecamatan Dawe
9. Drs. HM Munawar Cholil selaku Kepala Sekolah dan segenap guru,
khususnya guru sejarah di SMA NU Al Ma’ruf Kudus.
10. Ketua dan pengurus YM3SK (Yayasan Masjid, Menara dan Makam Sunan
Kudus) yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.
11. Kedua orang tuaku yang telah membesarkanku dengan penuh kasih
sayang,dan kedua mertuaku yang selalu mendukungku.
12. Anak–anakku dan istri tercinta yang telah banyak membantu serta memberi
motivasi sampai selesainya penyusunan tesis ini.
13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini.
Atas semua bantuan, dorongan, bimbingan dan kritikan, saya
mengucapkan terima kasih, semoga Allah Yang Maha Kuasa memberi limpahan
rahmat dan karuniaNYA.
Kudus, Mei 2009
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING.……….. ii
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PENGUJI...……….. iii
SURAT PERNYATAAN ...………... iv
MOTTO .. ..……….... v
PERSEMBAHAN... vi
KATA PENGANTAR ....………... vii
DAFTAR ISI ....………. ix
DAFTAR LAMPIRAN .……….. xi
DAFTAR GAMBAR ...xii
ABSTRAK ……….... xiii
ABSTRACT ..………... xiv
BAB I : PENDAHULUAN ……….... 1
A. Latar Belakang Masalah ………... 1
B. Rumusan Masalah ……… 8
C. Tujuan Penelitian ………... 8
D. Manfaat Penelitian ………...………... 9
BAB II : KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR ……… 11
A. Kajian Teori ..………... 11
1. Pembelajaran Sejarah ...………... 11
3. Metode Pemberian Tugas atau Resitsi ………... 34
4. Menara Kudus ... 47
B. Penelitian yang Relevan ...……….... 52
C. Kerangka Pikir ..………... 53
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ...……….... 56
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ..………... 56
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ...………... 57
C. Sumber Data ………...………... 60
D. Teknik Cuplikan (Sampling) ………... 62
E. Teknik Pengumpulan Data ...………... 64
F. Validitas atau Keabsahan Data ..………... 68
G. Analisis Data ...………... 70
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73
A. Deskripsi Latar ... 73
B. Sajian Data ... 87
C. Pokok-Pokok Temuan ... 124
D. Pembahasan ... 130
BAB V : SIMPULAN,IMPLIKASI DAN SARAN... 138
A. Simpulan ... 138
D. Implikasi Hasil Penelitian ... 140
E. Saran-saran ... 143
Daftar Pustaka ... 145
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Daftar Nama Informan Penelitian... 150
Lampiran 2 : Catatan Lapangan Hasil Wawancara... 151
Lampiran 3 : Catatan Hasil Observasi... 201
Lampiran 4 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran... 202
Lampiran 5 : Profil dan Peta Kudus... 211
Lampiran 6 : Profil SMA NU Al Ma’ruf Kudus... 213
Lampiran 7 : Photo Dokumen Penelitian... 215
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 : Bagan Kerangka Pikir ... 55
Gambar 2 : Skema Trianggulasi Data... 69
Gambar 3 : Kema Trianggulasi Metode ... 69
ABSTRAK
Gufron, S860208006, 2009. Pembelajaran Sejarah Islamisasi Melalui Metode Resitasi dengan objek “ Menara Kudus” (Studi Kasus di SMA NU Al –
Ma’ruf Kudus. Tesis. Program Studi Pendidikan Sejarah, Program Pascasarjana,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Untuk mengetahui pemahaman guru terhadap Menara Kudus kaitannya dengan proses Islamisasi, (2) Untuk mengetahui pelaksanaan metode resitasi dalam pembelajaran sejarah Islamisasi di Menara Kudus, (3) Untuk mengetahui kendala yang muncul dalam penggunaan metode resitasi
Penelitian ini dilakukan di SMA NU Al – Ma’ruf Kudus dengan bentuk deskriptif kualitatif. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam, observasi dan analisis dokumen. Teknik pengambilan sample yang digunakan adalah (cuplikan sampling) purposive sampling. Guna memperoleh validitas data digunakan triangulasi data/sumber dan triangulasi metode. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisa interaktif dengan komponen utama, reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan.
ABSTRACT
Gufron, S860208006, 2009. Islamization History Learning Through
Recitation Method With The Objek “Menara Kudus” (Case Study in SMA NU Al –
Ma’ruf Kudus). Thesis. History Education Department, Post Graduated program,
Sebelas Maret University, Surakarta.
The aim of this research are to describe : (1) how deep the teacher comprehension toward The Menara Kudus dealing with Islamization process, (2) recitation method applies of Islamization history in The Menara Kudus, (3) the difficulties in the learning process by using recitation method.
The location of this research is SMA NU Al – Ma’ruf Kudus and used descriptive qualitative research. The data were obtained through in – depth interview, observation, and content analysis. They were then analyzed by way of three interactive phases, namely : data reduction, data display and conclusion drawing. The sampling technical used in this research is purposive sampling. To get the data validity, this research used data triangulation and methodological triangulation. The technique of analysis applied in this research in interactive.
The result of this research shows that : (1) First, Holy history SMA NU Al-Ma'Ruf teacher have comprehended Holy Tower as history study source in Indonesia proposedly reason of exploiting, and persyatan criterion, execution stages;steps and procedure and also the study administration prepared covering : syllabus, SK, KD, RPP, Indicator, assignation instrument, evaluate and Analyse Subject ( AMP) and also comprehend school mission and vision. (2) Second, method resitasi implementation in history Islamisasi study with executed Holy Tower object step by step start from preparation, execution, evaluate and follow-up. (3) Third, constraint which emerge in method resitasi use technical constraint and also non technical, constraint intern and also constraint ekstern. Strive resolving from various constraint faced in technical good method resitasi use and also non technical, intern and also ekstern can be [done/conducted] by way of constructing cooperation with related/relevant component like teacher, student, headmaster, parent/ pupil sponsor, school committee, and YM3SK to look for resolving solution / follow up various problems which emerge in method resitasi use at history Islamisasi study exploitedly Holy Tower as history source can be existed so that the target to increase the quality and quality of history study can be reached as expected.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, baik secara pribadi maupun sebagai modal dasar
pembangunan bangsa. Dalam proses belajar mengajar, guru tidak hanya
menyampaikan materi pelajaran tetapi berupaya untuk menyajikan materi
dengan menyenangkan serta mudah dipahami oleh siswa. Apabila guru tidak
dapat menyampaikan materi dengan tepat dan menarik dapat menimbulkan
kejenuhan serta berkurangnya minat, motivasi dan gairah dalam belajar
sehingga berdampak pada ketidaktuntasan dalam belajar.
Berkaitan dengan masalah pembelajaran sejarah, guru sejarah dapat
menjadi faktor penyebab kurang antusias siswa terhadap mata pelajaran
sejarah apabila guru dalam penyajiannya kurang menarik. Kebanyakan guru
sejarah ketika mengajar hanya bersifat verbalisme karena hanya memberikan
cerita yang diulang-ulang dan membosankan.
Diungkapkan oleh Geoffrey Partington (dalam Widja 1989 : 03)
bahwa praktik-praktik pengajaran yang berlaku selama ini sering dicap
sebagai pelajaran hafalan yang didominasi oleh situasi ''too much chalk and
talk and by a lack of involvement of children in their own learning” . Hal ini
disampaikan sehingga hasil belajarnya kurang maksimal.
Atmadinata dalam Isjoni dan Arif Ismail (2008 : 148) menyatakan,
pembelajaran sejarah kurang menarik dan membosankan, karena guru–guru
sejarah hanya membeberkan fakta–fakta kering berupa urutan tahun dan
peristiwa belaka, model serta teknik pembelajarannya tidak berubah. Dalam
buku yang sama Dynneson & Gross menyatakan, mata pelajaran sejarah
merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat merangsang pemikiran dan
mengembangkan kognitif serta mempengaruhi tingkah laku siswa, namun
metodologi dan gaya pengajaran yang kurang kondusif tidak membangkitkan
motivasi siswa. Keadaan yang kurang kondusif ini disebabkan oleh masih
banyaknya guru belum memiliki kemampuan dan ketrampilan yang memadai
dalam memilih serta menggunakan berbagai model pembelajaran yang mampu
mengembangkan iklim pembelajaran yang kondusif untuk belajar, dan tetap
menggunakan model pembelajaran konvensional (Osnardi dalam Isjoni dan
Arif Ismail, 2008 : 149).
Realitas yang terjadi dalam proses pembelajaran sejarah ternyata
masih terdapat masalah yang timbul karena guru sejarah kurang optimal dalam
memanfaatkan maupun memberdayakan sumber pembelajaran. Kegiatan
pembelajaran sejarah di sekolahan cenderung masih berpusat pada guru
(teacher centered), textbook oriented, dan monomedia. Oleh karena itu tidak
dapat disalahkan apabila banyak siswa menganggap proses pembelajaran
sejarah sebagai sesuatu yang membosankan, monoton, kurang menyenangkan,
kreativitas siswa tidak muncul. Hal tersebut sepaham dengan apa yang
diutarakan guru sejarah SMA NU AL Ma’ruf Kudus, sebagian besar siswa
beranggapan bahwa pelajaran sejarah adalah pelajaran yang membosankan
dan cenderung bersifat hafalan. Sebagian dari mereka mengalami kejenuhan
dalam proses pembelajaran di kelas. Banyak siswa yang takut untuk bertanya
tentang sesuatu yang belum dimengerti serta mengemukakan pendapat atau
gagasan. Banyak dari mereka yang memilih duduk diam, mencatat, dan
mendengarkan pada saat pembelajaran berlangsung, sehingga proses
pembelajaran terkesan membosankan.
Penyempurnaan kurikulum pengajaran sejarah harus menempatkan
sejarah lokal sebagai materi ajar. Pengembangan kurikulum dilakukan untuk
mewujudkan peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat siswa. Sejarah lokal
memiliki arti khusus, yaitu sejarah dengan ruang lingkup spasial di bawah
sejarah nasional. Sejarah lokal barulah ada setelah adanya kesadaran sejarah
nasional (Abdullah, 2004 : 3). Hal ini untuk membangkitkan kesadaran sejarah
nasional serta menghindarkan siswa tidak tahu atau tidak mengenal nilai
sejarah yang ada di sekitarnya.
Materi sejarah lokal yang paling dekat dengan kondisi psikologis siswa adalah sejarah kontemporer. Kedudukan sejarah lokal kontemporer sangat urgen dalam pengajaran sejarah. Dengan materi sejarah lokal kontemporer, diharapkan ada kesinambungan dalam menyemangati siswa agar dapat merasa bahwa diri dan lingkungannya merupakan bagian dari kehidupan yang lebih jelas yakni NKRI. (http://jtiriialsejarah/ malang2OOla.litiiil)
Guru perlu memahami dan mengembangkan serta menerapkan metode atau
strategi yang tepat dalam pelajaran sejarah dengan memperhatikan kelebihan
dan kekurangan suatu metode pembelajaran. Selain itu dalam
mengembangkan materi ajar sejarah, selain materi yang umum terdapat dalam
silabus, para guru dapat mengembangkan sesuai dengan nuansa lokal.
Tujuannya agar siswa dapat belajar secara mandiri dan mampu meningkatkan
motivasi dalam belajar sejarah yang didasarkan pada situasi dunia nyata dan
mendorong siswa menghubungkan antara pengetahuan yang dimiliki dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dan pada akhirnya hasil belajarnya
meningkat.
Dari kenyataan itu, dapat dikatakan bahwa kualitas pembelajaran
sejarah perlu dimaksimalkan, utamanya dalam upaya pemahaman nilai-nilai
sejarah lokal dengan pemanfaatan monumen peringatan. Untuk itu diperlukan
model atau strategi yang tepat dalam pembelajaran di kelas agar pembelajaran
menjadi lebih efektif.
Melalui pembelajaran yang aktif, para siswa mengembangkan
pemahaman yang lebih baik tentang prinsip-prinsip yang diajarkan dan
bagaimana menerapkan prinsip-prinsip tersebut kedalam masalah yang
sesungguhnya. Ketrampilan yang tinggi pun dapat dicapai misalnya, analisis,
evaluasi, sintesis, dan pemecahan masalah. Siswa belajar menjadi kreatif
karena mereka juga dapat memperluas serta menjelaskan pandangannya
mengenai cara-cara untuk mencapai tujuan pembelajaran khusus.
mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. Mulyasa dalam
Isjoni dan Arif Ismail (2008 : 145) menyatakan, KTSP merupakan paradigma
baru pengembangan kurikulum yang memberikan otonomi luas pada setiap
satuan pendidikan dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan
proses belajar mengajar di sekolah. Kurikulum jenis ini lebih difokuskan
karena selama ini kurikulum ditentukan pemerintah, maka sekarang lebih
difokuskan kepada Kepala Sekolah dan tentunya muara dari kebijakan ini
adalah pelaksanaan kurikulum menjadi tanggung jawab guru didalam proses
pembelajaran. Dalam rangka mengimplementasikan berlakunya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), seorang guru khususnya guru sejarah
perlu mengantisipasinya dengan menerapkan model-model pembelajaran yang
tepat dan memberi keefektivitasan kepada siswa. Salah satu model yang dapat
diterapkan dan berkaitan dengan upaya pemanfaatan nilai-nilai sejarah lokal
adalah model pembelajaran kontekstual atau CTL (Contextual Teaching and
Learning). Pembelajaran CTL merupakan konsep pembelajaran yang
menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia
kehidupan nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan
kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran
kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada siswa,
dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru
bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hafalan, tetapi
mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa
Kegiatan siswa dalam pembelajaran kontekstual diarahkan agar siswa
melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang
lain. Situasi belajar dibuat menyenangkan dan tidak membosankan sehingga
siswa belajar dengan gairah dan minat yang tinggi. Untuk mata pelajaran
sejarah, model pembelajaran kontekstual sangat mendukung dengan
pemanfaatan monumen peringatan yang ada di lingkungan sekitar siswa.
Pelajaran sejarah hendaknya dimulai dari fakta-fakta sejarah yang
dekat dengan lingkungan tempat tinggal siswa, baru kemudian pada
fakta-fakta yang jauh dari tempat tinggalnya. Dalam satu pembelajaran di dalamnya
dapat terintegrasi dengan materi yang lain. Sebagai bahan acuan belajar, dapat
dipergunakan berbagai sumber sejarah lokal yang ada di lingkungan
sekitarnya, sehingga siswa aktif mencari sumber yang diperlukan. Di sini,
siswa terlatih berdiskusi dengan teman dan terlatih menjalin komunikasi
dengan orang lain atau masyarakat sekitar sedangkan guru lebih berperan
sebagai fasilitator.
Metode pengajaran apa pun juga yang dipakai menjadi prinsip dalam
setiap pembelajaran bahwa siswa harus aktif. Kegiatan pengajaran yang dinilai
baik ialah melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar, di mana siswa
perlu diberi kesempatan dan kemudahan untuk menemukan sendiri
pengetahuannya (Moedjanto, 1989 : 15)
Agar siswa dapat lebih aktif dalam menggali dan menganalisis
peristiwa sejarah, maka guru hendaknya cermat dalam memilih dan
menggunakan metode mengajar terutama metode mengajar yang mempunyai
melalui metode resitasi, yaitu guru memberikan sejumlah tugas kepada siswa
untuk mempelajari sesuatu kemudian siswa harus dapat
mempertanggungjawabkannya.
Atas dasar pemikiran itu di sekolah sudah sewajarnya apabila
dikenalkan metode penelitian historis secara sederhana, agar menemukan
sendiri suatu fakta sejarah. Sudah pasti hal ini membuat mereka menjadi
tertarik dengan sejarah. Para siswa perlu untuk diberi penjelasan tentang
langkah-langkah dalam penelitian sejarah. Seperti : merumuskan masalah,
mengumpulkan sumber-sumber informasi, mengkaji keabsahan sumber
informasi, menyusun hipotesis yang menjelaskan peristiwa atau simulasi yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, menyimpulkan serta
mentafsirkan hasil penelitian
Guru SMA NU Al Ma’ruf Kudus menyadari akan berbagai
permasalahan yang menyebabkan rendahnya prestasi akademik dan kurang
berminatnya siswa pada mata pelajaran sejarah, dengan harapan agar siswa
lebih termotivasi pada pelajaran sejarah, lebih aktif dalam menggali dan
menganalisis peristiwa sejarah, memahami fakta-fakta sejarah yang dekat
dengan lingkungan tempat tinggal siswa, untuk mempelajari materi
pembelajaran. Kompetensi Dasar: menganalisis pengaruh perkembangan
agama dan kebudayaan Islam terhadap masyarakat diberbagai daerah di
Indonesia dan menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Budha,
dan Islam di Indonesia; pihak sekolah menerapkan materi sejarah Islamisasi
dengan metode resitasi, memanfaatkan menara Kudus sebagai sumber sejarah.
dekat dengan sekolah,dan ada keterkaitan dengan sejarah penyebaran Islam di
Kudus.Maka penelitian ini mengambil judul : Pelajaran Sejarah Islamisasi
Melalui Metode Resitasi, dengan Objek Menara Kudus (Studi Kasus di SMA
NU Al Ma’ruf Kudus).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
permasalahan yang perlu dikaji melalui penelitian. Adapun rincian
pertanyaan dalam masalah tersebut adalah:
1. Bagaimana pemahaman guru Sejarah di SMA NU Al–Ma’ruf Kudus
terhadap Menara Kudus sebagai sumber pembelajaran sejarah Indonesia?
2. Bagaimana implementasi metode resitasi dengan objek Menara Kudus dalam
pembelajaran sejarah Islamisasi ?
3. Kendala apa saja yang muncul dan bagaimana upaya pemecahannya dalam
pembelajaran sejarah Islamisasi dengan metode resitasi di Menara Kudus?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Pemahaman guru sejarah SMA NU Al-Ma’ruf terhadap Menara Kudus
kaitannya dengan proses Islamisasi.
2. Pelaksanaan metode resitasi dalam pelajaran sejarah Islamisasi di Menara
Kudus.
3. Kendala yang muncul dan upaya pemecahannya dalam penggunaan metode
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan satu
kajian ilmiah tentang permasalahan yang ditemui dalam pengajaran sejarah,
agar hasil belajar meningkat khususnya berkaitan dengan nilai – nilai sejarah
lokal. Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah, sebagai
bukti proses penyebaran Islam di Tanah Jawa.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharap mampu memberikan manfaat
bagi:
a. Siswa
1) Strategi, agar siswa lebih termotivasi untuk belajar sejarah
2) Siswa lebih kreatif dalam memecahkan masalah yang dihadapi dengan
penerapan berbagai strategi yang dimiliki.
3) Siswa memperoleh pengalaman langsung dari lingkungan belajar
mengenai kebebasan dalam belajar sesuai perkembangan berpikirnya.
4) Siswa lebih mengenal, memanfaatkan, dan melestarikan monumen
bersejarah yang ada di lingkungan sekitar.
b. Guru
1) Memperoleh pengalaman untuk meningkatkan ketrampilan memilih
strategi pembelajaran yang bervariasi.
2) Dapat memperbaiki dan meningkatkan sistem pembelajaran di kelas.
bermanfaat bagi perbaikan dalam proses pembelajaran serta
meningkatkan kemampuan diri sendiri.
c. Sekolah
1) Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan bantuan yang
baik pada sekolah dalam rangka perbaikan proses belajar mengajar
khususnya pada mata pelajaran sejarah.
2) Dapat digunakan sebagai masukan dalam usaha meningkatkan
prestasi belajar sejarah.
d. Pemerintah
Memberikan gambaran nyata tentang kondisi pembelajaran sejarah
dan memberikan alternatif pemecahan masalahnya. Serta memberikan
masukan tentang kebijakan pendidikan yang ideal.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori
Menurut Akhmad Rohani (1995 : 64). pembelajaran merupakan serangkaian aktivitas belajar mengajar, yang dimulai dari perencanaan,
pelaksanaan dan diakhiri dengan tindakan evaluasi, yang selanjutnya
diadakan tindakan perbaikan atau pengayaan. Pengajaran juga merupakan
suatu sistem, di mana dalam sistem tersebut ada seperangkat unsur yang
tersusun dalam suatu susunan yang saling berhubungan dan saling
menunjang antara unsur yang satu dengan unsur lainnya dalam suatu
aktivitas guna mencapai suatu tujuan. Rancangan pengajaran akan
mengikuti langkah-langkah yang terdiri dari tujuan, bahan pengajaran,
metode yang digunakan, serta evaluasi dari semua proses pembelajaran yang
telah dilaksanakan.
Menurut I Gde Widja (2002 : 95), pengajaran sejarah merupakan
suatu aktifitas belajar mengajar, di mana seorang guru menerangkan pada
siswanya tentang gambaran kehidupan masyarakat masa lampau yang
menyangkut peristiwa-peristiwa penting dan memiliki arti khusus.
Menurut Sudjatmoko (1984 : 80). pengajaran sejarah hendaknya
diselenggarakan sebagai suatu aktivitas penggambaran bersama dalam
proses belajar mengajar, mulai dari pengajar dan apa yang diajarkan kepada
siswa dengan tujuan untuk mencari kebenaran dari ilmu pengetahuan.
Dalam pengajaran sejarah ada tiga hal yang harus dicapai, yaitu
kawasan kognitif, afektif dan psikomotorik. Hal ini didasarkan pada teori
Bloom, sedang tujuan pengajaran sejarah itu sendiri pada umumnya untuk
menyadarkan siswa untuk mengenal dirinya sendiri serta dapat memberikan
perspektif sejarah yang baik dan benar. Menurut Sartono Kartodirdjo (1989
: 20), melalui pengajaran sejarah, diharapkan siswa dapat dikembangkan
fungsi genetis dan fungsi didaktis.
Menurut Dudung Abdurrahman (1999 : 1), peristiwa sejarah bukan
hanya kejadian fisik, melainkan peristiwa-peristiwa bermakna yang
terpantul sepanjang waktu, sehingga dapat terungkap segi-segi
pertumbuhan, kejayaan dan keruntuhannya.
Menurut Hans (2000 : 42) melalui pengajaran sejarah, orang dapat
menemukan dirinya sendiri atau identitas dirinya, sehingga dengan
demikian diharapkan akan bisa membawa dirinya ke dalam tatanan
kehidupan yang lebih bagus, serta tidak merugikan kepentingan orang lain.
Menurut Sartono Kartodirdjo (1993 : 59) makna pengajaran sejarah untuk
mengkaji lebih mendalam bentuk proses pengajaran sejarah yang sesuai
dengan karakteristik sejarah dan kemungkinan fungsi serta tujuan sejarah
tercapai secara maksimal. Fungsi dan tujuan pengajaran sejarah akan
tercapai apabila siswa mampu mendalami dan menghayati secara mendalam
peristiwa – peristiwa sejarah yang ada serta mampu mengambil makna dan
nilai-nilai dari peristiwa sejarah tersebut. Untuk itu dalam proses
pembelajaran sejarah guru harus mampu menghadirkan peristiwa masa lalu
kehadapan siswa, sehingga memungkinkan siswa untuk melakukan
pengamatan secara langsung dan pengkajian secara mendalam terhadap
tersebut tentunya sangat tidak mungkin, karena terbentur pada sifat dari
peristiwa itu sendiri.
Menanggapi hal tersebut Sudjatmoko (1996 : 53), menganjurkan agar
membuang cara mengajar yang mengutamakan fakta sejarah, karena
pengajaran sejarah yang terbatas pada fakta-fakta sejarah akan mematikan
segala minat siswa terhadap sejarah. Oleh karena itu ia menyarankan agar
pembelajaran disekolah-sekolah dikembangkan metode riset yang
memungkinkan para siswa terlibat langsung sebagai peserta dan pelaku
dalam kegiatan penemuan serta pengkajian sejarah. Pengembangan proses
pembelajaran sejarah dengan metode riset tersebut merupakan proses
pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu-ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya kemajuan pemikiran tentang
pembelajaran sejarah dan upaya memaksimalkan pencapaian tujuannya.
Hamid Hasan (1998 : 37), mengemukakan tiga pandangan tentang
tujuan kurikulum pendidikan sejarah di sekolah, yaitu pandangan
perenialisme, esensialisme, dan rekonstruksi sosial. Pandangan perenialisme
merupakan pandangan tradisional yang beranggapan bahwa pendidikan
sejarah merupakan wahana untuk ”transmission of culture” . Menurut
pandangan ini pendidikan sejarah hendaknya dapat mengembangkan
kemampuan siswa ke arah penghargaan terhadap hasil karya agung bangsa
di masa lampau, memupuk rasa bangga sebagai bangsa, rasa cinta tanah air,
persatuan dan kesatuan nasional. Pandangan esensial beranggapan bahwa
sejarah sebagai disiplin ilmu dan bukan hanya terbatas pada penyampaian
fakta sejarah, tetapi harus mengembangkan kemampuan intelektual
keilmuannya dan mampu berpikir kritis dan analistis. Sedang pandangan
rekonstruksi sosial menekankan pendidikan sejarah harus dikaitkan dengan
kehidupan masa kini dengan berbagai permasalahannya, diharapkan siswa
dapat menggunakan pengetahuan dan pemahaman
kecenderungan-kecenderungan di masa lampau sebagai pelajaran untuk mengkaji dan
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dan lebih lanjut siswa akan
memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan
masyarakat.
Menurut Samana (1994 : 44) guru IPS sejarah dituntut memiliki kemampuan-kamampuan yang diperlukan. Secara umum seorang guru harus
memenuhi beberapa kompetensi utama. Kompetensi berarti suatu hal yang
mengembangkan kualifikasi atau kemampuan seseorang baik secara kualitas
maupun kuantitas. Menurut I Gde Widja (1989 : 17 ), guru sejarah
hendaknya menjadi pengabdi perubahan, artinya guru-guru sejarah harus
menyadari bahwa salah satu ciri khas sejarah yaitu adanya perubahan, cara
mengajar yang hanya berkisar pada materi teks saja akan menyebabkan
siswa terasing dari permasalahan masyarakat. Konsekuensinya guru sejarah
perlu mengembangkan apa yang disebut “ History beyond the classroom “
Pelajaran Sejarah di SMA merupakan bagian dari mata pelajaran IPS
yang mempunyai posisi yang sangat penting dengan mata pelajaran yang
menumbuhkan rasa kebangsaan dan bangga terhadap perkembangan
masyarakat Indonesia sejak masa lalu hingga masa kini, sehingga siswa
memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dan cinta tanah air
(Depdikbud: 1994: 74). Berkaitan dengan ilmu pengajaran sejarah untuk
meningkatkan proses penyadaran kolektif, yaitu strategi pembelajaran,
metode mengajar dan persoalan yang kedua mengenai substansi yaitu
silabus materi yang harus diajarkan.
Sehubungan dengan strategi dan metode penyampaian dalam
pengajaran sejarah, yang masih konvensional serta penggunaan metode
ceramah dengan menceritakan secara naratif masih mewarnai sebagian besar
pengajaran sejarah. Dalam kondisi yang demikian sudah waktunya guru
sejarah membekali diri dengan kemampuan imajinatif untuk melukiskan
peristiwa sejarah dalam melengkapi ceritera naratif serta pemilihan strategi
pembelajaran yang lebih kooperatif dan berpusat pada siswa. Kiranya tetap
diperlukan penekanan pada langkah–langkah mendasar yang merupakan
landasan yang lebih kokoh dalam pengembangan metodologi pengajaran
sejarah.
Landasan dasar yang dimaksud menurut I Gde Widja (2002 : 68-69)
yaitu: (1) Perlu ditekankan strategi dasar berupa penanaman nilai yang
dinamis progresif. Artinya dalam proses pembelajaran tidak sekedar
penanaman nilai – nilai masa lampau sehingga siswa terpesona dan terpaku
atas kegemilangan masa lampau, melainkan nilai-nilai masa lampau
depan. Untuk itu proses pembelajaran sejarah sehari-hari kita perlu
membiasakan siswa membuat karangan singkat yang bersifat kritis analisis
berisi proyeksi ke masa depan dengan bertolak dari peristiwa masa lampau;
(2) Perlu dikembangkan pembelajaran yang tidak hanya berhubungan
dengan simbol-simbol nilai abstrak, tetapi juga berkaitan dengan
daya/cipta/kreativitas di semua aspek budaya dan bidang iptek. Hal ini
untuk menghilangkan anggapan umum bahwa pelajaran sejarah seperti tidak
ada kaitannya dengan masalah-masalah ilmu dan teknologi yang terus
berkembang; (3) Pengembangan strategi pembelajaran sejarah yang secara
langsung atau tidak langsung mampu menggugah potensi produktif berpikir
siswa yang mengandung antara lain: sikap kritis menerima uraian guru,
mampu berpikir konsep, kreativitas menemukan informasi tangan pertama,
sikap mandiri, dan terbuka; (4) Pengembangan peningkatan kompetensi
profesionalisme guru sejarah, pengetahuan kesejarahan yang luas,
mendalam dan up to date, keterampilan yang tinggi dalam pemilihan
strategi pembelajaran dan kreatif inovatif serta antisipatif tuntutan masa
depan.
Dalam hubungannya dengan didaktik sejarah adalah substansi
pengajaran sejarah. Menurut Sartono Kartodirdjo, (1993 : 256-257), ada
beberapa prinsip dalam pemilihan substansi materi dalam didaktik sejarah;
(1) Pendekatan lokosentris, mulai mengenal lokasi sejarah di sekitarnya; (2)
Pendekatan konsentris, mulai lingkungan dekat meluas ke lingkungan
menarik sekitar pahlawan atau monument; (4) Kronologis, uraian kejadian
menurut waktu; (5) Tingkatan presentasi dari yang deskriptif-naratif ke
deskriptif-analitis; (6) Sejarah garis besar dan menyeluruh.
Menurut Joko Suryo, (dalam historika, 1989 : 9) ditinjau dari
penggunaannya, sejarah dapat dibedakan atas sejarah empiris dan sejarah
normatif. Dijelaskan lebih lanjut oleh Joko Suryo:
Sejarah empiris, menyajikan substansi kesejarahan yang bersifat empirik dan akademik untuk digunakan dalam tujuan yang bersifat ilmiah. Sejarah normatif, menyajikan substansi kesejarahan yang dipilih menurut ukuran nilai dan makna yang sesuai dengan tujuan penggunaan yang bersifat normatif. Sebagai sarana pendidikan, pengajaran sejarah termasuk sejarah normatif, karena substansi tujuan dan sarananya lebih ditujukan pada segi-segi normatif yaitu segi nilai dan makna yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Dengan demikian pengajaran sejarah dapat dikatakan pula sebagai sejarah pragmatis, yaitu jenis sejarah yang digunakan untuk tujuan-tujuan praktis atau pragmatis.
Menurut Rooijkkers, (1982 : 15) pengajaran sejarah bukan sekadar
transfer materi, mengingat adanya kecenderungan guru lebih mementingkan
materi pada kurikulum sehingga menghabiskan waktu untuk mengalihkan
materi ke benak siswa, diistilahkan materialisme kurikuler.
Menurut pendapat Daldjoeni (1992 : 80), bahwa dari segi pandangan
paedagogis pengajaran sejarah dapat dikatakan bermanfaat manakala siswa
secara akali dapat menerapkan pengetahuan yang diterimanya untuk
menangani permasalahan yang muncul di sekitarnya. Pandangan esensial
beranggapan bahwa kurikulum sejarah di sekolah hendaknya
mengembangkan pendidikan sejarah sebagai disiplin ilmu dan bukan hanya
terbatas pada penyampaian fakta sejarah, tetapi harus mengembangkan
analistis. Sedang pandangan rekonstruksi sosial menekankan pendidikan
sejarah harus dikaitkan dengan kehidupan masa kini dengan berbagai
permasalahannya, diharapkan siswa dapat menggunakan pengetahuan dan
pemahaman kecenderungan-kecenderungan di masa lampau sebagai
pelajaran untuk mengkaji dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
dan lebih lanjut siswa akan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan kehidupan masyarakat.
Dari beberapa pendapat mengenai komponen pengajaran sejarah
dapat disimpulkan bahwa unsur yang harus ada dalam proses belajar
mengajar IPS sejarah meliputi: tujuan, siswa, guru, bahan pelajaran dan
sumber bahan, metode, alat dan evaluasi.
Dalam penelitian ini pendidikan sejarah hendaknya dapat
mengembangkan kemampuan siswa ke arah penghargaan terhadap hasil
karya agung bangsa di masa lampau, memupuk rasa bangga sebagai bangsa,
rasa cinta tanah air, persatuan dan kesatuan nasional, serta menumbuhkan
berpikir kritis, logis, rasionalistis, dan analitis.
2. Islamisasi di Indonesia
a. Proses masuknya Islam di Indonesia
Sebelum membahas proses masuknya Islam di Indonesia ada
baiknya apabila diberikan penjelasan tentang pengertian Islamisasi.
Islamisasi berasal dari bahasa Inggris Islamization yang berarti
pengIslaman, dan dapat diartikan sebagai “upaya agar seseorang menjadi
penganut agama Islam (muslim)”. Jelas, di dalam kata-kata Islamisasi dan
dinamis, aktif; bukan kata benda, kemandegan dan fasif. Upaya dimaksud
berwujud seorang muslim menyampaikan ajaran agama Islam kepada orang
lain. Upaya tersebut dapat dilakukan secara individual dan dapat pula
dilakukan secara massal. Hasil kegiatan itu dapat berwujud secara kuantitas
(berupa jumlah orang yang menganut agama Islam) dan dapat pula
berwujud secara kualitas (berupa tingkat keIslaman seorang muslim, baik
yang menyangkut tingkat keimanan, tingkat penguasaan ilmu agama,
maupun tingkat pengamalannya. Karena itu, Islamisasi bukanlah suatu
peristiwa, melainkan suatu proses. Proses tersebut dapat dijabarkan berupa
rangkaian peristiwa yang dapat diklasifikasikan secara vertikal dan juga
secara horisontal. Pelaku Islamisasi adalah muslim, sedangkan sasarannya
adalah non muslim sebagai sasaran utama yang hasilnya menyangkut soal
kuantitas dan juga muslim yang hasilnya menyangkut soal kualitas. Dengan
demikian, kegiatan Islamisasi dapat diklasifikasikan atas :
(1) mengIslamkan orang yang belum muslim (kafir dan non-muslim), dalam
rangka menambah jumlah muslim (kuantitas)
(2) mengIslamkan orang yang sudah muslim, dalam rangka meningkatkan
kualitas muslim (http://pmkuncen.wordpress.com ).
Pada awalnya kehadiran Islam di Indonesia telah cukup banyak
mendapat perhatian dari para sejarawan dan para ilmuwan. Berbagai
pendapat dan teori yang membicarakan persoalan tersebut membuktikan
bahwa tema Islam memang menarik untuk dikaji terlebih di negeri yang
Islamisasi diawali dari studi mengenai latar historis dan proses
perkembangan Islam yang menyangkut berbagai aspek kehidupan baik
idiologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pengkajian ini sangat penting
guna mengikuti perkembangan dan dinamika keberagamaan Islam dalam
konteks kontemporer di Indonesia.
Diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar
pada tiga tema utama, yakni: tempat asal kedatangannya, para pembawanya,
dan waktu kedatangannya. Hal lain yang juga patut diperhatikan adalah
dimensi proses dari interaksi awal dan lanjutan antara Islam dan penduduk
lokal berikutnya, kepercayaan atau agama yang telah ada sebelumnya
(Taufik Abdullah, 1987 : 64).
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia,
di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur
Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar: Pertama, teori
Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat–India melalui peran
para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori
Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah
melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori
Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang
dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad
ke-13 M Sedangkan tentang teori Islam Indonesia berasal langsung dari
Makkah lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa
menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa ternyata di
pesisir pantai Sumatera telah ada komunitas muslim yang terdiri dari
pedagang asal Arab yang diantaranya melakukan pernikahan dengan
perempuan-perempuan lokal. Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind
yang ditulis Al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M, dikatakan bahwa para
pedagang muslim telah banyak berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya.
Dan di wilayah itu pun telah tumbuh komunitas muslim lokal. Sementara
banyak variasi pendapat lain dikemukakan bahwa Islam nusantara berasal
dari Mesir berdasar kesamaan madzhab (Shafi’i) (Taufik Abdullah, 1987 :
67).
Dari berbagai literatur Islam yang beredar di nusantara sebelum
abad ke-17 M, tidak satupun pengarangnya adalah orang India, tetapi
menurut sarjana Barat bahwa Islam berasal dari Persia dan Arab. Hal ini
dibuktikan dari banyaknya etnis Arab dan Persia serta kultur/ budayanya.
Selanjutnya tentang proses Islamisasi di nusantara, menarik untuk
diperhatikan beberapa pendapat berikut: Pertama, teori perkawinan.
Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kesuksesan Islamisasi di
nusantara lebih karena peran para pedagang muslim. Digambarkan, bahwa
seraya berdagang mereka juga menyebarkan Islam. Di antaranya dengan
cara melakukan perkawinan dengan perempuan lokal sehingga terjadi
konversi agama dan terbentuklah lokus-lokus komunitas muslim setempat.
Selanjutnya, mereka juga berusaha menikahi perempuan bangsawan dengan
dipakai untuk menyebarkan agama Islam. Segaris dengan pemikiran ini ada
ahli yang mengemukakan adanya motif ekonomi dan politik dalam
persoalan konversi penduduk atau penguasa lokal di nusantara. Penguasa
pribumi yang ingin masuk dan berkembang dalam perdagangan
internasional kala itu yang terbentang dari Laut Merah hingga Laut Cina
akan cenderung menerima Islam karena dominasi kekuatan muslim di sektor
itu. Islamisasi di nusantara telah berlangsung secara signifikan jauh
sebelumnya yakni sejak abad ke-12 atau ke-13 M
(http://peziarah.wordpress.com).
Akhirnya, kita dapat menyimak beberapa hal berikut ini: pertama,
Islam dibawa langsung dari Arabia; kedua; Islam diperkenalkan oleh para
guru dan penyiar handal, yakni mereka yang memang secara khusus
bermaksud menyebarkan Islam; ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah
para penguasa; dan keempat, kebanyakan para penyebar Islam handal ini
datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Jadi dengan
mempertimbangkan berbagai uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa
mungkin benar Islam memang telah diperkenalkan awal mula sejak abad –
abad pertama Hijriyah (sekitar abad ke-7 M), namun akselerasi persebaran
Islam secara nyata baru terjadi sekitar abad ke-12 M dan masa-masa
selanjutnya.
b. Saluran – saluran Penyebaran Islam
Dalam proses Islamisasi terdapat banyak saluran. Saluran Islamisasi
sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke – 7 hingga abad
ke – 16. Pada saat itu pedagang–pedagang muslim (Arab, Persia, India)
turut serta ambil bagian dalam perdagangan dengan pedagang–pedagang
dari negeri–negeri bagian barat, tenggara dan timur benua Asia. Penggunaan
perdagangan sebagai saluran Islamisasi sangat menguntungkan karena bagi
kaum muslim tidak ada pemisahan antara kegiatan berdagang dan kewajiban
menyampaikan ajaran agama Islam kepada pihak–pihak lain. Kecuali itu,
pola perdagangan pada abad–abad sebelum dan ketika Islam datang sangat
menguntungkan, karena golongan raja dan bangsawan umumnya turut serta
dalam kegiatan perdagangan, bahkan di antara mereka menjadi pemilik
kapal dan saham (Nugroho Notosusanto, 1993 : 183).
Proses Islamisasi melalui saluran perdagangan dipercepat oleh
situasi politik dan kondisi politik beberapa kerajaan di mana adipati–adipati
pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang
mengalami kekacauan dan perpecahan. Mula – mula mereka berdatangan di
pusat – pusat perdagangan dan diantaranya kemudian ada yang tinggal, baik
untuk sementara waktu maupun menetap. Lambat laun tempat tinggal
mereka berkembang menjadi perkampungan, yang disebut Pekojan (Zainuri,
2007 : 92).
Di antara golongan pedagang tersebut tentu ada yang kaya dan
pandai, bahkan seringkali ada pula yang menjadi syahbandar pelabuhan
dalam suatu kerajaan. Dari sudut ekonomi jelas mereka memiliki status
bangsawan tertarik untuk menjadi isteri saudagar–saudagar itu. Bagi
pedagang–pedagang asing yang datang ke negeri–negeri lain biasanya tidak
membawa isteri, karena itu mereka cenderung membentuk keluarga di
tempat yang mereka datangi. Untuk memperoleh seorang wanita penduduk
pribumi di sekitar perkampunganmya. Mereka tidak mengalami kesukaran.
Tetapi perkawinan dengan penganut berhala mereka anggap kurang sah,
karena itu wanita–wanita yang mereka inginkan diIslamkan terlebih dahulu
dengan cara mengucapkan syahadat. Hal itu berjalan dengan mudah karena
tanpa pentasbihan atau melalui prosesi upacara yang panjang dan rumit,
sehingga penganut yang bukan Islam tertarik dan senang untuk mengikuti
tata cara dalam proses perkawinan tersebut. Para saudagar-saudagar
termasuk dalam lingkungan penduduk asing, yang dianggap lebih daripada
mereka. Lingkungan pergaulan mereka makin luas, serta pengaruhnya
sangat besar terhadap penduduk pribumi sehingga lambat laun timbul
kampung–kampung, daerah– daerah dan kerajaan muslim (Nugroho
Notosusanto, 1993 : 189).
Dari uraian tersebut di atas, dapat memberikan gambaran bahwa
perkawinan antara pedagang atau saudagar dengan wanita pribumi
merupakan titik awal terjadinya jalinan kekeluargaan dan sangat
berpengaruh terhadap proses Islamisasi. Perkawinan merupakan cara
Islamisasi yang paling mudah, karena ikatan perkawinan itu sendiri sudah
merupakan ikatan lahir–batin, tempat mencari kedamaian di antara individu
masyarakat, berarti membentuk inti masyarakat muslim. Kemudian dari
perkawinan itu membentuk pertalian kekerabatan yang lebih besar antara
pihak laki–laki dan keluarga pihak perempuan (Nugroho Notosusanto, 1993
: 190).
Kecuali melalui perdagangan dan perkawinan, tasawuf juga
merupakan salah satu saluran penting dalam proses Islamisasi. Tasawuf
termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa
Indonesia yang meninggalkan bukti–bukti jelas pada tulisan–tulisan antara
abad ke – 13 dan ke – 18. Hal itu bertalian langsung dengan penyebaran
Islam di Indonesia, memegang peranan suatu bagian yang penting dalam
organisasi masyarakat kota – kota pelabuhan (Notosusanto, 1993 : 191).
Selain melalui tasawuf, Islamisasi juga dilakukan melalui pendidik,
baik dalam pesantren maupun pondok – pondok yang diselenggarakan oleh
guru – guru agama, kiai – kiai atau ulama – ulama. Pesantren atau pondok
merupakan lembaga yang penting dalam penyebaran agama Islam, sebagai
tempat pembinaan calon guru – guru agama, kiai – kiai atau ulama – ulama.
Setelah keluar dari suatu pesantren, mereka kembali ke masing – masing
kampung atau desanya. Di tempat – tempat asal, mereka akan menjadi tokoh
agama, menjadi kiai yang menyelenggarakan pesantren lagi. Dengan
demikian, pesantren – pesantren beserta kiai – kiai berperanan penting
dalam proses pendidikan masyarakat. Semakin terkenal seorang kiai,
semakin terkenal pula pesantrennya dan pengaruhnya akan mencapai radius
Ampel dan Raden Rahmat yang mendirikan pesantren di Ampel Denta,
Surabaya. Sunan Giri, terkenal dengan pesantrennya sampai daerah Maluku.
Orang – orang dari daerah itu, berguru kepada Sunan Giri, bahkan beberapa
kiai yang berasal dari Giri diundang ke Maluku untuk menjadi guru agama.
Mereka ada yang dijadikan khatib, modin, dalam kadi masyarakat Maluku,
dengan upah cengkeh (Nugroho Notosusanto, 1993 : 192)
Saluran dan cara Islamisasi yang lain dapat pula melalui cabang –
cabang kesenian seperti seni bangunan, seni pahat atau ukir, seni tari, seni
musik, dan seni sastra. Hasil – hasil seni bangunan pada zaman
pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain masjid –
masjid kuno Demak, Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, masjid
Agung Banten, Baiturrahman Aceh, Ternate dan masih banyak lagi yang
lainnya. Di Indonesia, masjid – masjid kuno menunjukkan keistimewaan
dalam denahnya yang berbentuk persegi empat atau bujur sangkar dengan
bagian kaki yang tinggi serta pejal, atapnya bertumpang dua, tiga, lima atau
lebih, dikelilingi parit atau kolam air pada bagian depan atau sampingnya
dan berserambi. Bagian – bagian lain seperti mihrab dengan lengkung pola
kalamakara, mimbar yang mengingatkan ukir – ukiran pola teratai,
mastaka, atau memolo, jelas menunjukkan pola – pola seni bangunan
tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan Islam.
Beberapa masjid kuno mengingatkan kita kepada seni bangunan candi,
menyerupai bangunan meru pada zaman Indonesia Hindu. Ukir – ukiran
mastaka dan memolo menunjukkan hubungan yang erat dengan perlambang
meru, kekayon gunungan atau gunungan tempat kedewaan yang dikenal
dalam cerita – cerita keagamaan Hindu. Beberapa ukiran pada masjid kuno
seperti di Mantingan, Sendang Duwur, menunjukkan pola yang diambil dari
dunia tumbuh – tumbuhan dan hewan yang diberi corak tertentu dan
mengingatkan ke pada pola – pola ukiran yang telah dikenal pada candi
Prambanan dan beberapa candi lainnya. Kecuali itu, pada pintu gerbang,
baik di keratin – keratin maupun di makam orang – orang yang dianggap
keramat yang berbentuk candi – bentar, kori Agung, jelas menunjukkan
corak pintu gerbang yang dikenal sebelum Islam. Demikian pula nisan –
nisan kubur di daerah Tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon,
Banten, menunjukkan unsur – unsur seni ukir dan perlambang pra Islam. Di
Sulawesi, Kalimantan, Sumatera terdapat beberapa nisan kubur yang lebih
menunjukkan unsur seni Indonesia pra-Hindu dan pra- Islam (Nugroho
Notosusanto, 1993 : 193).
Dari apa yang dibeberkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
jelas Islamisasi dilakukan pula melalui seni bangunan dan seni ukir.
Berdasarkan berbagai peninggalan seni bangunan dan seni ukir dari masa –
masa tersebut jelas pula bagi kita bahwa proses Islamisasi dilakukan dengan
damai. Kecuali itu, dilihat dari segi ilmu jiwa dan taktik, penerusan tradisi
seni bangunan dan seni ukir pra – Islam merupakan alat Islamisasi yang
sangat bijaksana yang mudah menarik orang – orang bukan Islam utnuk
Saluran dan cara Islamisasi melalui seni bangunan dan seni ukir sesuai pula
dengan saluran dan cara melalui seni tari, musik dan sastra. Dalam upacara
– upacara keagamaan, seperti Maulud Nabi, sering dipertunjukkan seni tari
atau musik tradisional, misalnya gamelan yang disebut sekaten yang
terdapat di kota Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta dibunyikan pada
perayaan Gerebeg Maulud. Berdasarkan babad dan hikayat, di keraton –
keraton lama terdapat gamelan, tarian seperti dedewan debus, birahi,
bebeksan yang diselenggarakan pada upacara tertentu. Bahkan di antara seni
yang terkenal dijadikan alat Islamisasi adalah pertunjukan wayang. Menurut
cerita, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan
wayang. Sunan Kalijaga tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia
minta agar para penonton mengikutinya mengucapkan Kalimat Syahadat.
Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari Mahabharata dan
Ramayana, tetapi sedikit demi sedikit nama tokoh – tokohnya diganti
dengan pahlawan Islam. Nama panah Kalimasada, suatu senjata paling
ampuh, dalam lakon wayang dihubungkan dengan Kalimat Syahadat,
ucapan yang berarti pengakuan kepada Allah dan Nabi Muhammad.
Kalimat Syahadat merupakan tiang pertama dalam lima rukun Islam.
Islamisasi melalui seni sastra juga dilakukan secara sedikit demi sedikit
seperti terbukti dalam naskah – naskah lama masa peralihan kepercayaan
yang ditulis dalam bahasa dan huruf daerah, misalnya primbon – primbon
abad ke – 16 yang antara lain disusun oleh Sunan Bonang (Nugroho
Babad – babad dan hikayat – hikayat juga ditulis dalam bahasa
daerah, dengan menggunakan huruf daerah dan Arab. Beberapa kitab
tasawuf diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan beberapa lagi ke dalam
bahasa daerah lainnya. Ajaran Hamzah Fansuri disusun dalam bentuk syair
Melayu, merupakan salah satu usaha agar ajaran tersebut dapat dimengerti
oleh orang – orang Indonesia yang tidak mengenal bahasa Arab dan Persi.
Mungkin tersebarnya bahasa Melayu atau Indonesia sebagai lingua franca
pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam, juga melalui
perdagangan. Di Maluku, misalnya, kita kenal Hikayat Hitu yang ditulis
dalam bahasa Melayu, demikian juga Hikayat Banjar dan Hikayat Kutai.
Agama Islam juga membawa beberapa perubahan sosial dan budaya,
memperhalus dan memperkembangkan budaya Indonesia. Penyesuaian
antara adat dan syariah di berbagai daerah di Indonesia selalu terjadi,
meskipun kadang – kadang dalam taraf permulaan mengalami proses
pertentangan dalam masyarakat (Nugroho Notosusanto, 1993 : 195).
c. Proses masuknya Islam di Jawa
Sejak zaman dahulu, di daerah Indonesia telah terdapat lalu lintas
perdagangan. Hal tersebut dimungkinkan mengingat letak geografis
kepulauan Indonesia yang sangat menguntungkan untuk jalur lalu lintas
perdagangan Internasional. Konsekwensinya Negara kita menjadi daerah
pertemuan kebudayaan bangsa-bangsa di dunia yang beraneka ragam.
Bangsa Indonesia sendiri aktif merantau ke negeri India, ke pantai
kebudayaan bangsa-bangsa tadi dengan kebudayaan Indonesia, maka
kebudayaan Indonesia berkembang maju.
Penelitian sejarah banyak mencatat, bahwa di pesisir barat Sumatera
telah terdapat suatu perkampungan Arab pada akhir abad VII M. Akan
tetapi perkampungan yang di huni oleh ulama yang berwiraswasta, ataupun
wiraswastawan yang ulama itu, bukan saja berasal dari Arab tetapi juga dari
Persia, India dan bahkan dari Cina. Oleh sebab itu jika kita sepakat
mengambil jalan tengah masuk dan berkembang Islam di Indonesia,
kesimpulan yang dapat di pegang adalah hubungan pertama orang Islam
dengan penduduk Indonesia mungkin di mulai sejak abad VII M dan VIII
M. Sedang masa pendudukan orang Islam, berdirinya kerajaaan-kerajaan
Islam dengan kota-kota barunya, mulai berkembang abad XIII M dan
sesudahnya.
Bangsa Indonesia yang sekarang ini mayoritas penduduknya
beragama Islam, sebagian besar populasinya berdiam di pulau Jawa. Semua
ini apabila ditelaah secara teliti adalah merupakan hasil kerja dakwah yang
dilakukan oleh para Walisongo tempo dulu. Mereka adalah orang-orang
yang sangat dihormati masyarakat dan hingga sekarang ini kuburannya
masih tetap merupakan tempat penting bagi peziarah Muslim seluruh
Indonesia.
Sejarah mencatat, bahwa agama Islam disiarkan ke Indonesia oleh
para pedagang serta para ahli sufi yang datang dari gujarat, di India sebelah
Barat. Menurut berita Tionghoa di dalam tahun 1416 M, di tanah Jawa
sudah banyak orang asing beragama Islam.
Kalau berdasarkan inskripsi yang terdapat di batu nisan yang
sebelum permulaan abad ke – 15, kemungkinan agama Islam telah masuk
serta dikenal oleh orang – orang di tanah Jawa. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya sebuah makam dari seorang wanita Islam bernama ” Fatimah
Binti Maimun bin Hibatallah” , yang berangka tahun 475 atau 495 H,
bertepatan dengan tahun 1082/83 atau 1101/02 M (Syafwandi, 1985 : 9).
Menurut pendapat Solichin Salam (1977 : 15) Maulana Malik
Ibrahim yang wafat dalam tahun 822 H atau 1419 M, makamnya terdapat di
Gresik, besar kemungkinan berasal dari Cambay, Gujarat. Inskripsi yang
terdapat pada batu nisan dari makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik
dalam huruf dan Bahasa Arab, terjemahannya di dalam Bahasa Indonesia
kira – kira demikian :
Inilah makam almarhum almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan Pangeran – pangeran, sendi sultan – sultan dan menteri – menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kake Bantal. Allah meliputinya dengan rahmat – Nya dan keridlaan – Nya, dan dimasukkan ke dalam Sorga. Telah wafat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal tahun 822 H. Solichin Salam (1977 : 15).
Di tanah Jawa tersiarnya agama Islam berlangsung dalam suasana
damai disebabkan oleh beberapa hal dibawah ini :
a. Penyiar–penyiar Islam yang datang mula–mula adalah terdiri dari para
pedagang dan ahli sufi.
b. Sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana termaktub di dalam firman
Tuhan dalam Al–Quran yang berbunyi : ”Hendaklah engkau ajak orang
ke jalan Allah dengan HIKMAH (kebijaksanaan), dengan peringatan
yang ramah tamah serta bertukar pikiran dengan mereka yang sebaik–
c. Kebijaksanaan dari para muballigh Islam yang datang kemari yang telah
dapat menyelami serta memahami watak dan jiwa bangsa Indonesia.
d. Sifat toleransi dari pada bangsa Indonesia sendiri, yang dapat menerima
kebudayaan yang datang dari luar kemudian disesuaikan dengan
kepribadian sendiri.
e. Penyiaran Islam di Jawa terutama melalui saluran–saluran mistik.
f. Dengan mengawinkan kepercayaan lama dengan kepercayaan baru inilah
yang menyebabkan agama Islam dapat tersiar dengan damai.
Kisah tentang Walisongo yang penuh misteri perlu didudukkan pada
fungsinya yang tepat, sehingga mengandung nilai sejarah yang tinggi. Upaya
ini dapat menguak cakrawala baru tentang kesan orang terhadap Walisongo
yang cenderung tidak bernilai, khususnya di kalangan Muslim modern. Bila
cakrawala baru ini berhasil ditemukan maka gambaran baru tentang
Walisongo akan cenderung seragam dan akan mendekatkan jarak antara
Muslim tradisional dengan Muslim modern.
Keberhasilan Walisongo dalam mendakwahkan Islam di tanah Jawa
didukung oleh beberapa hal: Pertama, karena para Wali itu dapat memenuhi
tuntutan dakwah dari Al Qur’an, Hadist serta tuntutan dari ahli-ahli Dakwah
sebelumnya seperti keihlasan, bersatu dalam ukuwah, berpegang pada dasar
musyawarah, serta faktor sosial psikilogis yang dimiliki mereka. Kedua,
faktor dalam ajaran Islam itu sendiri yang merupakan agama kebudayaan
yang mempunyai daya penetrasi, sederhana, luwes, mudah dan menarik.
runtuhnya kerajaan Majapahit. Masyarakat rindu dan membutuhkan
pembaharuan, dan para Wali berhasil membawa Islam untuk pembaharuan.
Hinduisme mengajarkan adanya kasta serta tingkat derajat manusia, sedang
Islam mengajarkan kesamaan. Islam memberi aspirasi baru dan memperluas
pandangan masyarakat Jawa dan menggugah suasana optimisme.
Demikian keras pergulatan dakwah mereka dengan unsur-unsur
kejawaan selama kurang lebih 15 abad. Sehingga tidak mengherankan
apabila dalam dakwahnya Walisongo tidak meninggalkan pengaruh corak
keIslaman yang kejawaan, keHinduan-Budhaan. Jawa memang tempat yang
penduduknya paling mendalam pengaruh agama Hindu-Budha dibanding
dengan daerah lain di Indonesia, dan Wali Songo berhasil mengIslamkan
tanah Jawa dengan cara yang persuasif (Syafwandi, 1985 : 22).
3. Metode Pemberian Tugas atau Resitasi
Metode pemberian tugas sebagai salah satu metode mengajar yang
bertujuan untuk memperdalam bahan pengajaran sehingga pemberian tugas
merupakan aspek pengajaran yang perlu mendapat perhatian guru, dengan
pemberian tugas dalam bentuk tulisan atau hasil laporan. Tugas yang
diberikan guru dapat memperdalam bahan pelajaran, dapat pula
mengembangkan bahan yang dipelajari. Mempelajari atau memperdalam
bahan pelajaran bisa dalam bentuk menghafal sesuatu, mencari informasi,
menganalisis dan akhirnya akan membuat simpulan tertentu. Tentu hasil yang
didapat dari siswa harus pula di pertanggungjawabkan dan
pertanggungjawaban tersebut disesuaikan dengan tujuan pembelajaran.
Metode resitasi menurut Thoifuri dalam bukunya yang berjudul
”Menjadi Guru Inisiator” (2008 : 66), metode resitasi merupakan
terjemahan dari to cite, berarti mengutip, yakni siswa mengutip atau
mengambil sendiri bagian–bagian pelajaran dari buku–buku tertentu, lalu
belajar dan berlatih sendiri hingga siap sebagaimana mestinya. Atau
resitasi adalah cara menyajikan bahan pelajaran di mana guru memberikan
sejumlah tugas
terhadap siswa untuk mempelajari sesuatu, kemudian
mempertanggung-jawabkannya.
Metode resitasi (penugasan) adalah suatu cara interaksi belajar
mengajar yang ditandai dengan adanya tugas dari guru untuk dikerjakan
siswa di sekolah ataupun di rumah secara perorangan atau berkelompok
(Mulyani Sumartini, 2002: 130).
Metode pemberian tugas adalah metode penyajian bahan di mana
guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar.
Materi tugas yang dilaksanakan oleh siswa dapat dikerjakan di dalam
kelas, di halaman sekolah, di laboratorium, di perpustakaan, di bengkel, di
rumah siswa, atau di mana saja asal tugas itu dapat dikerjakan (Syaiful
Bahri, 2002: 98).
Menurut Abdul Gafur (1989: 106)metode pemberian tugas adalah :
Berdasarkan uraian tersebut di atas yang dimaksud metode
pemberian tugas adalah metode penyajian bahan di mana guru memberikan
tugas tertentu kepada siswa di sekolah atau pun di rumah secara
perorangan atau berkelompok melalui pengamatan, percobaan, riset, drill
(latihan) dan praktek.
Dalam penelitian ini tugas yang akan diberikan kepada siswa adalah membuat laporan hasil penelitian. Oleh karena itu guru sebelumya harus memperkenalkan metode penelitian historis secara sederhana. Sehingga dalam pelaksanaaan tugas siswa tidak akan mengalami kesulitan. Para siswa perlu diberi penjelasan tentang langkah-langkah dalam penelitian seperti: merumuskan masalah, mengumpulkan sumber-sumber informasi, mengkaji keabsahan sumber informasi, menyusun hipotesis yang menjelaskan peristiwa atau simulasi yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, dan menyimpulkan serta menafsirkan hasil penelitian.
Berkaitan dengan metode pemberian tugas, guru sebagai inisiator tentunya cakap menggunakan metode pengajaran resitasi karena siswa tidak hanya sebagai objek, melainkan subjek yang masih perlu mendapat arahan. Dengan demikian siswa dapat memperbaiki, memperdalam, mengecek, mencari informasi, atau menghafal pelajaran dan membuat simpulan tertentu atas bimbingan guru tersebut. Dan metode resitasi ini berorientasi pada belajar mengerjakan tugas di luar kelas.