• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA LALU LINTAS AKIBAT KELALAIAN HILANGNYA NYAWA ORANG LAIN (Studi Kasus Putusan Nomor : 181/Pid.B/2015/PN.Mks)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA LALU LINTAS AKIBAT KELALAIAN HILANGNYA NYAWA ORANG LAIN (Studi Kasus Putusan Nomor : 181/Pid.B/2015/PN.Mks)"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA

LALU LINTAS AKIBAT KELALAIAN HILANGNYA

NYAWA ORANG LAIN

(Studi Kasus Putusan Nomor : 181/Pid.B/2015/PN.Mks)

OLEH :

MUHAMMAD AKBAR

B111 12 903

BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2016

(2)

i TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA LALU LINTAS AKIBAT

KELALAIAN HILANGYA NYAWA ORANG LAIN

(Studi Kasus Putusan Nomor : 181/Pid.B/2015/PN.Mks)

Oleh:

MUHAMMAD AKBAR B111 12 903

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Bagian Hukum Pidana

Program Studi Ilmu Hukum

Pada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2016

(3)
(4)

iii PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkanbahwaskripsimahasiswa :

Nama : MUHAMMAD AKBAR

Nim : B111 12903

Bagian : HUKUM PIDANA

Judul : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA LALU LINTAS AKIBAT KELALAIAN HILANGNYA NYAWA ORANG LAIN

(Studi Kasus Putusan Nomor:181/Pid.B/2015/PN.Mks).

Telahdiperiksadandisetujuiuntukdiajukandalamujianskripsi.

Makassar, Januari2016

Disetujuioleh,

Pembimbing I, Pembimbing II

Prof. Dr. H. M Said Karim, S.H., M.H. Dr. Hj. Nur Azisa, S.H., M.H

(5)
(6)

v ABSTRAK

MUHAMMAD AKBAR (B11112 903), TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

TINDAK PIDANA KELALAIAN LALU LINTAS YANG

MENGAKIBATKAN HILANGNYA NYAWA ORANG LAIN (Studi Kasus Putusan Nomor. 181/Pid.B/2015/PN/Mks), di bawah bimbingan H. M.Said Karim sebagai Pembimbing I dan Nur Azisa sebagai Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan hokum pidana materil terhadap tindakpidana kelalaian lalu lintas yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain dalam putusan Nomor 181/Pid.B/2015/PN.Mks dan mengetahui pertimbangan hokum oleh majelis hakim dalam menjatuhkan hukuman berupa pemidanaan terhadap tindak pidana kelalaian lalu lintas yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain Nomor 181/Pid.B/2015/PN.Mks.

Penelitian ini dilakukan di Makassar, yaitu di Pengadilan Negeri Makassar. Penelitian ini dilakukan dengan cara pengambilan data melalui penelitian kepustaan dan wawancara dengan pihak yang bersangkutan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dalam putusan No. 181/Pid.B/2015/PN.Mks, surat dakwaan yang disusun oleh Penuntut Umum telah memenuhi syarat formil dan materil. Dalam tuntutannya, Penuntut Umum menuntut terdakwa bersalah melakukan tindak pidana kelalaian lalu lintas Pasal 311 ayat (5) UU RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan dakwaan kesatu, berdasarkan fakta-fakta hukum baik keterangan saksi maupun keterangan terdakwa serta unsur-unsur yang terdapat dalam dakwaaan tersebut dianggap telah terbukti oleh Jaksa Penutut Umum sehingga antara perbuatan dan unsur-unsur pasal saling mencocoki dan pertimbangan Hakim dalam menerapkan ketentuan pidana terhadap pelaku dalam perkara ini telah sesuai dimana hakim telah mempertimbangkan baik dari pertimbangan yuridis, fakta-fakta persidangan, keterangan para saksi, alat bukti yang ada, keyakinan hakim serta hal-hal yang mendukung. Dalam hal ini Majelis Hakim berdasarkan fakta-fakta yang timbul di persidangan menilai bahwa terdakwa dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang dilakukan dengan pertimbangan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, oleh karena terbukti bersalah maka terdakwa dijatuhi pidana yang dipandang setimpal dengan perbuatannya.

(7)

vi KATA PENGANTAR

Assalamuakaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Syukur Alhamdulillah, segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT, atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi

dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA

KELALAIAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN HILANGNYA NYAWA ORANG LAIN (Studi Kasus Putusan Nomor. 181/Pid.B/2015/ PN/Mks)” dapat diselesaikan.

Skripsi ini disusun berdasarkan data-data hasil penelitian sebagai

tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) dari Program

Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Dengan rendah hati penulis sampaikan ucapan terimakasih yang

sebesar-besarnya dan sedalam-dalamnya untuk orang tua, Ayahanda

tercinta KAMARUDDIN dan Ibunda tercinta ASMI ILYAS atas doa yang

tidak pernah putus, pengertian, kasihsa yang dan pengorbanan untuk

anak-anaknya. Begitu pula kepada Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H. dan dr.

Yuyun Widamimgsih, S.PK atas perhatian dan didikannya terhadap

penulis selama kuliah sehingga bisa menyelesaikan studi ini dengan baik.

Begitu pula Kepada saudara-saudariku tercintaNOVITA SARY, S.Kep,

MUHAMMAD AKHSAN Serta KELUARGA BESAR PENULISterima kasih

atas doa,dukungan dan kasih sayangnya sampai saat ini hingga nanti,

(8)

vii

Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih yang

setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. H. M. SAID KARIM, S.H., M.H,

M.Siselaku Pembimbing I dan Ibu Dr. Nur Azisah , S.H., M.H. selaku

Pembimbing IIyang banyak meluangkan waktu ditengah kesibukan, beliau

senantiasa dengan sabar memberikan petunjuk, arahan dan bimbingan

serta motivasi kepada penulis.

Dengansegala kerendahan hati, tak lupa penulis menyampaikan

terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada semua pihak, yakni terurai sebagai berikut:

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A selaku Rektor Unhas

2. Ibu Prof. Dr. Farida Pattitingi S.H., M.H sebagai Dekan Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin.

3. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H sebagai Wakil Dekan I,

dan Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H sebagai Wakil

Dekan II, dan Bapak Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H sebagai Wakil

Dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

4. Bapak Dr. Amir Ilyas, SH., M.H, Dr. Abd. Asis, S.H., M.H dan Ibu

Dr. Hj. Haeranah, S.H., M.H selaku penguji.

5. Seluruh staf dosen pengajar pada Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin yang tidak sempat disebutkan namanya satu demi satu,;

6. Seluruh staf Akademik Fakultas Hukum Universitas

(9)

viii

penulis, sejak mengikuti perkuliahan, proses belajar sampai akhir

penyelesaian studi ini.

7. Seluruh Mace-mace dikantin Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin, terkhusus buat Mace Dede, yang sangat membantu

penulis mulai dari awal perkuliahan hingga akhir penyelesaian studi

ini.

8. Bapak Rianto Adam Pontoh, S.H., M.Hum selaku Hakim di

Pengadilan Negeri Makassar dan Bapak Mustari, S.H yang telah

memberikan arahan dan masukan guna kelancaran penelitian ini.

9. Buatsaudara-saudaraku KBLH Angkatan 2012 yang telah menjadi

teman, sahabat, serta sauadara selama perjalanan kita di Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin.

10. Buat kakak-kakak penulis Arlo Abdillah, S.H., Ardiansyah

Kandow, S.H., Asrul, S.H., Adi Nur Akbar Ali, S.H., Hadrian Tri Saputra, S.H. yang selalu membimbing dan memberi dorongan

kepada penulis.

11. Buat adik-adik penulis Muh. Kurniawansyah, Muh. Rivai S., Muh.

Jabal Nur, Abd. Malik, Lukman Alamsah, Kasmanto Saputra, Muh Agung Pratama, Andi salman Faris, Kifli Aras, Iwan syam, Andi Ahmad Riady yang selalu memberikan semangat bagi penulis

selama dalam penulisan skripsi ini.

12. Seluruh Keluarga Besar Penulis yang Terlahir melalui proses

(10)

ix

menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum hingga akhir hayat penulis

(KBLH)

13. Teman-teman angkatan dan teman seperjuangan penulis PETITUM

2012.

14. Teman-teman KKN Gelombang 90 Desa Bola Patapuloe

Kecamatan Wattang Sawitto Kebupaten Pinrang.

Akhirnya kepada semua pihak yang tak sempat disebutkan

namanya satu demi satu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan

banyak terima kasih dengan tumpuan harapan semoga Allah SWT

membalas segala budi baik para pihak yang telah membantu penulis dan

semuanya menjadi pahala ibadah, Aamiin

Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Makassar, Januari 2016

(11)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK . ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tinjauan Yuridis . ... 6

B. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana ... 7

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 10

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana ... 11

C. Kesalahan . ... 16

1. Kesengajaan (Dolus) . ... 17

2. Kealpaan (Culpa) ... 18

D. Lalu Lintas 1. Pengertian Lalu Lintas ... . 20

2. Kecelakaan Lalu Lintas ... 21

3. Ketentuan Pidana Dapat Dijatuhkan Pada Kecelakaan Lalu Lintas . ... 22

4. Ketentuan Lalu Lintas . ... 26

5. Jenis Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Lalu Lintas . ... 28

E. Tindak Pidana Kealpaan yang Menyebabkan Hilangnya Nyawa Orang Lain. 1. Dasar Hukum Tindak Pidana Kealpaan . ... 28

(12)

xi 2. Unsur Delik Karena Kealpaan yang Menyebabkan Matinya

Orang Lain . ... 29

F. Putusan 1. Pengertian Putusan . ... 31

2. Jenis-Jenis Putusan . ... 31

G. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara 1. Pertimbangan Yuridis . ... 34

2. Pertimbangan Sosiologis . ... 36

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ... 38

B. Jenis dan Sumber Data ... 38

C. Teknik Pengumpulan Data ... 39

D. Teknik Analisis Data ... 40

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Penerapan Hukum Pidana Materil Terhadap Tindak Pidana Kelalaian Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Lain Dalam Putusan Nomor. 181/Pid.B/2015/PN.Mks 1. Posisi Kasus ... 41

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 42

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 54

4. Amar Putusan ... 55

5. Analisi Penulis ... 56

B. Pertimbangan Hukum Oleh Majelis Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Berupa Pemidanaan Terhadap Tindak Pidana Kelalaian Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Lain Dalam Putusan Nomor. 181/Pid.B/2015/PN.Mks. 1. Pertimbangan Hakim ... 61 2. Analisis Penulis ... 66 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 69 B. Saran ... 70 DAFTAR PUSTAKA

(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia selalu terikat dengan Hukum, Sesuai dengan

Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 (selanjutnya

disingkat UUD NKRI 1945) setelah amandemen yaitu Pasal 1 Ayat (3); “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Indikasi

bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada

kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara,

sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD NKRI 1945, yaitu : “Melindungi segenap bangsa Indonesi dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia”.

Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan

yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program

jangak pendek, menengah, dan panjang.

Pembangunan yang dilaksanakan Indonesia adalah pembangunan

disegala bidang yang merupakan suatu bagian dari proses moderinisasi

untuk menciptakan kesejahteraan dan ketentraman bagi masyaraakat

Indonesia. Pembangunan yang ada sekarang ini tentu saja memiliki

kelebihan dan kekurangan yang paling sering kita temui adalah tinggginya

tingkat kemacetan pada jam-jam sibuk. Kemacetan merupakan salah satu

(14)

2

produksi kendaraan bermotor yang pada gilirannya menyebabkan

semakin simpang siurnya lalu lintas jalan raya, hal ini disebabkan tidak

berbandingnya jumlah kendaraan dan jumlah jalan pada akhirnya para

penggunaan jalan raya akan semakin tidak nyaman.

Ketidaknyamanan pengguna jalan raya dalam aktivitasnya

mendatangkan dampak yang sangat besar yaitu semakin tingginya beban

psikologis, sehingga dapat menyebabkan stres yang berkepanjangan dan

pada akhirnya menimbulkan kelalaian maupun kealpaan dalam

nelaksanakan kewajibannya sebagai pengguna jalan raya yang tentu saja

dapat merugikan dirinya dan orang lain.

Hukum dan fungsinya mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa

dan bernegara dapat memberikan kontribusi secara maksimal kepada

pelaksanaan jika aparat penegak hukum dan seluruh lapisan masyarakat

tunduk dan taat terhadap norma hukum. Dalam peristiwa kecelakaan lalu

lintas (lakalantas) haruslah dipisahkan antara pelanggaran dan kejahatan.

Karena untuk melakukan penuntutan didepan hukum maka kejadian yang

terjadi haruslah merupakan kejahatan, sementara pada kecelakaan lalu

lintas kejahatan yang terjadi merupakan kejahatan yang tidak disengaja

atau dikarenakan oleh tindakan kelalaian atau kealpaan.

Tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas (lakalantas) diakibatkan dari

kurangnya kesadaran masyarakat dalam hal ini pengemudi kendaraan

bermotor dengan berbagai faktor yang melekat pada dirinya misalnya

(15)

3

kelelahan, pengaruh minuman keras dan obat-obat terlarang. Kondisi

ketidaksiapan pengemudi mebuka peluang besar terjadinya kecelakaan

yang parah disamping mebahayakan keselamatan pengguna jalan raya

lainnya lengah, mengantuk, kurang terampil, lelah, tidak menjaga jarak,

melaju terlalu cepat adalah contoh keselahan pengemudi pada umumnya.

Selain penyebab-penyebab kecelakaan lalu lintas yang telah diuraikan

diatas, terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan raya juga dipengaruhi oleh

faktor usia pengemudi, analisa data yang dilakukan oleh direktorat

jenderal perhubungan darat menunjukkan bahwa pengemudi berusia

16-30 tahun adalah penyebab terbesar kecelakaan lalu lintas.

Tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat kecelakaan lalu lintas setiap

tahunnya meningkat dengan jumlah korban yang tidak sedikit yamg

diakibatkan karena kelalaian atau kealpaan yang mengakibatkan kerugian

bagi orang lain.

Berkaitan dengan judul yang dipilih oleh penulis, maka adapun contoh

kasus yang akan penulis kaji secara kebih lanjut adalah Putusan

Pengadilan Negeri Makassar Nomor 181/Pid.B/2015/PN.Mks yang duduk

perkaranya secara garis besar adalah sebagai berikut :

Kecelakaan Lalu lintas terjadi pada hari Minggu tanggal 30 November

2014 sekitar pukul 05.30 Wita, bertempat di jalan Jend.M.Yusuf Makassar

yang dulu bernama jalan Gunug Bulusaraung Makassar. Bermula

terdakwa dari Discotik Retro Hotel Clarion Makassar hendak pulang

(16)

4

dengan nomor polisi DD 1074 XJ dimana saat terdakwa melintas di jalan

Jend. M. Yusuf Makassar terdakwa tertidur akibat pengaruh minuman

beralkohol dan ekstasi yang sebelumnya dikomsumsi oleh terdakwa

sehingga mobil yang dikendarainya naik keatas trotoar sebelah kiri jalan

yang kemudian mobil terdakwa tersebut menabrak korban Jefry Jaury

yang sedang berjalan di atas trotoar hingga korban Jefry Jaury terlempar

sekitar 10 meter dari tempat tabrakan tersebut lalu mobil yang

dikemudikan terdakwa tersebut kembali menabrak gapura jalan dan mobil

yang sedang terparkir di lokasi tersebut hingga mobil yang dikemudikan

oleh terdakwa tersebut terbalik, dan akibat perbuatan tersangka tersebut

sehingga menyebakan korban Jefry Jaury meninggal dunia dilokasi

tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk

meneliti dan mengkaji sebagai bentuk karya ilmiah (skripsi) dengan judul

Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kelalaian Lalu Lintas Yang

Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Lain (Studi Kasus Putusan

Nomor 181/Pid.B/2015/PN.Mks).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penerapan hukum pidana materil terhadap tindak

pidana kelalaian lalu lintas yang mengakibatkan hilangnya nyawa

orang lain dalam putusan Nomor 181/Pid.B/2015/PN.Mks ?

2. Bagaimanakah pertimbangan hukum oleh majelis hakim dalam

(17)

5

kelalaian lalu lintas yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang

lain dalam putusan Nomor 181/Pid.B/2015/PN.Mks ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil terhadap

tindak pidana kelalaian lalu lintas yang mengakibatkan hilangnya

nyawa orang lain dalam putusan Nomor 181/Pid.B/2015/PN.Mks.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum oleh majelis hakim dalam

menjatuhkan hukuman berupa pemidanaan terhadap tindak pidana

kelalaian lalu lintas yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang

lain dalam putusan Nomor 181/Pid.B/2015/PN.Mks.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan

manfaat-manfaat sebagai berikut :

1. Diharapkan mampu memberikan sumbangsih terhadap

perkembangan hukum di Indonesia, khususnya mengenai kelalaian

dalam berlalu lintas.

2. Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat menambah bahan

referensi bagi mahasiswa fakultas hukum pada umumnya dan pada

khususnya bagi penulis sendiri dalam menambah pengetahuan

tentang ilmu hukum.

3. Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat menjadi salah satu bahan

pertimbangan bagi pemerintah agar lebih memperhatikan

(18)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tinjauan Yuridis

Yang dimaksud dengan tinjauan adalah penguraian atau penyelidikan

suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri

serta hubungan antar bagian untuk meperoleh pengertian yang tepat dan

pemahaman dari arti keseluruhan. Sedangkan yuridis berarti menurut

hukum atau secara hukum.

Berdasarkan penguraian tersebut penulis menyimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan tinjauan yuridis adalah suatu kegiatan untuk menyelidiki

suatu peristiwa dari sudut pandang (point of view) hukumnya. Tinjauan

yuridis disini berarti hukum pidana materil.

Hukum pidana materil adalah isi atau substansi dari hukum pidana,

dimana hukum pidana materil mengandung petunjuk-petunjuk dan uraian

tentang syarat-syarat Strafbaar feit (delik; perbuatan pidana; tindak

pidana) peraturan tentang syarat-syarat Strafbaar heid (hal dapat

dipidananya seseorang), penunjukan orang yang dapat dipidana dan

ketentuan tentang pidananya, hukum pidana materil menetapkan siapa

dan bagaimana orang itu dapat dipidana.

Menurut Van Hattum (Lamintang, 1997: 10), hukum pidana materil

yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tentang

tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang

(19)

7

terhadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang

dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum

pidana yang abstrak.

Dengan kata lain, hukum pidana materil (hukum pidana substantif),

adalah seluruh peraturan yang memuat rumusan :

1. Perbuatan-perbuatan apakah yang diancam pidana;

2. Siapakah yang dapat dipidana, atau dengan kata lain mengatur

pertanggungjawaban teradap hukum pidana;

3. Pidana apakah yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah

melakukan tindak pidana dan telah terbukti secara sah dan

menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.

B. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana sama pengertiannya dengan peristiwa pidana

atau delik. Menurut rumusan para ahli hukum dari terjemahan

strafbaar feit yaitu suatu perbuatan yang melanggar atau

bertentangan dengan undang-undang atau hukum, perbuatan

mana dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Strafbaar feit merupakan istilah dari bahasa belanda yang

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti

(20)

8

peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana. Kata

strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan feit. Berbagai

istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu,

ternyata straff diterjemahkan sebagai pidana dan hukum.

Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh,

sedangkan untuk feit diterjemahkan dengan

tindak,peristiwa,pelanggaran dan perbuatan.

Selain istilah straffbaar feit, dipakai istilah yang lain yang berasal dari bahasa latin “delictum”. Dalam bahasa Jerman

disebut “delict”, dalam bahasa Perancis disebut “delit” dan dalam

bahasa Indonesia disebut sebagai delik.

Amir Ilyas (2012:28) menjelaskan tindak pidana adalah setiap

perbuatan yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Perbuatan tersebut dilarang oleh Undang-undang (mencocoki rumusan delik);

2. Memiliki sifat melawan hukum; dan 3. Tidak ada alasan pembenar

Wirjono Prodjodikoro (2003:1) menjelaskan istilah tindak pidana dalam bahasa asing adalah “delict” yang berarti suatu perbuatan

yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana dan pelaku ini

dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.

Moeljatno (Adami Chazawi, 2002:71) memberikan definisi

(21)

9

Beliau mendifinisikan perbuatan pidana sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana di sertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.

Selanjutnya menurut Achmad Ali (2002:15) mengemukakan

bahwa :

Pengertian tindak pidana (delik) adalah pengertian umum tentang semua perbuatan yang melanggar hukum ataupun perundang-undangan dengan tidak membedakan apakah pelanggaran itu dibidang hukum privat ataupun hukum publik termasuk hukum pidana.

Selanjutnya Pompe (Lamintang, 1997:82) perkataan tindak

pidana itu dari dua segi, yaitu :

a. Dari segi teoritis, tindak pidana dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib umum) yang dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu, demi terpeliharanya tertib umum dan teraminnya kepentingan umum.

b. Dari segi hukum positif, tindak pidana adalah tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dihukum.

Dalam hukum pidana dikenal delik formil dan delik materil.

Bahwa yang dimaksud delik formil adalah delik yang

perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan

diancam pidana oleh Undang-undang. Di sini rumusan dari

(22)

10

Pidana tentang pencurian. Adapun delik materil adalah delik yang

yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang

dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dengan kata

lain, hanya disebut rumusan dari akibat perbuatan, misalnya Pasal

338 KUHP tentang pembunuhan.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut Moeljatno (2002:58) mengemukakan bahwa “unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan (manusia) yang memenuhi

rumusan dalam Undang-undang (selanjutnya disingkat UU) syarat formil dan sifatnya melawan hukum syarat materil”.

Selanjutnya Meoljatno (2002:58) unsur-unsur tindak pidana

terdiri dari :

1. Kelakuan dan akibat

2. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan yang dibagi menjadi :

a. Unsur subjektif atau pribadi yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan.

b. Unsur subjektif atau non pribadi yaitu mengenai keadaan diluar si pelaku.

Menurut Tongat (2009:105) menjelaskan bahwa terjadinya

tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun negatif (tidak berbuat);

2. Diancam pidana; 3. Melawan hukum;

4. Dilakukan dengan kesalahan;

5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab; 6. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan.

(23)

11 3. Jenis-jenis Tindak Pidana

Dibawah ini akan disebutkan berbagai pembagian jenis delik :

a. Kejahatan dan pelanggaran

Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut

oleh undang-undang. KUHP Buku ke II memuat delik-delik.

KUHP tidak memberi jawaban tentang hal ini. Ia hanya

membrisir atau memasukkan dalam kelompok pertama

kejahatan dan dalam kelompok kedua pelanggaran. Tetapi

ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran (kriterium)

untuk membedakan kedua jenis delik itu. Ada dua pendapat :

Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu

ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu

di dapati 2 jenis delik, ialah :

1. Rechtdelicten Ialah yang perbuatan yang bertentangan

dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam

pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang

benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai

bertentangan dengan keadilan misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” (mala perse).

2. Wetsdelicten Ialah perbuatan yang oleh umum baru

disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang

(24)

undang-12

undang mengancamnya dengan pidana. Misalnya :

memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quia

prohibita). Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”.

Perbedaan secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab

ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena

tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya

tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh

karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan

maka dicari ukuran lain.

Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu

ada perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya

meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”. Mengenai pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran itu terdapat suara-suara yang menentang.

Seminar Hukum Nasional 1963 tersebut di atas juga

berpendapat, bahwa penggolongan-penggolongan dalam dua

macam delik itu harus ditiadakan.

(25)

13 2. Dalam KUHP juga terdapat delik yang digolongkan sebagai

kejahatan-kejahatan misalnya Pasal 364, 373, 375, 379,

382, 384, 352, 302 (1), 315, dan 407.

b. Delik Formil dan Delik Materil

a. Delik formil itu adalah delik yang perumusannya

dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik

tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan

seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal :

penghasutan (Pasal 160 KUHP), di muka umum

menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau

penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat

di Indonesia (Pasal 156 KUHP); penyuapan (Pasal 209,

210 KUHP); sumpah palsu (Pasal 242 KUHP); pemalsuan

surat (Pasal 263 KUHP); pencurian (Pasal 362 KUHP).

b. Delik materiil adalah delik yang perumusannya

dititikberatkan kepada akibat yang tidak

dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat

yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka

paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran

(Pasal 187 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP),

pembunuhan (Pasal 338 KUHP).

c. Delik commisionis, delik ommisionis, dan delik commisionis per

(26)

14

a. Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran

terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang,

pencurian, penggelapan, penipuan.

b. Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap

perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang

diperintahkan/yang diharuskan, misal : tidak menghadap

sebagai saksi di muka pengadilan (Pasal 522 KUHP), tidak

menolong orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 531

KUHP).

c. Delik commisionis per ommisionen commissa : Delik yang

berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis),

akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat.

Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak

memberi air susu (Pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga

wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan

sengaja tidak memindahkan wissel (Pasal 194 KUHP).

d. Delik Dolus dan Culpa (doleuse en culpose delicten).

a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal :

Pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP

b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah

satu unsur misal : Pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan

(27)

15

e. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en

samenge-stelde delicten)

1. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan

perbuatan satu kali.

2. Delik berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila

dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : Pasal 481

(penadahan sebagai kebiasaan)

f. Delik yang berlangsung terus (voordurende en aflopende

delicten)

Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri

bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal :

merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP).

g. Delik biasa dan delik aduan

Delik biasa adalah delik yang untuk dilakukannya penuntutan

pidana tidak diisyaratkan adanya aduan dari yang berhak.

Sedangkan delik aduan adalah delika yang untuk dilakukannya

penuntutan pidana diisyaratkan adanya aduan dari yang

berhak. Contoh :

Delik Biasa : Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)

Delik Aduan : Pencemaran (Pasal 310 KUHP), Fitnah (Pasal

(28)

16

h. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya

peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde

delicten)

Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang

menyebabkan luka berat atau matinya orang (Pasal 351 ayat 2,

3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (Pasal 363).

Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena

dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (Pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (Pasal 351 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP).

i. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan

bukan delik ekonomi

Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam

Pasal 1 Undang Darurat No. 7 tahun 1955,

Undang-Undang darurat tentang tindak pidana ekonomi.

C. Kesalahan

Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena

kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau

akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilkakukan dengan mampu

bertanggung jawab.

(29)

17

Kesalahan dan kelalaian seseorang dapat diukur dengan apakah pelaku tindak pidana itu mampu bertanggung jawab, bila tindaknnya memuat 4 (empat) unsur yaitu :

1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum); 2. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab;

3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (Dolus) dan kealpaan (Culpa);

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Kesalahan selalu ditujukan pada perbuatan yang tidak patut, yaitu

melakukan sesuatu yang seharusya tidak dilakukan atau tidak melakukan

sesuatu yang seharusnya dilakukan. Menurut Bahder Johan Nasution

(Amir Ilyas, 2012:78) bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari :

1. Kesengajaan (Dolus), dan 2. Kealpaan (Culpa).

1. Kesengajaan (Dolus)

Hampir semua tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan

bukan unsur kealpaan ini layak oleh karena biasanya yang pantas

mendpatkan hukuman pidana itu ialah orang yang melakukan

dengan sengaja.

Menurut Wirjono Prodjodikoro (Amir Ilyas, 2012:78)

kesengajaan dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu :

a. Sengaja sebagai niat

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk) si pelaku dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Maka apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana tidak ada yang menyangkal, bahwa si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana ini lebih nampak pabila dikemukakan, bahwa dengan adanya kesengajaan yang berisfat tujuan ini, dapat dikatakan si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya hukum pidana (constitutief gevolg).

(30)

18

Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Jika ini terjadi, maka teori kehendak (wilstheorie) menganggap akibat tersebut juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini juga ada kesengajaan berupa tujuan (oogmerk) oleh karena dalam keduanya tentang akibat tidak dapat dikatakan ada kehendak si pelaku, melainkan hanya banyangan atau gambaran dalam gagasan pelaku bahwa akibat pasti akan pasti terjadi, maka kini juga ada kesengajaan.

c. Sengaja sadar akan kemungkinan

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai banyangan suatu kepastian akan terjadinya akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

Menurut Van Hattum dan Hazewinkel-Suringa (Amir Ilyas,

2012:82) mengakan bahwa :

Tidak ada kesengajaan, melainkan hanya mungkin ada culpa

atau kurang berhati-hati. Kalau masih ada dapat dikatakan, bahwa kesengajaan secara keinsafan kepastian praktis sama atau hampir sama dengan kesengajaan sebagai tujuan (oogmerk), maka sudah terang kesengajaan secara keinsafan kemungkinan tidaklah sama dengan dua macam kesengajaan yang lain itu, melainkan hanya disamakan atau dianggap seolah-olah sama.

2. Kealpaan (Culpa)

Dalam Undang-undang tidak ditemukan apa arti kelalaian atau

kealpaan (culpa) tetapi dari ilmu pengetahuan hukum pidana

diketahui sifat-sifat adalah ciri dari culpa.

Menurut Lamintang (1997:342), mengemukakan bahwa :

1. Sengaja melakukan tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan ingatan/otaknya secara salah, seharusnya dia menggunakan ingatannya (sebaik-baiknya), tetapi dia melakukan suatu tindakan (aktif atau pasif) dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan.

(31)

19

2. Pelaku dapat memperkirakan akibat yang terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya, sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena bersifat melawan hukum.

Menurut E.Y.Kanter (1982:92) mendefinisikan culpa sebagai

berikut :

Kealpaan atau culpa, seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan, yang bentuknya lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, suatu akibat yang timbul itu dikehendaki pelaku maka dalam kealpaan justru akibat itu tidak dikehendaki walaupun pelaku dapat memperkenalkan sebelumnya.

Menurut Wirjono Prodjodikoro (2003:42), mengemukakan

bahwa :

Kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak sederajat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.

Menurut Simons (Leden Marpaung, 2005:25) mengemukakan bahwa :

Umumnya culpa itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga suatu perbuatan itu walaupun suatu perbuatan itu dilakukan dengan berhati-hati masih mungkin juga terjadi culpa jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang UU.

Dapat diduganya akibat itu lebih dahulu oleh pelaku adalah

suatu syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih

dahulu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai

(32)

20

Menurut Jonkers (Rusli Effendy, 1980 : 65) mengumukakan

bahwa :

culpa dalam hukum pidana diperlakukan lebih kurang satu kelalaian yang hebat, yang mengakibatkan perbuatan itu melawan hukum.

Menurut Langemeyer (Moeljatno, 2000: 200) mengumukakan

bahwa:

Culpa adalah suatu struktur yang sangat gecompliceerd. Dia mengadukan dalam satupiak kekeliruan dalam suatu perbuatan lahir, dan menunjukkan kepada adanya keadaan batin yang tertentu dan dilain pihak keadaan itu sendiri.

Menurut Masruchir Ruba’I (2001 : 58) mengumukakan bahwa : Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi kebetulan.

Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki

melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki

terjadinya akibat dari perbuatannya. Jadi dalam kealpaan tidak ada

niat jahat dari petindak. Namun demikian kealpaan tetap ditetapkan

sikap batin petindak yang memungkinkan pemidanaan.

D. Lalu Lintas

1. Pengertian lalu lintas

Di dalam Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu

Lintas Dan Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat UU LLAJ)

didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang diruang lalu

lintas, sedang yang dimaksud dengan ruang lalu lintas jalan adalah

(33)

21

dan/atau barang yang berupa jalan atau fasilitas pendukung.

Operasi lalu lintas di jalan raya ada empat unsur yang saling terkait

yaitu pengemudi, kendaraan, jalan, dan pejalan kaki.

Pemerintah mempunyai tujuan untuk mewujudkan lalu lintas

dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, dan

teratur, nyaman dan efisien melalui menajemen lalu lintas dan

rekayasa lalu lintas. Tata cara berlalu lintas dijalan diatur dengan

peraturan perundangan menyangkut arah lalu lintas, prioritas

menggunakan jalan, lajur lalu lintas, jalur lalu lintas dan

pengendalian arus persimpangan.

2. Kecelakaan Lalu Lintas

Menurut UU LLAJ, kecelakaan lalu lintas adalah “suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan disengaja melibatkan

kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang

mengakibatkan korban dan/atau kerugian harta benda.

Menurut Pasal 229 UU LLAJ menentukan sebagai berikut :

1) Kecelakaan lalu lintas digolongkan atas : a. kecelakaa lalu linta ringan;

b. kecelakaan lalu lintas sedang; atau c. Kecelakaan lalu lintas berat.

2) Kecelakaan lalu lintas ringan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

3) Kecelakaan lalu lintas sedang sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

4) Kecelakaan lalu lintas berat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

(34)

22

5) Kecelakaan lalu lintas sebgaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dimaksud pada Ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian pengguna jalan, ketidaklayakan kendaraan, serta ketidaklayakan jalan dan/atau lingkungan.

3. Ketentuan Pidana Dapat Dijatuhkan Pada Kecelakaan Lalu Lintas

Dalam Pasal 229 UU LLAJ, kecelakaan lalu lintas

digolongkan menjadi 3, yaitu:

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

b. Kecelakaan lalu lintas sedang, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

c. Kecelakaan lalu lintas berat, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

Secara umum mengenai kewajiban dan tanggung jawab

pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau perusahaan

angkutan ini diatur dalam Pasal 234 ayat (1) UU LLAJ yang

berbunyi :

Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi.

Namun dalam Pasal 234 ayat (3) UU LLAJ ketentuan

sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku jika :

a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan pengemudi;

b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau

c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.

(35)

23

Dalam Pasal 236 UU LLAJ pihak yang menyebabkan terjadinya

kecelakaan lalu lintas wajib:

Mengganti kerugian yang besaran nya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Kewajiban mengganti kerugian in dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai diantara para pihak yang terlibat.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa bentuk pertanggungjawaban

atas kecelakaan lalu lintas yang hanya mengakibatkan kerugian

materi tanpa korban jiwa adalah dalam bentuk penggantian

kerugian.

Menurut S. R. Sianturi (2002:211), mengemukakan bahwa:

Dalam hal menentukan apakah kecelakaan yang mengakibatkan kerugian materi tanpa korban jiwa merupakan tindak pidana atau bukan, maka tindakan dinyatakan sebagai tindak pidana jika memenuhi unsur-unsur:

a) Subjek; b) Kesalahan;

c) Bersifat melawan hukum (dari tindakan);

d) Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundang dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;

e) Waktu, tempat dan keadaan.

Jika dikaitkan dengan kecelakaan lalu lintas sebagaimana

tersebut di atas, baik kecelakaan lalu lintas ringan, sedang maupun

berat adalah termasuk tindak pidana. Hal ini merujuk pada

ketentuan Pasal 230 UU LLAJ yang berbunyi: "Perkara Kecelakaan

Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat

(3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai

(36)

24

Jadi, didasarkan pada uraian di atas, maka pihak yang

menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kerugian

materi saja tanpa korban merupakan pelaku tindak pidana dan

akan diproses secara pidana karena tindak pidananya.

Sanksi hukum yang dapat dikenakan atas kejadian tersebut di

atas bagi pengemudi karena kelalaian adalah sanksi pidana yang

diatur dalam Pasal 310 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi :

(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaian nya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), di pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan /atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Sedangkan dalam hal mengemudi kendaraan bermotor dengan

sengaja membahayakan kendaraan/barang, diatur dalam Pasal 311

ayat (2) UU LLAJ yang berbunyi:

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah).

Sedangkan perusahaan jasa angkutan umum, dapat dikenakan

sanksi yang diatur dalam pasal-pasal berikut:

 Pasal 188: "Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan."

 Pasal 191:"Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan

(37)

25

penyelenggaraan angkutan."  Pasal 193

(1) Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang disebakan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim.

(2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami.

(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati.

(4) Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat muatan angkutan barang.

Dalam Pasal 199 (1) UU LLAJ yang berbunyi :

Selain sanksi penggantian kerugian, perusahaan angkutan umum yang bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan dapat diberikan sanksi berupa:

a. Peringatan tertulis; b. Denda administratif; c. Pembekuan izin; dan/atau d. Pencabutan izin.

Jadi, atas kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kerugian

materi namun tidak ada korban jiwa, perusahaan angkutan umum

dapat dikenakan sanksi penggantian kerugian berdasarkan

kerugian yang nyata-nyata dialami sebagaimana telah kami

uraikan di atas dan/atau sanksi administratif sesuai peraturan

(38)

26 4. Ketentuan Pidana Pada Kecelakaan Lalu Lintas

Menurut Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU

LLAJ) :

 Pasal 310: Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaian nya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan:

1. Kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (Satu juta rupiah).

2. Korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah).

3. Korban luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), dalam hal kecelakaan tersebut mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidan dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

 Pasal 311: Setiap yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara dan keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Dalam hal perbuatan mengakibatkan kecelakaan lain dengan :

1. Kerusakan kendaraan dan/atau barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah). 2. Korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau

barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 8.000.000,00 (delapan juta rupiah).

3. Korban luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), dalam hal kecelakaan tersebut mengakibatkan orang lain meniggal dunia dipidana dengan pidana penjara lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta).

(39)

27

Dalam Bab XXI Kitab Undang-undang hukum pidana

(selanjutnya disingkat KUHPidana) yang menyebabkan mati atau

luka-luka karena kealpaan terdaat pada pasal sebagai berikut:  Pasal 359 KUHPidana: Barang siapa karena kesalahaanya

(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

 Pasal 360 KUHPidana:

(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealaannya) menyebabka orang lain mendapat luka-luka berat,diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana kurungan paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling tinggi Rp. 4.500.000,00 (enam juta lima ratus rbu rupiah).

Mengenai tabrak lari, tabrak lari umumnya dengan pengertian

bahwa pelaku atau dalam hal ini pengemudi kendaraan bermotor

meninggalkan korban kecelakaan lallu lintas dan ketika itu tidak

menghentikan kendaraan yang dikemudikan.

Pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu

lintas sebagaimana diatur dalam Pasal 231 UU LLAJ wajib:

1. Menghentikan kendaraan yang dikemudikan. 2. Memberikan pertolongan kepada korban

3. Melaporkan kecalakaan kepada kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan

4. Memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.

Pengemudi kendaraan yang karena keadaan memaksa tidak

(40)

28

kepada korban ketika kecelakaan lain terjadi, keadaan memaksa

dalam hal ini dimaksudkan bahwa situasi dilingkungan lokasi

kecelakaan yang dapat mengancam keselamatan diri pengemudi,

terutama dari amukan massa dan kondisi pengemudi yang tidak

berdaya untuk memberikan pertolongan.

Terhadap hal tersebut maka pengemudi kendaraan bermotor

segera melaporkan diri kepada kepolisian Negara Republik

Indonesia terdekat. Jika hal ini tidak juga dilakukan oleh pengemudi

yang dimaksud maka berdasarkan Pasal 312 UU LLAJ dipidana

dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling

banyak Rp. 75.000.000,00 (jutuh puluh lima juta rupiah).

5. Jenis Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Lalu Lintas

Bagi pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana

barupa pidana penjara, kurungan, atau denda dan selain itu dapat

dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan sura izin mengemudi

atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.

E. Tindak Pidana Kealpaan yang Menyebabkan Hilangnya Nyawa Orang Lain

1. Dasar Hukum Tindak Pidana Kealpaan

Ketentuan mengenai kelalaian atau kealpaan yang

menyebabkan korban ya meninggal dunia diatur dalam KUH

Pidana Buku Kedua tentang Kejahatan Bab XX! Pasal 359, yang

(41)

29

“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau kurungan paling lama 1 (satu) tahun.”

Terdapat pula dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Pasal 310, yang

berbunyi sebagai berikut :

(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaian nya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaian nya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(3) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaian nya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

2. Unsur Delik Karena Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain

Unsur delik yang karena kelpaannya menyebabkan matinya

orang lain dalam hal ini dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP yang berbunyi : “Barang siapa karena kelapaannya menyebabkan

(42)

30

matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 5

(lima) tahun dan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

Unsur-unsur dari rumusan Pasal 359 KUHP diatas yaitu :

a. Barang siapa

Yang dimaksud dengan barang siapa adalah untuk menentukan siapa pelaku delik sebagai objek hukum yang telah melakukan delik tersebut dan memiliki kemampuan mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Dalam hal ini dimaksud dari pada subjek hukum yang memiliki kemapuan bertanggungjawab adalah didasarkan kepada keadaan dan kemampuan jiwa dari pelaku yang didakwakan dalam melakukan delik, yang dalam doktrin hukum pidana ditafsirkan sebagai keadaan sadar.

b. Karena kesalahannya (kelalaian atau kealpaan)

Dalam unsur ini adalah bahwa matinya korban apakah merupakan akibat dari kelakuan yang tidak dikehendaki oleh terdakwa (orang yang berbuat).

c. Mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain

Dalam unsur ini, karena kelalaiannya atau kealpaannya menyebabkan orang lain mati, maka unsur ini adalah untuk melihat hubungan antara pebuatan yang terjadi dengan akibat yang ditimbulkan sehingga rumusan ini menjadi syarat mutlak dalam delik ini adalah akibat.

Menurut Adami Chazawi (2002:125), mengemukakan bahwa : Kalimat “menyebabkan orang mati” tidak berbeda dengan unsur perbuatan menghilangkan nyawa dari pembunuhan dalam

Pasal 338 KUHP. Perbedaanya dengan pembunuhan hanyalah

terletak pada unsur kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati

(culpa) sedangkan kesalahan dalam pembunuhan adalah

(43)

31 F. Putusan

1. Pengertian Putusan

Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan

aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya putusan hakim

berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum tentang

statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah

selanjutnya. Dalam sistem peradilan pidana modern seperti Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai kaidah

hukum formil tidak diperkenankan main hakim sendiri.

Dalam Pasal (1) angka 11 KUHAP disebutkan bahwa putusan pengadilan sebagai: “Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau

bebas lepas dari segala tuntunan hukum dalam serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.”

2. Jenis-Jenis Putusan

Dengan melakukan perumusan KUHAP, pada dasarnya

putusan Hakim/Pengadilan dapat diklasifikasikan menjadi dua

bagian yaitu:

a. Putusan yang bukan putusan akhir

Pada praktik peradilan bentuk putusan awal dapat berupa

penetapan dan putusan sela, putusan jenis ini mengacu

(44)

32

dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila

terdakwa dan/atau penasehat hukum mengajukan

Kekerabatan atau Eksepsi terhadap surat dakwaan Jaksa

Penuntut Umum (JPU). Pada hakekatnya putusan yang

bukan putusan akhir dapat berupa:

1. Penetapan yang menentukan bahwa tidak

berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu

perkara karena merupakan kewenangan Pengadilan

Negeri yang lain sebagaimana ketentuan Pasal 143 Ayat

(1) KUHAP.

2. Putusan menyatakan dakwaan jakasa penuntut umum

batal demi hukum. Karena tidak memenuhi ketentuan

Pasal 143 Ayat (2) huruf b KUHAP, dan dinyatakan batal

demi hukum menurut ketentuan Pasal 143 Ayat (3)

KUHAP.

3. Putusan yang berisikan bahwa dakwaan jaksa atau

penuntut umum tidak dapat diterima sebagaimana

ketentuan Pasal 156 Ayat (1) KUHAP disebabkan materi

perkara tersebut telah daluarsa, materi perkara hukum

(45)

33

b. Putusan akhir

Putusan ini dalam praktik lazim disebut dengan istilah "eind

vonis" dan merupakan jenis putusan ag bersifat materi.

Putusan ini terjadi apabila setelah majelis hakim memeriksa

terdakwa sampai dengan berkas pokok perkara selesai

diperiksa secara teoritik putusan akhir ini dapat berupa:

1. Putusan bebas (Pasal 191 Ayat (1) KUHAP)

Putusan bebas menurut rumpun Eropa Continental,

lazim disebut dengan "vrijspraak". Aturan hukum putusan

bebas diatur dalam KUHAP Pasal 191 ayat (1) yaitu:

"jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas".

Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud

dengan "perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan" adalah tidak cukup

bukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian

dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan

hukum pidana ini.

2. Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan (Pasal

191 Ayat (1) KUHAP).

Secara umum putusan pelepasan dari segala tuntutan

hukum diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1)

(46)

34

"jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”

Apabila dikonklusikan dan dijabarkan lebih lanjut secara

teoritik pada ketentuan Pasal 191 Ayat (2) KUHAP

terhadap pelepasan dari segala tuntutan terjadi jika :

1) Dari hasil pemeriksaan didepan sidang pengadilan

perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan

meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan

tersebut bukanlah merupakan tindak pidana.

2) Karena adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar

3) Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah

yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu.

c. Putusan Pemidanaan (Pasal 193 Ayat (1) KUHAP)

Pada dasarnya putusan pemidanaan diatur oleh ketentuan

Pasal 193 Ayat (1) KUHAP yaitu :

“jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

G. Pertimbangan Hakim Dalam dalam Memutuskan Perkara 1. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah argument

atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum

yang menjadi dasar sebelum memutus perkara. Dalam praktik

(47)

35

dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul

dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi,

keterangan terdakwa, dan barang bukti.

Menurut Lilik Mulyadi(2007:193) mengemukakan bahwa: “Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu delik, apakah perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan detik yang didakwakan oleh penuntut umum/dictum putusan hakim.”

Menurut Rusli Muhammad (2007:212) mengemukakan bahwa

pertimbangan hakim dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni:

Pertimbangan yuridis dan pertimbangan non-yuridis. Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan misalnya Dakwaan Jaksa penuntut umum, keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang-barang bukti, dan pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana. Sedangkan pertimbangan non-yuridis dapat dilihat dari latar belakang, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa, dan agama terdakwa.

Fakta-fakta persidangan yang dihadirkan, berorientasi dari

lokasi, waktu kejadian, dan modus operandi tentang bagaimana

tindak pidana itu dilakukan. Selain itu, dapat pula diperhatikan

bagaimana akibat langsung atau tidak langsung dari perbuatan

terdakwa, barang bukti apa saja yang digunakan, serta apakah

terdakwa dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya atau

tidak.

Apabila fakta-fakta dalam persidangan telah diungkapkan,

(48)

36

didakwakan oleh penuntut umum. Pertimbangan yuridis dari delik

yang didakwakan juga hams menguasai aspek teoritik, pandangan

doktrin, Yurisprudensi, dan posisi kasus yang ditangani, barulah

kemudian secara limitatif ditetapkan pendiriannya. Setelah

pencantuman unsur-unsur tersebut, dalam praktek putusan hakim,

selanjutnya dipertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan atau

memperberatkan terdakwa.

2. Pertimbangan Sosiologis

Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1) yang

mengemukakan bahwa:

Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Jadi, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai

hukum yang hidup di kalangan rakyat. Oleh karena itu, ia harus

terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan

dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat.

Berkaitan dengan hal ini dikemukakan oleh Achmad Ali

(2009:200) mengemukan bahwa:

Dikalangan praktisi hukum, terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata peradilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka, yang penuh dengan muatan normative, diikuti lagi dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif, yang dalam kenyataannya justru berbeda sama sekali dengan penggunaan kajian moral dan kajian ilmu hukum (nomatif).

(49)

37

Menurut Bismar Siregar(1989: 33) mengemukakan bahwa:

Seandainya terjadi dan akan terjadi benturan bunyi hukum antara yang dirasakan adil oleh masyarakat dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian hukum dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan.

Menurut HB Sutopo(2002: 68) mengemukakan bahwa:

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara, antara lain:

a. Memperhatikan sumber hukum tak tertulis dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

b. Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan terdakwa.

c. Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian, kesalahan, peranan korban.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

(50)

38 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini diadakan penelitian di Makassar yaitu di Pengadilan Negeri Makassar.

B. Jenis dan Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan jenis data sebagai berikut :

1) Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui teknik wawancara dengan responden. Data jenis ini diperoleh dari sumber data yang merupakan responden penelitian yaitu Hakim di Pengadilan Negeri Makassar

2) Data Sekunder

Data sekunder yaitu data tidak langsung yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Sumber data dalam hal ini yaitu sebagai berikut :

a) Dokumen-dokumen resmi, arsip-arsip yang terdapat di lokasi penelitian (Pengadilan Negeri Makassar).

b) Literatur, perundang-undangan, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, artikel-artikel dalam media cetak serta media massa lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

(51)

39

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan melakukan

kegiatan sebagai berikut :

1) Wawancara atau interview yaitu proses tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik. Dalam proses interview terdapat dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda, satu pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau penanya atau disebut interviewer sedang pihak yang lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan atau responden. Pada penelitian yang dilakukan ini, penulis atau peneliti berkedudukan sebagai interviewer dan responden adalah Hakim di Pengadilan Negeri Makassar.

Teknik wawancara yang dipakai bersifat bebas terpimpin yaitu wawancara dilakukan dengan menggunakan interview guide yang berupa catatan mengenai pokok-pokok yang akan ditanyakan, sehingga dalam hal ini masih dimungkinkan adanya variasi-variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika interview dilakukan.

2) Studi kepustakaan yaitu mendapatkan data melalui bahan-bahan kepustakaan yang dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari peraturan perundang-undangan, teori-teori atau tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku-buku literatur, catatan kuliah, surat kabar, dan bahan-bahan bacaan ilmiah yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diangkat.

Referensi

Dokumen terkait

mediasi penal ini akan mempunyai implikasi bersifat positif dimana secara filosofis dicapainya penyelesaian perkara secara cepat, sederhana, dan biaya ringan, karena

Program Keahlian Ganda merupakan program yang dirancang untuk memenuhi kekurangan guru produktif di SMK. Pemberian kewenangan mengajar guru yang mengampu mata

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ Pengaruh

Penelitian tentang analisis struktur vegetasi memperlihatkan dengan jumlah vegetasi hasil yang ditemukan adalah 16 jenis tumbuhan yang terdiri dari 12 famili, perhitungan lebih

Nilai negatif (-) pada Z = -0,135 yang berarti bahwa nilai berarti bahwa nilai (kelompok kontrol) lebih kecil daripada nilai (kelompok perlakuan) sehingga dapat disimpulkan

 Dibutuhkan input maupun output atau library untuk Arduino yang secara tidak menentu karena disesuaikan dengan kondisi atau permintaan dari user atau orang –

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metode Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood,) dan metode Bayes dalam menaksir kemampuan peserta pada rancangan tes adaptif.

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini