• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vol 15 No 1 (2006): Jurnal Tribakti | Jurnal Pemikiran Keislaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Vol 15 No 1 (2006): Jurnal Tribakti | Jurnal Pemikiran Keislaman"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

195

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Di Ma Kota Kediri

Nur Ahid*

I A. Latar Belakang Masalah

Sejak 1999 bergulir tema besar dalam kerangka reformasi dan demokratisasi pendidikan di Indonesia. Sebagai bagian dari tema besar tersebut, diperkenalkanlah konsep manajemen berbasis sekolah (school-based management) untuk selanjutnya disebut MBS. Secara konseptual, MBS dipahami sebagai salah satu alternatif pilihan formal untuk mengelola struktur penyelenggaraan pendidikan yang terdesentralisasi dengan menempatkan sekolah sebagai unit utama peningkatan.1 Konsep ini menempatkan redistribusi kewenangan para pembuat kebijakan sebagai elemen paling mendasar, untuk meningkatkan kualitas basil pendidikan. Pada sisi ini, MBS merupakan cara untuk memotivasi kepala sekolah lebih bertanggungjawab terhadap kualitas peserta didik. Untuk itu, sudah seharusnya kepala sekolah mengembangkan program-program kependidikan secara menyeluruh untuk melayani segala kebutuhan peserta didik di sekolah. Semua personel sekolah selazimnya menyam-but dengan merumuskan program yang lebih operasional, karena merekalah pihak yang paling mengetahui akan kebutuhan peserta didiknya.

Inilah filosofi MBS yang paling mendasar. Di Indonesia, pendekatan MBS di samping diposisikan sebagai alternatif, juga sebagai kritik atas penyelenggaraan pendidikan yang selama ini tersentralisasi. Pendidikan sentralistis tidak mendidik manajemen sekolah untuk belajar mandiri; baik dalam hal manajemen kepemimpinan maupun dalam pengembangan institusional, pengembangan kurikulum, penyedian sumber belajar, alokasi sumber daya, dan terutama membangun partisipasi masyarakat untuk ikut memiliki sekolah. Peningkatan pengaruh sekolah, perlu dukungan para stakeholder, yang meliputi: pemerintah daerah, komite sekolah (kepala sekolah, guru, orangtua siswa, dan tokoh masyarakat), serta siswa. Pengambilan keputusan bersama di kalangan stakeholder pada level sekolah merupakan kunci utama dalam melaksanakan MBS.

MBS ditawarkan sebagai salah satu alternatif jawaban pemberian otonomi daerah di bidang pendidikan, mengingat prinsip

*

Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri

1

(2)

196

dan kecenderungannya yang mengembalikan pengelolaan manajemen sekolah kepada pihak-pihak yang dianggap paling mengetahui kebutuhan riel sekolah. Oleh karena itu, jika kita semua sedang gencar berbicara tentang reformasi pendidikan, maka dalam konteks MBS, tema sentral yang diangkat adalah isu desentralisasi. Desentralisasi dalam pengertian sebagai pengalihan tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal perencanaan, manajemen, penggalian dana, alokasi sumberdaya ke pemerintah daerah.

Terkait dengan desentralisasi, MBS dikembangkan untuk membangun sekolah yang efektif. Hanya saja, konsep desentralisasi model MBS mengacu kepada sekolah swa-manajemen (selfmanaging school, bukan pada penyelenggaraan sekolah mandiri (selfgoverning school. Respon yang muncul atas MBS bermacam-macam. Depdiknas merumuskan pengertian MBS sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Sedangkan dalam implementasi konsep MBS, Departemen Agama RI mengem-bangkannya dalam bingkai "Madrasah Mandiri".2 Mandiri dalam mengelola program dan sumberdaya seperti: pengetahuan, teknologi, kekuasaan, material, manusia, waktu dan keuangan. Dengan sistem ini, sekolah-sekolah dideregulasi oleh pemerintah pusat, sementara kontrol dan pengaruh lokal diperluas dengan tujuan sekolah diberi tanggungjawab yang lebih besar untuk mengurus segala keperluan dan mengembangkan programnya. Dalam hal ini, strategi peningkatan kualitas sekolah, bergerak dari bawah ke atas.

Seiring dengan semakin gencarnya tuntutan akuntabilitas para lulusannya sebagai salah satu indikator keberhasilan pendidikan, MBS menjadikan sekolah sebagai satu target utama penilaian, dan membebaninya dengan serangkaian kewajiban untuk melakukan banyak hal dalam rangka memenuhi segala kebutuhan kependidikan para peserta didik. Para kepala sekolah, guru, orang tua dan masyarakat harus mengerti bentuk pengembangan program pendidikan yang tepat dan layak diberikan pada peserta didik, serta dapat merencanakan segala program yang lebih operasional sesuai dengan kebutuhan mereka.

2

(3)

197

Sebagai salah satu referensi dalam upaya mereformasi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia adalah konsep MBS yang dipahami sebagai rangkaian usaha: (a) mendesentralisasi organisasi, manajemen dan penyelenggaraan pendidikan, (b) memberdayakan infrastruktur yang ada sesuai dengan kebutuhan para peserta didik, (c) menciptakan peran dan tanggungjawab baru bagi para pelaku sistem MBS, dan (d) mentransformasikan proses belajar-mengajar secara optimal. Model MBS ini meliputi perencanaan penyelenggaraan pendidikan yang di dalamnya terdapat wewenang dan tanggungjawab fungsionalisasi sekolah yang dirumuskan bersama antara Departemen Pendidikan Nasional Pusat/Departemen Agama Pusat, Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kotamadya, dengan para pelaksana manajemen berbasis sekolah (guru, kepala sekolah, peserta didik, dst).

Semua pihak yang disebutkan di atas, harus bekerja bahu-membahu secara profesional sebagai tim kerja yang sinergis dan solid. MBS merupakan konsep yang menarik dan tipikal. Hal ini karena MBS menempatkan setiap sekolah sebagai unit pembuat kebijakan, mengembangkan lingkungan partisipatoris dan sinergis di antara stakeholder; memanfaatkan waktu secara fleksibel; mempersonalisasikan lingkungan sekolah yang meningkat dengan atmosfir kepercayaan yang terpadu, serta pengharapan yang tinggi atas suasana kejujuran. MBS membutuhkan kurikulum yang terfokus pada pemahaman para peserta didik tentang apa yang mereka pelajari, kenapa dan bagaimana. Sebagai konsekwensinya, MBS menekankan pentingnya tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi bagi setiap peserta didik.

MBS menuntut partisipasi lebih besar dari warga sekolah dalam setiap kebijakan dan sepanjang proses pembuatan keputusan sekolah berlangsung, dan semua keputusan dibuat secara kolektif dan sinergis bersama stakeholder. Dalam konteks MBS, segala kesempatan harus ada dan dimaknai untuk meningkatkan profesionalisme para staf dan kerjasama staf dengan orangtua yang lebih kondusif dalam melayani pendidikan peserta didik. Konsep di atas menuntut para orangtua dan guru mengerti segala kebutuhan yang terbaik untuk peserta didiknya, dan melalui satu usaha yang kooperatif, mereka dapat bahu-membahu meningkatkan program-program yang tepat sesuai kebutuhan peserta didik.

(4)

198

untuk menjadikan visi menjadi aksi.3 Dalam bentuknya yang sederhana, MBS mendeskripsikan satu rangkaian praktik yang di dalamnya semakin banyak melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan dalam membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan program sekolah. MBS sering diawali dengan satu pendelegasian wewenang tertentu dari Depdiknas pusat ke sekolah, dalam hal ini mencakup serangkaian kekuasaan dari satu lingkup kerja yang terbatas dalam hal-hal yang hampir tidak terbatas.

Secara tipikal, segala keputusan yang didesentralisasi adalah kebijakan-kebijakan yang secara langsung berdampak pada peserta didik. Misalnya, kebijakan tentang: program pendidikan, kurikulum, alokasi waktu, dan kebijakan-kebijakan yang bersifat instruksional. Namun demikian, sekolah tidaklah lepas sama sekali. Untuk hal-hal tertentu, sekolah masih perlu bimbingan pemerintah pusat, misalnya bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang mencakup: (a) Pengetahuan, terkait dengan kurikulum, tujuan dan sasaran pendidikan); (b) Teknologi, terkait dengan media, sumber dan instrumen belajar mengajar); (c) Kekuasaan, kewenangan untuk membuat keputusan; (d) Material, penggunaan fasilitas, pengadaan dan peralatan (e) Alokasi sumberdaya manusia (pengembangan profesionalisme untuk mendukung proses belajar

Di tengah-tengah usaha untuk mengembalikan pendidikan kepada masyarakat muncul suara-suara yang khawatir bahwa agenda ini terancam gagal. Kekhawatiran itu pertama-tama muncul setelah orang melihat kecenderungan bahwa konsep MBS merupakan solusi bagi desentralisasi pendidikan. Jika dikritisi lebih lanjut, ada suara-suara yang menyatakan bahwa MBS kurang menyentuh usaha pemberdayaan masyarakat. Sungguhpun ditemukan elemen masyarakat dalam konsep MBS, namun peranannya hanya artifisial. Hal ini antara lain disebabkan karena kultur masyarakat kita masih feodalistik dan paternalistik. Mereka cenderung menyerahkan urusan pengembangan sekolah yang rumit kepada mereka yang dianggap lebih mengetahui. Sementara itu, posisi masyarakat dalam konsep MBS bukan terletak apakah mereka mengetahui atau tidak, tetapi menyangkut soal aspirasi, keinginan, dan harapan masyarakat itu sendiri terhadap sekolah di lingkungannya.

Konsep partisipasi masyarakat dalam manajemen sekolah merupakan tema utama dalam reformasi pengelolaan sekolah di pelbagai sistem pendidikan. Para pembuat-kebijakan mulai percaya

3

(5)

199

bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan, merupakan keharusan untuk melakukan lompatan dari level pembelajaran kelas ke tingkat organisasi sekolah dan mereformasi sistem struktur serta bentuk manajemen sekolah.4 Akibatnya, pelbagai gerakan reformasi terjadi. Beberapa macam program peningkatan diperkenalkan yang menekankan peningkatan fungsi internal berkenaan dengan, misalnya, hubungan interpersonal dan leadership instruksional. Pada saat yang sama, karakteristik sekolah yang efektif ( effectiae schools) dikembangkan melalui reformasi sekolah yang efektif. Penekanan pada otonomi sekolah dalam hubungan dengan penggunaan sumberdayanya dikembangkan melalui reformasi manajemen mandiri keuangan sekolah. Pengembangan kurikulum berbasis sekolah, pengembangan staf berbasis sekolah dan konseling siswa berbasis sekolah, serta bentuk lain dari pengembangan berbasis sekolah diperkenalkan oleh mereka yang memusatkan perhatian pada desentralisasi otoritas dari kantor pendidikan pusat.

Namun demikian, banyak pendidik tetap berpendirian bahwa "desentralisasi kewenangan dari pusat ke level sekolah tidak menjamin bahwa sekolah secara otomatis dapat menggunakan kewenangan tersebut secara efektif bagi peningkatan mutu pendidikan. Oleh sebab itu, pelaku pendidikan dan masyarakat luas (orangtua siswa, terutama) harus bahu-membahu mendukung pengambilan keputusan/kebijakan di tingkat sekolah".5 Pokok pikiran ini, di penghujung 1980-an, telah merangsang munculnya restrukturisasi pembuatan kebijakan bersama dalam manajemen sekolah. Pemerintah dengan pelbagai persuasi telah memutuskan untuk berinisiatif dalam merintis perubahan pengambilan kebijakan yang lebih berbasis sekolah, namun masih tetap dalam bingkai kebijakan dan pedoman (guidelines) nasional.6 Manajemen Berbasis Sekolah menjadi fokus utama guna merestrukturisasi sistem pendidikan, maka pemerintah Indonesia melalui undang-undang otonomi daerah, memberikan kewenangan ke masing-masing daerah dan lembaga pendidikan untuk dikelola sesuai dengan kondisi daerah atau lembaga masing-masing.

B. Fokus Penelitian

4

Cheng, Y.C. School effectiveness and school-based management: a mechanism for development. (London: The Falmer Press, 1996), 43

5

Ibid., 43-44

6

(6)

200

Didalam penelitian ini yang menjadifokus penelitian ini adalah: Bagaimana Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di MA Kota Kediri?

C. Tujuan Penelitian

Didalam pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di MA Kota Kediri.

D. Metode Penelitian

Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi dan dokumentasi.

1. Wawancara

Wawancara dilakukan pada subyek penelitian, yaitu Kakan Diknas dan Kakan Depag Kota Kediri, Mapenda, kepala sekolah dan wakil kepala MA di Kota Kediri.

Wawancara dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama adalah tahap penjajagan untuk mengenalkan masalah penelitian pada subyek. Tahap ini dimaksudkan agar subyek memahami secara benar permasalahan yang diteliti. Dalam tahap ini pula, peneliti menjajagi kemungkinan jawaban awal yang diberikan oleh subyek.

Tahap kedua, adalah wawancara mendalam. Dalam tahapan ini dengan bermodalkan hasil wawancara sementara dan mengadakan verifikasi data, peneliti mengadakan wawancara mendalam dan memfokuskan pada permasalahan inti. Di sini peneliti dapat mengungkap data yang lebih obyektif dan lebih sempurna, serta dapat mengeliminasi informasi yang dianggap tidak perlu.

2. Observasi

Metode observasi adalah metode pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap kenyataan-kenyataan yang diselidiki. Winarno Surakhmad yang berpendapat bahwa. “observasi adalah tehnik pengumpulan data di mana penyelidik mengadakan pengamatan secara langsung (tanpa alat) terhadap gejala-gejala subyek yang di selidiki, baik pengamatan itu dilaksanakan di dalam situasi sebenarnya maupun yang dilakukan di dalam situasi buatan yang khusus diadakan.”7

7

(7)

201

Dalam melakukan observasi ini, peneliti mengamati secara langsung mengenai Implementasi Manajemen Berbasis Kompetensi yang ada di MA yang menjadi sampel.

3. Dokumentasi

Menurut Suharsimi Arikunto, metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, dokumen, transkip atau surat kabar, majalah, prasati, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya.8

Dengan tehnik ini, peneliti berupaya untuk mencari, menverifikasi dan mencatat dokumen tentang : Pedoman Implementasi Manajemen Berbasis Kompetensi yang ada di MA. 5. Analisis Data

Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya adalah menganalisis data. Data yang terkumpul dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dirangkum, dibandingkan, dianalisis, dan dideskripsikan untuk penyajian laporan penelitian. Proses ini dilakukan seketika setelah wawancara selesai dan didukung dengan hasil observasi, kemudian dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang terkumpul.

Dari hasil data tersebut diatas, dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode induktif dan komperatif.

II

A. Definisi Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen berbasis-sekolah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dengannya peningkatan dapat didorong dan ditopang.9

Definisi MBS sebagai berikut: ... suatu cara untuk memaksa sekolah itu sendiri mengambil tanggungjawab atas

8

Suharmisi Arikunto, , Prosedur Penelitian …., 188

9

Malen, B. RT. Ogawa dan J. Kranz, "What do we know about school-based management? A case study of the literature a call for research". Dalam W.J. Clime, dan J.F. Witte, (ed.). Choice and control in American education, Volume 2: The practice ofchoice, decentralization and school restructuring.

(8)

202

apa yang terjadi pada anak menurut jurisdiksinya dan mengikuti sekolahnya. Konsep ini menegaskan bahwa, ketika sekolah itu sendiri dibebani dengan pengembangan total program kependidikan yang berlujuan melayani kebutuhan-kebutuhan anak dalam mengikuti sekolah khusus itu, personil sekolah akan mengembangkan program-program yang lebih meyakinkan karena mereka mengetahui para siswa dan kebutuhan-kebutuhan mereka.10

Hallinger, Murphy dan Hausman menunjuk MBS sebagai terdiri dari usaha-usaha untuk mendesentralisasikan organisasi, manajemen, dan penyelenggaraan pendidikan; memberdayakan infrastruktur tersebut lebih dekat dengan para siswa di ruang kelas (yaitu para guru, orangtua, dan kepala sekolah); menciptakan peran dan tanggungjawab baru bagi para pelaku dalam sistem tersebut; dan mentransformasikan proses belajar-mengajar yang berkembang di ruang kelas.11 Model ini mencakup perencanaan penyelenggaraan pendidikan di mana kewenangan dan tanggung jawab atas berfungsinya sekolah itu sendiri ditanggung bersama antara kantor pusat (Kementerian, Departemen Pendidikan Nasinal, Departemen Agama, Kantor Daerah, Otoritas Pendidikan Lokal, dan seterusnya), dan pegawai berbasis sekolah (para guru, kepala sekolah, dewan sekolah, dan seterusnya), yang kesemuanya bekerja sebagai profesional, kolega yang bekerja-sama. Model ini dibedakan ... oleh suatu agenda berbeda yang mencolok sekali dan mengasyikkan, mencakup: sekolah itu sendiri sebagai unit pembuatan keputusan, pengembangan kolegial, lingkungan yang partisipatoris antara siswa dan staf; pemanfaatan waktu yang fleksibel; personalisasi lingkungan sekolah yang meningkat dengan suatu atmosfer kepercayaan bersama, pengharapan yang tinggi, dan rasa kejujuran; suatu kurikulum yang lerfokus pada pemahaman para siswa tentang apa yang mereka pelajari mengetahui kenapa dan juga bagaimana, serta penekanan pada kemampuan tertib berpikir yang lebih tinggi bagi semua siswa.12

10

Candoli, LC. Site-based management in education: …….., xi

11

Hallinger, P. J. Murphy dan C. Hausman. "Restructuring schools: prin-cipals' perceptions of fundamental educational reform". Da.lam C. Dimmock, (ed.).

School based Management and schoole ectiveness. (London: Routledge, 1993), 330

12

(9)

203

Kepala sekolah secara individual atau wakilnya. Dalam konteks MBS, terdapat beberapa kesempatan bagi peningkatan profesionalisme staf dan kerjasama staf, orang tua dalam pendi-dikan siswa.13 Dengan jelas, konsep tersebut menunjukkan bahwa para orang tua dan guru mengetahui para siswanya yang terbaik, dan melalui usaha-usaha kerjasama, mereka dapat mengembangkan program-program yang tepat yang dibutuhkan anak-anak mereka. Konsep tersebut menegaskan bahwa keputusan-keputusan tertentu merupakan bidang lingkungan sekolah lokal dan dengan demikian, lebih diutamakan daripada kantor pusat mengenai keputusan--keputusan tersebut.

Gaffar mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Manajemen pendidikan juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah, maupun tujuan jangka panjang.14

Manajemen atau pengelolaan merupakan komponen integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Alasannya tanpa manajemen tidak mungkin tujuan pendidikan dapat diwujudkan secara optimal, efektif, dan efisien. Konsep tersebut berlaku di sekolah yang memerlukan manajemen yang efektif dan efisien. Dalam kerangka inilah tumbuh kesadaran akan pentingnya manajemen berbasis sekolah, yang memberikan kewenangan penuh kepada sekolah dan guru dalam mengatur pendidikan dan pengajaran, merencanakan, mengorganisasi, mengawasi, mempertanggungjawabkan, mengatur, serta memimpin sumbersumber daya insani serta barang-barang untuk membantu pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan sekolah. Manajemen berbasis sekolah juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan minat peserta didik, guru-guru, serta kebutuhan masyarakat setempat. Untuk itu, perlu dipahami fungsi-fungsi pokok manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan. Dalam

13

Campbell-Ivans, G. "A values perspective on based-based management". Dalam C. Dimmock, (ed.). School-based management andschool effectiveness.

(London: Routledge, 1993), 93

14

(10)

204

prakteknya keempat fungsi tersebut merupakan suatu proses yang berkesinambungan.15

Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian Balitbangdikbud (1991) menunjukkan bahwa manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.

Manajemen sekolah secara langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar, dan proses pembelajaran. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas pendidikan harus dimulai dengan pembenahan manajemen sekolah, di samping peningkatan kualitas guru dan pengembangan sumber belajar.

Dalam manajemen pendidikan dikenal dua mekanisme pengaturan, yaitu sistem sentralisasi dan desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Sementara dalam sistem desentralisasi, wewenang pengaturan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua sistem tersebut dalam prakteknya tidak berlaku secara ekstrem, tetapi merupakan bentuk kontinum; dengan pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (lokal). Hal ini juga berlaku dalam menejemen pendidikan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan UUSPN 1989 bahwa pendidikan nasional diatur secara terpusat (sentralisasi), namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak terpusat (desentralisasi).16 Hal tersebut cukup beralasan karena masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan mengurangi segi-segi negatif, pengelolaan pendidikan tersebut memadukan sistem sentralisasi dan desentralisasi.

MBS memerlukan upaya-upaya penyatupaduan atau penyelarasan sehingga pelaksanaan pengaturan berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, berbenturan, saling lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan efisien.

15

E Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 19-20

16

(11)

205

MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan, yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Sejalan dengan jiwa dan semangat desentralisasi serta otonomi dalam bidang pendidikan, kewenangan sekolah juga berperan dalam menampung konsensus umum yang meyakini bahwa sedapat mungkin keputusan seharusnya dibuat oleh mereka yang memiliki akses paling baik terhadap informasi setempat, yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kebijakan, dan yang terkena akibat-akibat dari kebijakan tersebut.

Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut.

1. kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru;

2. bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal;

3. efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, basil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah;

4. adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.17

B. Komponen-komponen Manajemen

Sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka MBS, yaitu kurikulum dan program pengajaran, tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dan prasarana pendidikan, pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat, serta manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan.18

1. Manajemen Kurikulum dan Program Pengajaran

Manajemen kurikulum dan program pengajaran merupakan bagian dari MBS. Manajemen kurikulum dan program pengajaran mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan

17

Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 46

18

(12)

206

penilaian kurikulum. Perencanaan dan pengembangan kurikulum nasional pada umumnya telah dilakukan oleh Departeman Pendidikan Nasional pada tingkat pusat. Karena itu level sekolah yang paling penting adalah bagaimana merealisasikan dan menyesuaikan kurikulum tersebut dengan kegiatan pembelajaran. Di samping itu, sekolah juga bertugas dan berwewenang untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat.

2. Manajemen Tenaga Kependidikan

Manajemen tenaga kependidikan atau manajemen personalia pendidikan bertujuan untuk mendayagunakan tenaga kependidikan secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal, namun tetap dalam kondisi yang menyenangkan. Sehubungan dengan itu, fungsi personalia yang harus dilaksanakan pimpinan, adalah menarik, mengembangkan, menggaji, dan memotivasi personil guna mencapai tujuan sistem, membantu anggota mencapai posisi dan standar perilaku, memaksimalkan perkembangan karier tenaga kependidikan, serta menyelaraskan tujuan individu dan organisasi.

Manajemen tenaga kependidikan (guru dan personil) mencakup (1) perencanaan pegawai, (2) pengadaan pegawai, (3) pembinaan dan pengembangan pegawai, (4) promosi dan mutasi, (5) pemberhentian pegawai, (6) kompensasi, dan (7) penilaian pegawai.19 Semua itu perlu dilakukan dengan baik dan benar agar apa yang diharapkan tercapai, yakni tersedianya tenaga kependidikan yang diperlukan dengan kualifikasi dan kemampuan yang sesuai serta dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik dan berkualitas.

3. Manajemen Kesiswaan

Manajemen kesiswaan bertujuan untuk mengatur berbagai kegiatan dalam bidang kesiswaan agar kegiatan pembelajaran di se-kolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur, serta mencapai tu-juan pendidikan sekolah. Untuk mewujudkan tutu-juan tersebut, bidang manajemen kesiswaan sedikitnya memiliki tiga tugas utama yang harus diperhatikan, yaitu penerimaan murid baru, kegiatan kemajuan belajar, serta bimbingan dan pembinaan disiplin.

19

(13)

207

Berdasarkan tiga tugas utama tersebut Sutisna menjabarkan tanggung jawab kepala sekolah dalam mengelola bidang kesiswaan berkaitan dengan hal-hal berikut: 20 a) Kehadiran murid di sekolah dan masalah-masalah yang berhubungan dengan itu; b) Penerimaan, orientasi, klasifikasi, dan penunjukkan murid ke kelas dan program studi; c) Evaluasi dan pelaporan kemajuan belajar; d) Program supervisi bagi murid yang mempunyai kelainan, seperti pengajaran, perbaikan, dan pengajaran luar biasa; e) Pengendalian disiplin murid; f) Program bimbingan dan penyuluhan; g) Program kesehatan dan keamanan; h) Penyesuaian pribadi, sosial, dan emosional.

4. Manajemen Keuangan dan Pembiayaan

Dalam penyelenggaraan pendidikan, keuangan dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan-kegiatan proses belajar-mengajar di sekolah bersama komponen-komponen lain.

Sumber keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah secara garis besar dapat dikelompokkan atas tiga sumber, yaitu (1) pemerintah, baik pemerintah pusat, daerah maupun kedua-duanya, yang bersifat umum atau khusus dan diperuntukkan bagi kepentingan pendidikan; (2) orang tua atau peserta didik; (3) masyarakat, baik mengikat maupun tidak mengikat. Berkaitan dengan penerimaan keuangan dari orang tua dan masyarakat ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 1989 bahwa karena keterbatasan kemampuan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan dana pendidikan, tanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan dana pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua. Adapun dimensi pengeluaran meliputi biaya rutin dan biaya pembangunan.21

5. Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan

Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, seperti gedung,

20

Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis dan Praktek Profesional, (Bandung: Angkasa, 1993), 73

21

(14)

208

ruang kelas, meja kursi, serta alat-alat dan media pengajaran. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran, seperti halaman, kebun, taman sekolah, jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, seperti taman sekolah untuk pengajaran biologi, halaman sekolah sebagai sekaligus lapangan olah raga, komponen tersebut merupakan sarana pendidikan.

Manajemen sarana dan prasarana yang baik diharapkan dapat menciptakan sekolah yang bersih, rapi, indah sehingga menciptakan kondisi yang menyenangkan baik bagi guru maupun murid untuk berada di sekolah. Di samping itu juga diharapkan tersedianya alat-alat atau fasilitas belajar yang memadai secara kuantitatif, kualitatif, dan relevan dengan kebutuhan serta dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan proses pendidikan dan pengajaran, baik oleh guru sebagai pengajar maupun murid-murid sebagai pelajar.

6. Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat

Hubungan sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta didik di sekolah. Dalam hal ini, sekolah sebagai sistem sosial merupakan bagian integral dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat. Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat dalam mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara efektif dan efisien. Sebaliknya sekolah juga harus menunjang pencapaian tujuan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan pendidikan. Oleh karena itu, sekolah berkewajiban untuk memberi penerangan ter}tang tujuan-tujuan, program-program, kebutuhan, serta keadaan masyarakat. Sebaliknya, sekolah juga harus mengetahui dengan jelas apa kebutuhan, harapan, dan tuntutan masyarakat, terutama terhadap sekolah. Dengan perkataan lain, antara sekolah dan masyarakat harus dibina suatu hubungan yang harmonis.

(15)

209

sekolah.22 Untuk merealisasikan tujuan tersebut, banyak cara yang bisa dilakukan oleh sekolah dalam menarik simpati masyarakat terhadap sekolah dan menjalin hubungan yang harmonis antara sekolah masyarakat. Hal tersebut antara lain dapat dilakukan dengan memberitahu masyarakat me)lgenai program-program sekolah, baik program yang telah dilak-sanakan, yang sedang dilakdilak-sanakan, maupun yang akan dilaksa-nakan sehingga masyarakat mendapat gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan.

7. Manajemen Layanan Khusus

Manajemen layanan khusus meliputi manajemen perpustakaan, kesehatan, dan keamananan sekolah. Sekolah sebagai satuan pendidikan yang bertugas dan bertanggung jawab melaksanakan proses pembelajaran, tidak hanya bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap saja, tetapi harus menjaga dan meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani peserta didik. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu "... manusia yang rnemiliki kesehatan jasmani dan rohani" (UUSPN, bab II pasal 4).

Untuk kepentingan tersebut, di sekolah-sekolah dikembangkan program pendidikan jasmani dan kesehatan, menyediakan pelayanan kesehatan sekolah melalui usaha kesehatan sekolah (UKS), dan berusaha meningkatkan program pelayanan melalui kerja sama dengan unit-unit dinas kesehatan setempat.

Di samping itu, sekolah juga perlu memberikan pelayanan keamanan kepada peserta didik dan para pegawai yang ada di sekolah agar mereka dapat belajar dan melaksanakan.

C. Temuan Penelitian

1. Manajemen Kurikulum dan Program Pengajaran

Kurikulum Madrasah Aliyah terdiri dari dua rumpun mata pelajaran utama, yaitu rumpun Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab, dan rumpun mata pelajaran non PAI mulai tingkat kelas XI atau tahun kedua Madrasah Aliyah, diselenggarakan program studi pilihan.

Madrasah Aliyah di Kediri terdapat program studi, yaitu: 1) Program Studi Ilmu Pengetahuan Alam, 2) Program Studi Ilmu

22

(16)

210

Pengetahuan Sosial, dan 3) Program Studi Bahasa. Pemilihan progran studi dilaksanakan sejak kelas XI (Kelas II Madrasah Aliyah). Dengan demikian, kelas X (Kelas I Madrasah Aliyah) merupakan program bersama yang diikuti oleh semua siswa. Begitu naik ke kelas XI, siswa mengikuti salah satu program studi pilihan tersebut. Keempat program studi tersebut secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:23

Progra m st udi I l mu Al a m me ne kanka n pa da pemahaman prinsip alam serta mendorong siswa untuk bekerja dan bersikap ilmiah. Fokus program studi ini pada Mata Pelajaran Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi.

Program studi Ilmu Sosial menekankan pada pemahaman prinsip-prinsip kemasyarakatan untuk mendorong siswa mengembangkan potensinya dalam menciptakan kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama. Fokus program studi ini pada mata pelajaran Kewarganegaraan, Ekonomi, Sejarah dan Sosiologi.

Program studi Bahasa menekankan pada pemahaman prinsip-prinsip multikultural dan komunikasi secara efektif melalui bahasa. Fokus program studi bahasa ini pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris, bahasa asing lainnya (selain bahasa Arab).

Kurikulum Madrasah Aliyah Kediri menggunakan murikulum dari Depag Pusat, namun ada sebagian kurikulumnya disusun oleh lembaga setempat dan disesuaikan

dengan kondisi yang ada.24Di sini tidak setiap madrasah sama

akan tetapi berbeda-beda, terutama yang ada dibawah naungan yayasan.

2. Manajemen Tenaga Kependidikan

Manajemen tenaga kependidikan (guru dan personil) mencakup (1) perencanaan pegawai, (2) pengadaan pegawai, (3) pembinaan dan pengembangan pegawai, (4) promosi dan mutasi, (5) pemberhentian pegawai, (6) kompensasi, dan (7) penilaian pegawai. Semua itu perlu dilakukan dengan baik dan benar agar apa yang diharapkan tercapai, yakni tersedianya tenaga kependidikan yang diperlukan dengan kualifikasi dan

23

Dari Buku Pedoman Pengembangan Silabus Kurikulm Pendidikan Agama Islam yang digunakan oleh Madrasah-Madrasah Aliyah di Kediri.

24

(17)

211

kemampuan yang sesuai serta dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik dan berkualitas.

Perencanaan Pegawai ini ada dua macam: a. Madrasah Negeri, dan b. Madrasah Swasta. Yang negeri ini juga ada dua macam: 1) Pengangkatan pegawai Negeri Sipil (PNS), 2) Pengangkatan Honorer. Yang negeri ini sesuai formasi dari pemerintah, sedang yang Honorer ini sesuai dengan kebutuhan lembaga dan kondisi keuangan yang ada.25 Sedang bagi Madrasah Swasta ini seluruh formasi pegawai ditentukan oleh Yayasan dan Pimpinan Madrasah, kecuali guru negeri yang diperbantukan.26 3. Manajemen Kesiswaan

Bidang manajemen kesiswaan di sini terdapat tiga tugas yang diperhatikan, yaitu penerimaan murid baru, kegiatan kemajuan belajar, serta bimbingan dan pembinaan disiplin.27

Manajemen penerimaan murid baru ini, baik negeri maupun swasta tidak jauh berbeda, karena sepenuhnya diserahkan oleh kebijakan madrasah setempat. Pemerintah dalam hal ini Kakandepag maupun Kakanwil tidak ikut campur tangan dalam hal ini, sehingga masing-masing lembaga mempunya otoritas penuh.

Kegiatan kemajuan belajar, baik melalui guru, wali kelas maupun BP ini antara negeri dan swasta sedikit berbeda, sebab kalau negeri ini ada guru khusus BP, sedangkan yang swasta dirangkap oleh wali kelas, bahkan kadang-kadang oleh kepala atau wakil kepala madrasah.28

4. Manajemen Keuangan dan Pembiayaan

Sumber keuangan dan pembiayaan antara negeri dan swasta berbeda. Kalau negeri suber keuagan terbesar dari Negara, sedangkan kalau swasta sumber keuangan terbesar dari SPP dan wali murid.29 Pada suatu madrasah secara garis besar dapat dikelompokkan atas tiga sumber, yaitu (1) pemerintah, baik pemerintah pusat, daerah maupun kedua-duanya, yang bersifat

25

Wawancara dengan Imam Syafi'I, Kepala Madrasah Aliyah Negeri III Kediri, tanggal 15 Oktober 2005

26

Taufiq Hidayat, Kepala Madrasah Aliyah Tribakti, wawancara tanggal 13 Oktober 2005

27

Wawancara dengan Waka Kesiswaan MAN II Kediri, 16 Oktober 2005

28

Wawancara dengan Subbag keuangan (bendahara) Tribakti dan Taufiq Hidayat, Kepala Madrasah Aliyah Tribakti, tanggal 19 Oktober 2005 dan Wawancara Waka MAN II Kediri, 20 Oktober 2005

29

(18)

212

umum atau khusus dan diperuntukkan bagi kepentingan pendidikan; (2) orang tua atau peserta didik; (3) masyarakat, baik mengikat maupun tidak mengikat.30 Berkaitan dengan pene-rimaan keuangan dari orang tua dan masyarakat ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 1989 bahwa karena keterbatasan kemampuan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan dana pendidikan, tanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan dana pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua. 5. Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan

Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bagai yang swasta ini kebijakan penuh ditentukan oleh yayasan, sedang pimpinan madrasah sifatnya hanya memberi masukan ataupun pertimbangan. Sedang yang negeri diputuskan secara bersama-sama melalui rapat.31

6. Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat

Manajamen hubungan sekolah dengan masyarakat ini umumnya dibawah tanggung jawab wakasek bidang humas, namun Kepala sekolah juga merupakan salah satu kunci untuk bisa menciptakan hubungan yang baik antara sekolah dan masyarakat secara efektif karena harus menaruh perhatian tentang apa yang terjadi pada peserta didik di sekolah dan apa yang dipikirkan orang tua tentang sekolah.

Di sini Kepala Madrasah selalu senantiasa berusaha membina dan meningkatkan hubungan kerja sama yang baik antara sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien.32

Hubungan yang harmonis ini dapat membentuk saling pengertian antara sekolah, orang tua, masyarakat, dan lembaga-lembaga lain yang ada dl masyarakat, termasuk dunia kerja; saling membantu antara sekolah dan masyarakat karena mengetahui manfaat, arti dan pentingnya peranan masing-masing; kerja sama yang erat antara sekolah dengan berbagai pihak yang ada

30

Wawancara dengan Imam Syafi'I, Kepala Madrasah Aliyah Negeri III Kediri, tanggal 15 Oktober 2005

31

Wawancara dengan Kepala MAN II Kediri, 20 Oktober 2005 dan Wawancara Waka MAN III Kediri, 23 Oktober 2005 dan Taufiq Hidayat, Kepala Madrasah Aliyah Tribakti, wawancara tanggal 19 Oktober 2005

32

(19)

213

di masyarakat dan mereka merasa ikut bertanggung jawab atas suksesnya pendidikan di madrasah.

Melalui hubungan yang harmonis inilah diharapkan tercapai hubungan yang baik, antara sekolah dengan masyarakat, yaitu terlaksananya proses pendidikan di sekolah secara produktif, efektif, dan efisien sehingga menghasilkan lulusan sekolah yang produktif dan berkualitas.

D. Pembahasan

1. Manajemen Kurikulum dan Program Pengajaran

Majanemen kurikulum dan Program pengajaran secara umum berjalan sesuai dengan pedoman kurikulum Depag, namun disini ada perbedaan yang spesifik terutama madrasah yang dibawah yayasan pesantren, maka disini ada beberapa mata pelajaran tambahan, misalnya: Fiqih pesantren dan kitab kuning. Sedang program pengajarannya pun demikian, misalnya: Bulan Romadlon hanya diisi materi-materi pelajaran keagamaan saja.

2. Manajemen Tenaga Kependidikan

Manajemen tenaga kependidikan di Madrasah Aliyah Kota Kediri ini antara negeri dengan swasta tidak sama, sebab kalau negeri bagi guru-guru PNS sepenuhnya oleh Depag pusat atau Kanwil, kecuali tenaga kependidikan yang honorer. Sedang madrasah yang swasta otoritas penuh ditentukan oleh yayasan, atas pertimbangan pimpinan madrasah.

3. Manajemen Kesiswaan

Sebagai mana paparan data di atas bahwa manajemen kesiswaan atau penerimaan murid baru ini, baik negeri maupun swasta tidak jauh berbeda, karena sepenuhnya diserahkan oleh kebijakan madrasah setempat. Pemerintah dalam hal ini Kakandepag maupun Kakanwil tidak ikut campur tangan dalam hal ini, sehingga masing-masing madarasah Aliyah yang ada di Kota Kediri mempunyai otoritas penuh, kemudian data seluruh siswa dilaporkan ke Mapenda Depag Kota Kediri.

4. Manajemen Keuangan dan Pembiayaan

(20)

214

Negara, sedang yang swasta dibiayai dari SPP dan swadaya masyarakat.

5. Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan

Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bagai madrasah Aliyah Kota Kediri bagi yang swasta ditentukan oleh yayasan, dan pimpinan madrasah sifatnya hanya memberi masukan ataupun pertimbangan. Sedang yang negeri diputuskan secara bersama-sama melalui rapat.

6. Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat

Manajamen hubungan sekolah dengan masyarakat ini umumnya dibawah tanggung jawab wakasek bidang humas, namun Kepala sekolah juga merupakan salah satu kunci untuk bisa menciptakan hubungan yang baik antara sekolah dan masyarakat secara efektif karena harus menaruh perhatian tentang apa yang terjadi pada peserta didik di sekolah dan apa yang dipikirkan orang tua tentang sekolah.

III

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Manajemen berbasis sekolah adalah suatu perubahan formal

struktur penyelenggaraan pendidikan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan dan pembuatan keputusan sehingga sekolah memiliki otoritas kemandirian menentukan kebijakan sendiri. 2. Komponen-komponen Manajemen Berbasisi Sekolah adalah:

a. Manajemen Kurikulum dan Program Pengajaran, b. Manajemen Tenaga Kependidikan,

c. Manajemen Kesiswaan,

d. Manajemen Keuangan dan Pembiayaan, e. Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan, f. Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat.

(21)

215

a. Majanemen kurikulum dan Program pengajaran secara umum berjalan sesuai dengan pedoman kurikulum Depag, namun disini ada perbedaan yang spesifik terutama madrasah yang dibawah yayasan pesantren, maka disini ada beberapa mata pelajaran tambahan, contoh: Fiqih pesantren dan kitab kuning. Sedang program pengajarannya pun demikian, misalnya: Bulan Romadlon hanya diisi materi-materi pelajaran keagamaan saja.

b. Manajemen tenaga kependidikan di Madrasah Aliyah Kota Kediri ini antara negeri dengan swasta tidak sama, sebab kalau negeri bagi guru-guru PNS sepenuhnya oleh Depag pusat atau Kanwil, kecuali tenaga kependidikan yang honorer. Sedang madrasah yang swasta otoritas penuh ditentukan oleh yayasan, atas pertimbangan pimpinan madrasah.

c. Manajemen kesiswaan atau penerimaan murid baru ini, baik negeri maupun swasta tidak jauh berbeda, karena sepenuhnya diserahkan oleh kebijakan madrasah setempat. Pemerintah dalam hal ini Kakandepag maupun Kakanwil tidak ikut campur tangan dalam hal ini, sehingga masing-masing madarasah Aliyah yang ada di Kota Kediri mempunyai otoritas penuh, kemudian data seluruh siswa dilaporkan ke Mapenda Depag Kota Kediri.

d. Manajemen keuangan dan pembiayaan Madrasah Aliyah Kota Kediri secara umum ada dua macam. a. negeri dan b. swasta. Untuk yang negeri mayoritas biaya oprasional dibiayai oleh Negara, sedang yang swasta dibiayai dari SPP dan swadaya masyarakat.

e. Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bagai madrasah Aliyah Kota Kediri bagi yang swasta ditentukan oleh yayasan, dan pimpinan madrasah sifatnya hanya memberi masukan ataupun pertimbangan. Sedang yang negeri diputuskan secara bersama-sama melalui rapat.

f. Manajamen hubungan sekolah dengan masyarakat ini umumnya dibawah tanggung jawab wakasek bidang humas, namun Kepala sekolah juga merupakan salah satu kunci untuk bisa menciptakan hubungan yang baik antara sekolah dan masyarakat secara efektif karena harus menaruh perhatian tentang apa yang terjadi pada peserta didik di sekolah dan apa yang dipikirkan orang tua tentang sekolah.

(22)

216

BPPN dan Bank Dunia, School Based Manajemen, (Jakarta: BPPN dan Bank Dunia, 1999.

Caldwell, B:J. da.n J. Spinks. Leading these f managing school. (London: The Falmer Press, 1992)

Caldwell, BJ. Decentralizing the management ofAustralia'.c schools. (Canberra: National Industry Education Forum,

1993a)

Campbell-Ivans, G. "A values perspective on based-based manage-ment". Dalam C. Dimmock, (ed.). School-based management andschool effectiveness. (London: Routledge, 1993)

Candoli, LC. Site-based management in education: how to make it work in your school. (Lancaster: Technomic Publishing Co., 1995)

Chapman, J."A new conception of the principalship: decentralisation, devolution and the administration of schools". Da.lam J. Hattie, R. Kefford, (Ian P. Porter, (eds.) Skills, technology and management in education. (East Gelong: Australian College of Education, 1988)

Cheng, Y.C. School effectiveness and school-based management: a mechanism for development. (London: The Falmer Press, 1996)

David, J. "Restructuring in progress: lessons from pioneering dis-tricts". dalam R. Elmore (ed.). RestructuringschooLc: the nextgeneration of educational reform. (San Francisco: Jossey Bass, 1990)

Fajar, Malik, Kata Pengantar School-Based Management (Manajemen Berbasis Sekolah), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), xv.

(23)

217

Fiske, E. "Decentralization of education: politics and consensus". Di-rections in Development. (Washington, D.C.: World Bank, 1996)

Gaffar, Perencanaan Pendidikan Teori dan Metodologi. (Jakarta: P2LPTK, 1989)

Hallinger, P. J. Murphy dan C. Hausman. "Restructuring schools: principals' perceptions of fundamental educational reform". Da.lam C. Dimmock, (ed.). School based Management and schoole ectiveness. (London: Routledge, 1993)Hill D. B. Smith and J Spinks. Local management ofsch.ooLc. (London: Paul Chapman Publishing, 1990)

Jones, School Finance: Technique and Social Policy. (London: Collier Macmillan Pub, 1985)

Malen, B. RT. Ogawa dan J. Kranz, "What do we know about school-based management? A case study of the literature a call for research". Dalam W.J. Clime, dan J.F. Witte, (ed.). Choice and control in American education, Volume 2: The practice ofchoice, decentralization and school restructuring. (London: The Falmer Press, 1990)

Michaels, K. "Caution: second-wave reform taking place". Educational leadership, Vol. 45, No. 5, 2-5 (1988)

Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002)

---, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005)

Rondinelli, D.A. dan G.S. Cheema. Decentralization and development: policy implementation in developing countries. (Beverly Hill, California: Sage Publications, 1983), 39

(24)

218

International Review of Administrative Science, Vol. 42, No. 2

---, dan G.S. Cheema. Decentralization and development: policy implementation in developing countries. (Beverly Hill, California: Sage Publications, 1983)

Sutisna, Oteng, Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis dan Praktek Profesional, (Bandung: Angkasa, 1993)

Tilar, H.A.R., Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994)

---, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, (Jakarta: Tera Indonesia, 1998)

T. Townsend, (ed.). Restructuring and quality: issues for tomorrow's schoolls. Educational Management Series. (London: Routledge, 1997)

Referensi

Dokumen terkait

Cara penanggulangan ini dilakukan dengan penimbunan pada bagian kaki longsoran dengan material berbutir kasar yang dipadatkan dan berfungsi menambah tahanan

Namun berbanding terbalik jika terdapat banyak konflik yang ditimbukan akibat sistem multi partai, yang di dalamnya terdapat banyak partai dan aktor-aktor politik, maka yang

Semakin tinggi kadar air bahan yang digoreng maka minyak akan lebih cepat mengalami kerusakan yang dtandai dengan peningkatan bilangan peroksida, peningkatan

Dari data prediksi pada tabel 4.11 dapat terlihat bahwa dengan menggunakan metode pencampuran dengan biodiesel kelapa sawit yang memiliki stabilitas oksidasi ±17 jam dapat

Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hasil yang signifikan antara balance exercise dengan peningkatan stabilitas postural pada lansia.. Hal ini disebabkan

SMP/MTs dan SMA/MA peserta PPDB online mengumumkan dan menyatakan kemampuan daya tampungnya yang meliputi kuota/ kapasitas jumlah perserta didik baru yang akan diterima

Pada Gambar 18, Gambar 19, Gambar 21 dan Gambar 22 , dapat dilihat bahwa eksentrisitas berpengaruh terhadap gaya dalam struktur dimana selisih maksimum untuk geser dan momen yang

politik Amerika Serikat dengan Uni Soviet pada masa perang dingin 1947-1991.. 1.5