• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Politik Lokal di Era Reformasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dinamika Politik Lokal di Era Reformasi"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Dinamika Politik Lokal di Era Reformasi

Rahadi T Wiratama

Judul: Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective

Penulis: Vedi R Hadiz

Penerbit: Stanford University Press, California, USA, 2010 Tebal: xii + 247 halaman

ISBN-13: 978-0-8047-6853-5 ISBN-10: 0-8047-6853-6

Desentralisasi dianggap sebagai gejala yang wajar dari sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi. Proses semacam itu merupakan kecenderungan yang tak terhindarkan dari demokrasi politik yang menghendaki adanya perluasan partisipasi dan pemberian otonomi bagi masyarakat lokal. Dalam konteks Indonesia pascapemerintahan Suharto, desentralisasi— yang muncul bersamaan dengan Reformasi 1998 itu—menjadi salah satu unsur pembeda paling elementer dibanding era Orde Baru. Struktur ekonomipolitik Orde Baru yang tertutup dan terpusat segera berubah dan berganti menjadi lebih terbuka dan terdesentralisasi.

Desentralisasi tidak saja telah menjadi “kata kunci” dalam perumusan kebijakan publik saat ini, tetapi juga menjadi “mantra suci” dalam dunia politik. Agaknya, terdapat semacam kesamaan cara pandang di kalangan mereka yang menamakan diri “kaum reformis” bahwa upaya mewujudkan demokrasi pasca-Suharto memerlukan pembukaan ruang lebih luas bagi tumbuhnya prakarsa masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Penting untuk digarisbawahi bahwa proses demokratisasi di Indonesia pasca-Suharto, yang diikuti desentralisasi, memperoleh dukungan kuat dari berbagai lembaga pembangunan internasional. Kuatnya dukungan itu didasarkan pada kenyataan bahwa konsep desentralisasi memang merupakan salah satu core terpenting dalam aliran pemikiran neointitusionalis yang dianut oleh berbagai lembaga pembangunan internasional, khususnya Bank Dunia.

(2)

internasional penganjur pasar bebas seolah menemukan “bukti” yang meyakinkan tentang kebangkrutan sistem komunis. Oleh karenanya, pasar bebas dan demokrasi liberal — dengan desentralisasi sebagai salah satu unsur penopangnya — segera diproklamisasikan sebagai satu-satu jalan yang dapat menjamin kemaslahatan publik.

Sistem ini tidak saja dipandang lebih favorable bagi kepentingan masyarakat, tetapi juga lebih menjamin tegaknya demokrasi “sejati”. Pentingnya tema desentralisasi dalam buku ini terletak pada kenyataan bahwa fenomena yang memberikan ruang partisipasi bagi warga lokal, termasuk dalam pemilihan umum kepala daerah, merupakan praktik politik yang relatif baru di Indonesia. Di sisi lain, berbagai lembaga pembangunan internasional secara aktif juga turut serta memberi dukungan terhadap kebijakan ini. Sejak reformasi bergulir pada 1998, sejumlah dana dari berbagai lembaga pembangunan internasional secara khusus

dialokasikan dalam rangka mempercepat proses desentralisasi.

Tidak diragukan lagi bahwa upayaupaya yang dilakukan oleh berbagai lembaga

pembangunan internasional itu memang sungguh- sungguh menghendaki sebuah Indonesia yang tidak lagi dikelola secara terpusat. Secara khusus buku karya Vedi R Hadiz ini

menyoroti desentralisasi sebagai fenomena politik pasca-Orde Baru. Dalam mengangkat tema ini, Vedi juga menyertakan beberapa kasus desentralisasi di sejumlah negara Asia Tenggara yang memiliki beberapa karakteristik agak serupa dengan Indonesia. Salah satu dasar pertimbangan Vedi dalam menulis buku ini terletak pada keinginannya untuk memeriksa sejauh mana kesahihan klaim kelompok-kelompok pendukung aliran pemikiran

neoinstitusionalis yang mengambil posisi membela desentralisasi tidak saja melalui penyajian fakta empiris, tetapi juga lewat review teoretis.

Dalam pandangan Vedi, model penjelasan teori neo-institusionalis yang menjadi pijakan konsep desentralisasi itu pada dasarnya merupakan varian dari teori-teori modernisasi dan struktural-fungsional. Aliran pemikiran ini umumnya memahami perubahan dengan tekanan kuat pada peran aktor dan kemampuan teknokrasi. Oleh karenanya, perspektif pemikiran ini sengaja mengabaikan analisis yang menekankan kekuatan-kekuatan sosial (social forces) serta pentingnya dimensi sejarah. Padahal,di hampir semua proses pengambilan keputusan, termasuk pilihan terhadap desentralisasi, sesungguhnya memperlihatkan berbagai bentuk pertarungan politik. Desentralisasi sendiri pada dasarnya bukanlah sejenis instrumen netral yang secara tiba-tiba dapat mengantarkan kemaslahatan publik, sebagaimana yang

dibayangkan oleh para pendukung aliran pemikiran neo-institusionalis.

Sebagaimana diamati Vedi, suasana pada masa-masa awal Indonesia pasca-Suharto memang cukup memberikan keyakinan bahwa terwujudnya desentralisasi sejati hanyalah soal waktu. Namun demikian, bersamaan dengan tahun-tahun reformasi yang terus berjalan, indikasi yang mengarah pada terwujudnya desentralisasi dalam arti sesungguhnya tak kunjung menjadi kenyataan, setidaknya hingga lebih dari dari satu dasawarsa ini.

Fakta-fakta yang diungkap Vedi dalam buku ini memperlihatkan bahwa meskipun era pasca-Suharto ditandai oleh liberalisasi politik yang disertai dengan desentralisasi, namun

(3)

masyarakat yang selama ini berada di lapisan paling bawah dalam struktur piramida sosial di Indonesia.

Kelompok-kelompok semacam ini — yakni, buruh, petani, nelayan, dan kaum miskin kota — pada dasarnya tetap sulit untuk mengartikulasikan kepentingannya sekalipun terdapat ruang politik relatif lebih terbuka dibanding era Suharto. Pertanyaannya tentu saja adalah mengapa dan bagaimana hal itu dapat terjadi?

Jatuhnya Suharto di pertengahan tahun 1998 yang dianggap merupakan momentum awal memasuki era reformasi oleh kebanyakan analis diyakini sebagai motor penggerak yang akan membawa Indonesia mengakhiri politik terpusatnya menuju terwujudnya desentralisasi dan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Secara ideal dapat diasumsikan bahwa terbukanya ruang politik di era pasca-Suharto yang, antara lain, dimungkinkan berkat desentralisasi tentu akan memberi kesempatan kepada kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan untuk mendesakkan kepentingannya. Namun, asumsi semacam itu terbukti keliru. Fakta memperlihatkan bahwa proses ekonomi-politik yang terjadi umumnya tidak berada pada posisi berpihak pada kelompok-kelompok lapis bawah, terutama di tingkat lokal.

Sebaliknya, kelompok-kelompok dominan yang awalnya diperkirakan akan mengalami pukulan telak sebagai akibat gerakan reformasi terbukti tetap memegang kendali jalannya kekuasaan ekonomi dan politik di tingkat lokal.

Kelompok-kelompok dominan yang mengendalikan jalannya proses ekonomi-politik di tingkat lokal ternyata bukan “pendatang baru”. Pada era sebelum reformasi, kelompok-kelompok itu merupakan mata rantai tingkat lokal dari rezim neofasis Orde Baru. Jika pada masa sebelum reformasi mereka sepenuhnya bekerja untuk kepentingan rezim Orde Baru sambil sesekali mencuri kesempatan untuk mengamankan kepentingan sendiri, pada era Reformasi kelompok-kelompok ini dapat sepenuhnya mengambil keuntungan yang diberikan oleh desentralisasi sambil tetap memelihara hubungan kepentingan dengan rekan-rekan mereka di Jakarta.

Era desentralisasi juga membuka kesempatan baru untuk melakukan aliansi politik. Ideologi atau aliran politik saat ini ternyata bukan merupakan sekat yang mampu menghalangi aliansi-aliansi kepentingan di tingkat lokal. Demikianlah, melalui kesempatan yang diberikan lewat pemilihan umum kepala daerah, sebagai konsekuensi tak terelakkan dari desentralisasi, berbagai kelompok kepentingan yang umumnya merupakan bekas pendukung rezim Orde Baru dengan cepat mengambil peluang itu untuk tetap mempertahankan kepentingan ekonomi-politiknya. Di sisi lain, dalam rangka memobilisasi dukungan politik, kelompok- kelompok dominan tidak mengajukan tawaran rasional-kritis yang berisi rancangan hari depan yang berkeadilan bagi masyarakat setempat.

(4)

warisan historis yang akar-akarnya dapat ditelusuri pada periode Orde Baru. Tidak diragukan lagi, pengalaman disorganisasi dan deideologisasi sistematik terhadap berbagai kekuatan masyarakat sipil di bawah kediktatoran Orde Baru yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa itu memiliki konsekuensi politik cukup serius. Oleh sebab itu, tidaklah

mengherankan apabila berbagai kelompok masyarakat sipil, terutama kalangan masyarakat lapis bawah, tidak terlalu siap dengan agenda-agenda transformatif ketika peluang mulai terbuka bersamaan dengan lengsernya Suharto dari kekuasaan.

Sementara itu, terbukti pula bahwa gelombang reformasi ternyata tidak cukup memiliki kemampuan untuk menyapu bersih kelompok-kelompok dominan “bekas” pendukung rezim Orde Baru, termasuk mereka yang berada di tingkat lokal. Bahkan, kelompok-kelompok ini mampu menyesuaikan diri terhadap logika reformasi. Melalui kerangka kelembagaan baru di era reformasi — yakni, partai politik, pemilu lokal, parlemen dan desentralisasi pemerintahan — kelompok-kelompok dominan dengan cepat melakukan penataan-diri kembali dan tetap memiliki akses sangat kuat terhadap proses ekonomi-politik di berbagai wilayah di Indonesia.

Dengan demikian, bentuk-bentuk perubahan kelembagaan politik pasca-Suharto yang tampaknya memberi semacam isyarat awal bahwa Indonesia tengah memasuki gerbang demokrasi yang lebih terdesentralisasi dan partisipatif, ternyata bergerak ke arah “lain”.

Hingga hari ini, lembaga-lembaga demokrasi hasil reformasi tetap kebal dari kepentingan mayoritas masyarakat lapis bawah — sekalipun telah tersedia ruang artikulasi yang relatif lebih terbuka dan lebih terdesentralisasi. Di samping itu, kehadiran lembaga-lembaga demokrasi tidak serta-merta diiringi dengan munculnya praktik politik yang lebih beradab, melainkan ditandai oleh merajalelanya praktik politik uang, eksploitasi simbol-simbol identitas melalui jalur etnis dan agama, serta kekerasan dan premanisme. Penting pula untuk dicatat bahwa penerapan desentralisasi menyuburkan sentimen kedaerahan yang terkadang meletup melalui cara-cara kekerasan. Sementara itu, “perubahan” di bidang ekonomi pasca-Suharto juga tidak disertai munculnya rule of law, transparansi, dan akuntabilitas publik, sebagaimana layaknya sistem ekonomi pasar bebas, melainkan justru menyuburkan praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) gaya baru. Kesemuanya, menurut pengamatan Vedi, ditengarai telah dilakukan oleh pelaku-pelaku lama beserta segelintir sekutu baru mereka yang datang belakangan. Ini berarti arah perubahan ekonomi-politik pasca-Suharto sama sekali tidak bergerak ke arah model pasar bebas beserta kembaran alamiahnya: demokrasi liberal.

Dari berbagai gejala yang dapat diamati secara kritis dapat disimpulkan bahwa perubahan ekonomi-politik pada era pasca-Suharto sesungguhnya hanya terjadi pada tingkat

kelembagaan dan bentuk. Partai politik, pemilihan umum, parlemen, dan desentralisasi pemerintahan telah menjadi sarana baru untuk melanggengkan dominasi kekuasaan ekonomi-politik.

(5)

Walaupun Vedi mengakui bahwa kekuasaan tersentralisasi tak lagi menjadi ciri politik era sekarang, hal itu tidak dengan sendirinya merupakan keruntuhan bagi kelompok-kelompok eks rezim Orde Baru. Kelompok yang oleh Vedi dijuluki sebagai “predator” itu merupakan pewaris utama yang sesungguhnya dari reformasi ekonomi-politik pasca-Suharto.

Perbedaannya dengan era Orde Baru hanya terletak pada bentuk kekuasaan yang relatif lebih cair, terbuka, dan terdesentralisasi.

Dengan latar fakta semacam itu, tidak terlalu berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa lembaga-lembaga demokrasi, termasuk desentralisasi, bukan merupakan senjata ampuh yang dapat mengikis atau bahkan melenyapkan kepentingan ekonomi-politik kelompok-kelompok dominan — sebagaimana yang telanjur diyakini oleh kebanyakan analis dan para penganut perspektif pemikiran neo-institusionalis. Sebaliknya, lembaga-lembaga semacam itu justru menjadi instrumen yang cukup efektif, meski sedikit mahal dari segi ongkos sosial, untuk tetap mempertahankan sebuah dominasi kekuasaan ekonomi-politik.

Dengan demikian, iklim politik yang terdesentralisasi, terbuka yang disertai dengan sistem multipartai ternyata bukan sesuatu yang menakutkan bagi kelompok-kelompok dominan. Di masa lalu, saat kaum reformis memperjuangkan soal ini, kelompok-kelompok dominan boleh jadi merasa terancam. Namun, ketika terjadi proses perubahan sebagai akibat jatuhnya Suharto, iklim politik yang terbuka dan sistem multipartai justru beralih menjadi sarana yang dapat digunakan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok-kelompok dominan. Intisari yang ingin disampaikan Vedi dalam berbagai kajiannya tentang perubahan ekonomi-politik pasca-Suharto melalui buku ini adalah bahwa dominasi segelintir orang terhadap mayoritas lainnya compatible dengan lembaga dan prosedur demokrasi dan desentralisasi.

Referensi

Dokumen terkait

1. Hakim memberikan hukuman dibawah minimal yang seharusnya tiga tahun penjara namun disini hanya penjara selama satu tahun enam bulan kepada terdakwa atas perbuatan cabulnya

pada pertemuan ini, respon yang diberikan mahasiswa cenderung pasif. Mahasiswa tidak memberikan respon sedikit pun mengenai materi dan ice breaking yang diungkapkan. Pada

Maklumat yang didapati dari kaji selidik KKP dapat memaparkan keberkesanan Pendidikan Berasaskan Hasil (PBH) dalam peningkatan kefahaman pelajar, terutama bila dikombinasikan

Metode bagian adalah pendekatan mengajar yang efektif untuk memudahkan siswa memahami suatu gerakan teknik dasar dengan cara memilah – milah sehingga menjadi

دادققعا ىققلإ اققهميلعتب حققجتي ةققغللا ميلعت ىف ىفيظولا لخدملا بققجي و ,هققنم ةققبلطتملا ةققيقيقحلا فقققاوملا ةحجاومل ملعتملا فدققهلا هققينيع بصن اعضاو وه و

Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor angkutan umum orang yang tidak berhenti selain ditempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang

Metode promosi dan penjualan produk kreatif yang dengan mudah dikembangkan saat ini tanpa modal usaha yang besar namun efektif, antara lain: penambahan video dan stop motion