BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan tata ruang Indonesia masih diwarnai oleh suatu kondisi,
dimana kita belum mampu melakukan suatu kebijakan, dan prosedur penataan
ruang yang ada belum mampu mengimbangi perkembangan pembangunan yang
demikian pesatnya, khususnya perkembangan pembangunan yang terjadi di
daerah perkotaan 1
Dalam perkembangannya, sistem pemerintahan di Indonesia telah banyak
mengalami perubahan, dengan terdistribusinya kewenangan pemerintah pusat ke
daerah dalam berbagai kegiatan pembangunan. Otonomi daerah banyak diberikan
dalam bentuk kewenangan terhadap potensi yang dimiliki oleh daerah. Dampak
dari perkembangan ini adalah keinginan setiap daerah untuk memanfaatkan
sumber daya yang dimilikinya, termasuk lahan menjadi sumber pendapatan asli
daerah (PAD). Kecendrungan ini dari sudut pandang ekonomi berpeluang untuk
menggerakkan kekuatan produksi dan pasar daerah, akan tetapi jika ditinjau dari
apek hukum tata ruang terdapat potensi timbulnya konflik antar daerah, terutama
pada pemanfaataan lahan .
2
Melalui penataan ruang, pemanfaatan sumber daya alam seperti lahan dan
air dilakukan seoptimal mungkin. disamping mencegah terjadinya benturan dari .
1
Jeluddin Daud, 1996, Prinsip Perencanaan Wilayah (Regional Planning) Sebagai Suatu Pendekatan Dalam Menyusun Rencana Tata Ruang, Makalah Seminar Penataan Ruang, (dalam Zaidar, Buku Hukum Tata Ruang Indonesia, hal. 1)
2
berbagai kepentingan didalam pemanfaatan ruang, sehingga dapat dikatakan
bahwa penataan pertanahan merupakan pendukung pelaksanaan rencana
pemanfaatan ruang yang dijabarkan dalam tata guna tanah.
Pembangunan di Indonesia, khususnya dibeberapa wilayah perkotaan
tertentu, harus memiliki suatu perencanaan atau suatu konsep tata ruang atau yang
dulu sering disebut dengan master plan, dimana konsep tersebut berfungsi sebagai
arahan dan pedoman dalam melaksanakan pembanguan, sehingga
masalah-masalah yang timbul yang diakibatkan dari hasil pembangunan dapat
diminimalisir.
Masalah tata ruang, baik dalam lingkup makro maupun mikro, kini
semakin mendapat perhatian yang lebih serius. Adalah suatu fakta bahwa jumlah
penduduk serta kebutuhan yang semakin meningkat, baik secara kualitatif maupun
secara kuantitatif. Demikian juga teknologi yang sudah semakin maju yang
diarahkan sebagai usaha bagi penyediaan sarana maupun prasarana dalam
memenuhi kebutuhan manusia yang semakin meningkat. Namun dipihak lain pada
dasarnya ruang atau lahan yang tersedia masih tetap seperti sediakala. Pengelolaan
penataan ruang semakin penting manakala tekanan terhadap penggunaan ruang
semakin besar, dikarenakan selain kondisi perekonomian yang pesat juga
diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk, yang berimbas kepada pertumbuhan
kawasan perumahan dan pemukiman.
Ruang terbuka hijau telah menjadi kebutuhan kota. Telah dipahami bahwa
ruang terbuka hijau memiliki peranan yag sangat penting bagi lingkungan hidup
Isu mengenai masalah lingkungan hidup semakin menjadi bahasan yang
sangat menarik dewasa ini. Salah satu permasalahan yang kini dihadapi oleh
hampir seluruh perkotaan di Indonesia adalah semakin berkurangnya lingkungan
dan ruang publik. Terutama ruang terbuka hijau, kota-kota besar pada umumnya
memiliki ruang terbuka hijau dengan luas dibawah 10% dari luas kota itu sendiri.
Kondisi tersebut sangat jauh dibawah ketentuan pemerintah pada UU No. 26
Tahun 2007 tentang ruang terbuka hijau yang mewajibkan pengelola perkotaan
yang menyediakan ruang terbuka hijau publik dengan luas sekitar 20% dari luas
kota tersebut.
Kurangnya proporsi ruang terbuka hijau dikawasan perkotaan disebabkan
oleh lebih tingginya permintaan lahan untuk kegiatan perkotaan. Sementara
banyak pihak menganggap ruang terbuka hijau memiliki nilai ekonomi yang lebih
rendah sehingga termarjinalkan. Dengan berlakunya undang-undang tentang
penataan ruang, banyak pemerintah daerah yang merasakan kesulitan dalam
memenuhi ketentuan penyediaan ruang terbuka hijau publik seluas 20% dari luas
kawasan perkotaan. Kekurangan proporsi ruang terbuka hijau yang ada di
kota-kota di Indonesia disebabkan oleh pembangunan yang tidak merata dan kian
mempersempit ruang terbuka hijau yang ada.
Berikut merupakan data mengenai luas RTH kota-kota besar di Indonesia :
Tabel 1
Proporsi RTH di Kota-kota Besar
No Nama Kota Proporsi
1 Jakarta 9,97%
2 Bandung 8,76%
4 Surabaya 9%
Rata-rata luas RTH di kota-kota besar diIndonesia
8,69%
Sumber : Nirwono Joga, Aspek Lingkungan dalam Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan, Presentasi dalam Workshop Nasional Pembangunan Kota yang Berkelanjutan
Pembangunan yang ada dikota-kota besar di Indonesia umumnya tidak
memperhatikan unsur ruang teerbuka hijau. Kesulitan dalam hal pemenuhan
proporsi ruang terbuka hijau yang kini dirasakan dikota-kota besar mulai tertular
ke kota-kota kecil. Namun, pengelola perkotaan dan masyarakat yang tidak
menghargai nilai RTH juga masih terlihat banyak kota kecil yang semakin
gersang Karena pepohonannya, ditebang untuk pelebaran jalan atau kegiatan
perkotaan lainnya. Perkembangan kota akhir-akhir ini sering kali hanya
berorientasi pada peningkatan aspek ekonomi tanpa mempertimbangkan unsur
ekologi.
Pembangunan gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, serta
industri-industri baik besar maupun industri-industri kecil sangat gencar dilakukan. Namun
sebaliknya maraknya fenomena tersebut tidak terjadi dalam hal pembangunan
taman-taman, hutan kota, kawasan penyangga serta pembangunan lain yang
berorientasi pada keseimbangan lingkungan.
Padahal keseimbangan lingkungan merupakan faktor penting dalam
menciptakan kondisi kota yang sehat dan nyaman. Kejenuhan akibat maraknya
berpikir akan pentingnya pembangunan kota yang ekologis atau berwawasan
lingkungan. Suatu kota yang ekologis dapat menciptakan peristiwa dimana terjadi
hubungan interaksi yang baik dan saling menguntungkan antara manusia, hewan
dan tumbuhan serta lingkungannya.
Meningkatkan kualitas ekologis suatu kota dapat dilakukan dengan
membentuk Ruang Terbuka Hijau pada kawasan perkotaan. Hal tersebut
ditegaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, yang menyatakan bahwa
tujuan pembentukan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan antara lain meningkatkan
mutu lingkungan perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih dan sebagai sarana
penanganan Iingkungan perkotaan serta dapat menciptakan keserasian lingkungan
alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat.
Sampai saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan,
yakni terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan hal ini dapat
juga dirasakan di kota Medan. Menurunnya kualitas permukiman di kota Medan
bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh
yang rentan dengan bencana banjir serta semakin hilangnya ruang terbuka
(Openspace)untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat.
Selama ini keberadaan taman di Medan masih minim. Berdasarkan data
Dinas Pertamanan Pemko Medan, hanya ada 19 taman di kota ini dengan luas
keseluruhan sekitar 124.664 meter persegi dari luas Kota Medan yang mencapai
26.510 hektare (ha). Selain itu, Medan hanya memiliki enam taman air mancur
City, Tugu Adipura,Taman Kantor Pos,Taman Guru Patimpus,Taman Juanda,dan
Taman Majestik Harapan3
Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Medan hanya berkisar 7,5%-10%. Wali
Kota Medan Rahudman Harahap mengakui keberadaan taman di kota ini masih
minim. Akibatnya, masyarakat lebih banyak yang memilih mencari lokasi rekreasi
bersama keluarga dengan mengunjungi pusat perbelanjaan modern. Padahal,
perkembangan anak yang selalu mengunjungi mall-mall itu tidak baik .
4
Ruang terbuka menciptakan karakter masyarakat kota. Tanpa ruang-ruang
publik masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat maverick yang
nonkonformis-individualis-asosial, yang anggota-anggotanya tidak mampu .
Pemko Medan berupaya memenuhi taman dan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di Medan dengan mengalokasikan dana di Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Dana ini untuk membeli lahan sekitar 300- 400 meter
per tahun sebagai upaya untuk menambah RTH.
Saat ini pemerintah sudah memiliki Perda Rencana Tata Ruang dan Tata
Wilayah (RTRW) yang mencantumkan adanya 30% RTH. Untuk bisa
mewujudkan hal itu, maka setiap tahun akan dianggarkan dana untuk membeli
lahan sekitar 300-400 meter dan memberikannya kepada stakeholder untuk
dijadikan RTH.
Sebagai wahana interaksi sosial, ruang terbuka diharapkan dapat
mempertautkan seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang
sosial, ekonomi, dan budaya. Aktivitas di ruang publik dapat bercerita secara
gamblang seberapa pesat dinamika kehidupan sosial suatu masyarakat.
3
http://www.pemkomedan.go.id (diakses pada 05 Oktober 2013)
4
berinteraksi apalagi bekerja sama satu sama lain. Agar efektif sebagai mimbar,
ruang publik haruslah netral. Artinya, bisa dicapai (hampir) setiap penghuni kota.
Tidak ada satu pun pihak yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik dan
membatasi akses ke ruang publik sebagai sebuah mimbar politik.
Ciri-ciri atau karakteristik sosial daerah perkotaan dalam konsentrasi
penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi, sosial dan pemerintahan pada tata
ruang perkotaan adalah esensial. Konsentrasi spasial (tata ruang) adalah fakta
utama, lahan perkotaan yang tersedia adalah terbatas, sedangkan kegiatan
perkotaan mengalami pertumbuuhan yang pesat, urbanisasi meningkat,
menimbulkan kecenderungan terjadinya kepadatan (dalam perumahan dan lalu
lintas), dampaknya terhadap perekonomian adalah ketidakefektivan dan
ketidakefisienan, serta berpengaruh terhadap kesejahteraan warga kota.
Masalah-masalah perkotaan tersebut merupakan objek pembahasan ilmiah secara
terus-menerus dan cenderung bertambah semakin kompleks seiring dengan
pertumbuhan kota yang makin pesat dan makin luas. Masalah perkotaan yang
dihadapi sangat luas, baik masalah makro maupun masalah mikro. Masalah makro
adalah yang berkaitan dengan fungsi kota bagi wilayah sekitarnya, sedangkan
masalah mikro meliputi masalah-masalah internal kota.
Bahwa sesuai Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 11 ayat (2), pemerintah daerah kota mempunyai wewenang dalam
pelaksanaan penataan ruang wilayah kota yang meliputi perencanaan tata ruang
wilayah kota, pemanfaatan ruang wilayah kota dan pengendalian pemanfaatan
ruang wilayah kota. Perencanaan tata ruang wilayah kota harus dilakukan dengan
keserasian, keterpaduan, kelestarian, keberlanjutan serta keterkaitan antar wilayah
baik di dalam kota itu sendiri maupun dengan kota sekitarnya.
Untuk mendukung terwujudnya ruang yang aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan, dibutuhkan regulasi yang mampu melindungi hak dan kewajiban
stakeholder dalam menata ruang kota.
Beberapa peraturan perundang-undangan telah diterbitkan seperti
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang; PP No 15 tahun 2010
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; PP No 68 tahun 2010 tentang Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang, serta
peraturan-peraturan tentang penataan ruang lainnya merupakan regulasi yang saling
mendukung dan perlu untuk diketahui, dipahami, dan dijalankan oleh segenap
warga negara. Untuk itu maka sesuai dengan kewajibannya, pemerintah harus
mensosialisasikan esensi, makna dan substansi peraturan yang terkait dengan
penataan ruang sehingga masyarakat dapat mengetahui dan mengerti peran
mereka dalam penataan ruang 5
5
www.uupenataanruang.co.id (diakses pada 05 Oktober 2013)
.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diungkapkan diatas,
maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Fungsi Ruang Terbuka Hijau Dalam Tata Ruang Kota Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Pemerintah Kota Medan)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan
1. Apakah Peruntukan Ruang Terbuka Hijau Kota Medan Benar-Benar Telah
Sesuai Dengan Undang-Undang?
2. Bagaimana Strategi Yang Dilakukan Pemerintah Dalam Melestarikan
Ruang Terbuka Hijau?
3. Apakah Kendala Yang Dihadapi Dalam Melestarikan Ruang Terbuka
Hijau?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah :
1. Untuk mengetahui apakah peruntukan ruang terbuka hijau di kota
Medan benar-benar telah sesuai dengan undang-undang
2. Untuk mengetahui bagaimana strategi pelestarian ruang terbuka hijau
yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Kota Medan
3. Untuk mengetahui masalah-masalah atau kendala yang timbul dalam
pelaksanaan pelestarian ruang terbuka hijau yang dilaksanakan oleh
Pemerintahan Kota Medan
Sedangkan Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah :
1. Secara Ilmiah
Penelitian ini diharapkan mampu melatih dan mengembangkan
kemampuan berfikir ilmiah dan kemampuan untuk menuliskan dalam bentuk
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan khasanah ilmu
pengetahuan baik secara umum maupun secara khusus terhadap ilmu pengetahuan
yang dijadikan sebagai dasar penulisan skripsi dan sebagai syarat untuk mencapai
gelar sarjana strata satu.
3. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah pengetahuan
teoritis dan mempertegas wawasan berfikir. Kegiatan penelitian yang dilakukan
dengan baik dan menggunakan kerangka dan metode kepustakaan akan
menambah pengetahuan teoritis maupun memperkaya wawasan dan pengalaman
bagi penulis.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini merupakan karya tulis yang asli. Belum ada penulis yang
menulis tentang hal yang sama yaitu tentang Fungsi Ruang Terbuka Hijau Dalam
Tata Ruang Kota Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara.
Khususnya untuk yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara Medan, keaslian penulisan ini diajukan dengan adanya penegasan dari pihak
administrasi bagian jurusan Hukum Administrasi Negara.
E. Tinjauan Pustaka
Judul skripsi ini berjudul Fungsi Ruang Terbuka Hijau Dalam Tata Ruang
Untuk menghindari keraguan-keraguan pada bab-bab selanjutnya maka
terlebih dahulu pengertian judul diatas secara umum.
1. Gambaran Umum Undang-Undang Penataan Ruang
Keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat terhadap
pentingnya penataan ruang telah berkembang. Perlu ditingkatkan upaya
pengelolahan penataan ruang secara bijaksana, berdaya guna dan berhasil guna
dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang yang baik, sehingga kualitas
ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya
kesejahteraan umum.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dinilai
sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang, sehingga perlu
diganti dengan undang-undang penataan ruang yang baru yaitu Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang dinilai lebih transparan,
efektif dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif,
berbasis mitigasi bencana, dan berkelanjutan.
a. Ruang Terbuka Hijau
Pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH) Ruang terbuka (open spaces)
merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat
pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang terbuka (open spaces),
pengertian yang hampir sama. Secara teoritis pengertian dari ruang terbuka hijau
menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 6
1. Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a terdiri dari
ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.
:
2. Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedkit 30 (tiga puluh)
persen dari luas wilayah kota.
3. Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua
puluh) persen dari luas wilayah kota.
Selain itu secara teoritis pengertian ruang terbuka hijau menurut
Inmendagri Nomor 14 Tahun 1988 Tentang Penataan Ruang Terbuka yaitu
ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan
maupun dalam bentuk area memanjang/jalur yang dalam penggunaannya lebih
bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan yang berfungsi sebagai
kawasan pertamanan kota, hutan kota, rekreasi kota, kegiatan Olah Raga,
pemakaman, pertanian, jalur hijau dan kawasan hijau pekarangan 7
Dampak positif dari pertumbuhan pembangunan antara lain meningkatkan
pendapatan asli daerah, munculnya sentra-sentra ekonomi, kesejahteraan .
Kawasan perkotaan memang identik dengan masalah polusi udara yang
disebabkan oleh banyaknya kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar
fosil. Asap yang dihasilkan dari sisa pembakaran mesin kendaraan semakin hari
semakin meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk. Korelasi dari
pertumbuhan tersebut ada yang berdampak positif dan negatif.
6
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 29
7
masyarakat meningkat, indeks kualitas pendidikan meningkat. Pada sisi yang lain
dari pertumbuhan pembangunan juga berdampak negatif diantaranya beban kota
makin berat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan,
kualitas lingkungan perkotaan makin rendah, ruang terbuka hijau (RTH) semakin
berkurang akibat pesatnya perkembangan kawasan perumahan dan kawasan
industri yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas ekosistem Kota.
Secara definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Open Spaces) adalah
kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina
untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan
atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk
meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, Ruang
Terbuka Hijau (Green Open Spaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga
berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota. Ruang terbuka hijau yang
ideal adalah 30 % dari luas wilayah sesuai dengan Pasal 29 Butir 2
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menentukan bahwa
proporsi RTH kota minimal 30 % dari luas wilayah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi antagonisme peraturan
pada level pemerintah daerah. Namun terjadi kecenderungan pelaksanaan
kebijakan yang berlawanan, yaitu terjadinya penurunan luas penyediaan RTH di
kota-kota besar di Indonesia. Hampir disemua kota besar di Indonesia, Ruang
terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka
hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan komunikasi
publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional atau
memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro (halaman rumah, lingkungan
permukiman) maupun makro (lansekap kota secara keseluruhan); menstimulasi
kreativitas dan produktivitas warga kota; pembentuk faktor keindahan arsitektural;
menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak
terbangun.
b. Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan, RTH memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis dan
fungsi tambahan (ekstrinsik) sebagai berikut :
Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis :
1. Memberi jaminan pendaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara
(paru-paru kota);
2. Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat
berlangsung lancar
3. Sebagai peneduh
4. Produsen oksigen;
5. Penyerap air hujan;
6. Penyedia habitat satwa;
7. Penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta;
Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu :
1. Fungsi sosial dan budaya, yaitu menggambarkan ekspresi budaya lokal;
merupakan media komunikasi bagi warga kota; tempat rekreasi; wadah dan
objek pendidikan, penelitian dan pelatihan dalam mempelajari alam.
2. Fungsi ekonomi, yaitu sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga,
buah, daun, sayur mayur; bisa menjadi bagian dari usaha pertanian,
perkebunan, kehutanan dan lain-lain.
3. Fungsi estetika, yaitu meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan
kota baik dari skala mikro (halaman rumah, lingkungan permukiman) maupun
makro (lansekap kota secara keseluruhan); menstimulasi kreativitas dan
produktivitas warga kota; pembentuk faktor keindahan arsitektural;
menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak
terbangun.
Dalam suatu wilayah, empat fungsi utama ini daat dikombinasikan sesuai
dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata
air, keseimbangan ekologi dan konservasi hayati.
c. Manfaat Ruang Terbuka Hijau
Manfaat Ruang Terbuka Hijau berdasarkan fungsinya dibagi atas :
1. Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu
membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan
mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah)
2. Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu
persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora
dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati).
Ruang terbuka dapat berupa tempat-tempat di tengah kota, jalan-jalan,
tempat-tempat belanja (mall) dan taman-taman kecil. Simpulan yang bisa ditarik
dari beberapa pengertian ruang terbuka (openspace) adalah ruang yang terbentuk,
berupa softscape dan hardscape, dengan kepemilikan privat maupun publik untuk
melakukan aktivitas bersama (komunal) dalam konteks perkotaan. Secara garis
besar tipologi ruang terbuka adalah park (taman), square (lapangan), water front
(area yang berbatasan air), street (jalan) dan lost space.
Ruang publik merupakan suatu lokasi yang didesain (walau hanya
minimal) dimana siapa saja mempunyai hak untuk dapat mengaksesnya, interaksi
diantara individu didalamnya tidak terencana dan tanpa kecuali dan tingkah laku
para pelaku didalamnya merupakan subyek tidak lain dari norma sosial
kemasyarakatan. Sebuah ruang publik/ruang terbuka dapat dikatakan dapat
berfungsi secara optimal ketika bisa memenuhi aspek/kaidah seperti etika
(kesusilaan), fungsional (kebenaran) dan estetika/keindahan 8
8
Djokomono, 2004, Ruang Publik Kota, Pedagang Kaki Lima Dan Publik Transportation, 1st
Internasional seminar, National Symposium, Exhibition and Workshop in Urban Design
.
Aspek etika mengandung pengertian tentang bagaimana sebuah ruang
publik dapat ‘diterima’ keberadaannya dan citra positif seperti apa yang ingin
dimunculkan yang senantiasa melekat dengan keberadaan ruang publik tersebut.
Aspek fungsional setidaknya terdapat tiga faktor yang terkandung, yakni sosial,
Faktor sosial merupakan syarat utama menghidupkan ruang publik,
terdapat orang berkumpul dan terjadi interaksi. Selain sosial juga terdapat faktor
lingkungan dimana lingkungan yang nyaman mampu menjadi daya tarik bagi
orang untuk masuk didalamnya. Sedangkan aspek estetika ruang publik terdapat
tiga tingkatan, estetika formal, fenomenologi/ pengalaman dan estetika ekologi.
Estetika formal merupakan estetika dimana obyek keindahan memiliki jarak
dengan subyek. Estetika pengalaman dimana obyek dinikmati dengan partisipasi
atau interaksi dan estetika ekologi, obyek keindahan dinikmati melalui proses
partisipasi dan adaptasi yang memungkinkan kita berkreasi terhadap ruang
tersebut.
d. Pengertian Tata Ruang
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, menjelaskan yang dimaksud tata ruang adalah “wujud struktural ruang dan
pola ruang” 9. Adapun yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan
ruang adalah susunan unsur-unsur pembentukan rona lingkungan alam,
lingkungan sosial, lingkungan buatan yang secara hierarkis berhubungan satu
dengan yang lainnya. Sedang yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang
meliputi pola lokasi, sebaran permukiman, tempat kerja, industri, pertanian, serta
pola penggunaan tanah perkotaan dan pedesaan. di mana tata ruang tersebut
adalah tata ruang yang direncanakan, sedangkan tata ruang yang tidak
direncanakan adalah tata ruang yang terbentuk secara alami, seperti aliran sungai,
Selanjutnya masih dalam peraturan tersebut, yaitu Pasal 1 angka 5 yang
dimaksud dengan penataan ruang adalah “suatu sistem proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang”.
e. Konsep Dasar Hukum Tata Ruang
Mochtar Koesoemaatmadja mengonstatir bahwa tujuan pokok penerapan
hukum apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order).
Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan akan
ketertiban ini, merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya masyarakat
yang teratur, di samping itu tujuan lainnya adalah tercapainya keadilan yang
berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat pada zamannya.
Konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang di dalam pembukaan UUD
1945 alinea ke-4 yang berbunyi :
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia...”
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945amandemen ke empat, berbunyi
“Bumi dan air dan kekayaa alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan
tersebut memberikan “hak penguasaan kepada negara atas seluruh sumber daya
alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Kalimat tersebut mengandung
makna, negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan,
mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya
Untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut, khususnya untuk meningkatkan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti negara harus
dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan
tadi dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah. Apabila kita cermati
dengan seksama, kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh negara, yang
kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya pun
harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi,
sehingga tidak akan adanya perusakan terhadap lingkungan hidup.
Upaya pelaksanaan perencanaan penataan ruang yang bijaksana adalah
kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam
konteks penguasaan negara atas dasar sumber daya alam, menurut hemat penulis
melekat di dalam kewajiban negara untuk melindungi, melestarikan dan
memulihkan lingkungan hidup secara utuh. Artinya, aktivitas pembangunan yang
dihasilkan dari perencaan tata ruang pada umumnya bernuansa pemanfaatan
sumber daya alam tanpa merusak lingkungan.
Selanjutnya, dalam mengomentari konsep Roscoe Pound, Mochtar
Koesoemaatmadja mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana
pembangunan. Disini berarti hukum haruslah mendorong proses modernisasi 10.
Artinya hukum yang dibuat haruslah sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan fungsi tersebut maka pembentuk
undang-undang meletakkan berbagai dasar yuridis dalam melakukan berbagai
kegiatan pembangunan, sebagai salah satunya yaitu dalam pembuatan
Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang, maka
peraturan-peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak pemerintah, di
mana salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur penataan ruang
adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
f. Ketentuan Hukum Ruang Terbuka Hijau
1. Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007
Pengaturan tentang Ruang Terbuka Hijau ditegaskan dalam Pasal 1 Butir
31, Pasal 28, 29, 30 dan 31 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (UUPR).
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
31. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Pasal 28
Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan selain rincian Pasal 26 ayat (1) ditambahkan :
a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau; b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana...(dst.)
Pasal 29
(1) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. (2) Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga
(3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.
Pasal 30
Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaat ruang terbuka hijau da ruang terbuka nonhijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a dan huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.
Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk
menjamin keseimbangan ekosistem kota maupun sistem ekologis lain, yang
selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Pengaturan Ruang Terbuka Hijau ditegaskan dalam Pasal 1 Butir 2, 19, 20,
Pasal 2 huruf a, b, dan c, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal Peraturan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri ini yang dimaksud dengan :
2. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.
19. RTHKP Publik adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota.
20. RTHKP Privat adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali Provinsi DKI Jakarta oleh Pemerintah Provinsi.
Pasal 2
Tujuan penataan RTHKP adalah :
a. menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan;
b. mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di perkotaan;dan
c. meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.
Pasal 3
Fungsi RTHKP :
a. pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan; b. pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara; c. tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati; d. pengendalian tata air; dan
e. sarana estetika kota.
Pasal 4
Manfaat RTHKP :
a. sarana untuk mencerminkan identitas daerah; b. sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan; c. sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial; d. meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;
e. menimbulkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah; f. sarana aktifitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula; g. sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat;
h. memperbaiki iklim mikro;dan
Pasal 6
Jenis RTHKP meliputi :
a. taman kota;
b. taman wisata alam; c. taman rekreasi;
d. taman lingkungan perumahan dan permukiman; e. taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial; f. taman hutan raya;
g. hutan kota; h. hutan lindung;
i. bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah; j. cagar alam;
k. kebun raya; l. kebun binatang; m. pemakaman umum; n. lapangan olah raga; o. lapangan upacara; p. parker terbuka;
q. lahan pertanian perkotaan;
r. jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET); s. sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa;
t. jalur pengamanan jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian; u. kawasan dan jalur hijau;
v. daerah penyanggah (buffer zone) lapangan udara;dan w. taman atap (roof gaden).
3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/Prt/M/2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
2. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
3. Menteri adalah Menteri Pekerjaan Umum
Pasal 2
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan dimaksudkan untuk :
a. menyediakan acuan yang memudahkan pemangku kepentingan baik pemerintah kota, perencana maupun pihak-pihak terkait, dalam perencanaan, perancangan, pembangunan, dan pengelolaan ruang terbuka hijau.
b. memberikan panduan praktis bagi pemangku kepentingan ruang terbuka hijau dalam penyusunan rencana dan rancangan pembangunan dan pengelolaan ruang terbuka hijau.
c. memberikan bahan kampanye publik mengenai arti pentingnya ruang terbuka hijau bagi kehidupan masyarakat perkotaan.
d. memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait tentang perlunya ruang terbuka hijau sebagai pembentuk ruang yang nyaman untuk beraktifitas dan tempat tinggal.
Pasal 3
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan bertujuan untuk :
a. menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air;
b. menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antar lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat;
Pasal 4
(1) Ruang lingkup Peraturan Menteri membuat :
a. ketentuan umum, yang terdiri dari tujuan, fungsi, manfaat, dan tipologi ruang terbuka hijau;
b. ketentuan teknis yang meliputi penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan;
c. prosedur perencanaan dan peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau.
(2) Menteri muatan tentang pengaturan sebagai dimaksud pada ayat (1) dimuat secara lengkat dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
F. Metode Penelitian 1. Bentuk Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Deksriptif maksudnya untuk
mendapatkan gambaran atau hanya sekedar ingin mengetahui bagaimana
sebenarnya fungsi ruang terbuka hijau 11
Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari
hasil penelitian yang dilakukan sehingga subjek penelitian yang telah tercermin
dalam fokus penelitian ditentukan secara sengaja .
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Medan.
3. Informan Penelitian
12
11
Nurul Zuriah, 2006, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan
Subjek penelitian inilah yang akan menjadi informan yang akan
memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian.
Informan penelitian meliputi: informan kunci (key informant), yaitu mereka yang
mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam
penelitian atau informan yang mengetahui secara mendalam permasalahan yang
sedang diteliti, informan utama, yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam
interaksi sosial yang sedang diteliti, informan tambahan, yaitu mereka yang dapat
memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial
yang sedang diteliti 13
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menentukan informan kunci dan
informan utama dengan menggunakan teknik Snowball Sampling yang merupakan
teknik sampling yang banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang
populasi penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan
penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak
lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang
kira-kira bisa dijadikan sampel. Satuan sampling dipilih atau ditentukan
berdasarkan informasi dari responden sebelumnya. Pengambilan sample untuk
suatu populasi dapat dilakukan dengan cara mencari contoh sampel dari populasi
yang kita inginkan, kemudian dari sample yang didapat dimintai partisipasinya
untuk memilih komunitasnya sebagai sample lagi. Seterusnya sehingga jumlah
sample yang kita inginkan terpenuhi. .
13
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti menentukan informan dengan
menggunakan teknik Snowball Sampling, yaitu pengambilan sample sumber data
secara sengaja dan dengan pertimbangan tertentu.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua macam teknik
pengumpulan data, yaitu :
a. Teknik Pengumpulan Data Primer
Teknik pengumpulan data primer yaitu data yang diperoleh melalui
kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian untuk mencari data-data yang
diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian untuk mencari
data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik ini
dilakukan melalui:
1. Metode interview (wawancara), yaitu dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan mendalam serta terbuka kepada informan atau
pihak yang berhubungan dan memiliki relevansi terhadap masalah yang
berhubungan dengan penelitian. Pewawancara adalah orang yang
menggunakan metode wawancara. Sedangkan informan adalah orang yang
diwawancarai, dimintai informasi oleh pewawancara. Informan merupakan
orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi, ataupun
2. Metode observasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengamati
secara langsung terhadap obyek penelitian kemudian mencatat gejala-gejala
yang ditemukan di lapangan untuk melengkapi data-data yang diperlukan
sebagai acuan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
b. Teknik Pengumpulan Data Sekunder
Teknik pengumpulan data sekunder adalah teknik pengumpulan data yang
dilakukan melalui pengumpulan bahan-bahan kepustakaan yang dapat mendukung
teknik pengumpulan data primer. Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan
dengan menggunakan instrument sebagai berikut :
1. Studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data menggunakan
catatan-catatan atau dokumen yang ada di lokasi penelitian atau sumber-sumber lain
yang relevan dengan objek penelitian.
2. Studi Kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh dari
berbagai literature seperti buku-buku, karya ilmiah serta pendapat para ahli
yang memiliki relevansi dengan masalah yang akan diteliti.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab. Pada
masing-masing bab terbagi dalam beberapa sub bab, sehingga mempermudah pembaca
untuk mengetahui gambaran secara ringkas mengenai uraian yang dikemukakan
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian
penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II : KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Dalam bab ini berisikan tentang gambaran umum kota Medan, struktur organisasi,
sasaran dan prasarana
BAB III : FUNGSI RUANG TERBUKA HIJAU DALAM TATA RUANG KOTA
Bab ini berisi tentang pengertian ruang terbuka hijau, fungsi ruang terbuka hijau,
bentuk-bentuk ruang terbuka hijau, strategi pelestarian ruang terbuka hijau
BAB IV : PENERAPAN KONSEP PEMBENTUKAN DAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU PADA TATA RUANG KOTA MEDAN
Bab ini berisi tentang dinas terkait dalam program penataan fungsi ruang terbuka
hijau dalam tata ruang kota Medan, pemeliharaan ruang terbuka hijau, kendala
BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini yang berisi kesimpulan
yang diambil dari penyusunan dari pokok bahasan yang diangkat untuk dapat
menjawab identifikasi masalah dan membuat saran-saran terhadap masalah fungsi