• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Fungsi Ruang Terbuka Dalam Tata Ruang Kota Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Pemerintah Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Fungsi Ruang Terbuka Dalam Tata Ruang Kota Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Pemerintah Kota Medan)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan tata ruang Indonesia masih diwarnai oleh suatu kondisi,

dimana kita belum mampu melakukan suatu kebijakan, dan prosedur penataan

ruang yang ada belum mampu mengimbangi perkembangan pembangunan yang

demikian pesatnya, khususnya perkembangan pembangunan yang terjadi di

daerah perkotaan 1

Dalam perkembangannya, sistem pemerintahan di Indonesia telah banyak

mengalami perubahan, dengan terdistribusinya kewenangan pemerintah pusat ke

daerah dalam berbagai kegiatan pembangunan. Otonomi daerah banyak diberikan

dalam bentuk kewenangan terhadap potensi yang dimiliki oleh daerah. Dampak

dari perkembangan ini adalah keinginan setiap daerah untuk memanfaatkan

sumber daya yang dimilikinya, termasuk lahan menjadi sumber pendapatan asli

daerah (PAD). Kecendrungan ini dari sudut pandang ekonomi berpeluang untuk

menggerakkan kekuatan produksi dan pasar daerah, akan tetapi jika ditinjau dari

apek hukum tata ruang terdapat potensi timbulnya konflik antar daerah, terutama

pada pemanfaataan lahan .

2

Melalui penataan ruang, pemanfaatan sumber daya alam seperti lahan dan

air dilakukan seoptimal mungkin. disamping mencegah terjadinya benturan dari .

1

Jeluddin Daud, 1996, Prinsip Perencanaan Wilayah (Regional Planning) Sebagai Suatu Pendekatan Dalam Menyusun Rencana Tata Ruang, Makalah Seminar Penataan Ruang, (dalam Zaidar, Buku Hukum Tata Ruang Indonesia, hal. 1)

2

(2)

berbagai kepentingan didalam pemanfaatan ruang, sehingga dapat dikatakan

bahwa penataan pertanahan merupakan pendukung pelaksanaan rencana

pemanfaatan ruang yang dijabarkan dalam tata guna tanah.

Pembangunan di Indonesia, khususnya dibeberapa wilayah perkotaan

tertentu, harus memiliki suatu perencanaan atau suatu konsep tata ruang atau yang

dulu sering disebut dengan master plan, dimana konsep tersebut berfungsi sebagai

arahan dan pedoman dalam melaksanakan pembanguan, sehingga

masalah-masalah yang timbul yang diakibatkan dari hasil pembangunan dapat

diminimalisir.

Masalah tata ruang, baik dalam lingkup makro maupun mikro, kini

semakin mendapat perhatian yang lebih serius. Adalah suatu fakta bahwa jumlah

penduduk serta kebutuhan yang semakin meningkat, baik secara kualitatif maupun

secara kuantitatif. Demikian juga teknologi yang sudah semakin maju yang

diarahkan sebagai usaha bagi penyediaan sarana maupun prasarana dalam

memenuhi kebutuhan manusia yang semakin meningkat. Namun dipihak lain pada

dasarnya ruang atau lahan yang tersedia masih tetap seperti sediakala. Pengelolaan

penataan ruang semakin penting manakala tekanan terhadap penggunaan ruang

semakin besar, dikarenakan selain kondisi perekonomian yang pesat juga

diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk, yang berimbas kepada pertumbuhan

kawasan perumahan dan pemukiman.

Ruang terbuka hijau telah menjadi kebutuhan kota. Telah dipahami bahwa

ruang terbuka hijau memiliki peranan yag sangat penting bagi lingkungan hidup

(3)

Isu mengenai masalah lingkungan hidup semakin menjadi bahasan yang

sangat menarik dewasa ini. Salah satu permasalahan yang kini dihadapi oleh

hampir seluruh perkotaan di Indonesia adalah semakin berkurangnya lingkungan

dan ruang publik. Terutama ruang terbuka hijau, kota-kota besar pada umumnya

memiliki ruang terbuka hijau dengan luas dibawah 10% dari luas kota itu sendiri.

Kondisi tersebut sangat jauh dibawah ketentuan pemerintah pada UU No. 26

Tahun 2007 tentang ruang terbuka hijau yang mewajibkan pengelola perkotaan

yang menyediakan ruang terbuka hijau publik dengan luas sekitar 20% dari luas

kota tersebut.

Kurangnya proporsi ruang terbuka hijau dikawasan perkotaan disebabkan

oleh lebih tingginya permintaan lahan untuk kegiatan perkotaan. Sementara

banyak pihak menganggap ruang terbuka hijau memiliki nilai ekonomi yang lebih

rendah sehingga termarjinalkan. Dengan berlakunya undang-undang tentang

penataan ruang, banyak pemerintah daerah yang merasakan kesulitan dalam

memenuhi ketentuan penyediaan ruang terbuka hijau publik seluas 20% dari luas

kawasan perkotaan. Kekurangan proporsi ruang terbuka hijau yang ada di

kota-kota di Indonesia disebabkan oleh pembangunan yang tidak merata dan kian

mempersempit ruang terbuka hijau yang ada.

Berikut merupakan data mengenai luas RTH kota-kota besar di Indonesia :

Tabel 1

Proporsi RTH di Kota-kota Besar

No Nama Kota Proporsi

1 Jakarta 9,97%

2 Bandung 8,76%

(4)

4 Surabaya 9%

Rata-rata luas RTH di kota-kota besar diIndonesia

8,69%

Sumber : Nirwono Joga, Aspek Lingkungan dalam Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan, Presentasi dalam Workshop Nasional Pembangunan Kota yang Berkelanjutan

Pembangunan yang ada dikota-kota besar di Indonesia umumnya tidak

memperhatikan unsur ruang teerbuka hijau. Kesulitan dalam hal pemenuhan

proporsi ruang terbuka hijau yang kini dirasakan dikota-kota besar mulai tertular

ke kota-kota kecil. Namun, pengelola perkotaan dan masyarakat yang tidak

menghargai nilai RTH juga masih terlihat banyak kota kecil yang semakin

gersang Karena pepohonannya, ditebang untuk pelebaran jalan atau kegiatan

perkotaan lainnya. Perkembangan kota akhir-akhir ini sering kali hanya

berorientasi pada peningkatan aspek ekonomi tanpa mempertimbangkan unsur

ekologi.

Pembangunan gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, serta

industri-industri baik besar maupun industri-industri kecil sangat gencar dilakukan. Namun

sebaliknya maraknya fenomena tersebut tidak terjadi dalam hal pembangunan

taman-taman, hutan kota, kawasan penyangga serta pembangunan lain yang

berorientasi pada keseimbangan lingkungan.

Padahal keseimbangan lingkungan merupakan faktor penting dalam

menciptakan kondisi kota yang sehat dan nyaman. Kejenuhan akibat maraknya

(5)

berpikir akan pentingnya pembangunan kota yang ekologis atau berwawasan

lingkungan. Suatu kota yang ekologis dapat menciptakan peristiwa dimana terjadi

hubungan interaksi yang baik dan saling menguntungkan antara manusia, hewan

dan tumbuhan serta lingkungannya.

Meningkatkan kualitas ekologis suatu kota dapat dilakukan dengan

membentuk Ruang Terbuka Hijau pada kawasan perkotaan. Hal tersebut

ditegaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 2007 Tentang

Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, yang menyatakan bahwa

tujuan pembentukan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan antara lain meningkatkan

mutu lingkungan perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih dan sebagai sarana

penanganan Iingkungan perkotaan serta dapat menciptakan keserasian lingkungan

alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat.

Sampai saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan,

yakni terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan hal ini dapat

juga dirasakan di kota Medan. Menurunnya kualitas permukiman di kota Medan

bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh

yang rentan dengan bencana banjir serta semakin hilangnya ruang terbuka

(Openspace)untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat.

Selama ini keberadaan taman di Medan masih minim. Berdasarkan data

Dinas Pertamanan Pemko Medan, hanya ada 19 taman di kota ini dengan luas

keseluruhan sekitar 124.664 meter persegi dari luas Kota Medan yang mencapai

26.510 hektare (ha). Selain itu, Medan hanya memiliki enam taman air mancur

(6)

City, Tugu Adipura,Taman Kantor Pos,Taman Guru Patimpus,Taman Juanda,dan

Taman Majestik Harapan3

Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Medan hanya berkisar 7,5%-10%. Wali

Kota Medan Rahudman Harahap mengakui keberadaan taman di kota ini masih

minim. Akibatnya, masyarakat lebih banyak yang memilih mencari lokasi rekreasi

bersama keluarga dengan mengunjungi pusat perbelanjaan modern. Padahal,

perkembangan anak yang selalu mengunjungi mall-mall itu tidak baik .

4

Ruang terbuka menciptakan karakter masyarakat kota. Tanpa ruang-ruang

publik masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat maverick yang

nonkonformis-individualis-asosial, yang anggota-anggotanya tidak mampu .

Pemko Medan berupaya memenuhi taman dan Ruang Terbuka Hijau

(RTH) di Medan dengan mengalokasikan dana di Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD). Dana ini untuk membeli lahan sekitar 300- 400 meter

per tahun sebagai upaya untuk menambah RTH.

Saat ini pemerintah sudah memiliki Perda Rencana Tata Ruang dan Tata

Wilayah (RTRW) yang mencantumkan adanya 30% RTH. Untuk bisa

mewujudkan hal itu, maka setiap tahun akan dianggarkan dana untuk membeli

lahan sekitar 300-400 meter dan memberikannya kepada stakeholder untuk

dijadikan RTH.

Sebagai wahana interaksi sosial, ruang terbuka diharapkan dapat

mempertautkan seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang

sosial, ekonomi, dan budaya. Aktivitas di ruang publik dapat bercerita secara

gamblang seberapa pesat dinamika kehidupan sosial suatu masyarakat.

3

http://www.pemkomedan.go.id (diakses pada 05 Oktober 2013)

4

(7)

berinteraksi apalagi bekerja sama satu sama lain. Agar efektif sebagai mimbar,

ruang publik haruslah netral. Artinya, bisa dicapai (hampir) setiap penghuni kota.

Tidak ada satu pun pihak yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik dan

membatasi akses ke ruang publik sebagai sebuah mimbar politik.

Ciri-ciri atau karakteristik sosial daerah perkotaan dalam konsentrasi

penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi, sosial dan pemerintahan pada tata

ruang perkotaan adalah esensial. Konsentrasi spasial (tata ruang) adalah fakta

utama, lahan perkotaan yang tersedia adalah terbatas, sedangkan kegiatan

perkotaan mengalami pertumbuuhan yang pesat, urbanisasi meningkat,

menimbulkan kecenderungan terjadinya kepadatan (dalam perumahan dan lalu

lintas), dampaknya terhadap perekonomian adalah ketidakefektivan dan

ketidakefisienan, serta berpengaruh terhadap kesejahteraan warga kota.

Masalah-masalah perkotaan tersebut merupakan objek pembahasan ilmiah secara

terus-menerus dan cenderung bertambah semakin kompleks seiring dengan

pertumbuhan kota yang makin pesat dan makin luas. Masalah perkotaan yang

dihadapi sangat luas, baik masalah makro maupun masalah mikro. Masalah makro

adalah yang berkaitan dengan fungsi kota bagi wilayah sekitarnya, sedangkan

masalah mikro meliputi masalah-masalah internal kota.

Bahwa sesuai Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Pasal 11 ayat (2), pemerintah daerah kota mempunyai wewenang dalam

pelaksanaan penataan ruang wilayah kota yang meliputi perencanaan tata ruang

wilayah kota, pemanfaatan ruang wilayah kota dan pengendalian pemanfaatan

ruang wilayah kota. Perencanaan tata ruang wilayah kota harus dilakukan dengan

(8)

keserasian, keterpaduan, kelestarian, keberlanjutan serta keterkaitan antar wilayah

baik di dalam kota itu sendiri maupun dengan kota sekitarnya.

Untuk mendukung terwujudnya ruang yang aman, nyaman, produktif dan

berkelanjutan, dibutuhkan regulasi yang mampu melindungi hak dan kewajiban

stakeholder dalam menata ruang kota.

Beberapa peraturan perundang-undangan telah diterbitkan seperti

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang; PP No 15 tahun 2010

tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; PP No 68 tahun 2010 tentang Bentuk

dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang, serta

peraturan-peraturan tentang penataan ruang lainnya merupakan regulasi yang saling

mendukung dan perlu untuk diketahui, dipahami, dan dijalankan oleh segenap

warga negara. Untuk itu maka sesuai dengan kewajibannya, pemerintah harus

mensosialisasikan esensi, makna dan substansi peraturan yang terkait dengan

penataan ruang sehingga masyarakat dapat mengetahui dan mengerti peran

mereka dalam penataan ruang 5

5

www.uupenataanruang.co.id (diakses pada 05 Oktober 2013)

.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diungkapkan diatas,

maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Fungsi Ruang Terbuka Hijau Dalam Tata Ruang Kota Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Pemerintah Kota Medan)”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan

(9)

1. Apakah Peruntukan Ruang Terbuka Hijau Kota Medan Benar-Benar Telah

Sesuai Dengan Undang-Undang?

2. Bagaimana Strategi Yang Dilakukan Pemerintah Dalam Melestarikan

Ruang Terbuka Hijau?

3. Apakah Kendala Yang Dihadapi Dalam Melestarikan Ruang Terbuka

Hijau?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah :

1. Untuk mengetahui apakah peruntukan ruang terbuka hijau di kota

Medan benar-benar telah sesuai dengan undang-undang

2. Untuk mengetahui bagaimana strategi pelestarian ruang terbuka hijau

yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Kota Medan

3. Untuk mengetahui masalah-masalah atau kendala yang timbul dalam

pelaksanaan pelestarian ruang terbuka hijau yang dilaksanakan oleh

Pemerintahan Kota Medan

Sedangkan Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah :

1. Secara Ilmiah

Penelitian ini diharapkan mampu melatih dan mengembangkan

kemampuan berfikir ilmiah dan kemampuan untuk menuliskan dalam bentuk

(10)

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan khasanah ilmu

pengetahuan baik secara umum maupun secara khusus terhadap ilmu pengetahuan

yang dijadikan sebagai dasar penulisan skripsi dan sebagai syarat untuk mencapai

gelar sarjana strata satu.

3. Secara Akademis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah pengetahuan

teoritis dan mempertegas wawasan berfikir. Kegiatan penelitian yang dilakukan

dengan baik dan menggunakan kerangka dan metode kepustakaan akan

menambah pengetahuan teoritis maupun memperkaya wawasan dan pengalaman

bagi penulis.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini merupakan karya tulis yang asli. Belum ada penulis yang

menulis tentang hal yang sama yaitu tentang Fungsi Ruang Terbuka Hijau Dalam

Tata Ruang Kota Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara.

Khususnya untuk yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara Medan, keaslian penulisan ini diajukan dengan adanya penegasan dari pihak

administrasi bagian jurusan Hukum Administrasi Negara.

E. Tinjauan Pustaka

Judul skripsi ini berjudul Fungsi Ruang Terbuka Hijau Dalam Tata Ruang

(11)

Untuk menghindari keraguan-keraguan pada bab-bab selanjutnya maka

terlebih dahulu pengertian judul diatas secara umum.

1. Gambaran Umum Undang-Undang Penataan Ruang

Keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat terhadap

pentingnya penataan ruang telah berkembang. Perlu ditingkatkan upaya

pengelolahan penataan ruang secara bijaksana, berdaya guna dan berhasil guna

dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang yang baik, sehingga kualitas

ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya

kesejahteraan umum.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dinilai

sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang, sehingga perlu

diganti dengan undang-undang penataan ruang yang baru yaitu Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang dinilai lebih transparan,

efektif dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif,

berbasis mitigasi bencana, dan berkelanjutan.

a. Ruang Terbuka Hijau

Pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH) Ruang terbuka (open spaces)

merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat

pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang terbuka (open spaces),

(12)

pengertian yang hampir sama. Secara teoritis pengertian dari ruang terbuka hijau

menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 6

1. Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a terdiri dari

ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.

:

2. Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedkit 30 (tiga puluh)

persen dari luas wilayah kota.

3. Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua

puluh) persen dari luas wilayah kota.

Selain itu secara teoritis pengertian ruang terbuka hijau menurut

Inmendagri Nomor 14 Tahun 1988 Tentang Penataan Ruang Terbuka yaitu

ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan

maupun dalam bentuk area memanjang/jalur yang dalam penggunaannya lebih

bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan yang berfungsi sebagai

kawasan pertamanan kota, hutan kota, rekreasi kota, kegiatan Olah Raga,

pemakaman, pertanian, jalur hijau dan kawasan hijau pekarangan 7

Dampak positif dari pertumbuhan pembangunan antara lain meningkatkan

pendapatan asli daerah, munculnya sentra-sentra ekonomi, kesejahteraan .

Kawasan perkotaan memang identik dengan masalah polusi udara yang

disebabkan oleh banyaknya kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar

fosil. Asap yang dihasilkan dari sisa pembakaran mesin kendaraan semakin hari

semakin meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk. Korelasi dari

pertumbuhan tersebut ada yang berdampak positif dan negatif.

6

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 29

7

(13)

masyarakat meningkat, indeks kualitas pendidikan meningkat. Pada sisi yang lain

dari pertumbuhan pembangunan juga berdampak negatif diantaranya beban kota

makin berat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan,

kualitas lingkungan perkotaan makin rendah, ruang terbuka hijau (RTH) semakin

berkurang akibat pesatnya perkembangan kawasan perumahan dan kawasan

industri yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas ekosistem Kota.

Secara definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Open Spaces) adalah

kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina

untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan

atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk

meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, Ruang

Terbuka Hijau (Green Open Spaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga

berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota. Ruang terbuka hijau yang

ideal adalah 30 % dari luas wilayah sesuai dengan Pasal 29 Butir 2

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menentukan bahwa

proporsi RTH kota minimal 30 % dari luas wilayah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi antagonisme peraturan

pada level pemerintah daerah. Namun terjadi kecenderungan pelaksanaan

kebijakan yang berlawanan, yaitu terjadinya penurunan luas penyediaan RTH di

kota-kota besar di Indonesia. Hampir disemua kota besar di Indonesia, Ruang

terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka

hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan komunikasi

publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional atau

(14)

memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro (halaman rumah, lingkungan

permukiman) maupun makro (lansekap kota secara keseluruhan); menstimulasi

kreativitas dan produktivitas warga kota; pembentuk faktor keindahan arsitektural;

menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak

terbangun.

b. Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05 Tahun 2008 tentang

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan

Perkotaan, RTH memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis dan

fungsi tambahan (ekstrinsik) sebagai berikut :

Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis :

1. Memberi jaminan pendaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara

(paru-paru kota);

2. Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat

berlangsung lancar

3. Sebagai peneduh

4. Produsen oksigen;

5. Penyerap air hujan;

6. Penyedia habitat satwa;

7. Penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta;

(15)

Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu :

1. Fungsi sosial dan budaya, yaitu menggambarkan ekspresi budaya lokal;

merupakan media komunikasi bagi warga kota; tempat rekreasi; wadah dan

objek pendidikan, penelitian dan pelatihan dalam mempelajari alam.

2. Fungsi ekonomi, yaitu sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga,

buah, daun, sayur mayur; bisa menjadi bagian dari usaha pertanian,

perkebunan, kehutanan dan lain-lain.

3. Fungsi estetika, yaitu meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan

kota baik dari skala mikro (halaman rumah, lingkungan permukiman) maupun

makro (lansekap kota secara keseluruhan); menstimulasi kreativitas dan

produktivitas warga kota; pembentuk faktor keindahan arsitektural;

menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak

terbangun.

Dalam suatu wilayah, empat fungsi utama ini daat dikombinasikan sesuai

dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata

air, keseimbangan ekologi dan konservasi hayati.

c. Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Manfaat Ruang Terbuka Hijau berdasarkan fungsinya dibagi atas :

1. Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu

membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan

mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah)

2. Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu

(16)

persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora

dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati).

Ruang terbuka dapat berupa tempat-tempat di tengah kota, jalan-jalan,

tempat-tempat belanja (mall) dan taman-taman kecil. Simpulan yang bisa ditarik

dari beberapa pengertian ruang terbuka (openspace) adalah ruang yang terbentuk,

berupa softscape dan hardscape, dengan kepemilikan privat maupun publik untuk

melakukan aktivitas bersama (komunal) dalam konteks perkotaan. Secara garis

besar tipologi ruang terbuka adalah park (taman), square (lapangan), water front

(area yang berbatasan air), street (jalan) dan lost space.

Ruang publik merupakan suatu lokasi yang didesain (walau hanya

minimal) dimana siapa saja mempunyai hak untuk dapat mengaksesnya, interaksi

diantara individu didalamnya tidak terencana dan tanpa kecuali dan tingkah laku

para pelaku didalamnya merupakan subyek tidak lain dari norma sosial

kemasyarakatan. Sebuah ruang publik/ruang terbuka dapat dikatakan dapat

berfungsi secara optimal ketika bisa memenuhi aspek/kaidah seperti etika

(kesusilaan), fungsional (kebenaran) dan estetika/keindahan 8

8

Djokomono, 2004, Ruang Publik Kota, Pedagang Kaki Lima Dan Publik Transportation, 1st

Internasional seminar, National Symposium, Exhibition and Workshop in Urban Design

.

Aspek etika mengandung pengertian tentang bagaimana sebuah ruang

publik dapat ‘diterima’ keberadaannya dan citra positif seperti apa yang ingin

dimunculkan yang senantiasa melekat dengan keberadaan ruang publik tersebut.

Aspek fungsional setidaknya terdapat tiga faktor yang terkandung, yakni sosial,

(17)

Faktor sosial merupakan syarat utama menghidupkan ruang publik,

terdapat orang berkumpul dan terjadi interaksi. Selain sosial juga terdapat faktor

lingkungan dimana lingkungan yang nyaman mampu menjadi daya tarik bagi

orang untuk masuk didalamnya. Sedangkan aspek estetika ruang publik terdapat

tiga tingkatan, estetika formal, fenomenologi/ pengalaman dan estetika ekologi.

Estetika formal merupakan estetika dimana obyek keindahan memiliki jarak

dengan subyek. Estetika pengalaman dimana obyek dinikmati dengan partisipasi

atau interaksi dan estetika ekologi, obyek keindahan dinikmati melalui proses

partisipasi dan adaptasi yang memungkinkan kita berkreasi terhadap ruang

tersebut.

d. Pengertian Tata Ruang

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang, menjelaskan yang dimaksud tata ruang adalah “wujud struktural ruang dan

pola ruang” 9. Adapun yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan

ruang adalah susunan unsur-unsur pembentukan rona lingkungan alam,

lingkungan sosial, lingkungan buatan yang secara hierarkis berhubungan satu

dengan yang lainnya. Sedang yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang

meliputi pola lokasi, sebaran permukiman, tempat kerja, industri, pertanian, serta

pola penggunaan tanah perkotaan dan pedesaan. di mana tata ruang tersebut

adalah tata ruang yang direncanakan, sedangkan tata ruang yang tidak

direncanakan adalah tata ruang yang terbentuk secara alami, seperti aliran sungai,

(18)

Selanjutnya masih dalam peraturan tersebut, yaitu Pasal 1 angka 5 yang

dimaksud dengan penataan ruang adalah “suatu sistem proses perencanaan tata

ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang”.

e. Konsep Dasar Hukum Tata Ruang

Mochtar Koesoemaatmadja mengonstatir bahwa tujuan pokok penerapan

hukum apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order).

Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan akan

ketertiban ini, merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya masyarakat

yang teratur, di samping itu tujuan lainnya adalah tercapainya keadilan yang

berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat pada zamannya.

Konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang di dalam pembukaan UUD

1945 alinea ke-4 yang berbunyi :

“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia...”

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945amandemen ke empat, berbunyi

“Bumi dan air dan kekayaa alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan

tersebut memberikan “hak penguasaan kepada negara atas seluruh sumber daya

alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakan

sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Kalimat tersebut mengandung

makna, negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan,

mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya

(19)

Untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut, khususnya untuk meningkatkan

kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti negara harus

dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan

tadi dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah. Apabila kita cermati

dengan seksama, kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh negara, yang

kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya pun

harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi,

sehingga tidak akan adanya perusakan terhadap lingkungan hidup.

Upaya pelaksanaan perencanaan penataan ruang yang bijaksana adalah

kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam

konteks penguasaan negara atas dasar sumber daya alam, menurut hemat penulis

melekat di dalam kewajiban negara untuk melindungi, melestarikan dan

memulihkan lingkungan hidup secara utuh. Artinya, aktivitas pembangunan yang

dihasilkan dari perencaan tata ruang pada umumnya bernuansa pemanfaatan

sumber daya alam tanpa merusak lingkungan.

Selanjutnya, dalam mengomentari konsep Roscoe Pound, Mochtar

Koesoemaatmadja mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana

pembangunan. Disini berarti hukum haruslah mendorong proses modernisasi 10.

Artinya hukum yang dibuat haruslah sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan fungsi tersebut maka pembentuk

undang-undang meletakkan berbagai dasar yuridis dalam melakukan berbagai

kegiatan pembangunan, sebagai salah satunya yaitu dalam pembuatan

(20)

Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang, maka

peraturan-peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak pemerintah, di

mana salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur penataan ruang

adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

f. Ketentuan Hukum Ruang Terbuka Hijau

1. Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007

Pengaturan tentang Ruang Terbuka Hijau ditegaskan dalam Pasal 1 Butir

31, Pasal 28, 29, 30 dan 31 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang (UUPR).

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

31. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Pasal 28

Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan selain rincian Pasal 26 ayat (1) ditambahkan :

a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau; b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana...(dst.)

Pasal 29

(1) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. (2) Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga

(21)

(3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.

Pasal 30

Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang.

Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaat ruang terbuka hijau da ruang terbuka nonhijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a dan huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.

Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk

menjamin keseimbangan ekosistem kota maupun sistem ekologis lain, yang

selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan

masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri

Pengaturan Ruang Terbuka Hijau ditegaskan dalam Pasal 1 Butir 2, 19, 20,

Pasal 2 huruf a, b, dan c, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal Peraturan Menteri Dalam

Negeri Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka

(22)

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri ini yang dimaksud dengan :

2. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.

19. RTHKP Publik adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota.

20. RTHKP Privat adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali Provinsi DKI Jakarta oleh Pemerintah Provinsi.

Pasal 2

Tujuan penataan RTHKP adalah :

a. menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan;

b. mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di perkotaan;dan

c. meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.

Pasal 3

Fungsi RTHKP :

a. pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan; b. pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara; c. tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati; d. pengendalian tata air; dan

e. sarana estetika kota.

Pasal 4

Manfaat RTHKP :

a. sarana untuk mencerminkan identitas daerah; b. sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan; c. sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial; d. meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;

e. menimbulkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah; f. sarana aktifitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula; g. sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat;

h. memperbaiki iklim mikro;dan

(23)

Pasal 6

Jenis RTHKP meliputi :

a. taman kota;

b. taman wisata alam; c. taman rekreasi;

d. taman lingkungan perumahan dan permukiman; e. taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial; f. taman hutan raya;

g. hutan kota; h. hutan lindung;

i. bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah; j. cagar alam;

k. kebun raya; l. kebun binatang; m. pemakaman umum; n. lapangan olah raga; o. lapangan upacara; p. parker terbuka;

q. lahan pertanian perkotaan;

r. jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET); s. sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa;

t. jalur pengamanan jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian; u. kawasan dan jalur hijau;

v. daerah penyanggah (buffer zone) lapangan udara;dan w. taman atap (roof gaden).

3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/Prt/M/2008 tentang

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan

(24)

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

2. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

3. Menteri adalah Menteri Pekerjaan Umum

Pasal 2

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan dimaksudkan untuk :

a. menyediakan acuan yang memudahkan pemangku kepentingan baik pemerintah kota, perencana maupun pihak-pihak terkait, dalam perencanaan, perancangan, pembangunan, dan pengelolaan ruang terbuka hijau.

b. memberikan panduan praktis bagi pemangku kepentingan ruang terbuka hijau dalam penyusunan rencana dan rancangan pembangunan dan pengelolaan ruang terbuka hijau.

c. memberikan bahan kampanye publik mengenai arti pentingnya ruang terbuka hijau bagi kehidupan masyarakat perkotaan.

d. memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait tentang perlunya ruang terbuka hijau sebagai pembentuk ruang yang nyaman untuk beraktifitas dan tempat tinggal.

Pasal 3

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan bertujuan untuk :

a. menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air;

b. menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antar lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat;

(25)

Pasal 4

(1) Ruang lingkup Peraturan Menteri membuat :

a. ketentuan umum, yang terdiri dari tujuan, fungsi, manfaat, dan tipologi ruang terbuka hijau;

b. ketentuan teknis yang meliputi penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan;

c. prosedur perencanaan dan peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau.

(2) Menteri muatan tentang pengaturan sebagai dimaksud pada ayat (1) dimuat secara lengkat dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

F. Metode Penelitian 1. Bentuk Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Deksriptif maksudnya untuk

mendapatkan gambaran atau hanya sekedar ingin mengetahui bagaimana

sebenarnya fungsi ruang terbuka hijau 11

Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari

hasil penelitian yang dilakukan sehingga subjek penelitian yang telah tercermin

dalam fokus penelitian ditentukan secara sengaja .

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Medan.

3. Informan Penelitian

12

11

Nurul Zuriah, 2006, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan

(26)

Subjek penelitian inilah yang akan menjadi informan yang akan

memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian.

Informan penelitian meliputi: informan kunci (key informant), yaitu mereka yang

mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam

penelitian atau informan yang mengetahui secara mendalam permasalahan yang

sedang diteliti, informan utama, yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam

interaksi sosial yang sedang diteliti, informan tambahan, yaitu mereka yang dapat

memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial

yang sedang diteliti 13

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menentukan informan kunci dan

informan utama dengan menggunakan teknik Snowball Sampling yang merupakan

teknik sampling yang banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang

populasi penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan

penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak

lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang

kira-kira bisa dijadikan sampel. Satuan sampling dipilih atau ditentukan

berdasarkan informasi dari responden sebelumnya. Pengambilan sample untuk

suatu populasi dapat dilakukan dengan cara mencari contoh sampel dari populasi

yang kita inginkan, kemudian dari sample yang didapat dimintai partisipasinya

untuk memilih komunitasnya sebagai sample lagi. Seterusnya sehingga jumlah

sample yang kita inginkan terpenuhi. .

13

(27)

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti menentukan informan dengan

menggunakan teknik Snowball Sampling, yaitu pengambilan sample sumber data

secara sengaja dan dengan pertimbangan tertentu.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua macam teknik

pengumpulan data, yaitu :

a. Teknik Pengumpulan Data Primer

Teknik pengumpulan data primer yaitu data yang diperoleh melalui

kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian untuk mencari data-data yang

diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian untuk mencari

data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik ini

dilakukan melalui:

1. Metode interview (wawancara), yaitu dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan mendalam serta terbuka kepada informan atau

pihak yang berhubungan dan memiliki relevansi terhadap masalah yang

berhubungan dengan penelitian. Pewawancara adalah orang yang

menggunakan metode wawancara. Sedangkan informan adalah orang yang

diwawancarai, dimintai informasi oleh pewawancara. Informan merupakan

orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi, ataupun

(28)

2. Metode observasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengamati

secara langsung terhadap obyek penelitian kemudian mencatat gejala-gejala

yang ditemukan di lapangan untuk melengkapi data-data yang diperlukan

sebagai acuan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

b. Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Teknik pengumpulan data sekunder adalah teknik pengumpulan data yang

dilakukan melalui pengumpulan bahan-bahan kepustakaan yang dapat mendukung

teknik pengumpulan data primer. Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan

dengan menggunakan instrument sebagai berikut :

1. Studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data menggunakan

catatan-catatan atau dokumen yang ada di lokasi penelitian atau sumber-sumber lain

yang relevan dengan objek penelitian.

2. Studi Kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh dari

berbagai literature seperti buku-buku, karya ilmiah serta pendapat para ahli

yang memiliki relevansi dengan masalah yang akan diteliti.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab. Pada

masing-masing bab terbagi dalam beberapa sub bab, sehingga mempermudah pembaca

untuk mengetahui gambaran secara ringkas mengenai uraian yang dikemukakan

(29)

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian

penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II : KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Dalam bab ini berisikan tentang gambaran umum kota Medan, struktur organisasi,

sasaran dan prasarana

BAB III : FUNGSI RUANG TERBUKA HIJAU DALAM TATA RUANG KOTA

Bab ini berisi tentang pengertian ruang terbuka hijau, fungsi ruang terbuka hijau,

bentuk-bentuk ruang terbuka hijau, strategi pelestarian ruang terbuka hijau

BAB IV : PENERAPAN KONSEP PEMBENTUKAN DAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU PADA TATA RUANG KOTA MEDAN

Bab ini berisi tentang dinas terkait dalam program penataan fungsi ruang terbuka

hijau dalam tata ruang kota Medan, pemeliharaan ruang terbuka hijau, kendala

(30)

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini yang berisi kesimpulan

yang diambil dari penyusunan dari pokok bahasan yang diangkat untuk dapat

menjawab identifikasi masalah dan membuat saran-saran terhadap masalah fungsi

Referensi

Dokumen terkait

Pembandingan laporan keuangan untuk dua atau tiga tahun dapat dilakukan dengan menghitung perubahan dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah absolut (rupiah) maupun dalam

Ingat yang dihafal bukan ceritanya tetapi alur cerita nama-nama surah Al-Qur’an (dalam terjemah) yang tertulis dengan huruf tebal dan kapital1. Seperti; PEMBUKAAN, SAPI BETINA

Akan tetapi, yang menjadi persoalan dalam ritual setiap tarekat yang ada adalah bahwa hampir mayoritas ritual tarekat mencitrakan Tuhan dalam bentuk atau citra laki-laki dan

[r]

Kaskouli dkk 21 pada penelitiannya ditemukan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara protrusi bola mata dengan tinggi badan dan berat badan pada kelompok anak-anak,

Secara operasional, yang dimaksud dengan strategi pembelajaran guru dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa adalah usaha- usaha yang direncanakan dan

The system consists of the member-level primary, secondary, and tertiary manufacturing processes databases, which are viable for various materials, production

Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan lansia di Panti Werdha yaitu faktor pengalaman hidup dan faktor dukungan sosial sangat berpengaruh satu