• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transparansi Budaya Sekolah id. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Transparansi Budaya Sekolah id. pdf"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

Transparansi Budaya Sekolah: Upaya Sekolah Dalam Mempromosikan

dan Menerapkan Budaya Sekolah

Andreana Kusumaningtyas

Jakarta Multicultural School

andreasularso@yahoo.com

A.Visi dan Misi Sekolah

“Culture is not Writings on the Wall.” (Suhardono, 2017). Sebuah kalimat pembuka yang penulis rasa pas untuk memulai tulisan tentang tranparansi budaya sekolah. Budaya

sekolah selalu menjadi topik yang hangat dan menarik untuk dibicarakan oleh berbagai

kalangan. Bukan hanya di kalangan pendidikan, namun juga di masyarakat luas. Berdiskusi

tentang budaya sekolah berarti berdiskusi tentang elemen yang terkait serta berbagai pihak

yang terlibat di dalamnya. Misi dan visi serta elemen budaya sekolah menjadi faktor utama

bagaimana budaya sekolah di komunikasikan ke seluruh anggota sekolah agar menjadi

transparan untuk diterapkan.

Adalah Sekolah A di Cilandak, Jakarta Selatan yang penulis pilih untuk menjadi fokus

pemaparan tentang upaya sekolah tersebut mempromosikan dan menerapkan budaya

sekolahnya. Langkah pertama untuk membentuk budaya sekolah adalah dengan mendeklarasikan misi dan visi. Misi adalah “pernyataan mengenai hal-hal yang harus dicapai organisasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan di masa datang” (Akdon, 2006, h. 97). “To help Indonesian children develop totally-academic, interpersonal, intrapersonal and physical and be competitive internationally”, adalah misi dari sekolah ini. Misi ini dirasa penting untuk diwujudkan mengingat sekarang banyak sekolah yang sudah tidak lagi peduli akan

pentingnya menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan sibuk menggantinya dengan berbagai

kemampuan akademik yang dirasa bisa meningkatkan daya prestasi peserta didik.

Sejalan dengan misi, visi merupakan “gambaran tentang masa depan/ future yang realistik dan ingin diwujudkan dalam kurun waktu tertentu” (Akdon, 2006, h. 94). Visi

(2)

2

peserta didik/ anggota sekolah yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki

soft skills yang ditunjukkan dalam bentuk memiliki hubungan baik dengan penciptanya, dengan lingkungan sekitar serta dirinya sendiri.

Untuk mempermudah penerapan serta memperjelas makna visi dan misi tersebut,

pemangku kepentingan Sekolah A menyederhanakannya dalam bentuk slogan berbunyi, “Sekolah A teaches the students to respect differences, to allow differences, to encourage differences, until differences no longer make a difference.” Slogan ini memuat berbagai keinginan serta cita-cita yang ingin diraih oleh Sekolah A dalam mendidik para siswanya,

yaitu menjadi pemimpin di level global yang bisa menghargai serta menerima perbedaan.

Slogan tersebut terpampang dalam ukuran besar dan dipasang di lobi sekolah. Menjadi

pengingat bagi anggota sekolah/pengunjung untuk bersikap penuh penghargaan terhadap

perbedaan yang ada. Konsep mengapresiasi perbedaan inilah yang menjadi kunci penting

bagaimana budaya sekolah dipromosikan dan diterapkan.

B. Elemen Budaya Sekolah

Mengacu kepada misi serta visi yang diterapkan, maka kunci utama dari budaya

sekolah di Sekolah A ialah sikap penghargaan terhadap perbedaan yang ada dan memandang

perbedaan sebagai sebuah kekuatan/ kelebihan. Kunci utama ini, oleh Sekolah A dihadirkan

dalam bentuk empat (4) elemen budaya sekolah: nilai, kebiasaan, norma serta simbol.

Nilai dan sumbernya menurut Schermerhorn (2011, p. 40-41), adalah broad preferences concerning appropriate courses of action or outcomes. Parents, friends, teachers, siblings, education, experience, and external reference groups are all values source that can influence individual values. Indeed, peoples’ values develop as a product of the learning and experience they encounter from various sources in the cultural setting in which they live.” Definisi ini menunjukkan bahwasanya nilai berasal dari berbagai sumber, diantaranya orang tua, guru, teman, lingkungan pendidikan, masyarakat atau bahkan hasil

individu berinteraksi dengan lingkungan. Artinya, nilai bersifat intangible dan hanya bisa dilihat dalam bentuk sikap/ perilaku individu.

(3)

3

them, and what we should eat at each one. They also include rituals of deference and public deportment, such as where to stand and whom to look at during conversations or public outings. Dari definisi tersebut terlihat bahwa kebiasaan/ folkways sejatinya terbentuk oleh sebuah rutinitas yang dijalankan secara konsisten setiap hari. Konsistensi tersebut menjadi

keunikan dari sebuah sekolah/ organisasi dan diturunkan secara turun-temurun dari senior

kepada juniornya, baik berupa aturan kerja maupun hal-hal yang mendukung keberhasilan

pekerjaan.

Dua elemen lain yang tidak kalah pentingnya dalam menerapkan budaya sekolah

adalah hadirnya norma/ aturan serta simbol. Hal ini dikarenakan baik norma maupun simbol

memberikan batasan serta ekspektasi yang jelas bagi anggota sekolah dalam menerapkan

budaya yang berlaku. Batasan serta ekspektasi tentang pelaksanaan budaya sekolah, nyata

terlihat pada definisi norma sebagai, “shared rules of conduct. They specify what people ought to or ought not to.” (Brinkerhoff and White, 1988, p. 6) Kata kuncinya terletak pada “shared rules of conduct”, yang berarti seluruh anggota sekolah harus memahami inti dari budaya sekolah yang mereka lakukan. Elemen terakhir dari budaya sekolah ialah simbol. “Symbols are acts or objects that have come to be socially accepted as standing for something else. They come to represent other things through the shared understandings people have. Hence, symbols are a powerful code or shorthand for representing and dealing with aspects of the world about us. (Zanden, 1996, p. 34) Definisi dari Zanden menunjukkan, meskipun simbol hanya berupa gambar yang tangible/ bisa disentuh, namun tetap berdampak besar pada penerapan budaya sekolah. Ini terjadi karena simbol yang

merepresentasikan sebuah tindakan disosialisasikan secara jelas.

Dari kesemua definisi elemen budaya sekolah yang sudah dipaparkan diatas, penulis

menarik kesimpulan bahwa budaya sekolah ialah serangkaian ide/ gagasan yang tersusun atas

nilai-nilai, kebiasaan serta simbol yang dikembangkan sedemikian rupa dan tersosialisasi

kepada seluruh anggota sekolah dengan jelas dalam sebuah sistem. Seperti dijelaskan oleh

Schermerhorn berikut ini, “organizational or corporate culture is the system of shared actions, values, and beliefs that develops within an organization and guides the behavior of its members. (Schermerhorn et al., 2011, p. 366).

C. Transparansi Penerapan Budaya Sekolah

Sebagai sebuah organisasi yang dinamis, Sekolah A mendasari pelaksanaan budaya

(4)

4

pemangku kepentingan (tim kepala sekolah dan pemilik sekolah) visi dan misi tersebut

disosialisasikan sedemikian agar bisa menjangkau semua level. Melalui visi dan misi

tersebut, Sekolah A ingin menjadikan dirinya sebagai barometer pendidikan di Indonesia.

Salah satu cara untuk mewujudkannya ialah dengan transparansi budaya sekolah.

Transparansi atau keterbukaan di sini mengandung arti bahwa, budaya sekolah tidak akan

berjalan dengan baik dan sulit mencapai hasil maksimal, apabila tidak disosialisasikan

dengan terarah dan terstruktur. Dalam hal ini, pemangku kepentingan perlu melakukan

pemetaan/ mapping tentang struktur organisasi dan bagaimana konsep transparansi tersebut bisa dijalankan.

Berkenaan dengan konsep transparansi tersebut, Sekolah A melakukan beberapa

kegiatan yang dianggap mumpuni dalam upayanya mensosialisasikan visi tersebut, yaitu: (a).

Menyelenggarakan pelatihan awal/ initial training. Pelatihan awal ini dirancang sebagai upaya pengenalan akan sistem pendidikan yang Sekolah A adopsi, keunikan yang dimiliki

serta berbagai kegiatan yang Sekolah A lakukan dalam proses pendidikannya. Pelatihan awal

ini diberikan secara merata kepada seluruh staf sekolah, tanpa terkecuali. Sekolah A meyakini

dengan dilakukannya initial training, membuat visi dan misi sekolah lebih dikenal.

(b). Mengadakan professional development secara berkala. Kegiatan ini ditujukan terutama bagi para guru, karena berkaitan dengan proses belajar mengajar di kelas serta

bagaimana guru menggabungkan visi dan misi ke dalam proses pembelajaran dan

menerapkannya dalam bentuk yang lebih sederhana dan aplikatif agar mudah dimengerti oleh

peserta didik. (c). Membentuk asosiasi orang tua siswa, yang disebut sebagai SHIPA

(Sekolah A Parents Association). Asosiasi ini menaungi seluruh orang tua siswa di Sekolah A. Bekerjasama dengan tim kepala sekolah, guru serta asosiasi orang tua, visi dan misi di

sekolah secara konsisten disosialisasikan melalui kegiatan/ event. Dari pelaksanaan event tersebut, Sekolah A bisa melihat serta melakukan evaluasi, pihak-pihak mana saja yang

belum mengerti atau telah mengerti maksud dari visi dan misi, agar selanjutnya Sekolah A

bisa mendesain kegiatan/ aktivitas lain untuk mencapai pemahaman merata tentang misi dan

visi.

Namun dalam perjalanannya, mensosialisasikan visi dan misi ternyata tidak cukup

dengan hanya menyelenggarakan 3 (tiga) kegiatan diatas. Dibutuhkan keterlibatan budaya

sekolah, terutama dalam mendesain berbagai events agar sesuai dengan setiap elemen yang ada di dalam budaya sekolah, yaitu nilai, kebiasaan, norma dan simbol. Misi Sekolah A yang

(5)

5

sosial serta mampu bersaing kompetitif di level global berbanding lurus/ sejalan dengan visi

yang mereka emban, yaitu menjadi pioner dan barometer di dunia pendidikan Indonesia.

Dengan latar belakang itulah, budaya sekolah yang berfokus pada promoting and accepting differences/ mengakomodir dan menerima perbedaan, dibentuk. Konsep perbedaan yang dimaksudkan disini, bukan saja terletak pada perbedaan etnisitas dan agama, namun

juga mengakomodir perbedaan cara pandang, latar belakang budaya serta perbedaan dalam

pencapaian akhir belajar. Sekolah A meyakini bahwa berbagai perbedaan tersebut,

seharusnya tidaklah menjadi masalah, melainkan harus disambut dan dijadikan sebagai

sebuah keunikan yang menyatukan.

Untuk mewujudkan keunikan tersebut menjadi nyata, Sekolah A

mengkolaborasikan fokus tersebut ke dalam empat (4) elemen budaya sekolah yaitu: nilai,

kebiasaan, norma dan simbol. Kolaborasi ini dimaksudkan untuk mempermudah proses

sosialisasi dan penerapannya. Sekolah A percaya melalui transparansi visi, misi serta fokus

pendidikan yang diemban, maka pelaksanaan budaya sekolah akan lebih mudah dilakukan.

Berkenaan dengan pelaksanaan budaya sekolah, tim pemangku kepentingan yang

terdiri atas dewan direksi, tim kepala sekolah serta guru menyusun dan mengembangkan

kegiatan agar sejalan dengan fokus pendidikan yang diemban. Ada kegiatan yang dilakukan

setiap tahun akademik dimulai, ada pula kegiatan yang dilakukan per term/ setiap tiga (3) bulan. Untuk kegiatan tahunan (setiap tahun ajaran baru), biasanya berkenaan dengan

kegiatan pendaftaran siswa baru, rekrutmen guru/ staf baru, yang disebut sebagai initial training dan initial conference meeting/ pertemuan awal guru dan orang tua murid. Kegiatan ini bertujuan untuk menyamakan visi, misi sekaligus mensosialisasikan fokus pendidikan

yang Sekolah A adopsi melalui penerapan budaya sekolah.

Disamping itu kegiatan tahunan, ada juga kegiatan yang dilakukan per term/ setiap tiga (3) bulan yang biasanya berkaitan dengan evaluasi belajar yang dilakukan setiap tiga

bulan sekali. Kegiatan per term ini juga berhubungan dengan event/ acara yang sekolah adakan dan melibatkan partisipasi orang tua atau masyarakat luas secara umum. Baik

kegiatan tahunan, maupun events per term, keduanya sama-sama bertujuan memaksimalkan penerapan budaya sekolah melalui elemen nilai, kebiasaan, norma dan simbol.

Untuk lebih mudah memahami, bagaimana Sekolah A mendesain kegiatan mereka

dalam upayanya memaksimalkan penerapan budaya sekolah, penulis menggunakan tabel

(6)

6

Tabel 1: Berbagai kegiatan yang Sekolah A kembangkan terkait penerapan budaya sekolah No Kegiatan yang

dilakukan

Tujuan Kegiatan Elemen Budaya Sekolah Pihak yang

terlibat Nilai/ Values Kebiasaan/

Folkways

Norma/ Norms Simbol/ Symbol

1 Pekan Multi setiap hari secara bergantian. Kebiasaan yang dibangun ini sejalan dengan kebijakan penerapan dual- language/ dwi bahasa.

 Menerapkan kebijakan dual language/ dwi hari tersebut.

 Seluruh

2 Menyediakan pelajaran agama untuk 5 agama yang ada, serta menyelenggara-kan kegiatan 3R

(7)

7 kegiatan serupa.

peserta didik

(8)

8

Conference.  Mendiskusikan

/ Mereview orang tua untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik.

sebagai bentuk antara guru dan peserta didik ketika ada yang terlupa.

 Mengucapkan student pledge berbunyi: “As a School A student, I will: 1. Respect everyone

and everything. 2. Listen to others when they are piket kelas di hari itu.

 Guru dan peserta didik

6 Tersedianya poster “Steps for Resolving

Conflict” di

 Untuk melatih seluruh

(9)

9 setiap kelas. menyelesaikan

masalah yang apa yang menjadi masalah saat aware tentang apa yang harus mereka

peserta didik.

7 Mendesain oleh rekan guru, tim kepala

diberikan oleh tim kurikulum.

 Sebagai bentuk menghargai

 Pembiasaan untuk mengikuti tanda panah saat menggunakan

(10)

10 saat berjalan.

menaiki tangga, sulit di awal untuk diaplikasikan.

 Mempraktekan kebiasaan-kebiasaan baik yang mereka lakukan setiap hari, pada saat melakukan

touring. Misalnya, berbagi ruang saat naik-turun tangga,

 Peserta didik.  Pengunjung/

(11)

11

Dari sembilan (9) buah kegiatan yang Sekolah A kembangkan dan jalankan, ada lima

(5) kegiatan yang penulis lihat dan diberi tanda bintang, ( ) sebagai upaya terbaik Sekolah

A dalam menerapkan transparansi pelaksanaan budaya sekolah, yaitu: (1). Pekan Multi

Budaya/ Multi-Cultural Week dan Pekan Budaya Indonesia/ Indonesia Cultural Week; (2). Menyelenggarakan kegiatan 3R (Retreat- Ramadhan- Re-collection); (3). Daily Morning Advisory/ Daily Morning Meeting/ Pertemuan pagi; (4). Prosedur “Steps for Resolving Conflicts/ Langkah-langkah menyelesaikan konflik, serta (5) Open House.Pemberian tanda bintang tersebut, didasari pada hasil temuan di lapangan serta analisa penulis yang

menemukan bahwa ke-lima (5) kegiatan tersebut, mendapatkan exposure/ perhatian lebih banyak dari anggota sekolah, terutama orang tua peserta didik dan masyarakat luas.

Mengapa? Karena pada lima (5) kegiatan tersebut, terlihat jelas fokus pendidikan Sekolah A,

yaitu mempromosikan dan menerima perbedaan/ promoting and accepting differences.

Meskipun dalam pengamatan penulis, Sekolah A sudah berhasil menerapkan budaya

sekolahnya secara transparan, namun bukan berarti Sekolah A menutup diri terhadap

berbagai perbaikan dan penyempurnaan. Tentu saja ide/ masukan dari orang tua, peserta didik

atau bahkan staf sekolah tentang bagaimana penerapan budaya sekolah bisa lebih

dimaksimalkan, akan menjadi masukan yang berharga bagi Sekolah A.

D. Kesimpulan

“Culture is not writings on the wall.” Begitulah seharusnya budaya sekolah dimaknai. Bukan hanya sebagai dekorasi semata, namun juga harus dilakukan dan dirasakan. Budaya

sekolah dianggap berhasil dilaksanakan dengan baik, apabila budaya tersebut melekat/

endure dalam setiap sikap serta tingkah laku para pelakunya, dalam hal ini seluruh anggota sekolah, dimana pun mereka berada dan dalam situasi apapun.

Sekolah A dengan berbagai keterbatasan serta kelebihan yang dimiliki, telah berusaha

maksimal dalam membuat budaya sekolah menjadi transparan untuk dijalankan. Di masa

yang akan datang, Sekolah A dituntut untuk terus menyempurnakan pelaksanaannya, agar

(12)

12 Daftar Referensi

Buku

 Akdon. (2006). Strategic Management for Educational Management (Manajemen Strategik untuk Manajemen Pendidikan). Bandung

 Brinkerhoff, David B. and White, Lynn K. (1988). Sociology, 2nd Ed. New York: West Publishing Company.

 Neubeck, Kenneth J. and Glasberg, Davita Silfen. (1996). Sociology: A Critical Approach. New York: McGrawHill, Inc.

 Schermerhorn, John R. et al. (2011). Organizational Behavior. California: John Wiley and Sons, Inc.

 Zanden, James W. Vander. (1996) Sociology: The Core. New York: McGrawHill, Inc.

Artikel Surat Kabar

 Suhardono, René. (2017, 25 Maret). Ultimate U: Culture is not Writings on The Wall. KOMPAS.

Tentang Penulis:

Andreana Kusumaningtyas saat ini bekerja sebagai pengajar di Jakarta Multicultural

School. Penulis memperoleh gelar Master Pendidikan/ M.Pd, di tahun 2014 dari Universitas

Negeri Jakarta, dan gelar Sarjana Ilmu Politik/ S.IP dari Universitas Katolik Parahyangan,

Bandung di tahun 2002. Pengalaman mengajar penulis dimulai tahun 2003 hingga saat ini, di

beberapa sekolah nasional plus dan internasional di Jakarta. Selain sebagai pengajar, penulis

(13)

Gambar

Tabel 1: Berbagai kegiatan yang Sekolah A kembangkan terkait penerapan budaya sekolah

Referensi

Dokumen terkait

Penekanan pada mekanisme “compare” (apa yang sama) dan “contrast” (apa yang beda) dari dari hal di atas amat ditekankan. Terakhir, pada pembahasan inilah peserta

Resistensi masyarakat beserta BPD merupakan bentuk-bentuk perlawanan terhadap pengelolaan APBDes yang diselenggarakan oleh pemerintah desa, resistensi masyarakat

3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyeleng- garaan Pemerintah Daerah Kepada Peme- rintah, Laporan Keterangan Pertanggung jawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

Hal ini dapat dilihat dari perbandingan antara hipotesis yang diterima dengan hipotesis yang ditolak sebersar 20:1 Penulis mengambil kesimpulan secara umum bahwa pengumuman

Nilai modulus penampang teoritis diperoleh dengan asumsi bahwa penampang yang memiliki sambungan finger joint tidak memberikan kontribusi pada balok laminasi sedangkan

Kamu dapat menentukan ukuran kertas yang akan digunakan untuk membuat dokumenmu dan pada saat mencetak dokumen kamu harus menyesuaikan kertas yang digunakan dengan ukuran kertas

Fluktuasi Nilai Tekanan Udara pada daerah Sorong berbanding lurus dan berpengaruh cukup kuat pada variabilitas curah hujan sepanjang tahun baik pada bulan Juli yang

Analisis SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam gambar matrik SWOT,