• Tidak ada hasil yang ditemukan

BASELINE SURVEY DAN MAPPING SOSIAL EKONOMI UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN SENTRA KELAUTAN PERIKANAN TERPADU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BASELINE SURVEY DAN MAPPING SOSIAL EKONOMI UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN SENTRA KELAUTAN PERIKANAN TERPADU"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BASELINE SURVEY DAN MAPPING SOSIAL EKONOMI UNTUK MENDUKUNG

PEMBANGUNAN SENTRA KELAUTAN PERIKANAN TERPADU

PROFIL SOSIAL EKONOMI PERIKANAN WPP 714 KABUPATEN BUTON SELATAN

(2)

Baseline Survey dan Mapping Sosial Ekonomi Untuk Mendukung

Pembangunan Sentra Kelautan Perikanan Terpadu

DATA DAN INFORMASI

PROFIL SOSIAL EKONOMI PERIKANAN WPP 714 KABUPATEN BUTON SELATAN

PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

(3)

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

PENDAHULUAN ... 1

Tujuan ... 2

METODOLOGI ... 3

Lokasi Penelitian dan Justifikasi Pemilihan Lokasi ... 3

Jenis Data : Primer/ Sekunder ... 3

Teknik Pengumpulan Data ... 4

Metode Analisis Data ... 5

Kerangka Pemikiran ... 7

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 9

Sintesa Prioritas Isu Perikanan di Kabupaten Buton Selatan ... 9

Strategi Pengembangan Usaha Perikanan di Buton Selatan ... 12

Perumusan Alternatif Strategi Pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Buton Selatan ... 15

Penentuan Prioritas Langkah-Langkah Strategi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Buton Selatan : Pendekatan QSPM ... 16

Profil Umum Lokasi ... 18

Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan ... 20

Perikanan Budidaya di Kabupaten Buton Selatan ... 30

Wisata Bahari ... 32

Kearifan Lokal ... 33

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(4)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Teknik Pengumpulan Data ... 4

Tabel 2. USG Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan ... 9

Tabel 3. USG Perikanan Budidaya di Kabupaten Buton Selatan... 10

Tabel 4. USG Pengolahan Hasil Perikanan di Kabupaten Buton Selatan, 2016 ... 11

Tabel 5. USG Pariwisata Bahari di Kabupaten Buton Selatan, 2016... 11

Tabel 6. Hasil Analisa Faktor Internal Strategis dalam Pengembangan Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan, 2016 ... 13

Tabel 7. Hasil Analisis Faktor Eksternal Strategis dalam Pengembangan Perikanan Tangkap di Buton Selatan ... 14

Tabel 8. Perumusan Srategi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2016 ... 16

Tabel 9. QSPM Pengembangan Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan, 2016 ... 17

Tabel 10. Jumlah Penduduk Kabupaten Buton Selatan berdasarkan jenis kelamin Tahun 2014-2015 ... 18

Tabel 11. Presentase Penduduk Usia 15 Tahun Keatas* menurut Status Pekerjaan Utama Tahun 2015 ... 19

Tabel 12. Distribusi Persentase PDRB ADHK Tahun 2015 ... 19

Tabel 13. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pendukung di Kabupaten Buton Selatan, 2016 ... 21

Tabel 14. Aktor dan Peran Dalam Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan, 2016 .. 21

Tabel 15. Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Buton Selatan ... 22

Tabel 16. Produksi Perikanan Tangkap Menurut Kecamatan di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2015 ... 22

Tabel 17. Produksi, jumlah nelayan dan armada di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2014 ... 23

Tabel 18. Pola Musim ... 24

Tabel 19. Kelembagaan usaha, aktor dan keterkaitan antar aktor dalam bidan perikanan tangkap, Kabupaten Buton Selatan, 2016 ... 25

Tabel 20. Biaya Investasi Perahu Katinting, Mesin 10 PK, ... 25

Tabel 21. Biaya Tidak Tetap per Trip Nelayan dengan Perahu Katinting ... 25

Tabel 23. Rata-Rata Hasil Tangkapan Pada Saat Puncak, Paceklik Dan Trip Terakhir, 2016 ... 26

Tabel 24. Biaya Investasi ... 26

Tabel 25. Biaya Tidak Tetap per Trip Nelayan dengan Armada <5 GT dan alat tangkap Purseine . 26 Tabel 26. Rata-Rata Hasil Tangkapan Pada Saat Puncak, Paceklik Dan Trip Terakhir, 2016 ... 27

Tabel 27. Biaya Investasi Perahu <5GT dan Alat Tangkap Purseine ... 27

Tabel 28. Biaya Tidak Tetap per Trip Nelayan dengan Armada <5 GT dan alat tangkap Purseine . 28 Tabel 29. Rata-Rata Hasil Tangkapan Pada Saat Puncak, Paceklik Dan Trip Terakhir, 2016 ... 28

Tabel 30. Biaya Investasi Perahu 6 GT dan alat tangkap pancing ulur... 28

Tabel 31. Biaya Tidak Tetap per Trip Nelayan dengan Armada 6 GT dan alat tangkap Pancing Ulur ... 29

Tabel 32. Rata-Rata Hasil Tangkapan Pada Saat Puncak, Paceklik Dan Trip Terakhir, 2016 ... 29

Tabel 33. Kalender kerja usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Buton Selatan ... 30

Tabel 34. Produksi Rumput Laut E. cottoni di Kabupaten Buton Selatan, 2011 – 2015 ... 31

Tabel 35. Perkembangan harga jual rumput laut kering yang diterima pembudidaya rumput laut di Kabupaten Buton Selatan ... 32

(5)

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 8 Gambar 2. Peta Strategi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan 15 Gambar 3. Peta Strategi Pengembangan usaha perikanan tangkap di Buton Selatan ... 16 Gambar 4. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Menurut Kecamatan di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2015 ... 24 Gambar 5. Aktivitas dan aktor rantai nilai rumput laut di Kabupaten Buton Selatan ... 30 Gambar 6. Lokasi Liwungtokidi di Kabupaten Buton Selatan ... 32

(6)

1

PENDAHULUAN

Negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan terdiri dari pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil. Jumlah pulau yang terdaftar dan memiliki koordinat berjumlah 13.466 pulau (bakosurtanal.go.id). Berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Indonesia memiliki 92 pulau terluar/terdepan yang umumnya lokasinya sangat terpencil dan 31 pulau di antaranya telah berpenduduk sehingga perlu diberdayakan ekonomi masyarakatnya. Potensi pulau-pulau kecil dan kawasan perbatasan di Indonesia dapat didayagunakan menjadi salah satu penggerak pertumbuhan sekaligus sebagai pilar ekonomi nasional. Banyak potensi maritim yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan sosial ekonomi masyarakat.

Saat ini, setidaknya terdapat beberapa payung hukum terkait dengan keberadaan pulau terluar di Indonesia. Perpres No 78 Tahun 2005 terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Adapun Perpres tersebut bertujuan untuk: 1) Menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan; 2) Memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan; 3) Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Selain itu pondasi hukum pengelolaan pulau kecil dan terluar/terdepan (PPKT) diperkuat oleh UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil jo UU No 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU No 27 Tahun 2007, dan Peraturan Pemerintah No.62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan PPKT.

Pemerintah Indonesia harus memberikan perhatian khusus kepada pulau-pulau kecil dan terluar, terutama pembangunan infastruktur. Infrastruktur merupakan hal penting guna mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan yang masih rendah sekaligus guna meningkatkan pendapatan. Salah satu aspek penting dalam pembangunan infrastruktur adalah adanya identifikasi kebutuhan yang prioritas untuk dipenuhi. Kebutuhan ini, biasanya spesifik sesuai dengan potensi sebuah lokasi. Indentifikasi potensi dan kebutuhan yang baik, akan memudahkan pemerintah dalam memprioritaskan pembangunan suatu kawasan disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan sekaligus akan meminimalisir kegagalan pembangunan infrastruktur (fasilitas, sarana, dan prasarana untuk menunjang bisnis kelautan dan perikanan).

(7)

2

Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengarahkan pembangunan kelautan dan perikanan lima tahun kedepan memenuhi tiga pilar yang saling terintegrasi, yakni kedaulatan

(sovereignty), keberlanjutan (sustainability), dan kemakmuran (prosperity). Pada tiga pilar

tersebut, pulau-pulau terluar yang ada di Indonesia dianggap sebagai dasar penting dalam pengembangan perekonomian secara nasional. Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tinggi dan dapat dijadikan sebagai modal dasar pelaksanaan pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Diharapkan dengan adanya pengelolaan pulau kecil terluar (PKT) secara optimal, diharapkan akan memperkuat basis ekonomi masyarakat kelautan dan perikanan secara berdaulat, berkelanjutan dan lebih sejahtera. Pembangunan pulau terluar dimaksudkan untuk memperpendek kesenjangan infrastruktur dibandingkan wilayah yang padat penghuninya.

Dalam hal ini diperlukan suatu landasan yang kuat dan terpadu sebagai pedoman atau panduan bagi pemangku kepentingan dalam mengembangkan pulau-pulau kecil. Landasan tersebut haruslah merupakan berdasarkan data dan informasi dari setiap lokasi. Informasi yang dikumpulkan mencakup aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan sehingga pengelolaan dan pemanfaatannya dapat disesuaikan dengan karakter masing-masing pulau. Informasi hasil identifikasi merupakan hal penting dan dapat digunakan sebagai dasar direktorat teknis terkait dalam memprioritaskan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dan disesuaikan dengan potensi masing-masing daerah.

Indonesia memiliki 11 wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Di WPP tersebut memiliki beberapa pulau kecil yang belum seluruhnya teridentifikasi aspek sosial ekonomi (potensi dan permasalahannya). Salah satu Kabupaten yang berada pada WPP 714 yaitu Kabupaten Buton Selatan. Kabupaten ini merupakan kabupaten baru dan memiliki potensi sumberdaya yang belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagai salah satu langkah mengoptimalkan potensi yang ada adalah melakukan identifikasi aspek sosial ekonomi serta menentukan langkah-langkah strategi yang akan dilakukan dalam rangka mengembangkan perikanan di Kabupaten Buton Selatan.

Tujuan

1) Mengidentifkasi Potensi dan Permasalahan Pemanfaatan Sumberdaya KP

2) Melakukan Analisis peluang dan tantangan pengembangan kelautan dan perikanan di Lokasi Penelitian

(8)

3

METODOLOGI

Lokasi Penelitian dan Justifikasi Pemilihan Lokasi

Kegiatan Penelitian dilakukan pada tahun 2016. Lokasi penelitian yaitu rencana lokasi kegiatan PSKPT (pembangunan sentra kelautan terpadu) pada tahun 2017 berdasarkan informasi yang didapat dari Direktorat Pengelolaan Ruang Laut. Pada WPP 714 yang menjadi bakal calon lokasi adalah Kabupaten Buton Selatan.

Pada tahap awal kegiatan pengumpulan data di daerah, dilakukan koordinasi dengan Dinas Kelautan Perikanan setempat untuk menentukan lokus kegiatan pengumpulan data. Salah satu kriteria penentuan lokus kegiatan adalah lokasi tersebut merupakan sentra perikanan dengan tipologi perikanan tangkap, budidaya, pengolahan, garam dan wisata bahari. Penentuan suatu wilayah merupakan sentra atau tidak, didasarkan pada informasi dari dinas dan data statistik perikanan di lokasi.

Jenis Data : Primer/ Sekunder

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dan observasi di tingkat pelaku usaha KP, sedangkan data sekunder dikumpulkan, berupa bahan-bahan tertulis yang berupa laporan tahunan, hasil penelitian terdahulu (sebelumnya), buku serta publikasi media cetak maupun elektronik, seperti dari monografi desa, kecamatan dalam angka, kabupaten dalam angka.

Menurut Nasution (2006), Sumber data sekunder adalah sumber bahan bacaan. Bahan sekunder adalah hasil pengumpulan oleh orang lain dengan maksud tersendiri dan mempunyai kategorisasi atau klasifikasi menurut keperluan mereka. Data sekunder berupa bahan-bahan tertulis yang berupa laporan tahunan, hasil penelitian terdahulu (sebelumnya), buku serta publikasi media cetak maupun elektronik. Data ini dipakai sebagai pelengkap temuan atau sebagai starting point untuk memperoleh orientasi yang lebih luas mengenai topik yang diteliti.

(9)

4

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan menggunakan teknik wawancara, observasi lapang. Untuk mengkonfirmasi informasi yang didapat, dilakukan triangulasi. Menurut Sitorus (1998), triangulasi dapat diartikan sebagai "kombinasi sumber data" yang memadukan sedikitnya tiga metode, seperti observasi, wawancara dan analisis dokumen. Kelebihan dari metode ini adalah saling menutupi kelemahan antara satu metode dengan metode lainnya, sehingga hasil yang diharapkan dari realitas sosial masyarakat menjadi lebih valid.

Menurut Nasution (2006), observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran lebih jelas tentang kehidupan sosial. Dengan observasi sebagai alat pengumpul data, diusahakan mengamati keadaan yang wajar dan yang sebenarnya tanpa usaha yang disengaja untuk mempengaruhi, mengatur atau memanipulasinya. Sedangkan wawancara atau interview adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi (Nasution, 2006). Menurut Mulyana (2004), wawancara mendalam disebut juga wawancara tidak terstruktur, yang susunan pertanyaannya tidak ditetapkan sebelumnya. Wawancara ini mirip dengan percakapan informal. Teknik wawancara dengan mengunakan pedoman wawancara (interview guide).

Pemilihan Informan/responden dilakukan secara proporsive dengan mempertimbangkan beberapa kriteria, diantaranya sudah mendiami lokasi lebih dari 2 tahun, mewakili unsur keterwakilan, dan bisa memberikan informasi yang dibutuhkan. Adapun jumlah informan yang diambil dari setiap lokasi sebanyak 60 orang yang terdiri dari unsur SKPD, tokoh adat dan masyarakat, bakul/tengkulak, nelayan, pembudidaya, pegaram, pengolah dan UPT dilokasi (TPI, PPI, PPN).

Tabel 1. Teknik Pengumpulan Data

Tujuan Informasi yang dikumpulkan Teknik Pengumpulan data Informan/ responden Analisis Data Mengidentifkasi Potensi dan Permasalahan Pemanfaatan Sumberdaya KP

Potensi sumberdaya, jenis hasil tangkapan, kalender musim, alat tangkap perikanan, tingkat pendidikan, umur, proporsi jenis kelamin pada kegiatan usaha, infrastruktur di lokasi, sarana dan prasarana perikanan, karakteristik - Studi literatur - Observasi lapang - Wawancara - FGD - Pemerintah daerah (DKP, Bapppeda, BPS, Dispar, PLN) - Tokoh Masyarakat - Tokoh Adat - Bakul/ tengkulak - Nelayan - Pembudidaya - Deskriptif kualitatif - Statistik sederhana - Analisis rantai manfaat

(10)

5

Tujuan Informasi yang dikumpulkan Teknik Pengumpulan data Informan/ responden Analisis Data

rumah tangga perikanan, kalender musim, pola usaha, tingkat penerapan teknologi dan produktivitas usaha KP - Pengolah - Garam - TPI, PPI, PPN, Syahbandar Melakukan Analisis peluang dan tantangan pengembangan pulau terdepan Potensi pengembangan usaha, Tantangan pengembangan usaha FGD - Pemerintah daerah - SKPD terkait - Tokoh Masyarakat - Tokoh Adat - Bakul/ tengkulak - Nelayan - Pembudidaya - Pelaku usaha perikanan Analisis USG, SWOT, Qpsm

Metode Analisis Data

Metode analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data dalam bentuk yang lebih mudah dipahami (Nazir 1988).

Analisa data dilakukan berdasarkan informasi yang didapat dari data sekunder, wawancara, dan observasi lapang. Khusus untuk data kuantitatif, data yang diperoleh akan dianalisis dalam bentuk tabulasi statistik sederhana. Untuk mengidentifikai peluang pengembangan pulau terdepan adalah dengan menggunakan analsisis USG (Urgency,

Seriousness dan Growth) , SWOT ( Strength-Weakneses Opportunity and Threat), QSPM

(Quantitative Strategic Planning Matrix).

USG dilakukan pada semua tipologi (tangkap, budidaya, pengolahan, garam, wisata bahari) yang ada di lokasi penelitian. Berdasarkan hasil pengukuran USG pada tiap tipologi dilakukan pengukuran tipologi manakah yang diprioritaskan untuk dikembangkan. Berdasarkan pengukuran tersebut maka dipilih tipologi untuk dilakukan SWOT-QSPM untuk menentukan strategi pengembangan yang dipilih.

Metode USG dicetuskan oleh Kepner dan Tragoe pada tahun (1981). Urgency berkaitan dengan mendesaknya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan. Semakin mendesak suatu masalah untuk diselesaikan maka semakin tinggi urgensi masalah tersebut. Seriousness berkaitan dengan dampak dari adanya masalah tersebut terhadap dampak

(11)

6

yang ditimbulkan. Dampak ini dikaitkan dengan potensi kerugian seperti dampaknya terhadap produktivitas, keselamatan jiwa manusia, sumberdaya dan sumber dana. Semakin tinggi dampak masalah tersebut maka semakin serius masalah tersebut. Growth berkaitan dengan pertumbuhan masalah. Semakin cepat berkembang masalah tersebut maka semakin tinggi tingkat pertumbuhannya. Suatu masalah yang cepat berkembang tentunya semakin prioritas untuk diatasi.

Untuk mempermudah analisis dan mengurangi tingkat subyektivitas dalam menentukan masalah prioritas, maka perlu ditetapkan kriteria untuk masing-masing unsur USG dan dilakukan pengukuran dengan skor dengan skala likert (1 – 5). Semakin tinggi tingkar urgensi, serius dan atau penumbuhan masalah tersebut maka semakin tinggi skor yang didapatkan.

Analisis SWOT merupakan alat bantu analisis untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka penyusunan strategi dan kebijakan yang akan dipilih terkait dengan peluang pengembangan pulau terdepan. Analisis ini berbasis pada cara berpikir logis dalam memaksimalkan kekutan (Strength) dan peluang (Opportunities) serta meminimalisir kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats), (Rangkuti 2002). Proses implementasi SWOT di awali dengan: (a) tahapan identifikasi data dan informasi sebagai bahan evaluasi faktor internal dan eksternal; (b) tahapan analisis melalui pemetaan faktor-faktor teridentifikasi dalam bentuk matrik SWOT, dan; (c) tahapan pengambilan keputusan berdasarkan pada tahapan (a) dan (b). Secara garis besar SWOT mengilustrasikan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman yang dihadapi dalam rangka pencapaian tujuan disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki sehingga dapat dirumuskan strategi dan kebijakan antisipasinya.

(12)

7

Kerangka Matriks SWOT Perumusan Strategi Peluang Pengembangan

Internal

Eksternal

Kekuatan (S) Kelemahan (W)

Peluang (O)

Strategi SO Strategi WO

Strategi ini dirumuskan dengan tujuan memaksimalkan

kekuatan untuk memanfaatkan peluang

Strategi ini dirumuskan dengan tujuan meminimalkan

kelemahan untuk memanfaatkan peluang

Ancaman (T)

Strategi ST Strategi WT

Strategi ini dirumuskan dengan tujuan menggunakan kekuatan yang ada untuk mengatasi ancaman

Strategi ini dirumuskan dengan tujuan meminimalkan

kelemahan dan menghindari ancaman

Sumber: Rangkuti 2002

QSPM merupakan alat analisis yang memungkinkan para penyusun strategi mengevaluasi berbagai strategi alternatif secara objektif, berdasarkan pada faktor-faktor keberhasilan penting eksternal dan internal yang diidentifikasi sebelumnya (David, 2011). QSPM menggunakan analisis input dari Matriks EFE, Matriks IFE dan matriks SWOT untuk secara objektif menentukan strategi yang hendak dijalankan di antara strategi-strategi alternatif.

Kerangka Pemikiran

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki banyak potensi perikanan dan kelautan yang belum sepenuhnya dikembangkan secara optimal. Potensi Kelautan perikanan tersebut bisa bersumber dari kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan, garam dan wisata bahari. Potensi-potensi tersebut bisa menjadi sumber ekonomi yang besar dan membutuhkan penanganan yang berbeda dan spesifik disesuaikan dengan profil yang ada dilokasi. Pembangunan yang tepat berdasarkan potensi yang dimiliki dapat berguna bagi masyarakat setempat dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan.

(13)

8

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini penting untuk dilakukan untuk mengidentifikasi potensi permasalahan, peluang dan tantangan pengembangan suatu lokasi didasari dengan aspek sosial, ekonomi kelembagaan. Data dan informasi yang diperoleh pada tahap identifikasi dapat diolah menggunakan analis kelembagaan usaha, kelembagaan input dan produksi, dan analisis rantai manfaat. Sedangkan untuk melakukan analisis prioritas pengembangan dapat menggunakan USG, SWOT dan QSPM. Berdasarkan output kedua tahapan ini dapat dibuat data dan informasi profil dan prioritas pengembangan sentra bisnis kelautan perikanan. Profil potensi ini diperlukan dan dapat digunakan sebagai landasan kebijakan yang akan dilakukan dalam pengembangan kedepan (Gambar 1).

(14)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sintesa Prioritas Isu Perikanan di Kabupaten Buton Selatan

Pada penyusunan urutan prioritas isu bidang kelautan dan perikanan di Kabupaten Buton Selatan, dilakukan metode analisis yang dikenal dengan metode USG atau Urgency,

Seriousness, Growth (USG). Metode USG adalah salah satu alat untuk menyusun urutan

prioritas isu yang harus diselesaikan. Untuk menentukan tingkat urgensi, keseriusan, dan perkembangan isu digunakan penentuan skala nilai 1-5 . Selanjutnya isu yang memiliki total skor tertinggi merupakan isu prioritas.

Bidang Kelautan dan perikanan Kabupaten Buton Selatan terdiri dari 4 (empat) tipologi yaitu perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan produk perikanan, dan wisata bahari. Tipologi yang belum berkembang adalah wisata bahari. Berdasarkan analisis diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 2. USG Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan

No Isu Penting U S G Total Rangking

1 Keterbatasan Pasokan Es 8.50 8,50 8,50 25,50 2

2 Armada kecil <10 GT 7.50 7,83 8,33 23,67

3 Keterbatasan alat tangkap 7.83 8,00 8,17 24,00

4 SPDN (Solar Paket Dealer Nelayan)

8,00 7,67 8,17 23,83

5 Pusat Pendaratan Ikan (PPI) 7,67 8,33 8,50 24,50 3 6 7 Breakwater Ketersediaan pasokan listrik 6,67 8,33 6,67 8,83 6,83 9,00 20,17 26,17 1 8 Ketersediaan pelatihan 7,83 7,83 7,67 23,33 9 10 11 Akses permodalan ke nelayan Armada kapal <30GT Pasokan air bersih Gudang Es 7,50 6,83 7,83 8,50 7,33 8,50 8,17 7,50 8,00 24,17 21,67 24,33 23,92

Sumber : Data Primer Diolah (2016)

Pada perikanan tangkap terdapat 12 isu penting yaitu keterbatasan pasokan es, armada kecil <10 GT, keterbatasan alat tangkap, SPDN (Solar Paket Dealer Nelayan). Pusat pendaratan Ikna PPI, Breakwater, ketersediaan pasokan listrik, ketersediaan pelatihan, akses permodalan

(15)

10

ke nelayan, armada kapal <30GT, pasokan air bersih, serta gudang es. Hasil analisis menunjukan bahwa dari 12 isu penting pada perikanan tangkap diperoleh 3 (tiga) besar isu utama yang dianggap penting yaitu ketersediaan pasokan listrik sebagai isu sangat penting dengan skor 26,17, ketersediaan pasokan es dengan skor 25,50 dan Pusat Pendaratan Ikan dengan skor 24,50.

Tabel 3. USG Perikanan Budidaya di Kabupaten Buton Selatan

No Isu Penting U S G Total Rangking

1 Pakan dan distribusinya 7,00 7,18 7,00 21,18

2 Induk ikan 6,82 7,73 7,73 22,27

3 teknologi dan bahan baku

pakan mandiri 6,82 7,18 7,36 21,36

4 Benih ikan 7,73 8,45 8,45 24,64

5 Sarpras produksi 7,91 7,91 8,27 24,09

6 Pengendalian hama penyakit rumput laut

8,27 8,27 8,27 24,82

3

7 Pemasaran hasil budidaya 8,27 8,64 8,45 25,36 2

8 Pelatihan terkait dengan budidaya 7,91 8,09 8,09 24,09 9 10 11 12

Bibit rumput laut (kultur jaringan)

Gudang rumput laut Para-para

Kebun bibit rumput laut

8,27 7,36 7,36 7,55 8,82 7,36 7,76 7,73 8,45 7,91 7,36 7,55 25,55 22,64 22,09 22,82 1 23,41 Sumber : Data Primer Diolah, 2016

Pada perikanan budidaya terdapat 12 isu penting yaitu pakan dan distribusinya, induk ikan, teknologi dan bahan baku pakan mandiri, benih ikan, sarpras produksi, pengendalian hama penyakit rumput laut, pemasaran hasil budidaya, pelatihan terkait dengan budidaya, bibit rumput laut (kultur jaringan), gudang rumput laut, para-para, dan kebun bibit rumput laut. Hasil analisis menunjukkan bahwa duabelas isu penting pada perikanan budidaya tersebut diperoleh 3 (tiga) besar isu penting yaitu bibit rumput laut (kultur jaringan) menduduki peringkat 1 dengan skor 25,55, kedua adalah pemasaran hasil budidaya dengan skor 25,36, dan ketiga adalah pengendalian hama penyakit rumput laut dengan skor 24,82.

(16)

11

Tabel 4. USG Pengolahan Hasil Perikanan di Kabupaten Buton Selatan, 2016

No Isu Penting U S G Total Rangking

1 Sarana pendingin (cool box) 7,67 8,33 7,83 23,83

2 Teknologi pengolahan dan diversifikasi produk

7,83 7,67 8,17 23,67

3 Teknologi pengemasan 7,67 7,67 7,67 23,00

4 Informasi Pasar 7,67 8,17 8,00 23,83

5 Akses permodalan ke nalayan 8,17 8,50 8,17 24,83 1

6

7 8

Pelatihan SDM untuk petugas dan pengolah Cold Storage Ice Flake 8,00 7,83 7,50 8,17 8,33 7,67 7,83 8,00 7,67 24,00 24,17 22,83 3 2 23,77

Sumber: Data Primer Dioleh (2016)

Pada pengolahan produk perikanan terdapat delapan isu penting yaitu sarana pendingin (cool box), teknologi pengolahan dan diversifikasi produk, teknologi pengemasan, informasi pasar, akses permodalan ke nelayan, pelatihan SDM untuk petugas dan pengolah, cold storage, serta ice flake. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari ke delapan isu penting yang pada pengolahan produk perikanan tersebut diperoleh 3 (tiga) besar isu utama yaitu akses permodalan ke nelayan dengan skor 8,17, selanjutnya peringkat berikutnya adalah cold storage dengan skor 24,17, dan peringkat ketiga adalah pelatihan SDM untuk petugas dan pengolah dengan skor 24,00.

Tabel 5. USG Pariwisata Bahari di Kabupaten Buton Selatan, 2016

No Isu Penting U S G Total Rangking

1 Alat transportasi 8,00 8,17 8,33 24,50 3

2 Komunikasi 7,17 7,50 7,17 21,83

3 Penginapan/Homestay 7,17 7,83 7,67 22,67

4 Tour guide dan pelatihan 7,17 7,50 7,33 22,00

5 Sarpras wisata bahari 8,50 8,00 7,83 24,33

6 Promosi wisata bahari 8,17 7,83 7,67 23,67

7 Kelembagaan pengelola wisata bahari 7,17 7,83 7,17 22,17 8 Kelestarian lingkungan 8,33 8,00 7,83 24,17 9 Kearifan lokal 8,00 8,50 8,33 24,83 10 Sinkronisasi program lintas sektor 7,33 7,83 7,83 23,00 11 Air bersih 8,00 8,33 8,17 24,50 2 12 13 14 15 Listrik Dermaga Akses jalan Rumah Ibadah 8,67 7,00 7,67 8,00 8,33 7,50 7,67 8,33 6,50 7,33 7,67 8,17 23,50 21,83 23,00 24,50 1 23,37

(17)

12

Pada wisata bahari terdapat 15 isu penting yaitu alat transportasi, komunikasi, penginapan.homestay, tour guide dan pelatihan, sarpras wisata bahari, promosi wisata bahari, kelembagaaan pengelola wisata bahari, kelestarian lingkungan, kearifan lokal, sinkronisasi program lintas sektor, air bersih, listrik, dermaga, akses jalan, serta rumah ibadah. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari ke dua belas isu penting yang pada wisata bahari tersebut diperoleh 3 (tiga) besar isu utama yaitu listrk pada urutan pertama dengan skor sejumlah 23,50, kedua adalah air bersih dengan skor 24,50, serta alat transportasi dengan skor 24,50.

Strategi Pengembangan Usaha Perikanan di Buton Selatan

Perikanan Tangkap

Untuk mengkaji strategi Pengembangan Usaha Perikanan di Buton Selatan dalam penelitian dianalisis menggunakan model pendekatan SWOT yang terdiri dari kekuatan (Strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threats). Masing-masing kedua analisis tersebut dijelaskan sebagai berikut:

Analisis Faktor Internal Strategis Pengembangan Usaha Perikanan

Faktor internal pengembangan usaha perikanan dalam analisis SWOT terdiri dari faktor kekuatan (strengths factors) dan faktor kelemahan (weakness factors) yang dalam penelitian (kajian) masing-masing adalah :

1) Faktor kekuatan (strenghts factors) merupakan suatu keunggulan yang dimiliki oleh bidang pengelolaan perikanan di Kabupaten Buton Selatan yang diidentifikasi sebagai berikut :

a) Potensi sumberdaya perairan b) Wilayah penangkapan ikan

c) Kabupaten Buton Selatan dan Pembangunan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (PSKPT)

2) Faktor kelemahan (weakness factors) merupakan suatu keterbatasan atau kekurangan yang dianggap serius menghalangi kinerja pengolahan hasil perikanan melalui identifikasi sebagai berikut :

(18)

13

b) Alat tangkap tidak ramah lingkungan c) Jumlah armada 10-30 GT

Sesuai identifikasi faktor internal strategis diatas, selanjutnya dilakukan penilaian bobot, rating, dan skor terhadap setiap faktor yang diidentifikasi pada komponen kekuatan (S) dan komponen kelemahan (W) masing-masing sebesar 9,34 dan 0.57 atau secara keseluruhan (agregat) dari faktor internal strategis adalah sebesar 9,91. Secara rinci penghitungan tersebut tertera pada tabel dibawah ini:

Tabel 6. Hasil Analisa Faktor Internal Strategis dalam Pengembangan Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan, 2016

FAKTOR INTERNAL

BOBOT RATE SKOR Total

KEKUATAN (Strenght-S)

1. Potensi Sumber daya Perikanan 0,237 2,832 1,066 3,02

2. Wilayah penangkapan ikan 0,201 2,709 0,906 2,46

3. Akses distribusi ikan 0,145 2,335 0,594 1,39

4. Jumlah kapal tangkap 0,127 2,148 0,485 1,04

5. Kabupaten Buton Selatan dan PSKPT 0,111 2,682 0,533 1,43

0,822 9,34

KELEMAHAN (Weakness –W)

1. Alat tangkap tidak ramah lingkungan 0,054 1,782 0,099 0,18

2. Jumlah armada skala kecil terhadap

produksi 0,054 2,000 0,103 0,21

3. Jumlah armada 10-30 GT 0,051 1,782 0,090 0,16

4. Ketersediaan pabrik es 0,017 1,260 0,021 0,03

0,177 0,57

Sumber: Data Primer Diolah, 2016.

Analisis Faktor Eksternal Strategis Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan

Faktor eksternal strategis dalam analisis SWOT terdiri dari faktor peluang (opportunities factors) dan faktor ancaman (threats factors) yang dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Buton Selatan masing-masing adalah :

1) Faktor peluang (opportunities factors) merupakan suatu kesempatan atau peluang sumber daya perikanan di Kabupaten uton Selatan yang diidentifikasi sebagai berikut :

a) Pusat Pendaratan Ikan (PPI) b) Ketersediaan Pasokan Listrik

(19)

14

c) Keberadaan SPDN di nelayan

2) Faktor ancaman (threats factors) merupakan suatu kondisi yang bersumber dari luar dan berpotensi memperlemah kinerja pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Buton Selatan. Adapaun identifikasi faktor ancaman tersebut yaitu :

a) Konflik dengna nelayan luar b) Pengeboman ikan

c) Regulasi terkait dengna perijinan d) Sinkronisasi program lintas sektor.

Sesuai hasil identifikasi faktor internal strategis yang selanjutnya dilakukan penilaian bobot rating, dan skor terhadap setiap faktor terindentifikasi pada komponen peluang (opportunity-O) dan komponen ancaman (treath-T) masing-masing sebesar 15,02 dan 1,75 atau secara keseluruhan (agregat) dari faktor eksternal strategis adalah sebesar 13,27. Secara rinci penghitungan tesebut tertera pada tabel dibawah ini:

Tabel 7. Hasil Analisis Faktor Eksternal Strategis dalam Pengembangan Perikanan Tangkap di Buton Selatan

FAKTOR EKSTERNAL BOBOT RATE SKOR

Peluang (Opportunity-O)

Keberadaan SPDN 0,105 4,652 0,489

Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Kelembagaan Permodalan 0,205 0,103 4,478 4,434 0,936 0,461 Break Water 0,104 4,130 0,438

Ketersediaan Pasokan Listrik 0,132 4,739 0,631

Pasokan Air Bersih 0,086 4,391 0,385

0,738 15,02

FAKTOR EKSTERNAL BOBOT RATE SKOR

ANCAMAN (Treath-O)

Konflik dengan nelayan luar Pengemboman ikan

Regulasi terkait dengan perijinan Sinkronisasi program lintas sektor

0,112 0,086 0,112 0,081 2,260 1,347 2,608 1,782 0,250 0,118 0,291 0,148 0,393

(20)

15

Perumusan Alternatif Strategi Pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Buton Selatan

Berdasarkan hasil analisis faktor internal strategis (IFAS) dan faktor eksternal strategis (EFAS) serta perumusan alternatif strategi, ditentukan strategi yang dipilih adalah strategi SO, hal ini karena skor yang diperoleh didominasi oleh komponen faktor kekuatan (S) dan peluang (O). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa strategi pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Buton Selatan adalah Strategi SO. Peta penentuan strategi ini dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.

Gambar 2. Peta Strategi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan

Sumber : Hasil Perhitungan data dan Informasi dalam Tabel IFAS dan EFAS

Atas dasar analisis tersebut, maka strategi pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Buton Selatan adalah sebagai berikut :

a) Mempromosikan pemanfaatan sumberdaya perairan kepada investor dengan peluang akan dibangunnya PPI dengan kecukupan pasokan listrik dan ketersediaan BBM;

b) Memanfaatkan seluruh armada dan alat tangkap untuk memanfaatkan PPI yang akan dibangun dengan didukung pasokan listrik dan ketersediaan BBM;

c) Mempromosikan PSKPT ke investor untuk memanfaatkan dibangunnya PPI.

Ke le m ah an ( w) Ke kuatan (S) Ancaman (T) Peluang (O) 13,27 9,91 0,57 1,75 Strategi SO

(21)

16

Tabel 8. Perumusan Srategi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2016

Gambar 3. Peta Strategi Pengembangan usaha perikanan tangkap di Buton Selatan

Sumber: Hasil perhitungan data dan informasi dalam Tabel IFAS dan EFAS

Penentuan Prioritas Langkah-Langkah Strategi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Buton Selatan : Pendekatan QSPM

Urutan prioritas langkah-langkah strategi dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Buton Selatan yang didominasi oleh komponen faktor kekuatan (S) dan peluang (O) dalam penelitian ditentukan dengan model pendekatan QSPM (Quantitative

Strategic Plan Matrix). Tabel berkut adalah hasil analisis pendekatan QSPM untuk

menentukan langkah-langkah strategi pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten

Kekuatan:

1. Potensi sumber daya perairan 2. Wilayah penangkapan ikan 3. Akses distribusi ikan 4. Jumlah kapal tangkap

5. Kabupaten Buton Selatan dan Pembangunan Sentra Kelautan Terpadu (PSKPT)

Kelemahan

1. Alat tangkap tidak ramah lingkungan

2. Jumlah armada skala kecil terhadap produksi

3. Jumlah armada 10-30GT 4. Keberadaan pabrik es

Peluang :

1. Keberadaan SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan)/SPBU Nelayan di pelabuhan 2. Pusat Pendaratan Ikan

(PPI) 3. Kelembagaan Permodalan 4. Break Water 5. Ketersediaan Pasokan Listrik

6. Pasokan air bersih

Strategi SO:

1. Mempromosikan pemanfaatan sumberdaya perairan kepada investor dengan peluang akan dibangunnya PPI dengan kecukupan pasokan listrik dan ketersediaan BBM

2. Memanfaatkan seluruh armada dan alat tangkap untuk

memanfaatkan PPI yang akan dibangun dengan didukung pasokan listrik dan ketersediaan BBM

3. Mempromosikan PSKPT ke investor untuk memanfaatkan dibangunnya PPI WP Ancaman 1. Konflik dengan nelayan luar 2. Pengeboman ikan 3. Regulasi terkait dengan perijinan 4. Sinkronisasi program lintas sektor ST WT

(22)

17

Buton Selatan. Sesuai hasil analisis tersebut, ditentukan prioritas langkah-langkah strategi sebagai berikut :

a) Mempromosikan pemanfaatan sumberdaya perairan kepada investor dengan peluang akan dibangunnya PPI dengan kecukupan pasokan listrik dan ketersediaan BBM dengan total

score attractive 8,16651;

b) Memanfaatkan seluruh armada dan alat tangkap untuk memanfaatkan PPI yang akan dibangun dengan didukung pasokan listrik dan ketersediaan BBM dengan total score

attractive 8,05187;

c) Mempromosikan PSKPT ke investor untuk memanfaatkan dibangunnya PPI dengan score

attractive 7,76800.

Tabel 9. QSPM Pengembangan Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan, 2016

Strategy A Strategy B Strategy C

Attractive score Total attractive score Attractive score Total attractive score Attractive score Total attractive score

FAKTOR INTERNAL BOBOT

KEKUATAN (Strenght-S)

Potensi sumber daya perairan 0,237005 4,2 0,99542 4 0,94802 3,8 0,90062 Wilayah penangkapan ikan 0,201506 2,8 0,56422 4,6 0,92693 4,4 0,88663 Akses distribusi ikan 0,145325 4,2 0,61036 4,2 0,61036 3,8 0,55223 Jumlah kapal tangkap 0,127272 4,8 0,61091 4,4 0,56 3,8 0,48364 Kabupaten Buton Selatan dan

Pembangunan Sentra Kelautan Terpadu (PSKPT) 0,111691 4,2 0,4691 3,4 0,37975 4,4 0,49144 0,822799 3,25001 3,42506 3,31455 FAKTOR INTERNAL KELEMAHAN (Weakness –W)

Alat tangkap tidak ramah

lingkungan 0,054769 1,4 0,07668 3,2 0,17526 1,8 0,09858

Jumlah armada skala kecil

terhadap produksi 0,054239 2,6 0,14102 4,4 0,23865 3 0,16272 Jumlah armada 10-30GT 0,051156 2,4 0,12277 3,4 0,17393 3 0,15347 Keberadaan pabrik es 0,017037 3,6 0,06133 4 0,06815 4,2 0,07156 0,177201 0,40181 0,65599 0,48633 FAKTOR EKSTERNAL Peluang (Opportunity-O) Keberadaan SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan)/SPBU Nelayan di pelabuhan

0,105615

(23)

18

Pusat Pendaratan Ikan (PPI) 0,205982 4,8 0,98871 4,4 0,90632 4,6 0,94752 Kelembagaan Permodalan 0,103620 4,6 0,47665 4,2 0,43521 4,4 0,45593

Break Water 0,104794 4,4 0,46109 3,4 0,3563 3,8 0,39822

Ketersediaan Pasokan Listrik 0,132346 5 0,66173 4 0,52939 4,4 0,58232 Pasokan air bersih 0,086638 5 0,43319 3,6 0,3119 4,4 0,38121

0,738996 3,48609 3,00381 3,22990

FAKTOR EKSTERNAL

ANCAMAN (Treath-O)

Konflik dengan nelayan luar 0,112356 3,8 0,42695 3,4 0,38201 2,4 0,26965 Pengeboman ikan 0,081907 4 0,32763 3,6 0,29486 2,2 0,18020 Regulasi terkait dengan

perijinan 0,049090 4 0,19636 4,4 0,216 4,2 0,20618

Sinkronisasi program lintas

sektor 0,017652 4,4 0,07767 4,2 0,07414 4,6 0,08120

0,261004 1,02861 0,96701 0,73722

Sumber: Data Primer diolah, 2016

Profil Umum Lokasi

Jumlah penduduk Kabupaten Buton Selatan tahun 2015 sebanyak 77.547 jiwa, atau tumbuh sebesar 1,03% terhadap jumlah penduduk tahun sebelumnya. Berikut adalah jumlah indikator kependudukan Kabupaten Buton Selatan Tahun 2014-2015:

Tabel 10. Jumlah Penduduk Kabupaten Buton Selatan berdasarkan jenis kelamin Tahun 2014-2015

Uraian 2014 2015

Jumlah Penduduk (jiwa) 76.758 77.547

Laki-laki 37.297 36.976

Perempuan 39.461 39.571

Pertumbuhan penduduk (%) - 1,03

Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 221 220

Sex Ratio L/P) 0,93 0,95

Sumber : Buton Selatan Dalam Angka 2016

Sesuai data pada tabel 10, bahwa rasio jenis kelamin (sex ratio) Kabupaten Buton Selatan pada tahun 2015 adalah sebesar 0,95 yang berarti pada tahun 2015 bahwa untuk setiap 100 orang perempuan terdapat sekitar 95 orang laki-laki dengan kata lain jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada penduduk yang berjenis kelamin laki-laki. Dari total penduduk Kabupaten Buton Selatan usia kerja 15 tahun keatas, sekitar 65,40% termasuk dalam angkatan kerja. Tabel berikut menyajikan presentase penduduk usia 15 tahun keatas menurut status pekerjaan utama tahun 2015.

(24)

19

Tabel 11. Presentase Penduduk Usia 15 Tahun Keatas* menurut Status Pekerjaan Utama Tahun 2015

Uraian 2014 2015*

TPAK (%) 65,89 65,40

TPT (%) 2,63 1,94

Bekerja (%) 97,37 98,06

Bekerja di Sektor Primer (%) 50,57 56,48

Bekerja di Sektor Sekunder (%) 18,31 13,54

*Data masih termasuk Kabupaten Buton dan Buton Tengah Sumber : Buton Selatan dalam Angka 2016

Sesuai dengan lapangan pekerjaan utama penduduk, Kabupaten Buton Selatan pada tahun 2015 terlihat bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor andalan untuk menyerap tenaga kerja. Diantara penduduk yang bekerja, 56,48% diantaranya bekerja di sektor primer sedangkan selebihnya bekerja pada sektor sekunder dan tersier.

Struktur Ekonomi Menurut Lapangan Usaha

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencerminkan seluruh nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu wilayah dalam waktu tertentu biasanya satu tahun. PDRB per kapita ADHK meningkat dari RP. 23,74 pertahun menjadi Rp. 25,73 juta pertahun. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Buton Selatan menunjukan peningkatan yang cukup baik sektar 4,09%. Tabel berikut menyajikan distribusi persentase PDRB ADHK Tahun 2015.

Tabel 12. Distribusi Persentase PDRB ADHK Tahun 2015

Lapangan Usaha Share

A. Pertanian, Kehutana, dan Perikanan 30,15

B. Pertambangan dan Penggalian 30,42

C. Industri Pengolahan 3,98

D. Pengadaan Listrik dan Gas 0,03

E. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 0,29

F. Konstruksi 14,23

G. Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 8,14

H. Transportasi dan Pergudangan 0,89

I. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 0,14

J. Infomrasi dan Komunikasi 0,94

K.Jasa Keuangan dan Asuransi 0,43

L. Real Estate 0,07

M.Jasa Perusahaan 0,02

N. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 2,75

O. Jasa Pendidikan 5,46

Q. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1,40

R. Jasa Lainnya 0,65

(25)

20

Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan

Karakteristik Perikanan Tangkap di kabupaten Buton Selatan dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Karakteristik Nelayan Kab.Buton Selatan

Nelayan dengan armada < 3 GT

Nelayan dengan armada < 3 GT : berada pada Kecamatan Siompu, Siompu Barat, Batauga, Kadatua, Lapandewa, Batuatas dan Sampolawa. Sedangkan nelayan dengan armada < 5 GT berada pada Siompu dan Lapandewa.

Alat tangkap yang digunakan adalah oleh nelayan dengan armada perahu tanpa motor di Kecamatan Siompu, Siompu Barat, Batauga, Kadatua, Lapandewa, Batuatas dan Sampolawa dengan alat tangkap berupa pancung rawai tuna, rawai dasar, dan tonda. Sedangkan untuk nelayan pengguna perahu motor tempel menggunakan alat tangkap jaring berupa pukat cincin, insang, angkat bubu dan karing lainnya. Untuk nelayan dengan armada < 3 GT melakukan kegiatan melaut selama 1 hari (one day fishing). Melaut pagi dilakukan pukul 04.00 – 12.00/15.00, pukul 19.00-06.00(hari berikutnya). Nelayan melakukan usaha penangkapan sendiri dengan berangkat bersama-sama nelayan dengan kapalnya masing-masing.

Nelayan dengan armada <6 GT

Komoditas hasil penangkapan meliputi ikan laja, ikan tongkol, ikan lema, ikan lalosi, ikan kakatua, ikan cakalang, dan ikan karang)

Nelayan dengan armada ≤ 6 GT berada pada Siompu, Lapandewa, serta Batuatas.

Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan dengan jaring dan pancing ulur. Nelayan melakukan kegiatan melaut selama 3 hari dan 3 bulan. ABK untuk armada ≤ 6 GT adalah sejumlah 6-11 orang, dengan waktu melaut selama 3 bulan untuk pencari telur ikan terbang, dan 3 hari untuk pencari sirip ikan hiu.

Komoditas hasil penangkapan meliputi sirip ikan hiu dan telur ikan terbang. Sirip Ikan hiu diperoleh dari wilayah penangkapan di Maluku Utara (Bagai dan Ternate) dan telurikan terbang di Tual

(26)

21

Sarana dan prasarana pendukung perikanan tangkap di Kabupaten Buton Selatan masih sangat terbatas, terlihat dari ketersediaan sarana dan prasarana pendukungnya. Berikut adalah ketersediaan sarana dan prasarana pendukung di Kabupaten Buton Selatan tahun 2016:

Tabel 13. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pendukung di Kabupaten Buton Selatan, 2016 No Unit Sarana Prasarana Keterangan

1. Tempat Pendaratan Ikan Tidak Tersedia

2. Pabrik Es Tidak Tersedia

3. Coldstorage Tersedia (baru serah terima bulan November 2016). Kapasitas 30 GT

4. Pelabuhan lokal Batauga

5. Pelabuhan Laut Sampolawa

6. Pelabuhan Regional Sampolawa

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan (2016)

Dari data diatas (Tabel 13) dapat diketahui bahwa di Kabupaten Buton Selatan baru tersedia coldstorage atas dukungan APBN (DAK) TA. 2016, dan pada bulan November 2016 baru dilakukan serah terima. Oleh karenanya saat ini belum dilakukan pengoperasian.

Tabel 14. Aktor dan Peran Dalam Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan, 2016

No Aktor Peran

1. Nelayan Nelayan di Kabupaten Buton Selatan melaut dengan menggunakan armada <3GT dan ≤ 6 GT. Alat tangkap yang digunakan adalah jenis jaring dan pancing. Nelayan di Kabupaten Selatan yang melakukan penangkapan ikan di daerah Tongali, Biwinapada, Karae, Wakinamboro, melakukan pendaratan ikan di pusat pendaratan Siompu. Sedangkan nelayan yang mencari ikan di Watuampara, Molona, Lamaninggara melakukan pendaratan ikan di pusat pendaratan ikan di Siompu Barat. Lama melaut nelayan dengan armada <3 GT adalah 1 hari (one day fishing). Sedangkan nelayan dengan armada < 6 GT adalah 3 hari untuk penangkap sirip ikan hiu dan 3 bulan untuk penangkap telur ikan terbang. Untuk melakukan pengawetan ikan, nelayan menggunakan es batu dengan bentuk dan ukuran konsumsi yang diperoleh dengan harga Rp. 1.500/buah dan diperleh dari Kabaena

2. Pedagang Pedagang atau dengan istilah di Kabupaten Buton Selatan “papalele” memiliki keterkaitan dengan nelayan khususnya dalam mengambil hasil tangkapan untuk dibeli dan dijual ke Bau-Bau. Untuk melakukan penjualan tersebut pula, papalele mengawetkan hasil tangkapan dengan menggunakan es batu. Es batu diperoleh dari Batauga dan Bau-Bau.Disamping es batu juga digunakan gabus (stereofoam). 1 gabus sama dengan 3 jumbo (termos tempat nasi besar) dengan harga satuan Rp. 450.000,-

(27)

22

Tabel 15. Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Buton Selatan

Ket : data tahun 2011-2015 masih tergabung dalam Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Diolah (2016)

Kabupaten Buton Selatan dibentuk pada tahun 2015. Pada data tersebut ditunjukan tahun 2011 merupakan gabungan data pada Kabupaten Buton, khususnya pada data tahun 2011-2013. produksi tahun 2014-2015 telah terjadi penurunan produksi dan nilai produksi sejumlah 17,71%. Atau dari sejumlah 34.785,30 ton pada tahun 2014 menjadi 32.821 ton pada tahun 2015.

Tabel 16. Produksi Perikanan Tangkap Menurut Kecamatan di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2015

Sumber : Data DKP Kabupaten Buton Diolah (2016)

200.000.000 400.000.000 600.000.000 800.000.000 1.000.000.000 1.200.000.000 1.400.000.000 1.600.000.000 2011 2012 2013 2014 2015

Produksi (vol) Nilai Produksi (Rp)

2.000.000 4.000.000 6.000.000 8.000.000 10.000.000 12.000.000 14.000.000 16.000.000 18.000.000 To n gko l Tu n a Cakalan g Te rb an g La yan g Ke mb u n g Kakap Kerap u Ba ro n an g Lo la Te ri p an g Cu mi Pa ri H iu G u ri ta Te ri Te n gi ri Ke ran g La yu r Lo b ste r Ikan la in n ya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Siompu Barat Siompu Batauga Sampolawa Batuatas Lapandewa Kadatua Jumlah

(28)

23

Data produksi perikanan tangkap menurut kecamatan tahun 2015 menunjukan bahwa Kadatua menjadi lokasi yang menyumbang terbesar diantara kecamatan lain. Pada tahun 2015 Kadatua menyumbang sejumlah 18.234,4 ton hasil tangkapan. Komoditas tertinggi yang diproduksi adalah tongkol. Dan tongkol menjadi komoditas terbesar yang dihasilkan sepanjang tahun 2015, yaitu dengan jumlah 16.287,4 ton. Untuk kecamatanpenyumbang terendah adalah Lapandewa yaitu dengna menyumbang sejumlah 174,2 ton dengan hasil tangkapan tertiggi adalah jenis cakalang.

Adapun penyajian produksi, jumlah nelayan dan armada di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2014 adalah sebagai berikut:

Tabel 17. Produksi, jumlah nelayan dan armada di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2014

Sumber : Data DKP Kabupaten Buton Diolah (2016)

Jumlah nelayan paling banyak adalah di Sampolawa dengan jumlah 3.591 orang, sedangkan di Lapandewa, jumlah nelayan paling sedikit yaitu 188 orang. Sedangkan untuk armada terbanyak adalah di Kadatua dengan jumlah 434 unit dan paling rendah adalah nelayan di Lapandewa dengan jumlah 74 unit.

- 5.000,00 10.000,00 15.000,00 20.000,00 25.000,00 Siompu Barat Siompu Batauga Sampolawa Batuatas Lapandewa Kadatua

Produksi, Jumlah Nelayan dan Armada

(29)

24

Gambar 4. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Menurut Kecamatan di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2015

Sumber : Data DKP Kabupaten Buton Diolah (2016)

Alat tangkap yang digunakan nelayan di Kabupaten Buton Selatan meliputi pancing dan jaring. Pancing terdiri dari rawai tuna, rawai dasar, tonda, ulur dan lainnya. Sedangkan untuk jaring digunakan jenis pukat cincin, insang, jaring angkat, jaring bubu dan jaring lainnya. Jenis pancing yang paling banyak digunakan adalah rawai dasar dengan jumlah 2.454. Sedangkan untuk jaring paling besar digunakan adalah jenis insang. Pengguna rawai dasar tertingi adalah nelayan dari kecamatan Siompu Barat dan Batauga. Sedangkan untuk jenis jaring yang banyak digunakan adalah jenis insang dengan jumlah 1.933 unit. Sedangkan nelayan pengguna jaring insang tertinggi adalah nelayan di Kecamatan Siompu.

Komoditas utama perikanan tangkap adalah ikan kakap, selar, kembung, tongkol, dan tuna. Untuk musim penangkapan ikan terbadi menjadi musim puncak, normal, dan paceklik. Berikut adalah pola musim:

Tabel 18. Pola Musim

No Jenis Ikan Musim

Puncak Normal Paceklik

1. Kakap Desember-Januari Pebruari-November -

2. Selar Agustus-September Januari-Pebruari Mei-Juni

3. Kembung Juni-Agustus Januari-Pebruari April-Mei

4. Tongkol Juni-September Oktober-November April

5. Tuna Juli, Agustus,

September

Mei-Juni Maret-April

Sumber : Data Primer, 2016 (Diolah)

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 Rawa Tuna Rawai Dasar

Tonda Ulur Lainnya Pukat Cincin

Insang Angkat Bubu Lainnya

Pancing Jaring

Alat Tangkap (Unit)

Siompu Barat Siompu Barat Batauga Sampolawa Btuatas Lapandewa Kadatua Jumlah

(30)

25

Pada Tebel 19 dapat dilihat keterkaitan antaran papalele (pedagang) hanya pada kesepakatan jual beli seluruh hasil penangkapan ikan, tanpa ada keterkaitan lain seperti biaya operasional.

Tabel 19. Kelembagaan usaha, aktor dan keterkaitan antar aktor dalam bidan perikanan tangkap, Kabupaten Buton Selatan, 2016

Kelembagaan Usaha Aktor Keterkaitan Keterangan

Input Produksi Nelayan dan Pedagang (Papalele)

Keterkaitan antara nelayan dengan pedangan di Kabupaten Buton Selatan hanya berlaku untuk awak kapal pada armada

Untuk memenuhi kebutuhan es, nelayan dan papalele dapat memperoleh dari Batauga dan Bau-Bau.

Sumber : Data Primer diolah (2016)

Pada Tabel 20 dapat dilihat biaya investasi perikanan tangkap dengan alat tangkap pancing (perahu ketinting dengan mesin 10 PK). Biaya investasi terbesar adalah biaya pembelian perahu dan GPS.

Tabel 20. Biaya Investasi Perahu Katinting, Mesin 10 PK,

No Jenis Barang Volume (buah) Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp) Umur Teknis (Tahun) Penyusutan (Rp/Tahun) 1. Perahu Katinting (tahun 2014) 1 2.800.000 2.800.000 10 280.000 2. Mesin 10 PK (tahun 2014) 1 500.000 500.000 3 166,666.66 3. GPS 1 1.000.000 1.000.000 7 142.857 4. Pancing (gulungan) 3 117.000 351.000 0,03 10,530,00 5. Umpan (buatan) 3 250.000 750.000 0,08 60.000 Total 26,251,000 493.387

Sumber : Data Primer, 2016 (Diolah)

Pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa biaya operasional terbesar adalah penggunaan BBM dan pembelian rokok, kemudian biaya es.

Tabel 21. Biaya Tidak Tetap per Trip Nelayan dengan Perahu Katinting

No Jenis Modal Jumlah Harga Total Biaya

1 Solar (liter) 5 liter 12.000 60.000,00

2 Air Bersih 3.5 liter - 00

3 Rokok (bungkus) 2 bungkus 11.000 22.000,00

(31)

26

Total 97.000,00

Sumber: data primer diolah, 2016

Tabel 22. Rata-Rata Hasil Tangkapan Pada Saat Puncak, Paceklik Dan Trip Terakhir, 2016

No Jenis Ikan

Harga per 3/5 ekor

(Rp)

Rata-Rata Hasil Tangkapan (ekor) Puncak Paceklik Trip Terakhir

1 Tongkol (jual per 3 ekor) 5.000 180 30 150

2 Laja (jual per 5 ekor) 4.000 175 20 145

Sumber : Data primer diolah (2016)

Dari data investasi, biaya operasional, dan rata-rata hasil tangkapan dapat diketahui perhitungan R/C rasio hasil tangkapan yaitu Rp.300.000:Rp.99.055 = 3.02. Sedangkan keuntungan yang diperoleh untuk hasil tangkapan ikan tongkol adalah Rp.300.000-Rp.97.000= Rp. 200.945,- Untuk R/C hasil tangkapan ikan laja adalah Rp.350.000: Rp.99.055 =3.53. Keuntungan dari hasil tangkapan ikan laja pada musim puncak diperoleh Rp. 350.000-Rp. 97.000 = Rp. 253.000,- . Dari hasil R/C rasio > 1, hal ini menandakan bahwa usaha penangkapan ikan tongkol dan laja dikaterikan menguntungkan. Terlebih untuk menggunakan armada katinting, nelayan melaut sendiri dan berperan pula sebagai pemilik.

Perahu Fiber, Mesin 5.5 PK (2 unit), Alat Tangkap Jaring Tasi (Hasil tangkapan ikan lema, ikan lalosi, ikan kakatua, dan ikan karang

Tabel 23. Biaya Investasi

No Jenis Barang Volume (buah) Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp) Umur Teknis (Tahun) Penyusutan (Rp/Tahun) 1. Modifikasi perahu fiber 1 4.000.000 4.000.000 10 400.000 2. Mesin 5.5 PK 2 6.000.000 12.000.000 6 2.000.000 3. Jaring Tasi (lengkap) 3 10.000.000 30.000.000 5 6.000.000 Total 46.000.000 8.400.000

Sumber : Data Primer, 2016 (Diolah)

Tabel 24. Biaya Tidak Tetap per Trip Nelayan dengan Armada <5 GT dan alat tangkap Purseine

No Jenis Modal Jumlah Harga Total Biaya

1 Bensin 5 liter 8.000 40.000

(32)

27

No Jenis Modal Jumlah Harga Total Biaya

3 Rokok (bungkus) 4 bungkus 11.000 44.000,00

4 Es 20 buah 1.500 30.000,00

Total 130.000

Sumber : Data Primer 2016 (Diolah)

Tabel 25. Rata-Rata Hasil Tangkapan Pada Saat Puncak, Paceklik Dan Trip Terakhir, 2016

No Jenis Ikan

Harga per 3/5 ekor

(Rp)

Rata-Rata Hasil Tangkapan (ekor) Puncak Paceklik Trip Terakhir

1 Lalosi, Lema, dan Karang 5.000 180 20 120

Sumber : Data primer diolah (2016)

Dari data diatas, dapat diketahui bahwa dari rata-rata hasil nelayan dengan tangkapan berupa komoditas ikan lema, ikan lalosi, ikan kakatua, dan ikan karang adalah sejumlah Rp. 300.000, maka dapat diketahui untuk R/C rasio hasil tangkapan komoditas ikan lema adalah Rp.100.000:Rp158.000= 0.63. R/C rasio hasil tangkapan ikan lalosi adalah Rp. 50.000:Rp.158.000: 0.31. R/C hasil tangkapan ikan kakatua pada musim puncak adalah Rp. 50.000: Rp. 158.000= Rp. 0.31. Sedangkan R/C rasio hasil tangkapan ikan karang adalah Rp. 100.000: Rp. 158.000= 0.63. Dengan demikian perhitungan rasional hasil usaha masing-masing komoditas belum menguntungkan. Akan tetapi untuk hasil tangkapan yang diperoleh per trip dengan 4 (empat) komoditas tersebut diperoleh pemasukan sebesar Rp. 300.000-Rp. 158.000= 142.000.

Pada tabel 27 dapat dilihat biaya investasi Perahu <5 GT, Alat Tangkap Pursein (dengan tangkapan ikan cakalang dan tongkol). Biaya terbesar investasi adalah pembelian alat tangkap dan perahu.

Tabel 26. Biaya Investasi Perahu <5GT dan Alat Tangkap Purseine

No Jenis Barang Volume (buah) Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp) Umur Teknis (Tahun) Penyusutan (Rp/Tahun) 1. Perahu < 5 GT 1 24.000.000 24.000.000 10 2.400.000 2. Mesin 15 PK 1 6.000.000 6.000.000 5 1.200.000 3. Mini Redi/Purseine (bekas) 1 70.000.000 70.000.000 10 7.000.000 4. Gabus (Sterefoam) 2 60.000 120.000 3 40.000 Total 94.060.000 10.640.000

(33)

28

Pada Tabel 28 dapat dilihat biaya operasional terbesar adalah biaya pembelian BBM yang mencapai lebih dari > 60%.

Tabel 27. Biaya Tidak Tetap per Trip Nelayan dengan Armada <5 GT dan alat tangkap Purseine

No Jenis Modal Jumlah Harga Total Biaya

1 Bensin 1 gen 155.000 155.000,00

2 Oli 1 gen 30.000 30.000,00

3 Rokok (bungkus) 3 bungkus 11.000 33.000,00

4 Es 20 buah 1.500 30.000,00

Total 248.000,00

Sumber: data primer diolah, 2016

Untuk menghitung R/C rasio hasil tangkapan, maka dilakukan perbandingan antara penerimaan dengan biaya total seperti halnya pada data sebelumnya. Dengan demikian R/C rasio hasil tangkapan ikan cakalang adalah Rp.400.000:Rp.336.666= 1.18. Sedangkan keuntungan yang diperoleh untuk hasil tangkapan ikan cakalang adalah Rp.400.000-Rp.336.666= Rp. 63.334,- Untuk R/C hasil tangkapan ikan tongkol adalah Rp.450.000: Rp.336.666 =1.33.

Tabel 28. Rata-Rata Hasil Tangkapan Pada Saat Puncak, Paceklik Dan Trip Terakhir, 2016 No Jenis Ikan Harga per 3/5 ekor

(Rp)

Rata-Rata Hasil Tangkapan (ekor) Puncak Paceklik Trip Terakhir

1 Cakalang 5.000 180 40 130

Sumber : Data primer diolah (2016)

Keuntungan dari hasil tangkapan ikan tongkol diperoleh Rp. 450.000-Rp. 336.666 = Rp. 113.334,-. Dari hasil R/C rasio > 1, hal ini menandakan bahwa usaha penangkapan ikan cakalang dan tongkol dikategorikan menguntungkan.

Pada Tabel 30 dapat dilihat biaya investasi perahu 6 GT dengan alat tangkap pancing ulur (Hasil tangkapan telur ikan terbang). Biaya investasi terbesar adalah pembelian perahu dan alat tangkap.

Tabel 29. Biaya Investasi Perahu 6 GT dan alat tangkap pancing ulur

No Jenis Barang Volume (buah) Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp) Umur Teknis (Tahun) Penyusutan (Rp/Tahun) 1. Perahu 6 GT (1970) 1 10.000.000 10.000.000 10 1.000.000 2. Mesin Hyundai (1970) 1 2.400.000 2.400.000 5 480.000 3. Pancing Ulur (2016) 1 4.000.000 4.000.000 6 666.666

(34)

29

No Jenis Barang Volume (buah) Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp) Umur Teknis (Tahun) Penyusutan (Rp/Tahun) 4. Rompong 70 2.9000 203.000 3 2.900

5. Lampu Tenaga Surya 1 500.000 500.000 6 83.333

Total 16.603.000 2.232.899

Sumber : Data Primer 2016 (Diolah)

Pada Tabel 31 dapat dilihat biaya operasional yang dikeluarkan pada satu kegiatan penangkapan. Biaya terbesar adalah biaya BBM yang mencapai 60 % komponen dan biaya pembelian beras (ransum).

Tabel 30. Biaya Tidak Tetap per Trip Nelayan dengan Armada 6 GT dan alat tangkap Pancing Ulur

No Jenis Modal Jumlah Harga Total Biaya

1 Bensin 400 liter 8.000 3.200.000

2 Oli 12 liter 30.000 360.000

3 Rokok (slot) 2 slot 200.000 400.000

4 Beras 6 karung 200.000 1.200.000

5 Bumbu 1 pak 200.000 200.000

Total 5.360.000

Sumber: data primer diolah, 2016

Tabel 31. Rata-Rata Hasil Tangkapan Pada Saat Puncak, Paceklik Dan Trip Terakhir, 2016

No Jenis Ikan Harga per kg (Rp)

Rata-Rata Hasil Tangkapan (ekor) Puncak Paceklik Trip Terakhir

1 Telur ikan terbang 150.000 1.8 ton - 1.2 ton

Sumber : Data primer diolah (2016)

Dengan perhitungan menggunakan alat tangkap masing-masing selama 180 hari per bulan, maka diketahui nilai pemasukannya. Rata-rata hasil penangkapan telur ikan terbang per hari adalah 20kg, dimana harga per kilo adalah Rp. 150.000. Oleh karenanya jika sekali melaut melakukan penangkapan selama 90 hari, maka dapat diketahui bahwa hasil sekali melaut diperoleh hasil tangkapan 1.8 ton dengan harga jual Rp. 270.000.000.

R/C rasio hasil tangkapan ikan cakalang adalah Rp.270.000.000: Rp. 6.476.360= Rp. 41.69. Sedangkan keuntungan yang diperoleh untuk hasil tangkapan telur ikan terbang adalah Rp.270.000.000-Rp.6.476.360= Rp. 263.523.640,- Dari hasil R/C rasio > 1, hal ini menandakan bahwa usaha penangkapan telur ikan terbang dikategorikan menguntungkan. Penjualan telur ikan dilakukan ke Tual.

(35)

30

Perikanan Budidaya di Kabupaten Buton Selatan

Budidaya yang berkembang di Kabupaten Buton Selatan adalah budidaya rumput laut yang banyak berkembang di Kecamatan Batauga dan Kecamatan Sampolawa.

Gambar 5. Aktivitas dan aktor rantai nilai rumput laut di Kabupaten Buton Selatan

Sumber : Data primer diolah (2016)

Gambar diatas menunjukan bahwa pembudidaya rumput laut membudidayakan rumut laut di Kab. Buton Selatan tersebar di Kecamatan Batauga, terutama Kelurahan Majapahit, Kelurahan Masiri, dan Kelurahan Bandar Batauga. Budidaya rumput laut di Kab. Buton Selatan menggunakan metode apung (rakit). Metode rakit apung ini merupakan cara membudidayakan rumput laut dengan menggunakan rakit yang terbuat dari bambu. Ukuran rakit yang dibuat oleh pembudidaya bervariasi, tergantung pada ketersediaan materia dan disesuaikan dengan kondisi perairan. Biasanya ukuran rakit dibuat tidak terlalu besar untuk mempermudah perawatan rumput laut yang dibudidayakan dan memudahkan kegiatan penempatan bibit, dan pemanenan.

Tabel 32. Kalender kerja usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Buton Selatan

Kegiatan Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Penyiapan rakit  

Penurunan bibit 

Penaikan bibit 

Pembagian bibit ke dalam beberapa rakit

Penanaman  

Input Produksi Distribusi

 Benih rumput laut dari Mawasangka Timur  Bambu dari Kabaena  Budidaya  Panen  Dipasarkan dalam bentuk kering

 Menampung rumput laut  Sortasi

 Penjualan  Distribusi  Transportasi Aktivitas rantai nilai

Pembudidaya rumput laut Aktor rantai nilai

Pedagang Pengumpul I (Tingkat Desa) Pedagang besar (Bau-Bau) Eksportir (Makasar)

(36)

31

Kegiatan Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Pemanenan 

Pengeringan 

Pembibitan dan penanaman kembali jika masih

memungkinkan (bibit bagus dan musim bagus)

 

Sumber : data primer (2016)

Secara teknis, budidaya rumput laut dibantu oleh tenaga kerja pengikat tali ris dan tenaga kerja pengikat rumput laut ke tali/tambang. Tenaga kerja tersebut bersifat tenaga kerja lepas atau bahkan pembudidaya itu sendiri yang mengerjakannya. Budidaya rumput laut ini memerlukan waktu 45 – 60 hari maksimal agar rumput laut besar dan bisa dipanen sesuai dengan kebutuhan pasar. Rata-rata panen rumput laut sebanyak 1-2 kali dalam setahun. Rumput laut yang diproduksi oleh pembudidaya umumnya dijual dalam bentuk kering. Kegiatan pengeringan terhadap rumput laut dengan dijemur dibawah matahari sehingga menghasilkan rendemen sekitar 1/6 dari berat awal. Kegiatan pengikatan bibit dan pengeringan biasanya melibatkan kaum perempuan, baik itu keluarga sendiri maupun tenaga harian.

Penjualan dilakukan ke pedagang pengumpul yang ada di lokasi budidaya rumput laut. Pedagang pengumpul ini umumnya yang mengambil atau menjemput rumput laut ke pembudidaya dengan menggunakan mobil truk untuk dijual ke pedagang besar di Kota Bau-Bau. Rumput laut tersebut kemudian didistribusikan ke pedagang eksportir di Makasar.

Produksi rumput laut di Kabupaten Buton Selatan disajikan pada Tabel 34. Secara umum terjadi kenaikan produksi dan nilai produksi, walaupun pada tahun 2012 terjadi penurunan.

Tabel 33. Produksi Rumput Laut E. cottoni di Kabupaten Buton Selatan, 2011 – 2015 No Tahun Volume Produksi (Ton) Nilai Produksi (Rp)

1 2011 3.359,23 33.592.300.000

2 2012 553,69 6.090.603.750

3 2013 3.087,48 33.962.247.000

4 2014 3.430,53 41.166.360.000

(37)

32

Tabel 34. Perkembangan harga jual rumput laut kering yang diterima pembudidaya rumput laut di Kabupaten Buton Selatan

No Tahun Harga (Rp)

1 2014 10.000

2 2015 8.000

3 2016 8.000

Sumber: data primer (2016)

Dari data diatas menunjukan bahwa harga jual rumput laut kering mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 harga rumput laut kering di tingkat pembudidaya adalah Rp 10.000,- per kg. Namun sejak tahun 2015 sampai saaat penelitian dilaksanakan harga yang diterima pembudidaya adalah Rp 8.000,- per kg. Harga tinggi pernah dialami pembudiaya yaitu pada periode tahun 2007/2008 yaitu sebesar Rp 20.000,- per kg.

Wisata Bahari

Pengembangan wisata bahari di Kabupaten Buton Selatan sampai dengan saat ini belum dikembangkan. Hal tersebut sesuai dengan kondisi wialyah yang baru menjadi hasil pemekaran Kabupaten Buton tahun 2015 akhir. Akan tetapi, pemerintah telah membuat suatu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) khususnya untuk pengembangan wisata bahari di Kabupaten Buton Selatan. Sesuai dengan RTRW tahun 2016-2025 Kabupaten Buton Selatan bahwa pintu masuk wisata bahari taman wisata alam adalah ada di pulau Liwungtokidi. Pulau Liwungtokidi direncanakan menjadi pusat pertumbuhan dan kawasan strategis pariwisata.

Gambar

Gambar 2.  Peta Strategi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten  Buton Selatan
Gambar 3.  Peta Strategi Pengembangan usaha perikanan tangkap di Buton Selatan Sumber: Hasil perhitungan data dan informasi dalam Tabel IFAS dan EFAS
Tabel 9.  QSPM Pengembangan Perikanan Tangkap di Kabupaten Buton Selatan, 2016
Tabel 10.  Jumlah Penduduk Kabupaten Buton Selatan berdasarkan jenis kelamin Tahun 2014- 2014-2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

5 Menganalisa lebih lanjut tentang konflik horizontal yang terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia, seperti konflik Dayak dan Madura dihubungkan dengan teori Simon

25 Metode ini dilakukan dengan menggambarkan data-data kebijakan Omar Al-Bashir seperti kondisi keamanan Darfur, rasa tidak aman di wilayah pengungsian, sikap Omar

Sesi ini mendiskusikan mengenai peran penting perikanan berkelanjutan untuk menyangga ketersediaan sumber daya ikan dan kesehatan ekosistem, isu strategis, permasalahan, dan

Berdasarkan faktor risiko kadar kolesterol, sebagian besar responden memiliki kadar antara 200 – 239 mg/dl, dimana responden laki – laki memiliki kecenderungan

Untuk mengatasinya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan bekerja sama dengan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dalam

Gagasan yang ingin diwujudkan dalam Desain Kompleks Studio Photography Etnik Kalimantan Timur Di Samarinda ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan para masyarakat

Pada tahun 2015 ia melanjutkan studinya di Universitas Riau dengan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia hingga sekarang.. 166 Sebuah Kisah

Pilar pembangunan bidang kelautan dan perikanan seperti tertuang dalam kebijakan Kementerian Kelautan Perikanan yaitu pembangunan kelautan dan perikanan nasional