• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kanker ovarium adalah kanker primer yang berasal dari ovarium. Kanker ovarium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kanker ovarium adalah kanker primer yang berasal dari ovarium. Kanker ovarium"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

10 2.1 Kanker Ovarium

Kanker ovarium adalah kanker primer yang berasal dari ovarium. Kanker ovarium merupakan penyebab kematian tertinggi pada kanker alat genitalia perempuan. Kanker ovarium tipe epitelial merupakan keganasan ovarium yang paling banyak ditemukan dan biasanya asimtomatis sampai terjadi metastase sehingga kebanyakan pasien yang datang sudah memasuki stadium lanjut (Cannistra, 2004; Andrijono, 2009).

2.2 Epidemiologi dan Klasifikasi

Kanker ovarium biasanya terdeteksi pada stadium lanjut dan masih merupakan penyebab kematian yang tinggi pada keganasan ginekologi. Kanker ovarium merupakan penyebab kematian terbanyak pada wanita dengan keganasan ginekologi dan terhitung sebanyak 5% dari keseluruhan kematian akibat kanker. Pada tahun 2011, di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 21.990 kasus baru kanker ovarium dan 15.460 kasus kematian (Hennessy, dkk.,2009; Su, dkk., 2012). Angka harapan hidup lima tahun pada stadium awal kanker ovarium kira-kira 92% tetapi sangat sulit untuk mendeteksi kanker ovarium pada stadium ini oleh karena gejala yang tidak jelas. Kebanyakan pasien terdiagnosis dengan stadium lanjut dimana angka harapan hidup lima tahun hanya 30% (Su, dkk., 2012; Bosse, K., dkk., 2006.). Berdasarkan data American Cancer Society pada

(2)

tahun 2010 diperkirakan terdapat sebanyak 21.880 kasus baru kanker ovarium dan 13.850 diantaranya meninggal akibat kanker ovarium (Park, dkk., 2010).

Tumor ovarium diklasifikasikan berdasarkan World Health Organization (WHO) dan International Federation of Gynecolgy and Obstetric (FIGO). Berdasarkan kriteria WHO, tumor ovarium dibedakan menjadi 3 kategori utama berdasarkan struktur anatomi dari mana mereka berasal yaitu: 1) surface epitelial-stromal tumors (65%), 2) germ cell tumors(15%), 3) sex cord-epitelial-stromal tumors (10%). Masing-masing kategori dibagi kembali menjadi beberapa subtipe. Disebut mixed tumors apabila terdapat kombinasi dua atau lebih subtipe (Pearson, 2009).

Kanker ovarium tipe epitelial berasal dari transformasi ganas epitel permukaan ovarium yang berdekatan dengan mesotelium peritoneum. Hampir 90% kanker ovarium berasal dari jaringan coelomic epithelium atau mesotelium. Sel tersebut adalah produk mesoderm yang dapat mengalami metaplasia (Pearson, 2009).

Karakteristik tumor serous pada pemeriksaan digambarkan dengan lesi kistik dimana epitelium papiler terkandung di dalam beberapa kista berdinding fibrous (intrakistik), atau diproyeksikan dari permukaan ovarium. Tumor jinak secara tipikal ditunjukkan dengan dinding kista halus berkilau tanpa penebalan epitel atau dengan proyeksi papiler kecil. Tumor borderline berisikan peningkatan jumlah proyeksi papiler. Proporsi penting pada tumor serous borderline dan tumor serous ganas melibatkan (atau berasal dari) permukaan ovarium. Pada pemeriksaan histologi, kista dilapisi oleh epitel kolumnar yang mempunyai banyak silia pada tumor jinak. Papilae mikroskopik mungkin ditemukan. Tumor

(3)

serous borderline menunjukkan peningkatan kompleksitas papilae stroma, stratisikasi epitelium dan nukleus atipikal ringan, tetapi pertumbuhan infiltrative destruktif ke stroma tidak ditemukan. Proliferasi epitel dapat mengikuti pola papiler yang disebut “micropapillary carcinoma” dan merupakan prekursor low grade serous carcinoma. Banyaknya massa solid atau massa tumor papiler, bentuk massa yang irregular dan fiksasi atau nodularitas kapsul merupakan indicator kemungkinan keganasan. Hal ini merupakan karakteristik high-grade serous carcinoma, secara mikroskopik menunjukkan pola pertumbuhan lebih kompleks dan infiltrasi stroma. Sel tumor pada high-grade carcinoma menggambarkan nuclear atypia, pleomorfisme, gambaran mitotik atipikal dan multinukleasi. Kalsifikasi konsentrik (psammoma bodies) merupakan karakteristik tumor jinak namun tidak spesifik untuk neoplasia (Kumar, dkk., 2010; Berek dan Hacker, 2010).

Tumor musinus memiliki karakteristik yaitu jarang melibatkan bagian permukaan dan jarang bilateral. Tumor musinus menghasilkan massa kistik besar, multilokular berisi cairan lengket, gelatin yang kaya glikoprotein. Pada pemeriksaan histologi, tumor musinus jinak dilapisi oleh sel epitelial kolumnar dengan musin apikal dan tidak ada silia, sama dengan epitelia usus atau servikal jinak. Kistadenokarsinoma mengandung daerah pertumbuhan padat dan sel epitelial atipia mencolok dan stratifikasi, hilangnya arsitektur kelenjar dan nekrosis (Kumar, dkk., 2010; Berek dan Hacker, 2010; Maharaj, A.G., 2012).

Tumor endometrioid jinak (endometrioid adenofibromas) dan tumor endometrioid borderline ditemukan kurang lebih 20% dari kanker ovarium.

(4)

Tumor endometrioid dibedakan dari tumor serous dan musinus dari adanya kelenjar tubuler yang sangat mirip dengan endometrium jinak atau ganas. Karsinoma endometrioid menunjukkan gambaran kombinasi antara bagian kistik dan solid yang mirip dengan kistadenokarsinoma. Sebanyak 40% melibatkan kedua ovarium dan biasanya bilateral (Kumar, dkk., 2010; Berek dan Hacker, 2010).

Tumor clear cell jinak dan borderline sangat jarang ditemukan begitu juga dengan tipe karsinoma. Gambarannya berupa sel epitelial besar dengan banyak sitoplasma jernih mirip dengan endometrium gestasional hipersekretorik. Karena beberapa tumor ini terjadi sehubungan dengan endometriosis atau karsinoma endometrioid ovarium dan menyerupai clear cell carcinoma endometrium, mereka dikatakan berasal dari Mullerian dan varian adenokarsinoma endometrioid. Tumor clear cell ovarium dapat berupa massa solid atau kistik. Pada neoplasma solid, clear cells tersusun dalam lembaran atau tubulus. Pada jenis kistik, sel neoplastik tersusun berbaris (Kumar, dkk., 2010; Berek dan Hacker, 2010).

Kistadenofibroma adalah varian dimana terdapat lebih banyak proliferasi stroma fibrous yang melapisi epitelium kolumnar. Tumor jinak ini biasanya kecil dan multilokular, berisikan epitelium musinus, serous, endometrioid dan transisional (Brenner tumor). Brenner tumors diklasifikasikan sebagai adenofibroma dimana komponennya terdiri dari sel epitelial tipe transisional yang menyerupai lapisan kandung kencing (Kumar, dkk., 2010; Berek dan Hacker, 2010).

(5)

Stadium kanker ovarium ditentukan berdasarkan pada penemuan yang dilakukan saat melakukan eksplorasi. Klasifikasi tumor ovarium tipe epitelial dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan stadium kanker ovarium menurut International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) berdasarkan pada hasil evaluasi pembedahan terhadap tumor ovarium primer dan penemuan penyebarannya dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Ovarium tipe Epitelial sesuai WHO

Tipe Histologi Tipe Seluler

I. Serous Endosalpingeal

A. Jinak B. Borderline C. Ganas

II. Musinus Endoservikal

A. Jinak B. Borderline C. Ganas

III. Endometrioid Endometrial

A. Jinak B. Borderline C. Ganas

IV. Clear-cell mesonephroid Mullerian

A. Jinak B. Borderline C. Ganas V. Brenner Transitional A. Jinak B. Borderline (proliferating) C. Ganas

VI. Mixed epithelial Mixed

A. Jinak B. Borderline C. Ganas

VII. Undifferentiated Anaplastic

VIII. Unclassified Mesothelioma dll.

(6)

Tabel 2.2 Stadium Kanker Ovarium Menurut Kriteria FIGO Stadium Kriteria I IA IB IC IC1 IC2 IC3 II IIA IIB

Pertumbuhan terbatas pada ovarium

Pertumbuhan tumor terbatas pada satu ovarium, cairan asites tidak mengandung sel-sel ganas, tidak ada pertumbuhan tumor pada permukaan luar dan kapsul utuh

Pertumbuhan tumor terbatas pada kedua ovarium, cairan asites tidak mengandung sel-sel ganas, tidak ada pertumbuhan tumor pada permukaan luar dan kapsul utuh

Tumor terbatas pada satu atau kedua ovarium Tumor pecah saat pembedahan

Kapsul tumor pecah sebelum pembedahan atau tumor pada permukaan ovarium

Terdapat sel-sel ganas dalam cairan ascites atau cairan bilasan peritoneum Tumor pada satu atau kedua ovarium, dengan perluasan ke dinding pelvis (dibawah pelvic brim) atau kanker peritoneum primer.

Perluasan dan atau metastasis ke uterus dan atau tuba falopi Perluasan ke jaringan pelvis lainnya

III IIIA IIIA1 IIIA1(1) IIIA1(2) IIIA2 IIIB IIIC IV IVA IVB

Tumor pada satu atau kedua ovarium dengan sitologi atau histologi implantasi diluar peritoneal pelvis dan atau metastase ke kelenjar limfe retroperitoneal. Penyebaran pada kelenjar limfe retroperitoneal dan atau secara mikroskopis metastase keluar pelvis.

Penyebaran hanya pada kelenjar limfe retroperitoneal Metastase ≤ 10 mm

Metastase > 10 mm

Secara mikroskopis, melibatkan peritoneum ekstrapelvik (diatas brim) ± kelenjar getah bening retroperitoneal positif

Secara makroskopis, ekstrapelvik, metastase peritoneum ≤ 2 cm ± kelenjar getah bening retroperitoneal positif. Termasuk perluasan tumor ke kapsul hati/empedu.

Secara makroskopis, ekstrapelvik, metastase peritoneum > 2 cm ± kelenjar getah bening retroperitoneal positif. Termasuk perluasan tumor ke kapsul hati/empedu.

Metastase jauh, tidak termasuk metastase peritoneal Efusi pleura dengan sitologi positif

Metastase hepar dan atau metastase parenkim limpa, metastase ke organ ekstraabdominal (termasuk kelenjar getah bening inguinal dan kelenjar getah bening diluar kavum abdomen)

(Sumber: J Gynecol Oncol Vol. 26, No. 2:87-89, 2015)

2.3 Etiologi Kanker Ovarium

Etiologi kanker ovarium masih belum jelas, beberapa hipotesis yang mungkin saat ini menjelaskan terjadinya kanker ovarium antara lain: hipotesis trauma ovulasi dan hipotesis gonadotropin. Saat ovulasi, terjadi kerusakan epitel permukaan ovarium pada waktu pecahnya folikel dan kemudian diikuti oleh perbaikan

(7)

sel/DNA. Hipotesis ini menyatakan bahwa semakin banyak pembelahan sel yang diikuti proses perbaikan meningkatkan peluang untuk terjadinya mutasi spontan yang menyebabkan karsinogenesis. Hipotesis gonadotropin didasarkan pada pembentukan kista inklusi yang kemudian berkembang karena stimulasi estrogen akibat tingginya gonadotropin. Overstimulasi sel epitel permukaan ovarium oleh gonadotropin, follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) menyebabkan peningkatan pembelahan sel dan mutasi yang menyebabkan karsinogenesis. Beberapa hipotesis lain yang menjelaskan terjadinya kanker ovarium adalah hipotesis stimulasi hormonal, hipotesis inflamasi, dan interaksi gen-lingkungan (Berek dan Novak’s, 2007; Gardner, dkk., 2009). Reaksi inflamasi akan menghasilkan oksidan yang toksik, menyebabkan kerusakan DNA, protein dan lipid. Kerusakan DNA menyebabkan mutasi DNA. Mekanisme perbaikan DNA tubuh akan melakukan perbaikan DNA yang rusak, dengan demikian inflamasi kronik akan menimbulkan efek yang lama, menyebabkan kematian sel sehingga tubuh mengkompensasinya dengan melakukan pembelahan pertama sel. Pembelahan yang dipacu atau diakselerasi akan memudahkan kesalahan pembentukan DNA, memudahkan terjadinya mutasi dan terjadi mutagenesis. Sitokin yang dilepaskan pada reaksi inflamasi juga berperan dalam regulasi cylooxygenase (COX-2) yang berfungsi dalam sintesis prostaglandin. Dimana fungsi prostaglandin itu antara lain: penurunan diferensiasi sel, menghambat apoptosis, meningkatkan proliferasi sel dan merangsang pembentukan angiogenesis melalui growth factor dan matrix metalloprotease. Inflamasi kronik berhubungan dengan faktor imunitas selular dan humoral dimana masing-masing

(8)

menghasilkan sitokin T-helper 1 (Th-1) dan immune suppressive cytokine (Moore, dkk., 2008; Andrijono, 2009).

2.4 Faktor Risiko Kanker Ovarium

Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya kanker ovarium antara lain: umur, riwayat keluarga, infertilitas, obesitas, hormone replacement therapy (HRT), endometriosis, menarche awal dan atau menopause terlambat, ras dan area geografis, serta merokok. Sedangkan faktor protektif yang berhubungan dengan penurunan risiko kanker ovarium antara lain: salfingooforektomi bilateral (bilateral salphyngoooporectomy/BSO), kehamilan, pil kontrasepsi oral (oral contraception pill/OCPs), histerektomi dan ligasi tuba, laktasi/menyusui, dan gaya hidup sehat. Insiden kanker ovarium meningkat seiring peningkatan umur, biasanya terjadi pada wanita berumur antara 50-79 tahun dengan median umur saat diagnosis adalah 63 tahun. Lebih dari 70% kanker ovarium terjadi setelah umur 50 tahun (Gardner,dkk.,2009). Dua sindrom (familial ovarian cancer) yang berhubungan dengan kejadian kanker ovarium adalah sindroma kanker payudara dan ovarium (the breast-ovarian cancer syndrome) dan sindrom Lynch II/HNPCC(hereditary non-poliposus colorectal cancer). Sindroma kanker payudara dan ovarium terjadi akibat adanya mutasi pada tumor supressor gene(TSG) BRCA1 (breast cancer antigen) atau BRCA2. Risiko menderita kanker ovarium pada populasi hanya sebesar 1,4%, akan meningkat menjadi 28-60% jika terjadi mutasi BRCA1 dan 11-27% pada BRCA2. Mutasi BRCA1 menyebabkan kerusakan TSG p53 dan p21 yang mengakibatkan TSG tersebut

(9)

tidak berfungsi. Sindroma Lynch II meliputi kanker kolon, kanker payudara, kanker ovarium, kanker endometrium dan kanker prostat. Kanker timbul setelah proses mutasi pada gen MLH1 atau MHS2 yang berperan pada reparasi gen. Insidennya sebanyak 2% dari kanker ovarium tipe epithelial (Andrijono, 2009; Gardner, dkk., 2009).

Obesitas meningkatkan risiko kanker ovarium sebesar 1,3 kali dibandingkan dengan wanita dengan berat badan normal. Peningkatan kasus kanker ovarium mungkin berhubungan dengan mekanisme hormonal yang berkaitan dengan obesitas termasuk peningkatan estrogen, insulin dan insulin-like growth factor dan penurunan progesteron. Penggunaan HRT berhubungan dengan peningkatan risiko kanker ovarium sebanyak 24% dibandingkan dengan tanpa penggunaan HRT (Gardner, dkk., 2009). Insiden kanker ovarium tertinggi pada

wanita kulit putih dan di negara-negara industri barat. Wanita perokok memiliki risiko dua kali menderita kanker ovarium tipe musinus dibandingkan dengan wanita bukan perokok (Cannistra, 2004; Partheen, dkk., 2011).

Pada wanita berisiko tinggi kanker ovarium, BSO profilaktik mengurangi risiko kanker ovarium sebesar 90%. Kehamilan berhubungan dengan penurunan risiko kanker. Kehamilan tunggal mengurangi risiko sebesar 20-40% dan masing-masing kehamilan lainnya mengurangi risiko sebesar 10-15%. Pengunaan obat kontrasepsi oral saja mengurangi risiko kanker ovarium hampir sebesar 60%. Diperkirakan bahwa sebanyak 200.000 kasus dan 100.000 kematian karena kanker ovarium bisa dicegah dalam 50 tahun terakhir dengan penggunaan obat kontrasepsi oral. Prosedur histerektomi dan ligasi tuba mengurangi risiko kanker

(10)

ovarium sebesar 30-40%. Mekanismenya adalah mencegah karsinogen potensial menuju ke ovarium atau menurunkan aliran darah menuju ke ovarium. Pada wanita yang menyusui juga dikatakan terjadi penurunan risiko kanker ovarium. Pengaruh gaya hidup sehat tidak kalah pentingnya. Hubungan antara aktivitas fisik dan insiden kanker ovarium masih belum jelas, begitu pula dengan konsumsi sayur-sayuran dan biji padi-padian (Gardner, dkk., 2009).

2.5 Skrining Kanker Ovarium

Salah satu cara untuk deteksi awal kanker ovarium adalah dengan metode skrining. Namun skrining yang murah dan efektif masih sulit diimplementasikan oleh karena beberapa hal antara lain: 1) perjalanan alamiah penyakit kanker ovarium belum diketahui, 2) kanker ovarium adalah penyakit yang tidak umum sehingga memerlukan tes skrining dengan spesifisitas tinggi, 3) kebanyakan kanker ovarium pada wanita terjadi tanpa faktor risiko yang teridentifikasi, dan 4) pembedahan masih merupakan skrining definitif yang relatif mahal dan berisiko (Lutz, dkk.,2011). Kriteria untuk skrining penyakit yang disarankan oleh World Health Organization (WHO) dapat dilihat pada Tabel 2.3.

(11)

Tabel 2.3 Kriteria Untuk Skrining Penyakit Sesuai WHO

1. Kondisi yang diskrining seharusnya menggambarkan penyebab utama kematian dan memiliki prevalensi yang substansial di populasi.

2. Perjalanan alamiah penyakit dari fase laten hingga munculnya penyakit harus memiliki karakteristik yang jelas.

3. Seharusnya terdapat pengobatan untuk penyakit pada fase laten atau awal sehingga meningkatkan kesembuhan.

4. Tes skrining harus diterima pada populasi.

5. Pengobatan yang efektif harus tersedia untuk penyakit tahap lanjut. 6. Fasilitas untuk diagnosis dan pengobatan harus tersedia.

7. Harus terdapat persetujuan berdasarkan petunjuk klinis siapa yang diobati. 8. Skrining harus cost effective

9. Skrining tes harus mempunyai positive predictive value, negative predictive value, sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.

(Sumber: Pearson, 2009).

2.6 Tumor Marker

Tumor marker adalah substansi kimia yang ditemukan dalam darah, cairan tubuh atau di jaringan tubuh lainnya yang dapat dideteksi dalam hubungan dengan perkembangan keganasan. Tumor marker dapat digunakan untuk diagnosis dan memantau perkembangan penyakit. Tumor marker adalah protein yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya sel kanker yang hidup, pada umumnya tumor marker adalah protein yang dihasilkan oleh sel kanker tersebut. Tumor marker tergantung pada jenis histologi tumor, masing-masing jenis histologi tumor mempunyai tumor marker yang spesifik (Andrijono, 2009; Molina,dkk.,2011; Montagnana, dkk.,2011).

(12)

Salah satu tantangan utama perkembangan tes skrining adalah dimana tes skrining tersebut harus memiliki spesifisitas tinggi karena rendahnya prevalensi kanker ovarium dan untuk menghindari banyaknya nilai positif palsu. Secara statistik, keberhasilan tes skrining memerlukan sensitifitas lebih dari 75% dan spesifisitas lebih dari 99,6% untuk mendapatkan positive predictive value (PPV) 10%. Kombinasi CA125 dan symptom index dapat mendeteksi 89,3% wanita dengan kanker ovarium, 80,3% pada stadium awal dan 95,1% pada stadium akhir penyakit. Beberapa peneliti lain membandingkan risiko indeks keganasan (Risk Malignancy Index/RMI) berdasarkan CA125, pencitraan/imaging, dan status menopause dengan predictive probability (PP) berdasarkan novel bioassay menggunakan CA125, HE4 dan status menopause untuk memprediksi kanker ovarium tipe epitelial pada pasien dengan massa pelvis. Pada pasien dengan tumor jinak ovarium dan kanker ovarium tipe epitelial dengan spesifisitas 75% didapatkan sensitifitas pada PP 94,3% dan sensitifitas pada RMI 83,7%. Pada pasien stadium I dan II, sensitifitas pada PP 85,3% dan pada RMI sensitifitasnya 61,8%. Sensitifitas pada kanker ovarium stadium III dan IV masing-masing 98,8% dan 93% (Keeler, 2006; Stany, 2009; Anderson, dkk.,2010; Ruggeri, dkk.,2011).

2.6.1 CA125 (Cancer Antigen 125)

Tumor marker yang paling luas dipakai dalam deteksi kanker ovarium adalah CA125 sehingga sering disebut “standar emas”. Pertama kali diidentifikasi oleh Bast, Knapp dan koleganya di tahun 1981. CA125 adalah high molecular weight glycoprotein yang meningkat pada kira-kira 90% pasien dengan kanker ovarium

(13)

tipe epitelial stadium lanjut. CA125 dihasilkan dari fetal amniotic dan coelomic epithelium dan pada jaringan dewasa berasal dari coelomic epithelium (sel mesotelial pleura, pericardium, dan peritoneum) dan Mullerian (tuba, endometrium, dan endoservik). CA125 mengandung 2 domain antigen utama yaitu A dan B yang mengikat antibodi monoklonal OC125 dan M11. Kekurangan CA125 sendiri sebagai tumor marker pada skrining kanker ovarium adalah tingginya nilai positif palsu dengan sensitifitas 50-62% pada stadium awal dan 90% pada stadium lanjut dan spesifisitas 94%-98,5% (Montagnana, dkk.,2011; Gupta, D. dan Lis, CG., 2009).

Gambar 2.1 Diferensiasi Mullerian dan kontrol HOX (Sumber: Hennessy,dkk.,2009)

(14)

CA125 diekspresikan sebagai sebuah membran protein di permukaan sel-sel yang mengalami diferensiasi metaplastik menjadi epithelium tipe Mullerian atau larut dalam cairan tubuh. CA125 masih merupakan biomarker yang paling banyak dipelajari untuk digunakan dalam deteksi dini dari karsinoma ovarium dan dalam monitoring dan deteksi penyakit. Tetapi peningkatan kadar CA125 juga terdapat pada beberapa penyakit keganasan seperti kanker payudara, mesothelioma, limfoma non-hodgkin, kanker lambung, leiomyoma dan leiomyosarcoma yang berasal dari saluran pencernaan. CA125 juga ditemukan tinggi dalam kondisi jinak seperti endometriosis, kehamilan, siklus ovulatorik, penyakit hati dan gagal jantung kongestif, serta penyakit menular seperti tuberculosis (Scholler, dkk.,2007; Saldova, dkk.,2013).

(15)

CA125 juga disebut mucin 16/MUC 16 merupakan protein pada manusia yang terkode oleh gen MUC 16. MUC 16 adalah bagian dari kelompok glikoprotein. MUC 16 mengandung domain transmembran tunggal, ukurannya dua kali lebih panjang dari MUC 1 dan MUC 4 dan mengandung 22.000 asam amino. MUC 16 tersusun dari 3 domain berbeda yaitu: (1) N-terminal domain, (2) Tandem repeat domain dan (3) C-terminal domain. N-terminal dan tandem repeat domain sepenuhnya ekstraseluler dan sangat O-glikolisasi. Semua mucin mengandung tandem repeat domain yang mengulang rangkaian asam amino tinggi serine, threonine dan proline. C-terminal domain tersebut mengandung SEA(sea urchin sperm protein, enterokinasi dan agrin) ekstraseluler, domain transmembran dan ekor sitoplasmik. Bagian ekstraseluler MUC 16 dapat dilepaskan dari sel permukaan dengan pembelahan proteolitik (Sandri, dkk.,2013; Felder, dkk.,2014).

MUC 16 adalah komponen permukaan ocular (termasuk kornea dan konjungtiva), saluran pernafasan dan epitel saluran reproduksi wanita. Saat MUC 16 ini terglikosilasi tinggi, menciptakan sebuah lingkungan hidrofilik yang berfungsi sebagai penghalang terhadap partikel asing dan agen infeksi pada membrane sel epitel. Cytoplasmic tail MUC 16 berinteraksi dengan sitoskeleteon dengan mengikat protein ERM (Felder, dkk.,2014).

MUC 16 berperan dalam tumoregenesis dan proliferasi tumor melalui mekanisme yang berbeda-beda. Salah satu cara bahwa MUC 16 membantu pertumbuhan tumor adalah dengan menekan respon sel-sel pembunuh alami (NK cell) yang melindungi sel kanker dari respon imun. Bukti lebih lanjut bahwa MUC

(16)

16 dapat melindungi sel tumor dari sistem imun adalah penemuan tandem repeat domain MUC 16 terglikosilasi tinggi dapat berikatan dengan galectin-1 (protein imunosupresif) (Felder, dkk.,2014).

MUC 16 berpartisipasi dalam interaksi antar sel yang memungkinkan untuk metastasis dari sel tumor. Hal tersebut didukung oleh bukti bahwa MUC 16 secara selektif dengan mesothelin, glikoprotein sel-sel mesothelial peritoneum (lapisan rongga perut). Interaksi MUC 16 dan mesothelin memberikan langkah pertama dalam invasi sel tumor di peritoneum. Mesothelin juga telah ditemukan dalam beberapa jenis kanker termasuk mesothelioma, kanker ovarium dan karsinoma sel skuamosa. Saat mesothelin juga diekspresikan oleh sel tumor, interaksi mesothelial dan MUC 16 dapat membantu pertemuan sel tumor lain menuju lokasi metastasis, sehingga meningkatkan ukuran metastasis (Felder, dkk.,2014). Beberapa bukti menyatakan bahwa ekspresi cytoplasmic tail MUC 16 membantu pertumbuhan sel tumor, motilitas sel dan memfasilitasi invasi. Hal ini berhubungan dengan kemampuan C-terminal domain MUC 16 untuk memfasilitasi pensinyalan yang menyebabkan penurunan ekspresi E-cadherin dan peningkatan ekspresi N-cadherin dan vimentin. MUC 16 juga berperan menurunkan sensitifitas sel kanker terhadap terapi obat. Ekpresi berlebihan dari MUC 16 terbukti melindungi sel dari dampak genotoxic obat-obatan seperti cisplatin (Felder, dkk.,2014).

Dalam perkembangannya, perhitungan kadar CA125 serum menjadi standar penatalaksanaan yang rutin pada pasien kanker ovarium. Kadar CA125 dibawah 35U/mL dikatakan normal. Jika dikelompokkan berdasarkan stadium

(17)

penyakit, maka hampir 90% peningkatan kadar CA125 terjadi pada kanker ovarium stadium lanjut dan hanya 50% terjadi pada stadium I. Peningkatan kadar CA125 lebih berhubungan dengan tumor ovarium tipe serous daripada tipe musinus. Selain untuk mendeteksi kanker ovarium, penilaian kadar CA125 juga sering digunakan untuk menilai perkembangan penyakit atau respon terapi serta prognosisnya. Berbagai variasi tumor marker dievaluasi untuk melengkapi CA125 untuk deteksi awal kanker ovarium seperti OVX1, HE4, mesothelin (MES) (Felder, dkk.,2014).

2.6.2 Human Epididymis Protein 4 (HE4)

Human epididymis protein 4 (HE4) adalah tumor marker baru dan ditemukan dengan kesatuan DNA pada kanker ovarium dengan sensitifitas 76% dan jika dikombinasikan dengan CA125 akan memiliki sensitivitas 95%. HE4 adalah low molecular weight glycoprotein dan merupakan golongan stable 4-disulfide dimana fungsinya belum diketahui (Montagnana, dkk.,2011).

HE4 (WFDC2) pertama kali ditemukan oleh Kirchhoff dkk. dalam pengkodean skrining cDNA jaringan epididimal manusia. Kajian-kajian berikutnya mengungkapkan ekspresi HE4 dalam sejumlah jaringan di luar sistem reproduksi lelaki. Menggunakan hibridisasi, Bingle dkk. mendeteksi mRNA HE4 di paru-paru, ginjal, dan kelenjar ludah. Galgano dkk. menganalisis HE4 dalam jaringan normal dan jaringan ganas manusia menggunakan sebuah microarray cDNA. HE4 relatif tinggi dalam trakea dan kelenjar ludah. Dengan menggunakan PCR kuantitatif, mRNA HE4 tingkat tinggi terdeteksi di epididimis, trakea dan

(18)

paru-paru, dan tingkat menengah di prostat, endometrium, dan payudara. Sedikit atau tidak ada HE4 dideteksi pada usus besar, indung telur, hati, plasenta, sel-sel darah perifer dan otot rangka (Li,dkk.,2009).

HE4 adalah salah satu dari 14 gen homolog pada kromosom 20q12-13.1 yang mengkode protein dengan WFDC. Dimana WFDC terdiri dari 50 sekuens asam amino dengan delapan cysteine residu yang membentuk empat ikatan disulfide. Gen HE4 mengkode 13kD protein, walaupun di dalam proses maturasi glycocylated membentuk protein kira-kira 20-25 kD. Lokus kromosom 20q13 menunjukkan variasi kromosom pada beberapa tipe kanker, seperti keganasan pada rongga mulut, payudara, ovarium, kolon, pankreas, lambung dan uterus. Pada lokus kromosom ini juga mempunyai beberapa protein WAP lain, seperti elafin dan Secretory Leucocyte Proteinase Inhibitor (SLPI), yang telah digunakan sebagai penanda tumor untuk penyakit keganasan (Li, dkk.,2009).

Gambar 2.3 Daerah Kromosom 20q13 Yang Menyimpan Kluster Gen Wap termasuk HE4, SLPI, Eppin-1 (Sumber: Drapkin,dkk,2005)

(19)

Pada pemeriksaan kuantitatif kadar serum HE4 dengan metode ELISA didapatkan kadar HE4 yang berbeda-beda. Pemeriksaan HE4 – EIA (Enzyme Immunometric Assay) ini juga dapat digunakan untuk menilai rekurensi dan progresifitas pada pasien yang menderita tumor ganas ovarium. Peningkatan kadar serum HE4 juga dapat dijumpai pada penyakit bukan keganasan, sehingga pemeriksaan HE4 tidak dapat digunakan secara absolut untuk menentukan diagnosa, maka pemeriksaan kadar serum HE4 untuk tumor ganas ovarium sebaiknya diikuti dengan monitoring atau penilaian secara klinis terhadap penyakit ini (Li, dkk.,2009).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Immuni-Biological Laboratories, didapatkan 94,4% wanita sehat mempunyai nilai kadar serum HE4 dibawah 150 pM (picomolar) atau picomole/L.Huhtinen dkk.,pada penelitiannya menunjukkan rata-rata kadar serum HE4 pada endometriosis 45,5 pM dimana kontrol pada wanita sehat mempunyai nilai rata-rata 40,5 pM dengan rentang 15,2 – 111,0 pM. Dan didapatkan konsentrasi yang sangat tinggi pada tumor ganas ovarium dengan nilai rata-rata 1.125,4 pM dengan rentang 46,5 – 10.250,0 pM. Dan juga ada peningkatan secara signifikan pada kanker endometrial (99,2 pM) dengan rentang 26,5 – 330,5 pM (Li, dkk.,2009).

HE4 disekresikan dan terlihat pada epitel jaringan genitalia wanita yang normal. Kemunculannya pada kista ovarium kortikal menandakan bahwa pembentukan epitel Mullerian adalah prasyarat dalam perkembangan beberapa tipe kanker ovarium dimana lebih dari 90% ditemukan pada kanker ovarium. Kombinasi HE4 dengan CA125 ternyata memiliki sensitifitas dan spesifisitas

(20)

yang lebih besar daripada HE4 sendiri. Pada suatu penelitian yang menggunakan kombinasi pemeriksaan HE4 dan CA125 pada serum wanita dengan endometriosis, kanker endometrium, kanker ovarium dan wanita sehat sebagai kontrol. Maka didapatkan konsentrasi HE4 serum tinggi pada pasien dengan kanker endometrium dan kanker ovarium, tidak pada endometrioma atau endometriosis dengan sensitifitas 95% dan spesifisitas 92,9% (pada kombinasi HE4 dan CA125) dan 78,6% pada HE4 sendiri atau CA125 sendiri. Pada penelitian lain yang menggunakan HE4 dan CA125 sebagai tumor marker pada wanita premenopause dan postmenopause yang digolongkan menjadi risiko rendah dan risiko tinggi sesuai risk of ovarian malignancy algorithm (ROMA) didapatkan sensitifitas pada pasien postmenopause risiko tinggi sebesar 92,3% dengan spesifisitas 74,7%. Untuk pasien postmenopause risiko rendah sensitifitasnya 94,6% dan spesifisitasnya 75%. Sedangkan pada pasien premenopause risiko tinggi didapatkan sensitifitasnya 76,5% dan spesifisitasnya 74,8% dan pada pasien premenopause risiko rendah didapatkan sensitifitas dan spesifisitasnya masing-masing sebesar 88,9% dan 75%. Gabungan pasien premenopause dan postmenopause memiliki sensitifitas dan spesifisitas sebesar 86% dan 74,7%. Analisis selanjutnya pasien dengan kanker ovarium tipe epitelial invasif menunjukkan 94,6% pasien postmenopause dan 88,9% pasien premenopause teridentifikasi dengan baik (Montagnana, dkk.,2011).

(21)

2.7 Peran Ultrasonografi pada Kanker Ovarium

Teknik ultrasonografi transvaginal dan transabdominal merupakan modalitas pencitraan dalam pemeriksaan organ pelvis oleh karena noninvasif, murah, dan banyak tersedia. Dengan penggunaan ultrasonografi transvaginal, frekuensi probe yang digunakan bisa lebih tinggi sehingga resolusi gambar menjadi lebih baik. Selain untuk menilai infertilitas dan komplikasi kehamilan muda, kelainan menstruasi dan nyeri pelvis, penggunaan TVS saat ini juga berperan dalam evaluasi massa adneksa yang sejalan dengan program skrining kanker ovarium. Pengetahuan tentang anatomi ovarium normal dan fungsinya adalah penting untuk dapat melihat adanya kelainan pada ovarium (Jermy dan Bourne, 2003; Bharwani, 2010).

Ovarium dinilai pada tiga bidang dan volume ovarium dihitung berdasarkan formula ellipsoid:

Volume ovarium = 0.5 x panjang x lebar x tinggi

Pada pasien premenopause, ovarium biasanya terletak diatas pembuluh darah iliaka interna, lateral dari fundus uteri. Ovarium mudah dideteksi dengan adanya folikel yang banyak dengan berbagai variasi diameter. Pada pasien postmenopause, ovarium tampak lebih kecil dan biasanya folikel-folikel ini tidak ada. Jika tidak terlihat dengan TVS, ovarium bisa dilihat melalui teknik transabdominal. Pada kasus adanya leimioma uteri besar dan saat kehamilan, ovarium menjadi bagian struktur abdomen. Juga setelah histerektomi struktur adneksa mungkin mengalami retraksi keluar dari pelvis (Jermy dan Bourne, 2003; Olivier, dkk.,2006).

(22)

Gambar 2.4 USG Ovarium normal (Sumber: Jermy dan Bourne, 2003) Morfologi dan volume ovarium bergantung pada beberapa faktor diantaranya umur dan status menopause pasien. Rata-rata volume ovarium adalah konstan antara 6,6-6,7 cm3 hingga usia 40 tahun. Setelah itu, terjadi penurunan volume ovarium pada masing-masing dekade hingga volume ovarium wanita setelah umur 70 tahun adalah 1,8 cm3. Rata-rata volume ovarium wanita postmenopause adalah bervariasi antara 1,2-5,8 cm3. Perubahan volume dan

morfologi ovarium pada beberapa kelompok umur dapat dilihat pada table 2.4. Tabel 2.4 Perubahan Volume Dan Morfologi Ovarium Sesuai Umur

Neonatus 0,8 cm3 Folikel < 1 cm

Umur 2 tahun 1 cm3 Folikel < 0,5 cm

Prepubertas < 2,5 cm3 Folikel < 1 cm

Postpubertas 10 cm3 ± 5 cm3 Folikel ada

Postmenopause ↓ ukuran Folikel tidak ada

(23)

Tabel 2.5 Klasifikasi Tumor Ovarium Sesuai Gambaran Radiologi Tanpa atau sedikit elemen

solid/padat

Beberapa elemen solid/padat

Tumor Kistik Serous cystadenoma Borderline serous tumour

Serous adenofibroma - Berisi cairan serous Mucinous cystadenoma Borderline mucinous

tumour, mucinous adenofibroma

- Berisi darah Kista korpus luteum Kista endometriosis

Kista jinak dengan perdarahan sekunder

Borderline endometrioid tumour

Endometrioid adenofibroma Borderline cyst with secondary haemorraghe - Berisi lemak Kista dermoid Kista dermoid

Tumor Solid dominan Serous cystadenocarcinoma

Mucinous cystadenocarcinoma - Epithelial Endometrioid cystadenocarcinoma Clear cell cystadenocarcinoma

Brenner tumour, jinak, borderline atau ganas - Berisi lemak Granulose cell tumour

Thecoma dan tumor stroma Kista dermoid

- Lainnya Fibroma, dysgerminoma, Yolk sac tumor, lymphoma, tumor metastase.

(Sumber: Jermy dan Bourne, 2003).

Morfologi ovarium premenopause secara konstan berubah dibawah pengaruh aksis hipotalamus-hipofise. Saat siklus menstruasi, morfologi ovarium berubah ke bentuk dasar. Pertumbuhan folikel awal bergantung pada gonadotropin dan folikel kecil (<5 mm) akan terlihat begitupun pada wanita yang

(24)

mengkonsumsi kontrasepsi oral kombinasi. Folikel dominan dapat mencapai diameter hingga 20 mm saat sebelum ovulasi. Dinding folikel terlihat jelas dengan tepi tajam dan jelas, menjadi tebal dan kabur jika telah mendekati ovulasi. Cumulus oophorus mungkin terlihat pada folikel 2-3 hari sebelum terjadi ovulasi (Jermy dan Bourne, 2003; Bharwani, 2010).

Hilangnya folikel dominan dengan ovulasi menyebabkan munculnya korpus luteum dengan cairan bebas dalam kavum Douglas. Morfologi korpus luteum bervariasi pada fase luteal dan didominasi oleh bagian kistik dan solid. Karena pola morfologi yang bervariasi maka dapat menyerupai beberapa kelainan seperti kehamilan ektopik dan keganasan ovarium. Pengetahuan tentang hari siklus menstruasi dapat membantu diagnosis (Jermy dan Bourne, 2003; Bharwani, 2010).

Sindroma ovarium polikistik pertama kali ditemukan pada tahun 1935 oleh Stein dan Leventhal dengan manifestasi kegemukan, infertilitas, hirsuitisme dan amenore. Lebih dari 10% wanita usia reproduktif mengalami PCOS. Morfologi ovarium dikatakan polikstik jika terdapat 10 atau lebih kista perifer dengan diameter 2-8 mm yang tersusun disekeliling stroma tebal (string of pearls).

(25)

Beberapa studi menilai densitas/kepadatan dan volume stroma menggunakan TVS. Peningkatan kepadatan stroma berhubungan dengan disfungsi androgenik ovarium. Terdapat perbedaan wanita dengan PCOS dari multifolikel dan kontrol berdasarkan penilaian stroma atau rasio area total (Jermy dan Bourne, 2003; Gorp, dkk.,2012).

Pada pasien postmenopause kebanyakan ovarium tidak terdeteksi dengan ultrasonografi. Penelitian pada populasi asimtomatik yang sehat mendapatkan tingkat deteksi ovarium (minimal satu ovarium terdeteksi dengan TVS) antara 76% dan 72%. Dua studi yang menghubungkan TVS preoperatif dan penilaian patologi mendapatkan tidak terdeteksinya ovarium dengan ultrasonografi dapat mengeklusi kelainan ovarium. Ukuran ovarium rata-rata yang tidak terdeteksi TVS adalah 0,7x0,4 cm, dikatakan atrofi pada penilaian patologi (Jermy dan Bourne , 2003; Gorp, dkk.,2012).

Ultrasonografi merupakan salah satu metode pencitraan yang digunakan pada pasien dengan kecurigaan kelainan patologi adneksa untuk menentukan sumber asal tumor dan membedakan tumor ovarium jinak dengan ganas. Walaupun morfologi USG memiliki sensitifitas tinggi (88-100%) untuk deteksi keganasan, namun spesifisitasnya relatif rendah (39-87%). Transvaginal ultrasonografi (TVS) memiliki spesifisitas yang lebih tinggi daripada transabdominal ultrasonografi (TAS). Tumor jinak ovarium mempunyai ciri-ciri: dinding tipis, struktur kista unilokular dengan diameter < 5 cm. Sedangkan kecurigaan keganasan bila ditemukan dinding kista menebal tidak teratur atau septa (> 3 mm), vegetasi atau pembentukan papil, diameter massa kista > 10 cm,

(26)

komponen solid atau lesi solid. Adanya ascites atau nodul peritoneum pada ultrasonografi dapat dicurigai suatu keganasan (Bharwani, dkk.,2010). Pada suatu penelitian yang menggunakan volume ovarium, karakteristik dinding kista dan adanya septa, dihitung skor risiko dimana sensitivitas dan spesifisitasnya sebesar 89% dan 70%. Indeks morfologi yang lain menyatakan sensitifitas mencapai 100% dan spesifisitas 83% dalam membedakan lesi jinak dengan ganas (Pearson,2009; Gorp,dkk.,2012).

Tabel 2.6 Indeks Morfologi Berdasarkan Ultrasonografi Untuk Deteksi Kanker Ovarium

Variabel Indeks morfologi

0 1 2 3 4 Struktur dinding kista Halus (tebal < 3 mm) Halus (tebal ≥ 3 mm) Papiler(dia meter < 3 mm) Papiler(diam eter ≥ 3 mm) Dominan Solid Volume tumor < 10 cm3 10-50 cm3 >50-200 cm3 >200-500 cm3 >500 cm3 Struktur septa Tidak ada septa Septa tipis (tebal<3mm) Septa tebal (tebal 3-10mm) Area solid (tebal ≥ 10 mm) Dominan solid (Sumber: Pearson, 2009)

Skor morfologi lebih dari 5 sangat dicurigai suatu keganasan ovarium dengan sensitifitas 89%, spesifisitas 70%, positive predictive value 46%.(Pearson,2009; Gorp,dkk.,2012). Pemeriksaan Doppler digunakan untuk melihat neovaskularitas tumor dalam massa solid dan complex area dari massa kistik. Pemeriksaan Doppler dapat membedakan massa jinak dan ganas karena karakteristik vaskuler pada neoplasma ganas berbeda dari neoplasma jinak (Bharwani, dkk.,2010).

Terdapat metode lain dalam mendeteksi risiko keganasan pada wanita premenopause tanpa menggunakan CA125 berdasarkan aturan IOTA. Grup IOTA

(27)

mempublikasikan suatu penelitian yang menggunakan ultrasonografi untuk membedakan massa ovarium jinak atau ganas. Aturannya, massa ovarium dikelompokkan menjadi massa ovarium jinak(B-rules) atau massa ovarium ganas (M-rules). Dengan metode ini sensitivitas dicapai 95%, spesifisitas 91%, positive likehood ratio 10,37 dan negative likehood ratio 0,06.

Tabel 2.7 Klasifikasi Massa Jinak (B-rules) atau Ganas (M-rules) sesuai IOTA

B-rules M-rules

 Kista unilocular  Tumor solid irregular

 Adanya komponen solid dimana komponen solid terbesar <7 mm

 Ascites

 Adanya “acoustic shadowing”  Minimal 4 struktur papiler  Tumor multilocular halus

dengan diameter terbesar <100 mm

 Tumor solid multilocular irregular dengan diameter terbesar ≥100 mm

 Tidak ada aliran darah  Aliran darah sangat kuat

Gambar

Gambar 2.1 Diferensiasi Mullerian  dan kontrol HOX  (Sumber: Hennessy,dkk.,2009)
Gambar 2.2 Struktur Molekular CA125 (Sumber: Weiland,dkk.,2012)
Gambar 2.3 Daerah Kromosom 20q13 Yang Menyimpan Kluster Gen                 Wap termasuk HE4, SLPI, Eppin-1 (Sumber: Drapkin,dkk,2005)
Gambar 2.4 USG Ovarium normal (Sumber: Jermy dan Bourne, 2003)  Morfologi  dan  volume  ovarium  bergantung  pada  beberapa  faktor  diantaranya umur dan status menopause pasien
+3

Referensi

Dokumen terkait

File zone menyediakan record nama komputer dan alamat komputer yang berhubungan dengan komputer yang berada di dalam domain name server yang menjadi tanggung

Pada penelitian yang dilakukan, diperoleh hubungan antara kekuatan otot lengan dengan kecepatan renang, artinya semakin tinggi nilai kekuatan otot lengan semakin cepat

Akan tetapi, dana yang telah diinvestasikan oleh investor harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan tujuan penggunaan dana investasi dan dapat diperlihatkan secara transparan

Tujuan Pembelajaran : Setelah mengamati, menanya, mengeksploasi, mengasosiasi dan mengkomunikasikan peserta didik mampu : Menjelaskan ketentuan zakat dalam

Dengan melihat selisih antara nilai data simulasi dan sebenarnya kita dapat menghitung persentase kesalahan dari model.. 1.5.Grafik

- Sebelumnya menggunakan pajak proporsional, tetapi sekarang menggunakan pajak Progrentif, pajak kita di RSIA dikenakan 5% pada saat saya melaporkan pajak saya akan kekurangan

Menimbang : bahwa sehubungan dengan telah terbentuknya Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Kesehatan Daerah Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui uji pemanfaatan daun Binahong (Anredera cardifolia (Ten) Steenis) pada penyembuhan luka di gingiva melalui pengamatan