BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kegiatan Rehabilitasi di Taman Nasional Meru Betiri
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, memberikan batasan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Fungsi TNMB sebagaimana yang dirumuskan dalam rencana pengelolaan TNMB mengemban empat fungsi yaitu fungsi pengawetan/perlindungan, fungsi penelitian/ilmu pengetahuan, fungsi pendidikan dan fungsi rekreasi.
Zona Rehabilitasi di TNMB terbentuk diawali dengan penetapan hutan Meru Betiri sebagai hutan lindung yang merupakan keputusan dari Besluit van den, Direktur Landbouw neveirheiden Handel, No. 7347/B, pada tanggal 29 Juli 1931. Pada tanggal 6 Juni 1972, hutan lindung Meru Betiri ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa dengan luas 50.000 ha berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 267/KPTS/UM/6/1972, untuk perlindungan harimau jawa. Pada tahun 1997 melalui SK Menteri Kehutanan No. 227/KPTS/6/1997 Meru Betiri ditetapkan sebagai taman nasional.
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 menyebabkan perekonomian menjadi tidak stabil dan berakibat terhadap terpuruknya kehidupan masyarakat sekitar TNMB. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan melalui penebangan dan penjarahan secara besar-besaran kayu jati dan hasil hutan lainnya, kegiatan ini juga dilakukan oleh sebagian masyarakat di sekitar TNMB.
Hal ini menyebabkan gundulnya hutan jati seluas 4.000 ha, serta terjadinya konflik antara taman nasional dengan masyarakat. Setelah perambahan tersebut maka terjadilah pembukaan lahan bekas tegakan jati oleh masyarakat yang dikenal dengan istilah tetelan. Setelah terbentuknya lahan kritis ini, berdasarkan SK Dirjen PHKA tanggal 13 Desember 1999 ditetapkanlah pembagian sistem zonasi TNMB, salah satunya Zona Rehabilitasi seluas 4.023 ha. Tujuan ditetapkannya Zona Rehabilitasi adalah untuk mencegah terjadinya perluasan ke Zona Rimba.
Dasar kebijakan kegiatan RHL di Zona Rehabilitasi TNMB adalah surat persetujuan Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor 1008/Dj-VI/LH/1998 dan surat persetujuan Direktorat Jendral Perlindungan dan Konservasi Alam Nomor 1354/Dj-V/KK/1999, tentang penetapan tim rehabilitasi kawasan. Kegiatan RHL dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (UU No. 41 Tahun 1999). Dijelaskan juga bahwa penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat. Maksud dan sasaran kegiatan rehabilitasi lahan di TNMB adalah untuk memulihkan areal bekas penjarahan dan lahan terbuka, serta mengurangi/menghentikan perambahan pada zona rimba dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan sebagai pelaku kegiatan rehabilitasi (Balai TNMB 1999).
Gambar 3 Zona Rehabilitasi TNMB.
Kegiatan RHL menerapkan sistem agroforestry dengan pola tumpangsari. Agroforestry didefinisikan sebagai suatu sistem pengelolaan hutan dengan berdasarkan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (King dan Chandler 1978). Selanjutnya King dan Chandler (1978) menjelaskan beberapa bentuk agroforestry yaitu agrisilviculture, sylvopastoral serta agrosylvo-pastoral system. Kegiatan RHL yang sedang berjalan di TNMB termasuk ke dalam bentuk agroforestry agrisilviculture, penggunaan lahan ditujukan untuk memproduksi hasil pertanian
dan kehutanan. Tujuan akhir kegiatan agroforestry adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat petani terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak dan berlanjut dengan memeliharanya (Dephut 1992).
Gambar 4 Sistem agroforestry di Zona Rehabilitasi TMNB.
Kegiatan RHL yang sedang berlangsung di TNMB dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan. Kerjasama antara pengelola TNMB dengan masyarakat peserta rehabilitasi hutan dan lahan berbentuk pola kemitraan, dilakukan dengan sistem agroforestry. Masyarakat peserta kegiatan RHL diprioritaskan pada masyarakat lokal dan/atau petani ekonomi lemah. Bentuk ikatan antara petani peserta rehabilitasi dengan pengelola dibuat dalam bentuk perjanjian kontrak selama satu tahun, dan dapat diperpanjang sesuai dengan pertimbangan pengelola. Secara hukum cukup kuat, dimana jika terjadi pelanggaran terhadap isi perjanjian dapat dikenakan sanksi hukum. Petani peserta kegiatan dipinjami lahan untuk diolah seluas 0,25 ha/kk, pada kenyataan di lapangan luas lahan garapan dapat kurang atau bahkan lebih dari 0,25 ha/kk.
5.2 Kegiatan Rehabilitasi di Lokasi Penelitian
Jumlah anggota peserta kegiatan RHL pada kedua desa tersebut tidak sama, petani peserta rehabilitasi hutan dan lahan di Desa Sanenrejo lebih banyak dibandingkan dengan jumlah petani peserta di Desa Wonoasri. Lebih jelasnya jumlah kelompok dan jumlah anggota setiap kelompok pada masing-masing desa disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Jumlah petani peserta kegiatan RHL di lokasi penelitian Nama Desa
Luas Lahan Rehabilitasi
(ha)
Blok Rehabilitasi Jumlah KTH Jumlah KK
Sanenrejo 420 Darungan 14 402 Aren 4 128 Mandilis 12 344 Wonoasri 208,6 Bonangan 7 186 Kedunglo 7 163 Curah Malang 3 94 Pletes 5 125 Menten 1 44 Sumber: Balai TNMB 2006
Perbedaan jumlah peserta rehabilitasi hutan dan lahan ini dikarenakan oleh perbedaan luas lahan rehabilitasi di kedua desa tersebut. Upaya Pengelola TNMB untuk mencapai suatu keberhasilan kegiatan RHL di kawasan penyangga melalui tahapan-tahapan, seperti sosialisai dengan masyarakat sekitar taman nasional dalam membuat aturan-aturan tentang penggunaan lahan di taman nasional. Pihak pengelola taman nasional bersama masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sekitar taman nasional dalam hal ini membuat draft aturan-aturan yang harus disepakati bersama. Setelah aturan disepakati bersama, disosialisasikan kembali kepada masyarakat di kawasan penyangga, masing-masing kepala keluarga mendapatkan lahan garapan seluas 0,25 ha, setelah lima tahun wajib mengajukan ijin kembali. Setiap dua tahun diadakan evaluasi terhadap lahan garapan, apakah masyarakat telah melakukan seperti pada perjanjian, apabila ada masyarakat yang tidak melakukan rehabilitasi seperti dalam perjanjian akan diberi sangsi bahkan dapat dicabut ijinnya. Aturan yang wajib dilakukan oleh masyarakat sekitar taman nasional antara lain selain mananam tanaman semusim (kacang tanah, kacang panjang, cabe, jagung dan lain-lain), diwajibkan menanam tumbuhan kayu-kayuan (nangka, pakem,pete, sukun dan lain-lain).
Tabel 8 Jenis tanaman pokok yang direkomendasikan oleh pihak TNMB dan ditemukan saat penelitian
No. Nama Lokal Nama Latin Direkomendasikan Ditemukan
1 Aren Arenga pinnata v
2 Alpukat Persea americana v 3 Asam jawa Tamarindus indica v v 4 Bambu Bambusa sp. v
5 Bendo Artocarpus elastica v 6 Bungur Lagerstroemia speciosa v
7 Durian lokal Durio zibethinus v v 8 Gaharu Aquilaria malaccensis v
9 Johar Cassia siamea v 10 Joho keling Terminalia belerica v
11 Juwet Syzygium cumini v v 12 Jambu Monyet Anacardium occidentale v 13 Jati Tectona grandis v 14 Kayu Afrika Maesopsis eminii v 15 Kayu secang Caesalpinia sappan v
16 Kayu uleh Tdf. v
17 Kedawung Parkia timoriana v v 18 Kedongdong Spondias pinnata v 19 Keluwek Pangium edule v
20 Kemiri Aleurites moluccana v v 21 Kemuning Murraya paniculata v
22 Kenanga Canangium odoratum v 23 Kenari Canarium commune v 24 Kendal Cordia oblique v
25 Kenitu Chrysophyllum cainito v 26 Kepuh Sterculia foetida v v 27 Ketapang Terminalia cattapa v
28 Kluwih Rhicinus communis v v 29 Mangga Mangifera indica v 30 Melnjo Gnetum gnemon v v 31 Mengkudu Morinda citrifolia v v 32 Mimba Azadirachta indica v
33 Nangka Artocarpus heterophyllus v v 34 Pakem Pangium edule v 35 Petai Parkia speciosa v 36 Pinang jambe Areca catechu v
37 Pulai Alstonia scholaris v
38 Rambutan Nephelium lappaceum v 39 Randu Ceiba Pentandra v 40 Saga Adenanthera microsperma v
41 Sukun Artocarpus altilis v
42 Sawo Manilkara kauki v 43 Sirsak Annona muricata v 44 Sukun Artocarpus altilis v 45 Trembesi Samanea saman v
Tanaman pokok yang diprioritaskan ditanam di Zona Rehabilitasi TNMB berasal dari tumbuhan asli setempat dan merupakan tanaman multiguna yang dapat diambil manfaatnya baik sebagai sumber pangan (buah) maupun bahan baku obat tradisional. Terdapat 30 jenis tanaman pokok yang direkomendasikan oleh Balai TNMB untuk ditanam di lahan rehabilitasi, sedangkan hasil inventarisasi tanaman terhadap 40 plot sampling yang diambil secara acak di kedua lokasi penelitian, didapatkan bahwa terdapat 25 jenis pohon yang ditanam oleh masyarakat. Sebagian besar merupakan tanaman penghasil pangan (56%), tanaman obat-obatan (28%) dan tanaman ekologi (16%). Daftar jenis tanaman pokok yang rekomendasikan oleh pihak TNMB dan ditemukan saat penelitian disajikan pada Tabel 8.
Kondisi kawasan penyangga yang telah direhabilitasi oleh masyarakat sekitar kawasan dengan tanaman campuran atau lebih diarahkan ke agroforestry. Masyarakat telah melakukan rehabilitasi lahan dengan memperhatikan konservasi tanah walaupun belum sempurna, masyarakat telah membuat teras-teras untuk penanaman tanaman semusimnya. Hal ini terlihat bahwa telah terdapat kegiatan rehabilitasi lahan dengan menanam berbagai tanaman, seperti tanaman semusim, juga tanaman kayu-kayuan. Penanaman pohon ini adalah untuk memenuhi aturan taman nasional dengan catatan diperbolehkan mengambil buahnya tetapi dilarang menebang pohon, demi tercapainya tujuan kegiatan RHL di Zona Rehabilitasi TNMB untuk kelestarian hutan dan perbaikan lingkungan dan masyarakat sekitar kawasan taman nasional sejahtera.
Jumlah jenis tanaman ditemukan selama penelitian dan jenisnya sesuai dengan yang direkomendasikan oleh pihak TNMB hanya sebelas jenis tanaman, yaitu asam jawa (Tamarindus indica), durian lokal (Durio zibethinus), juwet (Syzigium cumini), kedawung (Parkia timoriana), kemiri (Aleurites muluccana), kepuh (Stercullia feotida), kluwih (Rhicinus communis), melinjo (Gnetum gnemon), mengkudu (Morinda citrifolia), nangka (Artocarpus heterophyllus), dan sirsak (Annona muricata). Hal ini dikarenakan ketersediaan bibit yang terbatas sehingga masyarakat berinisiatif untuk melakukan pembibitan secara swadaya dengan bibit yang tersedia di sekitar TNMB, bahkan terdapat tanaman eksotik yang berasal dari luar TNMB, seperti alpukat (Persea americana).
Selain menanam tanaman berdiameter besar yang bermanfaat ekonomi dan ekologi, masyarakat juga menanam tanaman tumpangsari yang merupakan tanaman musiman yang bermanfaat hanya sebagai penghasil pangan. Tanaman-tanaman ini ditanam di bawah tegakan Tanaman-tanaman pokok (Tabel 9) yang merupakan selingan, agar masyarakat tetap mendapatkan penghasilan sementara menunggu tanaman pokok menghasilkan buah.
Tabel 9 Jenis tanaman semusim yang ditanam oleh petani peserta kegiatan RHL di lokasi penelitian No. Jenis Masa Tanam (Bulan) Rata-rata panen/Hektar/Masa Tanam (kg) Harga/kg Ditemukan Wonoasri Sanenrejo 1 Padi 4 4000 Rp 2.500 + + 2 Kacang hijau 3 400 Rp 10.000 + + 3 Kacang tanah 3 2800 Rp 8.000 + + 4 Kacang Panjang 3 6000 Rp 1.500 + 5 Kedelai 3 600 Rp 8.500 + 6 Peje 12 300 Rp 65.000 + 7 Timun 3 3000 Rp 3.000 + 8 Jagung 4 8000 Rp 2.500 + 9 Cabe 7 7000 Rp 15.000 + +
Sumber: Diolah dari data primer
Jenis tanaman tumpangsari yang ditanam oleh masyarakat antara lain padi, kacang hijau, kacang tanah, kacang panjang, kedelai, PJ, timun, jagung dan cabe. Cabe dan kacang tanah merupakan tanaman yang paling menguntungkan, hal ini dapat dilihat dari harga jual, masa panen dan jumlah panen yang dihasilkan oleh tiap hektar lahan. Responden di Desa Sanenrejo lebih memilih menanam jagung dikarenakan kondisi lahan yang curam dan kurang memungkinkan untuk menanam padi.
Gambar 5 Jenis tanaman semusim yang ditanam (a) peje (b) kacang tanah (c) timun (d) kacang hijau (e) padi (f) jagung (g) cabai
Pola tanam yang diadopsi oleh masyarakat adalah sistem rotasi, yaitu pola tanam dengan menggilir jenis tanaman tumpangsari yang ditanam. Penanaman jenis tanaman disesuaikan dengan masa tanam masing-masing jenis tanaman, topografi lahan, naungan tajuk tanaman pokok, modal dan musim yang sedang berlangsung.
Selama ini telah terjadi penurunan produksi yang cukup besar. Hal ini diduga disebabkan oleh 1) adanya perubahan musim yang terjadi di wilayah TNMB dan sekitarnya. Hal ini mengakibatkan musim hujan yang panjang dan musim kemarau yang panjang, sehingga banyak tanaman pokok maupun tanaman semusim yang tidak mampu bertahan, 2) kondisi naungan tajuk tanaman pokok yang semakin rindang. Hal ini mengakibatkan sinar matahari yang masuk sampai ke tanaman semusim berkurang, sehingga proses fotosintesis berupa pembentukan umbi atau buah tidak berlangsung secara optimal, 3) penurunan kualitas tanah akibat penanaman tanaman semusim yang dilakukan terus-menerus, 4) kondisi kemiringan lahan yang curam dan berbukit, mengakibatkan tingkat erosi yang sangat besar sehingga unsur hara yang terdapat di tanah terkikis oleh air saat hujan.
(a)
(b)
5.3 Kontribusi Masyarakat dalam Upaya Adaptasi Perubahan Iklim melalui Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Kontribusi masyarakat dalam upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan RHL di TNMB khususnya pada lokasi penelitian yang diamati berdasarkan tiga parameter utama yaitu ekologi, ekonomi dan persepsi.
5.3.1 Manfaat ekologi
Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh petani peserta kegiatan RHL merupakan salah satu bentuk adaptasi perubahan iklim dengan mengikuti kegiatan RHL ini telah menciptakan kondisi lingkungan yang mampu mengurangi dampak dari perubahan iklim. Hal ini dibuktikan dengan jumlah karbon tersimpan yang direduksi dari CO₂ melalui proses fotosentesis di bagian tanaman.
Tabel 10 Jumlah tanaman pokok di lokasi penelitian Nama
Desa
Luas Lahan Rehabilitasi (ha)
Kisaran Jumlah Tanaman Pokok per Hektar
(Btg/ha)
Kisaran Total Jumlah Tanaman Pokok
(Btg)
( 1 ) ( 2 )* ( 1 ) x ( 2 )
Sanenrejo 420 130 – 131 54.797 – 54.823 Wonoasri 208,6 335 – 336 69.952 – 70.119
Sumber: Diolah dari data primer
Ket: *) ( 2 ) merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Cohran (1977)
Hasil pengolahan data terhadap 40 plot sampling yang diambil secara acak di kedua lokasi penelitian, didapatkan data yang tersaji pada Tabel 10. Bedasarkan Tabel 10, kisaran total jumlah tanaman pokok di Desa Sanenrejo berkisar antara 54.823 – 54.797 individu pohon dengan kisaran jumlah tanaman pokok per hektar antara 130 – 131 individu pohon. Persentase keberhasilan tumbuh tanaman pokok di Desa Sanenrejo adalah 32,62 – 32,63%. Sedangkan kisaran total jumlah tanaman pokok di Desa Wonoasri antara 69.952 – 70.119 individu pohon dengan luas lahan rehabilitasi sebesar 208,6 ha. Kisaran jumlah tanaman pokok per hektar adalah 335 – 336 individu. Persentase keberhasilan tumbuh tanaman pokok 83,83 – 83,91%. Walaupun luas lahan rehabilitasi di Desa Sanenrejo lebih luas yaitu 420 ha, bila dibandingkan dengan Desa Wonoasri, kisaran jumlah total tanaman pokok yang tumbuh di Desa Sanenrejo lebih sedikit, hal ini dikarenakan masyarakat di Desa Sanenrejo umumnya lebih memilih menanam sedikit tanaman pokok agar luasan lahan garapan mereka tidak terlalu berkurang.
(a) (b)
Gambar 7 Jumlah tanaman pokok di lokasi penelitian (a) Sanenrejo (b) Wonoasri. Hasil pengolahan data, masyarakat di kedua desa lokasi penelitian telah memberikan kontribusi terhadap upaya penanggulan perubahan iklim dengan turut serta dalam kegiatan RHL (menanam tanaman pokok sejak tahun 1999 sampai dengan sekarang) yang telah mereduksi CO2 menjadi karbon sejak lebih kurang
14 tahun terakhir. Kisaran CO2 yang direduksi menjadi karbon berbanding lurus
dengan jumlah tanaman pokok dan persentase keberhasilan tumbuh tanaman pokok. Jumlah simpanan karbon secara keseluruhan di Desa Sanenrejo sebesar 2.531,45 ton dengan kisaran simpanan karbon per hektar sebesar 6,03 ton/ha. Sedangkan kisaran jumlah simpanan karbon di Desa Wonoasri secara keseluruhan pada lahan rehabilitasi adalah 2.255,27 ton dan kisaran simpanan karbon per haktar sebesar 10,81 ton/ha. (Tabel 11)
Tabel 11 Jumlah simpanan karbon di lokasi penelitian Nama
Desa
Luas Lahan Rehabilitasi
(ha)
Kisaran Simpanan Karbon per Hektar
(ton/ha)
Kisaran Total Simpanan Karbon
(ton)
(1) (2)* (1) x (2)
Sanenrejo 420 6,03 2.531,45
Wonoasri 208,6 10,81 2.255,27
Sumber: Diolah dari data primer
Ket: *) (2) merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan allometrik
Kisaran CO2 yang direkduksi per hektar lahan melalui program ini di Desa
Sanenrejo dan Wonoasri memiliki selisih yang besar. Desa Wonoasri mereduksi CO2 lebih banyak dibandingkan Desa Sanenrejo yang berbanding lurus dengan
jumlah dan persentase keberhasilan tumbuh tanaman pokok di kedua desa. Hal ini dikarenakan kesadaran masyarakat di sekitar Resort Wonoasri untuk menanami
lahan kritis dengan tanaman pokok lebih besar dan keinginan untuk pengadaan program rehabitasi ini timbul atas inisiatif warga sekitar Resort Wonoasri. Berbeda hal-nya dengan di Resort Sanenrejo yang kesadaran untuk menanami lahan kritis timbul atas prakarsa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sehingga ketika program pendampingan oleh LSM berakhir, maka kesadaran masyarakat untuk menanami lahan kritis mulai menurun dan beralih kepada penanaman tanaman semusim yang intensif tanpa menghiraukan jumlah tanaman pokok di lahan garapan mereka. Di sisi lain kondisi kelerengan di wilayah Resort Sanenrejo lebih curam dan rawan bencana dibandingkan dengan Resort Wonoasri. Sehingga kemampuan tanaman pokok untuk bertahan hidup lebih kecil.
Peningkatan jumlah tanaman pokok merupakan salah satu bentuk kegiatan penanggulangan perubahan iklim yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khususnya CO2. Hal ini dikarenakan setiap batang tanaman
dapat menyerap CO2 dan merubahnya menjadi glukosa melalui proses fotosintesis
lalu menyimpannya dalam bentuk unsur karbon dalam bentuk biomassa. Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Brown (1997) bahwa hampir 50% dari biomassa vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon dimana unsur tersebut dapat dilepas ke atmosfer dalam bentuk CO2 apabila hutan dibakar atau ditebang habis sebagai
salah satu jalan hara keluar sehingga konsentrasinya bisa meningkat secara global di atmosfer.
Hasil penelitian ini apabila dibandingkan dengan kegiatan rehabilitasi di Cipendawa Megamendung Bogor yang diamati oleh Suciyani (2009) dimana jumlah karbon tersimpan sebesar 5,5 ton/ha. Hal ini menggambarkan bahwa kegiatan RHL di TNMB berjalan dengan baik. Jumlah karbon tersimpan berbanding lurus dengan jumlah CO2 yang diserap oleh tanaman di lahan tersebut.
5.3.2 Manfaat ekonomi
Hasil pengambilan data dengan menyebar kuisioner kepada 40 orang petani peserta kegiatan RHL menunjukan bahwa mata pencaharian utama responden peserta kegiatan RHL sebagian besar adalah sebagai petani dan sebagian besar tidak mempunyai mata pencaharian sampingan. (Gambar 8).
(a)
(b)
Gambar 8 Persentase mata pencaharian pokok (a) dan mata pencaharian sampingan (b) responden.
Berdasarkan Gambar 8 diketahui bahwa bertani adalah mata pencaharian utama responden yang mendominasi di kedua desa, dengan persentase 95% di Desa Sanenrejo dan 85% di Desa Wonoasri. Akibatnya mayoritas responden tidak memiliki sampingan karena kegiatan bertani dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Responden yang memiliki mata pencaharian sampingan sebagai peternak berpendapat bahwa mata pencaharian ini dapat dikerjakan oleh anggota keluarga lain dan dapat dilakukan oleh responden di sela-sela waktu senggang mereka. Ternak yang mereka pelihara berupa sapi.
17 1 1 1 19 0 0 1 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Petani Pensiunan PNS/ABRI Karyawan PTPN
Sanenrejo Wonoasri 3 1 3 2 11 0 0 1 6 13 0 2 4 6 8 10 12 14
Buruh PTPN Tukang Petani Ternak Tidak mempunyai
sampingan
Sanenrejo Wonoasri
Gambar 9 Ternak sapi yang menjadi sumber mata pencaharian responden. Hasil pengolahan data terhadap 40 responden di kedua desa lokasi penelitian tentang pendapatan, disajikan pada Tabel 12. Responden di Desa Sanenrejo memiliki pendapatan di luar rehabilitasi rata-rata per kepala keluarga per tahun Rp 660.000,00 dengan pendapatan rehabilitasi rata-rata per kepala keluarga per tahun sebeasar Rp 8.622.500,00. Pendapatan total rata-rata per kepala keluarga per tahun yaitu Rp 9.282.500,00. Kontribusi pendapatan dari kegiatan RHL sebesar 92,89% yang berarti menurut Gittinger (1986) berpengaruh nyata terhadap kehidupan masyarakat karena nilainya ≥ 20%.
Tabel 12 Kontribusi pendapatan petani peserta kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan Nama Desa Pendapatan di Luar Rehabilitasi Rata-Rata KK/Tahun Pendapatan Rehabilitasi Rata-Rata KK/Tahun Pendapatan Total Rata-Rata KK/Tahun Kontribusi Pendapatan (1) (2) (3) = (1) + (2) (4)* Sanenrejo Rp 660.000 Rp 8.622.500 Rp 9.282.500 92,89 % Wonoasri Rp 1.090.000 Rp 9.085.000 Rp 10.175.000 89,29 %
Sumber: Diolah dari data primer
Ket: *) (4) merupakan perbandingan antara kolom (2) dan kolom (3) dikalikan 100%
Petani peserta kegiatan RHL di Desa Wonoasri memiliki pendapatan di luar rehabilitasi rata-rata per kepala keluarga per tahun Rp 1.090.000,00 dan pendapatan rehabilitasi rata-rata per kepala keluarga per tahun sebesar Rp 9.085.000,00. Pendapatan total rata–rata per kepala keluarga per tahun adalah Rp 10.175.000,00. Kontribusi pendapatan dari kegiatan RHL sebesar 89,29% yang berarti berpengaruh nyata terhadap kehidupan petani.
Pendapatan dari lahan rehabilitasi merupakan pendapatan yang didapat oleh petani melalui kegiatan agroforestry. Pendapatan ini berupa hasil penjualan produksi tanaman semusim dan tanaman pokok yang telah memberikan hasil. Jenis tanaman pokok yang telah memberikan hasil antara lain nangka, pete, kemiri, pinang, mengkudu, dan sukun. Jenis tanaman pokok kedawung (Parkia timoriana) yang cukup banyak di lahan rehabilitasi petani sampai saat ini belum optimal memberikan hasil. Jenis tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus) tidak begitu menguntungkan bagi petani, hal ini disebabkan pada saat musim panen jumlah buah melimpah sehingga sebagian besar hasil panen tidak laku terjual hingga busuk. Sedangkan mengkudu (Morinda citrifolia) tidak memiliki pasar untuk penjualan hasil panen sehingga jenis tanaman ini dinilai oleh petani tidak memberi manfaat bagi penghasilan petani.
Hasil kegiatan RHL di kedua desa lokasi penelitian telah mampu memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat, khususnya terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Hal ini berkaitan langsung dengan upaya adaptasi perubahan iklim. Kegiatan tersebut telah mampu menciptakan ketahanan terhadap sumber penghasilan mereka. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat sudah tidak lagi bergantung mencari hasil hutan dengan merambah kawasan taman nasional, melainkan mengolah lahan di zona rehabilitasi TNMB.
5.3.3 Persepsi
Hasil pengolahan data terhadap 40 responden di kedua desa lokasi penelitian, tentang nilai persepsi masyarakat terhadap upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan RHL disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 menunjukkan nilai persepsi petani peserta kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Desa Sanenrejo adalah 2,44, yang menggambarkan bahwa tingkat persepsi petani program rehabilitasi hutan dan lahan terhadap upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan sedang. Berbeda hal-nya di Desa Wonoasri tingkat persepsi sebesar 1,57, yang menggambarkan bahwa tingkat persepsi petani peserta kegiatan RHL terhadap upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan RHL tinggi. Nilai tersebut cukup baik karena untuk menimbulkan kesadaran tentang kegiatan RHL pengelola telah meningkatkan intensitas kegiatan penyuluhan dan pendampingan. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya
PAM-SWAKARSA yang berangotakan petani peserta program kegiatan RHL. Organisasi ini dibentuk oleh taman nasional dengan tujuan mempermudah koordinasi dengan petani peserta kegiatan RHL, selain itu adanya kompetisi tahunan yang diselenggarakan rutin oleh pihak TNMB mengenai jumlah dan jenis yang ditanam oleh petani semakin meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menanam dan menjaga tanaman pokok. Tingkat persepsi ini menunjukkan bahwa petani peserta kegiatan RHL telah berkontribusi dalam upaya adaptasi perubahan iklim.
Tabel 13 Nilai persepsi petani peserta kegiatan RHL terhadap upaya adaptasi perubahan iklim
Nama Desa Nilai Persepsi Tingkat Persepsi
Sanenrejo 2,44 Sedang
Wonoasri 1,57 Tinggi
Sumber: Diolah dari data primer
Ket: Tingkat Persepsi
0 – 1,75 Tinggi 1,76 – 3,25 Sedang 3,26 – 5 Rendah
Perbedaan nilai persepsi tersebut yang dianalisis berdasaarkan skala Likert, disebabkan oleh kesadaran petani peserta kegiatan RHL di sekitar Resort Wonoasri untuk menanami lahan kritis dengan tanaman pokok lebih besar dan keinginan untuk pengadaan program rehabitasi ini timbul atas inisiatif warga sekitar Resort Wonoasri. Berbeda hal-nya dengan di Resort Sanenrejo yang kesadaran untuk menanami lahan kritis timbul atas prakarsa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sehingga ketika program pendampingan oleh LSM berakhir, maka kesadaran masyarakat untuk menanami lahan kritis mulai menurun. Dalam lima tahun terakhir pendampingan program rehabilitasi dilakukan oleh petugas TNMB, sehingga dalam pelaksanaan pendampingan tidak berjalan optimal yang disebabkan oleh terbatasnya personil petugas lapangan di TNMB. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah tanaman pokok yang ditanam oleh petani peserta RHL di Desa Wonoasri lebih banyak dibandingkan dengan tanaman pokok yang terdapat di Desa Sanenrejo. Petani merasakan bahwa kegiatan RHL ini mendatangkan banyak manfaat baik secara ekologi maupun secara ekonomi.
5.3.4 Skenario forest analog hasil rehabilitasi sebagai kompensasi bagi ekonomi masyarakat yang kehilangan akses
Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Taman Nasional Meru Betiri telah berlangsung sejak tahun 1999, hal ini mengartikan bahwa kegiatan RHL yang dilakukan telah memberikan dampak bagi kondisi lingkungan baik fisik maupun non-fisik. Dalam konteks perubahan iklim, dampak paling besar adalah reduksi CO₂ menjadi unsur karbon yang dilakukan oleh tanaman pokok melalui fotosintesis. Selain itu, hasil dari lahan tersebut memberikan sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar TNMB. Hasil perhitungan simpanan karbon, apabila dikonversi ke dalam kandungan CO₂ yang telah diserap lalu dikonversi ke dalam nilai ekonomi, cukup besar. (Tabel 14)
Tabel 14 Nilai konversi karbon Nama Desa Total Simpanan Karbon
(ton)
CO₂ yang Diserap
(ton) A/R Sukarela
(1) (2)* (3)**
Sanenrejo 2.531,45 9.290,41 Rp 1.761.306.214,54 Wonoasri 2.255,27 8.276,84 Rp 1.569.150.309,70
Sumber: Diolah dari data primer
Ket: *) (2) merupakan hasil kali kolom (1) terhadap faktor konversi CO₂ sebesar 3,67
**) (2) merupakan hasil kali kolom (1) dengan harga proyek Rp 189.583,26/tCO2e Jumlah yang harus dibayarkan oleh pihak yang berkepentingan sebagai kompensasi terhadap reduksi CO2 sebesar Rp 1.761.306.214,54 untuk Desa
Sanenrejo dan Rp 1.569.150.309,70 untuk Desa Wonoasri dalam kurun waktu 13 tahun. Namun jumlah pembayaran tersebut tidak tetap sepanjang kegiatan RHL terus berjalan dan disesuaikan dengan nilai tukar rupiah. Jumlah pembayaran ini juga tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh dari hasil menanam. Oleh karena itu diperlukan skenario untuk mengelola Zona Rehabilitasi TNMB, antara lain:
1. Masyarakat tetap melakukan kegiatan rehabilitasi dengan tanaman semusim dan tanaman pokok tanpa adanya pembayaran kompensasi reduksi CO2
sehingga masyarakat mendapatkan manfaat ekonomi berupa hasil panen tanaman pokok. Hal ini menyebabkan manfaat ekologi berupa pemulihan fungsi kawasan berkurang, dikarenakan akses masyarakat Zona Rehabilitasi sangat besar. Apabila dianalogikan keadaan hutannya akan seperti di
Sanenrejo yang memiliki kerapatan pohon yang jarang akibat adanya penanaman tanaman semusim yang memerlukan sinar matahari cukup banyak.
2. Masyarakat tetap melakukan kegiatan rehabilitasi dengan hanya menanam dan mengambil hasil panen tanaman pokok disertai pembayaran kompensasi reduksi CO2 yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah simpanan karbon.
Dengan demikian masyarakat memperoleh tambahan penghasilan dari pembayaran kompensasi tersebut. Apabila dianalogikan keadaan hutannya akan seperti pada Demplot 7 ha di Andongrejo yang memiliki keanekaragamanhayati yang cukup tinggi.
3. Masyarakat hanya mendapatkan pembayaran kompensasi reduksi CO2 tanpa
adanya kelanjutan kegiatan RHL, sehingga mereka tidak mendapatkan penghasilan dari kegiatan RHL. Namun berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 12 dan Tabel 14 jumlah pembayaran tersebut tidak sebanding dengan penghasilan petani dari hasil panen tanaman semusim maupun tanaman pokok. Akan tetapi pemulihan fungsi hutan akan berlangsung dengan baik, yang dikarenakan tidak adanya perawatan terhadap lahan tersebut. Apabila dianalogikan keadaan hutannya akan seperti pada Zona Rimba TNMB.
Meskipun nilainya tidak begitu besar, hal ini diharapkan dapat menjadi stimulus bagi kegiatan RHL di lokasi penelitian dalam menghadapi perubahan iklim dengan didukung nilai persepsi masyarakat terhadap perubahan iklim yang menunjukan angka cukup baik, sehingga nilai ekonomi yang besar ini diharapkan dapat menjadi stimulus untuk menambah kesadaran masyarakat sekitar TNMB untuk menjaga kelestarian hutan sebagai sumber karbon dan fungsi ekologis lainnya. Dengan kata lain nilai ekonomi penyerapan CO₂ tersebut dapat dijadikan stimulus bagi upaya adaptasi perubahan iklim oleh masyarakat sekitar TNMB. Masyarakat sekitar Taman Nasional Meru Betiri telah berkontribusi sangat besar terhadap upaya adapatasi perubahan iklim melalui kegiatan RHL ini, sehingga perlu diberikan apresiaisi yang besar mengingat nilai karbon tersimpan dan nilai CO₂ yang direduksi, meskipun pada dasarnya masyarakat sekitar TNMB belum mengetahui apa yang dimaksud dengan perubahan iklim dan apa yang dapat menanggulanginya. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, pengelola
melakukan penyuluhan maupun pendampingan mengenai perubahan iklim sehingga persepsi masyarakat yang selama ini terfokus kepada manfaat ekonomi dari kegiatan RHL perlahan mulai melirik manfaat ekologi.