• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADVOKASI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDI PERAN KOALISI PEREMPUAN INDONSIA (KPI) KOTA SALATIGA TAHUN 2010-2015) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ADVOKASI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDI PERAN KOALISI PEREMPUAN INDONSIA (KPI) KOTA SALATIGA TAHUN 2010-2015) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

ADVOKASI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(STUDI PERAN KOALISI PEREMPUAN INDONSIA (KPI)

KOTA SALATIGA TAHUN 2010-2015)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh:

Sri Jarwati

NIM 211-12-025

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS

SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

Yakilah Bahwa Setiap Usaha Pasti Akan

Sampai Pada Tujuannya

(6)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan

rahmat serta karunia-Nya, skripsi ini penulis persembahkan

untuk:

Bapak dan ibuku tercinta, Bapak Sartono dan Ibu Warsiti yang telah mencurahkan segenap kasih sayangnya, do’anya,

serta segala dukungannya dalam setiap langkah-langkahku.

Adik-adikku tersayang Wahyuningsih dan Wardoyo.

(7)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrohim

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga

penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ADVOKASI

PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KDRT (STUDI PERAN KPI KOTA

SALATIGA TAHUN 2010-2015”.

Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi agung, Nabi

Akhiruzzaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta

pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah

yang membawa umat manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang

benderang, yakni Dinul Islam.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan

dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan

skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Sukron Ma‟mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah.

(8)

4. Farkhani, S.H., S.H.I., M.H., selaku dosen pembimbing yang dengan iklas

membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu dan tenaganya untuk

penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.

5. Bapak serta Ibu dosen serta karyawan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Sekretaris Cabang KPI Kota Salatiga ibu Satuf Hidayah, S.E. yang telah

memberikan ilmu-ilmunya kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian

skripsi ini.

7. Keluarga besar HMI Cabang Salatiga.

8. Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung

dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga

hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya, serta pembaca

pada umumnya. Amin.

Salatiga, 25 September 2016

(9)

ABSTRAK

Jarwati, Sri. 2016. ADVOKASI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KDRT (STUDI PERAN KPI KOTA SALATIGA TAHUN 2010-2015). Skripsi. Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah. Fakultas Syariah. Institut Agama Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing: Farkhani, S.H.,S.H.I,.M.H.

Kata Kunci : Advokasi Korban KDRT, Peran KPI Kota Salatiga

Kekerasan perempuan dan anak merupakan masalah yang sudah lama

terjadi ditengah-tengah masyarakat, KDRT atau biasa juga disebut sebagai

kekerasan domestik (domestic violence) merupakan suatu masalah yang sangat

khas karena kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat

mulai dari masyarakat berstatus sosial rendah sampai masyarakat berstatus sosial

tinggi. Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak

dan pelakunya ialah suami. Hal ini mendorong aktivis perempuan gencar dan

terus menuntut haknya, banyak lembaga dan organisasi sosial yang gencar

menuntut haknya, salah satu organisasi sosial di Kota Salatiga yang perduli akan

perempuan ialah KPI (Koalisi perempuan Indonesia) Kota Salatiga. Peneliti

merumuskan dalam penelitian ini untuk mengetahui peran KPI Kota Salatiga

dalam mengadvokasi perempuan dan anak korban KDRT.

Peneliti menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yakni berupa

(10)

diamati dari hasil penelitian. Metode yang akan digunakan adalah dengan

melakukan wawancara, dan pemanfaatan dokumentasi.

KPI Kota Salatiga sangat minim berperan dalam mengadvokasi korban

kekerasan terhadap perempuan dan anak, terbukti dari sepuluh indikator

keberhasilan peran yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………...………..………...i

HALAMAN BERLOGO ……...………..…….. ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………….….……….… iii

HALAMAN PENGESAHAN NASKAH SKRIPSI …..……….…..….... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN …..……..…...…….…… v

HALAMAN MOTTO …………...………..…….…..vi

HALAMAN PERSEMBAHAN …..…………...……...…….………. vii

KATA PENGANTAR ……..……….…….……..…… ix

ABSTRAK ……..………..…..……….. xi

DAFTAR ISI ……...………...……….. xii

(11)

B. Rumusan Masalah ………..…….. 5

C. Tujuan Penelitian …..………..……….... 6

D. Kegunaan Penelitian ..………...…… 6

E. Penegasan Istilah …..………... 7

F. Telaah Pustaka …..………...…………... 11

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian ….………...………. 13

2. Lokasi Penelitian ……...………...………... 14

3. Sumber Data ……….…...………...………. 14

4. Prosedur pengumpulan Data ………..………….. 14

5. Analisis Data ………..……….. 15

H. Sistematikan Penulisan …………...……….... 16

BAB II TINJAUAN UMUM ADVOKASI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA TEORI PERAN A. Advokasi 1. Sejarah Advokasi ………..….…18

2. Pengertian Advokasi ……….……… 18

B. Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak 1. Pengertian Kekerasan Perempuan Dan Anak ………….. 24

2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak ………27

(12)

4. Dampak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak .…. 35

5. Perlindungan Terhadap Korban Dan Sanksi Hukum Pelaku

Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak ………….... 38

6. Menanggulangi Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak

………... 43

C. Teori Peran ………...………..………..…….……. 46

BAB III Laporan Hasil penelitian

A. KPI Kota Salatiga Dalam Mengadvokasi Kekerasan Terhadap

Perempuan Dan Anak Di Kota Salatiga.

1. Gambaran Umum KPI Kota Salatiga ……….…….. 50

2. Visi Dan Misi KPI Kota Salatiga …….………... 51

3. Sumber Daya Manusia KPI Kota Salatiga ………...……. 53

B. Tugas Dan Tanggung Jawab Serta Hambatan KPI Kota

Salatiga Dalam Mengadvokai Kekerasan Terhadap Perempuan

Dan Anak Di Kota Salatiga Tahun 2010-2015.

1. Tugas Dan Tanggung Jawab KPI Kota Salatiga Tahun

2010- 2015 …………..……….. 55

2. Hambatan KPI Kota Salatiga Dalam Upaya Advokasi

Kekerasan Terhadap Perempuan di Salatiga tahun 2010-

2015

(13)

C. Aktifitas KPI Kota Salatiga dalam Mengadvokasi Kekerasan

Terhadap Perempuan dan Anak Korban KDRT di Kota Salatiga

Tahun 2010- 2015 ………..……… 64

BAB IV Analisis Peran KPI Kota Salatiga Terhadap Advokasi Perempuan

Dan Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun

2010-2015

A. Analisis Dari Perbandingan Data Perempuan Dan Anak Korban

Kdrt Anatara Kpi Kota Salatiga Dan Ppa Polres Salatiga ... 72

B. Analisis Peran Dan Kinerja KPI Kota Salatiga ……...……... 74

BAB V PENUTUP

KESIMPULAN ……… 81

SARAN ……….. 81

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(14)
(15)
(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan suatu masalah yang

sudah lama terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dalam buku karangan Nawal El

Saadawi (2001:1) yang berjudul “Perempuan Dalam Budaya Patriarki”

menggambarkan bagaimana kekerasan dalam rumah tangga terjadi sejak adanya

budaya. Perempuan menjadi korban diskriminasi, penganiayaan, kekerasan

seksual dan lainnya diakibatkan oleh suatu budaya (patriarki).

KDRT atau biasa juga disebut sebagai kekerasan domestik (domestic

violence) merupakan suatu masalah yang sangat khas karena kekerasan dalam

rumah tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat

berstatus sosial rendah sampai masyarakat berstatus sosial tinggi. Sebagian besar

korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak dan pelakunya ialah

suami.

Dengan di keluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap perempuan khususnya,

penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan dengan keluarnya

Undang-Undang ini ada pergeseran dari masalah hukum privat ke hukum publik. Artinya

dalam meningkatkan perlindungan perempuan, negara ikut campur menentukan

hukuman bagi pelaku kekerasan.

Ironisnya, perempuan yang menjadi korban KDRT sering menutupi kasus ini. Ada

(17)

terkait faktor budaya patriarki masyarakat, agama, alasan-alasan subjektif korban

atau ketidaktahuan sistem hukum. Tidak berbeda dengan seorang anak yang

berada dalam rumah tangga yang posisinya lebih lemah, lebih rendah karena

secara fisik mereka memang lemah dari pada orang dewasa serta masih tergantung

pada orang-orang dewasa disekitarnya.

Harkristuti Harkrisnowo dalam artikelnya "Hukum Pidana dan Kekerasan

Terhadap Perempuan” (2000: 82-83) mengatakan adanya non-reporting of crime disebabkan :

1. Si korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinya

baik fisik, psikologis, dan sosial.

2. Si korban berkewajiban melindungi nama baik keluarganya

terutama pelaku adalah anggota keluarga.

3. Si korban merasa proses peradilan pidana belum tentu membuat

dipidananya pelaku.

4. Si korban khawatir bahwa proses kasus ini akan memcemarkan

nama baiknya, misalnya publikasi di media massa.

5. Si korban khawatir akan adanya pembalasan dari pelaku.

6. Lokasi kantor polisi yang jauh dari tempat tinggal korban

membuatnya enggan melapor.

7. Keyakinan korban bahwa walaupun ia melapor ia tidak akan

mendapat perlindungan khusus penegak hukum.

8. Ketidaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadapnya

(18)

Diundangkanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai payung hukum bagi para

Korban Kekerasan dalam rumah tangga, mendorong perubahan pandangan bagi

para korban untuk memberikan laporan-laporan tentang tindak kekerasan yang

dialami atau yang dilihat (Moerti, 2012: 37).

Lahirnya Women’s Crisis Center sebagai bukti kesadaran perempuan

untuk mempertahankan haknya. Women’s Crisis Center (WCC) memberikan

perlindungan kepada perempuan untuk mempertahankan haknya dan meminimalis

tindak kekerasan terhadap perempuan. Women’s Crisis Center diantaranya

Yayasan Annisa Swasti (YASANTI) Jogjakarta yang lahir pada 1982, Mitra

Perempuan, Yayasan Kalyanamitra tahun 1985, Koalisi Perempuan Indonesia

(KPI), Solidaritas Perempuan (SP), Komnas Perempuan yang lahir dengan

Keppres No. 181 tahun 1998, dan lembaga atau yayasan lainnya yang melindungi

dan mempertahankan hak perempuan. Lembaga-lembaga tersebut yang

dibutuhkan seorang korban (terutama perempuan) untuk mempertahankan dan

menuntut haknya.

Keberadaan lembaga-lembaga sosial ini juga melahirkan para aktivis

perempuan yang terus gencar mencari dan menuntut haknya. Salah satunya

Koalisi Perempuan Indonesia pertama kali diumumkan berdirinya pada tanggal 18

mei 1998 oleh sekelompok aktivis di Jakarta dengan dukungan 75 aktivis

perempuan dari berbagai daerah yang menyetujui dibentunya Koalisi Perempuan

Indonesia.

(19)

komnas perempuan (Moerti, 2012: 3). Pada tahun 2001 terdapat 3.160 kasus

KDRT. Jumlah kasus meningkat pada tahun 2002 menjadi 5.163. Pada tahun

2003, kasus KDRT meningkat menjadi 7.787 kasus, lalu pada tahun 2004

meningkat dengan jumlah 14.020, dan pada tahun 2005 berjumlah 20.391 kasus.

Data di atas, menunjukan bahwa kasus KDRT mengalami peningkatan

setiap tahun. Hal ini menujukan bahwa peran dari WCC atau lembaga sosial yang

bergerak dalam bidang perempuan sangat besar dalam memberikan sebuah

kesadaran kepada perempuan atau masyarakat luas tentang hak perempuan dan

anak serta dalam melakukan upaya mempertahankan hak perempuan dan anak.

Besarnya peranan lembaga-lembaga sosial atau WCC dalam menanamkan

kesadaran akan hak dan memberikan pendampingan serta perlindungan kepada

korban kasus KDRT dipengaruhi lahirnya perundang-undangan di Indonesia.

Lahirnya UU No. 23 tahun 2006 tentang penyelengaraan dan kerjasama

pemulihan korban KDRT, Peraturan Presiden No. 65 tahun 2005 tentang Komisi

Nasional Perempuan, Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya yang memberikan tugas

dan fungsi kepada lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam perlindungan

terhadap perempuan. Bahkan dalam rencana pembentukan peraturan

perundang-undagan tersebut tidak terlepas dari peran lembaga sosial.

KPI Kota Salatiga adalah salah satu lembaga sosial yang turut andil dalam

upaya membela hak-hak perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah

tangga. KPI merupakan organsasi yang bersifat independen dalam menjalankan

(20)

organisasi, nir-laba bahwa dalam menjalankan program-programnya tidak

mencari keuntungan semata-mata, non-partisan bahwa KPI tidak menjadi bagian

dari partai politik maupun organisasi yang menjadi bagian dari partai politik, non

sectarian bahwa KPI bukan menjadi bagian dari agama, aliran kepercayaan atau

aliran keyakinan tertentu.

Hal tersebut mendasari penulis untuk melakukan penelitian terhadap

lembaga sosial yang berorientasi kepada perempuan dan anak secara khusus

dalam hal kekerasan dalam rumah tangga di kota Salatiga. Menjadi latar belakang

penulisan skripsi dengan judul “Advokasi Perempuan dan Anak Korban

Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Peran Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)

Kota Salatiga tahu 2010-2015).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan diskripsi di atas maka perumusan masalah yang akan dibahas

adalah bagaimana peran KPI Kota Salatiga dalam mengadvokasi korban

kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2010-2015 ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka skripsi ini bertujuan untuk

mengetahui peran KPI Kota Salatiga dalam mengadvokasi korban kekerasan

dalam rumah tangga pada tahun 2010-2015.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

(21)

khususnya perempuan terhadap pemahaman KDRTdan Lembaga-

lembaga yang dapat membantunya ketika KDRT terjadi pada

dirinya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi civitas akademik sebagai bahan untuk memikirkan

dibentuknya suatu lembaga sosial yang berorientasi dalam

memberikan perlindungan hukum terhadap orang-orang

korban kekerasan dalam rumah tangga secara khusus dan

kekerasan terhadap perempuan dan anak secara luas.

b. Bagi lembaga penegak hukum dan lembaga lainya yang

disebutkan dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang

penghapusan KDRT untuk meningkatkan koordinasi

dengan lembaga sosial dalam melakukan upaya mengurangi

angka kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan

perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam

rumah tangga.

c. Bagi korban, keluarga korban, dan masyarakat untuk tidak

takut melaporkan kekerasan dalam rumah tangga dan

meminta pendampingan terhadap korban kepada lembaga

sosial yang ada.

E. Penegasan Istilah

1. Advokasi

(22)

demokratis yang kuat untuk membuat para penguasa bertanggung

jawab, dan menyangkut peningkatan keterampilan serta pengertian

rakyat tentang kekuasan itu bekerja. Advokasi memusatkan

perhatian pada banyak soal siapa dapat apa di masyarakat, seberapa

banyak mereka mendapatkannya, siapa yang ditinggalkan,

bagaimana uang rakyat dibelanjakan, bagaimana

keputusan-keputusan dibuat, bagaimana jumlah orang dicegah untuk ikut serta

dalam keputusan-keputusan itu, dan bagaimana informasi

dibagikan atau disembunyikan (Hermoyo, 2005:12).

Advokasi dapat didefinisikan sebagai proses melobi yang

terfokus untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan secara

langsung. Dalam situasi lain advokasi boleh jadi menekankan pada

proses pendidikan dan pemberdayaan yang ditujukan untuk

meningkatkan kesadaran politik masyarakat agar mereka dapat

menjadi pembela-pembela yang efektif.

2. Anak

Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia

anak menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan

hukum Islam. Secara internasional defenisi anak tertuang dalam

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau

United Nation Convention on The Right of The Child tahun 1989,

aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai

(23)

Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (“The

Beijing Rules”) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau

Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948. ( Marlina,

2005: 33)

Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan,

di antaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum

mencapai usia 21 tahun atau belum menikah. Undang-Undang

No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah

seorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih di dalam

kandungan, sedangkan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak telah

mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia18 tahun dan

belum pernah menikah. (Marlina, 2005: 33)

Defenisi anak yang ditetapkan perundang-undangan

berbeda dengan defenisi menurut hukum Islam dan hukum Adat.

Menurut hukum Islam dan hukum adat sama-sama menentukan

seseorang masih anak-anak atau sudah dewasa bukan dari usia

anak. Hal ini karena masing-masing anak berbeda usia untuk

mencapai tingkat kedewasaan. Hukum Islam menentukan defenisi

anak dilihat dari tanda-tanda pada seseorang apakah seseorang itu

sudah dewasa atau belum. Artinya seseorang dinyatakan sebagai

anak apabila anak tersebut belum memiliki tanda-tanda yang

(24)

Islam.

Ter Haar, seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum

adat memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu

anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi

seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan

rumah orang tua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan

keluarga sendiri (Marlina, 2005: 35).

Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 (1973),

pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke

bawah. Sebaliknya, dalam Convention on the Rights of the Child

(1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui

Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah

mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF

mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0

sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI No.4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah

mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah.

Sedangkan Undang-Undang Perkawinan menetapkan batas usia 16

tahun. (Abu Huraerah, 2000: 19)

3. Kekerasan dalam rumah tangga

Kekerasan merupakan suatu perbuatan tindak pidana yang

dilakukan seseorang terhadap orang lain yang dapat diberikan

(25)

WHO (WHO, 1999) kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik

dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri,

perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang

mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan

memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan

perkembangan atau perampasan hak. Menurut PERPPU Nomor 1

Tahun 2002, Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan

kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara

melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan

kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak

berdaya.

Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga diatur di

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Di dalam UU.No.

23 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah

Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau

penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah

tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan

atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam

lingkup rumah tangga.

F. Telaah pustaka

(26)

Menurut UU No. 23 Tahun 2004 dan Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan

Negeri Salatiga No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No: 20/Pid.B/PN. Sal/2006),

STAIN Salatiga 2007. Kesimpulannya antara lain menjelaskan Persoalan UU

PKDRT dan hukum Islam mempunyai semangat sama yang melandasi dua hukum

tersebut, yakni penghormatan terhadap martabat manusia, kaitannya dengan

hak-hak suami istri dalam rumah tangga serta anti kekerasan dan diskriminasi terhadap

perempuan. Dalam undang-undang sudah jelas ketentuan pidananya, sedang

dalam hukum Islam tidak ditentukan pidananya bagi mereka yang melakukan

kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga, akan tetapi kembali pada konsep

perkawinan yaitu sakinah, mawadah, warahmah. Dari sini jelaslah bahwa

kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga menurut UU PKDRT dan Hukum

Islam tidak diperbolehkan.

Dalam skripsi Eni Kusrini Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan

Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut PKDRT (Studi Kasus di

Polres Salatiga Tahun 2004-2006) STAIN Salatiga 2006 diantaranya memberikan

kesimpulan sebagai berikut : Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban

adalah kepolisian yang akan memberikan perlindungan dengan cara menerima

laporan dari pihak korban atau keluarganya; melakukan penyelidikan terhadap

pelaku tindak kekerasan; kepolisian menjelaskan hak-hak korban dan melakukan

penangkapan apabila pelaku tindak kekerasan melanggar penetapan perlindungan

dari pengadilan; vonis hukuman bagi pelaku sesuai dengan penetapan dari

pengadilan. Perlindungan yang diberikan oleh Polres Salatiga sudah sesuai dengan

(27)

Fitria Awwalin dalam skripsi Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah

Tangga (Studi Komparatif Terhadap Hukum Islam Dengan UU No. 23 Tahun

2004) STAIN Salatiga 2005, memberikan kesimpulan diantaranya sebagai

berikut:

Dalam hubungan dengan KDRT, hukum Islam dan UU KDRT memiliki

semangat yang sama. Asas yang melandasi keduanya adalah penghormatan

terhadap martabat manusia, penghormatan terhadap perempuan sebagai manusia

merdeka kaitanya dengan hak dan kewajiban suami istri, serta anti kekerasan dan

diskriminasi. Sedang semangat al Qur`an dalam masalah KDRT merupakan

paduan dari semangat: pembebasan (dari kekerasan riil yang dialami perempuan);

perlindungan (dari berbagai bentuk dan pelaku kekerasan); pemberdayaan (dari

lingkaran kekerasan yang selama ini membuat perempuan tidak berdaya);

pemulihan (dari perempuan yang dinistakan menjadi individu yang merdeka,

terhormat, bermartabat di mata Tuhan dan Manusia). Sebuah semangat yang

mengarah pada tujuan yang sama, yaitu penolakan terhadap segala bentuk

kekerasan terutama yang mengarah pada perempuan. Hal ini secara tidak langsung

”merubah” citra Islam, dari agama yang ”sangat dekat” dengan kekerasan menjadi

agama yang peduli pada perempuan sebagai manusia yang sering mendapat

kekerasan karena kondisi yang ”terlanjur” melemahkan posisi perempuan.

Tiga skripsi di atas pada umumnya membahas kekerasan terhadap

perempuan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dengan segala variasinya.

Sedangkan skripsi ini yang menjadi kajian utamanya yakni peran lembaga KPI

(28)

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis penelitian.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah penelitian penelitian lapangan (field research) yaitu peneliti

berangkat ke obyek yang akan diteliti untuk mengadakan

pengamatan tentang sesuatu fenomenon dalam suatu keadaan

alamiah atau „in situ‟ (Lexy J. Moloeng, 2011: 26).

2. Lokasi Penelitian.

Sesuai dengan judul skripsi yang penulis ajukan, maka

lokasi penelitian penulis adalah KPI Kota Salatiga, dan obyeknya

adalah peran KPI Kota Salatiga dalam advokasi korban KDRT.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Sumber data primer; yaitu hasil temuan data di lapangan

melalui wawancara dengan Pihak KPI Kota Salatiga.

b) Sumber data sekunder; yaitu data yang diperoleh dari

literatur buku-buku, surat kabar, majalah, catatan,

perundang-undangan dan kepustakaan ilmiah lain yang

menjadi referensi maupun sumber pelengkap penelitian.

4. Prosedur pengumpulan data.

a. Wawancara.

Metode wawancara yaitu sebuah dialog yang

(29)

dari terwawancara (Arikunto, 1998:115). Pengumpulan

data dengan cara mengadakan wawancara langsung dengan

pihak-pihak yang berkaitan. Wawancara penulis lakukan

terhadap penaggungjawab kegiatan penanggulangan

kekerasan terhadap perempuan pada KPI Kota Salatiga

serta orang-orang yang berkompeten dalam pokok

permasalahan.

b. Dokumentasi.

Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai

hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku,

surat kabar, majalah, agenda, dan sebagainya (Suharsimi,

1997 : 236).

Dalam penelitian ini, penulis mencari data dari

buku, majalah, transkrip, foto, dan catatan yang terkait

aktivitas KPI Kota Salatiga, sehingga data tersebut dapat

digunakan untuk menambah data yang ada pada peneliti.

5. Analisis data.

Dalam menganalisis hasil data yang diperoleh pada

penelitian ini digunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yakni

berupa penjelasan kata- kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati dari hasil penelitian (Moleong, 2001:

3). Pendekatan ini penulis gunakan untuk menganalisis berbagai

(30)

terhadap perempuan di Kota Salatiga.

6. Pengecekan keabsahaan data.

Untuk menghindari ketidakakuratan data yang telah

diperoleh dalam penelitian, penulis akan mengkonfirmasikan

terhadap berbagai pihak yang yang berkaitan. Misal; data jumlah

kekerasan terhadap perempuan yang diperoleh dari KPI akan

dikonfirmasikan pada bagian Perlindungan Perempuan dan Anak

(PPA) Polres Salatiga atau Pengedilan Negeri Salatiga yang secara

hukum menjadi bagian dari dua lembaga ini. Bila perlu validitas

data akan dipertajam dengan wawancara dengan korban kekerasan

terhadap perempuan dan anak.

H. Sistematika Penulisan.

Pembahasan skripsi ini melalui tiga tahap, yaitu pendahuluan, isi,

dan penutup. Dari bagian-bagian tersebut terdiri dari bab-bab dan dalam

bab tersebut terdapat sub-sub bab. Sistematika pembahasannya dapat

dilihat sebagai berikut :

Pada bagian isi skripsi didalamnya terdiri dari lima bab.

Keseluruhannya dapat dilihat sebagai berikut : Bab I : pendahuluan yang

menguraikan; latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan penelitian,

(31)

dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II : Tinjauan umum advokasi kekerasan terhadap perempuan

dan anak, secara garis besar kajian pustaka berisi tentang: pengertian

kekerasan terhadap perempuan dan anak; bentuk- bentuk kekerasan

terhadap perempuan dan anak; sebab-sebab kekerasan terhadap perempuan

dan anak; dampak kekerasan terhadap perempuan dan anak; perlindungan

terhadap korban dan sangsi hukum pelaku kekerasan terhadap perempuan

anak; menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak; teori

peran.

Bab III : Laporan Hasil Penelitian, berisi tentang : gambaran umum

koalisi perempan indonesia Kota Salatiga; tugas dan tanggung jawab

koalisi perempuan Indonesia Kota Salatiga; kekerasan terhadap perempuan

di Kota Salatiga tahun 2010-2015 yang melapor ke KPI Kota Salatiga.

Bab IV : Analisis Advokasi perempuan dan anak korban kekerasan

dalam rumah tangga (Studi Peran KPI Kota Salatiga Tahun 2010-2015).

(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM ADVOKASI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA TEORI PERAN A. Advokasi

1. Sejarah Advokasi

Advokasi semula berasal dari bahasa Latin yaitu

“advocates” mengandung arti pembelaan yang memberikan

bantuan hukum atau pertolongan dalam soal-soal hukum. Bantuan

atau pertolongan ini bersifat memberi nasehat-nasehat sebagai

jasa-jasa baik, dalam perkembangannya kemudian dapat diminta oleh

siapapun yang memerlukan, membutuhkannya untuk beracara

dalam hukum (Lasdin Wlas, 1989: 2).

Semenjak abad pertengahan kerajaan romawi dinamakan

Duivel Advocaten yaitu bertugas memberikan segala macam

keberatan-keberatan dan nasehat-nasehat dalam suatu acara

pernyataan suci bagi seseorang yang telah meninggal (Lasdin Wlas,

1989: 2).

2. Pengertian Advokasi

Definisi advokasi beraneka ragam serta berubah-ubah

sepanjang waktu tergantung pada keadaan, kekuasaan, dan politik

pada suatu kawasan tertentu. Advokasi menurut bahasa adalah

(33)

Menurut Valerie Miller dan Jane Covey (2005: 12-13)

dalam bukunya yang berjudul advokasi adalah proses perhubungan

dan transformasi sosial yang diarahkan untuk membuat

hubungan-hubungan kekuasaan di masyarakat lebih demokratis, seraya

menjamin orang-orang yang dipinggirkan mendapat tempat dalam

keputusan-keputusan publik dan membuat hidup mereka lebih

sehat, aman dan produktif.

Kaminski dan Walmsley (1995) menjelaskan bahwa

advokasi adalah satu aktivitas yang menunjukkan keunggulan

pekerjaan sosial berbanding profesi lain. Selain itu, banyak

defenisi yang diberikan mengenai advokasi. Beberapa di

antaranya mendefinisikan advokasi adalah suatu tindakan yang

ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan atas program dari

suatu institusi (Desi Anwar, 2003: 17).

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan (2001: 23)

mengartikan advokasi sebagai upaya pemberian jaminan kepada

pihak yang sedang terlibat dengan kasus untuk memperoleh

keadilan. Advokasi bisa diartikan sebagai pendampingan, yakni

pendampingan yang dilakukan terhadap korban untuk

memperoleh keadilan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

mengartikan pendampingan sebagai pekerja sosial yang

mempunyai kompetensi di dalam bidangnya. Jika pendampingan

(34)

Jika pendampingan bertujuan untuk memulihkan kondisi psikis

korban, maka harus dilakukan psikolog atau konselor.

Dalam mengadvokasi perempuan dan anak korban KDRT

mempunyai dasar hukum sebagai berikut :

a. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pasal 10 menyatakan bahwa korban berhak

mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak

lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan

perintah perlindungan dari pengadilan.

b. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia

Pasal 8 menyatakan “perlindungan, penegakan dan

pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung

jawab pemerintah”.

Pasal 65 menyatakan‚ setiap anak berhak untuk

memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan

pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari

berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika,

dan zat adiktif lainnya‛.

c. Undang- Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

(35)

Pasal 5 menyatakan, seorang saksi dan korban

berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,

keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman

yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau

telah diberikannya;

d. Undang Undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak

Pasal 69 menjelaskan perlindungan khusus bagi

anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal

sebelumnya yakni pasal 59 Undang-Undang ini adalah

meliputi kekerasan fisik, psikis dan seksual dilakukan

melalui upaya: penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan

peraturan perundang-undangan yang melindungi anak

korban tindak kekerasan; dan pemantauan pelaporan dan

pemberian sanksi.

Dari ketiga undang-undang di atas, dijadikan sebagai dasar

dilaksanakannya advokasi perlindungan terhadap perempuan dan

anak korban KDRT, serta dapat menguatkan posisi pendamping

ketika melakukan advokasi perlindungan hukum.

Bentuk advokasi dalam perlindungan hukum perempuan dan

anak korban KDRT, yang diperjuangkan ialah hak- hak perempuan

(36)

hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi.

Bentuk advokasi perlindungan korban, sebagai berikut:

a. Reparasi

Reparasi adalah upaya pemulihan kondisi korban

pelanggaran HAM kembali ke kondisinya sebelum terjadi

pelanggaran HAM tersebut pada dirinya (YLBHI, 2007: 304).

Reparasi meliputi beberapa aspek memulihkan korban pasca

pelanggaran HAM. Di antaranya adalah pemulihan kondisi fisik,

psikis, harta benda atau status sosial korban yang dirampas.

b. Kompensasi

Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh

negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian

sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya (UU No.3 tahun

2002)

c. Restitusi

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada

korban atau keluarganya oleh oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat

berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian

untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk

tindakan tertentu ( UU No. 3 Tahun 2002).

d. Rehabilitasi

Rehabilitasi korban KDRT adalah tindakan fisik dan

(37)

penyesuaian diri secara maksimal dan untuk mempersiapkan

korban secara fisik, mental dan sosial dalam kehidupannya di masa

mendatang. Dalam hal korban kejahatan secara globlal, rehabilitasi

diartikan dengan pemulihan kedudukan semula, misalnya

kehormatan, nama baik dan jabatan (Agustinus Edy K, 2009: 305).

Tujuan rehabilitasi meliputi aspek medik, psikologik dan

sosial.

Dalam mengadvokasi korban KDRT bisa dilakukan oleh

banyak pihak seperti individu, kelompok, atau organisasi, seperti yang

disampaikan Elbiando Lumban Gaol dalam artikelnya bahwa yang

berhak mengadvokasi diantaranya (Abdul Wahid dan Muhammad

Irfan, 2001: 23):

a. Mahasiwa (individu) atau organisasi/Komunitas

kemahasiswaan.

b. Organisasi masyarakat dan organisasi politik.

c. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Organisasi

non-pemerintah.

d. Komunitas masyarakat, serta organisasi-organisasi masyarakat.

e. Organisasi keagamaan.

f. Media.

B. Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak

(38)

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan

terhadap perempuan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau

penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelanataran

rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum

dala lingkup rumah tangga. Dalam kamus besar bahasa Indonesia

(Suharso, 2009: 240) kata kekerasan diartikan sebagai perbuatan

seseorang atau kelompok yang menyebabkan kerugian fisik

maupun non fisik.

Zaitunah Subbhan (2006: 6-7) dalam bukunya dari beberapa

sumber makna kekerasan terhadap perempuan, antara lain:

1. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang

melanggar, menghambat, meniadakan kenikmatan, dan

pengabaian hak asasi perempuan atas dasar gender.

Tindakan tersebut mengakibatkan (dapat mengakibatkan)

kerugian dan penderitaan terhadap perempuan dalam

hidupnya, baik secara fisik, psikis, maupun seksual.

Termasuk didalamnya ancaman, paksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam

(39)

bernegara (Kantor Menteri Negara PP.RAN PKTP, Tahun

2001-2004);

2. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan

berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang mengakibatkan

kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik,

seksual, atau psikologis. Termasuk ancaman tindakan

tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara

sewenang-wenang, baik dalam kehidupan publik maupun

kehidupan pribadi (lihat pasal 2 Deklarasi PBB tentang

Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan);

3. Kekerasan maupun kehidupan perempuan adalah sebuah

tindakan sosial, dimana pelaku-pelakunya hrus

memepertanggungjawabkan tindakanya kepada masyarakat

(Lee Ann Hoff, 1994: 5-9);

4. Kekerasan terhadap perempuan adalah perilaku yang

muncul sebagai akibat adanya bayangan tentang peran

identitas berdasarkan jenis kelamin, dan berkaitan dengan

bayangan mengenai kekuasaan yang dapat dimilikinya.

Kekerasan terdiri atas tindakan memaksakan kekuatan fisik

dan kekuasaan pihak lain. Biasanya diikuti dengan tujuan

untuk mengontrol, memperlemah, bahkan menyakiti pihak

(40)

beberapa fenomena, baik hukum, etika, kesehatan, budaya,

politik, maupun moral (Hentietta Moore, 1994: 66).

Sedangkan kekerasan terhadap anak adalah perbuatan

menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik

maupun emosional, istilah kekerasan terhadap anak meliputi

berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik

secara langsung oleh orangtua atau orang dewasa lainnya sampai

kepada penelantaraan kebutuhan-kebutuhan dasar anak (Richaed J.

Gelles, 2004: 1).

Barker (1987: 23) mendefinisikan kekerasan terhadap anak

adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan

emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan

hasrat, hukuman badan yanbg tidak terkendali, gegradasi dan

cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan

para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.

2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak.

Secara umum kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan

dan anak yang pernah terjadi adalah kekerasan terhadap istri,

perkosaan, kekerasan dalam pacaran, pelecehan seksual, kekerasan

dalam keluarga, dan perdagangan perempuan dan anak (Rifka

(41)

Adapun betuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan

diantaranya meliputi hal-hal sebagai berikut:

a) Kekerasan fisik berupa pemukulan, tamparan, pejambaan

dan segala tidakan yang menyerang fisik atau menyebabkan

luka fisik perempuan.

b) Kekerasan psikologis berupa umpatan, ejekan, cemoohan,

dan segala tindakan yang mengakibatkan tekanan psikologis

termasuk ancaman dan pengekangan yang berakibat pada

gangguan mental dan jiwa seperti adanya trauma, hilangnya

kepercayaan diri, dan berbagai akibat negatif lainnya.

c) Kekerasan seksual berupa perkosaan, pelecehan seksual,

hingga pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan

(marital rape) maupun incent.

d) Ekonomi berupa tidak diberikanya nafkah bagi perempuan

yang berstatus ibu rumah tanggga untuk kebutuhan hidup

sehari-hari, dilarang bekerja, dipaksa untuk bekerja,

dieksploitasi secara ekonomi (Rifka Annisa, tt:6-7).

Dalam undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT),

kekerasan dalam rumah tangga dapat terwujud :

a) Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa

(42)

b) Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilanya kemampuan

untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan

psikis berat pada seseorang (Pasal 7);

c) Kekerasan seksual yaitu yang meliputi pemaksaan

hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang

menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan/atau

pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam

lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk

komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 8);

d) Setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup

rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku

baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib

memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan

kepada orang tersebut. Dalam hal ini juga berlaku bagi

setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi

dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja

yang layak didalam atau diluar rumah korban berada

dibawah kendali orang tersebut (Pasal 9).

Menurut Suharto (1997: 365-366) klasifikasi kekerasan

terhadap anak (child abuse) dibagi menjadi empat bentuk, yaitu

kekerasan secara fisik (physical abuse), kekerasan secara

(43)

abuse), dan kekerasan sosial (sosial abuse). Keempat bentuk

kekerasaan terhadap anak dijelaskan sebagai berikut:

1. Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan

penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa

menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan

luka-luka fisik atau kematian anak. Bentuk luka dapat

berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan

benda tumpul.

2. Kekerasan anak secara psikis meliputi penghardikan,

penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan

buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang

mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukan gejala

perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis

jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu dengan

orang lain.

3. Kekerasan anak secara seksual dapat berupa perlakuan

pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar,

maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara

anak dengan orang dewasa (incent, perkosaan, eksploitasi

seksual).

4. Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran

anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap

(44)

yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak.

Misalnya, anak dikucilan, diasingkan dari keluarga, atau

tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang

layak. Eksploitasi anak menunjukan pada sikap

diskriminatif atau perlakuan sewenag-wenang terhadap

anak yang keluarga atau masyarakat (Abu Huraerah, 2012:

47-48).

3. Sebab-Sebab Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.

Kekerasan terhadap perempuan sebenarnya sudah menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia.

Karena keterbatasan wawasan akan makna dan norma kehidupan,

maka kekerasan dianggap sebagai suatu yang biasa terjadi. Bahkan

menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat. Namun

demikian tindak kekerasan yang terjadi terhadap perempuan tidak

terjadi begitu saja, tapi ada beberapa faktor yang

melatarbelakanginya, antara lain:

a) Budaya patriarki. Budaya ini menyakini bahwa laki-laki

adalah superior dan perempuan adalah interior sehingga

laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol

perempuan.

b) Interpretasi yang keliru atas ajaran agama. Sering ajaran

(45)

diinterpretasikan sebagai pembolehan mengontrol dan

menguasai istrinya.

c) Pengaruh role model. Anak laki-laki yang tumbuh dalam

lingkungan keluarga yang ayahnya suka memukul/kasar

kepada ibunya, cenderung akan meniru pola tersebut kepada

pasanganya kelak (Elli N Hasbianto, 1999: 193-194).

Sedangkan faktor-faktor lain penyebab terjadinya kekerasan

terhadap perempuan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh

PSW IAIN Sumatra Utara Kota Medan adalah sebagai berikut :

1. Fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan

setara dalam masyarakat.

2. Masyarakat masih membesarkan anak lelaki dengan didikan

yang bertumpukan pada kekuatan fisik, yaitu untuk

menumbuhkan keyakinan bahwa mereka harus kuat dan

berani serta tidak toleran.

3. Budaya mengkondisikan perempuan dan istri tergantung

keada suami, khususnya secara ekonomi.

4. Persepsi tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga

yang dianggap harus ditutup karena termasukwilayah privat

suami istri dan bukan sebagai persoalan sosial.

5. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama tentang

penghormatan pada posisi suami, tentang aturan mendidik

(46)

6. Kondisi kepribadian dan psikologis suami yang tidak stabil

dan tidak benar, diantaranya :

a) Komunikasi yang tersumbat, artinya suami dalam

menyelesaikan masalah tidak didasari dengan asas

keterbukaan sehingga menimbulkan kecurigaan dan

kadang-kadang terjadi kebohongan terhadap istri.

b) Suami memepunyai wanita idaman lain (WIL)

c) Suami mempunyai tabiat atau sifat yang emosional,

labil, stress maupun frustasi.

d) Suami tidak percaya diri.

e) Suami mempunyai masalah dengan alkohol dan

obat-obatan.

f) Kekerasan sebagai sumber daya untuk

menyelesaikan masalah (pola kebiasaan turunan

keluarga atau orang tua) (Fathul Djannah, 2003:

20-21).

Terjadi kekerasan terhadap anak juga disebabkan berbagai

faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor yang memengaruhinya

demikian kompleks, yang disebabkan oleh faktor internal yang

berasal dari anak itu sendiri maupun faktor eksternal yang berasal

dari kondidi keluarga dan masyarakat, seperti :

1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan

(47)

tempramen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya,

anak terlau bergantung pada orang dewasa.

2. Kemiskinan keluarga, orang tua mengganggur, penghasilan

tidak cukup, banyak anak.

3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home),

misalnya perceraian, ketiadaanketiadaan ibu untuk jangka

panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu

memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.

4. Keluarga yang belum matang secara psikologis,

ketidaktahuan mendidik anak, harapan orangtua yang tidak

realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak

yang lahir diluar nikah.

5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau

kedua orangtua, misalnya tidak mampu merawat dan

mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.

6. Sejarah penelantaraan anak. Orangtua yang semasa kecilnya

mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salh

anak-anaknya.

7. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh,

tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh

terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai

(48)

upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme

kontrol sosial yang stabil (Suharto, 1997: 366-367).

Sementara itu, Rusmil (2004: 60) menjelaskan bahwa

penyebab atau resiko terjadinya kekerasan dan penelantaraan

terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu: faktor

orangtua/keluarga, faktor lingkungan sosial/komunitas, dan faktor

anak sendiri.

Moore dan Parton sebagaimana dikutip Fentini Nugroho

(1992: 41) mengungkapkan ada orang yang berpendapat bahwa

kekerasan terhadap anak lebih disebabkan oleh faktor individual

dan ada juga yang menganggap bahwa faktor struktur sosial yang

lebih penting.

Sedangkan Richard J. Gelles (2004: 4-6) mengemukakan

bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari

berbagai faktor: personal, sosial, dan kultural. Faktor-faktor

tersebut dapat dikelompokan ke dalam empat kategori utama,

yaitu: pewarisan kekerasan antar generasi (intergenerational

transmission of violence), stres sosial (sosial stress), isolasi sosial

dan keterlibatan masyarakat bawah (sosial isolation and low

community involvement), dan struktur keluarga (family structure).

(49)

Kekerasan terhadap perempuan dan anak mempunyai

dampak yang ditimbulkan bagi dirinya korban, orang lain, ataupun

pelaku, diantarnya ;

1. Dampak positif, meskipun kekerasan terhadap perempuan

termasuk dalam tindakan kriminalitas, tetapi ada dampak

positif yang ditimbulkan, diantaranya korban kekerasan bisa

mengendalikan kesadaranya untuk lebih membuka mata

terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang dialami. Selain itu,

masyarakat juga bisa melihat akibatnya, sehingga bisa

mengambil pelajaran.

2. Dampak negatif, akan mengalami dampak jangka panjang

dan jangka pendek. Dampak jangka panjang bisa dilihat

dari segi fisik dan psikologi. Dari segi fisik, biasanya

korban mengalami luka-luka akibat kekerasan yang

dilakukan oleh suami. Dari segi psikologi, biasanya korban

merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan

terhina. Gangguan emosi biasanya menyebabkan terjadinya

kesulitan tidur (insomnia) dan kehilangan nafsu makan (lost

apetite), cemas, depresi berat.

Dampak jangka panjang kekerasan terhadap

perempuan bila korban tidak mendapatkan penanganan atau

bantuan konsultasi psikologi yang memadahi, korban dapat

(50)

juga bisa menyebabkan kematian, gangguan kesehatan

fisik.

Bila perempuan sebagai istri, dan korban kekerasan dalam

rumah tangga biasanya mengasuh anaknya sendirian dan biasanya

hanya hidup dengan sedikit materi bahkan biasanya tidak ada sama

sekali sehingga menjadi problem moral dan sosial tersendiri bagi

masyarakat dan lingkungan.

Anak-anak korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya

tumbuh dalam suasana psikologis tidak aman sehingga cenderung

akan melakukan tindakan-tindakan berlawanan dengan norma

susila dan keagamaan, misalnya pencurian, permpokan, penipuan,

sebagi jalan terakhir mempertahakan kehidupan mereka.

YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia)

menyimpulkan bahwa kekerasan dapat menyebabkan anak

kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupanya dan

pada giliranya berdampak sangat serius pada kehidupan anak

dikemudian hari, antara lain :

1. Cacat tubuh permanen

2. Kegagalan belajar

3. Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada

gangguan kepribadian

4. Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk

(51)

5. Pasif dan menarik dirin dari lingkungan, takut membina

hubungan yang baru dengan orang lain

6. Agresif dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal

7. Menjadi penganiaya ketika dewasa

8. Menggunakan obat-obatan atau alkohol

9. Kematian (suharto, 1997: 367-368).

Sedangkan Richard J. Gelles (2004: 6-7) menjelakan bahwa

konsekensi dari tindakan kekerasan dan penelantaran anak dapat

menimbulkan kerusakan dan akibat yang lebih luas. Luka-luka

fisik seperti menar-memar, goresan-goresan, dan luka bakar hingga

merusak otak, cacat permanen, dan kematian. Efek psikologis pada

anak korban kekerasan dan penganiayaan bisa seumur hidup,

seperti rasa harga diri rendah, ketidakmampuan berhubungan

dengan teman sebaya, masa masa perhatian tereduksi, dan

gangguan belajar. Dalam beberapa kasus, kekerasan dapat

mengakibatkan gangguan-gangguan kejiwaan, seperti depresi,

kecemasan berlebihan, atau gangguan identitas disosiatif dan juga

bertambahnya risiko bunuh diri.

5. Perlindungan Terhadap Korban Dan Sanksi Hukum Pelaku

Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak

Dalam UU No. 23 tahun 2004 memberikan penegasan dan

(52)

kekerasan. Hal ini senagimana ditegaskan dalam pasal 10 yang

menyatakan bahwa korban kekerasan berhak mendaptkan :

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaaan,

pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya

baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah

perlindungan dengan kebutuhan medis;

b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis:

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan

korban;

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada

setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

e. Pelayanan bimbingan rohani.

Sanksi hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap

perempuan diantaranya pidana, yaitu pengenaan penderitaaan atau

nestapa oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan kepada

orang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang

(Zuhairini, 2011 :78).

Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tidak

mengenal istilah kekerasan, KUHP menggunakan istilah

penganiayaan yang merupakan jenis perilaku yang menggunakan

kekerasan seperti yang diatur dalam pasal 351-355 KUHP,

(53)

sepertiga jika penganiayaan itu dilakukan terhadap ibunya,

bapaknya yang sah, isteri/suaminya. Pasal 89 KUHP menyebutkan

bahwa yang dinamakan melakukan kekerasan adalah “membuat orang menjadi pingsan atau tak berdaya lagi(lemah)” adapun pasal -pasal yang diterapkan bagi pelaku kekerasan diantaranya dapat

dilihat senbagai berikut :

1. Pasal 285, pasal 286, pasal 288, pasal 289, pasal 290, pasal

291, pasal 293, pasal 295, pasal 296 dan pasal 297 Bab XIV

KUHP tentang kejahatan kesusilaan;

2. Pasal 328, pasal 330, pasal 332, pasal 333, pasal 335, pasal

336 Bab XVIII KUHP tentang kejahatan terhadap

kemerdekaan orang;

3. Pasal 328, pasal 339, pasal 340, pasal 347 Bab XIX KUHP

tentang kejahatan terhadap nyawa;

4. Pasal 351, pasal 352, pasal 354, pasal 355, pasal 356 Bab

XX KUHP tentang penganiayaan;

5. Pasal 368 BAB XXIII KUHP tentang pemerasan dan

pengancaman.

Dalam UU No. 23 Tahun 2004 sanksi hukum terhadap

pelaku kekerasan dalam rumah tangga diantaranya termaktub pada

pasal 44, yaitu:

“(1)setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan

(54)

dimaksud pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling

banyak Rp. 15.000.000. (lima belas juta rupiah). (2)

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada

ayat 1 mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit

atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling

lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.

30.000.000. (tiga puluh juta rupiah).(3) Dalam hal

perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2

mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 15(lima belas tahun) atau

denga paling banyak Rp. 45.000.000. (empat puluh

lima juta rupiah). (4) Dalam hal perbuatan

sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh

suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk

menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian

atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling

banyak Rp. 5.000.000. (lima juta rupiah)”.

Dalam hal pemaksaan hubungan seksual terhadap oranf

yang menetap dalam lingkunga rumah tangga, pasal 46

(55)

“setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan

seksual sebagimana dimaksud pasal 8 huruf a

dipidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun

atau denda paling banyak Rp. 36.000.000. (tiga puluh

enam juta rupiah)”.

Terhadap orang yang melakukan pemaksaan hubungan

seksual terhadap salah seorang dalam lingkungan rumah tangganya

dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu,

pasal 47 memberikan ancaman sebagai berikut:

“setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya untuk melakukan hubungan

seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15

(lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp.

12.000.000. (dua belas juta rupiah) atau denda paling

banyak Rp. 300.000.000. (tiga ratus juta rupiah)”.

Begitu pula orang yang lalai dari tanggung jawabnya atau

menelantarkan orang lain yang menjadi tanggung jawab dalam

rumah tangganya, maka akan mendapatkan sanksi hukum dipidana

paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling sedikit Rp.

15.000.000. (lima belas juta rupiah) sebagaimana tertera

(56)

Melihat beberapa pasal yang telah dikutip di atas, sanksi

hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga ternyata

sudah cukup berat, namun kenyataanya kekerasan terus membawa

korban, baik yang diungkapkan maupun yang tidak. Hal ini harus

menjadi pekerjaan bersama untuk menjaga dan menjadikan tatanan

masyarakat yang lebih harmonis dan berkeadilan.

6. Menanggulangi Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak

Beberapa langkah yang bisa diterapkan dalam rangka

menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga, diantaranya

sebagaimana dikemukakan Zuhriani (2011: 93-96) sebagai berikut :

a. Pre-Emptif

Pengertian pre-emtif adalah menduduki lebih

dahulu atau memiliki lebih dahulu (Jhon M. Echol dan

Hasan Shadiliy, 1992: 443). Maka maksud dari tahap ini

adalah kepemilikan terhadap berbagai tindakan yang

menyangkut kekerasan terhadap perempuan dan anak mulai

dari penyusunan kebijakan, pelaksanaan dan tindak

lanjutnya.

Langkah pre-emtif ini menjadi signifikan karena

ditetapkanya UU No. 23 tahun 2004 merupakan bagian

penting dari upaya mencegah dan menghapus tindak

kekerasan terhadap perempuan. Hal ini sebagaimana

(57)

undang-undang tersebut adalah “mencegah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga,

melindungi korbang kekerasan dalam rumah tangga,

menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,

memelihara kerukunan rumah tangga yang harmonis dan

sejahtera”.

b. Preventif

Pengertian kata preventif adalah tindakan

pencegahaan (Jhon M. Echols dan Hasan Sadiliy, 1992:

446). Maksud dari tahap ini adalah berbagai tindakan yang

dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap

perempuan. Pada tahap ini langkah-langkah yang bisa

dilakukan diantaranya:

1) Memberikan penyuluhan tentang kasus kekerasan

terhadap perempuan dan anak kepada masyarakat,

hal ini dilakukan agar masyarakat mengetahui

bahwa melakukan tindakan kekerasan terhadap

perempuan dalam rumah tangga maupun perempuan

dan anak pada umumnya merupakan tindakan yang

bertentangan dengan hukum dan akan mendapatkan

sanksi.

2) Memberikan penyuluhan tentang kekerasan terhadap

(58)

oleh guru atau para pendidik. Penyuluhan ini

dilakukan dengan maksud agar siswa mengetahui

bahwa diri mereka terlindungi oleh hukum, yaitu

yang diatur dalam UU Perlindungan Anak No. 23

Tahun 2002, serta UU Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004.

3) Ceramah atau penyuluhan ini dilakukan agar para

siswa mengetahui bahwa jika ada anggota keluarga

atau rumah tangganya melakukan tindak kekerasan

maka perbuatan tersebut merupakan tindakan

melawan hukum dan mendapat sanksi.

c. Represif

Represif adalah melakukan tindakan-tindakan

menindak (Jhon M. Echols dan Hassan Sadiliy, 1992: 476).

Langkah represif ini dalam aplikasinya adalah

tindakan-tindakan yang dilakukan guna menindak pelaku kekerasan

terhadap perempuan dan anak. Pada tahap ini biasanya

dilakukan oleh kepoloisian, Bapermas, ataupun lembaga

lain yang terkait dengan upaya yang telah ditetapkan oleh

undang-undang.

(59)

Peran berarti laku, bertindak. Didalam kamus besar bahasa Indonesia

peran ialah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang

berkedudukan di masyarakat (E.St. Harahap, dkk, 2007: 854).

Menurut Saiful Bahri Djamara (31: 1997) makna peran yang dijelaskan

dalam Status, Kedudukan dan Peran dalam masyarakat, dapat dijelaskan

melalui beberapa cara, yaitu pertama, penjelasan histories. Menurut penjelasan

histories, konsep peran semula dipinjam dari kalangan yang memiliki

hubungan erat dengan drama atau teater yang hidup subur pada zaman yunani

kuno atau romawi. Dalam hal ini, peran berarti karakter yang disandang

atau dibawakan oleh seorang actor dalam sebuah pentas dengan lakon

tertentu.

Kedua, pengertian peran menurut ilmu sosial. Peran dalam ilmu sosial

berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki jabatan

tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya karena posisi yang

didudukinya tersebut.

Rober Linton (1936), telah mengembangkan teori peran. Teori peran

menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain

sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan pada budaya. Sesuai dengan teori ini

harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita

untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Soerjono Soekanto (220: 1986) peran merupakan aspek yang

(60)

kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukanya maka dia menjalankan suatu

peran.

Menurut Horton dan Hunt (52: 1993), peran adalah perilaku yang

diharapkan dari seseoran yang memiliki suatu status. Berbagai peran yang

bergabung dan terkait pada satu status ini oleh Merton (28: 1968) dinamakan

perangkat peran, dalam kerangka besar organisasi masyarakat, atau yang disebut

struktur sosial, ditentukan oleh hakekat dari peran-peran ini, hubungan antara

peran-peran tersebut.

Menurut David Berry (41: 1981) teori peran memberikan dua harapan

pertama harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran. Kedua,

harapan-harapan yang dimiliki oleh pemegang peran terhadap orang lain yang

mempunyai relasi dengannya dalam menjalani perannya.

Suatu peran dalam organisasi atau lembaga dapat diukur keberhasilannya

melalui beberapa indikator diantaranya :

1) Efektivitas keseluruhan, yaitu sejauhmana organisasi/ lembaga

melaksanakan seluruh tugas pokoknya atau mencapai semua sasarannya.

2) Produktivitas, yaitu kuantitas atau volume dari produk atau jasa yang

dihasilkan organisasi.

3) Efisiensi, yaitu sesuatu yang mencerminkan perbandingan antara beberapa

aspek unit terhadap biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut.

4) Pertumbuhan, yaitu penambahan dalam hal-hal seperti tenaga kerja, fasilitas

Gambar

Tabel 1 Sosialisasi Undang-Undang PKDRT KPI Kota Salatiga
Tabel 3 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Yang Ditangani Oleh KPI

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemanfaatan lahan pertanian gambir (Uncaria Gambir Roxb) terhadap terhadap sumberdaya lahan pertanian dan lingkungan

Kawasan adat Amma Toa merupakan kawasan yang sarat akan ritual memiliki berbagai macam adat upacara yang diperuntukkan para leluhurnya dan menutup diri dari

PANITIA PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH DINAS SOSIAL, TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI Jl.. Ujang Dewa Gedung Gadis I

28 Nama Seminar: Jurusan Biologi FMIPA UNNES Standar: Lokal, Tanggal: 14 Maret 2005 Peran: Peserta. 29 Nama Seminar: Biologi dan Akuakultur Berkelanjutan Standar:

Dari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa istihsan adalah salah satu upaya melalui pemikiran yang mendalam untuk menetapkan hukum pada suatu peristiwa baru

yang digunakan; (C) Kemudian program mulai baca data tinggi badan dan berat badan dari sensor; (D) Pada tahap ini, hasil pembacaan sensor tersebut digunakan untuk

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah serta inayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menulis

Secara umum, teori agensi dan teori sinyal yang digunakan dalam penelitian ini berhasil membuktikan bahwa konflik keagenan akan berkurang jika corporate governance