ADVOKASI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(STUDI PERAN KOALISI PEREMPUAN INDONSIA (KPI)
KOTA SALATIGA TAHUN 2010-2015)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh:
Sri Jarwati
NIM 211-12-025
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)
SALATIGA
MOTTO
Yakilah Bahwa Setiap Usaha Pasti Akan
Sampai Pada Tujuannya
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan
rahmat serta karunia-Nya, skripsi ini penulis persembahkan
untuk:
Bapak dan ibuku tercinta, Bapak Sartono dan Ibu Warsiti yang telah mencurahkan segenap kasih sayangnya, do’anya,
serta segala dukungannya dalam setiap langkah-langkahku.
Adik-adikku tersayang Wahyuningsih dan Wardoyo.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrohim
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ADVOKASI
PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KDRT (STUDI PERAN KPI KOTA
SALATIGA TAHUN 2010-2015”.
Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi agung, Nabi
Akhiruzzaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta
pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah
yang membawa umat manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang
benderang, yakni Dinul Islam.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Sukron Ma‟mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah.
4. Farkhani, S.H., S.H.I., M.H., selaku dosen pembimbing yang dengan iklas
membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu dan tenaganya untuk
penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.
5. Bapak serta Ibu dosen serta karyawan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Sekretaris Cabang KPI Kota Salatiga ibu Satuf Hidayah, S.E. yang telah
memberikan ilmu-ilmunya kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian
skripsi ini.
7. Keluarga besar HMI Cabang Salatiga.
8. Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung
dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya, serta pembaca
pada umumnya. Amin.
Salatiga, 25 September 2016
ABSTRAK
Jarwati, Sri. 2016. ADVOKASI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KDRT (STUDI PERAN KPI KOTA SALATIGA TAHUN 2010-2015). Skripsi. Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah. Fakultas Syariah. Institut Agama Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing: Farkhani, S.H.,S.H.I,.M.H.
Kata Kunci : Advokasi Korban KDRT, Peran KPI Kota Salatiga
Kekerasan perempuan dan anak merupakan masalah yang sudah lama
terjadi ditengah-tengah masyarakat, KDRT atau biasa juga disebut sebagai
kekerasan domestik (domestic violence) merupakan suatu masalah yang sangat
khas karena kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat
mulai dari masyarakat berstatus sosial rendah sampai masyarakat berstatus sosial
tinggi. Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak
dan pelakunya ialah suami. Hal ini mendorong aktivis perempuan gencar dan
terus menuntut haknya, banyak lembaga dan organisasi sosial yang gencar
menuntut haknya, salah satu organisasi sosial di Kota Salatiga yang perduli akan
perempuan ialah KPI (Koalisi perempuan Indonesia) Kota Salatiga. Peneliti
merumuskan dalam penelitian ini untuk mengetahui peran KPI Kota Salatiga
dalam mengadvokasi perempuan dan anak korban KDRT.
Peneliti menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yakni berupa
diamati dari hasil penelitian. Metode yang akan digunakan adalah dengan
melakukan wawancara, dan pemanfaatan dokumentasi.
KPI Kota Salatiga sangat minim berperan dalam mengadvokasi korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak, terbukti dari sepuluh indikator
keberhasilan peran yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………...………..………...i
HALAMAN BERLOGO ……...………..…….. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………….….……….… iii
HALAMAN PENGESAHAN NASKAH SKRIPSI …..……….…..….... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN …..……..…...…….…… v
HALAMAN MOTTO …………...………..…….…..vi
HALAMAN PERSEMBAHAN …..…………...……...…….………. vii
KATA PENGANTAR ……..……….…….……..…… ix
ABSTRAK ……..………..…..……….. xi
DAFTAR ISI ……...………...……….. xii
B. Rumusan Masalah ………..…….. 5
C. Tujuan Penelitian …..………..……….... 6
D. Kegunaan Penelitian ..………...…… 6
E. Penegasan Istilah …..………... 7
F. Telaah Pustaka …..………...…………... 11
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian ….………...………. 13
2. Lokasi Penelitian ……...………...………... 14
3. Sumber Data ……….…...………...………. 14
4. Prosedur pengumpulan Data ………..………….. 14
5. Analisis Data ………..……….. 15
H. Sistematikan Penulisan …………...……….... 16
BAB II TINJAUAN UMUM ADVOKASI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA TEORI PERAN A. Advokasi 1. Sejarah Advokasi ………..….…18
2. Pengertian Advokasi ……….……… 18
B. Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak 1. Pengertian Kekerasan Perempuan Dan Anak ………….. 24
2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak ………27
4. Dampak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak .…. 35
5. Perlindungan Terhadap Korban Dan Sanksi Hukum Pelaku
Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak ………….... 38
6. Menanggulangi Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak
………... 43
C. Teori Peran ………...………..………..…….……. 46
BAB III Laporan Hasil penelitian
A. KPI Kota Salatiga Dalam Mengadvokasi Kekerasan Terhadap
Perempuan Dan Anak Di Kota Salatiga.
1. Gambaran Umum KPI Kota Salatiga ……….…….. 50
2. Visi Dan Misi KPI Kota Salatiga …….………... 51
3. Sumber Daya Manusia KPI Kota Salatiga ………...……. 53
B. Tugas Dan Tanggung Jawab Serta Hambatan KPI Kota
Salatiga Dalam Mengadvokai Kekerasan Terhadap Perempuan
Dan Anak Di Kota Salatiga Tahun 2010-2015.
1. Tugas Dan Tanggung Jawab KPI Kota Salatiga Tahun
2010- 2015 …………..……….. 55
2. Hambatan KPI Kota Salatiga Dalam Upaya Advokasi
Kekerasan Terhadap Perempuan di Salatiga tahun 2010-
2015
C. Aktifitas KPI Kota Salatiga dalam Mengadvokasi Kekerasan
Terhadap Perempuan dan Anak Korban KDRT di Kota Salatiga
Tahun 2010- 2015 ………..……… 64
BAB IV Analisis Peran KPI Kota Salatiga Terhadap Advokasi Perempuan
Dan Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun
2010-2015
A. Analisis Dari Perbandingan Data Perempuan Dan Anak Korban
Kdrt Anatara Kpi Kota Salatiga Dan Ppa Polres Salatiga ... 72
B. Analisis Peran Dan Kinerja KPI Kota Salatiga ……...……... 74
BAB V PENUTUP
KESIMPULAN ……… 81
SARAN ……….. 81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan suatu masalah yang
sudah lama terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dalam buku karangan Nawal El
Saadawi (2001:1) yang berjudul “Perempuan Dalam Budaya Patriarki”
menggambarkan bagaimana kekerasan dalam rumah tangga terjadi sejak adanya
budaya. Perempuan menjadi korban diskriminasi, penganiayaan, kekerasan
seksual dan lainnya diakibatkan oleh suatu budaya (patriarki).
KDRT atau biasa juga disebut sebagai kekerasan domestik (domestic
violence) merupakan suatu masalah yang sangat khas karena kekerasan dalam
rumah tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat
berstatus sosial rendah sampai masyarakat berstatus sosial tinggi. Sebagian besar
korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak dan pelakunya ialah
suami.
Dengan di keluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap perempuan khususnya,
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan dengan keluarnya
Undang-Undang ini ada pergeseran dari masalah hukum privat ke hukum publik. Artinya
dalam meningkatkan perlindungan perempuan, negara ikut campur menentukan
hukuman bagi pelaku kekerasan.
Ironisnya, perempuan yang menjadi korban KDRT sering menutupi kasus ini. Ada
terkait faktor budaya patriarki masyarakat, agama, alasan-alasan subjektif korban
atau ketidaktahuan sistem hukum. Tidak berbeda dengan seorang anak yang
berada dalam rumah tangga yang posisinya lebih lemah, lebih rendah karena
secara fisik mereka memang lemah dari pada orang dewasa serta masih tergantung
pada orang-orang dewasa disekitarnya.
Harkristuti Harkrisnowo dalam artikelnya "Hukum Pidana dan Kekerasan
Terhadap Perempuan” (2000: 82-83) mengatakan adanya non-reporting of crime disebabkan :
1. Si korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinya
baik fisik, psikologis, dan sosial.
2. Si korban berkewajiban melindungi nama baik keluarganya
terutama pelaku adalah anggota keluarga.
3. Si korban merasa proses peradilan pidana belum tentu membuat
dipidananya pelaku.
4. Si korban khawatir bahwa proses kasus ini akan memcemarkan
nama baiknya, misalnya publikasi di media massa.
5. Si korban khawatir akan adanya pembalasan dari pelaku.
6. Lokasi kantor polisi yang jauh dari tempat tinggal korban
membuatnya enggan melapor.
7. Keyakinan korban bahwa walaupun ia melapor ia tidak akan
mendapat perlindungan khusus penegak hukum.
8. Ketidaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadapnya
Diundangkanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai payung hukum bagi para
Korban Kekerasan dalam rumah tangga, mendorong perubahan pandangan bagi
para korban untuk memberikan laporan-laporan tentang tindak kekerasan yang
dialami atau yang dilihat (Moerti, 2012: 37).
Lahirnya Women’s Crisis Center sebagai bukti kesadaran perempuan
untuk mempertahankan haknya. Women’s Crisis Center (WCC) memberikan
perlindungan kepada perempuan untuk mempertahankan haknya dan meminimalis
tindak kekerasan terhadap perempuan. Women’s Crisis Center diantaranya
Yayasan Annisa Swasti (YASANTI) Jogjakarta yang lahir pada 1982, Mitra
Perempuan, Yayasan Kalyanamitra tahun 1985, Koalisi Perempuan Indonesia
(KPI), Solidaritas Perempuan (SP), Komnas Perempuan yang lahir dengan
Keppres No. 181 tahun 1998, dan lembaga atau yayasan lainnya yang melindungi
dan mempertahankan hak perempuan. Lembaga-lembaga tersebut yang
dibutuhkan seorang korban (terutama perempuan) untuk mempertahankan dan
menuntut haknya.
Keberadaan lembaga-lembaga sosial ini juga melahirkan para aktivis
perempuan yang terus gencar mencari dan menuntut haknya. Salah satunya
Koalisi Perempuan Indonesia pertama kali diumumkan berdirinya pada tanggal 18
mei 1998 oleh sekelompok aktivis di Jakarta dengan dukungan 75 aktivis
perempuan dari berbagai daerah yang menyetujui dibentunya Koalisi Perempuan
Indonesia.
komnas perempuan (Moerti, 2012: 3). Pada tahun 2001 terdapat 3.160 kasus
KDRT. Jumlah kasus meningkat pada tahun 2002 menjadi 5.163. Pada tahun
2003, kasus KDRT meningkat menjadi 7.787 kasus, lalu pada tahun 2004
meningkat dengan jumlah 14.020, dan pada tahun 2005 berjumlah 20.391 kasus.
Data di atas, menunjukan bahwa kasus KDRT mengalami peningkatan
setiap tahun. Hal ini menujukan bahwa peran dari WCC atau lembaga sosial yang
bergerak dalam bidang perempuan sangat besar dalam memberikan sebuah
kesadaran kepada perempuan atau masyarakat luas tentang hak perempuan dan
anak serta dalam melakukan upaya mempertahankan hak perempuan dan anak.
Besarnya peranan lembaga-lembaga sosial atau WCC dalam menanamkan
kesadaran akan hak dan memberikan pendampingan serta perlindungan kepada
korban kasus KDRT dipengaruhi lahirnya perundang-undangan di Indonesia.
Lahirnya UU No. 23 tahun 2006 tentang penyelengaraan dan kerjasama
pemulihan korban KDRT, Peraturan Presiden No. 65 tahun 2005 tentang Komisi
Nasional Perempuan, Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya yang memberikan tugas
dan fungsi kepada lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam perlindungan
terhadap perempuan. Bahkan dalam rencana pembentukan peraturan
perundang-undagan tersebut tidak terlepas dari peran lembaga sosial.
KPI Kota Salatiga adalah salah satu lembaga sosial yang turut andil dalam
upaya membela hak-hak perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga. KPI merupakan organsasi yang bersifat independen dalam menjalankan
organisasi, nir-laba bahwa dalam menjalankan program-programnya tidak
mencari keuntungan semata-mata, non-partisan bahwa KPI tidak menjadi bagian
dari partai politik maupun organisasi yang menjadi bagian dari partai politik, non
sectarian bahwa KPI bukan menjadi bagian dari agama, aliran kepercayaan atau
aliran keyakinan tertentu.
Hal tersebut mendasari penulis untuk melakukan penelitian terhadap
lembaga sosial yang berorientasi kepada perempuan dan anak secara khusus
dalam hal kekerasan dalam rumah tangga di kota Salatiga. Menjadi latar belakang
penulisan skripsi dengan judul “Advokasi Perempuan dan Anak Korban
Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Peran Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
Kota Salatiga tahu 2010-2015).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan diskripsi di atas maka perumusan masalah yang akan dibahas
adalah bagaimana peran KPI Kota Salatiga dalam mengadvokasi korban
kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2010-2015 ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka skripsi ini bertujuan untuk
mengetahui peran KPI Kota Salatiga dalam mengadvokasi korban kekerasan
dalam rumah tangga pada tahun 2010-2015.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
khususnya perempuan terhadap pemahaman KDRTdan Lembaga-
lembaga yang dapat membantunya ketika KDRT terjadi pada
dirinya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi civitas akademik sebagai bahan untuk memikirkan
dibentuknya suatu lembaga sosial yang berorientasi dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap orang-orang
korban kekerasan dalam rumah tangga secara khusus dan
kekerasan terhadap perempuan dan anak secara luas.
b. Bagi lembaga penegak hukum dan lembaga lainya yang
disebutkan dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang
penghapusan KDRT untuk meningkatkan koordinasi
dengan lembaga sosial dalam melakukan upaya mengurangi
angka kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan
perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam
rumah tangga.
c. Bagi korban, keluarga korban, dan masyarakat untuk tidak
takut melaporkan kekerasan dalam rumah tangga dan
meminta pendampingan terhadap korban kepada lembaga
sosial yang ada.
E. Penegasan Istilah
1. Advokasi
demokratis yang kuat untuk membuat para penguasa bertanggung
jawab, dan menyangkut peningkatan keterampilan serta pengertian
rakyat tentang kekuasan itu bekerja. Advokasi memusatkan
perhatian pada banyak soal siapa dapat apa di masyarakat, seberapa
banyak mereka mendapatkannya, siapa yang ditinggalkan,
bagaimana uang rakyat dibelanjakan, bagaimana
keputusan-keputusan dibuat, bagaimana jumlah orang dicegah untuk ikut serta
dalam keputusan-keputusan itu, dan bagaimana informasi
dibagikan atau disembunyikan (Hermoyo, 2005:12).
Advokasi dapat didefinisikan sebagai proses melobi yang
terfokus untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan secara
langsung. Dalam situasi lain advokasi boleh jadi menekankan pada
proses pendidikan dan pemberdayaan yang ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran politik masyarakat agar mereka dapat
menjadi pembela-pembela yang efektif.
2. Anak
Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia
anak menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan
hukum Islam. Secara internasional defenisi anak tertuang dalam
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau
United Nation Convention on The Right of The Child tahun 1989,
aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (“The
Beijing Rules”) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau
Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948. ( Marlina,
2005: 33)
Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan,
di antaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum
mencapai usia 21 tahun atau belum menikah. Undang-Undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah
seorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih di dalam
kandungan, sedangkan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak telah
mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia18 tahun dan
belum pernah menikah. (Marlina, 2005: 33)
Defenisi anak yang ditetapkan perundang-undangan
berbeda dengan defenisi menurut hukum Islam dan hukum Adat.
Menurut hukum Islam dan hukum adat sama-sama menentukan
seseorang masih anak-anak atau sudah dewasa bukan dari usia
anak. Hal ini karena masing-masing anak berbeda usia untuk
mencapai tingkat kedewasaan. Hukum Islam menentukan defenisi
anak dilihat dari tanda-tanda pada seseorang apakah seseorang itu
sudah dewasa atau belum. Artinya seseorang dinyatakan sebagai
anak apabila anak tersebut belum memiliki tanda-tanda yang
Islam.
Ter Haar, seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum
adat memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu
anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi
seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan
rumah orang tua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan
keluarga sendiri (Marlina, 2005: 35).
Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 (1973),
pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke
bawah. Sebaliknya, dalam Convention on the Rights of the Child
(1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui
Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah
mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF
mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0
sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI No.4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah
mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah.
Sedangkan Undang-Undang Perkawinan menetapkan batas usia 16
tahun. (Abu Huraerah, 2000: 19)
3. Kekerasan dalam rumah tangga
Kekerasan merupakan suatu perbuatan tindak pidana yang
dilakukan seseorang terhadap orang lain yang dapat diberikan
WHO (WHO, 1999) kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik
dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri,
perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan
memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan
perkembangan atau perampasan hak. Menurut PERPPU Nomor 1
Tahun 2002, Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan
kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara
melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan
kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak
berdaya.
Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Di dalam UU.No.
23 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
F. Telaah pustaka
Menurut UU No. 23 Tahun 2004 dan Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan
Negeri Salatiga No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No: 20/Pid.B/PN. Sal/2006),
STAIN Salatiga 2007. Kesimpulannya antara lain menjelaskan Persoalan UU
PKDRT dan hukum Islam mempunyai semangat sama yang melandasi dua hukum
tersebut, yakni penghormatan terhadap martabat manusia, kaitannya dengan
hak-hak suami istri dalam rumah tangga serta anti kekerasan dan diskriminasi terhadap
perempuan. Dalam undang-undang sudah jelas ketentuan pidananya, sedang
dalam hukum Islam tidak ditentukan pidananya bagi mereka yang melakukan
kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga, akan tetapi kembali pada konsep
perkawinan yaitu sakinah, mawadah, warahmah. Dari sini jelaslah bahwa
kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga menurut UU PKDRT dan Hukum
Islam tidak diperbolehkan.
Dalam skripsi Eni Kusrini Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut PKDRT (Studi Kasus di
Polres Salatiga Tahun 2004-2006) STAIN Salatiga 2006 diantaranya memberikan
kesimpulan sebagai berikut : Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban
adalah kepolisian yang akan memberikan perlindungan dengan cara menerima
laporan dari pihak korban atau keluarganya; melakukan penyelidikan terhadap
pelaku tindak kekerasan; kepolisian menjelaskan hak-hak korban dan melakukan
penangkapan apabila pelaku tindak kekerasan melanggar penetapan perlindungan
dari pengadilan; vonis hukuman bagi pelaku sesuai dengan penetapan dari
pengadilan. Perlindungan yang diberikan oleh Polres Salatiga sudah sesuai dengan
Fitria Awwalin dalam skripsi Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah
Tangga (Studi Komparatif Terhadap Hukum Islam Dengan UU No. 23 Tahun
2004) STAIN Salatiga 2005, memberikan kesimpulan diantaranya sebagai
berikut:
Dalam hubungan dengan KDRT, hukum Islam dan UU KDRT memiliki
semangat yang sama. Asas yang melandasi keduanya adalah penghormatan
terhadap martabat manusia, penghormatan terhadap perempuan sebagai manusia
merdeka kaitanya dengan hak dan kewajiban suami istri, serta anti kekerasan dan
diskriminasi. Sedang semangat al Qur`an dalam masalah KDRT merupakan
paduan dari semangat: pembebasan (dari kekerasan riil yang dialami perempuan);
perlindungan (dari berbagai bentuk dan pelaku kekerasan); pemberdayaan (dari
lingkaran kekerasan yang selama ini membuat perempuan tidak berdaya);
pemulihan (dari perempuan yang dinistakan menjadi individu yang merdeka,
terhormat, bermartabat di mata Tuhan dan Manusia). Sebuah semangat yang
mengarah pada tujuan yang sama, yaitu penolakan terhadap segala bentuk
kekerasan terutama yang mengarah pada perempuan. Hal ini secara tidak langsung
”merubah” citra Islam, dari agama yang ”sangat dekat” dengan kekerasan menjadi
agama yang peduli pada perempuan sebagai manusia yang sering mendapat
kekerasan karena kondisi yang ”terlanjur” melemahkan posisi perempuan.
Tiga skripsi di atas pada umumnya membahas kekerasan terhadap
perempuan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dengan segala variasinya.
Sedangkan skripsi ini yang menjadi kajian utamanya yakni peran lembaga KPI
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah penelitian penelitian lapangan (field research) yaitu peneliti
berangkat ke obyek yang akan diteliti untuk mengadakan
pengamatan tentang sesuatu fenomenon dalam suatu keadaan
alamiah atau „in situ‟ (Lexy J. Moloeng, 2011: 26).
2. Lokasi Penelitian.
Sesuai dengan judul skripsi yang penulis ajukan, maka
lokasi penelitian penulis adalah KPI Kota Salatiga, dan obyeknya
adalah peran KPI Kota Salatiga dalam advokasi korban KDRT.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) Sumber data primer; yaitu hasil temuan data di lapangan
melalui wawancara dengan Pihak KPI Kota Salatiga.
b) Sumber data sekunder; yaitu data yang diperoleh dari
literatur buku-buku, surat kabar, majalah, catatan,
perundang-undangan dan kepustakaan ilmiah lain yang
menjadi referensi maupun sumber pelengkap penelitian.
4. Prosedur pengumpulan data.
a. Wawancara.
Metode wawancara yaitu sebuah dialog yang
dari terwawancara (Arikunto, 1998:115). Pengumpulan
data dengan cara mengadakan wawancara langsung dengan
pihak-pihak yang berkaitan. Wawancara penulis lakukan
terhadap penaggungjawab kegiatan penanggulangan
kekerasan terhadap perempuan pada KPI Kota Salatiga
serta orang-orang yang berkompeten dalam pokok
permasalahan.
b. Dokumentasi.
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai
hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku,
surat kabar, majalah, agenda, dan sebagainya (Suharsimi,
1997 : 236).
Dalam penelitian ini, penulis mencari data dari
buku, majalah, transkrip, foto, dan catatan yang terkait
aktivitas KPI Kota Salatiga, sehingga data tersebut dapat
digunakan untuk menambah data yang ada pada peneliti.
5. Analisis data.
Dalam menganalisis hasil data yang diperoleh pada
penelitian ini digunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yakni
berupa penjelasan kata- kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati dari hasil penelitian (Moleong, 2001:
3). Pendekatan ini penulis gunakan untuk menganalisis berbagai
terhadap perempuan di Kota Salatiga.
6. Pengecekan keabsahaan data.
Untuk menghindari ketidakakuratan data yang telah
diperoleh dalam penelitian, penulis akan mengkonfirmasikan
terhadap berbagai pihak yang yang berkaitan. Misal; data jumlah
kekerasan terhadap perempuan yang diperoleh dari KPI akan
dikonfirmasikan pada bagian Perlindungan Perempuan dan Anak
(PPA) Polres Salatiga atau Pengedilan Negeri Salatiga yang secara
hukum menjadi bagian dari dua lembaga ini. Bila perlu validitas
data akan dipertajam dengan wawancara dengan korban kekerasan
terhadap perempuan dan anak.
H. Sistematika Penulisan.
Pembahasan skripsi ini melalui tiga tahap, yaitu pendahuluan, isi,
dan penutup. Dari bagian-bagian tersebut terdiri dari bab-bab dan dalam
bab tersebut terdapat sub-sub bab. Sistematika pembahasannya dapat
dilihat sebagai berikut :
Pada bagian isi skripsi didalamnya terdiri dari lima bab.
Keseluruhannya dapat dilihat sebagai berikut : Bab I : pendahuluan yang
menguraikan; latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan penelitian,
dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II : Tinjauan umum advokasi kekerasan terhadap perempuan
dan anak, secara garis besar kajian pustaka berisi tentang: pengertian
kekerasan terhadap perempuan dan anak; bentuk- bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan anak; sebab-sebab kekerasan terhadap perempuan
dan anak; dampak kekerasan terhadap perempuan dan anak; perlindungan
terhadap korban dan sangsi hukum pelaku kekerasan terhadap perempuan
anak; menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak; teori
peran.
Bab III : Laporan Hasil Penelitian, berisi tentang : gambaran umum
koalisi perempan indonesia Kota Salatiga; tugas dan tanggung jawab
koalisi perempuan Indonesia Kota Salatiga; kekerasan terhadap perempuan
di Kota Salatiga tahun 2010-2015 yang melapor ke KPI Kota Salatiga.
Bab IV : Analisis Advokasi perempuan dan anak korban kekerasan
dalam rumah tangga (Studi Peran KPI Kota Salatiga Tahun 2010-2015).
BAB II
TINJAUAN UMUM ADVOKASI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA TEORI PERAN A. Advokasi
1. Sejarah Advokasi
Advokasi semula berasal dari bahasa Latin yaitu
“advocates” mengandung arti pembelaan yang memberikan
bantuan hukum atau pertolongan dalam soal-soal hukum. Bantuan
atau pertolongan ini bersifat memberi nasehat-nasehat sebagai
jasa-jasa baik, dalam perkembangannya kemudian dapat diminta oleh
siapapun yang memerlukan, membutuhkannya untuk beracara
dalam hukum (Lasdin Wlas, 1989: 2).
Semenjak abad pertengahan kerajaan romawi dinamakan
Duivel Advocaten yaitu bertugas memberikan segala macam
keberatan-keberatan dan nasehat-nasehat dalam suatu acara
pernyataan suci bagi seseorang yang telah meninggal (Lasdin Wlas,
1989: 2).
2. Pengertian Advokasi
Definisi advokasi beraneka ragam serta berubah-ubah
sepanjang waktu tergantung pada keadaan, kekuasaan, dan politik
pada suatu kawasan tertentu. Advokasi menurut bahasa adalah
Menurut Valerie Miller dan Jane Covey (2005: 12-13)
dalam bukunya yang berjudul advokasi adalah proses perhubungan
dan transformasi sosial yang diarahkan untuk membuat
hubungan-hubungan kekuasaan di masyarakat lebih demokratis, seraya
menjamin orang-orang yang dipinggirkan mendapat tempat dalam
keputusan-keputusan publik dan membuat hidup mereka lebih
sehat, aman dan produktif.
Kaminski dan Walmsley (1995) menjelaskan bahwa
advokasi adalah satu aktivitas yang menunjukkan keunggulan
pekerjaan sosial berbanding profesi lain. Selain itu, banyak
defenisi yang diberikan mengenai advokasi. Beberapa di
antaranya mendefinisikan advokasi adalah suatu tindakan yang
ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan atas program dari
suatu institusi (Desi Anwar, 2003: 17).
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan (2001: 23)
mengartikan advokasi sebagai upaya pemberian jaminan kepada
pihak yang sedang terlibat dengan kasus untuk memperoleh
keadilan. Advokasi bisa diartikan sebagai pendampingan, yakni
pendampingan yang dilakukan terhadap korban untuk
memperoleh keadilan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
mengartikan pendampingan sebagai pekerja sosial yang
mempunyai kompetensi di dalam bidangnya. Jika pendampingan
Jika pendampingan bertujuan untuk memulihkan kondisi psikis
korban, maka harus dilakukan psikolog atau konselor.
Dalam mengadvokasi perempuan dan anak korban KDRT
mempunyai dasar hukum sebagai berikut :
a. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pasal 10 menyatakan bahwa korban berhak
mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak
lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan.
b. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Pasal 8 menyatakan “perlindungan, penegakan dan
pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung
jawab pemerintah”.
Pasal 65 menyatakan‚ setiap anak berhak untuk
memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari
berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya‛.
c. Undang- Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Pasal 5 menyatakan, seorang saksi dan korban
berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,
keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman
yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau
telah diberikannya;
d. Undang Undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
Pasal 69 menjelaskan perlindungan khusus bagi
anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal
sebelumnya yakni pasal 59 Undang-Undang ini adalah
meliputi kekerasan fisik, psikis dan seksual dilakukan
melalui upaya: penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang melindungi anak
korban tindak kekerasan; dan pemantauan pelaporan dan
pemberian sanksi.
Dari ketiga undang-undang di atas, dijadikan sebagai dasar
dilaksanakannya advokasi perlindungan terhadap perempuan dan
anak korban KDRT, serta dapat menguatkan posisi pendamping
ketika melakukan advokasi perlindungan hukum.
Bentuk advokasi dalam perlindungan hukum perempuan dan
anak korban KDRT, yang diperjuangkan ialah hak- hak perempuan
hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi.
Bentuk advokasi perlindungan korban, sebagai berikut:
a. Reparasi
Reparasi adalah upaya pemulihan kondisi korban
pelanggaran HAM kembali ke kondisinya sebelum terjadi
pelanggaran HAM tersebut pada dirinya (YLBHI, 2007: 304).
Reparasi meliputi beberapa aspek memulihkan korban pasca
pelanggaran HAM. Di antaranya adalah pemulihan kondisi fisik,
psikis, harta benda atau status sosial korban yang dirampas.
b. Kompensasi
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh
negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian
sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya (UU No.3 tahun
2002)
c. Restitusi
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada
korban atau keluarganya oleh oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat
berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian
untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu ( UU No. 3 Tahun 2002).
d. Rehabilitasi
Rehabilitasi korban KDRT adalah tindakan fisik dan
penyesuaian diri secara maksimal dan untuk mempersiapkan
korban secara fisik, mental dan sosial dalam kehidupannya di masa
mendatang. Dalam hal korban kejahatan secara globlal, rehabilitasi
diartikan dengan pemulihan kedudukan semula, misalnya
kehormatan, nama baik dan jabatan (Agustinus Edy K, 2009: 305).
Tujuan rehabilitasi meliputi aspek medik, psikologik dan
sosial.
Dalam mengadvokasi korban KDRT bisa dilakukan oleh
banyak pihak seperti individu, kelompok, atau organisasi, seperti yang
disampaikan Elbiando Lumban Gaol dalam artikelnya bahwa yang
berhak mengadvokasi diantaranya (Abdul Wahid dan Muhammad
Irfan, 2001: 23):
a. Mahasiwa (individu) atau organisasi/Komunitas
kemahasiswaan.
b. Organisasi masyarakat dan organisasi politik.
c. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Organisasi
non-pemerintah.
d. Komunitas masyarakat, serta organisasi-organisasi masyarakat.
e. Organisasi keagamaan.
f. Media.
B. Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan
terhadap perempuan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelanataran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dala lingkup rumah tangga. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
(Suharso, 2009: 240) kata kekerasan diartikan sebagai perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan kerugian fisik
maupun non fisik.
Zaitunah Subbhan (2006: 6-7) dalam bukunya dari beberapa
sumber makna kekerasan terhadap perempuan, antara lain:
1. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang
melanggar, menghambat, meniadakan kenikmatan, dan
pengabaian hak asasi perempuan atas dasar gender.
Tindakan tersebut mengakibatkan (dapat mengakibatkan)
kerugian dan penderitaan terhadap perempuan dalam
hidupnya, baik secara fisik, psikis, maupun seksual.
Termasuk didalamnya ancaman, paksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam
bernegara (Kantor Menteri Negara PP.RAN PKTP, Tahun
2001-2004);
2. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan
berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang mengakibatkan
kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik,
seksual, atau psikologis. Termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik dalam kehidupan publik maupun
kehidupan pribadi (lihat pasal 2 Deklarasi PBB tentang
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan);
3. Kekerasan maupun kehidupan perempuan adalah sebuah
tindakan sosial, dimana pelaku-pelakunya hrus
memepertanggungjawabkan tindakanya kepada masyarakat
(Lee Ann Hoff, 1994: 5-9);
4. Kekerasan terhadap perempuan adalah perilaku yang
muncul sebagai akibat adanya bayangan tentang peran
identitas berdasarkan jenis kelamin, dan berkaitan dengan
bayangan mengenai kekuasaan yang dapat dimilikinya.
Kekerasan terdiri atas tindakan memaksakan kekuatan fisik
dan kekuasaan pihak lain. Biasanya diikuti dengan tujuan
untuk mengontrol, memperlemah, bahkan menyakiti pihak
beberapa fenomena, baik hukum, etika, kesehatan, budaya,
politik, maupun moral (Hentietta Moore, 1994: 66).
Sedangkan kekerasan terhadap anak adalah perbuatan
menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik
maupun emosional, istilah kekerasan terhadap anak meliputi
berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik
secara langsung oleh orangtua atau orang dewasa lainnya sampai
kepada penelantaraan kebutuhan-kebutuhan dasar anak (Richaed J.
Gelles, 2004: 1).
Barker (1987: 23) mendefinisikan kekerasan terhadap anak
adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan
emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan
hasrat, hukuman badan yanbg tidak terkendali, gegradasi dan
cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan
para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.
2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak.
Secara umum kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan
dan anak yang pernah terjadi adalah kekerasan terhadap istri,
perkosaan, kekerasan dalam pacaran, pelecehan seksual, kekerasan
dalam keluarga, dan perdagangan perempuan dan anak (Rifka
Adapun betuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
diantaranya meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Kekerasan fisik berupa pemukulan, tamparan, pejambaan
dan segala tidakan yang menyerang fisik atau menyebabkan
luka fisik perempuan.
b) Kekerasan psikologis berupa umpatan, ejekan, cemoohan,
dan segala tindakan yang mengakibatkan tekanan psikologis
termasuk ancaman dan pengekangan yang berakibat pada
gangguan mental dan jiwa seperti adanya trauma, hilangnya
kepercayaan diri, dan berbagai akibat negatif lainnya.
c) Kekerasan seksual berupa perkosaan, pelecehan seksual,
hingga pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan
(marital rape) maupun incent.
d) Ekonomi berupa tidak diberikanya nafkah bagi perempuan
yang berstatus ibu rumah tanggga untuk kebutuhan hidup
sehari-hari, dilarang bekerja, dipaksa untuk bekerja,
dieksploitasi secara ekonomi (Rifka Annisa, tt:6-7).
Dalam undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT),
kekerasan dalam rumah tangga dapat terwujud :
a) Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa
b) Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilanya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang (Pasal 7);
c) Kekerasan seksual yaitu yang meliputi pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan/atau
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 8);
d) Setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut. Dalam hal ini juga berlaku bagi
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak didalam atau diluar rumah korban berada
dibawah kendali orang tersebut (Pasal 9).
Menurut Suharto (1997: 365-366) klasifikasi kekerasan
terhadap anak (child abuse) dibagi menjadi empat bentuk, yaitu
kekerasan secara fisik (physical abuse), kekerasan secara
abuse), dan kekerasan sosial (sosial abuse). Keempat bentuk
kekerasaan terhadap anak dijelaskan sebagai berikut:
1. Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan
penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa
menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan
luka-luka fisik atau kematian anak. Bentuk luka dapat
berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan
benda tumpul.
2. Kekerasan anak secara psikis meliputi penghardikan,
penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan
buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang
mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukan gejala
perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis
jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu dengan
orang lain.
3. Kekerasan anak secara seksual dapat berupa perlakuan
pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar,
maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara
anak dengan orang dewasa (incent, perkosaan, eksploitasi
seksual).
4. Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran
anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap
yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak.
Misalnya, anak dikucilan, diasingkan dari keluarga, atau
tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang
layak. Eksploitasi anak menunjukan pada sikap
diskriminatif atau perlakuan sewenag-wenang terhadap
anak yang keluarga atau masyarakat (Abu Huraerah, 2012:
47-48).
3. Sebab-Sebab Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.
Kekerasan terhadap perempuan sebenarnya sudah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia.
Karena keterbatasan wawasan akan makna dan norma kehidupan,
maka kekerasan dianggap sebagai suatu yang biasa terjadi. Bahkan
menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat. Namun
demikian tindak kekerasan yang terjadi terhadap perempuan tidak
terjadi begitu saja, tapi ada beberapa faktor yang
melatarbelakanginya, antara lain:
a) Budaya patriarki. Budaya ini menyakini bahwa laki-laki
adalah superior dan perempuan adalah interior sehingga
laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol
perempuan.
b) Interpretasi yang keliru atas ajaran agama. Sering ajaran
diinterpretasikan sebagai pembolehan mengontrol dan
menguasai istrinya.
c) Pengaruh role model. Anak laki-laki yang tumbuh dalam
lingkungan keluarga yang ayahnya suka memukul/kasar
kepada ibunya, cenderung akan meniru pola tersebut kepada
pasanganya kelak (Elli N Hasbianto, 1999: 193-194).
Sedangkan faktor-faktor lain penyebab terjadinya kekerasan
terhadap perempuan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh
PSW IAIN Sumatra Utara Kota Medan adalah sebagai berikut :
1. Fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan
setara dalam masyarakat.
2. Masyarakat masih membesarkan anak lelaki dengan didikan
yang bertumpukan pada kekuatan fisik, yaitu untuk
menumbuhkan keyakinan bahwa mereka harus kuat dan
berani serta tidak toleran.
3. Budaya mengkondisikan perempuan dan istri tergantung
keada suami, khususnya secara ekonomi.
4. Persepsi tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga
yang dianggap harus ditutup karena termasukwilayah privat
suami istri dan bukan sebagai persoalan sosial.
5. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama tentang
penghormatan pada posisi suami, tentang aturan mendidik
6. Kondisi kepribadian dan psikologis suami yang tidak stabil
dan tidak benar, diantaranya :
a) Komunikasi yang tersumbat, artinya suami dalam
menyelesaikan masalah tidak didasari dengan asas
keterbukaan sehingga menimbulkan kecurigaan dan
kadang-kadang terjadi kebohongan terhadap istri.
b) Suami memepunyai wanita idaman lain (WIL)
c) Suami mempunyai tabiat atau sifat yang emosional,
labil, stress maupun frustasi.
d) Suami tidak percaya diri.
e) Suami mempunyai masalah dengan alkohol dan
obat-obatan.
f) Kekerasan sebagai sumber daya untuk
menyelesaikan masalah (pola kebiasaan turunan
keluarga atau orang tua) (Fathul Djannah, 2003:
20-21).
Terjadi kekerasan terhadap anak juga disebabkan berbagai
faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor yang memengaruhinya
demikian kompleks, yang disebabkan oleh faktor internal yang
berasal dari anak itu sendiri maupun faktor eksternal yang berasal
dari kondidi keluarga dan masyarakat, seperti :
1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan
tempramen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya,
anak terlau bergantung pada orang dewasa.
2. Kemiskinan keluarga, orang tua mengganggur, penghasilan
tidak cukup, banyak anak.
3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home),
misalnya perceraian, ketiadaanketiadaan ibu untuk jangka
panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu
memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.
4. Keluarga yang belum matang secara psikologis,
ketidaktahuan mendidik anak, harapan orangtua yang tidak
realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak
yang lahir diluar nikah.
5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau
kedua orangtua, misalnya tidak mampu merawat dan
mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.
6. Sejarah penelantaraan anak. Orangtua yang semasa kecilnya
mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salh
anak-anaknya.
7. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh,
tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh
terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai
upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme
kontrol sosial yang stabil (Suharto, 1997: 366-367).
Sementara itu, Rusmil (2004: 60) menjelaskan bahwa
penyebab atau resiko terjadinya kekerasan dan penelantaraan
terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu: faktor
orangtua/keluarga, faktor lingkungan sosial/komunitas, dan faktor
anak sendiri.
Moore dan Parton sebagaimana dikutip Fentini Nugroho
(1992: 41) mengungkapkan ada orang yang berpendapat bahwa
kekerasan terhadap anak lebih disebabkan oleh faktor individual
dan ada juga yang menganggap bahwa faktor struktur sosial yang
lebih penting.
Sedangkan Richard J. Gelles (2004: 4-6) mengemukakan
bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari
berbagai faktor: personal, sosial, dan kultural. Faktor-faktor
tersebut dapat dikelompokan ke dalam empat kategori utama,
yaitu: pewarisan kekerasan antar generasi (intergenerational
transmission of violence), stres sosial (sosial stress), isolasi sosial
dan keterlibatan masyarakat bawah (sosial isolation and low
community involvement), dan struktur keluarga (family structure).
Kekerasan terhadap perempuan dan anak mempunyai
dampak yang ditimbulkan bagi dirinya korban, orang lain, ataupun
pelaku, diantarnya ;
1. Dampak positif, meskipun kekerasan terhadap perempuan
termasuk dalam tindakan kriminalitas, tetapi ada dampak
positif yang ditimbulkan, diantaranya korban kekerasan bisa
mengendalikan kesadaranya untuk lebih membuka mata
terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang dialami. Selain itu,
masyarakat juga bisa melihat akibatnya, sehingga bisa
mengambil pelajaran.
2. Dampak negatif, akan mengalami dampak jangka panjang
dan jangka pendek. Dampak jangka panjang bisa dilihat
dari segi fisik dan psikologi. Dari segi fisik, biasanya
korban mengalami luka-luka akibat kekerasan yang
dilakukan oleh suami. Dari segi psikologi, biasanya korban
merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan
terhina. Gangguan emosi biasanya menyebabkan terjadinya
kesulitan tidur (insomnia) dan kehilangan nafsu makan (lost
apetite), cemas, depresi berat.
Dampak jangka panjang kekerasan terhadap
perempuan bila korban tidak mendapatkan penanganan atau
bantuan konsultasi psikologi yang memadahi, korban dapat
juga bisa menyebabkan kematian, gangguan kesehatan
fisik.
Bila perempuan sebagai istri, dan korban kekerasan dalam
rumah tangga biasanya mengasuh anaknya sendirian dan biasanya
hanya hidup dengan sedikit materi bahkan biasanya tidak ada sama
sekali sehingga menjadi problem moral dan sosial tersendiri bagi
masyarakat dan lingkungan.
Anak-anak korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya
tumbuh dalam suasana psikologis tidak aman sehingga cenderung
akan melakukan tindakan-tindakan berlawanan dengan norma
susila dan keagamaan, misalnya pencurian, permpokan, penipuan,
sebagi jalan terakhir mempertahakan kehidupan mereka.
YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia)
menyimpulkan bahwa kekerasan dapat menyebabkan anak
kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupanya dan
pada giliranya berdampak sangat serius pada kehidupan anak
dikemudian hari, antara lain :
1. Cacat tubuh permanen
2. Kegagalan belajar
3. Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada
gangguan kepribadian
4. Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk
5. Pasif dan menarik dirin dari lingkungan, takut membina
hubungan yang baru dengan orang lain
6. Agresif dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal
7. Menjadi penganiaya ketika dewasa
8. Menggunakan obat-obatan atau alkohol
9. Kematian (suharto, 1997: 367-368).
Sedangkan Richard J. Gelles (2004: 6-7) menjelakan bahwa
konsekensi dari tindakan kekerasan dan penelantaran anak dapat
menimbulkan kerusakan dan akibat yang lebih luas. Luka-luka
fisik seperti menar-memar, goresan-goresan, dan luka bakar hingga
merusak otak, cacat permanen, dan kematian. Efek psikologis pada
anak korban kekerasan dan penganiayaan bisa seumur hidup,
seperti rasa harga diri rendah, ketidakmampuan berhubungan
dengan teman sebaya, masa masa perhatian tereduksi, dan
gangguan belajar. Dalam beberapa kasus, kekerasan dapat
mengakibatkan gangguan-gangguan kejiwaan, seperti depresi,
kecemasan berlebihan, atau gangguan identitas disosiatif dan juga
bertambahnya risiko bunuh diri.
5. Perlindungan Terhadap Korban Dan Sanksi Hukum Pelaku
Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak
Dalam UU No. 23 tahun 2004 memberikan penegasan dan
kekerasan. Hal ini senagimana ditegaskan dalam pasal 10 yang
menyatakan bahwa korban kekerasan berhak mendaptkan :
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dengan kebutuhan medis;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis:
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan
korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada
setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
e. Pelayanan bimbingan rohani.
Sanksi hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap
perempuan diantaranya pidana, yaitu pengenaan penderitaaan atau
nestapa oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan kepada
orang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang
(Zuhairini, 2011 :78).
Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tidak
mengenal istilah kekerasan, KUHP menggunakan istilah
penganiayaan yang merupakan jenis perilaku yang menggunakan
kekerasan seperti yang diatur dalam pasal 351-355 KUHP,
sepertiga jika penganiayaan itu dilakukan terhadap ibunya,
bapaknya yang sah, isteri/suaminya. Pasal 89 KUHP menyebutkan
bahwa yang dinamakan melakukan kekerasan adalah “membuat orang menjadi pingsan atau tak berdaya lagi(lemah)” adapun pasal -pasal yang diterapkan bagi pelaku kekerasan diantaranya dapat
dilihat senbagai berikut :
1. Pasal 285, pasal 286, pasal 288, pasal 289, pasal 290, pasal
291, pasal 293, pasal 295, pasal 296 dan pasal 297 Bab XIV
KUHP tentang kejahatan kesusilaan;
2. Pasal 328, pasal 330, pasal 332, pasal 333, pasal 335, pasal
336 Bab XVIII KUHP tentang kejahatan terhadap
kemerdekaan orang;
3. Pasal 328, pasal 339, pasal 340, pasal 347 Bab XIX KUHP
tentang kejahatan terhadap nyawa;
4. Pasal 351, pasal 352, pasal 354, pasal 355, pasal 356 Bab
XX KUHP tentang penganiayaan;
5. Pasal 368 BAB XXIII KUHP tentang pemerasan dan
pengancaman.
Dalam UU No. 23 Tahun 2004 sanksi hukum terhadap
pelaku kekerasan dalam rumah tangga diantaranya termaktub pada
pasal 44, yaitu:
“(1)setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
dimaksud pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp. 15.000.000. (lima belas juta rupiah). (2)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit
atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.
30.000.000. (tiga puluh juta rupiah).(3) Dalam hal
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15(lima belas tahun) atau
denga paling banyak Rp. 45.000.000. (empat puluh
lima juta rupiah). (4) Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh
suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling
banyak Rp. 5.000.000. (lima juta rupiah)”.
Dalam hal pemaksaan hubungan seksual terhadap oranf
yang menetap dalam lingkunga rumah tangga, pasal 46
“setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
seksual sebagimana dimaksud pasal 8 huruf a
dipidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun
atau denda paling banyak Rp. 36.000.000. (tiga puluh
enam juta rupiah)”.
Terhadap orang yang melakukan pemaksaan hubungan
seksual terhadap salah seorang dalam lingkungan rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu,
pasal 47 memberikan ancaman sebagai berikut:
“setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya untuk melakukan hubungan
seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp.
12.000.000. (dua belas juta rupiah) atau denda paling
banyak Rp. 300.000.000. (tiga ratus juta rupiah)”.
Begitu pula orang yang lalai dari tanggung jawabnya atau
menelantarkan orang lain yang menjadi tanggung jawab dalam
rumah tangganya, maka akan mendapatkan sanksi hukum dipidana
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling sedikit Rp.
15.000.000. (lima belas juta rupiah) sebagaimana tertera
Melihat beberapa pasal yang telah dikutip di atas, sanksi
hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga ternyata
sudah cukup berat, namun kenyataanya kekerasan terus membawa
korban, baik yang diungkapkan maupun yang tidak. Hal ini harus
menjadi pekerjaan bersama untuk menjaga dan menjadikan tatanan
masyarakat yang lebih harmonis dan berkeadilan.
6. Menanggulangi Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak
Beberapa langkah yang bisa diterapkan dalam rangka
menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga, diantaranya
sebagaimana dikemukakan Zuhriani (2011: 93-96) sebagai berikut :
a. Pre-Emptif
Pengertian pre-emtif adalah menduduki lebih
dahulu atau memiliki lebih dahulu (Jhon M. Echol dan
Hasan Shadiliy, 1992: 443). Maka maksud dari tahap ini
adalah kepemilikan terhadap berbagai tindakan yang
menyangkut kekerasan terhadap perempuan dan anak mulai
dari penyusunan kebijakan, pelaksanaan dan tindak
lanjutnya.
Langkah pre-emtif ini menjadi signifikan karena
ditetapkanya UU No. 23 tahun 2004 merupakan bagian
penting dari upaya mencegah dan menghapus tindak
kekerasan terhadap perempuan. Hal ini sebagaimana
undang-undang tersebut adalah “mencegah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga,
melindungi korbang kekerasan dalam rumah tangga,
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,
memelihara kerukunan rumah tangga yang harmonis dan
sejahtera”.
b. Preventif
Pengertian kata preventif adalah tindakan
pencegahaan (Jhon M. Echols dan Hasan Sadiliy, 1992:
446). Maksud dari tahap ini adalah berbagai tindakan yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap
perempuan. Pada tahap ini langkah-langkah yang bisa
dilakukan diantaranya:
1) Memberikan penyuluhan tentang kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak kepada masyarakat,
hal ini dilakukan agar masyarakat mengetahui
bahwa melakukan tindakan kekerasan terhadap
perempuan dalam rumah tangga maupun perempuan
dan anak pada umumnya merupakan tindakan yang
bertentangan dengan hukum dan akan mendapatkan
sanksi.
2) Memberikan penyuluhan tentang kekerasan terhadap
oleh guru atau para pendidik. Penyuluhan ini
dilakukan dengan maksud agar siswa mengetahui
bahwa diri mereka terlindungi oleh hukum, yaitu
yang diatur dalam UU Perlindungan Anak No. 23
Tahun 2002, serta UU Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004.
3) Ceramah atau penyuluhan ini dilakukan agar para
siswa mengetahui bahwa jika ada anggota keluarga
atau rumah tangganya melakukan tindak kekerasan
maka perbuatan tersebut merupakan tindakan
melawan hukum dan mendapat sanksi.
c. Represif
Represif adalah melakukan tindakan-tindakan
menindak (Jhon M. Echols dan Hassan Sadiliy, 1992: 476).
Langkah represif ini dalam aplikasinya adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan guna menindak pelaku kekerasan
terhadap perempuan dan anak. Pada tahap ini biasanya
dilakukan oleh kepoloisian, Bapermas, ataupun lembaga
lain yang terkait dengan upaya yang telah ditetapkan oleh
undang-undang.
Peran berarti laku, bertindak. Didalam kamus besar bahasa Indonesia
peran ialah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan di masyarakat (E.St. Harahap, dkk, 2007: 854).
Menurut Saiful Bahri Djamara (31: 1997) makna peran yang dijelaskan
dalam Status, Kedudukan dan Peran dalam masyarakat, dapat dijelaskan
melalui beberapa cara, yaitu pertama, penjelasan histories. Menurut penjelasan
histories, konsep peran semula dipinjam dari kalangan yang memiliki
hubungan erat dengan drama atau teater yang hidup subur pada zaman yunani
kuno atau romawi. Dalam hal ini, peran berarti karakter yang disandang
atau dibawakan oleh seorang actor dalam sebuah pentas dengan lakon
tertentu.
Kedua, pengertian peran menurut ilmu sosial. Peran dalam ilmu sosial
berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki jabatan
tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya karena posisi yang
didudukinya tersebut.
Rober Linton (1936), telah mengembangkan teori peran. Teori peran
menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain
sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan pada budaya. Sesuai dengan teori ini
harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita
untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Soerjono Soekanto (220: 1986) peran merupakan aspek yang
kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukanya maka dia menjalankan suatu
peran.
Menurut Horton dan Hunt (52: 1993), peran adalah perilaku yang
diharapkan dari seseoran yang memiliki suatu status. Berbagai peran yang
bergabung dan terkait pada satu status ini oleh Merton (28: 1968) dinamakan
perangkat peran, dalam kerangka besar organisasi masyarakat, atau yang disebut
struktur sosial, ditentukan oleh hakekat dari peran-peran ini, hubungan antara
peran-peran tersebut.
Menurut David Berry (41: 1981) teori peran memberikan dua harapan
pertama harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran. Kedua,
harapan-harapan yang dimiliki oleh pemegang peran terhadap orang lain yang
mempunyai relasi dengannya dalam menjalani perannya.
Suatu peran dalam organisasi atau lembaga dapat diukur keberhasilannya
melalui beberapa indikator diantaranya :
1) Efektivitas keseluruhan, yaitu sejauhmana organisasi/ lembaga
melaksanakan seluruh tugas pokoknya atau mencapai semua sasarannya.
2) Produktivitas, yaitu kuantitas atau volume dari produk atau jasa yang
dihasilkan organisasi.
3) Efisiensi, yaitu sesuatu yang mencerminkan perbandingan antara beberapa
aspek unit terhadap biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut.
4) Pertumbuhan, yaitu penambahan dalam hal-hal seperti tenaga kerja, fasilitas