• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJUAN PUSTAKA 3.1. Mioma Uteri

3.1.1. Definisi Mioma Uteri

Mioma uteri adalah tumor jinak pada daerah rahim atau lebih tepatnya otot rahim dan jaringan ikat di sekitarnya. Mioma belum pernah ditemukan sebelum terjadinya menarkhe, sedangkan setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih tumbuh. Neoplasma jinak ini berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal juga istilah fibromioma, leiomioma, atapun fibroid(Prawirohardjo, 2008).

3.1.2. Klasifikasi

Mioma Uteri dapat terletak di bawah permukaan endometrium atau desidua rongga uterus (submukosa), tepat di bawah serosa uterus (subserosa), atau terbatas di miometrium (intramural). Mioma Intramural, seiring dengan pertumbuhannya, dapat membentuk komponen subserosa atau submukosa, atau keduanya. Mioma subserosa atau submukosa kadang-kadang melekat ke uterus hanya melalui sebuah tangkai (pedunkulata) . Tumor ini dapat mengalami torsio disertai nekrosis yang mungkin menyebabkan tersebut terlepas dari uterus. Kadang-kadang mioma subserosa menjadi parasitik, dan sebagian atau semua aliran darahnya berasal dari omentum yang banyak mengandung pembuluh darah.

Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uterus hanya 1-3%, sisanya adalah dari korpus uterus.

(2)

Menurut letaknya, mioma dapat kita dapati sebagai :

a. Mioma Submukosa : berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Mioma submukosa dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian dilahirkan melalui saluran serviks (myomgeburt)

b. Mioma Intramural : mioma terdapat di dinding uterus diantara serabut miometrium

c. Mioma Subserosum : apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus, diliputi oleh serosa.

d. Mioma Intraligmenter : Mioma subserosum dapat tumbuh di antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter. Mioma subserosum dapat pula tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus, sehingga disebut wandering/parasitic fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus(Prawirohardjo, 2008).

(3)

Gambar 2.1 : Jenis Mioma Uteri dan Lokasinya (Sumber: Martin L.Pernoll, 2001)

3.1.3. Epidemiologi

Mioma uterus, atau disebut juga sebagai leiomioma atau fibroid merupakan tumor jinak yang sering ditemukan pada wanita usia reproduktif (20-25%). Pada usia > 35 tahun kejadiannya lebih tinggi., yaitu mendekati angka 40%. Tingginya kejadian mioma uterus antara usia 35 tahun dan usia 50 tahun menunjukan adanya hubungan kejadian mioma uterus dengan estrogen. Pada usia menopause terjadi regresi mioma uterus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fardhan et-al di Nepal, mengatakan bahwa keluhan penderita yang banyak ditemukan adalah perdarahan pervaginam yaitu sebesar 73%, diikuti pembesaran perut bagian bawah dan nyeri sebesar 58,4%, dismenore ditemukan sebesar 18,2% serta keluhan penderita dengan infertilitas sebesar 7,3%.

(4)

Dari penelitian yang dilakukan oleh Ran Ok et-al di Pusan St. Benedict Hospital Korea yang dilakukan terhadap 815 kasus mioma uteri diketahui bahwa kasus mioma uteri tebanyak terjadi pada kelompok usia 40-49 tahun dengan usia rata-rata 42,97 tahun. Keluhan utama terbanyak pada penderita mioma uteri adalah perdarahan pervaginam abnormal (44,1%). Mioma uteri tipe intramural adalah yang terbanyak dari tipe mioma uteri secara patologi anatomi (51,3%). Kadar haemoglobin (Hb) rata-rata penderita mioma uteri adalah 10,92 g/dl dan 37,6% diantaranya dilakukan transfusi darah. Histerektomi total ditemukan sebagai tindakan penatalaksanaan terbanyak pada kasus-kasus mioma uteri (91,5%) (Ran Ok et-al, 2007 yang dikutip Muzakir, 2008).

3.1.4. Etiologi dan Patogenesis

Penyebab utama mioma uteri belum diketahui secara pasti sampai saat ini, tetapi penyelidikan telah dijalankan untuk memahami keterlibatan faktor hormonal, faktor genetik, growth factor, dan biologi molekular untuk tumor jinak ini. Faktor yang diduga berperan untuk inisiasi pada perubahan genetik pada mioma uteri adalah abnormalitas intrinsik pada miometrium, peningkatan reseptor estrogen secara kongenital pada miometrium, perubahan hormonal, atau respon kepada kecederaan iskemik ketika haid. Setelah terjadinya mioma uteri, perubahan-perubahan genetik ini akan dipengaruhi oleh promoter (hormon) dan efektor (growth factors) (Parker, 2007).

Mioma uteri yang berasal dari sel otot polos miometrium, menurut teori onkogenik maka patogenesa mioma uteri dibagi menjadi 2 faktor yaitu inisiator dan promotor. Faktor-faktor yang menginisiasi pertumbuhan mioma masih belum diketahui pasti. Dari penelitian menggunakan glucose-6-phosphatase dihydrogenase diketahui bahwa mioma berasal dari jaringan uniseluler. Transformasi neoplastik dari miometrium menjadi mioma melibatkan mutasi somatik dari miometrium normal dan interaksi

(5)

kompleks dari hormon steroid seks dan growth factor lokal. Mutasi somatik ini merupakan peristiwa awal dalam proses pertumbuhan tumor (Hadibroto, 2005).

Tidak dapat dibuktikan bahwa hormon estrogen berperan sebagai penyebab mioma, namun diketahui estrogen berpengaruh dalam pertumbuhan mioma. Mioma terdiri dari reseptor estrogen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding dari miometrium sekitarnya namun konsentrasinya lebih rendah dibanding endometrium. Hormon progesteron meningkatkan aktifitas mitotik dari mioma pada wanita muda namun mekanisme dan faktor pertumbuhan yang terlibat tidak diketahui secara pasti. Progesteron memungkinkan pembesaran tumor dengan cara down-regulation apoptosis dari tumor. Estrogen berperan dalam pembesaran tumor dengan meningkatkan produksi matriks ekstraseluler (Hadibroto, 2005).

3.1.5. Faktor Risiko a. Usia penderita

Wanita kebanyakannya didiagnosa dengan mioma uteri dalam usia 40-an; tetapi, ianya masih tidak diketahui pasti apakah mioma uteri yang terjadi adalah disebabkan peningkatan formasi atau peningkatan pembesaran secara sekunder terhadap perubahan hormon pada waktu usia begini. Faktor lain yang bisa mengganggu insidensi sebenar kasus mioma uteri adalah karena dokter merekomendasi dan pasien menerima rekomendasi tersebut untuk menjalani histerektomi hanya setelah mereka sudah melepasi usia melahirkan anak (Parker, 2007).

Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma.Mioma belum pernah dilaporkan terjadi

(6)

sebelum menarche dan setelah menopause hanya 10% mioma yang masih bertumbuh (Prawirohardjo, 2008)

b. Hormon endogen (Endogenous Hormonal)

Mioma uteri sangat sedikit ditemukan pada spesimen yang diambil dari hasil histerektomi wanita yang telah menopause, diterangkan bahwa hormon esterogen endogen pada wanita-wanita menopause pada kadar yang rendah atau sedikit (Parker, 2007).

c. Riwayat keluarga

Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri mempunyai peningkatan 2,5 kali kemungkinan risiko untuk menderita mioma uteri dibanding dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. Penderita mioma yang mempunyai riwayat keluarga penderita mioma uteri mempunyai 2 kali lipat kekuatan ekspresi dari VEGF-α (a myoma-related growth factor) dibandingkan dengan penderita mioma yang tidak mempunyai riwayat keluarga penderita mioma uteri (Parker, 2007).

d. Berat badan

Satu studi prospektif dijalankan dan dijumpai kemungkinan risiko menderita mioma uteri adalah setinggi 21% untuk setiap kenaikan 10kg berat badan dan dengan peningkatan indeks massa tubuh. Temuan yang sama juga turut dilaporkan untuk wanita dengan 30% kelebihan lemak tubuh. Ini terjadi kerana obesitas menyebabkan pemingkatan konversi androgen adrenal kepada estrone dan menurunkan hormon sex-binding globulin. Hasilnya menyebabkan peningkatan estrogen secara biologikal yang bisa menerangkan mengapa terjadi peningkatan prevalensi mioma uteri dan pertumbuhannya (Parker, 2007).

(7)

e. Makanan

Beberapa studi telah meneliti hubungan antara diet dan kehadiran atau pertumbuhan mioma. Satu studi menemukan bahwa daging sapi, daging merah lainnya, dan daging babi meningkatkan kejadian mioma uteri, tapi sayuran hijau biasa menurunkan kejadian mioma uteri. Tidak diketahui dengan pasti apakah vitamin, serat atau phytoestrogen berhubungan dengan mioma uteri (Parker, 2007).

f. Kehamilan dan Paritas

Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah dilakukan ditemukan sebesar 0,3 % – 7,2 % selama kehamilan. Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar estrogen dalam kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus. Kedua keadaan ini kemungkinan dapat mempercepat pembesaran mioma uteri (Manuaba, 2003 dikutip dalam Muzakir, 2008)

g. Kebiasaan Merokok

Merokok dapat mengurangi insidensi mioma uteri. Banyak faktor yang dapat menurunkan bioavailabilitas hormon estrogen pada jaringan, seperti penurunan konversi androgen kepada estrogen dengan penghambatan enzim aromatase oleh nikotin (Parker, 2007).

3.1.6. Gejala dan Tanda

Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang dikeluhkan sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada (serviks, intramural, submukus, subserosa), besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi.

(8)

Gejala tersebut dapat digolongkan. a. Perdarahan abnormal

Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya hiperminore, menoragia dan dapat juga terjadi metroragia, Perdarahan abnormal ini yang dapat menyebabkan anemia defesiensi besi.

Patofisiologi perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan mioma uteri masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian menerangkan bahwa adanya disregulasi dari beberapa faktor pertumbuhan dan reseptor-reseptor yang mempunyai efek langsung pada fungsi vaskuler dan angiogenesis. Perubahan-perubahan ini menyebabkan kelainan vaskularisasi akibat disregulasi struktur vaskuler didalam uterus yang menyebabkan terjadinya venule ectasia.

(9)

A. Pelebaran pembuluh darah pada endometrium dan miometrium pada uterus normal

B. Pelebaran pembuluh darah obstruksi fisik pada pembuluh darah uterus miomatosus

(Sumber : Gross Karen L, BA)

Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini, antara lain adalah :

- Permukaan endometrium yang lebih luas dari pada biasa - Peningkatan vaskularisasi aliran vaskuler ke uterus - Ulserasi endometrium pada mioma submukosa - Kompresi pada pleksus venosus didalam miometrium

- Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma di antara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang dilaluinya dengan baik (Prawirohardjo, 2008).

b. Rasa Nyeri

Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas tetapi dapat timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada pengeluaran mioma submukosa yang akan dilahirkan, pada pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan dismenore.

c. Gejala dan tanda penekanan

Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Penekanan pada kandung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra dapat menyebabkan retensio urine, pada ureter dapat

(10)

menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rectum dapat menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe di panggul dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.

3.1.7. Diagnosa

Dapat ditegakkan dengan : a. Anamnesis:

Dari proses tanya jawab dokter dan pasien dapat ditemukan penderita seringkali mengeluh rasa berat dan adanya benjolan pada perut bagian bawah, kadang mempunyai gangguan haid dan ada nyeri.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan bimanual akan mengungkap tumor pada uterus, yang umumnya terletak di garis tengah atau pun agak ke samping,seringkali teraba terbenjol-benjol. Mioma subserosum dapat mempunyai tangkai yang berhubung dengan uterus (Prawirohardjo, 2008).

c. Pemeriksaan Penunjang

- Ultra Sonografi (USG) : USG abdominal dan transvaginal dapat membantu dan menegakkan dugaan klinis

- Magnetic Resonance Imagine (MRI) : untuk meningkatkan akurasi, beberapa dokter manganjurkan bahwa MRI menggantikan, atau paling tidak berfungsi sebagai pemeriksaan tambahan bagi ultrasonografi (Cunningham, 2001).

(11)

3.2. Anemia

3.2.1. Definisi Anemia

Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan dibawah normal kadar haemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (packed red cell)(Bakta, 2006).

3.2.2. Kriteria Anemia

Untuk menjabarkan defenisi anemia maka perlu diterapkan batas haemoglobin atau hematokrit yang dianggap sudah terjadi anemia. Batas ini disebut sebagai cut off point (titik pemilah), yang sangat dipengaruhi oleh : umur, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut dan lain-lain.

Cut off point yang umum dipakai ialah criteria WHO tahun 1968. Dinyatakan anemia bila :

Laki-laki dewasa : hemoglobin < 13 g% Perempuan dewasa tak hamil : hemoglobin < 12 g% Perempuan hamil : hemoglobin < 11 g% Anak umur 6 – 14 tahun : hemoglobin < 12 g% Anak umur 6 bulan – 6 tahun : hemoglobin < 11 g% 3.2.3. Derajat Anemia

Derajat anemia antara lain ditentukan oleh kadar hemoglobin, dapat dibagi atas :

(12)

- Tidak Anemia : Hb ≥ 12 g/dl

- Anemia Ringan : Hb 8 g/dl – Hb 11,9 g/dl - Anemia Sedang : Hb 6 g/dl – Hb 7,9 g/dl - Anemia Berat : Hb < 6 g/dl

3.2.4. Prevalensi Anemia

Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), tahun 2005 didapati 1.62 milyar penderita anemia di seluruh dunia.

Angka prevalensi anemia di Indonesia menurut Husaini dkk dapat dilihat pada tabel dibawah

Perkiraaan Prevalensi Anemia di Indonesia Tabel 2.1

Prevalensi Anemia di Indonesia

Kelompok Populasi Angka Prevalensi

1. Anak Prasekolah (balita) 2. Anak Usia Sekolah 3. Dewasa tidak hamil 4. Hamil 5. Laki-laki dewasa 6. Pekerja berpenghasilan rendah 30-40% 23-35% 30-40% 50-70% 20-30% 30-40%

(13)

Angka prevalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada geografi. Salah satu faktor determinan utama adalah taraf sosial ekonomi masyarakat.

3.2.5. Klasifikasi Anemia

Anemia dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara, tergantung dari sudut mana kita melihat dan tujuan kita melakukan klasifikasi tersebut.

Klasifikasi yang sering dipakai :

1. Klasifikasi morfologik : yang berdasarkan morfologi eritrosit pada pemeriksaan apusan darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit. Klasifikasi Anemia berdasarkan Morfologi Eritrosit

A. Anemia hipokromik mikrositer - Anemia defisiensi besi - Thalasemia

- Anemia akibat penyakit kronik - Anemia sideroblastik

B. Anemia normokromik normositer - Anemia pascaperdarahan akut - Anemia aplastik – hipoplastik

- Anemia hemolitik – terutama bentuk yang didapat - Anemia akibat penyakit kronik

(14)

C. Anemia makrositer - Megaloblastik - Nonmegaloblastik

2. Klasifikasi etiopatogenesis : yang berdasarkan etiologi dan pathogenesis terjadinya anemia.

Klasifikasi Anemia berdasarkan Etiopatogenesis A. Produksi Eritrosit menurun

B. Kehilangan Eritrosit dari tubuh - Anemia pascaperdarahan akut - Anemia pascaperdarahan kronik

C. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis) D. Bentuk campuran

E. Bentuk yang patogenesisnya belum jelas

3.2.6. Diagnosa a. Anamnesis

b. Pemeriksaan Fisik

Harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh

- Warna kulit : pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti jerami

- Purpura : petechie dan echymosis - Kuku : Koilonchyia (kuku sendok)

(15)

- Mata : Ikterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus

- Mulut : Ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi pada lidah, glossits dan stomatitis angularis

- Limfadenopati - Hepatomegali

c. Pemeriksaan Laboratorium Hematologik

- Tes penyaring : tes ini dikerjakan pada tahap awal pada setiap kasus anemia. Pemeriksaan ini meliputi :

a. Kadar Hemoglobin

b. Indeks eritrosit (MCV. MCH dan MCHC) c. Apusan darah tepi

- Pemeriksaan rutin : pemeriksaan ini juga dilakukan pada semua kasus anemia untuk mengetahui kelainan pada sistem leukosit dan trombosit. Pemeriksaan ini meliputi :

a. Laju endap darah b. Hitung diferensial c. Hitung retikulosit

- Pemeriksaan sumsum tulang : pemeriksaan ini harus dikerjakan pada sebagian besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis defenitif meskipun ada beberapa kasus yang diagnosisnya tidak memerlukan pemeriksaan sumsum tulang

- Pemeriksaan atas indikasi khusus :

a. Anemia defesiensi besi : serum iron, TIBC, saturasi transferin, dan feritin serum.

(16)

b. Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12

c. Anemia hemolitik : hitung retikulosit, tes coombs, elektroforesis, Hb

Gambar

Gambar 2.1 : Jenis Mioma Uteri dan Lokasinya  (Sumber: Martin L.Pernoll, 2001)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kehidupan sehariPancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan Negara

Nugget Berbahan Bakuu Ikan Lele Jenis Lele Dumbo Clarias gariepinus nugget ikan lele adalah produk olahan dari ikan lele jenis lele dumbo Clarias gariepinus dengan bahan

1. Anak tersebut anak yatim piatu, dimana tidak diketahui nama marganya atau nama orang tuanya. Biasanya jenis pengangkatan seperti ini, orang tua angkatnya berhak memberi

Pada Tabel 6 berikut ini menggambarkan viabilitas semen beku kerbau setelah thawing, terlihat bahwa perlakuan pemberian 1mM glutathione dan penggantian plasma semen

Fermentasi dalam system rumen in vitro dari bahan pakan berupa campuran jerami padi dan tepung daun murbei dengan imbangan 70:30 dan ditambahkan UMML dengan jumlah yang

Karena energi listrik merupakan bentuk energi sekunder maka energi listrik tidak diperoleh secara langsung di alam dan perlu dibangkitkan menggunakan energi primer yang

Dari hasil pengamatan dan wawancara terhadap pelaksanaan laporan morbiditas rawat inap di unit kerja rekam medis di Rumah Sakit Umum Sinar Husni Medan, ada beberapa

Jika seorang pengguna jalan, apalagi yang menggunakan kendaraan besar atau cepat, tidak menggunakan pikiran, mata, telinga dan perangkat diri lainnya dengan