SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Willy Hartanto NIM : 038114106
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Willy Hartanto NIM : 038114106
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Kupersembahkan karya kecilku ini untuk :
My Lord JESUS CHRIST who love us
Papa, mama tercinta atas segala sesuatu yang
terbaik yang telah diberikan
Christian, Edwin, ie Hwa, ie Mei Chen, ie Lili atas
segala dukungan dan bantuannya
Chemistry 2003 yang kucintai dan kubanggakan
Harapan dan cita-citaku
dan penyertaan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.). Skripsi ini berjudul Optimasi Komposisi Polysorbate 80 dan Gliserin sebagai
Emulsifying Agent dalam lotion Virgin Coconut Oil dengan Aplikasi Desain
Faktorial.
Selama perkuliahan, penelitian hingga proses penyusunan skripsi, penulis telah mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak yang berupa dukungan, sarana, bimbingan, nasihat, kritik dan saran. Oleh karenanya pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terimakasih kepada :
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia membimbing dan meluangkan waktunya untuk penulis selama penelitian dengan memberikan bimbingan, dukungan, nasihat, kritik dan saran yang membangun.
3. Rini Dwiastuti, S.Farm., Apt. selaku dosen penguji yang telah bersedia memberikan kritik dan saran selama penyusunan skripsi.
6. Dr. C. J. Soegihardjo, Apt. Yang telah memberikan banyak referensi dan masukan.
7. Pak Mus, Mas Agung, Mas Iswandi, Mas Ottok, Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Andre, dan Mas Yuwono selaku laboran dan karyawan yang telah membantu selama penelitian.
8. Papa dan mama tercinta atas dukungan moral dan materi yang terbaik yang telah diberikan pada penulis. Adikku Christian, Edwin; ie Hwa, ie Mei Chen, dan ie Lili atas segala dukungan dan bentuannya.
9. Rekan kerjaku (Shindi dan Silus) atas bantuan, kebersamaan, persahabatan, dan kerjasamanya. Teman-teman senasib di lantai I : Saw Palmetto’s team (Erma, Marlinna, Ratna, Yenny), effervescent’s team (Esti, Ranti, Tyas atas bantuan selama persiapan ujian), sun screen’s team (Eva, Renny, Tirza), repellant’s project (Indah), renal calculi’s team (Mita atas bantuan, dukungan dan semangat yang ditimbulkannya; Rinto), Ariyanto, dan Nunu atas dukungan dan kebersamaan selama penyusunan skripsi kita.
10.Para pelaku sensory assessment yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu atas bantuannya yang mau mencoba lotion yang belum terdaftar.
untuk mengetahui area komposisi optimum dari emulsifying agent yang dapat menghasilkan lotion VCO yang dapat diterima konsumen.
Penelitian ini termasuk dalam rancangan ekperimental murni yang bersifat eksploratif dengan desain faktorial dengan 2 faktor, yaitu emulsifying agent yang berupa polysorbate 80-gliserin, dan 2 level yaitu level tinggi-level rendah. Untuk optimasi formula digunakan metode desain faktorial dengan kombinasi formula 1, a, b, dan ab. Optimasi tersebut dilakukan terhadap parameter sifat fisik lotion
yang meliputi daya sebar, viskositas, perubahan viskositas, dan stabilitas sediaan selama penyimpanan satu bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa polysorbate 80 diprediksi dominan dalam mempengaruhi daya sebar, viskositas segera setelah pembuatan, dan perubahan viskositas. Sementara itu, stabilitas lotion diprediksi dipengaruhi secara dominan oleh interaksi antara gliserin dengan polysorbate 80. Pada level penelitian ditemukan area komposisi optimum emulsifying agent yang menghasilkan karakter fisik lotion yang dikehendaki. Area optimum ditunjukkan melalui contour plot super imposed.
out the area optimum the composition of emulsifying agent to produce a VCO lotion who can accepted by consumer.
This research is a pure experimental research, using factorial design method with two factors are polysorbate 80-glycerine as an emulsifying agent and two levels are high level-low level. The optimization formula used factorial design method with combination of all formulas. The optimization has done by measured lotion’s physical characteristic including spreadability, viscosity and physical stability after one month of storage.
The result of this research exhibit that polysorbate 80 predicted dominantly affect spreadability, viscosity measured as soon as the making process finished, and viscosity changing. In other hand, the interaction of the effect of glycerine and polysorbate 80 was the predicted factor dominant in determining the lotion’s stability. There’s an area optimum of emulsifying agent compotition at the research’s level whose results wanted physical characteristics of lotion. The optimum area exhibited by contour plot super imposed.
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PRAKATA... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ix
INTISARI ... x
ABSTRACT ... xi
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 4
C. Keaslian Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
E. Tujuan Penelitian ... 5
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 6
D.
Moisturizer ... 12
E.
Emulsifying Agent
... 13
1.
Polysorbate 80 ... 13
2.
Gliserin ... 14
3.
Cetyl alcohol ... 15
4.
Asam stearat ... 16
F.
Trietanolamin ... 17
G.
Metil Paraben ... 17
H.
Hydrophile-Lypophile-Balance (HLB) System ... 18
I.
Metode Desain Faktorial ... 18
J.
Landasan Teori ... 21
K.
Hipotesis ... 23
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 24
A.
Jenis dan Rancangan Penelitian ... 24
B.
Identifikasi Variabel Penelitian ... 24
C.
Definisi Operasional ... 25
D.
Bahan dan Alat Penelitian ... 27
E.
Tata Cara Penelitian ... 28
1.
Formula ... 28
d.
Pengujian viskositas ... 31
e.
Pengujian stabilitas ... 31
f.
Sensory assessment
... 31
B.
Analisis Data dan Optimasi ... 32
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
A.
Pembuatan Lotion Virgin Coconut Oil
... 33
B.
Penentuan Tipe Emulsi Lotion Virgin Coconut Oil ... 35
1.
Menambahkan fase eksternal secara berlebih ... 36
2.
Menggunakan zat warna yang larut dalam fase eksternal ... 37
3.
Menggunakan kertas saring ... 38
C.
Sifat Fisik dan Stabilitas Lotion Virgin Coconut Oil ... 39
1.
Daya sebar ... 41
2.
Viskositas ... 43
3.
Perubahan viskositas ... 46
4.
Stabilitas lotion
... 48
D.
Optimasi Formula ... 49
1.
Daya sebar ... 50
2.
Viskositas ... 51
3.
Perubahan viskositas ... 52
B. Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 59
LAMPIRAN ... 62
dan dua level ... 20
Tabel II. Rancangan desain faktorial gliserin dan polysorbate 80 ... 29
Tabel III. Jumlah bahan yang digunakan ... 30
Tabel IV. Hasil pengukuran sifat fisik lotion VCO ... 40
Gambar 2. Struktur molekul polysorbate 80 ... 13
Gambar 3. Struktur molekul gliserin ... 14
Gambar 4. Struktur molekul cetyl alcohol ... 15
Gambar 5. Struktur molekul asam stearat ... 16
Gambar 6. Struktur molekul trietanolamin ... 17
Gambar 7. Struktur molekul metil paraben ... 17
Gambar 8. Gambar penampilan fisik lotion VCO setelah ditambah dengan fase eksternal berlebih ... 36
Gambar 9. Gambar penampilan fisik lotion VCO setelah ditambah dengan zat warna yang larut dalam fase eksternal ... 37
Gambar 10. Gambar kertas saring yang telah dikeringkan setelah diteteskan dengan lotion VCO ... 38
Gambar 11. Grafik hubungan antara daya sebar-gliserin (11a) ... 42
Grafik hubungan antara daya sebar-polysorbate 80 (11b) ... 42
Gambar 12. Grafik hubungan antara viskositas-gliserin (12a) ... 44
Grafik hubungan antara viskositas-polysorbate 80 (12b) ... 44
Gambar 13. Grafik hubungan antara perubahan viskositas-gliserin (13a). 47 Grafik hubungan antara perubahan viskositas-polysorbate 80 (13b) ... 47
Gambar 16. Contour plot viskositas lotion ... 52
Gambar 17. Contour plot perubahan viskositas lotion ... 53
Gambar 18. Contour plot stabilitas lotion ... 55
Lampiran 2. Data pengukuran sifat fisik lotion VCO ... 63
Lampiran 3. Perhitungan persamaan desain faktorial daya sebar ... 69
Lampiran 4. Perhitungan persamaan desain faktorial viskositas ... 72
Lampiran 5. Perhitungan persamaan desain faktorial perubahan viskositas ... 75
Lampiran 6. Perhitungan persamaan desain faktorial stabilitas lotion ... 78
Lampiran 7. Rekapitulasi sensory assessment ... 81
Lampiran 8. Gambar VCO yang digunakan dalam penelitian ... 85
A.
Latar Belakang
Minyak kelapa atau minyak kelentik sudah lama dikenal masyarakat
daerah tropis dan digunakan secara turun-temurun. Sejak zaman dahulu,
masyarakat banyak memanfaatkan minyak kelapa untuk menghaluskan kulit,
melebatkan rambut, menyembuhkan koreng, dan mengatasi permasalahan pada
kulit kepala bayi (Sukartin dan Sitanggang, 2005).
Minyak kelapa sangat baik untuk melembutkan kulit yang kasar dan
keriput. Hal ini dikarenakan struktur molekul minyak kelapa yang kecil sehingga
mudah diserap oleh kulit dan rambut. Minyak kelapa yang dipakai secara oral
maupun topikal dapat membantu menjaga kulit awet muda. Minyak kelapa dapat
membantu mengangkat sel-sel kulit mati dan menggantinya dengan sel-sel baru
sehingga kulit menjadi elastis dan kuat. Minyak kelapa juga dapat melindungi
kulit dari serangan bakteri dan jamur yang dapat merusak kulit (Sukartin dan
Sitanggang, 2005).
Kelembaban kulit yang rendah dapat menyebabkan kulit kering, kasar
dan tidak menarik. Masyarakat yang tinggal di daerah tropis maupun yang tinggal
di daerah dingin cenderung mempunyai masalah kulit kering. Sebagian besar
masyarakat menggunakan pelembab untuk mengatasi kulit yang kering. Minyak
kelapa oleh masyarakat lebih dikenal sebagai minyak goreng. Minyak kelapa yang
digunakan untuk memasak, melainkan minyak kelapa murni yang disebut dengan
Virgin Coconut Oil (VCO) (Anonim, 2007a). Mekanisme VCO sebagai
moisturizer adalah dengan cara membentuk lapisan tipis di permukaan kulit (occlusive) yang mencegah hilangnya air dari dalam kulit (Schwartz, 2006).
VCO merupakan minyak kelapa yang diolah tanpa pemanasan atau
dengan pemanasan terbatas sehingga dihasilkan minyak jernih (bening) dan
beraroma khas kelapa. Pembuatan VCO yang dibuat tanpa pemanasan
menggunakan teknik fermentasi atau teknik minyak pancing. Pemanasan terbatas
menggunakan suhu antara 60°-80°C dilakukan untuk menghasilkan VCO karena
jika dipanaskan hingga lebih dari 100°C akan dihasilkan minyak yang berwarna
kuning tua atau kecoklatan yang merupakan minyak goreng biasa (Anonim,
2007a). VCO tersebut dibuat dalam bentuk sediaan lotion untuk memudahkan
penggunaannya. Sediaan yang masih dalam bentuk minyak tentunya akan
menimbulkan rasa yang tidak nyaman jika dioleskan langsung pada kulit
(Rawling, 2002).
Digunakan VCO karena kandungan asam lemak jenuh pada minyak
kelapa lebih tinggi (92%) daripada minyak nabati lainnya. Tingginya asam lemak
jenuh dapat membuat minyak kelapa tahan terhadap ketengikan akibat oksidasi.
Kandungan asam lemak jenuh minyak kelapa didominasi oleh asam laurat
(44-52%). Asam laurat ini dapat membunuh berbagai jenis mikroorganisme yang
membran selnya mengandung asam lemak. Dengan demikian, minyak kelapa
dapat berfungsi sebagai preservative yang dapat menjaga stabilitas fisiknya. Yang
VCO merupakan asam lemak jenuh rantai sedang, sedangkan pada minyak kelapa
biasa berupa asam lemak jenuh rantai panjang. Asam lemak jenuh rantai sedang
selain asam laurat adalah asam kaproat, asam kaprilat, dan asam miristat yang di
dalam tubuh dipecah untuk memproduksi energi dan bukannya disimpan sebagai
lemak (Sukartin dan Sitanggang, 2005).
Lotion VCO diformulasikan sebagai emulsi minyak dalam air dengan tujuan untuk memberikan kenyamanan konsumen karena mudah dicuci dengan air
dan tidak meninggalkan kesan lengket di kulit. Emulsifying agent yang digunakan
dalam sistem emulsi akan mempengaruhi sifat fisik dan kestabilan lotion.
Polysorbate 80 secara sifat fisik lebih kental daripada gliserin dan lebih
bersifat sebagai emulsifying agent sehingga diduga polysorbate 80 akan lebih
dominan dalam mempengaruhi sifat fisik lotion. Penentuan efek moisturizer lotion
dilakukan dengan menggunakan metode sensory assessment. Metode sensory
assessment diharapkan dapat memberikan gambaran tentang efek moisturizer dan
kenyamanan lotion saat digunakan konsumen.
Kombinasi polysorbate 80 dan gliserin dioptimasi berdasarkan metode
desain faktorial, sehingga didapatkan lotion VCO yang optimum baik dari segi kualitas fisik dan kestabilan lotion. Desain faktorial merupakan salah satu metode optimasi formula dengan aplikasi persamaan regresi yang menggambarkan
hubungan antara variabel respon dengan satu atau lebih variabel bebas. Persamaan
umum dari desain faktorial : Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b12X1X2 . Melalui persamaan
mendapatkan formula yang optimum sebatas level emulsifying agent yang diteliti. Metode ini dapat menjelaskan efek tiap-tiap faktor maupun interaksi antar faktor
secara simulasi sehingga dapat diketahui efek mana yang dominan (James, 1999).
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang diangkat penulis
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manakah di antara polysorbate 80, gliserin, atau interaksinya yang lebih
dominan dalam menentukan sifat fisik lotion VCO?
2. Dapatkah ditemukan area komposisi emulsifying agent yang optimum dengan
sifat fisik lotion yang dikehendaki dalam pembuatan lotion VCO?
C. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian tentang
VCO yang digunakan sebagai lotion moisturizer dengan menggunakan
polysorbate 80 dan gliserin sebagai emulsifying agent belum pernah dilakukan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang bentuk sediaan lotion yang
berasal dari bahan alam dengan menggunakan emulsifying agent yang berupa
2. Manfaat praktis
Menghasilkan sediaan berupa lotion VCO yang berkhasiat sebagai
moisturizer, praktis, dan dapat diterima masyarakat.
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh polysorbate 80, gliserin, atau interaksi keduanya yang
lebih dominan dalam menentukan sifat fisik lotion VCO.
2. Mengetahui area komposisi polysorbate 80 dan gliserin yang optimum pada
A.
Virgin Coconut Oil
Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan salah satu hasil olahan dari daging
buah kelapa (Cocos nucifera L.) yang masih segar (Shilhavy, 2005) yang dapat
melembutkan dan melembabkan kulit (Sukartin dan Sitanggang, 2005).
Terdapat tiga teknik pembuatan VCO yang umum digunakan yaitu :
1.
Teknik Pemanasan
Prinsip dari teknik pemanasan adalah memisahkan lapisan paling atas
yang berupa krim pada santan yang telah didiamkan 12 jam dari lapisan
lainnya untuk kemudian dipanaskan agar terbentuk minyak. Minyak hasil
pemanasan kemudian disaring dan minyak yang dihasilkan dipanaskan
kembali hingga didapatkan minyak yang lebih jernih (Sukartin dan
Sitanggang, 2005).
2.
Teknik Fermentasi
Prinsip dari teknik fermentasi mirip dengan teknik pemanasan, hanya
saja dalam teknik ini digunakan suatu enzim pemecah protein. Lapisan krim
yang didapat ditambah dengan enzim [mikroorganisme] seperti Sacharomyces
cerevisiae, poligalakturonase, amilase, atau pektinase dan difermentasikan
selama 1-2 hari. Hasil fermentasi menghasilkan tiga lapis cairan dan yang
dimanfaatkan adalah lapisan minyak yang berada pada lapisan paling atas.
Minyak tersebut kemudian dipanaskan hingga jernih (Sukartin dan
Sitanggang, 2005).
3. Teknik Minyak Pancing
Prinsip pembuatan VCO dengan minyak pancing adalah menarik
molekul minyak di dalam santan dengan minyak pancing (VCO yang sudah
jadi) hingga didapat minyak yang diinginkan. Minyak pancing akan memutus
ikatan antara air dan protein yang terikat dengan molekul santan. Teknik ini
pada dasarnya adalah mengubah bentuk emulsi air menjadi
minyak-minyak (Sukartin dan Sitanggang, 2005).
Secara kimiawi, minyak kelapa terbentuk dari rantai karbon, hidrogen,
dan oksigen yang disebut dengan asam lemak. Berdasarkan tingkat kejenuhannya,
asam lemak dikelompokkan menjadi tiga golongan, yakni asam lemak jenuh,
asam lemak tak jenuh tunggal, dan asam lemak tak jenuh ganda. Asam lemak
dalam minyak kelapa sebagian besar berupa minyak lemak jenuh (92%).
Dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, minyak kelapa memiliki kandungan
asam lemak jenuh yang lebih tinggi (92%). Tingginya asam lemak jenuh yang
dikandungnya menyebabkan minyak kelapa tahan terhadap ketengikan akibat
oksidasi (Sukartin dan Sitanggang, 2005)
Asam lemak jenuh terdiri atas tiga subkelompok. Yang pertama adalah
kelompok minyak dengan asam lemak rantai pendek atau short chain triglyceride
(SCT). Kelompok kedua adalah minyak dengan asam lemak rantai sedang atau
medium chain triglyceride (MCT) dan kelompok ketiga adalah minyak dengan
lemak jenuh dalam minyak kelapa didominasi oleh asam laurat (44 - 52 %) yang
merupakan MCT. Asam laurat inilah yang membuat minyak kelapa menjadi unik
karena sebagian besar minyak nabati tidak mengandung MCT. MCT di dalam
tubuh dipecah dan secara dominan digunakan untuk memproduksi energi dan
jarang tersimpan sebagai lemak. Oleh karena itu, asam lemak pada minyak kelapa
menghasilkan energi, bukan lemak (Sukartin dan Sitanggang, 2005).
B. Kulit
Kulit merupakan organ terluas yang menutupi seluruh permukaan tubuh.
Kulit memiliki kekakuan yang bervariasi di setiap bagian yang berbeda. Daerah
yang paling kaku dan tebal adalah telapak kaki dan telapak tangan serta sela-sela
jari. Kulit menjadi lebih tipis dan berkeriput pada usia tua dan kelihatan
kekuningan bahkan keabu-abuan, sering disebut penuaan kulit. Pada kulit wajah,
sel-selnya sangat tipis, sehingga memungkinkan sediaan kosmetik dapat
berpenetrasi (Young, 1972).
Kulit berfungsi sebagai pelindung tubuh dari pengaruh luar baik secara
fisik maupun imunologik. Kulit juga berperan penting dalam interaksi antar
individu dengan lingkungan, karena merupakan indera yang sensitif terhadap
sentuhan yang kadang membuat perasaan emosional (Rawling,2002).
Kecantikan kulit dipengaruhi oleh keadaan keratinisasi (pigmentasi lebih
gelap) pada permukaan sel, aktivitas kelenjar sekresi, dan keadaan jaringan lemak.
menarik. Pada tingkatan yang lebih buruk menyebabkan kulit pecah-pecah dan
mudah teriritasi (Rawling, 2002).
Gambar 1. Penampang kulit manusia (Anonim, 2007b)
Secara garis besar, kulit dibagi menjadi tiga lapis yaitu :
1. Epidermis
Merupakan lapisan kulit terluar yang tersusun atas stratum corneum,
stratum lucidum, Rein’s barrier, stratum granulosum, stratum spinosum, dan
stratum germinativum. Stratum corneum berada pada lapisan paling luar dari epidermis, sehingga suatu bentuk sediaan topikal harus dapat melewati
stratum corneum sebelum menimbulkan efek yang diinginkan (Jellinek, 1970).
Stratum corneum merupakan lapisan sel tanpa inti sel sehingga
disebut sebagai sel mati yang terdiri dari keratin, protein yang tidak larut air,
rendah, tapi berperan penting dalam menentukan kelembutan dan fleksibilitas
kulit. Permukaan stratum corneum tertutup oleh sebum dan keringat. Sebum
ini berfungsi untuk menjaga fleksibilitas kulit dan mengatur kelembaban
lapisan kulit yang berada di bawahnya (Jellinek, 1970).
2. Corium (dermis)
Terdiri atas jaringan pengikat dan serabut kolagen yang menentukan
elastisitas kulit. Antara epidermis dan corium dihubungkan dengan lapisan papiler yang akan menjadi pipih seiring bertambahnya usia sehingga
elastisitas kulit berkurang. Pembuluh darah kapiler dan ujung saraf terdapat
pada bagian corium, tepatnya pada lapisan retikuler (Jellinek, 1970).
3. Hipodermis
Terdiri atas jaringan pengikat yang mengandung sel lemak yang
berfungsi sebagai pelindung getaran mekanik dan cadangan lemak (Jellinek,
1970).
Untuk menjamin kulit berada dalam kondisi yang baik, ada beberapa hal
yang harus dilakukan yaitu cleansing, freshing atau toning, dan moisturizing.
Kulit membutuhkan makanan yang dapat berfungsi sebagai barier pelindung yang
akan melindungi kulit dari cuaca dan kotoran. Moisturizing cream digunakan saat
kulit mulai mengalami penuaan dan kandungan air dalam kulit mulai berkurang
karena kulit yang kering. Fungsi utama dari moisturizing cream adalah
C. Emulsi
Emulsi merupakan suatu sistem heterogen yang minimal terdiri dari satu
macam cairan yang tidak saling campur yang dapat terdispersi ke dalam cairan
lain dalam bentuk droplet atau globules yang biasanya berdiameter lebih dari 0,1
m. Emulsi juga dapat didefinisikan sebagai campuran yang tidak stabil dari dua
cairan yang tidak saling campur secara termodinamika dengan suatu emulsifying agent yang mengikat kedua jenis cairan tersebut (Allen, 2002).
Suatu emulsi terdiri dari fase dispers (fase internal atau discontinuous phase), medium dispers (fase eksternal atau continuous phase), dan komponen ketiga yang diketahui sebagai emulsifying agent. Diameter globules fase dispers pada umumnya berada dalam rentang 0,1 – 10 m meskipun ada beberapa yang
lebih kecil dari 0,01 m dan lebih besar dari 100 m (Allen, 2002).
Emulsi dibuat dalam bentuk sediaan jika ada dua cairan yang tidak saling
campur yang harus terdispersi menjadi satu kesatuan. Biasanya berupa campuran
antara komponen polar (air) dan nonpolar (minyak). Jika fase minyak terdispersi
dalam fase air disebut emulsi tipe minyak dalam air (O/W). Sedangkan jika fase
air yang terdispersi dalam fase minyak disebut emulsi tipe air dalam minyak
(W/O). Emulsi tipe W/O tidak larut dalam air, tidak dapat dicuci dengan air,
D. Lotion
Lotion merupakan suatu sediaan topikal yang nonviscous yang ditujukan untuk kulit sehat. Lotion yang paling banyak dibuat adalah emulsi tipe minyak dalam air. Lotion dapat diaplikasikan pada kulit yang berambut dan mempunyai daya sebar yang luas dengan membentuk lapisan tipis yang tidak dimiliki krim
karena sifat krim yang viscous (Anonim, 2006a).
Lotion memungkinkan pemakaian yang merata dan cepat pada permukaan kulit yang luas. Setelah diaplikasikan dapat menimbulkan kesan halus,
lembut, dan tidak berminyak. Lotion biasanya berupa emulsi dengan tipe minyak
dalam air dengan maksud agar lotion segera mengering setelah diaplikasikan pada
kulit dan meninggalkan lapisan tipis dari komponen obat pada permukaan kulit
(Ansel, 1989; Wilkinson and More, 1982).
E. Moisturizer
Moisturizer merupakan suatu campuran kompleks dari bahan kimia yang secara khusus dirancang untuk membuat lapisan terluar kulit menjadi lebih
lembab dan lebih fleksibel dengan meningkatkan kandungan air (Anonim, 2006b).
Moisturizer merupakan produk emollient yang diformulasikan khusus sebagai
krim yang tidak berminyak dan lotion yang dapat melembabkan kulit kering (Ash
and Michael, 1977).
Produk emollient seperti moisturizer mempunyai bahan yang larut
minyak atau larut air dalam jumlah banyak yang dapat mengurangi hilangnya air
(occlusive) yang dapat menjaga kelembaban di lapisan kulit terluar (Ash and
Michael, 1977). Ada dua alasan utama yang membuat mekanisme occlusive
menjadi pilihan dalam mengatasi kulit kering, yaitu air transepidermal merupakan
sumber air yang paling efektif dan occlusive agent mempunyai efek emollient
(Schwartz, 2006).
F. Emulsifying Agent
Emulsifying agent merupakan suatu molekul yang mempunyai rantai hidrokarbon nonpolar dan polar pada tiap ujung rantai molekulnya. Emulsifying agent akan dapat menarik fase minyak dan fase air sekaligus dan emulsifying agent akan menempatkan diri berada di antara kedua fase tersebut. Keberadaan
emulsifying agent akan menurunkan tegangan permukaan fase minyak dan fase air (Friberg, Quencer, and Hilton, 1996).
1. Polysorbate 80
Gambar 2. Struktur molekul polysorbate 80 (Anonim, 2007c)
Polysorbate 80 merupakan ester oleat dari sorbitol di mana tiap
molekul anhidrida sorbitolnyanya berkopolimerisasi dengan 20 molekul
etilenoksida (anhidrida sorbitol : etilenoksida = 1:20). Polysorbate 80 berupa
cairan kental berwarna kuning muda sampai kuning sawo (Anonim, 1993),
berbau karamel yang dapat menyebabkan pusing (Greenberg, 1954), panas
Polysorbate 80 sangat larut dalam air, larut dalam etanol (95%) P dan
etilasetat P, tidak larut dalam parafin cair P (Anonim, 1993), tidak larut dalam
alkohol polihidrik (Greenberg, 1954). Polysorbate 80 mempunyai titik lebur
yang berada pada suhu 5°-6°C, nilai pH 6.0-8.0, stabil dalam larutan dengan
pH 2-12 (Greenberg, 1954), mempunyai nilai HLB 15 (Allen, 2002) dan bobot
jenis antara 1,06-1,09 (Anonim, 1995). Polysorbate 80 digunakan sebagai
emulsifier pada krim dan lotion, pelarut minyak esensial dalam air (Greenberg, 1954).
Polysorbate 80 merupakan emulsifier nonionik yang tercantum dalam
USP/NF, BP, dan EP sebagai produk yang generally recognized as safe
(GRAS). Polysorbate 80 praktis dapat ditoleransi tidak mengiritasi yang
memiliki potensi toksik yang sangat rendah (Anonim, 2006c). Konsentrasi
polysorbate 80 yang biasa digunakan sebagai emulsifier tunggal pada emulsi tipe W/O sebesar 1-15%. Sedangkan polysorbate 80 yang dikombinasikan
dengan emulsifier hidrofilik dalam emulsi tipe O/W biasanya memiliki
konsentrasi sebesar 1-10% (Boylan, Cooper, and Chowhan, 1986).
2. Gliserin
Gambar 3. Struktur molekul gliserin (Anonim, 2006d)
Gliserin berupa sirup cair, agak manis (sekitar 0.6 kali gula tebu),
mengabsorpsi lembab dan H2S di udara (Anonim, 1976). Bobot jenis gliserin
dalam 500 bagian etil eter. Gliserin tidak larut dalam benzen, kloroform, CCl4,
petroleum eter, dan minyak. Gliserin digunakan sebagai pelarut, humectant,
plasticizer, emollient, pemanis, bahan kosmetik, dan lubricant (Anonim, 1976).
Gliserin merupakan moisturizer alami dengan konsentrasi rendah
yang jika berada dalam konsentrasi tinggi dapat menyerap lembab. Gliserin
dapat membantu menjaga kondisi kulit yang biasanya digunakan dalam krim
dan lotion (Anonim, 2006e). Gliserin digunakan sebagai humectant untuk menjaga kelembaban sediaan dikarenakan sifatnya yang higroskopis (Anonim,
2000). Gliserin dapat digunakan sebagai humectant dengan konsentrasi 10-20% (Voigt,1994). Gliserin tidak mengiritasi dan jarang menyebabkan
sensitifitas yang ekstrim (Smolinske, 1992).
3. Cetyl alcohol
HO
Gambar 4. Struktur molekul cetyl alcohol (Boylan et al.,1986)
Cetyl alcohol mengandung tidak kurang dari 90% C16H34O,
selebihnya terdiri dari alkohol yang sejenis. Pemeriannya berupa serpihan
putih licin, granul, atau kubus, berwarna putih, bau khas lemah, rasa lemah.
Cetyl alcohol bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam etanol dan dalam eter, kelarutan bertambah dengan naiknya suhu (Anonim, 1995).
Cetyl alcohol ditambahkan pada emulsi untuk memperoleh produk
akhir yang halus dan lembut. Cetyl alcohol juga memberikan kelembutan pada
1996). Cetyl alcohol mempunyai titik didih sebesar 316°-344°C dan berat
jenis sebesar 0,811-0,830 g/cm3. Cetyl alcohol mampu menjaga stabilitas, memperbaiki tekstur dan meningkatkan konsistensi, serta dapat bersifat
sebagai emollient, emulsifying agent dan mampu menyerap air. Cetyl alcohol
tidak toksik dan tidak mengiritasi (Boylan et al.,1986).
4. Asam stearat
Gambar 5. Struktur molekul asam stearat (Anonim, 2006f)
Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh
dari lemak, sebagian besar terdiri dari asam stearat (C18H36O2) dan asam
palmitat (C16H32O2) dengan berat molekul 284,47 (Boylan et al.,1986)
Pemeriannya keras mengkilat, hablur, putih atau kuning pucat, dan mirip
lemak lilin. Asam stearat praktis tidak larut dalam air (Anonim,1979). Asam
stearat mempunyai nilai HLB sebesar 15 (Rieger, 1996).
Asam stearat mempunyai titik didih 383°C dan titik lebur 51°-62,5°C
dengan berat jenis sebesar 0,847 g/cm3. Asam stearat dalam bentuk serbuk
mungkin mengiritasi, tapi dengan air akan sedikit larut dan mudah dihilangkan
G. Trietanolamin
N
HO OH
HO
Gambar 6. Struktur molekul trietanolamin (Boylan et al., 1986)
Trietanolamin merupakan turunan amonia yang dipasarkan dalam bentuk
mono-, di-, dan trietanolamin dengan sifat yang larut dalam air, alkohol dan
kloroform. Trietanolamin berupa cairan kental yang berwarna kuning jernih dan
berbau lemah (Young, 1972) dengan titik lebur 21,2°C (Boylan et al., 1986). Jika
dikombinasikan dengan asam lemak akan membentuk garam (Young, 1972).
Trietanolamin digunakan sebagai bagian dari sistem emulsi yang
berkonjugasi dengan asam organik seperti asam stearat yang berfungsi dalam
mengontrol pH (Anonim, 2006g). Hanya monoetanolamin murni yang
mempunyai efek toksik yang nyata jika terabsorpsi di kulit. Dietanolamin dan
trietanolamin sangat tidak tosik jika terabsorpsi di kulit (Boylan et al., 1986).
H. Metil Paraben
Gambar 7. Struktur molekul metil paraben (Anonim, 2006h)
Metil paraben atau nipagin merupakan derivat dari paraben yang
kosmetik dan industri farmasi (Anonim, 2006h). Metil paraben berupa serbuk
halus hablur, putih, hampir tidak berbau, tidak mempunyai rasa, dan agak
membakar diikuti rasa tebal. Metil paraben larut dalam 500 bagian air, dalam 20
bagian air mendidih, larut dalam 60 bagian gliserol P panas, dan dalam 40 bagian
minyak lemak nabati, jika didinginkan larutan tetap jernih. Metil paraben melebur
pada suhu 125° -128°C (Anonim, 1979).
Paraben merupakan pengawet yang efektif di banyak formula. Paraben
dan bentuk garamnya umumnya digunakan sebagai bakterisida dan fungisida.
Paraben dapat ditemui dalam shampo, moisturizer, shaving gel, lubrikan, sediaan
topikal dan pasta gigi. Paraben dianggap aman karena toksisitasnya rendah dan
sejarah penggunaan paraben yang sudah sejak lama digunakan sebagai pengawet
(Anger, Rupp, Lo, and Takruri, 1996).
I. Hydrophile-Lipophile-Balance (HLB) System
Sistem HLB digunakan untuk menggambarkan karakteristik suatu
emulsifying agent dengan skala 0-20 yang dapat menyederhanakan pemilihan dan pencampuran emulsifier. Emulsifying agent dengan nilai HLB rendah (< 6) cenderung stabil pada emulsi tipe W/O, sedangkan nilai HLB tinggi ( 8≥ ) akan
cenderung stabil pada emulsi tipe O/W (Block, 1996).
J. Metode Desain Faktorial
Desain faktorial merupakan aplikasi persamaan regresi yaitu teknik untuk
variabel bebas. Desain faktorial digunakan dalam percobaan untuk menentukan
secara simulasi efek dari beberapa faktor dan interaksinya yang signifikan.
Signifikan berarti perubahan dari level rendah ke level tinggi pada faktor-faktor
akan menyebabkan perubahan besar pada responnya (Bolton, 1990).
Desain faktorial dua level berarti ada dua faktor (misal A dan B) yang
masing-masing faktor diuji pada dua level yang berbeda, yaitu level rendah dan
level tinggi. Dengan desain faktorial dapat didesain suatu percobaan untuk
mengetahui faktor dominan yang berpengaruh secara signifikan terhadap suatu
respon. Desain faktorial dengan dua faktor dalam suatu percobaan memberikan
pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah faktor A memiliki pengaruh yang signifikan terhadap suatu
respon?
2. Apakah faktor B memiliki pengaruh yang signifikan terhadap suatu
respon?
3. Apakah interaksi faktor A dan B memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap suatu respon?
(Bolton, 1990)
Desain faktorial mengandung beberapa pengertian yaitu faktor, level,
efek dan respon. Faktor merupakan setiap besaran yang mempengaruhi respon
(Voigt, 1984). Level merupakan nilai atau tetapan untuk faktor. Pada percobaan
dengan desain faktorial perlu ditetapkan level yang diteliti yang meliputi level
rendah dan level tinggi (Bolton, 1990). Efek adalah perubahan respon yang
rata-rata respon pada level tinggi dikurangi rata-rata-rata-rata respon pada level rendah. Respon
merupakan sifat atau hasil percobaan yang diamati. Respon yang diukur harus
dikuantitatifkan (Bolton, 1990).
Persamaan umum dari desain faktorial adalah sebagai berikut :
Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b12X1X2 ... (1)
keterangan :Y = respon hasil atau sifat yang diamati
X1, X2 = level bagian A dan B
b0 = rata-rata dari semua percobaan
b1, b2, b12 = koefisien yang dihitung dari hasil percobaan
Pada desain faktorial dua level dan dua faktor diperlukan empat
percobaan (2n = 4, dengan 2 menunjukkan level dan n menunjukkan jumlah
faktor). Yaitu formula 1 untuk percobaan I, formula a untuk percobaan II, formula
b untuk percobaan III, dan formula ab untuk percobaan IV.
Tabel I. Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level
Formula Faktor A Faktor B Interaksi
1 - - +
a + - -
b - + -
ab + + +
Keterangan :
Faktor A = Gliserin Faktor B = Polysorbate 80
Formula 1 = faktor A level rendah, faktor B level rendah
Formula a = faktor A level tinggi, faktor B level rendah
Berdasarkan persamaan diatas, dengan substitusi secara matematis, dapat
dihitung besarnya efek masing-masing faktor, maupun efek interaksi dengan
menggunakan rumus :
1. Efek A =
(
) (
)
2 b ab (1)
a− + −
... (2)
2. Efek B =
(
(
)
)
2 a ab (1)
b− + −
... (3)
3. Efek interaksi A dan B =
(
) (
)
2
a (1) b
ab− + −
... (4)
(Bolton, 1990)
Desain faktorial memiliki beberapa keuntungan. Metode ini memiliki
efisiensi yang maksimum untuk memperkirakan efek yang dominan dalam
menentukan respon. Keuntungan utama desain faktorial adalah bahwa metode ini
memungkinkan untuk mengidentifikasi efek masing-masing faktor, maupun efek
interaksi antar faktor. Metode ini ekonomis, dapat mengurangi jumlah penelitian
jika dibandingkan dengan meneliti dua efek faktor secara terpisah (Bolton, 1990).
Selain faktor dominan yang berpengaruh yang dapat diketahui dari metode ini,
dapat juga diketahui komposisi optimum melalui contour plot super imposed pada
level yang diteliti (Bolton, 1990).
K. Landasan Teori
Minyak kelapa telah digunakan secara turun-temurun untuk merawat
digunakan untuk menyembuhkan penyakit dan merawat kesehatan, termasuk juga
untuk merawat kulit. VCO merupakan minyak kelapa yang dibuat tanpa
pemanasan atau pemanasan terbatas sehingga menghasilkan minyak yang jernih
(bening) dan beraroma khas kelapa (Anonim, 2007a).
Indonesia yang merupakan negara tropis memiliki sebagian besar
masyarakat yang bermasalah dengan kulit kering. Masyarakat Indonesia yang
beraktivitas di luar ruangan akan selalu terpapar oleh sinar matahari yang dapat
membuat kulit menjadi kering. Masyarakat yang bekerja di dalam ruangan juga
dapat mengalami kulit kering karena pengaruh air conditioner (AC). Masyarakat
yang tinggal di daerah dingin juga dapat bermasalah dengan kulit kering. Banyak
masyarakat, khususnya wanita yang menggunakan pelembab yang ada di pasaran
untuk mengatasi dan mencegah kulit kering.
Kini VCO mulai menarik perhatian masyarakat karena dapat
melembutkan dan melembabkan kulit serta aman dalam penggunaannya. VCO
dapat diminum atau dioleskan langsung pada kulit. VCO yang langsung dioleskan
di kulit tentunya akan menimbulkan kesan yang tidak nyaman maka dibuat dalam
bentuk sediaan lotion yang akan memudahkan dalam pemakaiannya. Dipilih
bentuk sediaan lotion karena lotion lebih mudah diaplikasikan di kulit daripada
bentuk sediaan cair, krim, maupun padat. Lotion dibuat dalam bentuk emulsi tipe
O/W agar lotion mudah dicuci dengan air dan tidak menimbulkan kesan lengket di
kulit sehingga konsumen akan merasa nyaman menggunakan lotion VCO.
tetapi dalam penelitian ini polysorbate 80 dicampur dalam fase minyak dan
gliserin dicampur dalam fase air. Polysorbate 80 dicampur dalam fase minyak
untuk menurunkan tegangan permukaan fase minyak. Gliserin yang dicampur
dalam fase air bertujuan untuk menurunkan tegangan permukaan fase air,
sehingga fase minyak dan fase air dapat saling campur. Gliserin selain sebagai
emulsifying agent juga merupakan moisturizer alami yang dapat mempertahankan kandungan air di dalam stratum corneum sehingga efek moisturizing dari lotion
dapat diperkuat dengan adanya gliserin.
Optimasi formula lotion yang menggunakan emulsifying agent dengan
level yang berbeda ditentukan secara simulasi menggunakan metode desain
faktorial. Polysorbate 80 lebih bersifat sebagai emulsifying agent dan lebih kental daripada gliserin sehingga diduga polysorbate 80 akan lebih dominan dalam
mempengaruhi sifat fisik lotion. Penentuan efek moisturizer dilakukan dengan
menggunakan metode sensory assessment. Metode sensory assessment yang
digunakan diharapkan dapat memberikan gambaran tentang efek moisturizer dan
kenyamanan lotion saat digunakan konsumen.
L. Hipotesis
Hipotesis yang hendak diuji dalam penelitian ini adalah diduga
ditemukan faktor yang dominan antara polysorbate 80, gliserin atau interaksi
keduanya dalam menentukan sifat fisik lotion VCO, serta diduga ditemukan area
komposisi polysorbate 80 dan gliserinyang optimum dalam menghasilkan lotion
A.
Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan termasuk dalam jenis penelitian
eksperimental murni menggunakan desain faktorial dengan dua faktor dan dua
level yang bersifat eksploratif, yaitu mencari komposisi emulsifying agent antara
polysorbate 80 dan gliserin dalam formula lotion Virgin Coconut Oil yang
optimum yang dapat berfungsi sebagai moisturizer dan dapat diterima masyarakat.
B.
Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Variabel bebas
a.
Gliserin, level rendah 24 gram dan level tinggi 40 gram.
b.
Polysorbate 80, level rendah 20 gram dan level tinggi 32 gram.
2.
Variabel tergantung
Sifat fisik lotion yang meliputi daya sebar, viskositas, perubahan viskositas,
dan stabilitas lotion setelah penyimpanan.
3.
Variabel pengacau terkendali
Alat percobaan, wadah penyimpanan, letak lotion saat pengukuran daya sebar,
dan tinggi letak viscometer.
4.
Variabel pengacau tak terkendali
C. Definisi Operasional
1. Virgin Coconut Oil adalah minyak kelapa murni yang sebagian besar merupakan minyak lemak jenuh dalam jumlah yang lebih tinggi daripada
minyak nabati lainnya dan mempunyai kandungan utama yang berupa asam
laurat.
2. Lotion adalah suatu sediaan topikal yang nonviscous yang dapat diaplikasikan pada kulit yang berambut dan mempunyai daya sebar yang luas dengan
membentuk lapisan tipis pada kulit.
3. Moisturizer adalah produk emollient yang diformulasikan khusus sebagai krim
yang tidak berminyak dan lotion yang dapat melembabkan kulit kering.
4. Emulsifying agent merupakan suatu senyawa yang dapat menurunkan tegangan permukaan yang berada di antara dua cairan yang tidak saling
campur sehingga salah satu cairan dapat terdispersi di dalam cairan yang
lainnya.
5. Sifat fisik lotion adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui kualitas
fisik lotion yang dalam penelitian ini meliputi daya sebar, viskositas, perubahan viskositas, dan stabilitas setelah penyimpanan selama 1 bulan.
6. Daya sebar yang optimum adalah daya sebar lotion dengan diameter
penyebaran dengan range diameter 7,5 cm sampai 8 cm setelah 1 gram lotion
diberi beban 125 gram dan didiamkan selama 1 menit.
7. Viskositas optimum adalah viskositas yang memudahkan lotion diisikan ke
sebar yang baik saat diaplikasikan ke kulit. Viskositas yang optimum dalam
penelitian ini adalah berkisar antara 12 dPa.s sampai 17 dPa.s.
8. Perubahan viskositas optimum adalah selisih viskositas lotion setelah
disimpan selama 1 bulan ( 2) pada suhu kamar dengan viskositas segera
setelah pembuatan yang telah dirata-rata ( 1), dibandingkan dengan viskositas
segera setelah pembuatan adalah < 26% (Zatz, Berry, and Alderman, 1996). Perubahan viskositas dihitung menurut rumus sebagai berikut :
100% -1 1 2 × = as
viskosit ... (5)
9. Stabilitas lotion menunjukkan seberapa stabil lotion selama penyimpanan
dengan parameter stabilitas yang berupa ada tidaknya pemisahan fase selama
penyimpanan. Stabilitas lotion yang optimum dalam penelitian ini berkisar antara 99,5% sampai 100%. Stabilitas lotion dihitung dengan rumus sebagai berikut : % 100 × − − = mula mula lotion volume n ke hari pada stabil lotion volume lotion
stabilitas ... (6)
10.Respon dalam penelitian ini merupakan perubahan sifat fisik lotion yang berupa daya sebar, viskositas, perubahan viskositas, dan stabilitas lotion yang diamati secara kuantitatif.
11.Faktor dalam penelitian ini adalah gliserin sebagai faktor pertama dan
polysorbate 80 sebagai faktor kedua yang memberi pengaruh terhadap respon.
12.Level dalam penelitian ini menggunakan dua level yaitu level rendah (24 gram
untuk gliserin dan 20 gram untuk polysorbate 80) dan level tinggi (40 gram
13.Efek adalah pengaruh perubahan faktor terhadap respon karena adanya variasi
level, dapat dihitung secara matematis berdasarkan rumus desain faktorial
dengan menghitung selisih rata-rata respon level tinggi dikurangi respon level
rendah.
14.Contur plot adalah grafik yang berasal dari persamaan desain faktorial yang menunjukkan nilai respon sifat fisik lotion Virgin Coconut Oil.
15.Contour plot super imposed adalah grafik yang dapat memprediksi area
komposisi emulsifying agent yang optimum berdasarkan semua parameter
sifat fisik lotion Virgin Coconut Oil yang didapat dengan cara memplotkan masing-masing contour plot sifat fisik lotion yang meliputi daya sebar, viskositas, perubahan viskositas, dan stabilitas lotion.
16.Daerah optimum dalam penelitian ini adalah sifat fisik lotion yang meliputi daya sebar lotion 7,5 cm sampai 8 cm, viskositas lotion 12 dPa.s sampai 17 dPa.s, dan stabilitas lotion 99,5% sampai 100% yang terdapat dalam daerah pada contour plot super imposed.
D. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Virgin Coconut
Oil (VCO), gliserin (kualitas farmasetis), minyak lemon (kualitas farmasetis),
cetyl alcohol (kualitas farmasetis), polysorbate 80 (kualitas farmasetis), nipagin (kualitas farmasetis), asam stearat (kualitas farmasetis), trietanolamin
2. Alat penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini mortir dan stamfer,
glasswares (PYREX-GERMANY), waterbath, termometer, timbangan
analitik (Precise 2000C – 2000D1), horizontal double plate, stopwatch
(Casio®), dan Viscometer seri VT 04 (RION-JAPAN).
E. Tata Cara Penelitian
1. Formula
Formula yang digunakan sebagai moisturizer lotion Virgin Coconut
Oil mengacu pada The Art, Science, and Technology of Pharmaceutical
Compounding, Second Edition (Allen, 2002) dengan formula sebagai berikut :
R/ A. Virgin Coconut Oil 30 ml
Polysorbate 80 1 ml
Glyceryl monostearate 1 ml
B. Gliserin 20 ml
Nipagin 1 ml
Minyak Mawar 2 ml
Aquades qs 100 ml
Formula setelah penyesuaian untuk 100 gram adalah sebagai berikut:
R/ A. Virgin Coconut Oil 27,6 g
Polysorbate 80 (5 – 8) g
B. Cetyl alcohol 1,6 g
C. Gliserin (6 – 10) g
Trietanolamin 0,6 g
Nipagin 1,3 g
Minyak lemon 0,4 g
Aquades qs 20 g
Formula di atas dibuat lotion Virgin Coconut Oil yang mempunyai
efek moisturizer dengan emulsifying agent yang berupa gliserin dan
polysorbate 80. Level rendah gliserin adalah 6 gram dan level tinggi gliserin
adalah 10 gram. Level rendah polysorbate 80 adalah 5 gram dan level tinggi
polysorbate 80 adalah 8 gram. Penggunaan level rendah dan level tinggi
emulsifying agent berdasarkan pada survey pustaka dari Practical Cosmetic Science (Young, 1972).
Berikut adalah rancangan desain faktorial gliserin dan polysorbate 80
yang digunakan dalam penelitian :
Tabel II. Rancangan desain faktorial gliserin dan polysorbate 80
Formula Gliserin (gram) Polysorbate 80 (gram)
1 6 5
a 10 5
b 6 8
ab 10 8
Formula yang dibuat dalam penelitian adalah empat kali formula
standar (400 gram). Masing-masing jumlah bahan yang digunakan untuk level
Tabel III. Jumlah bahan yang digunakan
Formula 1 a b ab
VCO (gram) 110,4 110,4 110,4 110,4
Gliserin (gram) 24 40 24 40
Minyak lemon (gram) 1,6 1,6 1,6 1,6
Cetyl alcohol (gram) 6,4 6,4 6,4 6,4
Polysorbate 80 (gram) 20 20 32 32
Nipagin (gram) 5,2 5,2 5,2 5,2
Asam stearat (gram) 9,6 9,6 9,6 9,6
TEA (gram) 2,4 2,4 2,4 2,4
Aquadest (gram) 80 80 80 80
2. Alur penelitian
a. Pembuatan lotion
Bagian A dipanaskan di atas waterbath hingga 50oC. Bagian B dipanaskan
di atas waterbath hingga 50oC. Bagian A dan B dicampur menjadi satu ke
dalam mortir hangat. Bagian C dipanaskan di atas waterbath hingga 50oC
kemudian dimasukkan ke dalam mortir yang sama disertai dengan
pengadukan yang kontinu dan konstan hingga terbentuk emulsi. Lalu
tambahkan aquades sedikit demi sedikit. Terakhir, tambahkan minyak
lemon.
b. Penentuan tipe emulsi lotion VCO
1) Sejumlah kecil emulsi diteteskan di atas permukaan air dan amati yang
terjadi. Jika emulsi menyebar dan bercampur dengan air menunjukkan
bahwa air merupakan fase eksternal dari emulsi tersebut.
2) Sejumlah kecil zat warna yang larut air diteteskan di dalam emulsi dan
amati yang terjadi. Jika zat warna menyebar di dalam emulsi
3) Sejumlah kecil emulsi diteteskan di atas kertas saring yang bersih dan
amati yang terjadi. Jika tetesan emulsi menyebar dengan cepat
menunjukkan bahwa emulsi tersebut bertipe O/W.
c. Pengujian daya sebar
Uji daya sebar lotion dilakukan segera setelah pembuatan dengan cara menimbang lotion seberat 1 gram, diletakkan di tengah horizontal double plate. Di atas lotion diletakkan horizontal double plate lain dan pemberat
sehingga berat horizontal double plate dan pemberat 125 gram, didiamkan
selama 1 menit, kemudian dicatat diameter penyebarannya.
d. Pengujian viskositas
Pengukuran viskositas menggunakan alat Viscometer seri VT 04
(RION-JAPAN) dengan cara : lotion dimasukkan dalam wadah dan dipasang pada
portable viscotester. Viskositas lotion diketahui dengan mengamati gerakan jarum penunjuk viskositas. Uji ini dilakukan dua kali, yaitu (1)
segera setelah gel selesai dibuat dan (2) setelah disimpan selama 1 bulan.
e. Pengujian stabilitas
Lotion dimasukkan ke dalam tabung berskala. Amati pemisahan fase yang terjadi pada hari ke-0, 1, 3, 5, 7, 14, 21, 28, dan 30.
f. Sensory assessment
Lotion dicobakan pada 29 sukarelawan dengan cara mengaplikasikan
sejumlah lotion (0,1 gram) pada permukaan kulit. Kemudian sukarelawan
memberikan penilaian terhadap masing-masing formula lotion berdasarkan
F. Analisis Data dan Optimasi
Data yang terkumpul berdasarkan uji sifat fisik yang meliputi daya sebar,
viskositas, perubahan viskositas, dan stabilitas lotion kemudian dianalisis dan diinterpretasikan dengan tahap-tahap sebagai berikut :
1. Menghitung daya sebar lotion dengan mengukur diameter rata-ratanya.
2. Menghitung viskositas lotion.
3. Menghitung perubahan viskositas dengan menggunakan rumus pada
persamaan (5).
4. Menghitung stabilitas lotion dengan menggunakan rumus pada persamaan (6).
5. Menentukan faktor dominan dalam menentukan respon sifat fisik dengan
mempertimbangkan 2 hal sebagai berikut :
a. Perhitungan efek rata-rata untuk tiap faktor dan interaksi berdasarkan
persamaan (2), (3), dan (4).
b. Interpretasi grafik hubungan gliserin dan grafik hubungan
respon-polysorbate 80.
6. Membuat persamaan desain faktorial dengan menggunakan rumus pada
persamaan (1).
7. Membuat grafik contour plot untuk tiap-tiap respon.
8. Membuat grafik contour plot super imposed untuk menentukan daerah
A.
Pembuatan Lotion Virgin Coconut Oil
Lotion Virgin Coconut Oil (VCO) yang dibuat merupakan emulsi dengan
tipe O/W, di mana fase minyak terdispersi dalam fase air. Lotion ini dibuat untuk
mendapatkan efek moisturizing dari VCO sebagai zat aktifnya yang efeknya
diperkuat dengan adanya gliserin sebagai moisturizer alami.
Pembuatan
lotion diawali dengan memanaskan tiap-tiap fase di atas
waterbath hingga mencapai suhu sekitar 50
°
C.
Cetyl alcohol dan asam stearat
yang berwujud padatan dilelehkan di atas waterbath bersuhu 50
°
C. Fase minyak
lain yang berupa VCO dan polysorbate 80 dipanaskan hingga 50
°
C dan dicampur
ke dalam lelehan cetyl alcohol-asam stearat di dalam mortir hangat. Fase air yang
berupa gliserin, trietanolamin dan nipagin yang telah dilarutkan dengan sebagian
aquades dipanaskan hingga 50
°
C kemudian dicampur dengan fase minyak di
dalam mortir dengan disertai pengadukan yang konsisten hingga terbentuk emulsi.
Setelah emulsi dingin, ditambahkan sisa aquades dengan tetap dilakukan
pengadukan. Pada tahap akhir ditambahkan minyak lemon sebagi parfum sebelum
sediaan dikemas dan diuji secara fisik.
Emulsifying agent yang digunakan dalam formula lotion VCO ini adalah
polysorbate 80, gliserin, dan asam stearat. Polysorbate 80 merupakan emulsifier
nonionik yang bersifat hidrofilik. Polysorbate 80 dicampur dalam fase minyak
mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai moisturizer alami (fungsi utama) dan
emulsifying agent. Gliserin dicampur dalam fase air untuk menurunkan tegangan permukaan fase air. Dengan turunnya tegangan permukaan dari tiap-tiap fase
maka fase minyak yang jumlahnya lebih sedikit dari fase air akan terdispersi di
dalam fase air. Pengadukan akan membantu proses dispersi dengan memperkecil
ukuran droplet fase dispers (VCO) sehingga fase dispers dapat terdispersi ke
dalam medium dispers.
Cetyl alcohol dan asam stearat yang berupa padatan harus dilelehkan terlebih dahulu agar dapat bercampur dengan fase minyak lain yang berupa cairan.
Dalam formula ini, cetyl alcohol berfungsi sebagai thickening agent sehingga dengan meningkatnya viskositas medium dispers maka terjadinya gerak Brown
dari fase dispers dapat dikurangi (Rawlings, 2002). Jumlah cetyl alcohol yang digunakan dalam formula ini (1,6%) dianggap sudah optimum untuk dapat
meningkatkan viskositas dari jumlah cetyl alcohol yang biasa digunakan dalam
lotion yaitu 0,5-10% (Young, 1972).
Dalam formula ini, asam stearat di gunakan sebagai emulsifying agent
pendukung. Emulsifying agent utama yang berupa polysorbate 80 dan gliserin dioptimasi untuk mendapatkan efek maksimum, sedangkan asam stearat yang
digunakan (2,4%) dianggap sudah optimum dari jumlah asam stearat yang biasa
digunakan dalam lotion yaitu 1-5% (Young, 1972). Asam stearat akan
menimbulkan reaksi penyabunan dengan adanya trietanolamin dari fase air
dengan membentuk sabun stearat. Fungsi dari adanya trietanolamin yang bersifat
stearat. Sabun stearat ini berfungsi sebagai emulsifying agent yang akan mengemulsikan VCO. Dengan adanya pengadukan yang memperkecil ukuran
droplet VCO maka sabun stearat akan menyelubungi droplet VCO sehingga dapat
terdispersi ke dalam medium dispers.
Pengadukan menggunakan mortir dan stamfer hangat ditujukan untuk
mencegah terjadinya penurunan suhu yang mendadak. Jika terjadi perubahan suhu
yang mendadak maka emulsi akan sulit terbentuk karena cetyl alcohol atau dan asam stearat yang segera membeku jika langsung mengalami penurunan suhu
yang mendadak.
Aquades yang digunakan tidak dipanaskan (suhu kamar) sehingga
penambahan aquades dilakukan saat emulsi sudah dalam keadaan dingin. Hal ini
dilakukan agar tidak terjadi pemisahan fase emulsi karena penambahan aquades
yang berbeda suhu. Minyak lemon ditambahkan di akhir proses agar minyak
lemon tidak banyak menguap sehingga efek harum yang diinginkan dapat dicapai.
B. Penentuan Tipe Emulsi LotionVirgin Coconut Oil
Lotion VCO yang diaplikasikan di kulit harus dapat menjamin
kenyamanan saatpemakaian. Tipe emulsi yang nyaman untuk digunakan adalah
emulsi tipe O/W, di mana fase minyak terdispersi di dalam fase air sehingga tidak
terasa lengket saat digunakan dan mudah dicuci dengan air.
Pada emulsi tipe O/W, fase air bertindak sebagai fase eksternal yang
kontak dengan kulit sehingga kulit tidak akan terasa lengket. Fase minyak yang
corneum melalui pori-pori kulit untuk mempertahankan kandungan air agar tidak cepat hilang. Emulsi tipe O/W mudah dicuci dengan air karena fase eksternal
menjadi lebih banyak sehingga emulsi lebih mudah menyebar karena viskositas
emulsi menurun dan akhirnya emulsi mudah dihilangkan dari kulit.
Penentuan tipe emulsi dilakukan dengan menggunakan 3 macam cara
yaitu :
1. Menambahkan fase eksternal secara berlebih
Tiap-tiap formula lotion VCO diteteskan di atas permukaan air yang
merupakan fase eksternal secara berlebih. Hasil penelitian dapat dilihat pada
gambar berikut :
(formula 1) (formula a)
(formula b) (formula ab)
Lotion VCO dari tiap formula menyebar dan bercampur dengan air yang menunjukkan bahwa fase eksternal lotion VCO berupa air (gambar 8).
Lotion dapat menyebar karena jumlah fase eksternal bertambah banyak sehingga viskositas menurun. Penentuan tipe emulsi dengan menggunakan
fase eksternal secara berlebih memberikan hasil bahwa lotion VCO yang
dibuat merupakan emulsi tipe O/W.
2. Menggunakan zat warna yang larut dalam fase eksternal
Tiap-tiap formula lotion VCO diberi zat warna yang larut dalam fase
eksternal. Dalam penelitian digunakan methylene blue yang larut dalam air. Hasil penelitian dapat dilihat pada gambar berikut :
(formula 1) (formula a)
(formula b) (formula ab)
Methylene blue yang digunakan sebagai zat warna yang larut dalam fase eksternal dapat menyebar pada tiap formula lotion VCO (gambar 9). Penentuan tipe emulsi dengan menggunakan zat warna yang larut dalam fase
eksternal memberikan hasil bahwa lotion VCO yang dibuat merupakan emulsi
tipe O/W.
3. Menggunakan kertas saring
Tiap-tiap formula lotion VCO diteteskan pada kertas saring yang
bersih untuk melihat kecepatan penyebaran lotion dan noda yang ditinggalkan
setelah lotion kering. Hasil penelitian dapat dilihat pada gambar berikut :
(formula 1) (formula a)
(formula b) (formula ab)
Gambar 10. Gambar kertas saring yang telah dikeringkan setelah diteteskan dengan lotion VCO
Kertas saring tidak meninggalkan noda minyak yang berasal dari tiap
mempunyai fase eksternal yang berupa air yang tidak akan meninggalkan
noda minyak pada kertas saring. Saat lotion diteteskan pada kertas saring,
lotion segera menyebar ke sekeliling kertas saring tempat lotion diteteskan. Hal ini juga menunjukkan bahwa lotion yang dibuat mempunyai fase luar yang berupa air yang viskositasnya lebih kecil daripada minyak sehingga akan
lebih mudah menyebar daripada minyak. Penentuan tipe emulsi dengan
menggunakan kertas saring memberikan hasil bahwa lotion VCO yang dibuat
merupakan emulsi tipe O/W.
C. Sifat Fisik dan Stabilitas Lotion Virgin Coconut Oil
Lotion yang baik harus memenuhi sifat fisik dan stabilitas lotion yang baik. Parameter sifat fisik lotion dilihat dari daya sebar dan viskositas lotion
setelah pembuatan. Sementara itu, parameter stabilitas lotion dilihat dari
perubahan viskositas dan stabilitas lotion setelah disimpan selama satu bulan.
Masa satu bulan diasumsikan sebagai masa pemakaian rata-rata suatu lotion oleh
konsumen.
Parameter kemudahan lotion dalam diaplikasikan di kulit adalah daya sebar yang sangat berhubungan erat dengan viskositas lotion. Daya sebar lotion
diukur dengan menggunakan 1 gram lotion yang diletakkan di tengah kaca bulat
kemudian ditimpa dengan kaca bulat lain dan diberi beban hingga 125 gram.
Setelah didiamkan selama 1 menit, diameter rata-rata yang terbentuk dari hasil
penyebaran lotion diasumsikan sebagai panjangnya daya sebar gel yang
Viskositas lotion diukur dengan menggunakan viscometer RION seri VT 04. Viskositas lotion dilihat dari skala yang tertera pada alat. Pengukuran viskositas yang dilakukan untuk mengetahui kekentalan lotion ini dilakukan dua kali yaitu segera setelah dibuat dan setelah lotion disimpan selama satu bulan. Pengukuran viskositas setelah penyimpanan satu bulan dilakukan untuk
mengetahui perubahan viskositas yang terjadi. Selain perubahan viskositas selama
penyimpanan, dilihat juga pemisahan emulsi yang terjadi. Perubahan viskositas
dan pemisahan fase emulsi merupakan indikator ketidakstabilan sediaan selama
penyimpanan. Penurunan viskositas berarti viskositas menjadi lebih kecil dan
daya sebar akan menjadi lebih besar. Hal ini dikarenakan viskositas berbanding
terbalik dengan daya sebar. Semakin kecil viskositas sediaan maka daya sebar
akan semakin besar, demikian pula sebaliknya (Garg et al., 2002).
Lotion yang stabil idealnya tidak mengalami perubahan viskositas dan pemisahan fase emulsi. Namun mengingat emulsi merupakan sistem yang tidak
stabil secara termodinamika (Allen, 2002), maka perlu untuk mengetahui seberapa
besar perubahan viskositas dan pemisahan fase emulsi yang terjadi yang masih
bisa ditoleransi dan dapat diterima konsumen.
Berikut ini merupakan data hasil pengukuran sifat fisik dan stabilitas
lotion dalam penelitian :
Tabel IV . Hasil pengukuran sifat fisik lotion VCO
Formula Daya sebar
(cm)
Viskositas
(dPa.s) viskositas (%)
Stabilitas
lotion (%)
1 8,12 ± 0,27 11,27 ± 0,47 30,03 ± 2,06 99,39 ± 1,21
a 7,67 ± 0,14 12,20 ± 0,87 25 ± 3,54 99,93 ± 0,15
b 6,75 ± 0,10 34,06 ± 0,77 33,94 ± 7,61 99,54 ± 0,92
Berdasarkan data dari tabel IV, dapat dilihat bahwa tiap formula
memberikan respon yang berbeda-beda terhadap daya sebar, viskositas, perubahan
viskositas, dan stabilitas lotion. Formula lotion dengan polysorbate 80 level rendah mempunyai daya sebar yang lebih besar dan viskositas yang lebih kecil
daripada formula lotion yang menggunakan polysorbate 80 level tinggi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa daya sebar dan viskositas mempunyai hubungan yang
berbanding terbalik. Perubahan viskositas yang paling rendah dan stabilitas emulsi
yang paling tinggi terjadi pada formula a yang menggunakan gliserin level tinggi
dan polysorbate 80 level rendah. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui
bahwa formula a merupakan formula lotion yang paling stabil daripada formula
lotion yang lain.
Data yang diperoleh dari uji sifat fisik lotion kemudian diolah
menggunakan desain faktorial untuk mengetahui faktor yang paling dominan
dalam menentukan sifat fisik dan stabilitas lotion. Hasil perhitungannya tercantum dalam tabel berikut :
Tabel V . Hasil perhitungan efek untuk tiap faktor dan interaksi
Efek Daya sebar Viskositas viskositas Stabilitas
lotion
Gliserin |-0,18| |-4,17| 0,19 |-0,35|
Polysorbate 80 |-1,10| 17,70 9,14 |-0,74|
Interaksi 0,27 |-5,10| 5,22 |-0,89|
1. Daya Sebar
Efek masing-masing faktor dan interaksinya terhadap daya sebar
efek polysorbate 80 adalah |-1,10|; dan efek interaksinya sebesar 0,27.
Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa polysorbate 80 diprediksi
mempunyai efek yang paling dominan terhadap daya sebar lotion daripada gliserin dan interaksi keduanya. Gliserin bernilai negatif yang berarti bahwa
adanya gliserin dalam lotion akan menurunkan daya sebar lotion. Demikian juga dengan polysorbate 80 yang bernilai negatif yang berarti bahwa adanya
polysorbate 80 akan menurunkan daya sebar lotion. Interaksi gliserin dengan
polysorbate 80 bernilai positif yang berarti interaksi kedua faktor tersebut
akan meningkatkan daya sebar lotion.
Daya sebar lotion lebih dipengaruhi oleh polysorbate 80 dikarenakan
polysorbate 80 lebih berperan sebagai emulsifying agent daripada gliserin. Secara fisik, polysorbate 80 juga lebih kental daripada gliserin sehingga
polysorbate 80 lebih berpengaruh terhadap viskositas lotion. Lotion dengan viskositas besar mempunyai daya sebar yang kecil.
Hubungan pengaruh peningkatan level gliserin dan polysorbate 80