• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN UMUR, PARITAS, DAN PREEKLAMPSIA DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DI RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN UMUR, PARITAS, DAN PREEKLAMPSIA DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DI RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN ABSTRAK"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN UMUR, PARITAS, DAN PREEKLAMPSIA DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DI RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN

ABSTRAK

Latar Belakang : Jumlah kematian bayi masih cukup tinggi, salah satu penyebabnya yaitu BBLR. Umur, paritas dan preeklampsia mempengaruhi kejadian BBLR.

Tujuan :

Metode : Survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang melahirkan bayi BBLR di ruang VK bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin dari bulan januari-desember tahun 2014 dengan jumlah 344. Jumlah sampel 185. Teknik sampling menggunakan systematic random sampling. Pengumpulan data menggunakan buku register. Analisis dengan uji korelasi sperman rank (p = 0,05).

Hasil : Umur tidak berhubungan dengan kejadian BBLR (p = 0,216) dengan koefisien korelasi -0,091. Paritas tidak berhubungan dengan kejadian BBLR (p = 0,974) dengan koefisien korelasi 0,002. Preeklampsia tidak berhubungan dengan kejadian BBLR (p = 0,539) dengan koefisien korelasi 0,045.

Kesimpulan : Umur, paritas dan preeklampsia tidak berhubungan dengan kejadian BBLR. Kata Kunci : Umur, Paritas, Preeklampsia, BBLR

ISSN: 2086-3454

2Akademi Kebidanan Sari Mulia Banjarmasin 1STIKES Sari Mulia Banjarmasin

(2)

93 PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization

(WHO) pada tahun 2012 angka kematian bayi di dunia 39 per 1000 kelahiran hidup. Di perkirakan 17 juta bayi lahir di Negara Berkembang, dari jumlah tersebut sekitar 80% lahir di Asia. BBLR menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama berdasarkan rekomendasi internasional (Verawati, 2014).

Di ketahui bersama bahwa pada saat ini angka kematian bayi (AKB) di Indonesia adalah tertinggi di Negara Asean (Association Of The South East Asia Nation). Di Indonesia secara umum berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 Angka Kematian Bayi (AKB) berada pada angka 32 per 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut masih jauh lebih tinggi jika dikaitkan dengan target Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia tahun 2015 yaitu menurunkan AKB hingga 23 per 1.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian terbanyak pada bayi baru lahir (neonatus) di sebabkan oleh kegawat daruratan dan penyulit pada masa neonatus salah satunya Barat Badan Lahir Rendah (BBLR) (Permatasari, 2013).

Prevalensi BBLR menurut WHO pada tahun 2012 diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3,3%-3,8% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau sosial ekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi

dibanding pada bayi dengan berat badan lahir lebih dari 2500 gram. Hal ini dapat terjadi bahkan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ibu mempunyai penyulit yang langsung berhubungan dengan kehamilan dan usia ibu (Alya, 2014).

Angka kejadian BBLR di Indonesia nampak bervariasi, secara nasional berdasarkan analisa lanjut SDKI angka BBLR sekitar 7,5%. Angka kejadian tersebut masih belum memenuhi target BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia sehat 2010 yaitu maksimal 7% (Alya, 2014).

Profil Kesehatan Kalimantan Selatan tahun 2014 jumlah kematian bayi pada tahun 2013 berjumlah 727, sedangkan pada tahun 2014 jumlah kematian bayi berjumlah 699. Meskipun jumlah kematian bayi berkurang, tenaga kesehatan harus tetap berupaya untuk menurunkan jumlah kematian bayi dengan meningkatkan pelayanan kesehatan. Jumlah kematian bayi di Banjarmasin tahun 2014 berjumlah 57 bayi. Penyebab kematian bayi paling tinggi di Banjarmasin disebabkan oleh BBLR. Kategori berat badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <2500 gram (BBLR), 2500-3999 gram normal, dan ≥4000 gram bayi besar (Dinkes Provinsi Kalsel, 2014).

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya BBLR antara lain faktor ibu yang meliputi gizi saat hamil yang kurang, umur ibu

(3)

kurang dari 20 tahun atau di atas 35 tahun, paritas, jarak kehamilan dan bersalin terlalu dekat, penyakit menahun ibu seperti hipertensi, jantung, pembuluh darah dan faktor pekerjaan terlalu berat. Faktor kehamilan yaitu dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan ante partum, komplikasi hamil seperti

preeklampsia/eklampsia, ketuban pecah dini.

Faktor janin yaitu cacat bawaan dan infeksi dalam rahim (Manuaba, 2010).

RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh adalah sebuah rumah sakit umum tipe B di Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan dengan kasus yang terus meningkat selama tiga tahun terakhir ini. Berdasarkan data yang di dapat di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjamasin tahun 2012 angka kejadian BBLR di RSUD Ansari Saleh Banjarmasin ada 174 kasus, pada tahun 2013 terjadi kenaikan kasus BBLR yaitu 184 kasus, dan pada tahun 2014 meningkat lagi yaitu 344 kasus. (Medical Record RSUD Ansari Saleh Banjarmasin, 2014).

Menurut Medical Record RSUD Ansari Saleh Banjarmasin jumlah kematin bayi yang disebabkan oleh BBLR terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Tahun 2012 kematian BBLR berjumlah 40 kasus, pada tahun 2013 terjadi kenaikan kematian BBLR yaitu 44 kasus, dan pada tahun 2014 kematian meningkat lagi yaitu 54 kasus.

Dari uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti Hubungan umur, Paritas, dan Preeklampsia dengan Kejadian BBLR di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.

BAHAN DAN METODE

Metode penelitian ini menggunakan metode survey analitik dengan pendekatan Cross Sectional (Notoatmodjo,2010).

Dalam rancangan penelitian ini, peneliti mencoba menghubungkan umur, paritas dan preeklamsi dengan kejadian BBLR di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjamasin dari bulan Januari-Desember tahun 2014.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang melahirkan bayi BBLR di ruang VK bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin dari bulan januari-desember tahun 2014 dengan jumlah 344.

Sampel dalam penelitian ini diambil menggunakan teknik systematic random sampling. Dalam penelitian ini peneliti mengambil sampel sebanyak 185 ibu yang melahirkan bayi BBLR yang didapatkan dari perhitungan rumus dari (Notoatmodjo, 2010).

HASIL

1. Analisis Univariat a. Kejadian BBLR

Hasil penelitian pada ibu bersalin di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin menurut kejadian BBLR adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Distribusi frekuensi responden menurut kejadian BBLR Kasus Frekuensi Persentase (%)

BBLR 165 89,2%

BBLSR 12 6,5%

BBLASR 8 4,3%

Jumlah 185 100%

(4)

Berdasarkan Tabel 1 dapat ilihat bahwa frekuensi kasus BBLR yang paling banyak yaitu 165 (89,2%), sedangkan yang paling sedikit kasus BBLASR yaitu 8 (4,3%).

b. Umur Ibu Bersalin

Hasil penelitian pada ibu bersalin di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin menurut umur ibu adalah sebagai berikut:

Tabel 2 Distribusi frekuensi responden menurut umur ibu Umur Frekuensi Persentase (%)

Beresiko 59 31,9%

Tidak beresiko 126 68,1%

Jumlah 185 100%

Sumber: Buku Register

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa frekuensi umur tidak beresiko yang paling banyak yaitu 126 (68,1%), sedangkan yang paling sedikit umur yang beresiko yaitu 59 (31,9%).

c. Paritas Ibu Bersalin

Hasil penelitian pada ibu bersalin di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin menurut paritas ibu adalah sebagai berikut:

Tabel 3 Distribusi frekuensi responden menurut paritas ibu Paritas Frekuensi Persentase (%)

Tidak aman 103 55,7%

Aman 82 44,3%

Jumlah 185 100%

Sumber: Buku Register

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa frekuensi paritas tidak aman yang paling banyak yaitu 103 (55,7%), sedangkan yang paling sedikit paritas yang aman yaitu 82 (44,3%).

d. Preeklampsia

Hasil penelitian pada ibu bersalin di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin menurut preeklampsia adalah sebagai berikut:

Tabel 4 Distribusi frekuensi responden menurut preeklampsia Preeklampsia Frekuensi Persentase (%)

Preeklampsia 48 25,9%

Tidak preeklampsia 137 74,1%

Jumlah 185 100%

Sumber: Buku Register

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa frekuensi tidak preeklampsia yang paling banyak yaitu 137 (74,1%), sedangkan yang paling sedikit preeklampsia yaitu 48 (25,9%). 2. Analisis Bivariat

a. Hubungan umur dengan kejadian BBLR Hubungan umur dengan kejadian BBLR di ruang bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut:

Tabel 5 Analisis hubungan umur dengan kejadian BBLR

No Umur BBLR Total No BBLR BBLSR BBLASR N % N % N % N % 1. Beresiko 50 27.0 7 3.8 2 1.1 59 31.9 2. Tidak beres iko 115 62,2 5 2.7 6 3.2 126 68.1 Jumlah 165 89,2 6.5 8 3 89,2 185 100 Sumber: Buku Register

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa ada 50 (27,0%) bayi dengan BBLR yang dilahirkan dari ibu dengan umur beresiko, ada 7 (3,8%) bayi dengan BBLSR yang dilahirkan dari ibu dengan umur beresiko, dan ada 2

(5)

(1,1%) bayi dengan BBLASR yang dilahirkan dari ibu dengan umur beresiko.

Hasil uji rank sperman didapatkan nilai p = 0,216 α = 0,05 maka p > α, sehingga Ho di terima dan Ha di tolak, artinya tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian BBLR di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.

b. Hubungan paritas dengan kejadian BBLR Hubungan paritas dengan kejadian BBLR di ruang bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut:

Tabel 6 Analisis hubungan paritas dengan kejadian BBLR

N o Paritas BBLR Total BBLR BBLSR BBLA SR N % N % N % N % 1 . Tidak aman 92 49,7 6 3,2 5 2,7 10 2 55.7 2 . Aman 73 39,5 6 3,2 3 1,6 83 44,3 Jumlah 165 89,2 12 6,5 8 4,3 18 5 100

Sumber: Buku Register

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa ada 92 (49,7%) bayi dengan BBLR yang dilahirkan dari ibu dengan paritas tidak aman, ada 6 (3,2%) bayi dengan BBLSR yang dilahirkan dari ibu dengan paritas tidak aman, dan ada 5 (2,7%) bayi dengan BBLASR yang dilahirkan dari ibu dengan paritas tidak aman.

Hasil uji rank sperman didapatkan nilai p = 0,974 α = 0,05 maka p > α, sehingga Ho di terima dan Ha di tolak, artinya tidak ada hubungan antara paritas dengan kejadian BBLR

di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.

c. Hubungan preeklampsia dengan kejadian BBLR

Hubungan preeklampsia dengan kejadian BBLR di ruang bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin dapat dilihat pada Tabel 7 sebagai berikut:

Tabel 7 Analisis hubungan preeklampsia dengan kejadian BBLR

N o Preeklampsi a BBLR Total BBLR BBLSR BBLAS R N % N % N % N % 1. Preeklampsi a 44 23, 8 2 1, 1 2 1, 1 48 25, 9 2. Tidak preeklampsi a 12 1 65, 4 1 0 5, 4 6 3, 2 13 7 74, 1 Jumlah 16 5 89, 2 1 2 6, 5 8 4, 3 18 5 100

Sumber: Buku Register

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa ada 44 (23,8%) bayi dengan BBLR yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia, ada 2 (1,1%) bayi dengan BBLSR yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia, dan ada 2 (1,1%) bayi dengan BBLASR yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia.

Hasil uji rank sperman didapatkan nilai p = 0,539 α = 0,05 maka p > α, sehingga Ho di terima dan Ha di tolak, artinya tidak ada hubungan antara preeklampsia dengan kejadian BBLR di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.

(6)

PEMBAHASAN

1. Berat Badan Lahir Rendah

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa frekuensi kasus BBLR yang paling banyak yaitu 165 (89,2%), sedangkan yang paling sedikit kasus BBLASR yaitu 8 (4,3%).

Besarnya angka kejadian BBLR di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin ini juga dikarenakan rumah sakit ini merupakan rumah sakit umum tipe B, dan merupakan rumah sakit rujukan kedua setelah RSUD Ulin. Faktor besarnya angka kejadian BBLR juga dapat di pengaruhi oleh besarnya pasien rujukan.

Menurut Manuaba (2010), faktor-faktor yang berhubungan dengan bayi BBLR secara umum yaitu gizi saat hamil yang kurang, usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, jarak hamil dan persalinan terlalu dekat, penyakit menahun ibu seperti gangguan pembuluh darah (perokok), mengerjakan aktivitas fisik beberapa jam tanpa istirahat, kejadian prematuritas pada bayi yang lahir dari perkawinan yang tidak sah, pengawasan antenatal yang kurang.

Adapun faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya BBLR menurut Amiruddin adalah faktor ibu meliputi umur ibu, umur kehamilan, paritas, berat badan dan tinggi badan, status gizi (nutrisi), anemia, kebiasaan minum alkohol, merokok, penyulit waktu hamil, jarak kehamilan, kehamilan ganda, preeklamsi, riwayat abortus. Faktor janin meliputi kehamilan kembar dan kelainan bawaan. Faktor lingkungan meliputi

pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, status sosial dan budaya, serta pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan ANC.

Hal ini perlu di waspadai dan perlu deteksi dini terhadap faktor yang menyebabkan BBLR, karena bila tidak dilakukan deteksi dini terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya BBLR, maka angka kejadian BBLR bisa menetap bahkan bisa semakin meningkat sehingga akan lebih meningkatkan resiko kematian pada bayi, sebab angka kematian bayi di Banjarmasin lebih tinggi disebabkan karena BBLR. Untuk ini perlunya kerjasama instansi terkait seperti Puskesmas, Bidan, Kader, BKKBN, KUA, Tokoh Masyarakat, dengan lebih meningkatkan KIE kepada masyarakat tentang komplikasi bayi BBLR agar masyarakat tahu dan sadar sehingga dapat mengurangi dan mencegah terjadinya BBLR. 2. Umur

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa frekuensi umur tidak beresiko yang paling banyak yaitu 126 (68,1%), sedangkan yang paling sedikit umur yang beresiko yaitu 59 (31,9%).

Penyulit pada kehamilan usia muda lebih tinggi dibandingkan dengan “kurun waktu reproduksi sehat” antara umur 20-30 tahun. Keadaan ini disebabkan belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila di tambah dengan tekanan (stress) psikologis, sosial, ekonomi sehingga memudahkan terjadi

(7)

keguguran, persalinan prematur, berat bayi lahir rendah, kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia kehamilan, keracunan kehamilan, kematian ibu yang tinggi.

Bertambahnya usia pada wanita sangat berpengaruh terhadap jumlah sel telur yang belum dikeluarkan dari ovarium. Selain jumlah sel telur yang tinggal sedikit, faktor usia (di atas 35 tahun) juga berpengaruh terhadap kemampuan rahim untuk menerima bakal janin atau embrio. Dalam hal ini, kamampuan rahim untuk menerima janin menurun. Faktor penuaan juga akan menyababkan embrio yang dihasilkan wanita di atas 35 tahun terkadang mengalami kesulitan untuk melekat di lapisan endometrium, hal ini dapat meningkatkan resiko abortus.

Barat bayi lahir rendah juga berkolerasi dengan usia ibu. Ibu-ibu yang terlalu muda seringkali secara emosional dan fisik belum matang, selain pendidikan pada umumnya rendah, ibu yang masih muda masih tergantung pada orang lain sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Kelahiran bayi BBLR lebih tinggi pada ibu-ibu muda berusia kurang dari 20 tahun. Remaja sering kali melahirkan bayi dengan berat lebih rendah, hal ini trjadi karena mereka belum matur dan mereka belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita dewasa. Pada ibu yang tua meskipun mereka telah berpengalaman, tetapi kondisi badannya serta kesehatannya sudah mulai menurun sehingga dapat mempengaruhi pada

BBLR. Faktor usia ibu bukanlah faktor utama kelahiran BBLR, tetapi kelahiran BBLR nampak meningkat.

3. Paritas

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa frekuensi paritas tidak aman yang paling banyak yaitu 103 (55,7%), sedangkan yang paling sedikit paritas yang aman yaitu 82 (44,3%).

Paritas tidak aman yaitu paritas 1 dan > 3, paritas 1 masih memiliki pengetahuan yang kurang dan belum memiliki pengalaman tentang kehamilan sehingga dapat berpengaruh dalam kehamilannya. Kesiapan dalam menghadapi kehamilan baik secara fisik maupun mental cenderung masih kurang sehingga dapat berpengaruh pada pola pemeliharaan kesehatan janin yang dikandungnya. Paritas > 3 jauh lebih berpengalaman dalam perawatan bayi, dan kesiapan dalam menghadapi kehamilan baik secara fisik maupun mental lebih baik dibandingkan ibu dengan paritas 1.

Ibu yang pernah hamil dan melahirkan anak lebih dari tiga kali, maka kemungkinan akan banyak di temui keadaan kesehatan ibu akan terganggu seperti anemia yang dapat menyebabkan kelahiran BBLR, disini juga akan terjadi kekendoran pada dinding rahim yang dapat menyebabkan robekan pada dinding rahim.

Resiko paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan resiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah

(8)

kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan.

4. Preeklampsia

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa frekuensi tidak preeklampsia yang paling banyak yaitu 137 (74,1%), sedangkan yang paling sedikit preeklampsia yaitu 48 (25,9%).

Ibu hamil dengan preeklampsia mengalami penurunan perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta. Kelainan pembuluh darah plasenta pada ibu preeklampsia/ eklampsia dapat menyebabkan hipoksia kronis dan gangguan nutrisi janin sehingga sering terjadi retardasi pertumbuhan janin yang dapat berakhir pada berat badan lahir rendah (BBLR).

Untuk ini perlunya peran bidan dalam melakukan penyuluhan tentang pentingnya pemeriksaan ANC dan mengetahui komplikasi BBLR agar masyarakat paham dan dapat melakukan kunjungan ANC sehingga dapat mencegah terjadinya BBLR.

5. Hubungan umur dengan kejadian BBLR Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa ada 50 (27,0%) bayi dengan BBLR yang dilahirkan dari ibu dengan umur beresiko, ada 7 (3,8%) bayi dengan BBLSR yang dilahirkan dari ibu dengan umur beresiko, dan ada 2 (1,1%) bayi dengan BBLASR yang dilahirkan dari ibu dengan umur beresiko.

Hasil uji rank sperman didapatkan nilai p = 0,216 α = 0,05 maka p > α, sehingga Ho di terima dan Ha di tolak, artinya tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian BBLR

di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.

Hasil penelitian ini kurang sejalan dengan teori bahwa penyulit pada kehamilan usia muda lebih tinggi dibandingkan dengan “kurun waktu reproduksi sehat” antara umur 20-30 tahun. Keadaan ini disebabkan belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila di tambah dengan tekanan (stress) psikologis, sosial, ekonomi sehingga memudahkan terjadi keguguran, persalinan prematur, berat bayi lahir rendah, kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia kehamilan, keracunan kehamilan, kematian ibu yang tinggi

Bertambahnya usia pada wanita sangat berpengaruh terhadap jumlah sel telur yang belum di keluarkan dari ovarium. Selain jumlah sel telur yang tinggal sedikit, faktor usia (di atas 35 tahun) juga berpengaruh terhadap kemampuan rahim untuk menerima bakal janin atau embrio. Dalam hal ini, kamampuan rahim untuk menerima janin menurun. Faktor penuaan juga akan menyababkan embrio yang dihasilkan wanita di atas 35 tahun terkadang mengalami kesulitan untuk melekat di lapisan endometrium, hal ini dapat meningkatkan resiko abortus.

Barat bayi lahir rendah juga berkolerasi dengan usia ibu. Ibu-ibu yang terlalu muda seringkali secara emosional dan fisik belum matang, selain pendidikan pada umumnya rendah, ibu yang masih muda masih tergantung

(9)

pada orang lain sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Kelahiran bayi BBLR lebih tinggi pada ibu-ibu muda berusia kurang dari 20 tahun. Remaja sering kali melahirkan bayi dengan berat lebih rendah, hal ini trjadi karena mereka belum matur dan mereka belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita dewasa. Pada ibu yang tua meskipun mereka telah berpengalaman, tetapi kondisi badannya serta kesehatannya sudah mulai menurun sehingga dapat mempengaruhi pada intra uterin dan dapat menyababkan kelahiran BBLR. Faktor usia ibu bukanlah faktor utama kelahiran BBLR, tetapi kelahiran BBLR nampak meningkat.

Melihat keadaan tersebut mungkin terjadi pengingat bahwa ada faktor lain yang lebih dominan terhadap kejadian BBLR seperti penyakit yang menyertai kehamilan yaitu anemia, bahwa anemia dapat menyebabkan kejadian BBLR. Anemia pada ibu hamil adalah suatu keadaan yang menunjukkan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah lebih rendah dari nilai normal yaitu 11 gr/dl. Kehamilan memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan membentuk sel darah merah janin dan placenta. Anemia terjadi karena tidak cukupnya zat gizi besi yang diserap dari makanan sehari-hari guna pembentukan sel darah merah sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat besi dalam tubuh, hal ini dapat menyebabkan distribusi

menurunkan metabolisme jaringan sehingga pertumbuhan janin akan terhambat dan berakibat BBLR.

Status gizi yang baik selama hamil sangat berpengaruh dalam hal persiapan kondisi kesehatan fisiologis tubuh ibu untuk menyediakan rahim yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan janin yang akan dikandungnya. Kurang gizi selama kehamilan bukan hanya melemahkan fisik dan membahayakan jiwa ibu tetapi juga mengancam kesehatan janin. Ibu hamil dengan status gizi yang buruk akan menghadapi risiko melahirkan bayi dengan BBLR 2-3 kali lebih besar dibandingkan mereka yang berstatus gizi baik. Dalam penelitian ini, anemia dan status gizi memang tidak diteliti.

Hasil dalam penelitian ini tidak berhubungan, sama dengan hasil penelitian dalam jurnal Trihardiani (2010) tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian BBLR. 6. Hubungan paritas dengan kejadian BBLR

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa ada 92 (49,7%) bayi dengan BBLR yang dilahirkan dari ibu dengan paritas tidak aman, ada 6 (3,2%) bayi dengan BBLSR yang dilahirkan dari ibu dengan paritas tidak aman, dan ada 5 (2,7%) bayi dengan BBLASR yang dilahirkan dari ibu dengan paritas tidak aman.

Hasil uji rank sperman didapatkan nilai p = 0,974 α = 0,05 maka p > α, sehingga Ho di terima dan Ha di tolak, artinya tidak ada hubungan antara paritas dengan kejadian BBLR di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh

(10)

Hasil penelitian ini kurang sejalan dengan teori bahwa paritas tidak aman yaitu paritas 1 dan > 3, paritas 1 masih memiliki pengetahuan yang kurang dan belum memiliki pengalaman tentang kehamilan sehingga dapat berpengaruh dalam kehamilannya. Kesiapan dalam menghadapi kehamilan baik secara fisik maupun mental cenderung masih kurang sehingga dapat berpengaruh pada pola pemeliharaan kesehatan janin yang dikandungnya. Paritas > 3 jauh lebih berpengalaman dalam perawatan bayi, dan kesiapan dalam menghadapi kehamilan baik secara fisik maupun mental lebih baik dibandingkan ibu dengan paritas 1.

Ibu yang pernah hamil dan melahirkan anak lebih dari tiga kali, maka kemungkinan akan banyak di temui keadaan kesehatan ibu akan terganggu seperti anemia yang dapat menyebabkan kelahiran BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah), disini juga akan terjadi kekendoran pada dinding rahim yang dapat menyebabkan robekan pada dinding rahim.

Mungkin ada faktor lain yang lebih dominan terhadap kejadian BBLR seperti jarak kelahiran yang pendek akan menyebabkan seorang ibu belum cukup waktu untuk memulihkan kondisi tubuhnya setelah melahirkan sebelumnya. Ibu hamil dalam kondisi tubuh kurang sehat inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab kematian ibu dan bayi yang dilahirkan serta risiko terganggunya sistem reproduksi. Sistem reproduksi yang terganggu akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan janin yang

dikandungnya sehingga berpengaruh terhadap berat badan lahir. Ibu hamil yang jarak kelahirannya kurang dari dua tahun, kesehatan fisik dan kondisi rahimnya masih butuh istirahat yang cukup. Ada kemungkinan juga ibu masih harus menyusui dan memberikan perhatian pada anak yang dilahirkan sebelumnya, sehingga kondisi ibu yang lemah ini akan berdampak pada kesehatan janin dan berat badan lahirnya.

Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dengan dua janin atau lebih. Berat badan janin pada kehamilan kembar lebih ringan daripada janin pada kehamilan tunggal pada umur kehamilan yang sama. Berat badan bayi yang umumnya baru lahir pada kehamilan kembar kurang dari 2500 gram. Pada kehamilan kembar cenderung untuk terjadinya BBLR. Dalam penelitian ini jarak kelahiran dan kehamilan kembar memang tidak diteliti.

Hasil dalam penelitian ini tidak berhubungan, sama dengan hasil penelitian dalam jurnal Sistiarani (2008) tidak ada hubungan antara paritas dengan kejadian BBLR.

7. Hubungan preeklampsia dengan kejadian BBLR

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa ada 44 (23,8%) bayi dengan BBLR yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia, ada 2 (1,1%) bayi dengan BBLSR yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia, dan ada 2 (1,1%) bayi dengan BBLASR yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia.

(11)

Hasil uji rank sperman didapatkan nilai p = 0,539 α = 0,05 maka p > α, sehingga Ho di terima dan Ha di tolak, artinya tidak ada hubungan antara preeklampsia dengan kejadian BBLR di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.

Hasil penelitian ini kurang sejalan dengan teori bahwa Ibu hamil dengan preeklampsia mengalami penurunan perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta. Kelainan pembuluh darah plasenta pada ibu preeklampsia/ eklampsia dapat menyebabkan hipoksia kronis dan gangguan nutrisi janin sehingga sering terjadi retardasi pertumbuhan janin yang dapat berakhir pada berat badan lahir rendah (BBLR).

Melihat keadaan tersebut mungkin terjadi pengingat bahwa ada faktor lain yang lebih dominan terhadap kejadian BBLR seperti pelayanan antenatal. Pelayanan antenatal adalah pelayanan yang diberikan kepada ibu selama masa kehamilan dengan minimal 4 kali kunjungan antenatal. Kejadian BBLR berkaitan dengan kurangnya kualitas pelayanan antenatal. Ibu yang menerima pelayanan kesehatan secara dini dan berkelanjutan dan lengkap akan dapat memiliki hasil akhir kehamilan yang lebih baik dibandingkan ibu yang tidak menerimanya. Ibu yang tidak menerima pelayanan antenatal mempunyai kemungkinan resiko untuk melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang menerima pelayanan antenatal.

Faktor pemungkin lain yang

dan budaya sangat berperan dalam kejadian BBLR, karena ekonomi keluarga dapat menunjukkan gambaran kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi ibu selama hamil yang berperan dalam pertumbuhan janin. Keadaan sosial ekonomi sangat berperan terhadap timbulnya BBLR. Kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah, hal ini disebabkan keadaan gizi yang kurang baik dan periksa hamil yang kurang. Sedangkan budaya sangat berperan karena budaya masih mengikuti keyakinan bahwa masih ada pantang makanan, sehingga nutrisi yang diperlukan ibu tidak mencukupi. Dalam penelitian ini pelayanan antenatal, ekonomi dan budaya tidak diteliti.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti sangat berterima kasih kepada RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin yang telah memberikan izin serta tempat untuk melakukan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Alya Dian. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Tersedia dalam website: http://simtakp.stmikubudiyah.ac.id ⦋di akses pada tanggal 14-01-2015⦌.

Dina P. 2013. Hubungan Umur dan Paritas Ibu dengan Kejadian BBLR. Skripsi, Stikes Sari Mulia Banjarmasin.

Dinkes Provinsi Kal-Sel. 2014. Data Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarmasin.

Manuaba Chandranita, dkk. 2010. Kegawat-Daruratan Obstetri-Ginekologi dan Obstetri-Ginekologi Sosial untuk Profesi

(12)

Soekidjo Notoatmodjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sari Mulia. 2014. Panduan Skripsi. Banjarmasin: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sari Mulia.

Sistiarini Colti. 2008. Faktor Maternal dan Kualitas Pelayanan Antenatal yang Berisiko Terhadap Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Studi Pada Ibu yang Periksa Hamil Ke Tenaga Kesehatan dan Melahirkan di RSUD Banyumas Tahun 2008. Tersedia dalam

website: eprints.undip.ac.id [diakses pada tanggal 07-04-2015].

Trihardiani Ismi. 2011. Faktor Risiko Kejadian Berat Badan Lahir Rendah Di Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang Timur Dan Utara Kota Singkawang. Tersedia dalam website: eprints.undip.ac.id ⦋di akses pada tanggal 04-01-2015⦌.

Verawati S. 2014. Karakteristik Bayi yang Menderita Penyakit Hircshsprung di RSUP H. Adam Malik Kota Medan 2010-2012. Tersedia dalam website: repository.ac.Id⦋diakses pada tanggal 10-01-2015⦌.

Referensi

Dokumen terkait

SAPROTAN BENIH UTAMA 027.1/21/E-Cat.PdInbrd- SPR/III/Pml/2020 07-Apr-20 06-Jun-20 15 APBN Pengadaan Benih Padi untuk Pengembangan Budidaya Padi Kaya Gizi.. (Biofortifikasi)

Guru menanyakan kepada siswa mengenai benda yang ada dilangit. Selanjutkan saya menjelaskan kegiatan yang dilakukan saat ini. Saya bertanya kepada siswa mengenai

Zembere dan Chinyama (1996) dalam penelitiannya memperlihatkan tujuan utama dari tracer studi adalah untuk mengetahui proses transisi dari pendidikan tinggi serta

Realitas subyektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh dari variabel Modal, Jumlah Anggota dan Promosi terhadap Sisa hasil Usaha pada Koperasi Pegawai Negeri Harapan Kendal selama

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949 mengenai perlindungan terhadap anak-anak dalam situasi

Penulis menyimpulkan bahwa Data - data yang diperlukan untuk analisis yang bersifat historis dapat diintegrasikan ke dalam data warehouse, memberikan kemudahan bagi pihak

Hasil penelitian menunjukan dokumen dan laporan dibuat secara manual, adanya penggabungan beberapa tagihan dalam satu tanda terima (faktur), tidak adanya tanggal jatuh tempo