• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sosiologi Sastra Novel Anak Bakumpai Terakhir Karya Yuni Nurmalia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sosiologi Sastra Novel Anak Bakumpai Terakhir Karya Yuni Nurmalia."

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

i

NOVEL

ANAK BAKUMPAI TERAKHIR

KARYA YUNI NURMALIA

FATHUL KHAIRI 1101105002

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

(2)

ii

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menempuh

Sarjana dalam Program Studi Sastra Indonesia

FATHUL KHAIRI 1101105002

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

(3)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Fathul Khairi

NIM : 1101105002

Judul Skripsi : Analisis Sosiologi Sastra novel Anak Bakumpai Terakhir karya Yuni Nurmalia

Program Studi : Sastra Indonesia

Fakultas : Sastra dan Budaya Universitas Udayana

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bebas dari peniriuan terhadap karya orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain dirujuk sesuai dengan etika keilmuan dan teknik penulisan karya ilmiah.

Apabila dikemudian hari terbukti skripsi ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap melanggar peraturan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Denpasar, 17 Agustus 2015 Saya yang membuat peryataan,

(4)
(5)

v

NIP. 196112311988031012

(6)
(7)

vii

Novel Anak Bakumpai Terakhir karya Yuni Nurmalia dipilih sebagai objek penelitian karena beberapa alasan. Pertama, novel ABT memuat masalah-masalah sosial masyarakat Kalimantan, khususnya suku Dayak. Kedua, novel ABT

mengisahkan keadaan alam Pulau Kalimantan yang hancur akibat industri pertambangan. Ketiga, dari segi sosial pengarang novel ABT bukanlah penduduk asli suku Dayak Bakumpai di Kalimantan. Pengarang mampu menggambarkan secara jelas permasalahan sosial di suku Dayak Bakumpai.

Masalah yang dibahas ialah struktur dan aspek sosial suku Dayak yang terdapat di dalam novel ABT. Teori yang digunakan dalam analisis ini, yaitu teori struktur yang menekankan pada unsur tema, alur, penokohan, dan latar. Dilanjutkan dengan teori sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan sesuai dengan teori Sapardi Djoko Damono. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode studi pustaka dengan teknik lanjutan berupa teknik catat. Kemudian untuk menganalisis data digunakan metode deskripsi analisis dengan cara mendeskripsikan fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal yang disajikan dengan kaidah atau hasil penelitian secara verbal (menggunakan kata-kata).

Alur dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir. Alur novel ABT menggunakan alur maju. Penokohan dibagi menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama ialah Aruna, tokoh tambahan yaitu Kai,

Dayu, Samudera, Eliyana, dan Avara. Kemudian, latar dibedakan menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat di Pulau Kalimantan. Latar waktu sekitar tahun 2000-an. Latar sosial menceritakan kehidupan masyarakat suku Dayak Bakumpai.

Aspek sosial suku Dayak yang terungkap pada novel ABT, ialah masalah moral yang baik dan buruk. Aspek kemasyarakatan membicarakan tentang hubungan tokoh utama dengan keluarga, masyarakat, dan individu. Aspek pendidikan ada dua, yaitu pendidikan formal dan pendidikan informal. Aspek budaya membicarakan masalah adat istiadat dan kebiasaan masyarakat. Aspek ekonomi mengungkapkan masalah kemakmuran pada masyarakat suku Dayak Bakumpai.

(8)

viii

novel Anak Bakumpai Terakhiur karya Yuni Nurmalia” dapat diselesaikan pada waktunya. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memeroleh gelar sarjana (S1), pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana.

Penelitian ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1) Dr. Drs. I Ketut Sudewa, M.Hum. selaku Ketua Program Studi Sastra Indonesia sekaligus sebagai pembimbing I dan Dr. Drs. Ida Bagus Jelantik S.P, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya, serta sabar memberikan bimbingan dan dorongan semangat selama penulisan skripsi ini;

2) Prof. Dr. Luh Sutjiati Beratha, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, atas kesempatan, perhatian, dan fasilitas yang telah diberikan kepada peneliti untuk menempuh pendidikan;

3) Drs. I Wayan Teguh, M.hum., selaku Sekretaris Program Studi Sastra Indonesia, atas semangat dan bantuan yang telah diberikan kepada peneliti; 4) Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., selaku pembimbing akademik yang

(9)

ix

dosen Program Studi Sastra Indonesia yang telah memberikan motivasi serta mendidik peneliti secara tulus dan ikhlas selama menempuh pendidikan; 6) Seluruh pegawai perpustakaan, dan akademik Fakultas Sastra dan Budaya

Universitas Udayana atas bantuan dan fasilitas yang telah diberikan;

7) Keluarga tercinta Bapak Mahrup, S.Pd.I. dan Ibu Hariatun, orang tua peneliti yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan, semangat, dan doa kepada peneliti selama menempuh perkuliahan hingga saat ini. Kepada kedua kakak tercinta Afebri Harmayadi, S.pd. dan Nur’Azmi, S.pd. dorongan semangat serta hiburan untuk menghilangkan kejenuhan dalam proses penulisan skripsi ini;

8) Teman-teman Sastra Indonesia angkatan 2011, seperti: Lilik Yudiastari, Clara, Opik tea, Mbah Edja, Kem, Baliwa, Rina, Dayu, Nova, Dewi (Ewhy Pucha), Arianti, Lita, dan Revina yang telah banyak memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga kenangan bersama selama menempuh perkuliahan ini tidak terhapus dalam memori hidup peneliti serta kawan-kawan;

(10)

x

(11)

xi

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.1 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat Praktis ... 5

1.4.2 Manfaat Teoretis ... 5

1.5 Penelitian Sebelumnya ... 6

1.6 Landasan Teori ... 6

1.6.1 Teori Struktur ... 6

1.6.2 Teori Sosiologi Sastra ... 8

1.7 Metode dan Teknik Penelitian ... 9

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 9

1.7.2 Metode dan Teknik Pengolahan Data ... 10

1.7.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Pengolahan Data ... 10

BAB II ANALISIS STRUKTUR NOVEL ANAK BAKUMPAI TERAKHIR 2.1 Analisis Struktur ... 12

2.1.1 Tema ... 13

2.1.2 Alur ... 15

2.1.2.1 Tahap Awal ... 16

2.1.2.2 Tahap Tengah ... 17

(12)

xii

2) Samudera ... 28

3) Dayu ... 30

4) Eliyana ... 32

5) Avara ... 34

2.2.4 Latar ... 35

2.2.4.1 Latar Tempat ... 35

2.2.4.2 Latar Waktu ... 37

2.2.4.3 Latar Sosial... 49

BAB III ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA NOVEL ANAK BAKUMPAI TERAKHIR 3.1 Aspek Ekonomi ... 43

3.2 Aspek Moral ... 46

3.3 Aspek Kemasyarakatan ... 51

3.4 Aspek Pendidikan ... 53

3.5 Aspek Budaya ... 59

BAB IV PENUTUP 4.1 Simpulan ... 65

4.2 Saran ... 67

(13)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra dipandang sebagai gejala sosial, sebab pada umumnya langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat pada saat karya sastra tersebut dibuat. Hasil olah pikiran pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan hadir sebagai karya sastra di tengah masyarakat ditanggapi berbeda oleh pembaca. Lahirnya tanggapan yang berbeda, berkaitan dengan pengetahuan dan pengalaman pembaca dalam mengapresiasi karya sastra. Karya sastra tidak pernah lepas dari kedudukan penulis dan pembaca. Hal ini disebabkan sastra merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari cara berpikir individual dan kognitif (Escarpit, 2005:03).

Karya sastra berkaitan dengan masalah kehidupan sosial masyarakat yang mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang kompleks, berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan cara berpikir. Hal tersebut dapat dilihat pada suku Dayak di Kalimantan.

(14)

Kahayan, Sungai Katingan, dan Sungai Sampit. Sebagian besar mereka hidup terpisah dari kampung-kampung Melayu-Muslim (Sjamsuddin, 2001:43)

Bakumpai adalah distrik utama dan terdiri atas sub-sub bagian, seperti: Balawang, Marabahan, Kuripan, Pamingir, Mengkatib, Patai, Siong, Dayu, Paku, Karau. Beberapa titik garis di sebelah atas Sungai Barito menandai perbatasan daerah Bakumpai, sementara garis batas melalui daerah-daerah rawa yang tidak dihuni, tidak jelas. Penduduk Bakumpai tahun 1845 berjumlah 5.265 jiwa. Mereka tidak saja tinggal di Marabahan, tetapi tersebar dengan keluarga-keluarga mereka, atau berkumpul di desa-desa kecil sepanjang Sungai Barito dan cabang-cabang utamanya, seperti: Pulau Petak, Sungai Patai, Sungai Dayu, Sungai Karau, Sungai Mantalat, dan Sungai Teweh, bahkan sampai ke daerah Siang-Murung (Sjamsuddin, 2001:45-46). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi Suku Bakumpai di Kalimantan berjumlah 20.609 jiwa yang terdistribusi pada beberapa kabupaten dan kota di Kalimantan (id.m.wikipedia.org, diakses pada 16 Maret 2016).

(15)

Salah satu karya sastra dalam khazanah sastra Indonesia modern yang menceritakan latar sosial masyarakat suku Dayak di Kalimantan adalah novel Anak Bakumpai Terakhir yang kemudian disingkat ABT. Novel ABT ini merupakan karya pertama dari Yuni Nurmalia yang diterbitkan oleh Salsabila Pustaka Alkautsar Jakarta Timur (tahun 2013 tebal 173 halaman) dengan 19 bagian. Ada beberapa alasan novel ABT dijadikan objek penelitian sosiologi sastra. Pertama, novel ini memuat masalah-masalah sosial yang terjadi pada masyarakat Kalimantan, khususnya masyarakat suku Dayak yang hidup di pedalaman hutan Kalimantan. Kedua, novel ini mengisahkan keadaan alam Pulau Kalimantan yang hancur akibat industri pertambangan emas dan batu-bara yang membuang limbah beracun ke sungai secara tidak bertanggung jawab dan mengakibatkan ekosistem rusak. Selain keadaan alam yang terancam, keberadaan suku Dayak Bakumpai di pedalaman Pulau Kalimantan populasinya juga terancam punah. Ketiga, dilihat dari segi sosial pengarang novel

ABT , pengarang bukanlah penduduk asli suku Dayak Bakumpai di Kalimantan. Pengarang mampu menggambarkan secara jelas permasalahan sosial yang terjadi di suku Dayak Bakumpai.

(16)

1.2 Rumusan Masalah

Novel ABT jika dibaca dan dipahami secara menyeluruh, menimbulkan banyak permasalahan yang dapat dibahas. Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah yang dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut.

1) Bagaimanakah struktur novel ABT yang meliputi: unsur tema, alur, penokohan, dan latar karya Yuni Nurmalia?

2) Bagaimanakah aspek sosial Suku Dayak yang terungkap dalam novel ABT

karya Yuni Nurmalia?

1.3 Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan memiliki tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti. Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1. Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini dimaksudkan untuk menambah perbendaharan penelitian sastra, khususnya sastra Indonesia. Selain itu, dimaksudkan pula untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra, khususnya karya sastra dalam bentuk novel.

1.3.2. Tujuan Khusus

Penelitian ini disusun dengan maksud untuk menjawab permasalahan yang berkaitan dengan gambaran sosial masyarakat suku Dayak Bakumpai pada novel

(17)

1) Untuk memperoleh gambaran tentang struktur novel ABT yang meliputi: tema, alur, penokohan, dan latar.

2) Untuk mengetahui gambaran tentang aspek sosial suku Dayak yang terkandung dalam novel ABT.

1.4 Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu manfaat praktis dan manfaat teoretis. Selanjutnya, dijelaskan lebih lanjut mengenai kedua manfaat tersebut.

1.4.1 Manfaat Praktis

Ada empat manfaat praktis dalam penelitian ini. Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut.

1) Untuk menambah wawasan peneliti sesuai dengan bidang ilmu yang digelutinya.

2) Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra dalam bentuk novel.

3) Membantu pembaca atau penikmat sastra dalam memahami ada tidaknya gambaran sosial yang terdapat dalam novel ABT karya Yuni Nurmalia. 4) Sebagai bahan acuan bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian

ini dengan pendekatan yang lain.

1.4.2 Manfaat Teoretis

(18)

gambaran yang jelas mengenai struktur novel ABT dan aspek sosial suku Dayak yang terkandung di dalamnya.

1.5 Penelitian Sebelumnya

Novel ABT karya Yuni Nurmalia belum pernah dijadikan sebagai bahan penelitian dalam bentuk skripsi oleh mahasiswa Fakultas Sastra dan Budaya khususnya Program Studi Sastra Indonesia Universitas Udayana. Berdasarkan tinjauan melalui situs internet, novel ABT pernah dibicarakan dalam bentuk resensi dan makalah.

Soelistijono dalam resensi yang berjudul “Terputusnya Generasi Dayak Bakumpai”, sebuah kisah tragis dampak dari keserakahan manusia. Pemusnahan etnik secara sistematis oleh kekuatan modal yang terjadi di Kalimantan.

Usma Nur Dian Rosydah dalam makalah yang berjudul “Ecological Imperialsm dalam novel ABT karya Yuni Nurmalia”, membahas masalah krisis ekologi yang dialami oleh suku asli dan tanah Kalimantan sebagai krisis yang masif dan terjadi dalam kurun waktu yang singkat.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Teori Struktur

(19)

adalah membongkar, memaparkan secermat mungkin keterkaitan dalam keterjalinan dari berbagai unsur yang secara bersama-sama hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi urusan itu dalam keseluruhan karya sastra (Pradopo, 1995:141).

Jean Peaget (dalam Endraswara, 2013:51) strukturalisme mengandung tiga hal pokok. Pertama, gagasan keseluruhan (wholness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), struktur ini menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur tarnformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain.

(20)

analisis struktur adalah tugas utama ataupun tujuan awal dalam penelitian karya sastra.

Penelitian ini menggunakan teori stuktur Nurgiyantoro karena dalam menganalisis struktur tidak hanya mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya: peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain. Hal yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsurnya..

1.6.2 Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan jadi pemicu lahirnya karya sastra. karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu mampu merefleksikan zamannya (Endraswara, 2008:77).

Sosiologi sastra merupakan teori yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak kepada orientasi pengarang dan pembaca. Menurut teori sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan mencakup arti yang luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Menurut Damono (2013:2) pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.

(21)

yang menganggap bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Damono (2013:11) lebih lanjut menjelaskan bahwa pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Maksud dari cermin zamannya ialah karya sastra merupakan cermin berbagai segi struktural sosial, hubungan kekeluargaan, dan pertentangan kelas. Dalam hal ini, sosiologi sastra menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh dalam khayalan dan situasi ciptaan pengarang dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya.

Teori yang digunakan untuk menganalisis novel ABT adalah teori sosiologi sastra menurut Sapardi Djoko Damono karena novel ABT relevan apabila dianalisis menggunakan teori sosiologi sastra. Analisis novel ABT menekankan pada telaah yang mengutamakan teks untuk mengetahui struktur dan gejala sosial yang terdapat di dalamnya.

1.7 Metode dan Teknik Penelitian

(22)

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam tahapan pengumpulan data adalah metode studi kepustakaan dengan teknik lanjutan yang berupa teknik catat atau tulis. Sumber tertulis terdiri atas sumber buku, majalah ilmiah, sumber arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi (Moleong, 1990:113)

Data utama dalam analisis ini adalah novel ABT, dan sebagai objek dibaca secara intensif dan berulang-ulang, kemudian dicatat data-data yang penting. Data-data sebagai penunjang analisis diperoleh dari buku-buku teori.

1.7.2 Metode dan Teknik Pengolahan Data

(23)

1.7.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Pengolahan Data

Pada tahapan ini digunakan metode deskripsi, yakni dengan mendeskripsikan hasil pengolahan data yang telah dilakukan. Kemudian, secara teknik disusun ke dalam format penelitian berupa skripsi dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah.

Penyajian hasil pengolahan data menggunakan sistematika sebagai berikut. Bab I berisi pendahualan yang merupakan rancangan penelitian yang akan dilaksanakan. Adapun pendahuluan terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian sebelumnya, landasan teori, dan metode dan teknik analisis data. Bab II berisi analisis strukturalisme novel ABT.

(24)

12

2.1 Analisis Struktur

Analisis struktur merupakan langkah awal dalam analisis karya sastra sebelum membahas analisis selanjutnya. Analisis tersebut bertujuan untuk menjelaskan unsur-unsur yang ada dalam karya sastra. Analsisis struktur karya sastra, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2005:37).

Struktur novel ABT di dalam penelitian ini mencakup analisis tema, alur, penokohan, dan latar. Analisis struktur merupakan keperluan di dalam melaksanakan penelitian terhadap suatu teks karya sastra. Analisis struktur bertujuan untuk melihat struktur karya sastra, terutama unsur instrinsik. Sebelum analisis struktur dilakukan, terlebih dahulu disajikan sinopsis novel ABT yang dapat diikuti pada subbab berikut ini.

(25)

struktur harus dipergunakan sebagai langkah awal melaksanakan penelitian lebih lanjut.

2.1.1 Tema

Tema merupakan suatu gagasan pokok atau ide pikiran tentang suatu hal yang membangun kepaduan dalam karya sastra. Pada hakikatnya tema merupakan makna yang dikandung cerita atau makna cerita dalam sebuah karya fiksi-novel, dan bahkan lebih dari satu interpretasi yang menyebabkan tidak mudah untuk menentukan tema pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan umum dari karya itu (Nurgiyantoro, 2005:82).

Proses memahami tema terbentuk secara perlahan-lahan bersamaan dengan proses pemahaman terhadap narasi novel, berdasarkan gagasan utama yang ingin diungkapkan dalam novel ABT adalah kerusakan alam Kalimantan. Tema utama tidak dapat muncul sekaligus secara sempurna, tetapi didukung oleh tema tambahan. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Area ini cocok untuk pertambangan emas. Pulau ini punya banyak seribu anak sungai. Jika disetiap titik kita bangun pertambangan emas, perusahaan kita akan kaya raya. Tapi, penduduk di sini tidak akan setuju kalau kita bangun perusahaan tambang di sekitar mereka. Limbahnya akan meracuni mereka. Pengusaha ambisius itu tidak perduli. Ide bagus. Racuni mereka melalui air sungai. Mereka pasti pindah. Anak buah yang penurut itu terdiam.” (hlm. 13)

(26)

yang tidak baik, yaitu dengan cara mencemari air sungai yang digunakan penduduk sebagai kebutuhan sehari-hari. Penduduk yang berada di daerah tersebut pergi. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Kami sudah hafal suara itu. Suara orang-orang menebang kayu. Nantinya gelondongan kayu itu dibawa melalui aliran sungai. Pembalakkan liar pun kerap terjadi di hutan kami. Kawasan hutan tropis kami seluas beribu-ribu hektar telah dikonversi menjadi perkebunan sawit. Tiga perusahaan besar di sana memanfaatkan hutan kami untuk menjadi sebuah perkebunan sawit dan perusahaan tambang. Seperti barusan kalaulah kami pergi bersama Kai, mungkin ia akan berang melihat hutannya sedikit demi sedikit terkikis kekayaan alamnya.” (hlm. 72)

Kerusakan ekosistem Kalimantan tidak hanya disebabkan oleh pembangunan industri pertambangan. Pembalakkan liar sering terjadi untuk pembukaan lahan baru. Lahan baru tersebut digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.

“Akibat terjadinya kerusakan lingkungan di bagian atas pegunungan Meratus, tingkat kekeruhan air sungai sangat tinggi. Bahkan air sungai juga diduga telah tercemar dan mengandung zat berbahaya. Air di Sungai Barito dan Sungai Martapura paling tercemar oleh bakteri E. Coli dan merkuri akibat pertambangan emas yang menggunakan air raksa.” (hlm. 112)

Dampak dari pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh industri pertambangan tersebut berupa air sungai yang mengandung bakteri E. Coli dan merkuri. Hal tersebut disebabkan oleh penggunaan zat berbahaya di pertambangan emas.

(27)

Kutipan di atas membuktikan bahwa akibat pembuangan limbah secara tidak bertanggung jawab memberikan dampak yang berkepanjangan terhadap kelangsungan hidup suku Bakumpai. Secara tidak langsung suku Bakumpai perlahan-lahan punah karena DNA mereka bercampur dengan merkuri dan logam berat.

Simpulan semua kutipan di atas merupakan perjalanan Aruna dalam novel

ABT yang sekaligus menjadi klimaks cerita. Tema dalam novel ABT ialah masalah kerusakan lingkungan serta eksistensi suku Dayak Bakumpai yang terancam punah.

2.1.2 Alur

Plot secara tradisional diartikan sebagai alur atau jalan cerita. Plot mengandung unsur jalan cerita seperti peristiwa-peristiwa yang saling susul-menyusul untuk membentuk jalan cerita itu sendiri (Nurgiyantoro, 2005:111). Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2005:113) plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun kejadian tersebut dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu menyebabkan peristiwa yang lain.

(28)

2.1.2.1 Tahap Awal

Tahap awal sebuah cerita disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2005:142). Fungsi tahap awal ialah memberikan informasi dan penjelasan yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.

Pada tahap awal novel ABT dilukiskan tentang keadaan alam Kalimantan yang masih alami. Seiring berkembangnya waktu, para pengusaha dan investor mulai mendatangi bumi Kalimantan untuk membangun industri-industri pertambangan. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Jalan setapak di depan semakin menyempit. Pepohonan dengan dahan rimbun merunduk menyambar ke sana ke mari, semakin menyulitkan mobil jip itu menapaki jalan. Tak pantas disebut jalan raya karena rupanya mirip jalan pinggiran kecil yang terdapat di pelosok kota. Berbatu, bersemak, dan berbelukar.” (hlm. 9)

Kutipan di atas menggambarkan latar yang berfungsi untuk mengenalkan kepada pembaca tentang tempat terjadinya cerita. Pengarang menggambarkan secara rinci agar pembaca mampu menghayati cerita.

(29)

“Ya, tempat ini memang menggiurkan. Batu baru, emas, intan, beragam spesies dan sumber alam yang kaya membuat semua orang melirik tempat ini. Tempat yang cocok untuk membuat semua orang menjadi kaya raya, namun tempat ini juga berbahaya”. (hlm. 10)

Kutipan di atas menggambarkan tentang kekayaan alam Kalimantan berupa batu bara, emas, intan, dan sumber alam yang lainnya. Hal tersebut membuat para pengusaha berdatangan untuk mendirikan industri pertambangan.

Pada bagian awal juga diceritakan tentang seorang gadis kecil suku Bakumpai yang bernama Aruna. Semasa kecilnya bumi Kalimantan tanah kelahirannya dijadikan sebagai surga petualangan bersama Samudra, sepupunya. Berikut kutipannya.

“Rasa ingin tahu kami muncul, hal itu yang membuat aku dan Samudra selalu berani menghadapi tantangan apapun. Seolah perasaan kami sama jika ada sesuatu yang menarik yang berbau petualangan atau menurutku bau jiwa yang tidak bisa diatur ini selalu meronta. Seperti yang satu ini. Kami tak tahu entah apa, kami takut, tapi penasaran. Sudah terpatri di jiwaku hingga Samudra pun tertulari”. (hlm. 50)

Kutipan di atas menggambarkan tentang keadaan alam Kalimantan yang belum terjamah oleh pengusaha pertambangan. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkah laku sehari-hari tokoh utama yang menjadikan tanah kelahirannya itu sebagai surga petualangannya.

2.1.2.2 Tahap Tengah

(30)

sebelumnya. Konflik menjadi semakin meningkat, dan semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal, konflik atau pertentangan yang terjadi antartokoh cerita, antar tokoh protagonis dengan tokoh antagonis, atau keduanya sekaligus. Bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang dan terpenting dari karya fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2005:145). Fungsi tahap tengah ialah mengembangkan konflik yang telah diperkenalkan pada tahap sebelumnya.

Pada tahap tengah ini, inti cerita disajikan seperti: tokoh memainkan peran, peristiwa penting yang dikisahkan, konflik berkembang semakin meruncing, menegangkan, dan mencapai klimaks. Untuk mengidentifikasi konflik utama, peristiwa fungsional-klimaks, dan tema atau gagasan utama. Pada bagian inilah pembaca memperoleh cerita dari kegiatan pembacaannya (Nurgiyantoro, 2005: 145).

Pada tahap tengah novel ABT ini digambarkan tentang pertemuan Aruna dengan Dayu kakak sepupunya. Dayu merupakan tokoh yang tidak menyukai kehadiran Aruna. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

(31)

Pada kutipan di atas merupakan gambaran sikap Dayu yang tidak suka terhadap Aruna. Hal itu disebabkan oleh kakek mereka yang lebih menyayangi Aruna daripada Dayu. Lebih dalam digambarkan pada kutipan sebagai berikut.

“Benda itu telah berumur sangat tua, sehingga Kai menegur Dayu untuk tidak bermain-main dengan pusaka itu. Dayu yang temperamen membantingnya sampai pusaka itu jatuh ke lantai kayu dan meninggalkan patahan pada ujungnya. Kai, yang melihat benda pusaka warisan nenek moyangnya itu rusak, menghujat Dayu”.

Ikau tak pantas mahapa pusaka ni. Ikai beken keturunan dari suku kami. Ikau

bukan keturunan Patih Bahandang Balau seperti Aruna”. (hlm 59)

Dayu membenci Aruna dikarenakan kakek mereka yang pilih kasih. Kakeknya lebih sayang kepada Aruna karena Aruna merupakan keturunan asli dari suku Bakumpai. Pada tahap tengah ini pengarang juga menceritakan bagaimana usaha yang dilakukan oleh Aruna untuk menjaga lingkungannya yang telah tercemar oleh limbah beracun yang dapat mengancam populasi penduduk suku Bakumpai. Perhatikan kutipan berikut.

“Berdasarkan sebuah analisis pada buku yang kubaca, banyak kawasan hutan bekas terbakar pada lima tahun terakhir ini mengalami perubahan tutupan lahan. Ada areal yang didominasi lahan terbuka yang cukup luas di daerah deket Desa Pujon, Kecamatan Kapuas Tengah. Mungkin ini lokasi tambang emas atau pasir zirkon. Zirkon adalah sejenis pasir halus sebagai bahan baku keramik dan kompinen elektronik”. (hlm. 113)

(32)

wasiat yang diberikan oleh Kai untuk menjaga keturunan asli sukunya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.

“Kalian tidak steril. Darah kalian mengandung kontaminasi racun merkuri dan arsenik dalam kadar yang berbeda-beda. Racun-racun itu bisa menjadi toksin yang bersifat dapat merusak bayi-bayi dalam kandungan, sistem saraf pusat manusia, organ-organ reproduksi, dan sistem kekebalan tubuh”. (hlm. 182)

Kutiipan di atas merupakan dampak dari pembuangan limbah di sepanjang Sungai Barito. Racun tersebut mengalir dalam darah suku Bakumpai yang menyebabkan rusaknya gen genetik keturunan asli mereka. Melihat kondisi sukunya, Aruna teringat pesan Kai yang sebelum meninggal untuk menikah dengan Avara anak Arai. Mereka berdua sejak lama sudah dijodohkan. Namun, mereka berdua tidak mengetahuinya.

2.1.2.3 Tahap Akhir

Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat dari klimaks. Bentuk penyelesaian sebuah cerita dalam banyak hal ditentukan oleh hubungan antartokoh dan konflik yang dimunculkan (Nurgiyantoro, 2005: 145-146). Aristoteles (dalam Nurgiyantoro, 2005:146) membedakan akhir sebuah cerita ke dalam dua kemungkinan, yaitu: kebahagiaan (happy end) dan kesedihan (sad end).

(33)

untuk menikah bersama Avara karena mereka berdua belum saling mengenal. Hal ini tampak pada kutipan berikut ini.

“Aku bercakap-cakap dengan Bara. Ia memberitahuku lebih banyak hal dibanding Satria mengenai tempat ini. Seolah tempat ini adalah rumahnya. Ia bercerita ia senang bertualang ke alam liar, mendaki gunung, dan menjelajah nusantara, tentu sambil mengabadikan keindahannya di balik lensa kamera. Ia juga bercerita kalau ia sangat menyukai laut. Ceritanya tentang ekosistem laut mengalir deras. Kami mempunyai minat yang sama. Sama-sama menyukai petualangan dan mencintai keindahan alam. Ada beberapa hal yang berbeda. Ia bukanlah seorang pecinta lingkungan dan sedikit tidak peduli dengan cerita yang kututurkan tentang ekosistem yang rusak akibat limbah pembuangan perusahaan tambang. Seolah ia hanya berpikir keindahan alam yang ia lihat akan bertahan selamanya. Abadi seolah diawetkan. Kukatakan kalau semua itu semu. Ia malah tertawa dengan khas”. (hlm. 227)

Kutipan di atas membuktikan bahwa Aruna dan Avara belum saling mengenal karena Avara menggunakan nama Bara ketika bertemu dengan Aruna. Hal ini menyebabkan Aruna tidak dapat mengenalinya. Aruna tidak mengenal Avara dikarenakan Avara menggunakan nama pemberian orang tua angkatnya.

Pada pertemuan selanjutnya dengan Avara. Aruna langsung mengutarakan wasiat yang diberikan oleh Kai kepadanya. Namun, Avara menanggapinya dengan sedikit tidak percaya. Perhatikan kutipan berikut ini.

“Jadi, tanpa kuketahui, sebetulnya aku sudah memiliki calon istri? Tanya Avara tak percaya. Ia tertawa miris. Apa-apaan ini? Aku bahkan tidak tahu kalau ayah kandungku masih hidup!”.

(34)

Pada tahap akhir novel ABT pengarang tidak menggambarkan secara jelas akhir cerita novel ini apakah berakhir menyenangkan (happy ending) atau menyedihkan (sad ending). Peneliti menafsirkan bahwa cerita ini berakhir menyedihkan (sad ending), dikarenakan tokoh utama yakni Aruna tidak bisa bersatu bersama Avara untuk menjaga bumi kelahirannya.

2.1.3 Penokohan

Penokohan sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan yang menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2005:165). Adapun pendapat Jones (dalam Nurgiyantoro 2005:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penggunaan istilah karakter (character) dalam berbagai buku bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 2005:165).

(35)

dan tanggung jawab. Dimensi fisiologis, meliputi: jenis kelamin, umur, tinggi dan berat badan, warna kulit, rambut, potongan tubuh, penampilan dan cacat tubuh.

Untuk mempermudah peneliti dalam menganalisis penokohan dalam novel

ABT, terlebih dulu dibedakan tokoh-tokohnya berdasarkan dari segi peran atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita. Tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan secara terus-menerus dalam sebuah cerita sehingga mendominasi sebagian besar cerita disebut tokoh utama. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2005:176-177).

Berdasarkan pandangan di atas, maka dapat ditentukan tokoh utama (tokoh sentral) novel ABT adalah Aruna. Aruna merupakan tokoh yang mendominasi seluruh kisah yang ada dalam novel tersebut. Tokoh tambahan yang mendukung jalannya cerita adalah Kai, Samudra, Dayu, Eliyana, Avara. Berturut-turut tokoh utama dan tokoh tambahan novel ABT diuraikan sebagai berikut.

2.1.3.1 Tokoh Utama

Telah disebutkan di atas tokoh utama novel ABT adalah Aruna. Ditinjau dari segi sosiologis Aruna merupakan anak tunggal, dan merupakan cucu ketiga dari Kai

(36)

“…..Tapi, karena aku terlahir sebagai anak satu-satunya dengan garis darah keturunan langsung dari nenek moyang suku kami, Bakumpai, Patih Bahandang Balau, seorang Kai pun luluh dan bisa menahan sabar melihatku”. (hlm. 29)

Kutipan di atas menggambarkan bahwa kedudukan Aruna sebagai cucu yang berdarah asli suku Bakumpai harus hadir pada sebuah upacara adat yang dilaksanakan. Hal ini dikarenakan Kai menaruh harapan pada Aruna untuk menggantikan dirinya kelak. Aruna harus menghadiri upacara adat dikarenakan ia satu-satunya keturunan asli suku Bakumpai yang mewarisi nilai-nilai leluhur dari kakeknya.

Seiring berjalannya waktu, Aruna dan Samudra mulai masuk sekolah. Tempat ia bersekolah tidak dijelaskan dalam novel tersebut, hanya disebutkan bahwa Aruna memakai seragam putih merah yang biasanya dikenakan oleh siswa Sekolah Dasar. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Aku tak pernah menceritakan bagaimana aku sekolah. Umurku 11 tahun dan sebenarnya aku tak terlalu menyukai sekolah. Aku harus bangun pagi-pagi sekali. Aku harus memakai seragam jahitan Uma yang sudah lusuh berwarna putih merah. Aku harus berangkat sedini mungkin, menyusuri Sungai Barito menggunakan rakit. Belum lagi harus berjalan berkilo-kilometer jauhnya ke tempat yang orang-orang namakan sekolah itu”. (hlm. 91)

Dilihat dari segi psikologis, Aruna digambarkan sebagai orang yang memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk menjaga lingkungan tempat tinggalnya. Selain itu, ia juga memiliki kepribadian yang ulet dan tekun dalam melakukan sesuatu. Hal itu dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut.

(37)

pahit pernah terukir di sana, ekspedisi kali ini adalah untuk memberi kesan pada aktivis seperti mereka bahwa pegunungan ini layak dijadikan sebuah tempat yang harus dilindungi. Daerah ini termasuk dari sedikit alam yang masih asri. Untuk itu, sebagai aktivis lingkungan, aku merekomendasikan Muller sebagai warisan alam yang berharga”. (hlm. 154-155)

Kutipan di atas membuktikan bahwa Aruna ikut dalam ekspedisi ke Pegunungan Muller untuk melakuan penelitian. Keikut sertaan Aruna pada ekspedisi tersebut karena ia satu-satunya penduduk asli suku Bakumpai yang pernah menjelajah Gunung Muller. Selain itu, ia juga diharapkan mampu membantu tim peneliti ketika melakukan penelitian di gunung tersebut karena ia penduduk asli suku Bakumpai yang mengetahui keadaan pegunungan tersebut.

Ditinjau dari segi fisiologis, Aruna bukanlah anak yang istimewa, baik dari fisik maupun penampilannya. Aruna merupakan seorang gadis bertubuh kecil dan lincah, dengan postur tubuh seperti itu Aruna lebih mudah melakukan kegiatannya sehari-hari. Digambarkan sebagai berikut.

(38)

2.1.3.2 Tokoh Tambahan

Analsisis selanjutnya adalah analisis penokohan pada tokoh tambahan. Analisis pertama dimulai dari Kai, kemudian disusul dengan Samudera, Dayu,

Eliyana, dan Avara.

1) Kai

Tokoh tambahan yang dianalisis terlebih dahulu adalah Kai yakni kakek Aruna. Ditinjau dari segi sosiologis Kai merupakan tetua suku yang menjadi pemimpin suatu ritual adat di suku Bakumpai. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

Kai membaca mantra diiringi suara gamelan. Ayahku mulai bertingkah aneh. Diam, cekikikan. Diam lagi, lalu tertawa terkekeh-kekeh. Suaranya persis seperti tetua yang aku temui di puhun sadatu tadi. Setidaknya, itu yang kudengar. Aku tak melihat proses selanjutnya”. (hlm. 32-33)

(39)

Dari segi psikologis, Kai adalah laki-laki tua yang berambisi untuk melestarikan keturunan asli suku Bakumpai dan ia juga memliki rasa tanggung jawab yang besar untuk menjaga lingkungan tempat tinggalnya. Berikut kutipannya.

”Beberapa saat lamanya, sebelum api itu benar-benar melahap masuk hutan,

Kai memberitahuku untuk menggunakan segala cara untuk supaya kebakaran di titik ini padam. Ia menyuruhku membasahi kain-kain yang kami kenakan, sarung Kai dan kainku, untuk kubasahi dengan air sungai. Sebisa mungkin air yang membasahi kain itu bisa membasahi semak belukar itu dan mengecilkan api yang berkobar. Sangat mustahil sekali, naluriku sempat ingin protes, tapi kami tak punya jalan lain”. (hlm. 120)

Kutipan di atas membuktikan usaha yang dilakukan Kai untuk menjaga lingkungan tempat tinggalnya. Hal itu dilakukan Kai dengan cara berpatroli melihat keadaan hutan yang setiap hari semakin rusak. Terkadang pada saat berpatroli di hutan, ia memadamkan api yang melahap hutan menggunakan alat sederhana.

“Sebuah guratan senyuman tersungging di bibirnya. Ia memberi amanat padaku agar meneruskan apa yang Kai lakukan, menjaga adat dan tradisi suku kami, serta menjaga bumi kami. Setelah berfirasat Kai akan pergi jauh, aku menitikkan air mataku. Aku memeluk Kai dan memintanya untuk bertahan”. (hlm. 152)

Kai tetap mempertahankan keinginannya untuk menjaga kelestarian tempat tinggal dan keaslian suku Bakumpai sampai akhir hayatnya. Hal itu dilakukan oleh

Kai dengan cara mewasiatkan semua keinginanya kepada Aruna.

(40)

“Wajah Kai tampak tirus dan pucat. Aku mengamatinya. Tubuhnya begitu kurus. Tulang rusuknya menyembul di bawah permukaan kulitnya. Kulitnya yang terlipat membentuk keriput menghiasi wajah dan tangannya. Usia Kai

setengah abad, kukira ia tak kan pernah terlihat tua karena ia kukenal sebagai seorang yang luar biasa. Tapi, malam ini, ia hanyalah seorang kakek tua yang sudah berubah, lemah dan tak berdaya”. (hlm. 145)

Kutipan di atas menggambarkan keadaan Kai yang sudah tua termakan usia. Tetapi, usia tidak menjadi halangan bagi Kai untuk tetap mempertahankan keaslian suku Bakumpai, serta menjaga kelestarian alam tempat tinggalnya.

2) Samudera

Analsis tokoh selanjutnya adalah Samudera. Dilihat dari segi sosiologisnya, Samudera merupakan anak yang selalu bersemangat dalam belajar. Motivasi Samudera dalam mengemban pendidikan ia dapatkan dari ayahnya yang menyadari pentingnya pendidikan bagi kehidupan. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut.

“Samudera lain halnya denganku. Ia 180 derajat kebalikanku. Letupan semangatnya menggebu-gebu kalau sudah berurusan dengan sekolah. Matanya selalu berbinar-binar ketika menatap guru yang sedang menerangkan pelajaran di depan kelas. Satu yang menggangguku juga adalah mulutnya yang ikut-ikutan bereaksi. Menyimak sambil menganga. Ia yang duduk di belakangku pernah kulempar kapur di mejaku bekas lemparan dari guruku”. (hlm. 93-94)

(41)

Dilihat dari segi psikologisnya, pengarang menggambarkan tokoh Samudera sebagai tokoh yang pemberani dan selalu percaya diri. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut.

“Aku ragu, tapi Samudera laki-laki. Tentu lebih berani. Tapi, tak kukira dia seberani ini”.

“Samudera berayun-ayun sambil memeluk cabang pohon. Aku menutup mata. Ngeri jika melihatnya jatuh. Bunyi krek dahan membuatku memekik menahan nafas”. (hlm. 51-52)

Keberanian yang dimiliki oleh Samudera selalu dibuktikannya kepada Aruna karena ia merupakan seorang laki-laki dan harus melindungi seorang wanita. Segala sesuatu yang dilakukannya tidak pernah gagal, karena ia memiliki rasa percaya diri yang kuat ketika melakukan sesuatu.

Dilihat dari segi fisik, pengarang menggambarkan tokoh Samudera yang telah menjadi dewasa dengan keadaan fisik dan penampilan yang dimilikinya. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

(42)

Samudera, begitu pula sebaliknya. Samudera kembali ke tanah kelahirannya dikarenakan ia peduli terhadap keadaan alam Kalimantan yang hancur.

3) Dayu

Dilihat dari segi sosiologis, Dayu adalah anak pertama dari pasangan Awahita dan Lizam yang berarti cucu dari Kai. Dayu tidak disukai oleh Kai dikarenakan dia bukan keturunan asli suku Bakumpai, melainkan keturunan yang berdarah campuran. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

Ikau tak pantas mahapa pusaka ni. Ikau beken keturunan dari suku kami.

Ikau bukan keturunan dari Patih Bahandang Balau seperti Aruna”. (hlm. 59) Kutipan di atas menggambarkan ketidaksukaan Kai pada Dayu. Hal ini disebabkan karena Dayu bukanlah keturunan asli dari Patih Bahandang Balau. Selain ituu, kebencian Kai terhadap Dayu disebabkan juga oleh pernikah orang tuanya. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Pembangkangan Bi Awahita terhadap rencana pernikahannya dengan seorang anak dari suku Bakumpai membuat Kai dan Nini kecewa. Sejak itu,

Kai menjadi sensitif pada Bi Awahita. Meskipun ia menyayangi Bi Awahita, tapi sepertinya rasa kecewanya takkan pernah pupus…”. (hlm. 60)

(43)

Dilihat dari segi psikologis, pengarang menggambar tokoh Dayu dengan sifat yang tempramental. Hal itu tampak pada kutipan berikut.

Narai? Jawab suara ketus seseorang yang membuka pintu kamar dengan menggerutu. Dayu”.

“Tak da. Ia menutup pintu kayunya yang reot. Setengah membanting”.

“Sejak ia sembuh dari sakitnya, ia semakin menjadi-jadi. Menjadi-jadi tidak menyukaiku. Aku sempat bertanya pada Uma mengapa ia demikian, namun

Uma hanya menjawab dengan gelengan kepalanya. Uma pasti akan selalu bilang “sudahlah”. Tapi, Uma tidak menawarkanku perkiraan-perkiraan mengapa Dayu begitu”. (hlm. 58)

Sikap temperamental Dayu kepada Aruna disebabkan oleh perasaan cemburunya. Aruna lebih disayang oleh Kai, sedangkan ia tak dianggap. Hal itu dikarenakan ia bukan keturunan asli suku Bakumpai melainkan keturunan yang berdarah campuran, karena ibunya menikah dengan orang suku Banjar dan Kai tidak merestuinya.

Ditinjau dari segi fisik, pengarang menggambar tokoh Dayu dalam keadaan sakit parah selama dua bulan. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Sudah dua bulan dayu sakit keras. Badan dan keringatnya dingin seperti mayat hidup, tapi ia mengeluh panas disekujur tubuhnya. Uma, Kai, Apa, dan bibiku dibuat kerepotan karena khawatir Dayu diguna-guna. Meskipun kakekku sudah mencari ramuan tumbuh-tumbuhan dari hutan, Dayu tak kunjung sembuh. Saat itu, klinik pengobatan tidak ada di desa kami. Kami harus pergi ke hilir Barito menuju pusat kota Marabahan. Perjalanan itu pun harus kami susuri sepanjang hari melalui Sungai Barito menggunakan rakit atau perahu”. (hlm. 16)

(44)

beserta keluarga besarnya di suku Bakumpai menjadi khawatir. Kakeknya memutuskan untuk melangsungkan sebuah upacara adat penyembuhannya.

4) Eliyana

Dilihat dari segi sosiologisnya, pengarang menggambarkan tokoh Eliyana sebagai seorang dokter yang berasal dari Jakarta. Kemudian ia datang ke Kalimantan untuk melakukan penelitian. Berikut kutipannya.

“Ketika pertama kali aku bertemu Eliyana, ia mengatakan padaku kalau ia adalah seorang dokter. Tujuannya datang ke sini adalah meneliti dampak pembuangan limbah tailing di Sungai Barito. Hari itu kulihat ia bersemangat sekali terjun ke lapangan. Mengambil sampel air sungai dan memasukkannya pada tube kecil”. (hlm. 157)

Tujuan Eliyana datang ke tanah Kalimantan ialah untuk meneliti dampak dari pembuangan limbah tailing ke sungai. Selain itu, ia juga meneliti gen suku Bakumpai dan suku lainnya. Apakah darah suku Bakumpai terkontaminasi zat beracun yang terkandung pada air sungai yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Dari segi psikologis, Eliyana adalah seorang wanita yang memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap lingkungan karena ia merupakan seorang pecinta lingkungan. Selain itu, ia juga memiliki sifat yang selalu ingin membantu orang lain. Berikut kutipannya.

(45)

Aku membantu menerangkannya dengan bahasa kami. Ibu itu menjawab iya, ia mengeluh gatal-gatal dan alergi serta terserang penyakit kulit. Eliyana yang peduli menyarankan untuk tidak memakai air sungai ini lagi”. (hlm. 160) Sikap rasa tanggung jawab serta kemanusiaannya tercermin dari cara dan prilaku dalam kehidupan sehari-hari. Di samping menjalankan tugas untuk meneliti lingkungan yang tercemar oleh zat berbahaya, ia juga membantu menangani pengobatan masyarakat suku Bakumpai yang terkena dampak zat bercaun dengan sukarela.

Dilihat dari segi fisiologis, oleh pengarang Eliyana tidak digambarkan secara jelas, ia hanya seorang wanita muda yang menggunakan kacamata sehingga ia terlihat seperti cendekiawan muda. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.

“……Salah seorang dari mereka seorang wanita berkacamata, hari itu datang menginjak tanah kami. Ia tampak seperti cendekiawan muda yang bersemangat. Ia menjabat tanganku, tersenyum padaku dan mengenalkan namanya, Eliyana”. (hlm. 154)

Kutipan di atas menggambarkan sosok Eliyana sebagai seorang wanita muda dengan penampilan seperti seorang cendikiawan. Ia adalah seorang wanita muda yang bersemangat untuk tetap menjaga kelestarian alam Kalimantan. Tidak hanya menjaga kelestarian alam, ia juga memperhatikan keadaan populasi suku Bakumpai yang terancam punah.

5) Avara

(46)

angkat yang berasal dari Jakarta dan tinggal di sana. Ia juga seorang mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia. Berikut kutipannya.

“Selanjutnya ia meminta informasi keberadaan Avara di Jakarta. Eliyana bertanya pada pria ternyata betul bernama Arai itu. Kai Arai memberi tahu kami bahwa Avara mempunyai orangtua angkat di Jakarta. Ie baisi kuitan angkat sikanih. Ie sakula si Unbersitas Indonesia. Ia menunjuk Eliyana. Ie

dokter kilauan ikau. Ia seorang mahasiswa kedokteran di Universitas Indonesia”. (hlm. 187)

Avara adalah seorang keturunan yang berdarah asli suku Bakumpai seperti Aruna. Namun, ia tidak tinggal bersama ayahnya di Kalimantan. Ayahnya menyerahkan Avara kepada orang tua angkatnya karena ia telah kehilangan ibunya sejak kecil.

Dilihat dari segi psikologisnya, pengarangan menggambarkan Avara yang memiliki kepribadian yang tidak mudah percaya dengan perkataan orang yang baru dikenalnya. Avara beranggapan bahwa kabar yang disampaikan kepadanya belum tentu benar. Berikut kutipannya.

“Jadi, tanpa kuketahui, sebetulnya aku sudah memiliki calon istri? Tanya Avara tak percaya. Ia tertawa miris. Apa-apaan ini? Aku bahkan tidak tahu kalau ayah kandungku masih hidup!”. (hlm. 246)

(47)

masih hidup atau tidak. Dia tertegun dan berpikir keras dengan perkataan yang dilontarkan Aruna kepadanya.

Dilihat dari segi fisiologisnya, Avara tidak digambarkan secara jelas oleh pengarang. Dikarenakan Avara bukanlah tokoh uama yang diceritakan dari awal hingga akhir cerita.

2.1.4 Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005:216). Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain (Nurgiyantoro, 2005:227).

2.1.4.1 Latar Tempat

(48)

Latar tempat novel ABT adalah di Pulau Kalimantan. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa lokasi yang pada kenyataan berada pada wilayah Kalimantan, seperti: Sungai Barito, Kampung Bakumpai atau Kota Marabahan, Banjarmasin, Tumbang Karamo, Desa Tujang, dan Kampung Tumbang Topus. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Kota Marabahan, sebagai kota tua yang bersejarah, dilihat dari letaknya yang strategis karena berada di samping tiga Sungai Barito yang menghubungkan ke Hulu Barito, Banjarmasin, dan Margasari. Di Marabahan pada masa lalu menurut cerita Kai, diperjualbelikan dagangan dari tanah Siang dan Murung yang terletak di hilir Barito melalui perdagangan sungai dengan berjejernya ratusan perahu dan rakit raksasa”. (hlm. 65)

Kutipan di atas menggambarkan letak kediaman suku Bakumpai yang menghuni bumi Kalimantan berdasarkan cerita dari leluhur secara turun-temurun. Selain itu, dijelaskan pula keadaan ekonomi dan matapencaharian suku Bakumpai sebagai pedagang pada zaman dahulu.

“Di pedalaman suku Kalimantan Tengah terdapat suku Dayak Ot Danum yang dihubungkan dengan Ngaju atau di Sungai Barito yang disebut juga Biaju. Ngaju bisa dikaitkan induk suku kami. Ngaju adalah suku Dayak yang populasinya dominan di pulau kami. Mereka menghuni sepanjang sungai yang mengalir ke pulau selatan kami hingga tembus ke Laut Jawa. Dialek bahasa Ngaju mirip dengan dialek suku kami”. (hlm. 66-67)

(49)

Tidak terbatas pada latar tempat yang disebutkan secara jelas seperti di atas, tetapi juga terdapat latar tempat yang dilukiskan tanpa lokasi yang spesifik. Latar tempat semacam ini memiliki nuansa yang khas untuk membangun suasana bacaan. Seperti kutipan berikut.

“Jalan setapak di depan semakin menyempit. Pepohonan dengan dahan rimbun merunduk menyambar ke sana ke mari, semakin menyulitkan mobil jip itu menapaki jalan. Tak pantas disebut jalan raya karena rupanya mirip jalan pinggiran kecil yang terdapat di pelosok kota. Berbatu, bersemak, dan berbelukar”. (hlm. 9)

Penggambaran latar yang dihadirkan oleh pengarang mampu membuat pembaca merasakan suasana alam yang masih asri. Dengan menghadirkan keadaan jalan raya yang ditumbuhi pepohonan yang rindang.

“Aku melintas padang semak belukar yang kulewati tadi. Kali ini aku mengambil jalan setapak karena tak takut Nini mengikutiku. Saat ini, justru aku menginginkannya. Menginginkanya bersembunyi di semak seperti tadi, lalu aku yang akan mengagetkannya, setelah itu pulang bersama”. (hlm. 25) Pada kutipan di atas pengarang menggambarkan suasana jalan setapak yang dikelilingi semak belukar. Suasana mencekam yang dihadirkan pengarang mampu membuat pembaca ikut serta dalam cerita tersebut.

2.1.4.2 Latar Waktu

(50)

waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (Nurgiyantoro, 2005:230)

Latar waktu novel ABT tidak dijelaskan secara ekplisit oleh pengarang. Namun, terdapat implikasi bahwa peristiwa yang terjadi pada novel tersebut mengambil latar waktu sekitar tahun 2000-an. Berikut kutipannya.

“Avara. 17 Agustus 2009”.

“Avara. B de’Phoenix. 16 Agustus 2010”.

“Berulang kali kubaca nama itu dari kiri ke kanan tanpa berkedip sampai kesadaran otakku pulih. Ia pernah ke sini, desisku pada Eliyana. Pikiranku mengambang, berputar-putar otakku berpikir serius. Seolah otakku mengopi terlalu banyak kata yang cukup sulit kupercaya. Ia pernah ke sini. Ia pernah ke sini. Ia pernah ke sini. Ia pernah ke sini”. (hlm. 214)

Kutpan di atas menggambarkan waktu pendakian Avara ke puncak Mahameru. Setiap tahun Avara mendaki ke Gunung Semeru seperti informasi yang tertera pada batu besar tempat para pendaki mengukir sejarah mereka ketika melakukan pendakian ke Gunung Semeru.

Informasi selanjutnya memberikan gambaran tentang teknologi yang berkembang pada latar waktu karya sastra. Alat transportasi jarak jauh sudah mengandalkan tenaga mesin otomatis. Di samping sudah mengenal alat transportasi mesin, bagi masyarakat pedalaman Kalimantan masih menggunakan rakit sebagai alat transportasi air mereka.

(51)

“Apa kau yakin jalan ini sesuai dengan jalan yang ada di peta? Seorang wanita yang duduk di belakang bertanya pada yang mengemudikan sebuah mobil Land Rover yang mereka tumpangi”. (hlm. 10)

“Diperjalanan, sebuah motor menghentikan perjalanan kami. Seorang pemuda yang cara jalannya kukenal itu dengan sedikit canggung menghampiriku. Ia meminta Eliyana untuk meninggalkan kami berdua”. (hlm. 247)

Penggambaran teknologi yang dipaparkan pengarang pada novel ABT ini membuktikan bahwa cerita dalam novel berlangsung sekitar tahun 2000-an. Hal tersebut dapat dilihat dari kemajuan teknologi yang berkembang pada saat itu.

2.1.4.3 Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas (Nurgiyantoro, 2005:233-234).

(52)

“Akhirnya Kai memutuskan untuk menyelenggarakan ritual upacara Badewa. Ritual adat ini dilakukan ketika yang sakit sulit disembuhkan . ritual ini dipercaya bisa sangat manjur menuntaskan bala penyakit yang menurut Kai

tidak bisa disembuhkan. Ritual ini masih dipegang kakekku secara turun-menurun dari nenek moyangnya. Ia masih percaya dan melestarikannya”. (hlm. 16-17)

Referensi

Dokumen terkait

berfirman ” Barang siapa mengerjakan amal salih, baik laki-laki atau perempuan, sedang ia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak

Sikap Upra yang lain adalah baik, ini terlihat ketika ia dengan sabar merawat Mika karena perlakuan kasar yang dilakukan Mundus, terdapat dalam kutipan berikut:.. (28) Ia

Kutipan (57),(58),(59),(60) menjelaskan bahwa tokoh Pak Wignyo di ibaratkan seperti Pohon kelapa yang kurus kering menjulang tinggi dikala kemarau di Parokinya. Ia seorang

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan: (1) unsur intrinsik novel Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi meliputi: (a) tema adalah perjuangan seorang laki-laki untuk

Mereka adalah orang yang selalu memberikan dukungan dan semangat tiada henti kepada saya, agar bisa menyelesaikan skripsi ini dengan cepat sehingga dapat wisuda sarjana. Penulis

• Suatu sikap untuk berbuat sesuatu dengan tidak terlalu merisaukan.

Novel merupakan salah satu bentuk karangan prosa yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seorang tokoh dengan tokoh-tokoh di sekelilingnya dengan menampilkan

Kecemasan neurotik adalah rasa cemas yang timbul dalam diri sendiri secara tidak sadar karena adanya insting atau naluri seorang tokoh untuk mempertimbangkan