Membangun Keunggulan Kompetitif Dengan Syariah Accounting
Oleh:
Srihadi Winarningsih
srihadi.winarningsih@fe.unpad.ac.id
srihadi_zarkasyi@yahoo.com.sg
Disampaikan pada:
Kuliah Umum/ Studium Generale Mahasiswa Program DIII Akuntansi
PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi, keuangan dan perbankan syariah telah mendorong
insititusi akademik untuk lebih giat lagi menyiapkan sumber daya manusia yang
kompeten. Hal itu dikarenakan sumber daya manusia yang kompeten merupakan salah
satu faktor penting untuk dapat mempercepat perkembangan ekonomi Islam secara
nasional yang nantinya akan membantu meningkatkan ekonomi masyarakat keseluruhan.
Lebih dari itu Perguruan tinggi merupakan pemegang amanah pengajaran dan
pengembangan ilmu. “Ilmu itu ruhnya Islam dan tiangnya iman; barangsiapa yang
mengajarkan ilmu, maka Allah akan menyempurnakan pahalanya. Barangsiapa belajar
satu ilmu lalu mengamalkannya, maka Allah mengajarinya ilmu pengetahuan yang belum
ia ketahui sebelumnya.” (HR Abu Syaikh).
Agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan memuaskan segenap
stake holder maka sudah pasti dibutuhkan suatu sistem yang standar yang efektif dan
efisien. Stake hoder pendidikan Ekonomi Syariah adalah Mahasiswa, Orang Tua, Dosen,
Manajemen Perguruan Tinggi, DIKNAS, DEPAG, industri keuangan dan bisnis Syariah
serta masyarakat pada umumnya. Standarisasi seperti ISO 9001-2000 dan akreditasi di
perlukan untuk menjamin kepentingan semua stake holder yang terlibat.
Ada empat kata kunci untuk memastikan persyaratan sistem dalam ISO
9001:2000 dikenal sebagai PDCA (Plan, Do, Check, Action) atau
Rencana-Lakukan-Periksa-Tindaki. PDCA secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Rencanakan; tetapkan tujuan dan proses pendidikan yang diperlukan untuk
menyerahkan hasil sesuai dengan persyaratan pelanggan, pemerintah dan
2. Lakukan; terapkan proses pendidikan
3. Periksa; pantau serta ukur proses dan hasil proses pendidikan terhadap kebijakan,
tujuan dan persyaratan untuk hasil sebuah proses pendidikan dan laporkan
hasilnya secara berkala (baiknya setiap semester)
4. Tindak Lanjut; lakukan tindakan untuk perbaikan berlanjut dari hasil kerja proses
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang sesuai dengan syariah.
Bank Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
(UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan).
Kegiatan usaha Bank Syariah antara lain: Mudharabah; Musyarakah; Murabahah , Ijarah,
Ar-Rahnu, Hawalah, Istishna, Mudharabah al-Mutlaqah, Mudharabah Muqqayadah,
Wakalah.
Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
Dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya Bank Syariah Mandiri menganut
prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Prinsip Keadilan; Prinsip ini tercermin dari penerapan
imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati
bersama antara Bank dan Nasabah ; (2) Prinsip Kemitraan; Bank Syariah menempatkan
nasabah penyimpanan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukan
yang sama dan sederajat dengan mitra usaha. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban,
pengguna dana maupun Bank. Dalam hal ini bank berfungsi sebagai intermediary institution lewat skim-skim pembiayaan yang dimilikinya. (3) Prinsip Keterbukaan
Melalui laporan keuangan bank yang terbuka secara berkesinambungan, nasabah dapat
mengetahui tingkat keamanan dana dan kualitas manajemen bank ; (4) Univeralitas
Bank dalam mendukung operasionalnya tidak membeda-bedakan suku, agama, ras dan
golongan agama dalam masyarakat dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil'alamiin.
Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Bank Syariah:
1. Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah
SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai
ajaran Islam
2. Bank syariah mendorong nasabah untuk mengupayakan pengelolaan harta nasabah
(simpanan) sesuai ajaran Islam
3. Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelola bank pada
posisi yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap
dasar hubungan antara nasabah dan bank
4. Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip
kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan
Nasabah atas jalannya usaha bank syariah.
5. Prinsip bagi hasil:
a. Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman
pada kemungkinan untung dan rugi
b. Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
c. Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan
e. Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu
tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh
kedua belah pihak
Bank Konvensional
1. Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh
imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham
adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan
suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan
pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah).
Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi
antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi
sebagai lembaga perantara saja
2. Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank
dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak
belakang.
3. Sistem bunga:
a. Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu
untung untuk pihak Bank
b. Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu
untung untuk pihak Bank
c. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat
d. Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama
Islam
e. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang
dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
Bank Syariah sebagai bank yang beroperasi atas dasar prinsip syariah Islam menetapkan
budaya perusahaan yang mengacu kepada sikap akhlaqul karimah (budi pekerti mulia),
yang terangkum dalam lima pilar yang, yaitu :
1. Siddiq (Integritas)
Menjaga Martabat dengan Integritas. Awali dengan niat dan hati tulus, berpikir jernih,
bicara benar, sikap terpuji dan perilaku teladan.
2. Istiqomah (Konsistensi)
Konsisten adalah Kunci Menuju Sukses. Pegang teguh komitmen, sikap optimis,
pantang menyerah, kesabaran dan percaya diri.
3. Fathanah (Profesionalisme)
Profesional adalah Gaya Kerja Kami. Semangat belajar berkelanjutan, cerdas,
inovatif, terampil dan adil.
4. Amanah (Tanggung-jawab)
Terpercaya karena Penuh Tanggung Jawab. Menjadi terpercaya, cepat tanggap,
obyektif, akurat dan disiplin
5. Tabligh (Kepemimpinan)
Kepemimpinan Berlandaskan Kasih-Sayang. Selalu transparan, membimbing,
Bank Syariah bergerak dalam bidang perbankan dengan prinsip Keseimbangan
Berekonomi dimana Bank Syariah mengkombinasikan antara idealisme usaha dengan
nilai-nilai rohani dalam operasinya. Bank Syariah merupakan pelopor dalam memberikan
layanan perbankan syariah modern di Indonesia. Bank Syariah senantiasa menjalin
kemitraan dengan semua kalangan, tanpa membedakan latarbelakang suku, agama dan
warna kulit dalam bingkai semangat Islam sebagai "rahmatan lil'alamiin".
Harmoni antara idealisme usaha dan nilai-nilai rohani inilah yang menjadi salah satu
keunggulan Bank Syariah sebagai alternatif jasa perbankan di Indonesia.
Kegiatan usaha yang dilakasanakan oleh Bank Syariah Mandiri adalah sebagai berikut:
1. Mudharabah
Adalah kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal (pihak pertama)
menyediakan modal sedangkan mudharib (pihak kedua) menjadi pengelola dana
dimana keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan dimuka.
2. Musyarakah
Adalah perjanjian pembiayaan antara Bank Syariah dengan nasabah yang
membutuhkan pembiayaan, dimana Bank dan nasabah secara bersama membiayai
suatu usaha atau proyek yang juga dikelola secara bersama atas prinsip bagi hasil
sesuai dengan penyertaan dimana keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan
dimuka.
3. Murabahah
Adalah suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana
lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar
harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan.
4. Ijarah
Perjanjian sewa yang memberikan kepada penyewa untuk memanfaatkan barang yang
akan disewa dengan imbalan uang sewa sesuai dengan persetujuan dan setelah masa
sewa berakhir maka barang dikembalikan kepada pemilik, namun penyewa dapat juga
memiliki barang yang disewa dengan pilihan pemindahan kepemilikan atas barang
yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
5. Ar-Rahnu
Adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta (nilai ekonomis) sebagai
jaminan hutang, hingga pemilik barang yang bersangkutan boleh mengambil hutang.
Ar-Rahn berarti juga pledge atau pawn (gadai), yaitu kontrak atau akad penjaminan
dan mengikat saat hak penguasaan atas barang jaminan berpindah tangan.
6. Hawalah
Adalah akad pemindahan piutang nasabah kepada bank untuk membantu nasabah
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya dan bank mendapat
imbalan atas jasa pemindahan piutang tersebut.
7. Istishna
Adalah pembiayaan jual beli yang dilakukan antara bank dan nasabah dimana penjual
(pihak bank) membuat barang yang dipesan oleh nasabah. Bank untuk memenuhi
pesanan nasabah dapat mensubkan pekerjaannya kepada pihak lain.
Adalah kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal (pihak pertama)
menyediakan modal dan memberikan kewenangan penuh kepada mudharib (pihak
kedua) dalam menentukan jenis dan tempat investasi, sedangkan keuntungan dan
kerugian dibagi menurut kesepakatan dimuka.
9. Mudharabah Muqqayadah
Adalah kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal menyediakan modal dan
memberikan kewenangan terbatas kepada mudharib dalam menentukan jenis dan
tempat investasi, dimana keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan
dimuka.
10.Wakalah
Adalah akad perwakilan antara kedua belah pihak (bank dan nasabah) dimana
nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan
pekerjaan atau jasa tertentu
Prospek Bisnis Bank Syariah
Saat ini walaupun peranan bank syariah dalam perbankan nasional masih kecil namun
dari segi perkembangan dan peranannya dalam meningkatkan kesejahteraan nasional
cukup meyakinkan. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Syariah Mandiri banyak
yang mengarah pada usaha mikro, kecil dan menengah. Kegiatan usaha tersebut selain
membantu kelangsungan usaha-usaha mikro, kecil dan menengah juga memberikan
Labapun terus meningkat. Selama masa krisis ekonomi, ternyata Bank Syariah Mandiri
memiliki kekuatan dan kinerja yang relatif lebih baik (NPHF yang rendah, tidak terjadi
negative spread, konsisten dalam fungsi intermediasi dan mampu untuk bertahan).
Namun demikian dalam operasional perbankan syariah selama ini ada beberapa masalah
yang perlu diperhatikan antara lain: kerangka pengaturan perbankan syariah yang belum
lengkap; jaringan kantor yang terbatas; kurangnya pengetahuan dan pemahaman
mengenai produk dan jasa perbankan syariah sehingga aplikasinya kadang
mengecewakan nasabah; institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif; dominasi
pembiayaan non-bagi hasil; dan kemampuan untuk memenuhi standar keuangan syariah
internasional yang telah ditetapkan oleh IFSB (Islamic Financial Service Board) dan
IAAOIFI (International Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial
Institution).
Dalam menghadapi era kompetisi dewasa ini maka yang pertama harus dihindari
adalah persaingan antar Bank Syariah. Persaingan perlu dieliminasi dalam
memperebutkan nasabah dengan jalan pemberian pelayanan yang terbaik dalam menarik
nasabah muslim maupun non-muslim.
Pemberian return atas dasar bagi hasil baik deposan maupun pembiayaan perlu
ada margin tertentu yang tidak saling mematikan. Menghadapi bank konvensional kinerja
bank syariah yang telah ditunjukkan menghadapi krisis merupakan modal dasar dalam
persaingan peran secara nasional.
Sistem pembiayaan berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang menunjukkan
kekuatannya dalam masa krisis, dan memiliki kinerja yang lebih baik dibanding sistem
rendah, tidak adanya negative spread dan konsisten dalam menjalankan fungsi
intermediasi harus dipertahankan bila perlu ditingkatkan.
Dalam mengembangkan strategi kebijakan, tentu yang memegang peran penting
adalah Bank Indonesia sendiri sebagai pengendali kehidupan perbankan nasional baik
dari segi market driven yang mengarahkan pertumbuhan berdasarkan kebutuhan dan
kondisi pasar, maupun dari segi fair treatment untuk membangun persaingan industri
perbankan yang sehat berdasarkan keunikan dan karakteristik masing-masing sebagai
aset nasional.
Selain itu pendekatan hendaknya berdasarkan situasi dan kondisi, secara bertahap
dan berkesinambungan (gradual and sustainable approach) di samping pengembangan
infra struktur sesuai dengan prinsip syariah.
Secara internal selain mengeliminasi persaingan antar bank syariah, maka pelayanan
bank syariah terhadap nasabah (muslim dan non muslim) perlu terus ditingkatkan
sekurang-kurangnya sama bahkan harus lebih baik dari bentuk pelayanan dari bank
konvensional terutama pada penggunaan information and communication technology
(ICT).
Para nasabah harus tahu membedakan dan mengetahui kelebihan dari bank
syariah terhadap bank konvensional terutama dari produk yang ditawarkan seperti sistem
mudharabah, musyarakah, murabahah, hawalah, ijarah, istishna, kafalah, dan lain-lain.
Selain istilah yang dirasakan asing, juga banyak yang menganggap prinsip ini sama saja
Petugas bank jangan hanya pandai memberikan pengertian seolah-olah berfatwa
dengan ayat dan hadits, tetapi bagaimana secara inovatif menerangkan aplikasi dan
prosedur sehingga mereka tertarik untuk memilih menggunakan produk tersebut.
Kesiapan sumber daya insani yang mampu mengaplikasikan sistem syariah tersebut dan
rising demand atas kegiatan operasionalnya menghendaki tersedianya pusat-pusat
pendidikan yang mampu menelorkan tenaga untuk mengisi kebutuhan top, middle
maupun staff manajemen yang memiliki sifat STAF (Shiddiq/jujur,
Tabliqh/komunikatif/transparan, Amanah/accountable, Fathonah/ cerdas, terampil) dan
menjadikan duit (doa, usaha, ibadah, iman ikhlas, ihsan, IPTEK, istiqamah, islami,
introspeksi dan taqwa) sebagai prinsip dasar dalam berusaha.
Karena faktor kepercayaan (trust) merupakan indikator utama suatu bank maka
sebagai staf harus memiliki kemampuan mengkaji tentang manajemen risiko, prinsip
kehati-hatian (prudential) menjaga CAR, mengetahui SUKUK Malaysia dan lain-lain.
Salah satu peran yang sangat menentukan dalam mengembangkan Bank Syariah Mandiri
adalah fatwa ulama dari MUI, terutama yang bertugas sebagai anggota Dewan Syariah
Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Di samping keahliannya sebagai
ahli syariah mereka harus tahu dan perlu mengikuti perkembangan dan praktik produk
yang ditawarkan apakah sesuai syariah atau tidak sebagai hal yang lumrah terjadi dalam
kehidupan perbankan (bank habitness) seperti denda (ta'wida) fee dan lain-lain.
Akhirnya untuk mengatasi dan membuat kebijakan yang sesuai situasi perlu penelitian
yang teratur dan berkesinambungan untuk mengkaji penyebab timbulnya masalah,
menganalisis dan mencoba mencari pemecahan dari monitoring dan evaluasi instansi
Perkembangan Perbankan Syariah
Terasa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan dalam
mengembangkan industri perbankan syariah di Indonesia. Sudah banyak terobosan yang
telah dilakukan oleh pengembang konsep ekonomi Islam yang semuanya bermuara untuk
memajukan dunia perbankan syariah di Indonesia. Mulai dari MUI yang telah
mengeluarkan fatwa tentang bunga bank haram. Kemudian disusul dengan beberapa
kebijakan yang dikeluarkan BI, melalui Direktorat Perbankan Syariahnya, diantaranya
telah menelurkan kebijakan office chanelling bagi bank konvensional yang telah
membuka Unit Usaha syariah (UUS) untuk memberikan pelayanan transaksi syariah bagi
masyarakat luas.
Kondisi di atas merupakan bukti riil dukungan terhadap pengembangan industri
perbankan syariah di Indonesia. Tetapi, hasilnya masih dirasakan kurang memuaskan.
Sampai saat ini, tercatat market share industri perbankan syariah Indonesia masih 1,5%
dari total market share industri perbankan nasional. Artinya, 98,5% market share industri perbankan nasional masih dikuasai oleh dunia perbankan konvensional. Satu hal yang
ironis. Pertama, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam merupakan potential
market yang dapat mendukung pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Hal ini dapat difahami masih banyak umat Islam yang belum tergerak hatinya untuk bergabung
bersama merapatkan barisan dalam pengembangan ekonomi Islam, khususnya melakukan
transaksi pada perbankan syariah. Kedua, keberadaan industri perbankan syariah relatif sudah berjalan hampir 15 tahun lebih. Berarti, eksistensi bank syariah sudah tidak lagi
diharapkan dapat bergerak lebih lincah dan responsif terhadap kondisi perkembangan
zaman.
Sejak adanya Bank Muamalat pada tahun 1991 berarti menjadi tonggak awal
perkenalan umat Islam Indonesia dengan bank syariah. Sampai akhir tahun 2006 telah
ada 3 bank umum syariah, 19 Unit Usaha Syariah (UUS), 493 kantor cabang syariah dan
105 BPRS. Belum lagi lembaga keuangan mikro syariah atau Baitul Mal wa Tamwil
(BMT) yang tersebar hampir di setiap propinsi. Sebuah prestasi yang menggembirakan
bagi perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Tetapi, sekali lagi masih
kecilnya market share industri perbankan syariah di Indonesia menjadi pertanyaan besar, ada masalah yang krusial dalam pengembangan perbankan syariah. Mengapa masih kecil
market share-nya?
Industri perbankan syariah di Indonesia saat ini, ibarat mobil yang melaju di jalan
tol tapi jalannya masih tetap lambat. Seharusnya, dengan beberapa terobosan yang ada
pergerakan laju perkembangan industri perbankan syariah dapat bergerak lebih cepat,
seperti mobil-mobil yang melaju cepat di jalan tol. Oleh karena itu, 2007 dapat dijadikan
momentum sebagai tahun percepatan dalam pengembangan industri perbankan syariah di
Indonesia. BI menargetkan pada tahun 2007 market share bank syariah sudah bergerak
menuju angka 5%. Sebuah program besar yang perlu didukung bersama oleh semua
partisipan pengembangan perbankan syariah. Ada beberapa langkah kongkrit yang dapat
mendukung pengembangan industri perbankan syariah ke depan.
Pertama, sosialisasi bank syariah ke masyarakat perlu ditingkatkan. Realita di
tengah masyarakat masih banyak yang belum mengerti dan memahami tentang bank
sosialisasi perbankan syariah ke masyarakat merasakan minimnya dana untuk kegiatan
edukasi. Beberapa program sudah dijalankan, termasuk program acara TV, dialog
interaktif di Radio dan kontak tanya jawab ekonomi syariah di 11 koran nasional.
Hasilnya, masih banyak masyarakat yang belum mengerti tentang ekonomi syariah,
khususnya mengenai perbankan syariah.
Kedua, inovasi produk perbankan syariah yang mengacu pada service satisfaction. Produk yang dikembangkan industri perbankan syariah terkesan belum
mencerminkan keinginan yang dirasakan oleh customer. Pada kondisi seperti ini, akan lebih baik jika perbankan syariah merubah orientasi dari product driven menjadi
customer driven. Produk yang dikembangkan mengikuti arus keinginan yang dibutuhkan oleh nasabah atau customer. Disamping lebih efektif, orientasi customer driven akan memberikan sentuhan pengurangan biaya operasional (operational cost).
Ketiga, terobosan kebijakan baru yang mendukung. Dalam hal ini, peran Departemen Agama RI sebagai penyelenggara ritual tahunan ibadah haji perlu
dibangkitkan lagi untuk mendukung pengembangan industri perbankan syariah. Dana haji
merupakan himpunan dana yang besar. Saat ini, ongkos naik haji (ONH) dapat disetor
dihampir seluruh bank konvensional. Artinya, sementara ini banyak dana umat Islam
yang akan berangkat haji mengendap di bank-bank konvensional. Sudah saatnya,
Departemen Agama mengeluarkan kebijakan pengelolaan dana haji oleh industri
perbankan syariah. Kalau asuransi haji sudah dikelola oleh perusahaan asuransi syariah.
Maka, tidak masalah jika pengelolaan ongkos naik haji (ONH) dilakukan oleh industri
Kadang kita mendengar orang berkata, “Bank syari’ah sama saja dengan bank
konvensional, bedanya cuma pegawai wanitanya memakai kerudung.”1 Ada juga yang
mengatakan bahwa bagi hasil tidak berbeda dengan bunga, sama-sama ada tambahannya.
Yang lain lagi mengatakan kalau kredit ke bank syari’ah cuma beda akadnya saja,
padahal sama-sama ada bunganya. Masih banyak lagi komentar-komentar bernada serupa
terhadap bank syari’ah.
Tentu akan logis kiranya jika orang yang berpandangan negatif terhadap bank
syari’ah adalah orang yang tidak mengetahui teori bank syari’ah.2 Namun, bagaimana
jika yang berpandangan negatif adalah praktisi bank syari’ah itu sendiri?3 Bagaimana
pula jika orang yang berpandangan negatif justru seorang ‘alim (ahli ilmu) dalam agama
dan seorang ‘abid (ahli ibadah)?4 Penulis mencoba mengidentifikasi jawaban atas fenomena tersebut sebagai berikut:
1
Kebanyakan orang Indonesia suka menggunakan kata jilbab ( ) daripada kerudung ( / ). Padahal, orang yang memakai kerudung belum tentu bisa disebut memakai jilbab sedangkan orang yang memakai jilbab pastilah memakai kerudung.
2
Pada tahun 2000-2001, Bank Indonesia bersama Insititut Pertanian Bogor, Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, Universitas Andalas, dan Universitas Jambi melakukan survai potensi dan preferensi konsumen terhadap bank syari’ah di enam propinsi, yaitu Sumatra Barat, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Hasilnya adalah sebanyak 42% responden paham bahwa bunga adalah haram dan hanya 11% responden yang mengetahui produk dan keuntungan bank syari’ah. Lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Lembaga Keuangan Syariah: Katalis Penguatan Ekonomi Ummat, power pointyang disampaikan pada Temu Ilmiah Nasional Forum Silaturahmi Studi Ekonomi Islam IV di Universitas Mataram Lombok, 2005:19.
3
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. pada pengajian Muamalah Maliyah dalam Konteks Fiqih Islam (Sabtu, 5 Mei 2007 di Mushola Fakultas Teknik UGM) ketika menjawab pertanyaan peserta pengajian tentang bank syari’ah mengatakan bahwa seorang temannya (teman Ustadz Kholid) bekerja di suatu Unit Usaha Syari’ah (UUS) (saya rahasiakan identitas banknya). Sebelumnya, temannya tersebut ikut pengajian mengenai bank syari’ah kemudian berkeinginan pindah ke bank syari’ah. Kemudian, dia berkorban pindah dari induknya (bank konvensional) ke UUS dengan segala konsekuensinya (misal pemotongan gaji, penundaan naik jabatan, dsb.). Namun, ternyata, dia merasa UUS sama saja dengan bank konvensional. Dia mengatakan, “Sama saja antara bank konvensional dan bank syari’ah, bedanya cuma kerudung/jilbab saja.” Apakah logis kiranya jika sang pegawai tersebut kurang memahami konsep perbankan syari’ah padahal dia bekerja di UUS? Terlebih lagi, sang pegawai tersebut pindah dari bank induk ke UUS atas keinginannya sendiri setelah mengikuti pengajian mengenai bank syari’ah. Saya berasumsi bahwa ada penyimpangan praktek akan teori bank syari’ah pada UUS tersebut. Hanya saja, saya belum mengetahui dimana letak penyimpangannya.
4
1. Yang pertama adalah bahwa praktek bank syari’ah menyimpang dari teori-teori bank
syari’ah. Dalam hal ini, teori-teorinya sudah benar dalam pandangan syari’at, namun
penyimpangan terjadi pada prakteknya. Meskipun bank syari’ah di Indonesia
memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS), namun fenomena yang penulis sebut
pada catatan kaki nomor 5 menjadi sebuah kenyataan bahwa ada kemungkinan
penyimpangan kesyari’an bank syari’ah dalam prakteknya.5 Saya tekankan bahwa
saya hanya mengatakan ada kemungkinan, bukan memastikan.
2. Yang kedua adalah permasalahan yang lebih esensial, yaitu yang dipermasalahkan
bukanlah sekedar prakteknya, namun teorinya. Mungkin masalah teorilah yang
dipermasalahkan oleh guru teman saya yang saya sebut pada catatan kaki nomor 6.
Setahu saya, ada seseorang lagi pengkritik teori bank syari’ah, dia adalah Zaim Saidi,
peneliti Lembaga Studi dan Implementasi Ekonomi Alternatif (ADINA) Jakarta.6
Adapun, saya membahas kritikan Zaim Saidi pada catatan kaki nomor 37 dan pada
subbab “Kebolehan Bagi Bank Menjual Barang dengan Harga Lebih Tinggi Daripada
Jika Dibeli Kontan”.
bahwa bank syari’ah sama saja dengan bank konvensional. Hanya saja, dia tidak berani menanyakan lebih lanjut dimana letak keharaman bank syari’ah menurut guru tersebut karena sang guru marah-marah ketika dia menanyakannya. Jadi, belum jelas bagi saya, apakah sang guru menganggap ketidaksyari’an bank syari’ah dari segi teori atau dari segi prakteknya.
5
Saya juga pernah bertanya kepada sebuah Bank Umum Syari’ah (BUS) mengenai pembiayaan
murabahah pada Desember 2006 atau Januari 2007 (saya lupa tepatnya). Pegawai bank tersebut menjelaskan bahwa sang nasabah harus menyertakan bukti berupa kuitansi atau nota dari pembelian barang sehingga bank mengetahui bahwa dananya benar-benar digunakan nasabah untuk membeli barang yang diajukannya untuk pembiayaan. Meski bank menjadikan nasabah sebagai agennya untuk membeli barang, namun sistem seperti ini sangat mendekati sistem utang-piutang, bukan sistem jual-beli. Saya bahas pula masalah ini pada catatan kaki nomor 34.
6
Kritik Zaim Saidi terhadap teori bank syari’ah antara lain dapat dilihat dalam:
1. Zaim Saidi, Contradictio in Terminis: Kritik atas Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi Syariah Muamalah, Vol. 2, No. 2, Yogyakarta: Shariah Economics Forum Universitas Gadjah Mada, 2003, hlm. 53-65.
Pemaparan di atas untuk menunjukkan bahwa masih banyak keragu-raguan akan
teori perbankan syari’ah yang justru terjadi bukan sebatas orang awam namun juga
praktisinya sendiri, ‘alim, dan ‘abid. Supaya Anda tidak ragu, maka alangkah baiknya kita pelajari konsep-konsep perbankan syari’ah. Tulisan ini akan menjabarkan secara
ringkas konsep-konsep dasar perbankan syari’ah. Tulisan akan dimulai dari permasalahan
pokok dunia perbankan, yaitu masalah riba dan bunga. Masalah ini akan dibahas agak
panjang karena inilah substansi permasalahan perbankan konvensional. Baru kemudian
mengarah pada sistem operasional, mudharabah, penjualan murabahah dengan harga lebih tinggi daripada harga kontan, baru kemudian penjelasan singkat beberapa istilah
dalam bank syari’ah. Karena keterbatasan tempat, maka tulisan ini akan dipadatkan.
Apabila ingin menggali lebih dalam, maka dapat membaca berbagai referensi mengenai
bank syari’ah yang tersebar di toko-toko buku, perpustakaan, maupun internet.
Harapannya, kita semua dapat berperan dalam mengembangkan bank syari’ah di
Indonesia dalam dua ranah, yaitu teori dan prakteknya.
A. RIBA
1. Definisi Riba
Riba berasal dari kata rab (
) atau
rib an ( ) yang berarti bertambah atautumbuh.7 Meski secara bahasa diartikan bertambah atau tumbuh, secara syara’ makna
riba bukan diartikan segala aktivitas yang membuat harta bertambah atau tumbuh.
Aktivitas-aktivitas ekonomi yang menambah atau menumbuhkan harta secara benar
7
menurut syari’ah tentu bukan masuk kategori riba, misal jual-beli, berdagang, dan
berinvestasi. Sedangkan yang masuk kategori riba adalah pengambilan tambahan harta
dari harta pokok atau modal secara batil.8 Batil dalam hal ini tentulah batil secara syari’at,
berdasarkan nash-nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitab Ahkam Al-Qur’an mengatakan:
! "# $% & #
#'
( # ) * # $%
#'
“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam
ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah.”9
2. Jenis-Jenis Riba
Disebutkan oleh Sura’i Abdul Hadi (1999) bahwa ulama fiqih membagi riba
menjadi dua macam, yaitu riba fadhl dan riba nas+’ah.10 Diterangkan oleh Muhammad
bahwa riba fadhl merupakan riba jual beli sedangkan riba nasi’ah merupakan riba
utang-piutang.11 Sebagian pakar menambahkan satu jenis lagi, yaitu riba jahiliyah yang pada
dasarnya merupakan bagian dari riba nas+’ah. Sedangkan sebagian yang lain menambah
lagi, yaitu riba qardh. Muhammad Syafi’i Antonio misalnya, menyebutkan empat
pembagian riba, yaitu riba qardh dan riba jahiliyah untuk riba utang-piutang sedangkan
riba fadhl dan riba nas+’ah untuk riba jual beli.12 Dalam hal ini, riba nas+’ah dimaknai
oleh Antonio seperti halnya riba nas,’ (riba penundaan pada barang ribawi). Kemudian,
8
Lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2005, hlm. 37.
9
Ibid., hlm. 38.
10
Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Edisi Revisi, Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN, 2005,hlm. 42.
11
Lihat ibid., loc. it.
12
Antonio menambahkan riba qardh yang sebenarnya esensinya adalah riba nas+’ah.
Penulis akan memaparkan kerancuan pembagian jenis-jenis riba.
a. Riba nas+’ah (
- ./ #
)Secara bahasa, nas+’ah (
- .0
) berarti tangguh; bayaran kemudian.13 Riba nas+’ahdisebut juga riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat utang-piutang yang tidak
memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al-ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi dhaman).14 Pengertian dari kalimat tersebut adalah
bahwa keuntungan dan hasil usaha didapat tanpa resiko dan biaya. Jadi, perjalanan
waktulah yang menyebabkan tambahan pada utang-piutang. Itulah esensi dari riba
nas+’ah.15 Di sini, riba nas+’ah memiliki esensi yang sama dengan riba qardh (
#
)yang disebutkan oleh Antonio. Adapun, Antonio mengartikan riba qardh sebagai suatu
manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang berutang
(muqtaridh).16
Sungguh sebuah kedzaliman apabila seseorang menginginkan keuntungan dan
hasil usaha tanpa adanya resiko dan biaya, kemudian dia meminjamkan barang ribawi
kepada orang lain untuk kemudian meminta tambahan atas barang yang dipinjamkan
tersebut. Padahal, orang yang meminjamkan tersebut tidaklah mengeluarkan suatu resiko
13
Yunus, op. cit., hlm. 449.
14
Anonim, Macam Riba: Riba Nasi-ah (2), (Online), (http://www.halalguide.info/content/view/690/46/), 2006.
15
Meski secara bahasa nas+’ah merupakan tangguh; bayaran kemudian, perlu dipahami bahwa penjualan dengan angsuran atau pembayaran kemudian bukanlah termasuk jenis riba. Meski harga suatu barang misalkan lebih mahal dibandingkan harga barang jika dibayar dengan kontan, itu bukan riba. Itu adalah harga yang berbeda yang diterapkan dengan kondisi yang berbeda. Tidak ada dalil yang melarang penjualan dengan sistem angsuran. Justru, sistem angsuran memudahkan orang lain dalam membeli. Lihat subbab “Kebolehan Bagi Bank Menjual Barang dengan Harga Lebih Tinggi Daripada Jika Dibeli Kontan”.
16
dan biaya apapun namun meminta tambahan. Misal saja seseorang memiliki uang seharga
Rp. 1.000.000.000. Jika dia menabung di bank konvensional dengan bunga 6% per tahun,
maka dalam setahun dia akan mendapatkan Rp. 60.000.000 tanpa berbuat apa-apa.
Hitung saja dalam sebulan dia akan mendapatkan Rp 5.000.000. Itu gaji yang sangat
banyak untuk ukuran Indonesia saat ini. Padahal, Rp. 5.000.000 tersebut dia dapat
misalnya hanya dengan tidur-tiduran atau bersenang-senang tanpa perlu berpikir resiko
dan biaya. Sungguh suatu kedzaliman. Maka, sungguh enak bagi orang kaya raya apabila
riba nas+’ah ini tidak dilarang oleh Islam.
Riba nasi’ah merupakan riba yang dilarang dalam Al-Qur’an dalam empat tahap.
Berikut ini merupakan tahapan larangan riba nas+’ah pada Al-Qur’an:
a. Tahap pertama adalah Q.S. ar-R1m (30): 39, ayat ini diturunkan di kota Mekkah
sebelum Hijriyah. Tafsir ayat ini menunjukkan bahwa riba masih merupakan indikasi
bukan keharusan. Namun jelas menolak bahwa riba seolah-olah dapat menolong
mereka yang membutuhkan perbuatan yang diridhai Allah.
b. Tahap kedua adalah turunnya Q.S. an-Nis, (4): 160-161. Ayat ini diturunkan di kota
Madinah setelah Hijriyah. Ayat ini juga belum secara tegas melarang perbuatan riba.
Ayat ini membicarakan tentang orang-orang Yahudi yang telah melanggar hukum
Taurat dengan memakan riba walaupun telah dilarang. Untuk itu Allah mengancam
orang-orang Yahudi dengan balasan yang keras.
c. Tahap ketiga adalah turunnya Q.S. 2li Imr,n (3): 130. Ayat ini turun setelah kaum
muslim mengalami kekalahan dalam perang Uhud pada tahun ketiga Hijriyah. Ayat
ini merupakan peraturan pertama yang melarang kaum muslim memakan riba. Selain
d. Tahap keempat adalah turunnya Q.S. al-Baqarah (2): 275-279. Ayat ini diturunkan
ketika suku Thaq+f dari Arab menagih riba. Padahal suku ini telah memeluk Islam
pada bulan ramadhan pada tahun ke-9 Hijriyah. Perlu dicatat bahwa Mekkah sudah
dikuasai oleh Islam setahun sebelumnya. Ayat-ayat terakhir yang menyangkut riba
tersebut secara tegas mengharamkan segala bentuk riba, bahkan Allah dan rasul-Nya
menyatakan perang terhadap pengambil riba. Selain itu, ayat-ayat ini secara tegas
memberikan tuntutan bahwa: (1) jual beli tidak identik dengan riba dan karenanya
diperbolehkan; (2) bagi yang telah memakan riba harus segera berhenti menagih sisa
riba. 17
b. Riba Jahiliyah (
) 3 #
)Riba jahiliyah merupakan utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam
tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.18 Adapun sebenarnya,
riba jahiliyah ini termasuk riba nas+’ah. Termasuk riba nas+’ah karena ada manfaat atau
tingkat kelebihan tertentu dari utang-piutang. Disebut jahiliyah karena riba inilah yang
dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat Arab jahiliyah sebelum Nabi Muhammad saw.
diutus. Tafsir Qurthuby menjelaskan:19 “Pada jaman jahiliyah para kreditur, apabila utang
sudah jatuh tempo, akan berkata kepada debitur, “Lunaskan hutang anda sekarang, atau
anda tunda pembayaran itu dengan tambahan.” Maka pihak debitur harus menambah
jumlah kewajiban pembayaran hutangnya dan kreditur menunggu waktu pembayaran
kewajiban tersebut sesuai ketentuan baru.
17
Muhammad, op. cit., hlm. 36-37. Muhammad mengutip dari Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono,
Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi, Edisi Pertama, Yogyakarta: BPFE, 2002, hlm. 588-590.
18
Antonio, loc. it. 19
Dalam Anonim, Macam Riba: Riba Jahiliyah (3), (Online),
c. Riba fadhl ( 45 # ) dan riba nas,’ (
./ #
)
Hukum riba fadhl berdasarkan pada banyak hadits, salah satunya:
4567
4567 #' 8) 9 #
7 :'
& 7
;
< :
< =
> 6?@67 #A? B: $ #
6C
#? A 67-
67DE F67 67 # F67 67 #' 6 7G #
6 7G #' BH #
BH #' I67 I67 #'
#(7G6:# '# # 6C 7% A? 7
# : & 7% $J6B 67 #' 9 "# K7 6 # 6?7 7%
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Emas
hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan,
sesungguhnya dia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.” (H.R. Muslim)
Hadits seperti tersebut di atas menunjukkan larangan memperjualbelikan enam
bahan tersebut dalam dua bentuk:
1) Pertama, menjual sesuatu dengan jenisnya (barang ribawi – pen) dengan pelebihan
(tafadhul) diantara keduanya, yaitu salah satu dari pada kedua imbalannya lebih
banyak daripada yang lain. Ini adalah riba fadhl, yaitu riba penukaran lebih, karena di
dalamnya terdapat kelebihan bagi salah satu dari kedua imbalannya dari yang lain
2) Kedua, dalam penjualan (barang ribawi – pen) tidak terjadi saling terima (taqabudh)
di tempat penjualan. Yang demikian ini disebut riba nasa’ (penundaan). Riba ini
bukanlah riba nas+’ah. 20
Terdapat perbedaan di kalangan ulama terkait dua riba ini. Ada yang menganggap
tidak ada riba kecuali riba nas+’ah sedangkan yang lain menganggap dua hal tersebut
termasuk riba karena diterangkan oleh hadits-hadits. Ibnu Abbas r.a. termasuk orang yang
berpendapat bahwa tidak ada riba kecuali riba nas+’ah. Dia bersandar kepada apa yang
diriwayatkannya sendiri, Utsman bin Zaid dan Abdullah bin az-Zubair dari Nabi saw.,
bahwa beliau bersabda:21
L
K%L#
#
- ./
“Tidak ada riba kecuali pada riba nas ’ah.” (H.R. Bukhari)
Banyak sekali perbedaan pandangan di kalangan para ulama mengenai barang
ribawi. Kaum zhahiriyah yang tidak membuka pintu qiyas membatasi barang ribawi pada
enam hal tersebut sedangkan ulama lainnya menggunakan qiyas dan juga saling berbeda
pendapat. Secara ringkas disebutkan oleh Muhammad Syafi’i Antonio bahwa barang
ribawi meliputi:
1) emas dan perak, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya;
20
Abu Zahrah, Muhammad Abu Zahrah, Beberapa Pembahasan Mengenai Riba, diterjemahkan oleh Abdullah Suhaili, Teluk Betung: Zaid Suhaili, 1974, hlm. 81.
21
2) bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan
tambahan, seperti sayur-saturan dan buah-buahan. 22
3. Bunga = Riba?
Majelis Ulama Indonesia pada 16 Desember 2003 Masehi/22 Syawal 1424
Hijriyah telah memfatwakan bahwa bunga bank adalah riba. Demikian pula Sidang
Organisasi Islam (OKI) pada Desember 1970, keputusan kantor Mufti Negara Mesir
sejak 1900 s.d. 1989,23 Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) pada 1965, Akademi Fiqih
Liga Muslim Dunia, dan Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam, dan Fatwa
Kerajaan Saudi Arabia.24 Juga lembaga-lembaga seperti Majma’ul Buhuts al-Islamy di
al-Azhar Mesir pada 1965, Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-Negara OKI pada 1985,
Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy pada 1406 H, Keputusan Dar al-Itfa Kerajaan
Saudi Arabia 1979, dan Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan pada 1999.25
Kesemuanya secara tanpa ragu menetapkan bunga sebagai riba yang haram.
Sudah dijelaskan oleh penulis bahwa meskipun persentasenya sangat sedikit,
bunga bank tetap saja mendzalimi (lihat kembali pemaparan penulis mengenai riba
nas+’ah). Padahal, kata pendukung konsep bunga, bunga yang sangat sedikit dapat
dimaklumi. Jika diqiyaskan, apakah meminum khamr yang sangat sedikit asal tidak
22
Antonio, op. cit., hlm. 42.
23
Mufti adalah menteri yang mengurusi masalah-masalah fatwa.
24
Lebih lengkap mengenai fatwa lembaga-lembaga tersebut, lihat Antonio, op. cit., hlm. 65-66.
25
memabukkan dihalalkan oleh Islam? Jawabannya adalah tidak dihalalkan. Demikian pula
halnya dengan bunga, meskipun sangat sedikit namanya tetap riba.26
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Berikut ini penulis kutipkan dua pendapat menarik mengenai makna berlipat
ganda dalam ayat tersebut:27
a. Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqih Islami di Paris tahun 1978,
menjelaskan bahwa secara linguistik (
MBN
) berarti “kelipatan”. Sesuatu yangberlipat minimal dua kali lebih besar dari semula, sedangkan (
O BN#
) adalah bentukjamak dalam kelipatan tadi. Minimal jamak adalah tiga.28 Dengan demikian, (
% BN#
)berarti 3x2=6 kali. Adapun (
5 4E
) dalam ayat adalah ta’kid (? ! G
)
untukpenguatan. Dengan demikian, menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat
maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%.
Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan
maupun simpan pinjam.
b. Syekh Umar bin Abdul Aziz al-Matruk, penulis buku ar-Riba wMuamalat al-Mashrafiyyah fi Nadzri ash-Shariah al-Islamiah, menegaskan: “Adapun yang
26
Perlu diperhatikan bahwa riba masuk kategori dosa besar. Banyak hadits-hadits menjelaskan mengenai dosa riba, bahkan dosanya melebihi dosa zina meski hanya sebesar satu dirham. Ada sebuah anekdot, ini mengutip dari perkataan Muhammad – Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Yogyakarta – pada mata kuliah Manajemen Investasi Syari’ah Kuliah Non Kurikuler Ekonomi Islam 2007 Shariah Economics Forum UGM. Beliau mengatakan bahwa, “Padahal lebih enak zina daripada riba.” Ini hanya sebuah anekdot saja, bukan menyarankan melakukan zina. Na’udzubillahi min dzalik.
27
Dalam Antonio, op. cit., hlm. 56-57.
28
dimaksud dengan ayat 130 surah 2li Imr,n, termasuk redaksi berlipat ganda dan
penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus
sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum
bahwa dia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat ganda sesuai
dengan berjalannya waktu. Dengan demikian, redaksi ini (berlipat ganda) menjadi
sifat umum dari riba dalam terminologi syara’ (Allah dan Rasul-Nya).”
B. SISTEM OPERASIONAL BANK SYARI’AH
Untuk menghindari riba, maka dikonseplah suatu sistem perbankan yang sesuai
dengan syari’ah. Maka, dihasilkan konsep perbankan syari’ah. Secara garis besar,
hubungan ekonomi berdasarkan syari’ah ditentukan oleh hubungan aqad yang terdiri dari lima konsep dasar aqad.29 Muhammad menjelaskan kelima konsep tersebut sebagai
berikut:30
1. Prinsip simpanan murni (al-wadi’ah)
Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh bank syari’ah untuk
memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan
dananya dalam bentuk al-wadi’ah. Fasilitas al-wadi’ah biasa diberikan untuk tujuan
investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya giro dan tabungan. Dalam
dunia perbankan konvensional, al-wadi’ah identik dengan giro. 2. Bagi hasil (syirkah)
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara
penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara
29
Muhammad, op. cit., hlm. 86.
30
bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana.
Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah mudharabah dan musyarakah.
Lebih jauh prinsip mudharabah dapat dipergunakan sebagai dasar baik untuk produk pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan,31 sedangkan musyarakah
lebih banyak untuk pembiayaan atau penyertaan.
3. Prinsip jual beli (at-tijarah)
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank
akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah
sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank,32 kemudian bank
menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah
keuntungan (margin). Implikasinya dapat berupa murabahah, salam, dan istishna’.
4. Prinsip sewa (al-ijarah)
Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada dua jenis: (1) ijarah, sewa murni, seperti halnya penyewaan traktor dan alat-alat produk lainnya (operating lease). Dalam teknis perbankan, bank dapat membeli dahulu equipment yang dibutuhkan nasabah
kemudian menyewakan dalam waktu dan hanya yang telah disepakati kepada
nasabah. (2) Bai’ al-takjiri atau ijarah al-muntahiya bit-tamlik merupakan
31
Dalam perbankan konvensional, istilah pembiayaan identik dengan istilah kredit. Hal ini dikarenakan tidak semua pembiayaan dikredit atau diangsur, misalnya pembiayaan mudharabah dan musyarakah.
32
penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki
barang pada akhir masa sewa (financial lease).33
5. Prinsip jasa/fee (al-ajr walumullah)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk
produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain bank garansi, kliring, inkaso, jasa,
transfer, dll. Secara syari’ah, prinsip ini didasarkan pada konsep al-ajr wal umulah.
C. MUDHARABAH: KARAKTERISTIK DASAR BANK SYARI’AH
Karakteristik dasar bank syari’ah adalah penggunaan sistem mudharabah sebagai ganti sistem bunga. Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak yang salah satu
pihak menyerahkan harta (modal) kepada yang lain agar diperdagangkan, dengan
pembagian keuntungan di antara keduanya sesuai dengan kesepakatan.34 Saat
berhubungan dengan nasabah penyimpan dana maka bank bertindak sebagai pengelola
dana (mudharib) sedangkan saat berhubungan dengan nasabah penerima dana maka bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul m l).35 Dengan nasabahnya (baik
33
Dikatakan oleh Muhammad dalam salah satu sesi pada Short Course Perbankan Syari’ah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yogyakarta pada bulan Desember 2006 bahwa bai’ al-takjiri atau ijarah al-muntahiya bit-tamlik bukanlah seperti praktek leasing (sewa-beli) yang dikenal saat ini. Praktek
leasing konvensional mengenal sistem sewa-beli sebagai berikut: A menjual barang kepada B. Dalam akad mereka, A berjanji menyewa barang yang dijualnya tadi kepada B. Hal ini dilarang dalam Islam karena ada dua akad dalam satu transaksi. Mengenai dua akad dalam satu transaksi lainnya yang tidak dibolehkan adalah jual-beli inai, yaitu contohnya A menjual barang kepada B namun dengan perjanjian suatu ketika A akan membeli lagi dari B.
34
Khalid Syamhudi, Hakikat Mudharabah, (Online),
(http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more& article_id=2073&bagian=0), 2006.
35
penyimpan maupun pengelola), bank membagi keuntungan dengan nisbah (rasio) tertentu, misalnya 40:60, 50:50, 49:51, dsb.36
Mudharabah terdiri dari dua jenis, yaitu:37 1. Mudharabah mutlaqah (unrestricted)
Pemilik dana memberikan otoritas dan hak sepenuhnya kepada pengelola dana untuk
menginvestasikan atau memutar uangnya.
2. Mudharabah muqayyadah (restricted)
Pemilik dana memberi batasan kepada mudharib. Di antara batasan ini, misalnya, adalah jenis investasi, tempat investasi, serta pihak-pihak yang dibolehkan terlibat
dalam investasi. Pada jenis ini, penyandang dana dapat pula mensyaratkan kepada
pengelola dana untuk tidak mencampurkan hartanya dengan dana al-mudharabah.
D. KEBOLEHAN BAGI BANK MENJUAL BARANG DENGAN HARGA LEBIH TINGGI DARIPADA JIKA DIBELI KONTAN
Sebagian orang mengatakan bahwa menjual barang dengan harga tinggi untuk
pembelian angsuran daripada jika dibeli kontan tidak diperbolehkan. Hal itu seperti
dikatakan oleh Zaim Saidi sebagai berikut:38
Jadi, kalau ada nasabah yang ingin beli motor, karena tidak punya uang, bank akan membelikan lebih dulu. Jadi, pihak bank yang membelinya lebih dulu, katakanlah seharga 10 juta. Lantas, harga motor itu bisa menjadi 15 juta dari pihak bank nantinya. Maka, kalau si nasabah oke, dia harus membayar 15 juga atas dasar kesepakatan. Kuncinya kan bersepakat. Nah, di situ yang menjadi soal adalah: kenapa harga motor yang 10 juta dijual seharga 15 juta? Jawabannya, karena pembayarannya dengan cara
36
Keuntungan yang dibagi bisa dihitung berdasarkan keuntungan kotor (gross profit) maupun keuntungan bersih (net profit).
37
Antonio, op. cit., hlm. 138-139.
38
Saidi, Bebas Bunga, Tak Berarti Bebas Riba, (Online),
cicilan. Pertanyaaan berikutnya: kenapa kalau mencicil, harganya membengkak dari 10 juta menjadi 15 juta? Jawabannya, karena cicilannya memakan tempo 5 atau 10 tahun.
Jadi, di situ waktu menjadi satu-satunya faktor yang membuat harga jadi berubah. Dan sebetulnya, waktu yang dihargakan dengan uang, atau time value of money itulah yang bisa disebut riba.
Jawabannya simpel. Apakah ada nash yang melarangnya? Bagaimanapun, masalah harga adalah negosiasi antara penjual dan pembeli. Ini adalah jual-beli, bukan utang-piutang.39
E. RAHN: PENGGANTI DENDA
Jika denda merupakan riba jahiliyah, maka dapat digantikan oleh rahn. Rahn
adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.40 Dalam bank syari’ah, apabila sang nasabah tidak dapat mengangsur, maka jaminan yang dia serahkan terlebih dahulu dapat dipaksakan dijual oleh bank. Sebuah
nash Al-Qur’an mengatur hal ini dan banyak hadits yang mengaturnya. Saya akan kutip Q.S. al-Baqarah (2): 283:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)....”
F. PENJELASAN SINGKAT BEBERAPA ISTILAH DALAM BANK SYARI’AH41
Al-qardh Pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.
Bai’ al-istishna’ Kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lian untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Bai’ as-salam Pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. dengan riba padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
40
Antonio, op. cit., hlm. 128.
41
Ijarah Aad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah)
atas barang itu sendiri.
Kafalah Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Murabahah Jual beli barang pada harga asal dengan tamnbahan keuntungan yang disepakati.
Musyarakah Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resik akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Salam paralel Melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara stimultan.
Wakalah Penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank
Syariah bukan hanya mencari solusi mengenai pembiayaan bagi hasil perbankan syariah
tetapi juga mengarah pada seluruh kegiatan perbankan yang mengacu pada sistem prinsip
bank syariah mandiri. Sistem Prinsip Bank Syariah tersebut sudah dapat dijadikan
sebagai solusi alternatif dalam era kompetisi pada dual banking system yang dianut
dewasa ini dalam menghidupkan sektor riil terutama sektor usaha mikro, kecil, koperasi,
dan menengah yang seharusnya menjadi pusat keberpihakan para perumus dan pengambil
kebijakan.
Untuk memelihara perkembangan tersebut secara teratur dan berkesinambungan
maka sasaran pengembangan perbankan syariah diarahkan pada beberapa hal. Pertama,
Meningkatkan manfaat perbankan syariah bagi kesejahteraan masyarakat.Kedua,
pemenuhan prinsip syariah secara konsisten berdasarkan mudharabah (partnership);
Keempat, menjamin penerapan prinsip kehati-hatian (prudential) dalam operasional
perbankan syariah; dan Kelima, sistem perbankan syariah tidak hanya memfokuskan diri
untuk menghindari praktik bunga tetapi harus pula mengimplementasikan semua prinsip
syariah dalam kegiatan ekonomi (islamisasi ekonomi).
Selain itu perlunya kesiapan sumberdaya insani yang bukan hanya untuk
keperluan perbankan syariah tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan institusi syariah
non-bank seperti asuransi, gadai, pasar modal dan lain-lain, yang merupakan institusi
komplemen dari bank syariah. Selain itu mereka harus menguasai dan mampu
mengaplikasikan standar administrasi dan pengelolaan prinsip syariah pada pengelolaan
keuangan yang telah ditetapkan oleh IFSB (International Financial Standards Board).
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. 1974. Beberapa Pembahasan Mengenai Riba, diterjemahkan oleh Abdullah Suhaili. Teluk Betung: Zaid Suhaili.
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Macam Riba: Riba Nasi-ah (2), (Online), (http://www.halalguide.info/content/ view/690/46/).
Macam Riba: Riba Jahiliyah (3), (Online),
(http://www.halalguide.info/content/view/691/46/).
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2005. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani.
_______________. 2005. Lembaga Keuangan Syariah: Katalis Penguatan Ekonomi Ummat. Power point yang disampaikan pada Temu Ilmiah Nasional Forum Silaturahmi Studi Ekonomi Islam IV di Universitas Mataram Lombok.
Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syari’ah. Edisi Revisi. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.
_______________. 2005. Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.
Prinsip Dasar Perbankan Syariah Mandiri, oleh Achmad Baraba
Saidi, Zaim. 2003. Bebas Bunga, Tak Berarti Bebas Riba, (Online), (http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=466).
_______________. 2003. Contradictio in Terminis: Kritik atas Perbankan Syariah.
Jurnal Ekonomi Syariah Muamalah, Vol. 2, No. 2. Yogyakarta: Shariah Economics Forum Universitas Gadjah Mada, hlm. 53-65.
Syamhudi, Hakikat Mudharabah, (Online), (http://www.almanhaj.or.id)
www. Tempointeraktif.com