• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

21 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Hukum Pidana a) Pengertian Hukum Pidana

Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa Hukum Pidana merupakan Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang beserta sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku (Bambang Waluyo,2004:6). Notohamidjojo mendefinisikan hukum adalah sebagai keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa, untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara (serta antar negara), yang mengarah kepada keadilan, demi terwujudnya tata damai, dengan tujuan memanusiakan manusia dalam masyarakat (Ranidar Darwis, 2003:6).

W.L.G Lemaire memberikan pengertian mengenai hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatukeharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaaan-keadaan bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut (Lamintang, 1984: 1-2).

Dengan demikian Hukum Pidana dapat diartikan sebagai suatu ketentuan hukum/undang-undang yang menentukan perbuatan yang dilarang/pantang untuk dilakukan dan ancaman sanksi terhadap pelanggaran larangan tersebut. Banyak ahli berpendapat bahwa Hukumcommit to user

(2)

Pidana menempati tempat tersendiri dalam sistemik hukum, hal ini disebabkan karena hukum pidana tidak menempatkan norma tersendiri, akan tetapi memperkuat norma-norma di bidang hukum lain dengan menetapkan ancaman sanksi atas pelanggaran norma-norma di bidang hukum lain tersebut (Ali Zaidan, 2015:3).

b) Tujuan Hukum Pidana

Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum pidana di Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa kepentingan yang adil bagi seluruh warga negara. Dengan demikian hukum pidana di Indonesia adalah mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan hukum pidana dibagi menjadi 2 (dua), yaitu (Teguh Prasetyo,2010:7):

1) Tujuan Hukum Pidana sebagai hukum Sanksi.

Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafati yang bertujuan memberi dasar adanya sanksi pidana. Jenis bentuk dan sanksi pidana dan sekaligus sebagai parameter dalam menyelesaikan pelanggaran pidana. Tujuan ini biasanya tidak tertulis dalam pasal hukum pidana tapi bisa dibaca dari semua ketentuan hukum pidana atau dalam penjelasan umum.

2)

Tujuan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar Hukum Pidana.

Tujuan ini bercorak pragmatik dengan ukuran yang jelas dan konkret yang relevan dengan permasalahan yang muncul akibat adanya pelanggaran hukum pidana dan orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana. Tujuan ini merupakan perwujudan dari tujuan pertama.

commit to user

(3)

2. Tinjauan tentang Tindak Pidana a) Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana dalam Bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga suku kata yaitu, straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Tindak Pidana biasanya disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yaitu kata delictum. Sudarsono (2007:12) menjelaskan bahwa Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang (Tindak Pidana). Tindak Pidana dapat diartikan juga sebagai dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya.

Baik di Belanda maupun di Indonesia, tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP dengan rumusan; “geen feil is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepalingen” atau “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Teguh Prasetyo,2010:38).

J.E. Jonkers juga telah memberikan definisi strafbaarfeit menjadi dua pengertian :

a) Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian “feit” yang dapat diancam Pidana oleh Undang- Undang;

b)

Definisi panjang atau lebih mendalam memberikan pengertian

“strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan (Bambang Poernomo,1983:91).

Simons seperti di kutip oleh Drs. Adami Chazawi, S.H. (2011:75) di dalam bukunya, merumuskan strafbaar feit adalah “suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang

commit to user

(4)

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum”.

Berkaitan dengan tindak pidana, ada 2 (dua) pandangan, yaitu monistis dan dualistis. Penganut pandangan monistis tentang stafbaar feit berpendapat, bahwa unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkub pembuat delik meliputi :

a. Kemampuan bertanggung jawab

b. Kesalahan dalam arti luas, disengaja dan/atau kealpaan c. Tidak ada alasan pemaaf

Dalam aliran monistis, apabila tidak terbukti salah satu unsur dari 3 unsur yang ada, maka strafbaar feit tidak terbukti, maka tidak ada strafbaar feit. Berbeda dengan pandangan dualistis mengenai delik unsur pembuat yang merupakan pertanggungjawaban pidana pembuat, tidak termasuk unsur delik kata lain masih terbukti adanya delik.

Pendirian monistis memandang dalam pengertian Tindak Pidana tercakup perbuatan dan akibat serta pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dari si pelaku. Dalam pandangan aliran monistis ini, telah dilakukannya Tindak Pidana berarti telah dipenuhi syarat pemidanaan atau penjatuhan Pidana, Sedangkan pandangan dualistis dikenal dalam sistem Anglo Saxon. Praktik peradilan berdasarkan Hukum Pidana masa kini, memperhatikan perbuatan yang dilakukan di satu sisi dengan berpedoman pada asas legalitas, serta diri si pembuat berdasarkan asas tidak ada pidana tanpa kesalahan.

Dalam KUHP sendiri, Tindak Pidana dibagi menjadi dua yakni Pelanggaran dan Kejahatan. Pelanggaran sanksinya lebih ringan daripada Kejahatan. Pelanggaran dan Kejahatan diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan.

i. Pelanggaran

Pelanggaran adalah Perbuatan Pidana yang ringan. Ancaman hukumannya berupa denda atau kurungan. Semua Perbuatan commit to user

(5)

Pidana yang tergolong Pelanggaran diatur dalam Buku ke III KUHP Pasal 489-569

ii. Kejahatan

Kejahatan adalah Perbuatan Pidana yang berat. Ancaman hukumannya dapat berupa hukuman denda, hukuman penjara, hukuman mati, dan kadangkala masih ditambah dengan hukuman penyitaan barang-barang tertentu, pencabutan hak tertentu, serta pengumuman keputusan hakim. Semua Perbuatan Pidana yang tergolong Kejahatan diatur dalam Buku ke II KUHP Pasal 104-488.

b) Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak Pidana dapat pula disebut dengan peristiwa Pidana maupun delict. Pembagian secara mendasar didalammelihat elemen perumusan delik hanya mempunyai dua elemen dasar yang terdiri atas :

a) Bagian yang objektif yang menunjuk bahwa delik terdiri dari suatu perbuatan (en doen of nalaten) dan akibat, yang merupakan kejadian yang bertentangan dengan hukum positif sebagai anasir yang hukum (onrechtmatig) yang dapat diancam dengan pidana, dan;

b) Bagian yang subjektif yang merupakan anasir kesalahan daripada delik (Bambang Poernomo,1983:103).

Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa delict/starbaar feit itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu kelakuan bertentangan dengan Hukum (onrecmatig atau wederrechttelijk) dan elemen subjektif yang berupa adanya seorang pembuat/dader yang mampu bertanggungjawab atau dapat dipersalahkan (toerekeningsvatbaarheid) kelakuan yang bertentangan dengan Hukum itu (Frans Maramis,2012:66).Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek Tindak Pidana adalah seorang manusia sebagai oknum.

Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari Tindak Pidana dalam KUHP yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subyek Tindak Pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana

commit to user

(6)

yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda (Wirjono Projodikoro,1983:50). Dalam struktur Tindak Pidana atau delik, subjek yang dituju oleh norma delik lazimnya ditetapkan secara umum dengan istilah “barang siapa” atau “setiap orang”. Penentuan subjek delik berkaitan dengan penegasan hak dan kewajiban seseorang yang timbul dari Undang-Undang (Muhammad Ainul Syamsu,2016:26).

c) Jenis-Jenis Tindak Pidana

Dalam membahas Hukum Pidana, ada beberapa Tindak Pidana yang sering terjadi di dalam Masyarakat dan menimbulkan kerugian serta kerusakan yang tidak sedikit. Tindak Pidana digolongkan dan dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu, sebagai berikut;

i. Kejahatan dan Pelanggaran

ii. Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil.

iii. Tindak Pidana Sengaja (Dolus) dan Tindak Pidana Kelalaian (Culpa).

iv. Tindak Pidana Aktif dan Tindak Pidana Pasif

v.

Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus.

vi. Tindak Pidana Terjadi Seketika dan Tindak Pidana yang BerlangsungTerus.

vii.

Tindak Pidana yang Dapat Dilakukan Semua Orang dan Tindak Pidana yang Hanya Dapat Dilakukan Orang Tertentu.

viii.

Tindak Pidana Biasa dan Tindak Pidana Aduan.

ix.

Tindak Pidana Dalam Bentuk Pokok, yang diperberat dan yang diperingan.

x.

Jenis Tindak Pidana Berdasarkan Kepentingan Hukum yang Dilindungi.

xi.

Tindak Pidana Tunggal dan Tindak Pidana Berangkai commit to user

(7)

3. Tinjauan tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio tanpa Izin a) Pengertian Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio tanpa Izin

Perangkat telekomunikasi yang telah sesuai dengan standar yang ditentukan oleh Pemerintah, masih harus mendapatkan izin untuk dioperasikan . Pengaturan tentang izin tersebut dituangkan dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi yang menyatakan bahwa : “Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah”

dan Pasal 46 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang menyatakan bahwa :

“Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan izin Menteri.”

Pemerintah juga mengatur secara khusus tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Radio yang dilaksanakan oleh orang pribadi atau amatir radio yang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun 2002 Tentang Pedoman Kegiatan Amatir Radio yang didalamnya mengatur tentang izin penguasaan Perangkat Telekomunikasi Radio dan izin untuk mendirikan, memiliki, mengoperasikan Stasiun Radio Amatir dan menggunakan Frekuensi Amatir Radio. Diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi pada Bab IV yang intinya adalah mengatur semua jenis perangkat dan alat telekomunikasi radio yang digunakan harus mengikuti standar yang telah ditentukan oleh Pemerintah. Dan lebih spesifik diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pos Dan

commit to user

(8)

Telekomunikasi Nomor 84 Tahun 1999 tentang Spesifikasi Teknis Perangkat Telekomunikasi.

Namun dalam kenyataannya masih banyak penyelenggara Telekomunikasi Radio yang melaksanakan kegiatan Telekomunikasi dengan tidak mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Pemerintah. Kondisi ini dapat ditemukan hampir di semua daerah di Indonesia dengan indikasi banyaknya laporan-laporan yang diangkat oleh media massa atau informasi dari Penyelenggara Telekomunikasi Radio. Pelanggaran-Pelanggaran yang dapat terlihat misalnya Penyelenggaraan Telekomunikasi Radio yang menggunakan Perangkat Radio yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh Pemerintah. Pembuktian akan hal ini adalah banyak Perangkat Telekomunikasi Radio yang digunakan dengan tidak melalui proses sertifikasi yang diwajibkan oleh Pemerintah seperti yang dinyatakan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Tata Cara Penerbitan Sertifikat Tipe Alat Dan Perangkat Telekomunikasi Pasal 2 ayat (1) yaitu: “Setiap tipe alat dan Perangkat Telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dimasukkan untuk diperdagangkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib dilakukan sertifikasi”.

Pelanggaran lain adalah Penyelenggaraan Telekomunikasi Radio yang menggunakan pita frekuensi tanpa izin atau di luar yang ditentukan oleh izin yang diberikan. Pelanggaran seperti ini kerap kali dilakukan oleh badan usaha atau bahkan Dinas/instansi Pemerintah yang menggunakan telekomunikasi radio. Kemudian Pelanggaran juga terjadi dalam hal peruntukannya, misalnya Penyelenggaraan Telekomunikasi Radio yang seharusnya digunakan untuk keperluan Dinas/instansi/perusahaan dalam kenyataannya juga digunakan untuk keperluan Amatir Radio atau Telekomunikasi untuk Amatir Radio tetapi digunakan untuk keperluan usaha baik badan hukum maupun perorangan atau Penyelenggara Telekomunikasi memungut biaya dalam commit to user

(9)

pengoperasiannya. Hal ini melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Pasal 50 yang menyebutkan bahwa:

“Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal. 41, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 dilarang untuk:

a. menyelenggarakan telekomunikasi di luar peruntukannya;

b. menyambungkan atau mengadakan interkoneksi dengan jaringan telekomunikasi lainnya; dan

c. memungut biaya dalam bentuk apa pun atas penggunaan dan atau pengoperasiannya, kecuali untuk telekomunikasi khusus yang berkenaan dengan ketentuan internasional yang telah diratifikasi.”

Pelanggaran-pelanggaran seperti tersebut di atas, dapat menimbulkan akibat-akibat baik berupa gangguan secara teknis atau kekacauan bahkan dapat menimbulkan kerugian langsung terhadap pihak lain. Akibat-akibat tersebut diantaranya adalah penggunaan perangkat telekomunikasi radio yang tidak melalui proses sertifikasi dapat menimbulkan gangguan teknis seperti timbulnya interferenceyang dapat mengganggu pihak lain pengguna frekuensi radio misalnya pengguna televisi tidak dapat menyaksikan siaran televisi akibat gangguan dari pancaran pengguna telekomunikasi radio, bahkan bila didirikan dengan tidak mengikuti ketentuan teknis telekomunikasi radio maka dapat menimbulkan kerugian langsung pada pihak lain misalnya penggunaan tiang antenna yang tidak sesuai dengan spesifikasi teknis dapat menyebabkan robohnya tiang antenna. Akibat lain adalah kekacauan yang ditimbulkan oleh penggunaan pita frekuensi radio yang tanpa atau tidak sesuai dengan izin. Kekacauan yang dimaksud adalah kemungkinan adanya lebih dari satu penyelenggaraan telekomunikasi commit to user

(10)

radio yang beroperasi pada satu frekuensi yang sama, yang pada akhirnya menghambat laju penyelenggaraan telekomunikasi radio tersebut bahkan dapat menyebabkan kerusakan pada bagian pemancar apabila sering terjadi pancaran ganda (double transmission).

4. Tinjauan tentang Pertanggungjawaban Pidana a) Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Dalam Bahasa Inggris pertanggungjawaban pidana disebut sebagai responsibility, atau criminal liability. Konsep pertanggungjawaban pidana sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata melaikan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh suatu masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat, hal ini dilakukan agar pertanggungjawaban pidana itu dicapi dengan memenuhi keadilan (Mahrus,2015:16).

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk untuk menentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang telah terjadi. Dengan kata lain pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk yang menentukan apakah seseorang tersebut dibebaskan atau dipidana.

Menurut Roeslan Saleh (1982:33) pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapt dipidana karena perbuatannya itu. Apa yang dimaksud dengan celaan objektif adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tersebut merupakan perbuatan yang dilarang, perbuatan dilarang yang dimaksud disini adalah perbuatan yang memang bertentangan atau dialarang oleh hukum baik hukum formil maupun hukum materil. Sedangkan yang dimaksud dengan celaan subjektif merujuk kepada sipembuat perbuatan terlarang tersebut,atau dapat dikatakan celaan yang subjektif adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang atau bertentangan dengan hukum. Apabila perbuatan yang dilakukan suatu perbuatan yang commit to user

(11)

dicela atau suatu perbuatan yang dilarang namun apabila didalam diri seseorang tersebut ada kesalahan yang yang menyebabkan tidak dapat bertanggungjawab maka pertanggungjawaban pidana tersebut tidak mungkin ada. Dalam pertanggungjawaban pidana makan beban pertanggungjawaban dibebankan kepada pelaku pelanggaran tindak pidana berkaitan dengan dasar untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Seseorang akan memiliki sifat pertanggungjawaban pidana apabila suatu hal atau perbuatan yang dilakukan olehnya bersifat melawan hukum, namun seseorang dapat hilang sifat bertaanggungjawabnya apabila didalam dirinya ditemukan suatu unsur yang menyebabkan hilangnya kemampuan bertanggungjawab seseorang.

Menurut Chairul Huda (2006:68) bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dapat dipidananya pembuat adalah atas dasar kesalahan, hal ini berarti bahwa seseorang akan mempunya pertanggungjawaban pidana bila ia telah melakukan perbuatan yang salah dan bertentangan dengan hukum. Pada hakikatnya pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk mekanisme yang diciptakan untuk berekasi atas pelanggaran suatu perbuatan tertentu yang telah disepakati. Unsur kesalahan merupakan unsur utama dalam pertanggungjawaban pidana. Dalam pengertian perbuatan tindak pidana tidak termasuk halpertanggungjawaban pidana, perbuatan pidana hanya menunjuk kepada apakah perbuatan tersebut melawan hukum atau dilarang oleh hukum, mengenai apakah seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut kemudian dipidana tergantung kepada apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana tersebut memiliki unsur kesalahan atau tidak. Pertanggungjawaban pidana dalam common law system selalu dikaitkan dengan mens rea dam pemidanaan (punishment). Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan dengan kemasyrakatan yaitu hubungan pertanggungjawaban dengan masyarakat sebagi fungus, fungsi disni pertanggungjawaban memiliki daya penjatuhan pidana sehingga pertanggubgjawaban disini memiliki commit to user

(12)

fungsi control sisosial sehingga didalam masyarakat tidak terjadi tindak pidana. Selain hal itu pertanggungjawaban pidana dalam common law system berhubungan dengan mens rea, bahwa pertanggungjawban pidana dilandasi oleh keadaan suatu mental yaitu sebagi suatu pikiran yang salah (a guilty mind). Guilty mind mengandung arti sebagai suatu kesalahan yang subjektif yaitu seseorang dinyatakan bersalah karena pada diri pembuat dinilai memiliki pikiran yang salah, sehingga orang tersebut harus bertanggungjawab. Adanya pertanggungjawabn pidana dibebankan kepada pembuat maka pembuat pidana harus dipidana.

Tidak adanya pikiran yang salah (no guilty mind) berarti tidak ada pertanggungjawaban pidana dan berakibat tidak dipidanya pembuat.

Kesalahan sebagai bagian mens rea juga diartikan sebagai kesalahan karena melanggar aturan, atau melanggar tata peraturan Perundang- Undangan.

Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Undang- Undang maka orang tersebut wajib bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukan. Kesalahan sebagai unsur pertanggungjawaban dalam pandangan ini menjadikan suatu jaminan bagi seseorang dan menjadikan kontrol terhadap kebebasan seseorang terhadap orang lain.

Adanya jaminan ini menjadikan seseorang akan terlindung dari perbuatan orang lain yang melakukan pelanggaran hukum, dan sebagi suatu control karena setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana dibebani pertanggungjawaban pidana. Kitab Hukum Udang- Undang Pidana tidak menyebutkan secara jelas mengenai system pertanggungjawaban pidana yang dianut. Beberapa Pasal dalam KUHP sering menyebutkan kesalahan baik berupa kesengajaan ataupun kealpaan, namun sayangnya mengenai pengertian kesalahan kesengjaan maupun kealpaan tidak dijelaskan pengertiannya oleh Undang-undang.

tidak adanya penjelasan lebih lanjut mengenai kesalahan kesengajaan maupun kealpaan, namun berdasarkan doktrin dan pendapat para ahli hukum mengenai pasal-pasal yang ada dalam KUHP dapat simpulakan commit to user

(13)

bahwa dalam pasal-pasal tersebut mengandung unsur-unsur kesalahan kesengajaan maupun kealpaan yang harus dibuktikan oleh pengadilan, sehingga untuk memidanakan pelaku yang melakukan perbuatan tindak pidana, selain telah terbukti melakukan tindak pidana maka mengenai unsur kesalahan yang disengaja ataupun atau kealpaan juga harus dibuktikan (Hanafi Amrani, Mahrus Ali,2015:52). Artinya dalam hal pertanggungjawaban pidana ini tidak terlepas dari peranan hakim untuk membuktikan mengenai unsur-unsur pertanggung jawaban pidana itusendiri sebab apabila unsur-unsur tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya makan seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.

b) Teori-Teori Pertanggungjawaban Pidana

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik (Ridwan H.R.,2006:335-337) Dalam hukum pidana terhadap seseoraang yang melakukan pelanggaran atau suatu perbuatan tindak pidana maka dalam pertanggungjawaban diperlukan asas-asas hukum pidana. Salah satu asas hukum pidana adalah asas hukum nullum delictum nulla poena sine pravia lege atau yang sering disebut dengan asas legalitas, asas ini

commit to user

(14)

menjadi dasar pokok yang tidak tertulis dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana “tidak dipidana jikatidak ada kesalahan”. Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Artinya seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya apabila seseorang tersebut melakukan kesalahan atau melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundnagundangan. Asas legalitas ini mengandung pengertian, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan. Maksud dari hal tersebut adalah seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabn apabila perbuatan itu memang telah diatur, tidak dapat seseorang dihukum atau dimintakan pertanggungjawabannya apabila peraturan tersebut muncul setelah adanya perbuatan pidana. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh menggunakan kata kias, serta aturan-aturan hukum pidana tersebut tidak berlaku surut.

c) Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban adalah bentuk untuk menenutukan apakah seseorang akan dilepas atau dipidana atas tindak pidana yang telah terjadi, dalam hal ini untk mengatakan bahwa seseornag memiliki aspek pertanggung jawaban pidana maka dalam hal itu terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi untuk menyatakan bahwa seseornag tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban. Unsur-unsur tersebut ialah:

a. Adanya suatu tindak pidana

Unsur perbuatan merupakan salah satu unsur yang pokok pertanggungjawaban pidana, karena seseorang tidak dapat dipidana apabila tidak melakukan suatu perbuatan dimana perbuatan yang dilakukan merupan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang hal itu sesuai dengan asas legalitas yang kita anut.

commit to user

(15)

Asas legalitas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali artinya tidak dipidana suatu perbuatan apabila tidak ada Undnag-Undang atau aturan yang mengatur mengenai larangan perbuatan tersebut (Moeljalento,2008:25). Dalam hukum pidana Indonesia menghendali perbuatan yang konkret atau perbuatan yang tampak, artinya hukum menghednaki perbuatan yang tampak kelaur, karena didalam hukum tidak dapat dipidana seseorang karena atas dasar keadaaan batin seseorang, hal ini asas cogitationis poenam nemo patitur, tidak seorang pun dipidana atas yang ada daalm fikirannya saja (Frans Maramis,2012:85).

b. Unsur kesalahan

Kesalahan yang dalam bahasa asing disebut dengan schuld adalah keadaan psikologi seseorang yang berhubungan dengan perbuatan yang ia lakukan yang sedemikian rupa sehingga berdasarkan keadaan tersebut perbuatan tersebut pelaku dapat dicela atas perbuatannya. Pengertian kesalahan di sini digunakan dalam arti luas. Dalam KUHP kesalahan digunakan dalam arti sempit, yaitu dalam arti kealpaan sebagaimana dapat dilihat dalam rumusan bahasa Belanda yang berada dalam pasal 359 dan 360. Dalam hukum pidana di Indonesia sendiri yang digunakan adalah kesalahan dalam arti normatif. Kesalah normatif adalah kesalahan adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain mengenai suatu perbuatan seseornag. Kesalah normative merupakan kesalahan yang dipandang dari sudut norma-norma hukum pidana, yaitu kesalahan kesengajaan dan kesalahan kealpaan. Dari suatu perbuatan yang telah terjadi maka orang lain akan menilai menurut hukum yang berlaku apakah terhadap perbuatan tersebut terdapat kesalahan baik disengaja maupun karena suatu kesalahan kealpaan.

c. Adanya pembuat yang dapat bertanggung jawab commit to user

(16)

Kemampuan bertanggungjawab selalu berhubungan dengan keadaan psikis pembuat. Kemampuan bertanggungjawab ini selalu dihubungkan dengan pertanggungjawaban pidana, hal ini yang menjadikan kemampuan bertanggungjawaban menjdai salah satu unsur pertanggungjawaban pidana. Kemampuan bertanggung jawab merupakan dasar untuk menentukan pemidanaan kepada pembuat. Kemampuan bertanggung jawab ini harus dibuktikan ada tidaknya oleh hakim, karena apabila seseorang terbukti tidak memiliki kemampuan bertanggungjawab hal ini menjadi dasar tidak dipertanggungjawabkannya pembuat, artinya pembuat perbuatan tidak dapat dipidana atas suatu kejadian tindak pidana d. Tidak ada alasan pemaaf

Dalam keadaan tertentu seseorang pelaku tindak pidana, tidak dapat melakukan tindakan lain selain melakukan perbuatan tindak pidana, meskipun hal itu tidak di inginkan. Sehingga dengan perbuatan tersebut pelaku nya harus menghadi jalur hukum. Hal itu tidak dihindari oleh pelaku meskipun hal itu tidak diinginkan oleh dirinya sendiri. Hal itu dilakukan oleh seseorang karena faktor-faktor dari luar dirinya (Chairul Huda,2006:116).

Faktor-faktor dari luar dirinya atau batinnya itulah yang menyebabkan pembuat tindak oidana tidak dapat berbuat lain yang mengakibatkan kesalaahannya menjadi terhapus. Artinya, berkaitan dengan hal ini pembuat tindak pidana terdapat alasan penghapusan pidana, sehingga pertanggungjawaban berkaitan dengan hal ini ditunggukan sampai dapat dipastikan ada tidaknya unsur alasan pemaaf dalam diri pelaku pembuat tindak pidana tersebut. Dalam hal ini sekalipun pelaku pembuat tindak pidana dapat dicela namun celaan tersebut tidak dapat dilanjutkan kepadanaya karena pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain selain melakukan tindak pidana tersebut. commit to user

(17)

Dalam doktrin hukum pidana alasan pemaaf dan alasan pembenar, alasan pembenar adalah suatu alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan.

Dalam KUHP mengatur tentang alasan Pemaaf yaitu:

a) Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP)

b) Perbuatan yang dilakukan karena terdapat daya paksa (Pasal 48 KUHP)

c) Perbuatan karena Pembelaan Terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP)

d) Perbuatan yang dilakukan untuk menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP).

5. Tinjauan tentang Pertimbangan Hakim a) Pengertian tentang Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim adalah salah satu aspek yang sangat penting untuk mewujudkan nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, disamping itu terdapat juga manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Jika pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi / Mahkamah Agung. Dalam pemeriksaan perkara hakim harus memperhatikan terkait pembuktian, karena hasil dari pembuktian tersebut nantinya akan digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara. Pembuktian adalah tahap yang sangat penting dalam pemeriksaan di persidangan. Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa / fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak akan bisa menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa / faktatersebut benar-commit to user

(18)

benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak. Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :

a) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.

b) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

c) Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan (Mukti Aro,2004:140-141)

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum. Dalam menjatuhkan putusan hakim harus memiliki darar pertimbangan yang didasarkan pada keyakinan serta didukung oleh adanya alat-alat bukti yang sah sehingga putusan yang dijatuhkan hakim benar-benar memenuhi rasa keadilan masyarakat. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dankesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan.

commit to user

(19)

B. Kerangka Pemikiran

a.

B.

Keterangan:

Pemikiran teoritis sebagai penuntun penulis dalam penelitian ini diawali dengan pemahaman bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999

Terjadi Tindak Pidana Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Tanpa Izin

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

2. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi

3. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit

4. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 2 Tahun 2001 tentang Tata Cara Penerbitan Sertifikat Tipe Alat dan Perangkat Telekomunikasi

5. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun 2002 tentang Pedoman Kegiatan Amatir Radio

6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pertimbangan Hakim

Putusan Pengadilan Negeri Sragen Nomor 29/Pid.Sus/2019/PN.Sgn

Pertanggungjawaban Pidana bagi Pelaku

commit to user

(20)

tentang Telekomunikasi, mengatur tentang penyelenggaraan dan aturan-aturan yang harus dipenuhi oleh seluruh penyelenggara dan pengguna telekomunikasi di Indonesia. Bahwa Pengguna Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit wajib mendapatkan izin dari Pemerintah, sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu, dan yang berhak mengeluarkan atau memberikan izin mengenai Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio adalah Menteri Komunikasi dan Informatika di bidang Telekomunikasi dalam hal ini Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika.

Peraturan Undang-Undang mengenai perizinan bagi Telekomunikasi khususnya Lembaga Penyiaran Radio yaitu pertama Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, kedua yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang penggunaan spekrum frekuensi Radio dan orbit satelit, ketiga yaitu Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2003 tentang rencana Induk (Master plan) frekuensi radio penyelenggaraan Telekomunikasi khusus keperluan Radio FM (Frequency Modulation), keempat Keputusan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) Nomor 40/SK/KPI/08/2005 tentang Panduan Pelaksanaan Proses Administrasi Permohonan Izin Penyiaran Jasa Penyiaran Radio dan Jasa Penyiaran Televisi, dan perundang-undangan yang terkait lainnya.

Tindak Pidana yaitu perbuatan atau tindakan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar. Penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur dan berkesinambungan. Spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas. Penggunaan spektrum frekuensi radio tanpa izin adalah penggunaan gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran radio dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan secara illegal tanpa adanya izin dari pemerintah, sehingga hal demikian dapat diketahui sejauhmana pertimbangan-commit to user

(21)

pertimbangan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Sragen dalam menjatuhkan putusan Nomor 29/Pid.Sus/2019/PN.Sgn hari Selasa tanggal 21 Mei 2019.

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang

Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau bukan yang dapat dijatuhkan terhadap orang atau

commit to user commit to user.. didalam sebuah generasi umat manusia, dimana beban dari permasalahn lingkungan harus dipikul bersama oleh masyarakat dalam satu

Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan

Tindak pidana juga diartikan sebagai suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas

Tindak pidana merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang

perbuatan pidana karena itu dilarang dan diancam dengan pidana, namun dalam ius constituendum meskipun perbuatan-perbuatan tersebut tetap bersifat melawan hukum, perempuan hamil dan