• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PENERAPAN CLINICAL PATHWAYS PREEKLAMSIA BERAT BERDASARKAN INDIKATOR LAMA RAWAT, KEPATUHAN PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT DI RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDIROHUSODO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EVALUASI PENERAPAN CLINICAL PATHWAYS PREEKLAMSIA BERAT BERDASARKAN INDIKATOR LAMA RAWAT, KEPATUHAN PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT DI RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDIROHUSODO"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENERAPAN CLINICAL PATHWAYS PREEKLAMSIA BERAT BERDASARKAN INDIKATOR LAMA RAWAT, KEPATUHAN

PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT DI RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDIROHUSODO

Evaluation Of Severe Preeclampsia Clinical Pathways Implementation Based On Length Of Stay, Use Of Diagnostic Tests And Use Of Drugs

Indicators At Wahidin Sudirohusodo Hospital

NUR INDAH PURNAMASARI

PROGR AM PENDIDIK AN DOK TER SPESIALIS-1 (Sp.1) PROGR AM STUDI ILM U OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2019

(2)

EVALUASI PENERAPAN CLINICAL PATHWAYS PREEKLAMSIA BERAT BERDASARKAN INDIKATOR LAMA RAWAT, KEPATUHAN

PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT DI RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDIROHUSODO

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis dan Mencapai Gelar Spesialis

Program Studi

Ilmu Obstetri dan Ginekologi

Disusun dan diajukan oleh

NUR INDAH PURNAMASARI

PROGR AM PENDIDIK AN DOK TER SPESIALIS -1 (Sp.1) PROGR AM STUDI ILM U OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2019

(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nur Indah Purnamasari Nomor Mahasiswa : C105214204

Program Studi : Ilmu Obstetri dan Ginekologi

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar- benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambialihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Februari 2019 Yang menyatakan

Nur Indah Purnamasari

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat, berkat, karunia serta perlindungan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan tepat waktu sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 pada Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Pada penelitian ini, penulis bermaksud memberikan informasi ilmiah mengenai evaluasi penerapan Clinical Pathways preeklamsia berat berdasarkan indikator lama rawat, kepatuhan pemeriksaan penunjang dan kepatuhan penggunaan obat dengan yang tidak menggunakan Clinical Pathways di rumah sakit wahidin sudirohusodo

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Isharyah Sunarno, Sp.OG(K) sebagai pembimbing I dan Prof. Dr. dr. Syahrul Rauf, Sp.OG(K) sebagai pembimbing II atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan mulai dari pembuatan outline penelitian, pelaksanaan sampai dengan penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada dr. Muh. Firdaus kasim, M.Sc sebagai pembimbing statistik. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. dr. Efendi Lukas, Sp.OG(K) dan Dr. dr. Eddy R.

Moeljono, Sp.OG(K) sebagai penyanggah yang telah memberikan kritik, saran dan masukan dalam penyempurnaan penelitian ini. Dan kepada Dr.

(7)

dr. Trika Irianta, Sp.OG(K) sebagai pembimbing akademik penulis atas semua masukan, arahan dan bimbingannya

Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Kepala Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Prof. Dr. dr. Syahrul Rauf, Sp.OG(K); Ketua Program Studi Dr. dr. Deviana Soraya Riu, Sp.OG(K);

seluruh guru staf pengajar beserta pegawai Departemen Obstetri dan Ginekologi yang memberikan arahan, dukungan dan motivasi kepada penulis selama pendidikan.

Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua Ir.

Multono, MKM dan Rudiah Misbah, SKM serta saudara kandung penulis, kepada suami dr. Muh. Reza Primaguna, MARS, anak Muh. Ghazali Arkenzi, Keisya Nur Aurelia dan Kirei Nur Alisha atas dukungan doa, kasih sayang dan pengertian selama penulis menjalani pendidikan. Tidak terlupa juga untuk seluruh teman sejawat residen obgin khususnya periode Januari 2015 atas semua bantuan dan kerjasamanya selama proses pendidikan dan pengerjaan tesis ini.

Kepada seluruh staf rumah sakit jejaring tempat penelitian, seluruh responden yang ikut serta dalam penelitian ini serta semua pihak yang namanya tidak tercantum namun telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini, penulis juga ucapkan terima kasih.

Akhir kata, penulis berharap semoga tesis memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta Ilmu

(8)

Obstetri dan Ginekologi pada khususnya di masa yang akan datang.

Makassar, Februari 2019

Nur Indah Purnamasari

(9)

ABSTRAK

NUR INDAH PURNAMASARI Evaluasi Penerapan Clinical Pathways Preeklamsia Berat Berdasarkan Indikator Lama Rawat, Kepatuhan Pemeriksaan Penunjang Dan Kepatuhan Penggunaan Obat Di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo(dibimbing oleh Isharyah Sunarno, Syahrul Rauf, Firdaus Kasim)

Latar Belakang :

Tujuan dari Clinical Pathways antara lain mengurangi variasi dalam pelayanan, cost lebih mudah diprediksi, pelayanan lebih terstandarisasi, meningkatkan kualitas pelayanan (quality of care), meningkatkan prosedur costing, meningkatkan kualitas dari informasi yang telah dikumpulkan dan sebagai counter-check terutama pada kasus-kasus yang bersifat high cost dan high value.

Metode:

Penelitian prospektif kohort digunakan untuk membandingkan evaluasi pelaksanaan Clinical Pathways pada pasien preeklampsia berat. Analisis statistik menggunakan Chi-square and Fisher exact.

Hasil :

Lebih banyak pasien dengan lama rawat kurang atau sama dengan 3 hari (22 pasien atau 71%) sementara pasien tanpa Clinical Pathways pelaksanaan dengan lama rawat kurang atau sama dengan 3 hari (9 pasien atau 29%). Jenis tes dilakukan pada pasien yang diterapkan Clinical pathways adalah pemeriksaan darah rutin (42 pasien atau 100%) dan paling INR/PT/APTT (37 pasien atau 55,2%). Obat yang paling banyak digunakan pada pasien yang diterapkan Clinical Pathways adalah MgSO4 (42 pasien atau 51,9%) dan paling sedikit metildopa (4 pasien atau 57,1%)

Kesimpulan:

Implementasi Clinical Pathways pada pasien preeklamsia berat dapat mengurangi lama rawat di rumah sakit, menyediakan pedoman untuk tes diagnostik yang tepat, tetapi tidak ada perbedaan dalam efektivitas penggunaan obat.

Kata Kunci:

Clinical Pathways, preekalmsia berat

(10)

ABSTRACT

NUR INDAH PURNAMASARI. Evaluation Of Severe Preeclampsia Clinical Pathways Implementation Based On Length Of Stay, Use Of Diagnostic Tests And Use Of Drugs Indicators At Wahidin Sudirohusodo Hospital (Supervised by Isharyah Sunarno, Syahrul Rauf, Firdaus Kasim)

Background:

The purposes of clinical pathways are reducing variations within health care, more predictable cost, more standardized cares, improving quality of care, improving the procedure costs, improving the quality of collected information and as a counter-check especially in high cost and high value cases.

Method:

A prospective cohort study was used to compare evaluation of Clinical Pathways implementation in patients with severe preeclampsia. Statistical analysis using Chi-square test and Fisher exact test.

Result:

More patients with less or 3 days length of stay (22 patients or 71%) while patients without clinical pathways implementation with less or 3 days length of stay were (9 patients or 29%). Type of test done in patients with clinical pathways implementation was complete blood count (42 patients or 100%) and the least was PT/APTT/INR (37 patients or 55,2%). The most common drug used in patients with clinical pathways implementation was MgSO4 (42 patients or 51,9%) and the least was methyldopa (4 patients or 57,1%)

Conclusion:

Clinical Pathways Implementation in patients with severe preeclampsia may reduce length of stay in hospital, provide guidelines for appropriate diagnostic test, but there is no difference in the effectiveness of drug use.

Keywords:

Clinical Pathways, severe preeclampsia

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I . PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II . TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Preeklamsia ... 11

B. Clinical Pathways ... 23

C. Lama rawat (Length Of Stay) ... 32

D. Kepatuhan ... 36

E. Penelitian lain ... 40

F. Kerangka teori ... 44

G. Kerangka konsep ... 45

H. Hipotesis ... 46

(12)

I. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ... 46

BAB III. METODE PENELITIAN... 48

A. Rancangan Penelitian ... 48

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 48

D. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel ... 49

E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 50

F. Cara Kerja ... 51

G. Alur Penelitian ... 52

H. Aspek Etis ... 52

I. Personalia Penelitian ... 53

J. Waktu Penelitian ... 53

K. Anggaran Penelitian ... 53

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Hasil Penelitian... 54

B. Pembahasan ... 63

BAB V. PENUTUP ... 86

A. Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88

LAMPIRAN ... 93

(13)

DAFTAR TABEL

nomor halaman

1. Karakteristik sampel penelitian ... 55 2. Hubungan antara Clinical Pathways dengan hasil luaran ... 57 3. Hubungan antara Clinical Pathways dengan pemeriksaan

penunjang ... 59 4. Hubungan antara Clinical Pathways dengan kepatuhan

penggunaan obat ... 62

(14)

DAFTAR GAMBAR

nomor halaman

1. Gambar Kerangka Teori ... 44 2. Gambar Kerangka Konsep ... 45 3. Gambar Alur Penelitian ... 52

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

nomor halaman

1. Formulir Clinical Pathways ... 93

(16)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Undang - Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit ditetapkan kewajiban rumah sakit antara lain : memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit, membuat dan melaksanakan serta menjaga mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien, melaksanakan fungsi sosial, melaksanakan sistem rujukan, serta melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional.

Paradigma lama dalam dunia kedokteran menyebutkan bahwa peran dokter adalah paling dominan dalam sebuah rumah sakit. Dokter cenderung otonom dan otokratik sementara profesi lain di rumah sakit dianggap hanya berfungsi membantu tugas para dokter saja. Pasien pun terlihat tidak punya banyak hak dan cenderung hanya menurut apa yang telah diputuskan oleh dokter. Namun paradigma lama bergeser dengan hadirnya Undang-Undang Kesehatan no 36 tahun 2009 dan Undang- Undang Rumah Sakit No 44 Tahun 2009 yang secara tegas telah menyebutkan bahwa “hak pasien” adalah mendapat informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua. Undang-undang ini juga menyatakan bahwa tenaga

(17)

kesehatan termasuk dokter dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak-hak pasien.

Mutu pelayanan dapat diukur dengan membandingkan persepsi antara pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang diterima dan dirasakan oleh konsumen (Kurtin 2013). Selain itu, mutu layanan kesehatan dapat diketahui dari kesesuaian layanan dengan standar pelayanan medis dan pedoman - pedoman pelayanan yang disepakati oleh sesuai kode etik profesi (Praptiwi 2009). Indikator mutu layanan kesehatan jiwa antara lain adalah kepuasan pelanggan, keselamatan pasien, indikator lama perawatan, waktu remisi rata-rata, tingkat kekambuhan, dan efektivitas pelayanan (EPA, 2012; Rogers, 2011;

Kepmenkes Nomor 129 Tahun 2008). Selain itu, mutu layanan kesehatan dapat diketahui dengan cara mengukur kesesuaian layanan dengan Clinical Pathways yang sudah disepakati. (King J 2004)

Clinical Pathways merupakan suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit (Firmanda 2005).

Ada definisi lainnya, yaitu menurut (Marelli 2000) Clinical pathway merupakan pedoman kolaboratif untuk merawat pasien yang berfokus pada diagnosis, masalah klinis dan tahapan pelayanan. Clinical Pathways menggabungkan standar asuhan setiap tenaga kesehatan secara

(18)

sistematik. Tindakan yang diberikan diseragamkan dalam suatu standar asuhan, namun tetap memperhatikan aspek individu dari pasien.

Di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar, penerapan Clinical Pathways masih jarang dilakukan. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013, Clinical Pathways digunakan sebagai alat pengontrol tarif yang ditetapkan pada paket pembiayaan berdasarkan sistem case-mix, Indonesian Based Related Groups (INA – CBGs). Selain itu, dokumen Clinical Pathways juga dipersyaratkan sebagai alat pembuktian, ketika paket biaya yang tidak terkendali membutuhkan klarifikasi dari tim multidisplin yang melaksanakan kontrak pelayanan tersebut. Tanpa Clinical Pathways, maka sistem INA – CBGs tidak dapat diterapkan dengan baik (Pusat Manajemen Kebijakan Kesehatan (PMPK) 2013) Pengembangan dan penerapan Clinical Pathways preeklamsia berat rawat inap di Wahidin Sudirohusudo Makassar diharapkan dapat menjadi salah satu instrumen dalam upaya peningkatan mutu layanan pasien preeklamsia rawat inap sesuai standar akreditasi rumah sakit internasional dan proses pembelajaran sistem pelayanan sebagai rumah sakit pendidikan.

Satu dari 8 butir tujuan pembangunan millennium (millenium development goals, MDGs) adalah meningkatkan kesehatan ibu. Dengan demikian tampak dengan jelas bahwa peningkatan kesehatan ibu telah menjadi salah satu komitmen negara-negara di dunia. Salah satu indikator untuk menggambarkan tingkat kesehatan ibu adalah angka kematian ibu

(19)

(AKI). Kematian ibu adalah kematian perempuan selama masa kehamilan atau dalam 42 hari setelah persalinan, terlepas dari lama dan letak kehamilan, dari setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau penanganannya tetapi bukan karena kecelakaan. (WHO; 1998).

Angka kematian ibu merupakan salah satu indikator kesuksesan pembangunan suatu negara karena peningkatan kualitas hidup perempuan merupakan salah satu syarat pembangunan sumber daya manusia. Tingginya AKI mengindikasikan masih rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk dan secara tidak langsung mencerminkan kegagalan pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi resiko kematian ibu dan anak.

Di Indonesia, AKI masih cukup tinggi. Analisis hasil survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan AKI sebanyak 334 kematian per 100.000 kelahiran. Angka ini menurun menjadi 307 per 100.000 kelahiran pada tahun 2003 dan menjadi 228 kematian per 100.000 kelahiran pada tahun 2007. Target AKI untuk tahun 2010 adalah 125 kematian per 100.000 kelahiran. (Survei Demografi, 2007). Angka kematian ibu di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan AKI negara Asia Tenggara lainnya. Di Singapura, AKI hanya 6 per 100.000 kelahiran, Malaysia 39 per 100.000 kelahiran, Thailand 44 per 100.000 kelahiran dan Filipina 170 per 100.000 kelahiran. (http://www.bkbn.go.id).

Dan yang paling ditakutkan dari hipertensi pada kehamilan adalah

(20)

preeklamsia dan eklamsia atau keracunan pada kehamilan yang sangat membahayakan ibu maupun janinnya. (WHO-SEARO 1998)

Preeklamsia adalah peningkatan tekanan darah yang baru timbul setelah usia kehamilan mencapai 20 minggu, disertai penambahan berat badan ibu yang cepat akibat tubuh membengkak dan ditemukannya protein dalam urine. Eklamsia adalah preeklamsia yang disertai dengan kejang atau koma. (Yudasmara 2010)

Preeklamsia terjadi pada kurang lebih 5% dari semua kehamilan, 10% pada kehamilan anak pertama dan 20–25% pada perempuan hamil dengan riwayat hipertensi sebelum hamil. Pada janin, preeklamsia bisa menyebabkan berat badan lahir rendah, keguguran dan lahir prematur.(Gibson 1998) Sedangkan yang menjadi eklamsia sekitar 0,05–

0,20% (Sibai BM 1981). Setiap tahun sebanyak 250 ribu ibu hamil di Amerika menderita hipertensi atau 5–10%.(Lindheimer MD 1985)

Selain berkaitan dengan masalah kedokteran, preeklamsia juga berdampak pada masalah ekonomi karena biaya yang dikeluarkan untuk kasus ini cukup tinggi. Hal ini bisa dilihat dari hasil analisis yang dilakukan di Amerika Serikat yang memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan mencapai 3 milyar dollar Amerika pertahun untuk morbiditas maternal sedangkan untuk morbiditas neonatal mencapai 4 milyar dolar Amerika setahun. Biaya ini akan bertambah apabila turun menghitung beban akibat dampak jangka panjang dari preeklamsia (Himpunan Kedokteran Feto Maternal: 2016).

(21)

Preeklamsia dan eklamsia berkontribusi terhadap 10 – 15% dari total kematian ibu di dunia. Sebagian besar kematian di negara berkembang diakibatkan oleh eklamsia, sementara di negara maju lebih sering disebabkan oleh komplikasi dari preeklamsia(Turner 2010).

Eklamsia menduduki urutan kedua setelah perdarahan sebagai penyebab utama kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 (Hernawati 2011).

Dampak jangka panjang terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan preeklamsia seperti berat badan lahir rendah akibat persalinan premature atau mengalami pertumbuhan janin terhambat serta turut menyumbangkan besarnya angka morbiditas dan mortalitas perinatal.

(Cutfield, 2006)

Saat ini dalam bidang obstetri preeklamsia merupakan penyakit dengan presentase terbanyak pertama yang menyebabkan kematian ibu.

Penanganan preeklamsia di Indonesia masih beragam diantara setiap rumah sakit, preeklamsia berat merupakan penyakit terbanyak pertama pada divisi fetomaternal di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo.

petugas kesehatan, praktisi dan rumah sakit. Keadaan ini disebabkan bukan hanya karena patogenesis preeklamsia belum diketahui dengan jelas namun juga akibat kesiapan untuk penanganan penyakit tersebut oleh sarana dan prasarana kesehatan yang belum optimal.

Tujuan dari Clinical Pathways antara lain mengurangi variasi dalam pelayanan, cost lebih mudah diprediksi, pelayanan lebih terstandarisasi, meningkatkan kualitas pelayanan (quality of care), meningkatkan prosedur

(22)

costing, meningkatkan kualitas dari informasi yang telah dikumpulkan dan sebagai (counter-check) terutama pada kasus-kasus yang bersifat high cost dan high value. Keuntungan dengan adanya Clinical Pathways adalah dapat mendukung pengenalan evidence based medicine, meningkatkan komunikasi antar disiplin ilmu teamwork, menyediakan standar yang jelas dan baik untuk kegiatan pelayanan, membantu mengurangi variasi dalam perawatan pasien (melalui standar), meningkatkan proses manajemen sumber daya, menyokong proses quality improvement secara berkelanjutan, membantu dalam proses audit klinis, meningkatkan kolaborasi dokter dan perawat / profesi kesehatan lainnya serta meningkatkan peran dokter dalam perawatan.

Pengembangan Clinical Pathways sering menghadapi berbagai kendala, antara lain kegagalan mengintegrasikan dokumentasi ke dalam Clinical Pathways, sehingga Clinical Pathways hanya dianggap sebagai kertas kerja. Selain itu juga kurangnya resolusi terkait dengan morbiditas, manajemen luaran dan varian (Dykes 1998). Menurut (Panella 2003) kendala penerapan Clinical Pathways dapat dikurangi dengan kesepakatan pemahaman dan koordinasi masing-masing profesi yang terlibat dalam kinerja tim multidisiplin yang terintegrasi. Diperlukan monitoring dan evaluasi terhadap penerapan yang sudah dilakukan oleh tim multidisiplin yang terlibat sebagai upaya perbaikan berkesinambungan (Basudewa 2013)

(23)

Salah satu cara monitoring pelaksanaan Clinical Pathways, tim dokter di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar telah membuat lembar pemantauan Clinical Pathways yang salah satunya akan melihat kelengkapan dalam pengisian formulir Clinical Pathways. Masing – masing diagnosis yang telah ditetapkan untuk penerapan Clinical Pathways memiliki lembar pemantauan pengisian formulir sebagai kendali dalam sistem pendokumentasian sekaligus evaluasi dalam pelayanan yang telah diberikan.

Pada penelitian ini akan dievaluasi bagaimana hasil penerapan Clinical Pathways pada preeklamsia berat dalam periode tertentu dengan menggunakan indikator lama rawat, kepatuhan dalam melaksanakan pemeriksaan penunjang dan kepatuhan dalam penggunaan obat.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang membahas mengenai penerapan Clinical Pathways, peneliti tertarik untuk mengetahui penerapan Clinical Pathways maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Evaluasi Penerapan Clinical Pathways preeklamsia berat berdasarkan indikator lama rawat, pemeriksaan penunjang dan kepatuhan penggunaan obat di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo”.

(24)

B. Rumusan Masalah

Bagaimana efektifitas penerapan Clinical Pathways preeklamsia berat terhadap lama rawat, kepatuhan pemeriksaan penunjang dan penggunaan obat di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengevaluasi implementasi Clinical Pathways preeklamsia berat di Rumah Sakit Wahidin Sudiruhusodo.

2. Tujuan Khusus

a. Mengevaluasi implementasi Clinical Pathways preeklamsia berat dengan menggunakan indikator lama rawat.

b. Mengevaluasi implementasi Clinical Pathways preeklamsia berat dengan menggunakan indikator dalam melaksanakan pemeriksaan penunjang.

c. Mengevaluasi implementasi Clinical Pathways preeklamsia berat dengan menggunakan indikator kepatuhan dalam penggunaan obat.

D. Manfaat Penelitian

1. Memahami peran Clinical Pathways dalam meningkatkan efektifitas sistem pelayanan di Rumah Sakit.

2. Clinical Pathways dapat dijadikan pedoman dalam memperbaiki evaluasi sistem pelayanan.

(25)

3. Clinical Pathways dapat digunakan sebagai alat kendali mutu oleh manajemen rumah sakit yaitu dengan melakukan audit intensif dalam waktu yang ditentukan.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A

. Preeklamsia

1. Definisi

Eklamsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tiba-tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa nifas yang menunjukan gejala preeklamsia sebelumnya. Kejang disini bukan diakibatkan oleh kelainan neurologis.

Istilah eklamsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti halilintar.

Kata-kata tersebut dipergunakan karena seolah-olah gejala eklamsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului tanda-tanda lain.

Eklamsia banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin meningkat saat mendekati kelahiran. Pada kasus yang jarang, eklamsia terjadi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sektar 75% kejang eklamsia terjadi sebelum melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah melahirkan, tetapi kejang juga dapat timbul setelah 6 minggu postpartum.

Preeklamsia adalah kelainan malfungsi endotel pembuluh darah atau vaskular yang menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia kehamilan 20 minggu, mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan endotel yang menimbulkan terjadinya hipertensi, edema nondependen dan dijumpai proteinuria

(27)

300 mg per 24 jam atau 30 mg/dl (+1 pada dipstick) dengan nilai sangat fluktuatif saat pengambilan urin sewaktu (MD 2011)

2. Klasifikasi

Dari berbagai gejala, preeklamsia dibagi menjadi preeklamsia, preeklamsia berat dan eklamsia

a. Preeklamsia

Dikatakan preeklamsia bila tekanan darah sistolik antara 140- 160 mmhg dan tekanan darah diastolik 90-110 mmhg, proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam), tidak disertai gangguan fungsi organ

b. Preeklamsia berat

Dikatakan preeklamsia berat bila tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmhg, proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif, bisa disertai dengan oliguria (urine ≤ 400 mL/24jam), keluhan serebral, gangguan penglihatan, nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerah epigastrium, gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia, edema pulmonum, sianosis, gangguan perkembangan intrauterine, mikroangiopatik hemolitik anemia, trombositopenia, preklamsia berat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu PEB tanpa impending eklamsia dan PEB dengan impending eklamsia dengan gejala-gejala impending diantaranya nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium dan nyeri abdomen kuadran kanan atas

(28)

c. Eklamsia

Jika terjadi tanda-tanda preeklamsia yang lebih berat dan disertai dengan adanya kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklamsia.

3. Insiden dan Faktor Resiko

Dari beberapa studi dikumpulkan ada beberapa fakto resiko preeklamsia, yaitu :

a. Usia

(Duckitt 2003) melaporkan peningkatan resiko preeklamsia dan eklamsia hampir dua kali lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih pada primipara maupun multipara. Usia muda tidak meningkatkan resiko secara bermakna Robillard dkk melaporkan bahwa resiko preeklamsia dan eklamsia pada kehamilan kedua meningkat dengan peningkatan usia ibu. Choudhary menemukan bahwa eklamsia lebih banyak (46,8%) terjadi pada ibu dengan usia kurang dari 19 tahun.

b. Nulipara

Hipertensi gestasional lebih sering terjadi pada wanita nulipara. Duckitt melaporkan nulipara memiliki resiko hampir tiga kali lipat (RR 2,91, 95% CI 1,28 – 6,61).

c. Kehamilan pertama oleh pasangan baru

(29)

Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor resiko, walaupun bukan nulipara karena resiko meningkat pada wanita yang memiliki paparan rendah terhadap sperma.

d. Jarak antar kehamilan

Studi melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki resiko preeklamsia dan eklamsia hampir sama dengan nulipara.

Robillard dkk melaporkan bahwa ririko preeklamsia dan eklamsia semakin meningkat sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama (1,5 setiap 5 tahun jarak kehamilan pertama dan kedua; P <0,0001).

e. Riwayat preeklamsia eklamsia sebelumnya

Riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor resiko utama. Menurut Duckitt et al resiko meningkat hingga tujuh kali lipat (RR 7,19 95% CI 5,85- 8,83). Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklamsia dan eklamsia sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian preeklamsia berat, preeklamsia onset dini dan dampak perinatal yang buruk.

f. Riwayat keluarga preeklamsia dan eklamsia

(30)

Riwayat preeklamsia dan eklamsia pada keluarga juga meningkatkan resiko hampir tiga kali lipat. Adanya riwayat preeklamsia pada ibu meningkatkan resiko sebanyak 3,6 kali lipat.

g. Kehamilan multifetus

Studi melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan kembar meningkatkan resiko preeklamsia hampir tiga kali lipat. Analisa lebih lanjut menunjukkan kehamilan triplet memiliki resiko hampir tiga kal lipat dibandingkan kehamilan duplet. Sibai dkk menyimpulkan bahwa kehamilan ganda memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi untuk menjadi preeklamsia dibandingkan kehamilan normal. selain itu, wanita dengan kehamilan multifetus dan kelainan hipertensi saat hamil memiliki luaran neonatal yang lebih buruk daripada kehamilan monofetus.

h. Donor oosit, donor sperma dan donor embrio

Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oossit atau donor embrio juga dikatakan sebagai faktor resiko. Satu hipotesis yang populer penyebab preeklamsia adalah lajadaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif dari paparan sperma masih belum diketahui. Data menunjukkan adanya peningkatan frekuensi preeklamsia setelah inseminasi donor sperma dan oosit, frekuensi preeklamsia

(31)

yang tinggi pada kehamilan remaja, serta makin mengecilkan kemungkinan terjadinya preeklamsia pada wanita hamil dari pasangan yang sama dalam jangka waktu yang lebih lama. Walaupun preeklamsia dipertimbangkan sebagai penyakit pada kehamilan pertama, frekuensi preeklamsia menurun drastis pada kehamilan berikutnya apabila kehamilan pertama tidak mengalami preeklamsia.

Namun, efek protektif dari multiparitas menurun apabila berganti pasangan. Robillard dkk melaporkan adanya peningkatan resiko preeklamspia sebanyak dua kali pada wanita dengan pasangan yang pernah memiliki istri dengan riwayat preeklamsia.

i. Diabetes Melitus Tergantung Insulin (DM Tipe I)

Kemungkinan preeklamsia meningkat hampir empat kali lipat bila diabetes terjadi sebelum hamil. Anna dkk juga menyebutkan bahwa diabetes melitus dan hipertensi keduanya berasosiasi kuat dengan indeks masa tubuh dan kenaikannya secara relevan sebagai faktor resiko eklamsia di United State.

j. Penyakit ginjal

Semua studi yang diulas oleh Duckitt et al resiko preeklamsia meningkat sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit ginjal.

(32)

k. Sindrom antifosfolipid

Dari dua studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt et al menunjukkan adanya antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus atau keduanya) meningkatkan resiko preeklamsia hampir 10 kali lipat.

l. Hipertensi kronik

(Chappell LC 2008) meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan insiden preeklamsia superimposed sebesar 22% (n-180) dan hampir setengahnya adalah preeklamsia onset dini (<34 minggu) dengan luaran maternal dan perinatal yang lebih buruk.

m. Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali Antenatal Care (ANC).

Obesitas merupakan faktor resiko preeklamsia dan resiko semakin besar dengan semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi insulin, yang juga merupakan faktor resiko preeklamsia. Obesitas meningkatkan resiko preeklamsia sebanyak 2,47 kali lipat, sedangkan wanita dengan IMT sebelum hamil >35 dibandingkan dengan IMT 19-27 memiliki resiko Preeklamsia empat kali lipat. Pada studi kohort yang dilakukan oleh Conde-Agudelao dan Belizan pada 878.680 kehamilan, ditemukan fakta bahwa frekuensi preeklamsia pada

(33)

kehamilan di populasi wanita yang kurus (IMT< 19,8) adalah 2,6% dibandingkan 10,1% pada populasi wanita yang gemuk (IMT> 29,0).

n. Kondisi sosioekonomi

Faktor lingkungan memiliki peran terhadap terjadinya hipertensi pada kehamilan. Pada wanita dengan sosioekonomi baik memiliki resiko yang lebih rendah untuk mengalami preeklamsia. Kondisi sosioekonomi pasien di RS dapat dilihat melalui sistem pembayarannya.

o. Frekuensi ANC

Pal A dkk menyebutkan bahwa eklamsia banyak terjadi pada ibu yang kurang mendapatkan pelayanan ANC yaitu sebesar 6,14% dibandingkan dengan yang mendapatkan ANC sebesar 1,97%. Studi case control di Kendal menunjukkan bahwa penyebab kematian ibu terbesar (51,8%) adalah perdarahan dan eklamsia. Kedua penyebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan pelayanan antenatal yang memadai atau pelayanan berkualitas dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan.

4. Penatalaksanaan

Menurut Institute of Obstetricians and Gynaecologist Royal College of physicians of Ireland (2011) , penatalaksanaan preeklamsia berupa:

(34)

a. Preeklamsia

Terjadi pada 15-25% wanita dengan hipertensi kronis yang berujung pada preeklamsia. Rata-rata terjadi pada minggu ke 32 kehamilan. Maka daripada itu penatalaksanaan hipertensi kehamilan seharusnya terfokus pada monitoring ibu dan janin apakah sudah berkembang menjadi preeklamsia, hipertensi berat ataupun ancaman pada janin. Minimal analisa urin dan pemeriksaan tekanan darah dilakukan setiap minggu. Tempat perawatan : komponen dalam perawatan meliputi unit rumah sakit dan dokter umum dapat digunakan dalam penanganan preeklamsia dan hipertensi kehamilan tanpa proteinuria.

Kelayakannya tergantung pada jarak rumah sakit, pemenuhan kebutuhan pasien dan progres preeklamsia yang lambat.

Evaluasi awal : konfirmasi peningkatan tekanan darah yang dilakukan berulang-ulang dan pemeriksaan ekskresi protein urin merupakan bagian dari evaluasi awal. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan jika ada peningkatan tekanan darah yang berkelanjutan antara 90-99 mmHg dan seharusnya dilakukan monitor: tes fungsi renal termasuk asam urat, elektrolit serum, tes fungsi hati dan hitung darah lengkap. Pemeriksaan fetus dengan USG untuk mengevaluasi berat janin, progress dari pertumbuhan janin, indeks cairan amnion dan umbilical artery Doppler velocimetry harus dilakukan pada saat diagnosis setiap 4 minggu.

(35)

b. Penatalaksanaan Hipertensi Kehamilan Tanpa Proteinuria dan Preeklamsia.

Terapi medis hipertensi ringan belum menunjukkan peningkatan hasil pada neonatus dan mungkin bisa menutupi diagnosis dalam perubahan yang mengarah pada hipertensi berat.

Penatalaksanaan seharusnya dapat mencegah terjadinya hipertensi sedang maupun berat. Dengan target menurunkan atau memperkecil komplikasi seperti gangguan pada serebrovaskular.

Untuk wanita tanpa masalah kesehatan yang mendasar, obat anti hipertensi perlu digunakan untuk menjaga tekanan sistolik pada 130-155 mmHg dan tekanan diastolik 80-105 mmHg. Untuk wanita yang sudah memiliki masalah kesehatan yang mendasar, seperti penyakit ginjal dan diabetes, perlu menjaga tekanan darahnya pada tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan tekanan diastol 80-89 mmhg.

Labetalol adalah campuran antara alfa dan beta adrenergik antagonis yang dapat menurunkan tekanan darah ibu tanpa adanya efek pada janin. Dosis inisial diberikan dengan 100 mg, dua sampai tiga kali perhari. Dosis ini dapat diberikan sampai dosis maksimum yaitu 600 mg, 4 kali sehari. Perlu diperhatikan bahwa labetalol ini kontra indikasi pada wanita dengan riwayat asma.

(36)

Metildopa adalah obat antihipertensi yang bekerja secara sentral sehingga tidak memeiliki efek samping pada sirkulasi uteroplasenta. Metildopa diberikan dengan dosis mulai dari 250 mg, tiga kali sehari sampai dengan 1 g , tiga kali sehari. Metildopa tidak sesuai untuk kondisi yang membutuhkan kontrol hipertensi secara tepat, karena untuk mencapai efek terapinya metildopa membutuhkan waktu 24 jam. Semakin tinggi dosis metildopa yang digunakan, maka akan meningkatkan efek samping seperti depresi dan sedasi.

Nifedipin adalah kalsium antagonis, obat ini merupakan antihpertensi yang potensial dan sebaiknya tidak diberikan secara sublingual karena dapat menyebabkan penurunan tekanan darah secara cepat dan kemudian dapat membahayakan janin. Berbeda dengan nifedipine yang bekerja secara long acting (Adalat LA) tidak menyebabkan terjadinya efek samping pada sirkulasi uteroplasenta. Untuk kontrol hipertensi, nifedipin diberikan mulai dari dosis 30 mg/hari sampai dengan 120 mg/hari. Jika dosis inisial dari obat-obat tersebut gagal untuk mengkontrol tekanan darah secara adekuat, dosis tersebut perlu ditingkatkan secara bertahap sampai pada dosis maksimum. Jika kontrol tekanan darah yang adekuat belum tercapai, mungkin diperlukan obat antihipertensi lainnya.

(37)

c. Preeklamsia berat

Pilihan pertama : jika pasien dapat mentoleransi terapi, dapat diberikan dosis inisial sebesar 200 mg secara oral. Biasanya dengan pemberian tersebut dapat memberikan hasil penurunan tekanan darah dalam waktu setengah jam. Dosis berikutnya dapat diberikan 30 menit setelahnya jika diperlukan.

Jika tidak ada respon dengan pemberian secara oral, maka control dapat dilakukan dengan bolus labetalol 50 mg secara berulang dan selanjutnya dengan infus labetalol.

Infus bolus 50 mg diberikan minimal dalam 5 menit, maka efeknya akan muncul pada 10 menit berikutnya. Dapat diulang lagi jika tekanan darah tidak turun dari 160/105. Dosis dapat diberikan mulai dari 50 mg sampai dosis maksimum 200 mg dengan interval 10 menit.

Jika setelah pemberian labetalol secara intravena tidak menurunkan tekanan darah dibawah 160/105 mmHg dalam satu sampai satu setengah jam, maka perlu diberikan obat antihipertensi pilihan ke dua.

Pilihan kedua : hydralazine dapat diberikan dengan bolus 2,5 mg. Dapat diulang setiap 20 menit sampai dosis maksimum 20 mg.

Dapat diikuti dengan infus hydralazin 40 mg dalam 40 ml normal saline dengan 1-5 ml/jam.

(38)

Nifedipine sebaiknya tidak diberikan secara sublingual untuk wanita hipertensi. Bisa terjadi hipotensi bersamaan dengan pemberian nifedipine dan magnesium sulfat, maka daripada itu nifedipine diresepkan pada wanita dengan hipertensi berat.

Nifedipine oral dapat diberikan dengan 3 preparat: kapsul, modifikasi dengan 2 kali dosis regular dalam 12 jam dan modifikasi dengan tablet dosis regular dalam 24 jam.

Magnesium sulfat diberikan untuk penanganan kasus preeklamsia berat sebagai pencegahan eklamsia. Magnesium Sulfat diberikan dengan dosis awal lalu diikuti dengan pemberian secara infus selama 24 jam atau sampai 24 jam setelah partus.

Dosis awal magnesium sulfat yaitu 4 gram secara intravena selama 30 menit. Dosis kontrol yaitu 1 gram magnesium sulfat intravena per jam. Untuk menghindari kesalahan dalam peresepan, maka magnesium sulfat sebaiknya diberikan dalam pre-mixed solution.

Pre-mixed magnesium sulfat tersedia dengan 2 preparat:

Magnesium Sulfat 4 g dalam 100 ml. Sebaiknya diberikan secara intravena dalam 30 menit sebagai dosis bolus. Magnesium Sulfat 6 g dalam 500 ml. Sebaiknya diberikan melalui volumetric pump dengan 25 ml/jam (1 gram/jam magnesium sulfat). Efek samping pemberian magnesium sulfat dapat berupa paralisis motorik, hilangnya refleks tendon, depresi pernapasan, aritmia pada jantung. Untuk menghindari efek samping tersebut, maka perlu

(39)

dilakukan monitoring dalam 4 jam berupa EKG, urin output, refleks tendon diperiksa setiap 4 jam. Pemberian magnesium sulfat harus dikurangi jika sudah tidak ada refleks tendon dan frekuensi pernapasan dibawah 12 kali per menit. Jika terjadi oliguria dan gangguan pada konduksi jantung, maka hentikan pemberian magnesium sulfat dan berikan kembali setelah urine output membaik (IOG Ireland, 2011).

B. Clinical Pathways

1. Definisi Clinical Pathways

Integrated Care Pathway atau dikenal juga dengan nama lain seperti Clinical Pathways, critical care pathway, coordinated care pathway, atau caremaps. ICP pertama dikembangkan pada tahun 1985-1986 oleh New England Medical Centre, Boston, kemudian diadopsi oleh rumah sakit - rumah sakit di Arizona, Florida, dan Rhode Island di USA pada tahun 1986- 1988. Australia dan UK mulai mengaplikasikan ICP ini pada tahun 1989 dan pada pertengahan tahun 1990 mulai berkembang ke Negara - negara di Afrika dan Asia seperti South Afrika, Saudi Arabia, Jepang, Korea, dan Singapura (Davis, 2005).

Clinical Pathways merupakan format dokumentasi multidisiplin.

Format ini dikembangkan untuk pengembangan multidisiplin (dokter, perawat, rehabilitasi, gizi, dan tenaga kesehatan lain) yang diciptakan

(40)

tidak terlalu rumit dan panjang. Pada format pengkajian multidisiplin menunjukkan format pengkajian awal yang memungkinkan diisi oleh berbagai disiplin ilmu. Pengisian ini terdiri dari data riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan pengkajian skrining lainnya yang diisi oleh multidisiplin sesuai kesepakatan. (Croucher 2005)

Clinical Pathways adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit (Firmanda : 2005).

Sasaran dari Clinical Pathways adalah benar orang (the right people), benar instruksi (the right order), benar tempat (in the right place), melakukan hal yang benar (doing the right thing), pada waktu yang tepat (in the right time), dengan hasil yang benar (with the right outcomes), dan semua berfokus pada pengalaman pasien (all with attention to the patient experience) (Davis, 2005).

2. Komponen dari Clinical Pathways

Empat komponen utama dari Clinical Pathways meliputi (Hill, 1998 dalam (Feuth 2007)1 :

a. Kerangka waktu

Kerangka waktu menggambarkan tahapan berdasarkan pada hari perawatan (misalnya hari 1, hari 2) atau berdasarkan tahapan

(41)

pelayanan misalnya fase pre operasi, intra operasi dan pasca operasi.

b. Kategori asuhan

Kategori asuhan berisi aktifitas yang menggambarkan asuhan seluruh tim kesehatan yang diberikan kepada pasien. Aktivitas dikelompokkan berdasarkan jenis tindakan (misal: tindakan, pengobatan, pemeriksaan laboratorium, nutrisi, aktivitas) pada jangka waktu tertentu.

c. Kriteria hasil

Kriteria hasil memuat hasil yang diharapkan dari standar asuhan yang diberikan, meliputi kriteria jangka panjang (menggambarkan kriteria hasil dari keseluruhan asuhan) dan jangka pendek (menggambarkan kriteria hasil pada setiap tahapan pelayanan pada jangka waktu tertentu).

d. Pencatatan varian

Lembaran varian mencatat dan menganalisis deviasi dari standar yang ditetapkan dalam Clinical Pathways. Kondisi pasien yang tidak sesuai dengan standar asuhan atau standar yang tidak bisa dilakukan dicatat dalam lembar varian.

3. Tujuan penerapan Clinical Pathways

Implementasi Clinical Pathways dapat menjadi sarana dalam terwujudnya tujuan akreditasi rumah sakit yakni dalam meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, meningkatkan keselamatan pasien

(42)

rumah sakit dan meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat serta sumber daya rumah sakit (Depkes 2010)

Tujuan dari penerapan Clinical Pathways adalah menjamin tidak ada aspek-aspek penting dari pelayanan yang dilupakan. Clinical Pathways memastikan semua intervensi dilakukan secara tepat waktu dengan mendorong staf klinik untuk bersikap pro-aktif dalam perencanaan pelayanan. Clinical Pathways diharapkan dapat mengurangi biaya dengan menurunkan length of stay dan tetap memelihara mutu pelayanan (Djasri 2006)

Tujuan utama implementasi Clinical Pathways menurut Depkes RI (2010) adalah untuk:

a. Memilih “best practice” pada saat pola praktek diketahui berbeda secara bermakna.

b. Menetapkan standar yang diharapkan mengenai lama perawatan dan penggunaan pemeriksaan klinik serta prosedur klinik lainnya.

c. Menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi yang berbeda dalam suatu proses serta menyusun strategi untuk mengkoordinasikan agar dapat menghasilkan pelayanan yang lebih cepat dengan tahapan yang lebih sedikit.

d. Memberikan peran kepada seluruh staf yang terlibat dalam pelayanan serta peran mereka dalam proses tersebut.

e. Menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa data proses pelayanan sehingga provider dapat

(43)

mengetahui seberapa sering dan mengapa seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan sesuai standar.

f. Mengurangi beban dokumentasi klinik.

g. Meningkatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada pasien, misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih tepat tentang rencana pelayanan.

4. Kelebihan Clinical Pathways

Banyak rumah sakit mulai menerapkan Clinical Pathways dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien, karena penggunaan Clinical Pathways memiliki kelebihan antara lain sebagai berikut:

a. Clinical Pathways merupakan format pendokumentasian multidisiplin. Format ini dapat memberikan efisiensi dalam pencatatan, dimana tidak terjadi pengulangan atau duplikasi penulisan, sehingga kemungkinan salah komunikasi dalam tim kesehatan yang merawat pasien dapat dihindarkan.

b. Meningkatkan peran dan komunikasi dalam tim multidisiplin sehingga masing-masing anggota tim termotivasi dalam peningkatan pengetahuan dan kompetensi.

c. Terdapat standarisasi outcome sesuai lamanya hari rawat, sehingga akan tercapai effective cost dalam perawatan.

d. Dapat meningkatkan kepuasan pasien karena pelaksanaan discharge planning kepada pasien lebih jelas.

(44)

5. Kekurangan Clinical Pathways

Selain mempunyai kelebihan dalam penggunaan Clinical Pathways, perlu dicermati juga kekurangan yang ditemui dalam penerapan format Clinical Pathways ini, antara lain sebagai berikut:

a. Dokumentasi Clinical Pathways ini membutuhkan waktu yang relatif lama dalam pembentukan dan pengembangannya.

b. Tidak terlihat proses keperawatan secara jelas karena harus menyesuaikan dengan tahap perencanan medis, pengobatan dan pemeriksaan penunjang lainnya.

c. Format dokumentasi hanya digunakan untuk masalah spesifik, contoh format Clinical Pathways untuk bedah tulang tidak dapat digunakan untuk unit bedah syaraf. Sehingga akan banyak sekali format yang harus dihasilkan untuk seluruh pelayanan yang tersedia

6. Tahapan penyusunan Clinical Pathways

Berikut ini beberapa tahapan penyusunan Clinical Pathways menurut Firmanda dalam (Sardjito 2007)

a. Pembentukan tim penyusun Clinical Pathways. Tim penyusun Clinical Pathways terdiri dari staf multidisiplin dari semua tingkat dan jenis pelayanan. Bila diperlukan, tim dapat mencari dukungan dari konsultan atau institusi diluar rumah sakit seperti organisasi profesi sebagai narasumber. Tim bertugas untuk menentukan dan melaksanakan langkah-langkah penyusunan Clinical Pathways.

(45)

b. Identifikasi key players. Identifikasi key players bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam penanganan kasus atau kelompok pasien yang telah ditetapkan untuk merencanakan focus group dengan key players bersama dengan pelanggan internal dan eksternal.

c. Pelaksanaan site visit di rumah sakit. Pelaksanaan site visit di rumah sakit bertujuan untuk mengenai praktik yang sekarang berlangsung, menilai sistem pelayanan yang ada dan memperkuet alasan mengapa Clinical Pathways perlu disusun. Jika diperlukan, site visit internal perlu dilanjutkan dengan site visit eksternal setelah sebelumnya melakukan identifikasi partner benchmarking. Hal ini juga diperlukan untuk mengembangkan ide.

d. Studi literatur. Studi literatur diperlukan untuk menggali pertanyaan klinis yang perlu dijawab dalam pengambilan keputusan klinis dan untuk menilai tingkat dan kekuatan bukti ilmiah. Studi ini sebaiknya menghasilkan laporan dan rekomendasi tertulis.

e. Diskusi kelompok terarah. Diskusi kelompok terarah atau focus group discussion (FGD) dilakukan untuk mengenal kebutuhan pelanggan (internal dan eksternal) dan menyesuaikan dengan kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan tersebut serta untuk mengenal kesenjangan antara harapan pelanggan dan pelayanan yang diterima. Lebih lanjut diskusi kelompok terarah juga perlu dilakukan untuk memberi masukan dalam pengembangan

(46)

indikator mutu pelayanan klinis dan kepuasan pelanggan serta pengukuran dan pengecekan.

f. Penyusunan pedoman klinik. Penyusunan pedoman klinik dilakukan dengan mempertimbangkan hasil site visit, hasil studi literatur (berbasis bukti ilmiah) dan hasil diskusi kelompok terarah.

Pedoman klinik in perlu disusun dalam bentuk alur pelayanan untuk diketahui juga oleh pasien.

g. Analisis bauran kasus. Analisis bauran kasus dilakukan untuk menyediakan informasi penting baik pada saat sebelum dan setelah penerapan Clinical Pathways, meliputi: length of stay, biaya per kasus, obat-obatan yang digunakan, tes diagnosis yang dilakukan, intervensi yang dilakukan, praktisi klinis yang terlibat dan komplikasi.

h. Menetapkan sistem pengukuran proses dan outcome. Contoh ukuran-ukuran proses antara lain pengukuran fungsi tubuh dan mobilitas, tingkat kesadaran, temperatur, tekanan darah, fungsi paru dan skala kesehatan pasien (wellness indicator).

i. Mendesain dokumentasi Clinical Pathways. Penyusunan dokumentasi Clinical Pathways perlu memperhatikan format Clinical Pathways, ukuran dan kertas. Perlu diperhatikan bahwa penyusunan dokumentasi ini perlu mendapatkan ratifikasi oleh Instalasi Rekam Medik untuk melihat kesesuaian dengan dokumentasi lainnya.

(47)

C. Lama Rawat (Length of Stay)

1. Definisi

Lama Rawat (Length of Stay) menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai LOS yang ideal antara 6 - 9 hari (Depkes, 2005).

Fokus rumah sakit dalam pemberian pelayanan perawatan yang berkualitas bertujuan untuk memulangkan pasien lebih awal dengan aman ke rumahnya. Hari rawat yang pendek akan memberi keuntungan antara lain penghematan biaya dan sumber yang lebih sedikit terhadap rumah sakit terutama bagi pasien sendiri (Imbalo S., 2007).

Dalam beberapa kasus tidak cukup hanya mencatat tanggal masuk dan keluar saja, tapi juga butuh mencatat jam pasien tersebut masuk perawatan dan keluar perawatan, terutama jika pasien tersebut keluar dalam keadaan meninggal. Lama hari rawat ini berkaitan dengan indikator penilaian efisiensi pengelolaan rumah sakit bersama dengan tiga indikator lainnya yaitu lamanya rata-rata tempat tidur tidak terisi (Turn Over Interval), presentase tempat tidur yang terisi atau presentase tingkat hunian tempat tidur (Bed Occupancy Rate), pasien

(48)

yang dirawat keluar dalam keadaan hidup dan mati per tempat tidur yang tersedia dalam periode tertentu (Bed Turn Over).

2. Faktor yang berpengaruh terhadap Lama Rawat (LOS)

Beberapa faktor baik yang berhubungan dengan keadaan klinis pasien, tindakan medis, pengelolaan pasien di ruangan maupun masalah adminstrasi rumah sakit bisa mempengaruhi terjadinya penundaan pulang pasien. Ini akan mempengaruhi LOS. Terutama untuk pasien yang memerlukan tindakan medis atau pembedahan, faktor-faktor yang berpengaruh tersebut antara lain;

Komplikasi atau infeksi luka operasi, faktor - faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi dan komplikasi pada umumnya, yaitu (Razi, Fakhrul, 2011):

a. Waktu / lama operasi

Makin lama waktu yang dibutuhkan untuk operasi maka akan mempengaruhi terhadap penyembuhan luka operasi dan juga akan meningkatkan terjadinya infeksi luka operasi, sehingga lama hari rawat akan lebih panjang.

b. Teknik operasi

Operasi yang menyebabkan kerusakan jaringan lebih luas akan mempunyai resiko terjadinya infeksi luka operasi yang lebih besar.

c. Jenis kasus atau penyakit

Kasus yang akut dan kronis akan memerlukan lama hari rawat yang berbeda, dimana kasus yang kronis akan memerlukan lama hari

(49)

rawat lebih lama dari pada kasus-kasus yang bersifat akut.

Demikian juga penyakit yang tunggal pada satu pasien akan mempunyai lama hari rawat lebih pendek dari pada penyakit ganda pada satu pasien (Barbara J., 2008; Krzysztof, 2011)

d. Tenaga dokter yang menangani atau pelaksana operasi

Faktor tenaga dokter yang menangani pasien cukup berperan dalam menentukan memanjangnya lama hari rawat, dimana perbedaan keterampilan antar dokter akan mempengaruhi kinerja dalam penanganan kasus, juga waktu memutuskan untuk melakukan tindakan (Lacy, Antonio M., 2008)

e. Umur pasien

Usia mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya resiko, serta sifat resistensi tertentu. Di samping itu, usia juga mempunyai hubungan yang erat dengan beragam sifat yang dimiliki oleh seseorang. Makin besar umur pasien maka akan memerlukan lama hari rawat lebih lama. Pada beberapa penelitian, faktor umur mempengaruhi panjang lama hari rawat pasien bedah. Pasien yang sudah lanjut usia (diatas 45 tahun) cenderung lebih panjang lama hari rawatnya dibandingkan dengan pasien usia muda. Afif &

Ahmad (2008) menemukan bahwa pasien usia 65 tahun ke atas berpotensi memiliki lama hari rawat yang lebih panjang.

f. Pemeriksaan penunjang medis

(50)

Banyak pemeriksaan penunjang diagnostik yang sebenarnya tidak dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis pasien, pemeriksaan yang berlebihan inilah yang menyebabkan pasien berada di rumah sakit lebih lama sehingga berakibat juga pada perpanjangan lama hari rawat. Demikian juga ketidaklengkapan tenaga dan fasilitas di unit penunjang (laboratorium, radiologi dan lain-lain) juga berpengaruh terhadap lama hari rawat yang disebut hospital bottle neck.

g. Kelas perawatan yang dipilih

Pasien yang dirawat pada kelas yang lebih tinggi akan mempunyai lama hari rawat lebih pendek dari pada pasien yang dirawat pada kelas yang lebih rendah. Kebanyakan mereka yang dirawat di kelas atau vip merupakan pasien dengan diagnosa yang lebih jelas, pasien sudah dapat memprediksi lama rawatnya dan kebetulan golongan pasien ini lebih berpendidikan (Adriani, 2008).

3. Indikator Buruknya Lama Rawat (LOS)

Lama hari rawat merupakan salah satu unsur atau aspek asuhan pelayanan di rumah sakit yang dapat dinilai dan diukur. Beberapa permasalahan jika lama hari rawat buruk diantaranya :

a. Meningkatnya resiko infeksi nosokomial.

Richard Johnson dan Jennifer Simpson (2009) menyebutkan bahwa lama hari rawat dapat bertambah karena adanya infeksi

(51)

nosokomial menjadi 13,3 hari, lebih lama 2 kali lipat dibandingkan daripada normalnya.

b. Menambah beban biaya perawatan kepada pasien dan keluarganya

Lama hari rawat pasien pasca operasi adalah hari rawat pasien sejak menjalani operasi sampai pada saat pasien pasca operasi perlu mendapat perhatian yang besar karena beberapa komplikasi dapat terjadi setelah operasi apabila tidak ditangani dengan baik, sehingga lama hari rawat pasien menjadi panjang yang akhirnya dapat menyebabkan dampak biaya perawatan menjadi meningkat baik terhadap pasien maupun terhadap pihak rumah sakit (Schimer B. & Sabiston Jr., 2005)

c. Pemborosan bagi rumah sakit

Merupakan pemborosan bagi rumah sakit (biaya operasional dari rumah sakit akan lebih besar). Di USA, tambahan biaya tersebut mencapai satu juta dollar per tahun dengan kapasitas 250 tempat tidur (Depkes, 2005).

D. Kepatuhan

1. Kepatuhan mengikuti pemeriksaan dan kepatuhan penggunaan obat Kepatuhan (adherence) secara umum didefinisikan sebagai tingkatan perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan,

(52)

mengikuti diet dan atau melaksanakan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan (WHO, 2003)

Kepatuhan adalah suatu perilaku dalam menepati suatu anjuran terhadap kebiasaan sehari-harinya dan dapat dinilai dengan skor penelitian. Suatu kepatuhan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, di mana pendidikan merupakan suatu dasar utama dalam keberhasilan pencegahan atau pengobatan (Tjokroprawiro, 2003).

2. Faktor Pendukung Kepatuhan

Faktor pendukung kepatuhan pasien dalam mengikuti pemeriksaan lanjutan dan kepatuhan dalam penggunaan obat mengacu pada teori Lawrence Green (1980) dalam Notoadmodjo (2003) yaitu

a. Pengetahuan

Menurut Notoadmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek. Pengetahuan yang cukup mengenai apa yang diintruksikan oleh tenaga kesehatan baik mengikuti pemeriksaan lanjutan maupun kepatuhan dalam penggunaan obat akan mendorong pasien untuk patuh dengan apa yang diperintahkan oleh tenaga kesehatan.

b. Motivasi untuk sembuh

Motivasi diartikan sebagai dorongan yang timbul dari diri sendiri seseorang secara sadar maupun tidak sadar membuat orang

(53)

berperilaku untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan kebutuhannya (Budioro: 2001). Motivasi untuk sembuh akan mendorong pasien untuk melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh tenaga kesehatan yang berorientasi pada satu tujuan untuk secepatnya pulih dari penyakit yang diderita.

3. Faktor Pendukung Ketidakpatuhan

Menurut Niven (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat kegiatan yaitu : a. Pemahaman tingkat intruksi

Seseorang tidak dapat memenuhi instruksi jika dia salah memahami tentang instruksi yang diberikan kepadanya. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh pasien

b. Kualitas interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Terdapat beberapa keluhan spesifik dari pasien dimana terdapat kurang minat yang diperlihatkan oleh tim medis, kurangnya empati, dan pasien hampir tidak memperoleh kejelasan tentang penyakitnya

c. Isolasi sosial dan keluarga

(54)

Keluarga dapat menjadi faktor-faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

d. Keyakinan, sikap dan kepribadian

Orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri.

4. Tindakan Mengurangi Ketidakpatuhan

Niven (2000) mengusulkan lima titik rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien :

a. Pasien harus mengembangkan tujuan kepatuhan serta memiliki keyakinan dan sikap yang positif terhadap suatu penatalaksanaan dan keluarga serta teman juga harus mendukung keyakinan tersebut.

b. Perilaku sehat sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, maka dari itu perlu dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku, tetapi juga untuk mempertahankan perubahan tersebut. Perilaku disini membutuhkan pemantau terhadap diri sendiri, evaluasi diri dan penghargaan terhadap perilaku yang baru tersebut.

(55)

c. Pengontrolan terhadap perilaku sering tidak cukup untuk mengubah perilaku itu sendiri. Faktor kognitif juga berperan penting.

d. Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga yang lain, teman dapat membantu mengurangi ansietas, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan, dan mereka sering menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.

e. Dukungan dari professional kesehatan, terutama berguna saat pasien menghadapi perilaku sehat yang penting untuk dirinya sendiri. Selain itu tenaga kesehatan juga dapat meningkatkan antusias terhadap tindakan tertentu dan memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi dengan program pengobatannya.

E. Penelitian Sebelumnya

Berikut ini beberapa penelitian yang membahas mengenai penerapan Clinical Pathways.

1. (Pahriyani 2014) dengan judul penelitiannya “ ImplementasiClinical Pathways terhadap putcome Klinik dan Ekonomik pada Pasien Acute Coronary Syndrom (ACS) di RSUP dr Sardjito Yogyakarta.

Tujuan penelitian tersebut adalah mengetahui perbedaan outcome klinik dan outcome ekonomik sebelum dan setelah implementasi

(56)

clinical pathway dalam tatalaksana terapi penyakit ACS. Penelitian tersebut dilakukan dengan rancangan retrospective cross sectional pada pasien ACS rawat inap di RSUP dr. Sardjito dari Januari 2013 – Mei 2014. Parameter outcome klinik menggunakan Length Of Stay (LOS) readmission rate dan in-hospital mortality serta untuk outcome ekonomik dihitung biaya total (cost of therapy) dari masing-masing tingkat keparahan penyakit. Data outcome klinik diperoleh dari catatan medik pasien selama dirawat sedangkan untuk biaya riil diperoleh dari bagian jaminan kesehatan. Hasil analisa statistik perbedaan rata-rata Length Of Stay (LOS) pada kedua kelompok 7,44 dan 6,31 hari (p<0.05), In Hospital Mortality (IHM) pada kelompok sebelum clinical pathway 12 pasien (17,6%) dan 6 pasien (9,2%) pada kelompok setelah Clinical Pathways (p<0,05), sedangkan untuk Readmission Rate (RR) tidak terdapat pasien yang kembali menjalani perawatan (0%) untuk kelompok sebelum implementasi dan setelah implementasi clinical pathway 1 pasien (1,7%) yang menjalani perawatan kembali (p<0,05).

Median biaya dari dua kelompok (sebelum dan sesudah implementasi Clinical Pathways adalah Rp. 50.383.652 dan Rp.

12.583.503 untuk keparahan I (p<0,05), Rp. 11.121.616 dan Rp.

13.305.502 untuk keparahan II (p<0,05), Rp. 37.064.546 dan Rp.

20.169.375 untuk keparahan III(p<0,05). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan outcome klinik dan

(57)

ekonomik sebelum dan sesudah implementasi Clinical Pathways pada tatalaksana acute coronary syndrome.

2. (Devitra 2011)2 dengan judul penelitian “ Analisis implementasi Clinical Pathways Kasus Stroke berdasarkan INA-CBGs di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2011”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis implementasi Clinical Pathways kasus stroke berdasarkan sistem INA-CBGs di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukit tinggi dengan menggunakan pendekatan sistem. Komponen input terdiri dari kebijakan, sumber daya tenaga, data pelayanan, sarana dan prasarana. Komponen proses terdiri dari strategi, upaya pelaksanaan, dan evaluasi serta komponen output yaitu tahap implementasi Clinical Pathways.

Data dikumpulkan dengan cara wawancara mendalam pada enam orang informan, melakukan observasi, dan telaah dokumen.

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukit tinggi pada bulan Maret sampai Juli 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rumah Sakit Stroke Nasional Bukit tinggi telah mensosialisasikan Clinical Pathways dengan mengeluarkan surat keputusan pembentukan Dokter Caser Manajer walaupun dalam pelaksanaannya belum terdapat prosedur tetap implementasi Clinical Pathways, data pelayanan yang dibutuhkan untuk penyusunan dan penerapan Clinical Pathways sudah cukup tersedia dan memadai, sarana dan prasarana untuk penerapan

(58)

Clinical Pathway sudah tersedia, SDM telah diberi pelatihan penyusunan dan penerapan Clinical Pathways namun belum efektif karena belum dibentuknya tim Clinical Pathways rumah sakit yang terdiri dari multidisplin ilmu yang terintegrasi untuk implimentasi Clinical Pathways.

3. (Rahmawati 2012) dengan judul penelitian “ Clinical Pathways dan Aplikasi Activity Based Costing Bedah Sesar di Rumah Sakit Undata Sulawesi Tengah. Penelitian tersebut dilakukan dengan rancangan kohort studi epidemiologi analitik non eksperimental yang mempelajari hubungan antara faktor resiko dengan efek atas penyakit. Model penelitian yang digunakan pada rancangan kohort adalah pendekatan secara longitudinal. Sampel yang digunakan sebelum Clinical Pathways sejumlah 62, sesudah Clinical Pathways sejumlah 124, dengan total ada 186 sampel yang digunakan, hasil penelitian Clinical Pathways dapat digunakan sebagai alat (entry point) untuk melakukan perbaikan dan revisi standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang bersifat dinamis berdasarkan pendekatan Evidence Base Medicine (EBM) dan Evidence Base Nurse serta dapat mengurangi LOS 4-6 hari, pencegahan infeksi nosokomial, kendali biaya dan meningkatkan mutu pelayanan kebidanan, perbedaan biaya menurut rekapitulasi SPM, SOP dan INA DRG’s berpengaruh pada variable cost nutrisi / gizi, obat-obatan, pemeriksaan penunjang medis dan alokasi

Referensi

Dokumen terkait

Dalam bab ini peneliti akan memaparkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai analisa pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Malang dalam memutus perkara Nomor

Kompetensi dasar merupakan kemampuan yang harus dikuasai oleh peserta didik pada setiap mata pelajaran di kelas tertentu dan dapat dijadikan acuan oleh guru untuk membuat

Impor Produk Kehutanan Sementara (Rekomendasi Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) .. Surat Pernyataan yang

Governance dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. 5) Direksi dalam penyelenggaraan tugas yang bersifat strategis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Desain Dashboard Information System untuk PAR mencakup Key Performance Indicator (KPI) yang diperlukan untuk tingkat keberhasilan dan manfaat

Dengan sifat-sifat penelitian kualitatif seperti yang diungkapkan menunjukkan bahwa jenis pendekatan ini dapat mengakomodir kebutuhan penelitian ini yang lebih

Berkaitan dengan hal di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian berkaitan dengan kegiatan bauran promosi ( promotional mix ) yang dilakukan oleh manajemen

Perundang-undangan yang Berhubungan Dengan Hiperkes dan Keselamatan Kerja didalam Pelatihan Hiperkes Bagi Dokter Perusahaan.. Diterbitkan oleh Bapelkes Provinsi