SKRIPSI
Oleh
NURUL EKA UTAMI HASIBUAN NIM: 151000316
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
NURUL EKA UTAMI HASIBUAN NIM: 151000316
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
Judul Skripsi : Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Pada Usia Dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
Nama Mahasiswa : Nurul Eka Utami Hasibuan Nomor Induk Mahasiswa : 151000316
Departemen : Epidemiologi
Tanggal Lulus : 27 Juni 2019
Telah diuji dan dipertahankan Pada Tanggal : 27 Juni 2019
TIM PENGUJI SKRIPSI
Ketua : drh. Rasmaliah, M.Kes.
Anggota : 1. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H.
2. Drs. Jemadi, M.Kes.
Pernyataan Keaslian Skripsi
Saya menyatakan dengan ini bahwa skripsi saya yang berjudul
‘Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Pada Usia Dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017’ beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Medan, Juni 2019
Nurul Eka Utami Hasibuan
Abstrak
Tuberkulosis ditetapkan Global Health Emergency sejak tahun 1993 oleh WHO.
Secara global, sekitar 10 juta orang tetap menderita penyakit ini setiap tahun dan tuberkulosis juga merupakan salah satu dari 10 pemicu utama kematian. Menurut WHO tahun 2017 sekitar 6,4 juta kasus baru tuberkulosis diseluruh dunia. Kasus baru tuberkulosis paru di Indonesia sebesar 420.994 kasus di tahun 2017 sedangkan BTA (+) sebesar 168.412 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain case series.
Populasi dan sampel sebanyak 223 orang (total sampling). Analisis statistik menggunakan uji Chi-Square. Proporsi tertinggi berdasarkan kelompok usia 45-59 tahun (29,6%), jenis kelamin laki-laki (70,0%), agama Islam (88,3%), suku Jawa (44,8%), pendidikan SMA/SLTA/SMK (67,3%), pekerjaan buruh (29,1%), dan tempat tinggal Kota Medan (61,0%), BTA (+) (55,2%), +1 (45,5%), pasien baru (97,8%), kategori I (97,8%), tidak ada riwayat (73,5%), putus berobat (48,0%), ada konversi (93,3%). Proporsi hasil pemeriksaan tertinggi berdasarkan usia adalah BTA (+) kelompok usia 15-59 tahun 57,1%, BTA (+) pada laki-laki 59,0%, BTA (+) pendidikan rendah 58,8%, BTA (+) kelompok bekerja 57,9%. Proporsi hasil akhir pengobatan tertinggi adalah buruk pada laki-laki (58,3%), buruk pada pendidikan rendah (61,8%), buruk pada kelompok tidak bekerja (61,0%).
Diharapkan kepada petugas rekam medik dan petugas tuberkulosis untuk melengkapi data dan informasi mengenai penderita tuberkulosis paru dan memberikan pengetahuan kepada penderita mengenai tatalaksana pengobatan untuk mencegah terjadinya kasus putus berobat.
Kata kunci: Tuberkulosis paru, karakteristik penderita
year and tuberculosis is also one of the 10 main triggers of death. According to WHO in 2017 there are around 6.4 million new cases of tuberculosis worldwide.
New cases of pulmonary tuberculosis in Indonesia amounted to 420,994 cases in 2017 while AFB (+) amounted to 168,412 cases. This study aims to determine the characteristics of pulmonary tuberculosis patients in adulthood at the Rumah Sakit Umum Haji Medan in 2017. This research is descriptive with a case series design.
The population and sample were 223 people (total sampling). Statistical analysis using the Chi-Square test. The highest proportion is based on the age group 45-59 years (29,6%), male sex (70,0%), Islam (88,3%), Javanese (44,8%), high school (67,3%), labor (29,1%), and Medan City residence (61,0%), AFB (+) (55,2%), +1 (45,5%), new patients (97,8%), category I (97,8%), no history (73,5%), dropping out of treatment (48,0%), conversion (93,3%). The highest proportion of examination results based on age is AFB (+) age group 15-59 years 57,1%, AFB (+) in men 59,0%, AFB (+) education is low 58,8%, AFB (+) the group works 57,9%. The highest proportion of treatment outcomes was poor in men (58,3%), poor in low education (61,8%), poor in the non-working group (61,0%). It is expected that medical record officers and tuberculosis officers to complete data and information about pulmonary tuberculosis sufferers and provide knowledge to patients regarding treatment procedures to prevent the occurrence of drop out cases.
Key words: Pulmonary tuberculosis, characteristics of patients
KehendakNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Pada Usia Dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017” yang merupakan salah satu prasyarat untuk dapat meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D selaku Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar membimbing penulis serta selalu memberikan masukan dan saran kepada penulis selama penulisan skripsi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
5. Bapak Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak Drs. Jemadi, M.Kes selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Ibu Dra. Lina Tarigan, Apt., M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik.
8. Dosen-dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat atas ilmu yang telah diajarkan selama ini kepada penulis.
9. Pegawai dan Staf Fakultas Kesehatan Masyarakat yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Direktur Rumah Sakit Umum Haji Medan serta seluruh staf bagian rekam medik yang telah membantu dalam melaksanakan penelitian.
11. Orang tua penulis Ayahanda Umar Doli Hasibuan, Ibunda Kartiwati Siregar, serta kedua adik Muhammad Fahmi Hasibuan dan Anggita Chairunnisa Hasibuan yang selalu mendampingi dan memberikan dukungan yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-teman yang selalu meluangkan waktu dan pikiran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Medan, Juni 2019
Nurul Eka Utami Hasibuan
Halaman Persetujuan i
Halaman Penetapan Tim Penguji ii
Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi iii
Abstrak iv
Abstract v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi viii
Daftar Tabel xi
Daftar Gambar xiii
Daftar Lampiran xvi
Daftar Istilah xvii
Riwayat Hidup xviii
Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 5
Tujuan umum 5
Tujuan khusus 5
Manfaat Penelitian 7
Tinjauan Pustaka 8
Definisi Tuberkulosis 8
Etiologi Tuberkulosis 8
Patogenesis 9
Gejala Penyakit 10
Cara Penularan 10
Klasifikasi Penderita Tuberkulosis Paru 11
Klasifikasi penderita berdasarkan pengobatan sebelumnya 11
Klasifikasi penderita berdasarkan pemeriksaan mikroskopik 11
Epidemiologi Tuberkulosis 12
Determinan Penyakit 14
Pencegahan Tuberkulosis Paru 17
Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru Di Indonesia 22
Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru 25
Kerangka Konsep 27
Metode Penelitian 28
Jenis Penelitian 28
Lokasi dan Waktu Penelitian 28
Populasi dan Sampel 28
Definisi Operasional 28
Metode Pengumpulan Data 33
Metode Analisis Data 33
Hasil Penelitian 34
Deskripsi Lokasi Penelitian 34
Analisis Deskriptif 36
Sosiodemografi penderita tuberkulosis paru 36
Hasil pemeriksaan 38
Derajat BTA (+) 39
Pengobatan sebelumnya 40
Kategori OAT 40
Riwayat penyakit penyerta 41
Hasil akhir pengobatan 41
Konversi sputum 42
Analisis Statistik 42
Hasil pemeriksaan berdasarkan usia 42
Hasil pemeriksaan berdasarkan jenis kelamin 43
Hasil pemeriksaan berdasarkan pendidikan 44
Hasil pemeriksaan berdasarkan pekerjaan 44
Hasil akhir pengobatan berdasarkan jenis kelamin 45
Hasil akhir pengobatan berdasarkan pendidikan 46
Hasil akhir pengobatan berdasarkan pekerjaan 46
Pembahasan 48
Sosiodemografi Penderita Tuberkulosis Paru 48
Usia 48
Jenis kelamin 49
Agama 50
Suku 51
Pendidikan 52
Pekerjaan 54
Tempat tinggal 55
Hasil Pemeriksaan 56
Derajat BTA (+) 57
Pengobatan Sebelumnya 58
Kategori OAT 59
Riwayat Penyakit Penyerta 60
Hasil Akhir Pengobatan 61
Konversi Sputum 62
Analisis Statistik 63
Hasil pemeriksaan berdasarkan usia 63
Hasil pemeriksaan berdasarkan jenis kelamin 64
Hasil pemeriksaan berdasarkan pendidikan 66
Hasil pemeriksaan berdasarkan pekerjaan 67
Hasil akhir pengobatan berdasarkan jenis kelamin 68
Hasil akhir pengobatan berdasarkan pendidikan 69
Hasil akhir pengobatan berdasarkan pekerjaan 70
Kesimpulan dan Saran 72
Kesimpulan 72
Saran 73
Daftar Pustaka 75
Lampiran 80
Daftar Tabel
No Judul Halaman
1 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Pada Usia Dewasa Berdasarkan Sosiodemografi yang meliputi Usia, Jenis Kelamin, Agama, Suku, Pendidikan, Pekerjaan, Tempat Tinggal di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
37
2
3
Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Pada Usia Dewasa Berdasarkan Hasil Pemeriksaan di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Pada Usia Dewasa Berdasarkan Derajat BTA (+) di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
39
39
4 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Pada Usia Dewasa Berdasarkan Pengobatan Sebelumnya di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
40
5 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Pada Usia Dewasa Berdasarkan Kategori OAT di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
40
6 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Pada Usia Dewasa Berdasarkan Riwayat Penyakit Penyerta di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
41
7 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Pada Usia Dewasa Berdasarkan Hasil Akhir Pengobatan di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
42
8 Distribusi Penderita Tuberkulosis Paru Pada Usia Dewasa Berdasarkan Konversi Sputum di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
42
9 Distribusi Proporsi Hasil Pemeriksaan Berdasarkan Usia di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
43
10
11
Distribusi Proporsi Hasil Pemeriksaan Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
Distribusi Proporsi Hasil Pemeriksaan Berdasarkan Pendidikan di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
43
44
12
13
14
15
Distribusi Proporsi Hasil Pemeriksaan Berdasarkan Pekerjaan di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
Distribusi Proporsi Hasil Akhir Pengobatan
Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
Distribusi Proporsi Hasil Akhir Pengobatan
Berdasarkan Pendidikan di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
Distribusi Proporsi Hasil Akhir Pengobatan
Berdasarkan Pekerjaan di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
45
45
46
47
1 Diagram bar distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan usia di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
48
2 Diagram pie distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan jenis kelamin di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
49
3 Diagram bar distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan agama di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
51
4 Diagram bar distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan suku di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
52
5 Diagram pie distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan pendidikan di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
53
6 Diagram bar distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan pekerjaan di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
54
7 Diagram pie distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan tempat tinggal di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
55
8
9
Diagram pie distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan hasil pemeriksaan di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017 Diagram pie distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan derajat BTA (+) di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
56
57
10 Diagram pie distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan pengobatan
sebelumnya di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
58
11 Diagram pie distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan kategori OAT di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
59
12 Diagram pie distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan riwayat penyakit penyerta di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
60
13 Diagram pie distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan hasil akhir
pengobatan di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
61
14 Diagram pie distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan konversi sputum di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
62
15
16
17
18
Diagram bar distribusi proporsi hasil pemeriksaan berdasarkan usia di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
Diagram bar distribusi proporsi hasil pemeriksaan berdasarkan jenis kelamin di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
Diagram bar distribusi proporsi hasil pemeriksaan berdasarkan pendidikan di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
Diagram bar distribusi proporsi hasil pemeriksaan berdasarkan pekerjaan di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
63
65
66
67
20
21
berdasarkan jenis kelamin di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
Diagram bar distribusi proporsi hasil akhir pengobatan berdasarkan pendidikan di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
Diagram bar distribusi proporsi hasil akhir pengobatan berdasarkan pekerjaan di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017
70
71
1 Surat Izin Survey Pendahuluan 80
2 Surat Izin Penelitian 81
3 Surat Selesai Penelitian 82
4 Jadwal Penelitian 83
5 Master Data 84
6 Output Analisis Data 90
CNR Case Notification Rate
DOTS Directly Observed Treatment Shortcourse
HIV Human Immunodeficiency Virus
KDT Kombinasi Dosis Tetap
MDR Multi Drug Resistant
MOTT Mycobacterium Other Than Tuberculosis OAT Obat Anti Tuberkulosis
PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
PMO Pengawas Menelan Obat
PPM Public-Private Mix
SDGS Sustainable Development Goals
SPS Sewaktu Pagi Sewaktu
TBC Tuberculosis
TCM Tes Cepat Molekuler
TOSS TB Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh WHO World Health Organization
XDR Extensively Drug Resistant
Riwayat Hidup
Penulis bernama Nurul Eka Utami Hasibuan berumur 21 tahun, dilahirkan di Medan pada tanggal 03 Oktober 1997. Penulis bergama Islam, anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Umar Doli Hasibuan dan Ibu Kartiwati Siregar.
Pendidikan formal dimulai di TK Dian Eka Wati tahun 2002. Pendidikan sekolah dasar di SD Budisatrya Medan tahun 2003-2009, sekolah menengah pertama di SMP Islam Al-Ulum Terpadu Medan tahun 2009-2012, sekolah menengah atas di SMA Negeri 3 Medan tahun 2012-2015, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Medan, Juni 2019
Nurul Eka Utami Hasibuan
Pendahuluan
Latar Belakang
Upaya kesehatan ialah sekumpulan kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat dalam menjaga dan menaikkan tingkat kesehatan masyarakat yang terdiri dari pencegahan dan pengobatan penyakit, serta pemulihan kesehatan yang dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. (Kementerian Kesehatan RI, 2009). Dalam UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009, upaya preventif, pengendalian, dan penuntasan penyakit menular dilaksanakan untuk memutus rantai penularan penyakit di masyarakat, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas, serta menekan dampak sosial ekonomi yang disebabkan oleh penyakit menular (Kementerian Kesehatan RI, 2009).
Penyakit menular masih menjadi permasalahan kesehatan di berbagai negara yang belum maju karena tingkat morbiditas serta mortalitas yang tinggi dalam waktu yang cepat. Penyakit ini dihasilkan dari perpaduan bermacam faktor yang saling berkontribusi. Faktor tersebut yakni lingkungan, agen penyebab penyakit, dan pejamu yang disebut segitiga epidemiologi (Widoyono, 2008).
Tuberkulosis ialah penyakit menular dan telah menyebabkan penyakit selama ribuan tahun yang lalu. Pada tanggal 24 Maret 1882, untuk pertama kalinya Robert Koch mengumumkan penemuannya yaitu penyebab penyakit Tuberkulosis (TBC) yaitu bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut tersebar ketika penderita tuberkulosis mengeluarkan bakteri ke udara, contohnya pada saat batuk (World Health Organization [WHO], 2018).
WHO sudah mengumumkan bahwa tuberkulosis adalah Global Health Emergency sejak tahun 1993. Meskipun tingkat kasus dan kematian telah menurun yaitu lebih dari 60 juta orang tercatat telah dirawat dan sembuh sejak tahun 2000.
Namun, secara global, sekitar 10 juta orang tetap menderita penyakit ini setiap tahun (orang dewasa lebih banyak menderita dibandingkan anak-anak dan lebih sering dialami laki-laki dibandingkan perempuan) dan tuberkulosis juga merupakan salah satu dari 10 pemicu utama kematian. Maka dari itu sampai sekarang tuberkulosis masih di prioritaskan di dunia dan merupakan tujuan SDGs (Sustainable Development Goals) (WHO, 2018).
Menurut Global Tuberculosis Report 2018 World Health Organization, sekitar 6,4 juta kasus baru tuberkulosis diseluruh dunia pada tahun 2017, jumlah kasus ini telah meningkat sejak tahun 2013, dimana 5,7-5,8 juta kasus baru dilaporkan setiap tahun terutama karena meningkatnya pelaporan kasus yang terdeteksi di India dan Indonesia. 6,4 juta kasus baru yang dilaporkan mewakili 64% dari perkiraan 10 juta kasus baru yang terjadi pada 2017. Tiga dari sepuluh negara menyumbang 80% dari 3,6 juta kesenjangan global antara lain India, Indonesia, dan Nigeria (WHO, 2018).
WHO mengkategorikan negara dengan beban tinggi untuk TBC berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC MDR, TBC dengan HIV. Sebanyak 48 negara di dunia masuk dalam kategori tersebut. Satu negara dapat masuk dalam satu indikator, keduanya, atau bahkan ketiga indikator tersebut. Indonesia, India, Thailand, China, dan 11 negara lainnya termasuk dalam tiga indikator. Hal tersebut
menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam masalah yang besar menghadapi TBC (Departemen Kesehatan RI, 2018).
Kasus baru tuberkulosis paru di Indonesia sebesar 420.994 kasus di tahun 2017. Jumlah kasus baru tuberkulosis paru dilihat dari jenis kelamin tahun 2017 menunjukkan laki-laki 1,4 kali menderita dibandingkan perempuan. Menurut Survey Prevalensi Tuberkulosis di Indonesia tahun 2013-2014, angka prevalensi Tuberkulosis Paru dengan pemeriksaan bakteriologi sebanyak 759 per 100.000 penduduk berusia diatas 15 tahun dan prevalensi tuberkulosis BTA (+) sebanyak 257 per 100.000 penduduk berusia diatas 15 tahun (Departemen Kesehatan RI, 2017).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017 jumlah kasus baru BTA (+) sebesar 168.412, provinsi dengan kasus tertinggi tahun 2017 adalah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Persentase BTA (+) di Jawa Barat sebanyak 18,76%, Jawa Timur sebanyak 13,41%, dan Jawa Tengah sebanyak 10,84%, sedangkan 3 provinsi dengan kasus terendah adalah Kalimantan Utara sebanyak 0,29%, Papua Barat sebanyak 0,31%, dan Gorontalo sebanyak 0,38%. Kasus BTA (+) berdasarkan jenis kelamin lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan pada tahun 2017. Persentase kasus BTA (+) untuk laki-laki sebanyak 60,45% dan perempuan sebanyak 39,55%. Sedangkan berdasarkan kelompok usia, persentase kasus baru BTA (+) tertinggi pada usia 45-54 tahun sebanyak 20,05%
dan terendah pada usia 0-14 tahun sebanyak 1,19% (Departemen Kesehatan RI, 2017).
Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara tahun 2017 menunjukkan CNR per 100.000 penduduk Sumatera Utara seluruh kasus Tuberkulosis sebesar 183,95%. Jumlah tertinggi penderita tuberkulosis paru BTA (+) yaitu Kota Medan sebanyak 3.207, Deli Serdang sebanyak 2.090, dan Langkat sebanyak 850, sedangkan yang terendah adalah Kota Binjai dengan 60 kasus. Berdasarkan jenis kelamin, persentase kasus BTA (+) terhadap suspek pada laki-laki sebesar 21% dan perempuan sebesar 15%. Jumlah BTA (+) diobati sebesar 15.097 dan 12.440 orang (82,40%) diantaranya dinyatakan sembuh. Sedangkan persentase keberhasilan pengobatan (success rate) di Sumatera Utara tahun 2017 sebesar 91,31% (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2017).
Pada tahun 2016, di Kota Medan terdapat jumlah kasus baru BTA (+) sebesar 2.829 kasus, jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2015 menjadi 3.111 dan tahun 2014 sebesar 3.047 kasus. Menurut jenis kelamin tahun 2016, jumlah BTA (+) pada laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Jumlah penderita laki-laki lebih banyak disebabkan perpindahan dan aktivitas yang lebih sering daripada perempuan. Kebiasaan merokok juga sangat berpengaruh secara signifikan dalam peningkatan risiko terkena tuberkulosis paru.
Pada tahun 2016 angka keberhasilan pengobatan BTA (+) sebesar 83,62% angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015 sebesar 88,79% dimana hal ini terjadi karena berbagai faktor. Ada 3 faktor yang mengakibatkan banyaknya kasus tuberkulosis paru, seperti masa pengobatan yang panjang yaitu sekitar 6-8 bulan yang menjadi penyebab penderita berhenti minum obat karena merasa tidak sakit lagi meskipun pengobatan masih berjalan, munculnya permasalahan TB MDR
(Multi Drug Resistant), dan peningkatan infeksi HIV/AIDS yang menyebar luas (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2016).
Berdasarkan hasil survey pendahuluan, pada tahun 2017 di Rumah Sakit Umum Haji Medan ditemukan sebanyak 223 orang yang menderita tuberkulosis paru.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, melihat masih adanya kasus tuberkulosis paru maka perlu dilaksanakan penelitian tentang karakteristik penderita tuberkulosis paru berdasarkan data dari rekam medik yang tersedia di Rumah Sakit Umum Haji Medan.
Rumusan Masalah
Belum diketahui karakteristik penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum. Mengetahui karakteristik penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017.
Tujuan khusus.
1. Mengetahui distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan sosiodemografi yakni usia, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal.
2. Mengetahui distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan hasil pemeriksaan.
3. Mengetahui distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan tingkat BTA (+).
4. Mengetahui distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan pengobatan sebelumnya.
5. Mengetahui distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan kategori OAT.
6. Mengetahui distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan riwayat penyakit penyerta.
7. Mengetahui distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan hasil akhir pengobatan.
8. Mengetahui distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa berdasarkan konversi sputum.
9. Mengetahui distribusi proporsi hasil pemeriksaan penderita tuberkulosis paru berdasarkan usia.
10. Mengetahui distribusi proporsi hasil pemeriksaan penderita tuberkulosis paru bersadarkan jenis kelamin.
11. Mengetahui distribusi proporsi hasil pemeriksaan penderita tuberkulosis paru bersadarkan pendidikan.
12. Mengetahui distribusi proporsi hasil pemeriksaan penderita tuberkulosis paru bersadarkan pekerjaan.
13. Mengetahui distribusi proporsi hasil akhir pengobatan penderita tuberkulosis paru berdasarkan jenis kelamin.
14. Mengetahui distribusi proporsi hasil akhir pengobatan penderita tuberkulosis paru berdasarkan pendidikan.
15. Mengetahui distribusi proporsi hasil akhir pengobatan penderita tuberkulosis paru berdasarkan pekerjaan.
Manfaat Penelitian
1. Sebagai media untuk mengembangkan wawasan peneliti dalam bidang kesehatan masyarakat terutama mengenai karakteristik penderita tuberkulosis paru.
2. Sebagai masukan bagi instansi terkait yaitu Rumah Sakit Umum Haji Medan sehingga dapat meningkatkan program pelaksanaan yang berkaitan dengan tuberkulosis paru agar lebih efektif.
3. Sebagai pengetahuan dan informasi kepada masyarakat mengenai karakteristik penderita tuberkulosis paru.
Tinjauan Pustaka
Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis ialah salah satu penyakit menular yang dikarenakan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Ada beberapa spesies Mycobacterium, yakni: M.
tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. Leprae dsb. yang dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Golongan bakteri Mycobacterium selain M. tuberculosis yang dapat memunculkan masalah pada saluran pernafasan disebut MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang beberapa waktu dapat membuat kesalahan diagnosa dan pengobatan (Departemen Kesehatan RI, 2018).
Etiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis diakibatkan oleh bakteri M. tuberkulosis yang masuk kedalam famili Mycobacteriaeae kemudian genus Mycobacterium. Mycobacterium tuberculosis yang paling banyak menginfeksi manusia ialah jenis humanus. Bakteri tuberkulosis memiliki dinding sel lipoid yang membuat bakteri tersebut kebal terhadap asam. Sehingga Robert Koch menggunakan sifat tersebut untuk mewarnainya. Maka dari itu, bakteri tersebut dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Bakteri tersebut membutuhkan 12 sampai 24 jam untuk mitosis, yang membuat penggunaan obat secara berselang dapat dilakukan (Danusantoso, 2012).
Bakteri tuberkulosis berbentuk basil, dapat hidup jika ada udara, mati jika di air panas (suhu 80°C bertahan 5 menit dan suhu 60°C bertahan 20 menit), dan mati jika terpapar sinar matahari (sinar UV). Pada suhu kamar dan ruangan lembab bakteri tuberkulosis dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama (Alsagaff &
Mukty, 2010).
Patogenesis
Menurut (Djojodibroto, 2012), patogenesis tuberkulosis paru dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Infeksi Primer
Orang yang pertama kali terkontaminasi bakteri tuberkulosis, di awal hanya menunjukkan reaksi seperti jika terdapat benda asing di saluran napas; hal ini disebabkan karena tubuh belum mengenal bakteri tuberkulosis. Bakteri tersebut hanya mengalami penghancuran oleh makrofag di dalam tubuh. Proses selanjutnya dari infeksi primer ditentukan oleh jumlah bakteri yang ada di dalam tubuh dan daya tahan tubuh. Orang yang berhasil melewati infeksi primer dan tetap sehat, ternyata tidak semua bakteri tuberkulosis berhasil dilawan. Bakteri tuberkulosis mampu bertahan di tubuh untuk beberapa saat bahkan hingga bertahun-tahun dengan posisi dorman.
2. Infeksi Pasca primer
Orang yang sebelumnya mendapat infeksi primer kemungkinan memiliki proses kekebalan dengan bakteri tuberkulosis, hal tersebut bisa dilihat dari tes tuberkulin yang menyebabkan efek reaksi positif. Apabila seseorang yang tidak sakit yang sebelumnya sudah mendapat infeksi primer dalam kondisi imun tubuh yang rendah, dapat memungkinkan bakteri tuberkulosis aktif kembali yang pada awalnya dalam posisi dorman.
Keadaan tersebut biasa muncul pada tahun-tahun berikutnya sesudah infeksi
primer. Turunnya imun tubuh dapat dikarenakan semakin bertambah usia, kebiasaan minum alkohol, gizi buruk, diabetes melitus dan HIV/AIDS.
Gejala Penyakit
Gejala penting penyakit tuberkulosis ialah batuk disertai dahak yang berlangsung dua minggu. Batuk bisa disertai dengan simtom lain seperti adanya darah pada dahak, batuk berdarah, napas sendat, mengeluarkan keringat saat malam hari tidak diikuti aktivitas jasmani, mengalami kenaikan suhu tubuh lebih dari 30 hari, tubuhtidak bertenaga, tidak memiliki nafsu makan, penurunan berat badan.
Penderita yang mengalami HIV positif, batuk tidak menggambarkan simtom tuberkulosis yang spesifik, sehingga gejala batuk dapat lebih dari dua minggu (Departemen Kesehatan RI, 2018).
Cara Penularan
Penderita tuberkulosis paru BTA (+) merupakan sumber penularan yaitu lewat droplet dahak yang dihasilkannya. Tetapi bukan seharusnya bahwa penderita yang hasil pemeriksaannya BTA (-) tidak menyimpan bakteri di dalam dahak. Hal ini dapat berlangsung sebab jumlah bakteri yang ada di dalam sampel ≤ dari 5.000 bakteri/cc dahak yang mengakibatkan kesulitan dalam mendeteksi bakteri dengan pengamatan mikroskopik langsung. Penderita mengeluarkan bakteri ke udara dalam bentuk droplet ketika bersin atau batuk yang apabila terhirup oleh orang sehat maka orang tersebut dapat terinfeksi tuberkulosis. Dalam satu kali batuk penderita dapat mengeluarkan kurang lebih 3000 percik dahak (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Klasifikasi Penderita Tuberkulosis Paru
Klasifikasi penderita berdasarkan pengobatan sebelumnya. Menurut Departemen Kesehatan RI (2011), klasifikasi penderita tuberkulosis berdasarkan pengobatan sebelumnya, yaitu:
1. Kasus baru ialah penderita yang sebelumnya tidak pernah minum obat atau sudah pernah diobati tetapi tidak lebih dari satu bulan. Hasil pemeriksaan dapat BTA (+) atau BTA (-).
2. Kasus kambuh (Relaps) ialah penderita tuberkulosis yang sebelumnya sudah pernah diobati dan hasil akhir pengobatannya sembuh atau pengobatan lengkap, kembali di diagnosa dengan BTA (+).
3. Kasus setelah putus berobat (Default) ialah penderita yang sudah diobati kemudian tidak berobat dua bulan atau lebih dengan BTA (+).
4. Kasus setelah gagal (Failure) ialah penderita BTA (+) yang setelah diobati tetap BTA (+) atau menjadi positif kembali pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus pindahan (Transfer In) ialah penderita yang dialihkan ke register berbeda untuk meneruskan pengobatan.
6. Kasus lain ialah seluruh kasus yang tidak sesuai dengan kriteria diatas, seperti riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui, sudah diobati namun hasil pengobatan tidak diketahui, diobati kembali dengan BTA (-).
Klasifikasi penderita berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopik. Menurut Departemen Kesehatan RI (2011) penderita tuberkulosis
paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopik diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Tuberkulosis paru BTA (+)
a. Sedikitnya 2 dari 3 hasil pemeriksaan dahak sewaktu-pagi-sewaktu BTA (+).
b. 1 sampel SPS menunjukkan BTA (+) diikuti rontgen dada menampilkan gambaran tuberkulosis.
c. Sedikitnya 1 atau lebih sampel menunjukkan BTA (+) setelah 3 sampel di pemeriksaan awal menunjukkan BTA (-) dan tanpa ditemukan perubahan setelah diberi antibiotik non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA (-)
a. Setidaknya 3 sampel SPS menunjukkan BTA (-).
b. Foto rontgen dada tidak normal yaitu menunjukkan ciri dari tuberkulosis.
c. Tidak ditemukan perubahan selepas pemberian antibiotik non OAT, bagi penderita yang negatif HIV.
d. Melalui hasil pertimbangan dokter untuk diberi obat.
Epidemiologi Tuberkulosis
Angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit tuberkulosis paru cenderung menunjukkan penurunan pada negara industri di dunia. Namun, sekitar tahun 1980, grafik tetap bahkan naik di daerah yang tinggi angka prevalensi HIV nya. Masyarakat yang sosial ekonominya rendah biasanya memiliki angka morbiditas tinggi sedangkan prevalensi tinggi terdapat pada daerah kota daripada
desa (Widoyono, 2008). Dalam epidemiologi akan diterangkan tentang distribusi dan frekuensi penyakit tuberkulosis paru yakni berdasarkan orang, tempat, dan waktu.
Berdasarkan orang. Tuberkulosis paru menginfeksi seluruh kelompok umur dan gender, juga pada kelompok masyarakat ekonomi menengah. Dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2017 jumlah penderita tuberkulosis paru BTA (+) terbanyak pada kelompok usia 45-54 tahun (20,05%), kemudian 35-44 tahun (19,05%), 25-34 tahun (19,03%), 15-24 tahun (16,47%), 55-64 tahun (15,54%), ≥ 65 tahun (8,67%), dan terendah 0-14 tahun (1,19%). Sedangkan jumlah penderita tuberkulosis paru BTA (+) ditemukan lebih tinggi pada laki-laki (60,45%) dan perempuan (39,55%) (Departemen Kesehatan RI, 2017).
Menurut penelitian Apsari (2018) penderita tuberkulosis paru terbanyak pada kelompok usia 35-44 tahun (23,6%), lalu 25-34 tahun (19,8%), 55-64 tahun (19,2%), 45-54 tahun (16%), 15-24 tahun (14,8%), dan terendah usia 65-74 tahun (6,6%). Berdasarkan jenis kelamin tertinggi pada laki-laki (74,8%) dan perempuan (25,2%). Dilihat dari suku penderita, tertinggi pada suku Batak (60,4%) dan terendah suku Minang (1,6%). Berdasarkan agama terbanyak adalah Kristen Protestan (52,2%), kemudian Islam (40,7%) dan Kristen Katolik (7,1%).
Berdasarkan pendidikan paling banyak yaitu tamat SMA (44,5%), sedangkan berdasarkan jenis pekerjaan paling banyak diderita oleh petani/supir/buruh (31,9%).
Berdasarkan tempat. Menurut WHO beban tuberkulosis paru terbesar diantara 22 negara di dunia 50% diantaranya bersumber dari Asia, Amerika serta
Afrika. Hampir seluruh negara Asia Tenggara termasuk sebagai 22 negara diatas kecuali Malaysia dan Singapura. Berdasarkan semua kejadian tuberkulosis di dunia, India berkontribusi 30%, China 15%, dan Indonesia 10% (Widoyono, 2008).
Dari data Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2016, provinsi dengan kasus BTA (+) tertinggi ialah Jawa Barat (15,17%), Jawa Timur (13,79%), Jawa Tengah (9,02%), sedangkan provinsi terendah adalah Kalimantan Utara (0,32%), Papua Barat (0,34%), dan Maluku Utara (0,57%) (Departemen Kesehatan RI, 2016).
Berdasarkan waktu. Dari hasil SKRT tahun 1986, tuberkulosis adalah pemicu mortalitas nomor 3 dan peringkat 10 penyakit tertinggi. Pada tahun 1992 jumlah pasien Tuberkulosis terus meningkat sehingga menjadi penyebab mortalitas ke-2 di masyarakat (Widoyono, 2008). Di tahun 2000 sampai 2015 terjadi penurunan kematian akibat tuberkulosis sebesar 22%, namun tuberkulosis masih menempati urutan ke-10 penyakit terbanyak di dunia (Departemen Kesehatan RI, 2018).
Terjadi peningkatan jumlah penderita BTA (+) di Indonesia dari tahun 2016-2017 yakni dari 156.723 orang menjadi 168.412 orang (Depkes RI, 2017).
Pada tahun 2017 jumlah penderita BTA (+) di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 14.883 orang, sedangkan di Kota Medan tahun 2017 sebanyak 3.207 orang dan daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Medan yaitu Kabupaten Deli Serdang sebanyak 2.050 orang (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2017).
Determinan Penyakit
Determinan tuberkulosis paru ialah:
Usia. Usia merupakan hal utama yang selalu diperhatikan pada saat penelitian epidemiologi. Menurut Singgih (1998) dalam Hanifah (2010) menjelaskan jika semakin bertambah usia maka semakin baik proses-proses perkembangan individu. Bertambahnya usia mempengaruhi pengetahuan dan sikap seseorang. Berdasarkan penelitian Dotulong, Sapulete dan Kandou (2015) menunjukkan bahwa distribusi penderita tuberkulosis terbanyak pada rentang usia 15-54 tahun yaitu 67%.
Jenis kelamin. Perempuan pada umumnya cenderung sering bersosialisasi sehingga tingkat pengetahuan yang mereka miliki lebih tinggi dari laki-laki.
Perempuan lebih banyak berbicara, berdiskusi, dan menggunakan media informasi untuk mengetahui masalah kesehatan sehingga pengetahuan perempuan lebih baik dari laki-laki (Alatas & Linuwih, 2013). Menurut Departemen Kesehatan RI (2014) dalam Dotulong dkk. (2015) perbandingan angka BTA (+) untuk laki-laki dan perempuan sekitar 1,5 kali lebih banyak untuk laki-laki. Perbandingan terbesar diantara laki-laki dan perempuan berada di Sumatera Utara yakni sekitar dua kali lipat.
Pekerjaan. Menurut Hurlock (1998) dalam Hanifah (2010) mengatakan bahwa pekerjaan ialah aktivitas yang dilaksanakan sehari-hari. Jenis pekerjaan berhubungan dengan tingkat perpindahan seseorang yang akan mempengaruhi terpaparnya bakteri tuberkulosis. Semakin tinggi perpindahan maka kontak dengan orang lain juga semakin tinggi. Apabila terdapat diantaranya yang menderita
tuberkulosis paru kemudian kontak dengan orang tersebut terus-menerus, maka kemungkinan tertular akan tinggi. Pekerjaan juga berkaitan dengan aktifitas yang dikerjakan, yang mempengaruhi imunitas atau tidak. Pekerjaan juga berhubungan dengan penghasilan seseorang sehingga mempengaruhi sosial ekonomi seseorang.
Status gizi. Menurut Nasoetion (1994) dalam Riyadi (2006) status gizi ialah kondisi kesehatan tubuh individu atau sekelompok orang yang disebabkan oleh pemasukan, penyerapan dan penggunaan nutrisi makanan. Status gizi dapat digunakan untuk mengetahui baik atau buruknya keadaan gizi individu atau kelompok. Indeks Masa Tubuh (IMT) ialah metode pengukuran yang digunakan untuk melihat status gizi seseorang. Apabila status gizi baik maka daya tahan tubuh akan baik. Sebaliknya, apabila status gizi buruk maka daya tahan tubuh akan buruk sehingga kemungkinan terserang penyakit khususnya tuberkulosis paru akan semakin tinggi. Hasil penelitian Mukholipah, Najmah dan Mutahar (2013) menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian tuberkulosis paru. Ini disebabkan karena dalam meningkatkan imunitas diperlukan nutrisi.
Sosial ekonomi. Status sosial ekonomi merupakan tinggi rendahnya kehormatan yang melekat pada seseorang berdasarkan jabatan yang dimilikinya dalam masyarakat berdasarkan pada mata pencaharian demi memenuhi kebutuhannya atau berdasarkan kepemilikan materi. Penyakit tuberkulosis paru cenderung terjadi pada masyarakat menengah kebawah. Hasil penelitian Mukholipah dkk. (2013) menerangkan ada hubungan antara sosial ekonomi dengan kejadian tuberkulosis paru. Status ekonomi rendah akan mempengaruhi daya beli
khususnya makanan bergizi yang akhirnya akan menurunkan status gizi sehingga akan lebih mudah terjangkit suatu penyakit.
Pencegahan Tuberkulosis Paru
Menurut Alsagaff dan Mukty (2010) pencegahan tuberkulosis paru dibedakan menjadi beberapa kategori, yaitu:
Pencegahan primer. Pencegahan tingkat pertama dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan seperti meningkatkan status gizi, istirahat yang cukup, berolahraga di lingkungan yang sehat dan memiliki udara bersih. Kemudian memberikan vaksin BCG untuk menaikkan daya tahan tubuh. Selain itu mengatasi faktor lingkungan seperti membiarkan sinar matahari masuk ke dalam rumah dengan membuat ventilasi, serta isolasi penderita selama menjalani proses pengobatan.
Pencegahan sekunder. Pencegahan tingkat kedua meliputi penemuan kasus yang dapat ditentukan menurut gejala yang terlihat, pemeriksaan fisik, bakteriologi, radiologi serta pemeriksaan lain yang dibutuhkan.
Gejala klinik. Gejala klinik terdiri dari batuk dalam waktu yang lama atau
lebih dari dua minggu, batuk berdarah, nyeri dada, napas sesak, malaise, berkeringat malam hari, tidak nafsu makan, dan berat tubuh berkurang.
Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik pada tuberkulosis paru dapat dilihat
melalui luas struktur paru yang abnormal. Di awal perjalanan penyakit biasanya tidak sulit atau bahkan sangat sulit menjumpai kelainan. Kelainan paru biasanya ditemukan di sekitar lobus atas khususnya sekitar apeks dan segmen posterior, serta skitar apeks lobus bawah. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai yaitu suara nafas
mengecil, ronki basah, amforik, suara napas bronkial, tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pemeriksaan bakteriologi. Pada tuberkulosis paru pemeriksaan bakteriologi sangat penting untuk menemukan basil tuberkulosis dalam penegakan diagnosis. Sampel yang digunakan dapat berupa dahak, bilasan bronkus/lambung, cairan pleura, kurasan bronkoalveolar, liquor cerebrospinal, feses, urin, atau jaringan biopsi. Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan cara mikroskopik atau kultur.
Pemeriksaan mikroskopik menggunakan metode pewarnaan Zeihl-Neilsen ataupun Kinyout Gobbet. Metode kultur menggunakan agar Lowenstein Jensen sebagai media pembiakannya. Biakan bermaksud untuk mendiagnosis pasti, dan mengetahui Mycobacterium tuberculosis dan MOTT.
Pemeriksaan mikroskopik untuk tuberkulosis paru memerlukan spesimen berupa dahak/sputum. Cara pengambilan dahak dilakukan 3 kali (SPS) yaitu sewaktu (saat datang pertama kali) – pagi (dahak pagi hari berikutnya) – sewaktu (saat datang kedua kali/ mengantar dahak pagi), bisa juga dilakukan 3 kali setiap pagi selama 3 hari berturut-turut. Hasil pemeriksaan di interpretasikan sebagai berikut, apabila 3 spesimen positif atau 2 spesimen positif, 1 spesimen negatif dikatakan BTA (+), 1 spesimen positif, 2 spesimen negatif, ulangi BTA 3 kali, apabila setelah diulang hasilnya 1 spesimen positif, 2 spesimen negatif dikatakan BTA (+), bila ketiga spesimen negatif dikatakan BTA (-).
Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM). Teknologi molekuler seperti Xpert/RIF dapat membaca DNA M. tuberculosis keseluruhan secara kualitatif
langsung dari spesimen tersebut, baik dahak juga selain dahak. Selain itu, juga dapat menemukan mutasi gen rpoB yang mengakibatkan resistansi dengan rifampisin.
Pemeriksaan Xpert/RIF mampu mendiagnosa tuberkulosis dan resistansi rifampisin dalam waktu yang singkat dan tepat.
Pemeriksaan TCM memerlukan sebanyak 2 spesimen dahak yang diperoleh dari Sewaktu-Sewaktu atau Sewaktu-Pagi dengan kualitas yang baik. Satu spesimen untuk diperiksa, sedangkan spesimen lain disimpan dan akan diperiksa jika spesimen yang pertama memberikan hasil invalid. Spesimen selain dahak yang dapat diperiksa menggunakan TCM adalah cairan serebrospinal, bilasan lambung, jaringan biopsi, dan aspirasi cairan lambung (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi menggunakan foto rontgen
dada pada tuberkulosis dapat menggambarkan bentuk yang berbeda-beda (multiform). Hasil pemeriksaan radiologi yang diperediksi sebagai bentuk tuberkulosis aktif apabila ditemukan bayangan opaque atau nodular di posterior lobus atas, superior lobus bawah, dan segmen apikal, adanya kaviti biasanya lebih dari satu yang dibatasi bayangan opaque, efusi pleura unilateral atau bilateral, bayangan bercak milier (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia [PDPI], 2006).
Pengobatan tuberkulosis paru. Dalam pengobatan tuberkulosis paru
bagian yang terpenting merupakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam pengobatan tuberkulosis yang tepat, yaitu: OAT harus diberikan dalam kombinasi yang tepat dan sedikitnya mengandung 4 jenis obat agar menghindari kemungkinan resistansi, dosis obat yang diberikan harus sesuai, dikonsumsi sesuai jadwal serta PMO bertugas mengawasi langsung hingga
pengobatan selesai, pengobatan dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan demi menghindari terjadinya kekambuhan (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
1. Tahap intensif
Pada tahap ini pasien diberi OAT setiap hari dan harus selalu diawasi oleh PMO secara langsung demi mencegah resistansi obat, apabila pengobatan pada tahap intensif dilaksanakan dengan benar umumnya pasien tidak dapat menularkan penyakit lagi dalam waktu 2 minggu, hampir seluruh pasien mengalami konversi yaitu dari BTA positif menjadi negatif dalam 2 bulan (Departemen Kesehatan RI, 2011).
2. Tahap lanjutan
Setelah tahap intensif selesai dilanjutkan dengan tahap lanjutan. Pada tahap ini OAT yang diberikan kepada pasien lebih sedikit, tetapi waktu mengonsumsinya lebih lama, tahap lanjutan bertujuan untuk menghilangkan bakteri persisten yang mengakibatkan timbulnya kekambuhan (Departemen Kesehatan RI, 2011).
Obat anti tuberkulosis (OAT).Menurut Kementerian Kesehatan RI (2011), jenis OAT yang berlaku di Indonesia sebagai berikut:
Tabel 1
Pengelompokan OAT
Golongan dan Jenis Obat
Golongan-1 Obat Lini Pertama
Isoniazid (H) Ethambutol (E)
Pyrazinamide (Z) Rifampicin (R) Streptomycin (S)
Golongan-2/Obat
suntik/Suntikan lini kedua
Kanamycin (Km) Amikacin (Am) Capreomycin (Cm) Golongan-3/Golongan
Floroquinolone
Ofloxacin (Ofx) Levofloxacin (Lfx)
Moxifloxacin (Mfx)
Golongan-4/Obat bakteriostatik lini kedua
Ethionamide (Eto) Prothionamide (Pto) Cycloserine (Cs)
Para amino salisilat (PAS)
Terizidone (Trd) Golongan-5/Obat yang
belum terbukti efikasinya dan tidak direkomendasikan WHO
Clofazimine (Cfz) Linezolid (Lzd) Amoxilin-Clavulanate (Amx-Clv)
Thioacetazone (Thz) Clarithromycin (Clr) Imipenem (Ipm)
Tabel 2
Jenis, Sifat, dan Efek Samping OAT Lini Pertama
Jenis Sifat Efek Samping
Isoniazid (H) Bakteriosidal Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan fungsi hati, kejang
Rifampisin (R) Bakteriosidal
Flu syndrome, gangguan gastrointestinal. Urine berwarna merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni, demam, skin rash, sesak nafas, anemia hemolitik
Pirazinamis (Z) Bakteriosidal Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout artritis
Streptomisin (S) Bakteriosidal
Nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan dan pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia, agranulositosis, trombositopeni
Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan,
Paduan obat anti tuberkulosis (OAT). Menurut Departemen Kesehatan RI (2011) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:
1. Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3.
2. Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
3. Selain dua kategori diatas, tersedia juga kombinasi obat sisipan (HRZE).
4. Kategori Anak: 2HRZ/4HR.
5. Untuk penatalaksanaan resistansi obat merupakan OAT lini kedua yaitu Kanamycin, Levofloksasin, Sikloserin, Ethionamide, Capreomisin, dan PAS, juga OAT lini pertama, yaitu Etambutol dan Pirazinamid.
6. Paduan obat kategori 1 dan 2 dijadikan dalam bentuk paket berupa kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Kombinasi dosis tetap merupakan kombinasi dari dua atau empat jenis obat yang dibuat menjadi satu tablet.
Dosis obat tergantung berat badan pasien. Paduan ini dijadikan kedalam satu paket untuk setiap pasien.
7. Paket kombipak terdiri dari rifampisin, isoniazid, etambutol, dan pirazinamid dalam bentuk paket obat lepas. Paduan OAT ini ditujukan untuk pasien yang terkena efek samping OAT kombinasi dosis tetap selama masa pengobatan.
Pencegahan tersier. Pencegahan tingkat ketiga bertujuan untuk mencegah bertambah parahnya suatu penyakit ataupun kecacatan dan kematian seperti melakukan pengobatan secara terpadu serta bertahap dan menangani pasien yang putus berobat. Memberikan makanan yang bergizi juga penting bagi penderita untuk mengatasi berkurangnya berat badan.
Program Penaggulangan Tuberkulosis Paru Di Indonesia
Penanggulangan tuberkulosis paru bertujuan untuk mencegah masyarakat dari penularan tuberkulosis dan untuk menghindari kejadian penyakit, kecatatan serta kematian. Untuk mencapai sasaran program penanggulangan Tuberkulosis
Nasional, Pemerintah Daerah harus menentukan sasaran penanggulangan tuberkulosis di wilayah masing-masing berdasarkan sasaran nasional dan mengacu pada Strategi Nasional (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis terdiri dari:
1. Peneguhan kepemimpinan program tuberkulosis
2. Pengembangan akses pelayanan tuberkulosis yang berkualitas 3. Penanganan faktor risiko
4. Pengembangan kemitraan
5. Pengembangan kemampuan masyarakat untuk menanggulangi tuberkulosis
6. Penegakan tatalaksana program
Dari tahun 1995, Program Nasional Tuberkulosis Paru menggunakan kebijakan DOTS menjadi strategi nasional. DOTS merupakan kebijakan komprehensif yang diterapkan oleh badan kesehatan dunia untuk menemukan dan mengobati penderita tuberkulosis paru, supaya peyebaran penyakit dapat berkurang di masyarakat.
Kunci keberhasilan DOTS adalah keteraturan minum obat setiap hari dan memeriksakan dahak pada saat yang ditentukan yang diawasi oleh pengawas yang ditunjuk oleh petugas kesehatan selama masa pengobatan. Kunci utama dalam strategi DOTS yaitu: diagnosa yang tepat, komitmen politik, ketersediaan obat, pengawasan dan pelaporan penderita yang berkesinambungan.
Pada tahun 2016 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia membentuk suatu strategi baru dalam menanggulangi penyakit tuberkulosis paru. Setiap
penderita tuberkulosis harus dicari dan diberi obat hingga sembuh agar supaya penyebaran tuberkulosis paru di Indonesia bisa diputuskan. Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam program ini, karena dukungan keluarga berpengaruh terhadap kepatuhan pasien untuk menelan obat dan semangat pasien selama pengobatan.
Strategi penanggulangan tuberkulosis paru yang semula DOTS saat ini ditingkatkan sebagai strategi yang lebih terpadu yaitu TOSS TB (Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh). Peralihan strategi tersebut dilakukan melalui:
1. Penemuan tersangka tuberkulosis paru pada populasi khusus (rumah tahanan, asrama, pesantren, lingkungan dengan penduduk yang banyak dan kumuh).
2. Peningkatan kemitraan dengan mengikutsertakan Rumah Sakit serta Klinik swasta disebut Public-Private Mix (PPM).
3. Pengembangan kerjasama layanan di fasilitas pelayanan kesehatan (TB- DM, TB-HIV, TB-Gizi).
Berdasarkan hasil laporan surveilans tuberkulosis tahun 2015 total kasus tuberkulosis yang ditemukan sebanyak 330.729 dengan success rate sebesar 84%.
Sedangkan 16% sisanya ialah yang putus berobat, resistensi obat yang diberikan, pindah tempat tinggal, dan meninggal (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Kendala lain ialah tingginya angka Multi DrugResistant (TB-MDR). TB- MDR dapat terjadi apabila pengobatan tidak dilaksanakan sampai selesai. Jika masalah MDR tidak ditanggulangi dengan benar dapat berubah menjadi Extensively Drug Resistant (XDR). Pemerintah mendorong semua petugas pelayanan
tuberkulosis baik pemerintah maupun swasta untuk memberi pelayanan terbaik dan lebih siaga terhadap penemuan kasus sedini mungkin demi mencegah kejadian MDR serta menyediakan pelayanan yang bermutu agar tidak terjadi kasus resistan obat. Kemudian pemerintah juga mengajak masyarakat khususnya keluarga untuk memberi dukungan kepada penderita selama masa pengobatan tuberkulosis sampai selesai.
Gerakan TOSS TB diharapkan dapat merealisasikan Indonesia Bebas Tuberkulosis tahun 2035 sebagai bentuk dari pengendalian tuberkulosis paru, dengan mencegah penyebaran tuberkulosis, mencari suspek yang memiliki gejala dan memberi pengobatan bagi penderita hingga sembuh. Menyediakan pengobatan tuberkulosis yang baik dan bermutu untuk mencegah resistansi (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2014), hasil pengobatan tuberkulosis paru dikategorikan menjadi:
1. Sembuh
Pasien tuberkulosis paru dikatakan sembuh apabila hasil pemeriksaan bakteriologi BTA (+) di awal pengobatan dan di akhir pengobatan menjadi BTA (-) dan pada pemeriksaan bakteriologi sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap
Pasien tuberkulosis paru dikatakan pengobatan lengkap apabila sudah menuntaskan seluruh pengobatan dengan lengkap dimana salah satu hasil
pemeriksaan pengobatan negatif sedangkan pada akhir pengobatan tidak diketahui hasil pemeriksaannya.
3. Gagal
Pasien tuberkulosis paru dikatakan gagal apabila hasil pemeriksaan bakteriologi tetap positif atau menjadi positif kembali di bulan ke-5 atau lebih dalam masa pengobatan atau jika ditemukan adanya resistansi obat selama pengobatan.
4. Meninggal
Pasien tuberkulosis paru yang meninggal saat belum mulai pengobatan atau dalam masa pengobatan.
5. Putus berobat (loss to follow up)
Pasien tuberkulosis paru dikatakan putus berobat apabila tidak melanjutkan pengobatan sedikitnya dua bulan terus-menerus atau lebih dan tidak memulai pengobatan.
6. Tidak di evaluasi
Pasien tuberkulosis paru yang hasil akhir pengobatannya tidak diketahui. Pasien pindah (transfer out) ke kab/kota lain juga masuk kedalam kategori ini dimana kab/kota sebelumnya tidak mengetahui hasil akhir pengobatan.
Kerangka Konsep
Kerangka konsep tentang karakteristik penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa, sebagai berikut:
Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Usia Dewasa 1. Sosiodemografi
Usia
Jenis kelamin Agama Suku Pendidikan Pekerjaan Tempat tinggal 2. Hasil pemeriksaan 3. Derajat BTA (+)
4. Pengobatan sebelumnya 5. Kategori OAT
6. Riwayat penyakit penyerta 7. Hasil akhir pengobatan 8. Konversi sputum
Gambar 1. Kerangka Konsep
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan desain case series.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Haji Medan dengan alasan tersedianya data yang dibutuhkan dan belum pernah dilaksankan penelitian tentang karakteristik penderita tuberkulosis paru tahun 2017 dilokasi tersebut.
Waktu penelitian. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Februari 2019 sampai dengan Juli 2019.
Populasi dan Sampel
Populasi. Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita tuberkulosis paru usia dewasa yang tercatat di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017 sebanyak 223 orang.
Sampel. Sampel penelitian ini adalah penderita tuberkulosis paru usia dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017. Besar sampel adalah sama dengan populasi (total sampling).
Definisi Operasional
1. Penderita tuberkulosis paru adalah pasien yang menderita tuberkulosis paru berdasarkan hasil pemeriksaan sputum yaitu BTA (+) dan BTA (-) dengan foto rontgen (+) dengan diagnosa dokter pada usia dewasa sesuai dengan yang tertera di kartu status.
2. Usia adalah usia penderita saat berobat sesuai dengan yang tertera di kartu status, yang dikategorikan atas :
1. 15-29 tahun 2. 30-44 tahun 3. 45-59 tahun 4. 60-74 tahun 5. ≥ 75 tahun
Untuk analisis statistik usia dikategorikan menjadi (Kementerian Kesehatan RI, 2013) :
1. Usia produktif yakni 15-59 tahun 2. Usia tua yakni ≥ 60 tahun
3. Jenis kelamin adalah ciri khas organ reproduksi yang dimiliki penderita sesuai dengan yang tertera di kartu status, yang dikategorikan menjadi :
1. Laki-laki 2. Perempuan
4. Agama adalah kepercayaan yang dianut oleh penderita sesuai dengan yang tertera di kartu status, yang dikategorikan atas :
1. Islam 2. Kristen 3. Budha
5. Suku adalah adat/tradisi yang dimiliki oleh penderita sesuai dengan yang tertera di kartu status, yang dikategorikan atas :
1. Jawa 2. Batak 3. Minang 4. Melayu 5. Aceh 6. Lain-lain
6. Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal terakhir yang ditempuh penderita, yang dikategorikan atas :
1. Tidak tamat SD 2. SD
3. SMP/SLTP 4. SMA/SLTA/SMK
5. Akademi/Perguruan tinggi
Untuk analisis statistik pendidikan dikategorikan menjadi : 1. Pendidikan rendah
2. Pendidikan tinggi
7. Pekerjaan adalah aktivitas rutin yang dilakukan setiap hari oleh penderita, yang dikategorikan atas :
1. Buruh
2. IRT/ tidak bekerja 3. Wiraswasta 4. Pegawai 5. Supir
6. Pelajar/ mahasiswa 7. Lain-lain
Untuk analisis statistik pekerjaan dikategorikan menjadi : 1. Bekerja
2. Tidak bekerja
8. Tempat tinggal adalah tempat dimana penderita berdomisili, dikategorikan menjadi :
1. Kota Medan 2. Luar Kota Medan
9. Hasil pemeriksaan adalah hasil pemeriksaan dahak penderita sebelum dilakukan pengobatan, dikategorikan menjadi :
1. BTA (+) 2. BTA (-)
10. Derajat BTA (+) adalah tingkat BTA sputum dengan hasil pemeriksaan positif, dikategorikan menjadi :
1. 1+
2. 2+
3. 3+
11. Riwayat pengobatan adalah riwayat pengobatan tuberkulosis paru yang dilihat dari pengobatan sebelumnya, yaitu :
1. Baru (belum pernah diobati/ pernah diobati kurang dari 1 bulan) 2. Pernah diobati (pernah diobati lebih dari 1 bulan)
12. Kategori OAT adalah paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia, dikategorikan menjadi :
1. Kategori I 2. Kategori II
13. Riwayat penyakit penyerta adalah penyakit lain yang diderita oleh penderita tuberkulosis paru, dikategorikan menjadi :
1. Diabetes Mellitus (DM)
2. Human Immunodeficiency Virus (HIV) 3. Tidak ada riwayat
14. Hasil akhir pengobatan adalah hasil pengobatan penderita tuberkulosis paru sesuai dengan yang tercatat di kartu, dikategorikan menjadi :
1. Sembuh
2. Pengobatan lengkap 3. Gagal
4. Putus berobat/ loss to follow-up 5. Tidak dievaluasi
Untuk analisis statistik hasil akhir pengobatan dikategorikan menjadi : 1. Buruk (gagal, putus berobat dan tidak dievaluasi)
2. Baik (sembuh dan pegobatan lengkap)
15. Konversi sputum adalah perubahan hasil pemeriksaan penderita tuberkulosis paru dari BTA (+) menjadi BTA (-) dalam 2 bulan sesuai dengan yang tercatat di kartu status, dikategorikan menjadi :
1. Ada konversi 2. Tidak ada konversi Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan diperoleh dari data sekunder yang berasal dari rekam medis penderita tuberkulosis paru di poli paru Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017.
Metode Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian diolah dengan bantuan program komputer.
Data dianalisis menggunakan uji statistik deskriptif dan data disajikan dalam bentuk narasi, tabel, maupun diagram.
Hasil Penelitian
Deskripsi Lokasi Penelitian
Sejarah Rumah Sakit Umum Haji Medan. Rumah Sakit Umum Haji Medan Provinsi Sumatera Utara didirikan dengan landasan hasrat untuk menciptakan sarana pelayanan kesehatan bernuansa Islami yang mengutamakan mutu dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh kebutuhan pelanggan.
Rumah Sakit Umum Haji Medan Provinsi Sumatera Utara yang terletak di Jl. Rumah Sakit Haji Kota Medan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 4 Juni 1992. Sejak tanggal 29 Desember 2011 Rumah Sakit Umum Haji Medan Provinsi Sumatera Utara secara resmi telah dikelola oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2011 tanggal 13 Desember 2011. Rumah Sakit Umum Haji Medan saat ini mempunyai 254 tempat tidur untuk rawat inap, hampir dua kali lipat sewaktu diresmikan. Demikian juga peralatan medis dan non medis telah diperbaharui untuk mengikuti perkembangan teknologi kedokteran. Sumber daya manusia seperti tenaga dokter spesialis, para medis dan non medis di Rumah Sakit Umum Haji Medan Provinsi Sumatera Utara sudah cukup memadai.
Upaya diatas, untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai visi dan misi Rumah Sakit Umum Haji Medan Provinsi Sumatera Utara.
Rumah Sakit Umum Haji Medan Provinsi Sumatera Utara saat ini semakin dikenal masyarakat, tercermin dari masyarakat yang dilayani terdiri dari semua golongan, agama dan etnis.
Rumah Sakit Umum Haji Medan Provinsi Sumatera Utara selain untuk pelayanan kesehatan bagi jemaah haji dan masyarakat umum juga melayani peserta Askes, Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek, asuransi kesehatan lain dan beberapa perusahaan terutama yang ada di Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam.
Saat ini Rumah Sakit Umum Haji Medan Provinsi Sumatera Utara telah siap menerima pasien BPJS.
Visi dan misi Rumah Sakit Umum Haji Medan.Visi RSU Haji Medan adalah menjadi “Rumah Sakit Unggulan dan Pusat Rujukan dengan Pelayanan Bernuansa Islami, Ramah Lingkungan Berdaya Saing sesuai Standar Nasional dan Internasional”. Untuk mewujudkan visi tersebut RSU Haji Medan mempunyai misi yaitu :
1. Meningkatkan profesionalisme, kompetensi sumber daya manusia RSU Haji Medan Provinsi Sumatera Utara yang memiliki intregitas dan religius.
2. Meningkatkan Kualitas sarana dan prasarana RSU Haji Medan sesuai standar Nasional dan Internasional dengan prinsip kenyamanan dan keselamatan.
3. Meningkatkan kesejahteraan sumber daya manusia RSU Haji Medan Provinsi Sumatera Utara melalui Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
4. Meningkatkan Kemudahan jangkauan pelayanan kesehatan.
5. Meningkatkan pelayanan yang berkualitas, transparan, bersih, ramah, aman dan nyaman serta lingkungan yang sehat bernuansa Go Green.
Tenaga kesehatan dan pelayanan di Rumah Sakit Umum Haji Medan.
Jumlah tenaga medis di RSU Haji Medan sebanyak 116 orang dokter umum dan spesialis, 204 orang perawat, 19 orang teknisi Medis, 18 orang pegawai khusus bidan, 7 orang pegawai khusus kefarmasian dan 1 orang pegawai khusus kesehatan masyarakat, dan 198 orang pegawai non kesehatan.
Analisis Deskriptif
Sosiodemografi penderita tuberkulosis paru. Hasil penelitian mengenai karakteristik penderita tuberkulosis paru pada usia dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2017, menunjukkan distribusi proporsi penderita tuberkulosis paru berdasarkan sosiodemografi (usia, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal) adalah sebagai berikut:
Proporsi penderita tuberkulosis paru berdasarkan usia tertinggi pada kelompok usia 45-59 tahun sebesar 29,6% (66 orang) dan yang terendah pada kelompok usia ≥ 75 tahun sebesar 3,1% (7 orang). Sedangkan untuk analisis statistik diketahui proporsi usia produktif sebesar 81,6% (182 orang) dan usia tua sebesar 18,4% (41 orang).
Proporsi penderita tuberkulosis paru berdasarkan jenis kelamin tetinggi adalah laki-laki sebesar 70% (156 orang) dan perempuan sebesar 30% (67 orang).
Proporsi penderita tuberkulosis paru berdasarkan agama tertinggi adalah Islam sebesar 88,3% (197 orang), kemudian Kristen sebesar 10,8% (24 orang) dan Budha sebesar 0,9% (2 orang). Proporsi penderita tuberkulosis paru berdasarkan suku tertinggi adalah Jawa 44,8% (100 orang) dan terendah adalah lain-lain sebesar 0,9%
(2 orang).
Proporsi penderita tuberkulosis paru berdasarkan pendidikan tertinggi adalah SMA/SLTA/SMK sebesar 67,3% (150 orang) dan terendah adalah Akademik/Perguruan tinggi sebesar 2,2% (5 orang). Sedangkan untuk analisis statistik diketahui proporsi pendidikan rendah sebesar 30,5% (68 orang) dan pendidikan tinggi sebesar 69,5% (155 orang).
Proporsi penderita tuberkulosis paru berdasarkan pekerjaan tertinggi adalah Buruh sebesar 29,1% (65 orang) sedangkan yang terendah adalah lain-lain sebesar 4,5% (10 orang). Sedangkan untuk analisis statistik diketahui proporsi yang bekerja sebesar 73,5% (164 orang) dan tidak bekerja sebesar 26,5% (59 orang). Proporsi penderita tuberkulosis paru berdasarkan tempat tinggal tertinggi adalah di Kota Medan sebesar 61,0% (136 orang) dan di Luar Kota Medan sebesar 39,0% (87 orang).
Untuk menyimpulkan penjelasan diatas, dapat dilihat dari tabel berikut : Tabel 1
Distribusi Proporsi Penderita Tuberkulosis Paru Pada Usia Dewasa Berdasarkan Sosiodemografi yang meliputi Usia, Jenis kelamin, Agama, Suku, Pendidikan, Pekerjaan, dan Tempat tinggal di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2017
Sosiodemografi Frekuensi Persen
Usia
15-29 tahun 56 25,1
30-44 tahun 60 26,9
45-59 tahun 66 29,6
60-74 tahun 34 15,2
≥ 75 tahun 7 3,1
Total 223 100
Jenis Kelamin
Laki-laki 156 70,0