• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN PERILAKU MASYARAKAT DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PERBAUNGAN TAHUN 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN PERILAKU MASYARAKAT DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PERBAUNGAN TAHUN 2019"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh

SISKA RIRIS SIAGIAN NIM. 151000399

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

SISKA RIRIS SIAGIAN NIM. 151000399

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

Telah diuji dan dipertahankan Pada tanggal: 11 November 2019

TIM PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Ir. Evi Naria, M.Kes.

Anggota : 1. Dr. dr.Taufik Ashar, M.K.M.

(5)

Pernyataan Keaslian Skripsi

Saya menyatakan dengan ini bahwa skripsi saya yang berjudul

“Hubungan Faktor Lingkungan Fisik dan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Perbaungan Tahun 2019” beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, November 2019

Siska Riris Siagian

(6)

Abstrak

Wilayah kerja Puskesmas Perbaungan merupakan daerah endemis DBD dengan Insidens Rate DBD sebesar 79/100.000 penduduk, diatas indikator nasional (<50/100.000 penduduk tahun 2018). Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis hubungan faktor lingkungan fisik (suhu, pencahayaan dan kelembaban) dan perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Perbaungan tahun 2019. Penelitian ini menggunakan metode survei yang bersifat analitik dengan desain penelitian case control. Jumlah sampel sebanyak 80 orang, yang terdiri dari 40 kasus dan kontrol. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah simpel random sampling. Data penelitian di analisis dengan uji Chi Square. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu ada hubungan antara suhu dengan p value (p=0,04) dan nilai (OR=0,259, 95%CI=0,103-0,655). Tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan nilai p velue (p=0,414) dan nilai (OR=0,636, 95%CI=0,215-1,883) dan tidak ada hubungan antara kelembaban dengan nilai p value (p=0,173) dan nilai (OR=0,532, 95%CI=0,215-1,318) dengan kejadian demam berdarah dengue di wilayah kerja Puskesmas Perbaungan tahun 2019. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan nilai p value (p=0,126) dan nilai (OR=0,441, 95%CI=0,154-1,259). Tidak ada hubungan antara sikap dengan nilai p value (p=0,261) dengan nilai (OR=0,600, 95%CI=0,246-1,463) dan tidak ada hubungan antara tindakan dengan nilai p value (p=0,646) dan nilai (OR=1,541, 95%CI=0,243-9,754) dengan kejadian demam berdarah dengue di wilayah kerja Puskesmas Perbaungan tahun 2019. Disarankan kepada Puskesmas diperlukan adanya tambahan penyuluhan kesehatan bagi masyarakat khususnya tentang demam berdarah dengue. Hal ini dapat dilakukan melalui sosialisasi pada saat Posyandu, atau pada saat ke Puskesmas dan perlu meningkatkan kegiatan survei jentik, pemberian bubuk abate ditiap rumah atau tempat-tempat umum seperti sekolah, masjid, pasar, dan bagi masyarakat hendaknya memperhatikan keberhasilan lingkungan khususnya lingkungan rumah.

Kata kunci: DBD, lingkungan fisik, perilaku

(7)

Abstract

The working area of Perbaungan Public Health Center (PHC) in was the place of endemic DHF with thelnsidence Rate DHF was 79/100.000 population, above the national indicator (50/100.000 population, in 2018). The objective of the research was to analysized the relationship of physical environment (temperature, lighting, and moisture) and behaviour (knowledge, attitude, and practice) on the incidence of DHF in the working area of Perbaungan in 2019. This research uses an analytical survey with case control study design. The total sample of 80 people, consisting of 40 cases and 40 controls. The sampling technique in this research is simple random sampling. Data were analysed by chi-square test. The results obtained that there is a relationship between temperature and p value (p=0,04) and value (OR=0,259, 95%CI=0,103-0,655). There weren’t relationship between lighting with and p value (p=0,414) and value (OR=0,636, 95%CI=0,215-1,883) and there weren’t relationship between humidity and p value (p=0,173) and value (OR=0,532, 95%CI=0,215-1,318) on the incidence of DHF in the working area of Perbaungan in 2019. There weren’t relationship between knowledges and p value (p=0,126) and value (OR=0,441, 95%CI=0,154-1,259). There weren’t relationship between attitude and p value (p=0,261) and value (OR=0,600, 95%CI=0,246-1,463) and there weren’t relationship between action and p value (p=0,646) and value (OR=0,1541, 95%CI=0,243-9,754) on the incidence of DHF in the working area of Perbaungan in 2019. It is suggested to health center to educate the community particulary dengue fefer disease. This can be done through socialization with the Posyandu, or whyn the community health center and the need to improve thr surveying larvae, giving abate powder in each home or in public places such as schools, mosques, markets, and for the people should pay attention to the cleanliness of the environment especially the home environment.

Keywords: DHF, physical environment, behavior

(8)

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala berkah yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Faktor Lingkungan Fisik dan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Perbaungan Tahun 2019”. Skripsi ini adalah salah satu syarat yang ditetapkan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si. selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M. selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Penguji I.

4. Ir. Evi Naria, M.Kes. selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan dengan sabar memberikan bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.

(9)

waktu dan pikiran dalam penyempurnaan skripsi ini.

6. dr. Rahayu Lubis, M.Kes., Ph.D. selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.

7. Para Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat USU atas ilmu yang telah diajarkan selama ini kepada penulis.

8. Pegawai dan Staf Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terkhusus Dian Afriyanti.

9. Kepala Dinas Kesehatan serta seluruh staf dan Kepala Puskesmas Perbaungan serta seluruh staf yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian.

10. Teristimewa untuk orang tua (Robinson Siagian dan Roslin Gultom) yang telah memberikan kasih sayang yang begitu besar dan kesabaran dalam mendidik dan memberi dukungan kepada penulis.

11. Terkhusus untuk saudara dan saudari (Riana Maria Siagian, Dameria Siagian, Rio Naro Siagian, Jimmi Unedo Siagian dan Jekki Ego Siagian) yang telah memberikan semangat kepada penulis.

12. Yayasan Karya Salemba Empat yang telah memberikan beasiswa kepada penulis sehingga terbantu menyelesaikan perkuliahan.

13. Peserta Camp BPJS TK Camp I, II, dan III Batch 5 (Fibri, Saudah, Nuri, Hilda, Febri, Khairunada, Riko Handoyo, Candra. Divisi RND, dan HRD serta rekan-rekan penerima Beasiswa KSE USU yang telah memberikan semangat kepada penulis.

14. Teman spesial Gomgom Tua Hutapea yang telah mendukung penulis untuk

(10)

tetap semangat dan berjuang menyelesaikan skripsi.

15. Teman-teman yang setia menemani saat melakukan penelitian Dani Simanjuntak, dan Bop Panjaitan.

16. Kepada UKM POMK FKM USU dan Kelompok Tumbuh Bersama Vanya Selomitha (PKK Dewi Simatupang, Adelia Sagala, Yuke Nadya, dan Eka Situmorang) yang selalu menyemangati penulis.

17. Teman-teman Kos Sinar Baru (Yossi, Royani, Leni, Indah, Untari, Mondang, Lestari, Dea dan Shintya) menyemangati penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi.

18. Teman-teman KKN Silumboyah Siempat Nempu Hulu yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

19. Teman-teman PBL Desa Perjuangan yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

20. Teman-teman LKP RS USU (Chaca, Jerni, Silvia, dan Ayu Diajeng) yang selaku memberikan semangat kepada penulis.

21. Teman-teman seperjuangan skripsi (Riska Kaban, Anindya, Ira, Herni, Yulia, Rini, Agne, Chaca, Usna dan Kristina) yang selalu menyemangati satu sama lain dalam penyelesaian skripsi.

22. Rinta Nababan, Kristina Marbun, Kristina Pangaribuan, Indah, Dina, Shopia, Erlita, Eka, Samsul, Feni dan Yunita yang menyemangati penulis dalam penyelesaian skripsi.

23. Teman-teman keluarga mahasiswa USU yang selalu menyemangati penulis.

(11)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan bermanfaat bagi pembaca.

Medan, November 2019

Siska Riris Siagian

(12)

Daftar Isi

Halaman

Halaman Persetujuan i

Halaman Penetapan Tim Penguji ii

Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi iii

Abstrak iv

Abstract v

Kata Pengantar vi

Daftar Isi x

Daftar Tabel xiii

Daftar Gambar xiv

Daftar Lampiran xv

Daftar Istilah xvi

Riwayat Hidup xvii

Pendahuluan 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 4

Tujuan umum 4

Tujuan khusus 4

Manfaat Penelitian 4

Tinjauan Pustaka 6

Defenisi Demam Berdarah Dengue (DBD) 6

Etiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) 7

Klasifikasi Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) 7

Suspek infeksi dengue 7

Demam Dengue (DD) 8

Demam Berdarah Dengue (DBD) 8

Syndrom Syock Dengue (SSD) 8

Expanded Dengue Eyndrome (EDS) 8

Mekanisme Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD) 8

Morfologi Nyamuk Demam Berdarah Dengue (DBD) 10

Bioekologi Nyamuk Demam Berdarah Denguen (DBD) 11

Siklus hidup nyamuk 12

Habitat perkembangbiakan 12

Perilaku nyamuk dewasa 13

Penyebaran 14

Variasi musiman 14

Lingkungan Sebagai Media Transmisi Penyakit 15

(13)

Topografi 16

Temporal atau waktu 16

Lingkungan Fisik Demam Berdarah Dengue (DBD) 16

Jarak antara rumah 16

Macam tempat penampungan air/container 17

Ketinggian tempat 17

Pencegahan DBD 22

Pengendalian DBD 22

Pemberantasan DBD 25

Penanggulangan DBD 27

Stratifikasi Kelurahan/Desa DBD 30

Perilaku 31

Pengetahuan (knowledge) 32

Sikap (attitude) 33

Tindakan (practice) 33

Landasan Teori 34

Kerangka Konsep 37

Metode Penelitian 38

Jenis Penelitian 38

Lokasi dan Waktu Penelitian 38

Populasi dan Sampel 38

Variabel dan Definisi Operasional 43

Metode Pengumpulan Data 44

Metode Pengukuran 44

Metode Analisis Data 46

Hasil Penelitian 47

Gambaran Umum Wilayah 47

Geografi 47

Karakteristik Responden 48

Lingkungan Fisik 49

Suhu udara 50

Pencahayaan 50

Kelembaban udara 51

Perilaku Masyarakat 52

Pengetahuan 52

Sikap 53

Tindakan 53

Pembahasan 55

Karakteristik Responden 55

Faktor Lingkungan Fisik 55

Hubungan suhu dengan kejadian DBD 55

(14)

Hubungan kelembaban dengan kejadian DBD 57

Perilaku Masyarakat 59

Hubungan pengetahuan dengan kejadian DBD 59

Hubungan sikap dengan kejadian DBD 61

Hubungan tindakan dengan kejadian DBD 63

Keterbatasan Penelitian 64

Kesimpulan dan Saran 65

Kesimpulan 65

Saran 65

Daftar Pustaka 66

Lampiran 69

(15)

Daftar Tabel

No Judul Halaman

1 Distribusi Penduduk Kecamatan Perbaungan Berdasarkan

Karakteristik Responden Tahun 2019 49

2 Hubungan Lingkungan Fisik dengan Kejadian DBD di Wilayah

Kerja Puskesmas Perbaungan Tahun 2019 52

3 Hubungan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian DBD di Wilayah

Kerja Puskesmas Perbaungan Tahun 2019 54

(16)

Daftar Gambar

No Judul Halaman

1 Siklus hidup nyamuk 12

2 Thermohygrometer 19

3 Lux meter 21

4 Teori simpul 35

5 Kerangka konsep 37

6 Tabel angka acak 42

7 Peta wilayah Puskesmas Perbaungan 47

(17)

Daftar Lampiran

Lampiran Judul Halaman

1 Surat Izin Penelitian 69

2 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian 70

3 Lembar Pertanyaan Identitas 71

4 Formulir Observasi 76

5 Data SPSS 77

6 Dokumentasi Penelitian 83

(18)

Daftar Istilah

BPS Badan Pusat Statistik CFR Case Fatality Rate

DBD Demam Berdarah Dengue

DD Demam Dengue

DSS Dengue Shock Syndrom

IR Incident Rate

WHO World Health Organization

(19)

Riwayat Hidup

Penulis bernama Siska Riris Siagian berumur 22 tahun, dilahirkan di Hutanauli pada tanggal 07 Oktober 1997. Penulis beragama Kristen Protestan, anak ke empat dari lima bersaudara dari pasangan Almarhum Bapak Robinson Siagian dan Ibu Roslin Gultom.

Pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 106864 Hutanauli Tahun 2004- 2009, sekolah menengah pertama di SMP Negeri 2 Dolok Masihul Tahun 2010- 2012, sekolah menengah atas di SMA Swasta Surya Murni Pematangsiantar Tahun 2012-2015, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Medan, November 2019

Siska Riris Siagian

(20)

Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, salah satu penyakit endemis dengan angka kesakitan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan daerah terjangkit semakin meluas hingga mencapai 400 kabupaten/kota dari 474 kabupaten/kota di Indonesia, bahkan sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Hal ini dikarenakan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Sampai saat ini vaksin dan obat virus DBD belum ditemukan, sehingga salah satu strategi utama dan paling efektif untuk mengendalikan penyakit DBD adalah dengan cara melakukan upaya preventif (Kemenkes RI, 2014).

WHO (World Health Organization) memperkirakan Insiden DBD telah meningkat secara dramatis di banyak Negara dunia dalam beberapa decade terakhir. Data untuk kasus menunjukkan bahwa infeksi DBD 390 juta per tahun.

Terutama meningkat 3,9 milyar orang berada pada daerah terjangkit DBD di 128 negara, WHO mencatat terjadi peningkatan jumlah kasus yang di laporkan pada tahun 2010 terdapat 2,4 juta kasus DBD.

Insidens demam dengue terjadi baik di daerah tropik maupun subtropik wilayah urban, menyerang lebih dari 100 juta penduduk tiap tahun, dan 30.000 kematian terjadi terutama untuk anak-anak. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya.

Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara

(21)

(Achmadi, 2012).

DBD termasuk kategori emerging disease atau penyakit yang sering terjadi di masyarakat terutama di daerah tropis seperti ASEAN. Dimana target global yang dicanangkan untuk mengurangi kematian akibat DBD hingga 50% dan mengurangi penularan DBD hingga 25% di Tahun 2020.

Data kasus DBD di Indonesia pada tahun 2017 jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 65.602 kasus (IR/angka kesakitan 24,73 per 100.000 penduduk) dengan jumlah kematian sebanyak 462 orang (CFR/angka kematian 0,70%). Di bandingkan tahun 2016 dengan jumlah kasus sebanyak 68.407 kasus (IR/angka kesakitan 26,10 per 100.000 penduduk) terjadi penurunan kasus pada tahun 2017 walaupun masih sedikit, tetapi angka ini masih tinggi melebihi target Indikator Nasional Kesehatan (Kemenkes RI, 2018).

Data kasus DBD di Provinsi Sumatera Utara menyebutkan tahun 2016 berjumlah 8.715 kasus (IR/angka kematian 63,3 per 100.000 penduduk) dengan jumlah (CFR/angka kematian 0,695%), tahun 2017 jumlah 5.454 kasus (IR/angka kesakitan 39,6 per 100.000 penduduk) dengan jumlah (CFR/angka kematian 0,51%). Serdang Bedagai merupakan salah satu kabupaten dengan kasus DBD yang tinggi sampai sekarang (Dinkes Provinsi Sumatera Utara, 2017).

Data Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai, angka insidensi kasus DBD mengalami peningkatan tahun 2017 (IR/angka kesakitan 14,5 per 100.000 penduduk) dan (CFR/angka kematian 2,2%), dan tahun 2018 kasus 183 (IR/angka kesakitan 30 per 100.000 penduduk) dengan CFR 0,02% (Dinkes Kabupaten Serdang Bedagai, 2018).

(22)

Kecamatan Perbaungan merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Serdang Bedagai yang merupakan daerah endemis DBD dari 17 kecamatan dengan jumlah penduduk 68.870 jiwa. Tahun 2018 terdapat 55 kasus dengan (IR/angka kesakitan 79,86 per 100.000 penduduk) dengan (CFR/angka kematian 0,02%) (Puskesmas Perbaungan, 2018).

Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian DBD, faktor hospes yaitu kerentanan dan respon imum sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian DBD antara lain suhu udara, kelembaban udara, pencahayaan, kepadatan hunian rumah, kondisi demografis (kepadatan penduduk, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk) (Soegijanto, 2012).

Penelitian Rianasari di Kota Bekasi tahun2015 mendapatkan faktor yang mempengaruhi kejadian DBD antara lain faktor fisik dan perilaku masyarakat.

Tujuan penelitian ini menganalisis hubungan antara lingkungan fisik dan perilaku dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan faktor lingkungan fisik dan perilaku masyarakat dengan kejadian DBD di Kelurahan Mustikajaya Kota Bekasi.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dan memperhatiakan kondisi di wilayah kerja Puskesmas Perbaungan yang merupakan salah satu daerah endemis DBD yang setiap tahun terjadi, maka perlu dilakukan penelitian untuk menjelaskan “Hubungan Faktor Lingkungan Fisik dan Perilaku Masyarakatdengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Perbaungan Tahun 2019”.

(23)

Perumusan Permasalahan

Kasus DBD merupakan permasalahan di wilayah kerja Puskesma s Perbaungan dengan angka kejadian kasus 55 (IR/angka kesakitan 79,86 per 100.000 penduduk) masih tinggi melebihi target Rencana Strategis (Renstra) kesehatan 2018 yang diharapkan yaitu <49/100.000 penduduk. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk menganalisis hubungan faktor lingkungan fisik dan perilaku masyarakat dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas Perbaungan tahun 2019.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum.Menganalisis hubungan faktor lingkungan fisik dan perilaku masyarakat dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas Perbaungan 2019.

Tujuan khusus. Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis hubungan faktor lingkungan fisik yaitu suhu, pencahayaan, kelembaban dengan kejadian demam berdarah dengue di wilayah kerja Puskesmas Perbaungan tahun 2019.

2. Menganalisis hubungan perilaku masyarakat yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Perbaungan tahun 2019.

Manfaat Penelitian

1. Sebangai informasi dan masukan kepada masyarakat mengenai pentingnya upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD terhadap lingkungan di tempat tinggal mereka.

(24)

2. Bagi penelitian sebagai penambah ilmu pengetahuan selanjutnya, hasil penelitian diharapkan dapat menambah sumber referensi dan sebagai data dasar dalam melakukan penelitian sejenis tentang DBD.

3. Sebagai informasi dan bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai dan Puskesmas Perbaungan guna masukan dalam meningkatkan penyuluhan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dan juga sebagai bahan referensi dalam penyusunan program pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan DBD.

(25)

Tinjauan Pustaka

Defenisi Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes aegyptimerupakan vektor yang valing utama, namun spesies lain seperti Aedes albopictus juga dapat menjadi vektor penular. Nyamuk penular dengue ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat yang memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Penyakit DBD banyak dijumpai terutama di daerah tropis dan sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya DBD antara lain rendahnya status kekebalan kelompok masyarakat dan kepadatan populasi nyamuk penular karena banyaknya tempat perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada musim penghujan (Kemenkes RI, 2015).

Penyakit demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang ditandai dengan demam 2-7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan, jumlah trombosit <100.000/μl, adanya tanda-tanda kebocoran plasma (peningkatan hematokrit≥20% dari nilai normal, dan/atau efusi pleura, dan/atau ascites, dan/atau hypoproteinemia/albuminemia) dan atau hasil pemeriksaa serologis pada penderita tersangka DBD menunjukkan hasil positif atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris) (WHO, 2012).

(26)

Etiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyebab penyakit dengue adalah arthrophod borne virus, family Flaviviridae, genus flavivirus. Virus berukuran kecil (50 nm) ini memiliki single standar RNA. Virion-nya terdiri dari nucleocapsid dengan bentuk kubus simetris dan terbungkus dalam amplop lipoprotein. Genome (rangkaian kromosom) virus dengue berukuran panjang sekitar 11.00 dan terbentuk dari tiga gen protein struktural yaitu nucleocapsid atau protein core (C), membrane-associated protein (M) dan suatu protein envelope (E) serta gen protein non structural (NS).

Terdapat empat serotype virus yang disebut DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Ke empat serotype virus ini telah ditemukan di berbagai wilayah Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotype yang paling luas distribusinya disusul oleh dengue-2, dengue-1, dan dengue-4.

Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotype tersebut diatas, akan menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan.

Meskipun keempat serotipe virus tersebut mempunyai daya antigenis yang sama namun mereka berbeda dalam menimbulkan proteksi silang meski baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah dari mereka (Kemenkes RI, 2014).

Klasifikasi Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD)

Klasifikasi kasus DBD berdasarkan Kemenkes RI, (2014) adalah:

Suspek infeksi dengue. Penderita demam tinggi mendadak tanpa

sebab yang jelas berlangsung selama 2-7 hari dan disertai tanda-tanda perdarahan:

sekurang-kurangnya uji tourniquet (Rumple Leede) positif.

(27)

Demam Dengue (DD). Demam disertai 2 atau lebih gejala penyerta seperti sakit kepala, nyeri dibelakang bola mata, pegal, nyeri sendi (arthralgia), rash, dan manifestasi perdarahan, leucopenia (lekosit <5000/mm3), jumlah trombosit<150.000/mm3 dan disertai/tidak peningkatan hematocrit 5-10% atau pemeriksaan serologis Ig Mpositif.

Demam Berdarah Dengue (DBD). Demam 2-7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan, jumlah trombosit <100.000/mm3, adanya tanda-tanda kebocoran plasma (peningkatan hematocrit ≥20% dari nilai normal, dan/atau efusi pleura, dan/atau ascites, dan/atau hypopreteinemia/albuminemia) dan atau hasil pemeriksaan serologis pada penderita tersangka DBD menunjukkan hasil positif atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris).

Sindrom Syock Dengue (SSD). Kasus DBD yang masuk dalam

derajat III dan IV dimana terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, menyempitnya tekanan nadi (≤ 20mmHg) atau hipotensi yang ditandai dengan kulit dingin dan lembab serta pasien menjadi gelisah sampai terjadi syok berat (tidak rerabanya denyut nadi maupun tekanan darah).

Expanded Dengue Syndrome (EDS). Demam dengue yang disertai

manifestasi klinis yang tidak biasa (unusual manifestation) yang ditandai dengan kegagalan organ berat seperti hati, ginjal, otak dan jantung.

Mekanisme Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD)

Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk

(28)

Aedes (Ae). Ae aegypti merupakan vektor epidemis yang paling utama, namun spesies lain seperti Ae. albopictus, Ae. polynesiensis dan Ae. niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae. aegypti semuanya mempunyai daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus dengue, biasanya mereka merupakan vektor epidemic yang kurang efisien disbanding Ae. aegypti. Nyamuk penular dengue ini terdapat hamper di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (Kemenkes RI, 2014).

Berdasarkan penelitian Widoyono (2011) nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya). Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar liurnya dan jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan berkembang selama 4-7 hari dan orang tersebut akan mengalami sakit demam berdarah dengue. Virus dengue memperbanyak diri dalam tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu.Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya akan sakit demam berdarah dengue, ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit, tetapi semuanya merupakan pembawa virus dengue selama satu minggu, sehingga dapat menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah yang ada nyamuk

penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi infektif seumur hidupnya. Tempat potensial penularan nyamuk demam berdarah dengue (DBD), penularan nyamuk

(29)

DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Tempat- tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD mobilitas penduduk dari berbagai wilayah dan beraktivitas pagi sampai dengan sore, waktu dimana nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah dengue aktif menyebar.

Dengan demikian para penduduk rentan untuk tertular demam berdarah dengue (Kemenkes RI, 2011).

Tempat umum ialah bangunan untuk pelayanan umum seperti sekolah, hotel/losmes, asrama, rumah makan, tempat rekreasi, tempat industry/pabrik, kantor, terminal/stasiun, stasiun pompa bensin, rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya, dimana kemungkinan terjadinya penularan tinggi.

Morfologi Nyamuk Demam Berdarah Dengue (DBD)

Menurut Kementerian Kesehatan tahun 2014 Morfologi tahapan Aedesaegyepti sebagai berikut:

Telur. Telur berwarna hitam dengan ukuran ±0,80 mm, berbentuk oval yang mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding tempat penampung air. Telur dapat bertahan hingga enam bulan dalam kondisi kering, dan akan menetas setelah 1-2 hari terkenan/terendam air.

Jentik (larva). Jentik nyamuk Aedes terdiri dari kepala, torak dan abdomen, di ujung abdomen terdapat sifon. Dalam posisi istirahat jentik terlihat menggantung dari permukaan air dengan sifon di bagian atas. Pertumbuhan jentikmenjadi kepompong selama 6-8 hari, terdiri atas empat tingkat (instar) jentik/larva sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu :

1. Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm

(30)

2. Instar II : 2,5-3,8 mm

3. Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II 4. Instar IV : berukuran paling besar 5 mm

Pupa (kepompong). Pupa berbentuk seperti „koma‟. Bentuknya lebihbesar namun lebih ramping disbanding larva (jentik)nya. Pupa Aedes aegypti berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain, periode kepompong membutuhkan waktu 1-2 hari.

Nyamuk dewasa. Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki nyamuk Aedes aegypti bercorak putih pada bagian kepala, torak abdomen. Yang membedakan jenis Aedes aegypti dengan Aedes albopictus, pada bagian torak Aedes aegypti terdapat warna putih bentuk bulan sabit sedangkan Ae, albopictus bentuk garis lurus.

Sebenarnya yang dimaksud vektor DBD adalah nyamuk Aedes aegypti betina.

Perbedaan morfologi antara nyamuk Aedes aegypti yang betina dengan yang jantan terletak pada perbedaan morfologi antenanya, Aedes aegypti jantan memiliki antenna berbulu lebat sedangkan yang betina berbulu agak jarang/tidak lebat.

Bioekologi Nyamuk Demam Berdarah Dengue (DBD)

Menurut Kementerian Kesehatan tahun 2014 Bioekologi tahapan Aedes aegypti sebagai berikut ini uraian tentang, siklus hidup, dan siklus hidup lingkungan hidup, tempat perkembangbiakan, perilaku, penyebaran, variasi musiman, dan ukuran kepadatan.

(31)

Siklus hidup. Nyamuk Aedes aegypti seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami metamorphosis sempurna, yaitu: telur-jentik (larva)-pupa-nyamuk.

Stadium telur, jentik dan pupa hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ±2 hari setelah terendam air. Stadium jentik/larva biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong berangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari.

Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.

Gambar 1 : Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti

Habitat perkembangbiakan. Habitat perkembangbiakan Aedes sp. ialah tempat-tempat yang dapat menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumahserta tempat-tempat umum. Habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti:

drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.

2. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat

(32)

min burung, vas bunga, perangkap semut, bak kontrol pembuangan air, tempat pembuangan air kulkas/dispenser, barang-barang bekas (contoh:

ban, kaleng, botol, plastiK, dan lain-lain).

3. Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bamboo dan tempurung coklat/karet, dan lain-lain.

Perilaku nyamuk dewasa. Setelah keluar dari pupa, nyamuk istirahat di permukaan air untuk sementara waktu. Beberapa saat setelah itu, sayap meregang menjadi kaku, sehingga nyamuk mampu terbang mencari makanan. Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan (bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk pematangan sel telur, agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur dikeluarkan, waktunya bervariasi antara3-4 hari. Jangka waktu aktivitas menggigit nyamuk Aedes aegypti biasanya mulai pagi dan petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.

Setelah mengisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang gelap, lembab dan sedikit dingin serta gorden dan pakaian yang menggantung di dalam rumah di luar rumah berupa semak-semak yang ada di halaman rumah, berdekatan

(33)

dengan habitat perkembangbiakannya. Pada tempat tersebut nyamuk menunggu proses pematangan telurnya.

Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di atas permukaan air, kemudian telur menepi dan melekat pada dinding-dinding habitat perkembangbiakannya. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ±2 hari. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat menghasilkan telur sebanyak ±100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan ±6 bulan, jika tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat.

Penyebaran. Kemampuan terbang nyamuk Aedes sp. betina rata-rata 40 meter, namun secara pasif misalnya karenan angina atau terbawa kendaraan dapat berpindah lebih jauh. Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis, di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah maupun di tempat umum.

Nyamuk Aedes aegypti dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah ±1.000 m dpl. Pada ketinggian diatas ±1.000 m dpl, suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan nyamuk berkembang biak.

Variasi musiman. Pada musim hujan populasi Aedes aegypti akan meningkat karena telur-telur yang tadinya belum menetas akan menetas ketika habitat perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan sehari-hari dan alamiah) mulai terisi air hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan populasi nyamuk sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue.

(34)

Lingkungan Sebagai Media Transmisi Penyakit

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Komponen lingkungan dinyatakan mempunyai potensi menyebabkan penyakit apabila ada mikroorganisme pathogen dan virus yang berbahaya (Achmadi, 2012).

Ekosistem memiliki kemampuan mendukung kehidupan spesies tertentu, ekosistem tersebut merupakan habitat spesies tertentu. Komponen lingkungan pendukung habitat binatang penular penyakit yaitu:

Iklim dan kejadian penyakit. Iklim dapat memberikan pengaruh terhadap ekosisten, tempat hewan penular penyakit, perkembangan koloni bakteri secara alamiah. Secara langsung dapat berpengaruh dalam munculnya salah satu penyakit DBD yang kaitkan dengan kelembaban udara dan musim hujan.

Peningkatan suhu berdampak pada pola transmisi penyakit baik yang ditularkan langsung. Penyebaran vector penular DBD maka lebih kea rah wilayah sub-tropis sering meningkatnya suhu. Iklim dan kondisi cuaca juga berpengaruh pada system reproduksi perkembangbiakan vektor penyebar penyakit sehingga terjadi pergantian mas inkubasi di dalam lambung nyamuk. Suhu lingkungan yang lebih panas akan menyebabkan lebih cepatnya pengaktifan virus dengue di dalam tubuh nyamuk. Iklim dan kejadian penyakit memiliki hubungan yang sangat erat, dalam kejadian berbagai penyakit menular.

Banyak penyakit yang ditularkan melalui (vector-borne diseases) peka

(35)

terhadap perubahan cuaca yang kecil secara dramatis terhadap transmisi penyakit.

Seperti DBD yang ditularkan nyamuk Aedes aegypti. Semua akan berdampak secara tidak langsung bagi timbulnya gangguan kesehatan/penyakit.

Topografi. Adalah struktur dan ketinggian permukaan tanah yang sering menentukan komponen lingkungan atau ekosistem. Habitat hewan penular penyakit atau bakteri memiliki wilayah tergantung pada komponen lingkungan hidup yang mendudukung seperti suhu, ketersediaan air, kelembaban, ketersediaan pangan. Kondisi tanah, suhu lingkungan memiliki peran dalam menentukan habitat ini (Achmadi, 2012).

Temporal atau waktu. Merupakan salah atau variabel penentu kejadian suatu penyakit. Waktu juga sering dikaitkan dengan variabel lain yaitu musim.

Pola penyakit pada sebuah komunitas dan sekaligus masalah kesehatan, berubah dari waktu ke waktu, dari musim ke musim, serta dari tempat ke tempat lain.

Lingkungan Fisik Demam Berdarah Dengue (DBD)

Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim (suhu, kelembaban, curah hujan dan pencahayaan), keadaan geografis, struktur geologi, kehidupan vektor, tempat-tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber penularan DBD (Depkes RI, 2009 dalam Munawir, 2018).

Jarak antara rumah. Jarak antar rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah yang lain. Semakin dekat jarak antar rumah semakin mudah nyamuk menyebar ke rumah yang lain.

Depkes RI, (1998) jarak rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari

(36)

satu rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak antara rumah semakin mudah menyebar ke rumah sebelah. Bahan-bahan rumah, warna dinding dan pengaturan barang-barang dalam rumah menyebabkan rumah tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk.

Penelitian Roose dalam Imran (2013), di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru menunjukkan bahwa ada hubungan jarak antar rumah ≤5 m memberikan kontribusi dampak/risiko dengan kejadian DBD sebesar 1,79 kali disbanding dengan jarak antar rumah >5 meter. Jarak antar rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah yang lain, semakin dekat jarak antar rumah semakin mudah nyamuk menyebar ke rumah yang lain (Soeroso, 2006).

Macam tempat penampungan air/container. Macam tempat penampungan air sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti. Macam tempat penampungan air ini dibedakan lagi berdasarkan bahan tempat penampungan air (logam, plastik, porselin, fiberglass, semen, tembikar dan lain- lain), warna tempat penampungan air (putih, hijau, coklat, dan lain-lain), letak tempat penampungan air (di dalam rumah atau di dalam rumah), penutup tempat penampungan air (ada atau tidak ada), pencahayaan pada tempat penampungan air (terang atau gelap) dan sebagainya (Depkes RI, 2008).

Ketinggian tempat. Menurut Widoyono (2011) keadaan geografis seperti ketinggian mempengaruhi penularan penyakit. Nyamuk Aedes aegypti tidak menyukai ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut. Kadar oksigen juga mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang, semakin tinggi letak pemukiman

(37)

maka akan semakin rendah kadar oksigennya, dataran tinggi juga berhubungan dengan temperatur udara.

Ketinggian tempat berpengaruh terhadap perkembangan nyamuk. Wilayah dengan ketinggian diatas 1000 meter dari permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Aedes aegypti karena ketinggian tersebut suhu terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk. Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter.

Iklim. Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik, yang terdiri dari: suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin.

Menurut Achmadi (2012) iklim dapat mempengaruhi ekosistem, habitat binatang penular penyakit, bahkan tumbuh kembangnya koloni kuman secara alamiah.

Timbulnya demam berdarah dengue sering dikaitkan dengan kelembaban dan musim hujan. Disamping itu, adanya peningkatan suhu global mengakibatkan perubahan pola transmisi beberapa parasite dan penyakit baik yang ditularkan langsung maupun yang ditularkan oleh serangga. Suhu lingkungan yang lebih hangat akan menyebabkan lebih cepatnya pengaktifan virus dengue didalam tubuh nyamuk.

Suhu udara. Suhu berhubungan terhadap pertumbuhan, masa hidup

keberadaan nyamuk. Suhu yang tinggi akan meningkatkan aktifitas nyamuk dan perkembangannya bisa menjadi lebih cepat, tetapi apabila suhu diatas 34ºC akan membatasi populasi nyamuk. Suhu optimum untuk perkembangbiakan nyamuk adalah 25ºC-30ºC. Nyamuk dapat bertahan hidup dalam suhu rendah tetapi proses metabolismenya menurun atau bahkan berhenti bila suhu turun sampai 10ºC

(38)

(Eptein et.al dalam Irianti, 2013).

Menurut Achmadi (2012) suhu lingkungan yang lebih hangat akan menyebabkan lebih cepatnya pengaktifan virus dengue di dalam tubuh nyamuk.

Berdasarkan penelitian Maria, dkk (2013) di Kota Makassar dari hasil pengukuran suhu dilokasi penelitianuntuk semua responden, baik kasus maupun control antara 20ºC-30ºC, nyamuk Aedes aegypti sangat rentan terhadap suhu udara, dalam waktu 3 hari telur nyamuk telah mengalami embriosasi lengkap dengan temperature udara 25ºc-30ºC.

Gambar 2 : Thermohygrometer alat ukur pengukur dan kelembaban udara

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Penyehatan Udara Dalam Rumah persyaratan fisik seperti suhu dalam rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan adalah 18ºC-30ºC.

(39)

Kelembaban udara. Berdasarkan Depkes RI (2007), kelembaban udara

adalah banyak uap air yang terkandung dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban udara yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan keadaan rumah menjadi basah dan lembab yang memungkinkan berkembangbiaknya kuman atau bakteri penyebab penyakit. Kelembaban yang baik berkisar antara 40%-60%. Pada keadaan ini nyamuk tidak dapat bertahan hidup akibatnya umur nyamuk menjadi lebih pendek sehingga nyamuk tersebut tidak cukup untuk siklus pertumbuhan parasite di dalam tubuh nyamuk. Hal ini sejalan dengan penelitian Maria dkk, (2013) di Kota Makassar risiko responden yang tinggal di rumah yang lembab untuk terkena DBD 3,36 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang tinggal di rumah yang tidak lembab, variabel kelembaban bermakna secara statistik.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Penyehatan Udara Dalam Rumah persyaratan fisik seperti kelembaban dalam rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan adalah 40%-60%.

Curah hujan. Kejadian penyakit yang ditularkan nyamuk biasanya

meninggi beberapa waktu sebelum musim hujan lebat. Pengaruh hujan berbeda- beda menurut banyaknya hujan dan keadaan fisik daerah. Curah hujan yang cukup dengan jangka waktu lama akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk berkembangbiak secara optimal (Depkes RI, 2007).

Hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah tempat perkembangbiakan vektor (breeding places) atau dapat

(40)

pula menghilangkan tempat perindukan, oleh karena jentiknya hanyut dan mati (Anshari, 2004 dalam Munawir, 2018).

Pencahayaan. Larva dari nyamuk Aedes aegypti dapat bertahan lebih baik

di ruangan dalam container yang gelap dan juga menarik nyamuk betina untuk meletakkan telurnya. Dalam bejana yang intensitas cahaya rendah atau gelap rata- rata berisi larva lebih banyak dari bejana yang intensitas cahayanya besar atau terang (Soegijanto, 2008).

Cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi nyamuk beristirahat pada suatu tempat intensitas cahaya yang rendah dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang baik bagi nyamuk, intensitas cahaya merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi aktivitas terbang nyamuk. Intensitas pencahayaan untuk kehidupan nyamuk adalah <60 lux (Depkes RI, 2007).

Gambar 3: Lux meter (alat pengukur intensitas cahaya)

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Penyehatan Udara Dalam Rumah

(41)

persyaratan fisik seperti pencahayaan dalam rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan adalah 60 Lux.

Kecepatan angin. Kecepatan angina secara langsung berpengaruh pada

penguapan (evaporasi) air dan suhu udara (konveksi), di samping itu angina berpengaruh terhadap arah penerbangan nyamuk. Bila kecepatan angina 11-14 meter perdetik atau 25-31 mil per jam akan menghambat penerbangan nyamuk.

Dalam keadaan udara tenang mungkin suhu nyamuk ada beberapa fraksi atau derajat lebih tinggi dari suhu lingkungan, bila ada angina evaporasi baik dan konveksi baik maka suhu nyamuk akan turun beberapa fraksi atau derajat lebih rendah dari suhu lingkungan (Depkes, 2007).

Pencegahan DBD

Pengendalian DBD. Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta mamutus rantai penularan penyakit.

Metode pengendalian vektor DBD bersifat spesifik lokal, dengan mempertimbangkan faktor lingkungan fisik (cuaca/iklim, permukiman, habitat perkembangbiakan); lingkungan social-budaya (Pengetahuan sikap dan perilaku) dan aspek vektor.

Pada dasarnya metode pengendalian vektor DBD yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga berbagai metode pengendalian vektor cara lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat memutus rantai penularan.

(42)

Berbagai metode Pengendalian Vektor DBD, yaitu:

- Kimia - Biologi

- Manajemen lingkungan

- Pemberantasan Sarang Nyamuk/PSN

- Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vektor Management/IVM) Kimiawi. Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan

Insektisidamerupakan salah satu metode pengendalian yang lebih popular di masyarakat disbanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun, maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping itu penentuan jenis insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang di satuan akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga sasaran.

Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD adalah :

- Sasaran dewasa (nyamuk) adalah : Organophospat (Malathion, methyl pirimiphos), Pyrethroid (Cypermethrine, lamda-cyhalotrine, cyflurine, Permethrine & S-Bioalethrine). Yang ditujukan untuk stadium dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/Fogging dan pengabutan dingin/ULV

- Sasaran pra dewasa (jentik) : Organophospat (Temephos).

Biologi. Pengendalian vektor biologi menggunakan agent biologi seperti

(43)

predator/pemangsa, parasite, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa vektor DBD. Jenis predator yang digunakan adalah Ikan pemakan jentik (cupang, tampalo, gabus, guppy, dan lain-lain), sedanglan larva Capung, Toxorrhyncites, Mesocyclops dapat juga berperan sebagai predator walau bukan sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor DBD.

Jenis pengendalian vektor biologi : - Parasit : Romanomermes iyengeri

- Bakteri : Baccilus thuringiensis israelensis

Golongan insektisida biologi untuk pengendalian DBD (Insect Growth Regulator/IGD dan Bacillus Thuringiensis/BTI), ditujukan untuk stadium pra dewasa yang diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan vektor.

Insect Growth Regulators (IGRs) mampu menghalangi pertumbuhan nyamuk di masa pra dewasa dengan cara merintangi/menghambat proses chitinsynthesis selama masa jentik berganti kulit atau mengacaukan proses perubahan pupa dan nyamuk dewasa. IGRs memiliki tingkat racun yang sangat rendah terhadap mamalia (nilai LD 50 untuk keracunan akut pada metroprene adalah 34.600 mg/kg).

Bacillus thruringiensis (BTI) sebagaipembunuh jentik nyamuk/larvasida yang tidak mengganggu lingkungan. BTi terbukti aman bagi manusia bila digunakan dalam air minum pada dosis normal. Keunggulan BTi adalah menghancurkan jentik nyamuk tanpa menyerang predator entomophagus dan spesies lain. Formula BTi cenderung secara cepat mengendap di dasr wadah, karena itu dianjurkan pemakaian yang berulang kali. Racunnya tidak tahan sinar

(44)

dan rusak oleh sinar matahari.

Manajemen lingkungan. Lingkungan fisik seperti pemukiman, sarana-

prasarana penyediaan air, vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor DBD. Nyamuk Aedes aegypti sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di container buatan yang berada di daerah pemukiman. Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M plus (menguras, menutup, dan memanfaatkan barang bekas, dan plus : menyemprot, memelihara ikan predator, menabur larvasida), menghambat pertumbuhan vektor (menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah).

Menurut Soedarto (2012), penanganan lingkungan bertujuan untuk mengubah lingkungan menjadi penghambat perkembangbiakan nyamuk dengan cara memusnahkan, membuang atau mendaur ulang wadah yang dapat digunakan oleh nyamuk untuk berkembangbiak.

Pemberantasan DBD. Pengendalian vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah dengan memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik.

Pelaksanannya di masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3 M plus. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, kegiatan 3 M Plus ini harus dilakukan secara luas/serempak dan terus menerus/berkesinambungan. Tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku yang sangat beragam sering menghambat suksesnya gerakan ini.

(45)

Untuk itu sosialisasi kepada masyarakat/individu untuk melakukan kegiatan ini secara rutin serta penguatan peran tokoh masyarakat untuk mau secara terus menerus menggerakkan masyarakat harus dilakukan melalui kegiatan promosi, penyuluhan di media masa, serta reward bagi yang berhasil melaksanakannya.

(Kemenkes RI, 2014).

Tujuan mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Sasaran semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD :

- Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari.

- Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA) - Tempat penampungan air alamiah

Ukuran keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.

PSN DBD dilakukan dengan cara „3M-Plus‟ 3M yang dimaksud yaitu:

- Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi/wc, drum dan lain-lain seminggu sekali (M1).

- Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan lain-lain (M2).

- Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan (M3). Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti mengganti air vas bunga, tempat-tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali.

(46)

- Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancer/rusak.

- Menutup lubang-lubang pada potongan bamboo/pohon, dan lain-lain (dengan tanah, dan lain-lain).

- Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air.

- Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air - Memasang kawat kasa.

- Menghindari kebiasaan memasang kawat kamar

- Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi yang memadai

- Memakai baju saat beraktifitas d9i siang hari baik di dalm maupundi luar rumah.

- Menggunakan kelambu

- Pemakaian obat anti nyamuk yang dapat mencegah gigitan nyamuk.

Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vektor Management) IVM merupakan konsep pengendalian vektor yang yang diusulkan oleh WHO untuk mengefektifkan berbagai kegiatan pemberantasan vektor berbagai institusi. IVM dalam pengendalian vektor DBD saat ini lebih difokuskan pada peningkatan peran serta sector lain melalui kegiatan Pokjanal DBD, Kegiatan PSN anak sekolah (Kemenkes RI, 2014).

Penanggulangan DBD

Dalam upaya penanggulangan DBD, pemerintah mempunyai 4 (empat) pilar strategi. Pertama, memperkuat pengamatan kasus/penderita dan pengamatan vektor didukung dengan laboratorium yang memadai; Kedua, memperkuat

(47)

penatalaksanaan penderita di rumah sakit, puskesmas dan klinik; Ketiga, meningkatkan upaya pengendalian vektor secara terpadu; Keempat, memperkuat kemitraan dengan berbagai pihak dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD. Dalam rangka mendukung pelaksanaan strategi pemerintah tersebut maka diperlukan upaya pembangunan kualitas SDM kesehatan yang memadai dalam pengendalian Demam Berdarah Dengue (Kemenkes RI, 2014).

Penanggulangan focus adalah penanggulangan hasil tindak lanjut dari Penyelidikan Epidemiologi (PE) yaitu bila ditemukan penderita DBD 1 atau 3 atau lebih tersangka DBD dan ditemukan jentik ≥(5%) dari rumah yang diperiksa maka dilakukan kegiatan.

- Pergerakan masyarakat dalam PSN DBD oleh ketua RW/RT, Tokoh Masyarakat memberikan pengarahan langsung kepada warga pada waktu pelaksanaan PSN DBD.

- Larvasida dilakukan sebelum dilakukan pengasapan dengan insektisida.

- Pemeriksaan jentik rutin (PJR), adalah kegiatan yang dilakukan oleh kader wisma PKK, pengurus RT atu juru pemantau jentik (jumantik), paling sedikit satu mingu sekali.

- Pemeriksaan jentik berkata (PJB), yaitu kegiatan regular tiga bulan sekali, dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan yang dilakukan secara random, kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan angka kepadatan jentik atau HI (House Indeks).

- Penyuluhan oleh petugas kesehatan/kader atau kelompok kerja (Pokja) DBD Desa/Kelurahan berkoordinasi dengan petugas Puskesmas.

(48)

- Pengasapan dengan insektisida dilakukan oleh petugas puskesmas dan bekerjasama dengan dinas kesehatan kabupaten/kota.

- Hasil pelaksanaan penanggulangan focus dilaporkan oleh puskesmas dengan dinas kesehatan kabupaten/kota.

Penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) adalah upaya penanggulangan yang meliputi: pengobatan/perawatan penderita, pemberantasan vektor penular DBD, penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan yang dilakukan di seluruh wilayah yang terjadi KLB (Kemenkes RI, 2014).

Sesuai Permenkes Nomor 1501 tahun 2010 disebutkan 7 kriteria KLB, tetapi untuk pengendalian DBD hanya ada 3 kriteria yang digunakan yaitu :

- Timbulnya suatu penyakit menular tertentu (DBD) yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.

- Jumlah penderita baru (kasus DBD) dalam periode waktu (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.

- Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Tatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

Tujuan penanggulangan Kejadian Luar Biasa adalah membatasi penularan DBD, sehingga KLB yang terjadi di suatu wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya (mengatasi KLB di wilayah sendiri dan membatasi kasus meluas).

Langkah-langkah pelaksanaan penanggulangan KLB bila terjadi KLB/wabah,

(49)

dilakukan penyemprotan insektisida (2 siklus dengan interval 1 minggu), PSN DBD, larvasida, penyuluhan di seluruh wilayah terjangkit, dan kegiatan penanggulangan lainnya yang diperlukan, seperti: pembentukan posko pengobatan dan posko penanggulangan, penyelidikan KLB, pengumpulan dan pemeriksaan specimen serta peningkatan kegiatan surveilans kasus dan vektor, dan lain-lain (Kemenkes RI, 2014).

- Pengobatan dan perawatan Penderita DBD derajat 1 dan 2 dapat dirawat puskesmas yang mempunyai fasilitas perawatan, sedangkan DBD derajat 3 dan 4 harus segera dirujuk ke Rumah Sakit.

- Pemberantasan vektor penular DBD Pengasapan yang dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu, PSN DBD dan larvasida.

- Penyuluhan dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota bersama Puskesmas.

- Evaluasi penanggulangan yang dilakukan diseluruh wilayah yang terjadi KLB

Stratifikasi Kelurahan /Desa DBD

Stratifikasi Kelurahan/Desa DBD berdasarkan Depkes RI (2013) :

1. Kelurahan/Desa Endemis adalah kelurahan/desa yang dalam 3 bulan terakhir, setiap tahun ada penderita DBD.

2. Kelurahan/Desa Sporadis adalah kelurahan/desa yang dalam 3 tahun terakhir terdapat penderita DBD tapi tidak setiap tahun.

3. Kelurahan/Desa Potensial adalah kelurahan/desa yang dalam 3 tahun terakhir tidak pernah ada penderita DBD, tetapi penduduknya padat,

(50)

mempunyai hubungan transportasi yang ramai dengan wilayah yang lain dan presentase rumah yang ditemukan jentik lebih atau sama dengan 5%.

4. Kelurahan/Desa Bebas adalah yang tidak pernah ada penderita DBD lama 3 tahun terakhir dan persentase rumah yang ditemukan jentik ≤5%.

Perilaku

Perilaku yaitu tingkah laku manusia yang berkesinambungan bila dilihat dari kacamata biologis. Tingkah laku manusia merupakan aktivitas manusia itu sendiri sehingga mencakup banyak jangkauan. Seperti berbicara, melangkah, merespon dan lainnya. Berpikir, emosi dan persepsi juga termasuk perilaku manusia. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bila perilaku adalah segala hal yang dikerjakan makhluk hidup dan bisa diperhatikan langsung atau tidak (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Skinner dalam buku Notoatmodjo (2010), menyatakan kija perilaku merupakan hasil dari stimulus dan respon berhubungan. Secara operasional perilaku bisa dikatakan sebagai respon seseorang pada rangsangan luar benda dan memiliki dua bentuk, sebagai berikut :

1. Perilaku pasif adalah rekasi yang terbentuk pada diri manusia dan tidak dapat dilihat langsung. Perilaku bentuk ini dapat digolongkan menjadi perilaku yang terselubung (covert behavior).

2. Perilaku aktif, yaitu jika suatu perilaku bisa dilihat atau diamati secara langsung dalam suatu tindakan nyata sehingga disebut juga (overt behavior).

Benyamin blomm dalam buku Notoatmodjo (2010) mengemukakakan

(51)

pembagian perilaku menjadi 3 domain. Pembagian kawasan ini terbagi menjadi kognitif, efektif dan psikomotor. Setelah dikembangkan untuk kepentingan hasil pendidikan, domain tersebut dapat diukur dari:

1. Pengetahuan akan bahan pendidikan yang ditampilkan.

2. Sikap siswa akan bahan pendidikan yang ditampilkan.

3. Tindakan akan dikerjakan berkaitan akan bahan pendidikan yang ditampilkan.

Pengetahuan (knowledge). Pengetahuan bisa menjadi penyebab ataupun motivasi untuk seseorang dalam mengambil sikap atau tingkah laku, lalu bisa menjadi terjadinya tindakan seseorang.

Menurut Nitoatmodjo (2010), pengetahuan punya 6 tingkatan, yakni : Tahu. Adalah proses recall bahan yang sebelumnya sudah dipelajari. Kata

yang mengindikasikan seseorang mengetahui segala sesuatu yang dipelajari yaitu, menyatakan, menguraikan, menyebutkan dan lainnya. Tahu adalah tingkatan dari pengetahuan yang mendasar.

Memahami. Memahami merupakan proses pada saat mendeskripsikan

suatu hal dan sudah diketahui dengan benar lalu mampu menjabarkan hal itu dengan benar.

Aplikasi. Merupakan kebolehan seseorang dalam penggunaan bahan dan

sebelumnya sudah diketahui dalam kondisi tertentu.

Analysis. Merupakan proses dalam mendeskripsikan bahan kedalam komponen pada suatu struktur yang berkaitan.

Sintesis (synthesis). Mengarah pada suatu proses dalam menarik suatu

(52)

hubungan suatu bagian sehingga membentuk suatu kesatuan yang baru.

Evaluasi (evaluation). Berkaitan dengan kemampuan menilai suatu

penilaian pada hal tertentu. Evaluasi dilakukan menggunakan kategori kriteria yang sudah ada.

Sikap (attitude). Merupakan respon pada suatu yang dijumpainya, contohnya orang, barang, atau suatu fenomena tertentu. Suatu sikap memerlukan rangsangan agar memperoleh suatu respon. Sikap sangat bergantung pada sikap individu, jika suatu individu tertarik pada suatu maka ia akan mendekat, namun bila tidak suka maka respon yang muncul adalah sebaliknya. Sikap adalah keberpihakan perasaan atau juga rasa ketidakberpihakan pada suatu hal. Kata sikap awal mulanya dipakai dalam mengarahkan status individu akan mentalnya.

Sikap ditunjukkan akan hal tertentu namun sifatnya tidak terbuka. Kesadaran individu dalam menetapkan perilaku yang akan terjadi ialah dinamakan dengan sikap (Notoatmodjo, 2010).

Allport dalam buku Natoatmodjo (2010) mengemukakan jika sikap mempunyai 3 unsur utama, yaitu :

1. Keyakinan, ide, konsep akan suatu hal.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi akan suatu hal.

3. Kemampuan dalam melakukan suatu hal.

Tindakan (practice).Tindakan terjadi karena beberapa faktor seperti faktor predisposisi atau sikap keyakinan, motivasi, nilai, dan pengetahuan. Sikap belum seutuhnya langsung terlaksanan dalam tindakan. Agar sikap dapat diwujudnyatakan dalam suatu perlakuan, diperlukan faktor penyokong ataupun

(53)

suatu kondisi yang mendukung seperti fasilitas, saranan dan prasarana.

Tingkatan dalam tindakan menurut Notoatmodjo (2010) yaitu :

Persepsi. Kenal akan suatu hal yang berhubungan dengan tindakan yang

hendak dilakukan yaitu praktek tingkat awal.

Respon terpimpin. Seseorang mampu mengerjakan suatu hal berdasarkan

tahap yang sistematis menurut contoh merupakan indikator keberhasilan pada tingkatan ini.

Mekanisme (mechanism). Dalam tingkat ini seseorang sudah mampu

mengerjakan sesuatu yang benar dengan otomatis atau bisa disebut dengan kebiasaan.

Landasan Teori

Teori yang digunakan untuk penelitian tersebut adalah teori simpul yang menunjukkan hubungan interaktif antara variabel lingkungan dengan potensi bahaya kesehatan. Gambaran model interaksi lingkungan dan manusia dapat digunakan untuk upaya pencegahan, dapat digunakan pada titik atau simpul tertentu yang bisa dilakukan pencegahan.

Simpul 1. Adalah sumber penyakit yang bisa berupa bakteri, parasite, bahan kimia, virus berbahaya atau yang lainnya. Dalam penelitian ini yang merupakan simpul satu sumber penularannya yaitu penderita demam berdarah dengue.

Simpul 2. Simpul 2 adalah ruang lingkup lingkungan sebagai media transmisi penyakit tergolong di dalam misalnya udara, air, tanah, binatang, manusia, dan benda-benda lain yang berpotensi menularkan dan menyebabkan

(54)

penyakit. Dalam penelitian ini yang merupakan simpul 2 yaitu, lingkungan fisik suhu, pencahayaan, dan kelembaban.

Simpul 3. Penduduk beserta variabel kependudukannya, misalnya kepadatan, perilaku, pendidikan, dan sebagainya. Dalam penelitian ini yang termasuk kedalam simpul 3 yaitu, perilaku masyarakat.

Simpul 4. Masyarakat dalam kondisi sakit atau sehat, sesudah terjadi penyakit ataupun mengalami gangguan terhadap faktor lingkungan. Dalam penelitian simpul 4 yaitu, penderita DBD yang mengalami sehat atau sakit.

Patogenesis penyakit DBD dapat digambarkan sebagai berikut berdasarkan teori simpul:

Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4

Gambar 4. Teori simpul

Penulisan skripsi ini dikerjakan dengan mencari informasi dari literatur buku agar mendapatkan informasi tambahan yang berhubungan dengan judul yang diterapkan agar menemukan landasan teori Ilmiah. Penulisan skripsi ini juga dikerjakan dengan mencari informasi melalui penelitian yang telah dilakukan

KEJADIAN PENYAKIT SAKIT/SEHAT PENDUDUK

PERILAKU MEDIA

TRANSMISI PENYAKIT LINGKUNGAN

FISIK SUMBER

PENYAKIT PENDERITA

DBD

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana Pengetahuan Masyarakat Dalam Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang.

Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN KEBIASAAN KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN BINJAI TIMUR KOTA BINJAI TAHUN 2012..

Masih adanya kasus demam berdarah dengue (DBD) di kota Surakarta. menunjukan bahwa demam berdarah dengue (DBD) masih

Hubungan Iklim (Curah Hujan, Kelembaban dan Suhu Udara) Dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2004-2008, Skripsi,

Judul Tesis : PENGARUH PERILAKU INDIVIDU DAN LINGKUNGAN FISIK TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI DAERAH DATARAN TINGGI GAYO KABUPATEN ACEH TENGAH TAHUN 2010..

Tedy B, 2005, Analisis Faktor Risiko Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kelurahan Helvetia Tengah Medan, Jurnal Kesehatan Lingkungan : Vol 1, ( 2)

Judul Tesis : PENGARUH PERILAKU INDIVIDU DAN LINGKUNGAN FISIK TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI DAERAH DATARAN TINGGI GAYO KABUPATEN ACEH TENGAH TAHUN 2010..

2017 ‘Hubungan antara Faktor Lingkungan Fisik dan Perilaku dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue DBD Di Wilayah Kerja Puskesmas Sekaran, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang’, Public