ii
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menurunkan frekuensi dan intensitas perilaku Oppositional Defiant Disorder (ODD) pada remaja SMP dengan Cognitive Behavior Therapy (CBT). Melalui CBT, negative automatic thoughts (NATs) yang ada pada remaja SMP yang ODD akan diubah, bahwa remaja SMP ini dapat melihat dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari sudut pandang dirinya saja dan melihat alternatif-alternatif lain dan dapat menemukan segi positif dari suatu kejadian, serta remaja ini dapat memandang dirinya positif dan melihat segala sesuatu tidak berdasarkan emosi tapi berdasarkan apa yang terjadi, dengan demikian remaja SMP dapat menghilangkan label yang mereka pikirkan mengenai dirinya dan mulai menghargai dirinya sendiri dan orang lain.
Variabel dalam penelitian ini adalah frekuensi dan intensitas perilaku Oppositional Defiant Disorder (ODD) dan Cognitive Behavior Therapy (CBT ). Sampel penelitian ini adalah 2 remaja SMP laki-laki, yang menampilkan perilaku ODD dan telah didiagnosa oleh psikolog memiliki simptom-simptom yang sesuai dengan ODD. Selain dari hasil diagnosa, terdapat alat ukur ODD yang dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan Affective Reactivity Index (ARI) Parent / Guardian of Child 6-17 (DSM V, APA, 2013) yang diisi dan dihayati oleh orangtua dan guru dari sampel penelitian dan diperkuat oleh hasil observasi dan hasil wawancara. Selain alat ukur ODD, peneliti juga membuat alat ukur NATs berdasarkan teori NATs. Validitas kedua alat ukur tersebut dengan menggunakan content validity.
ABSTRACT
This study tested the effect of Cognitive Behavior Therapy to reduce the frequency and intensity of Oppositional Defiant Disorder (ODD) in adolescents. Through CBT, by changing the negative automatic thoughts (NATs) that exist in adolescents will be change, so adolescents can see from different angles, not only from their side and they can find alternative solutions and can see the positive part of the situation, also this teens can think positively about themselves and see things not based on emotions but based on what happened, so teens can eliminate their labelling and begin to appreciate themselves and others.
The variables in this study are the frequency and intensity of Oppositional Defiant Disorder (ODD) and Cognitive Behavior Therapy (CBT) by changing the negative automatic thoughts (NATs). The samples were 2 teenage boys of junior high school, which show the behavior of ODD and have been diagnosed with the symptoms-symptoms that lead to ODD. Beside that, there is a measuring instrument of ODD that modified by researcher based on Affective Reactivity Index (ARI) Parent / Guardian of Child 6-17 (DSM V, APA, 2013) which is filled and intenalized by parents and teachers of the teens and reinforced with interview and observation. Researcher also made the measuring instrument NATs based on the theory of NATs. The validity of both instruments using content validity.
iv
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ... i
Abstrak ... ii
Abstract ... iii
Daftar Isi... iv
Daftar Bagan ... vi
Daftar Tabel ... vii
Daftar Lampiran ... viii
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah ... 1
1. 2 Identifikasi Masalah ... 13
1. 3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 14
1. 3. 1 Maksud Penelitian ... 14
1. 3. 2 Tujuan Penelitian ... 14
1. 4 Kegunaan Penelitian... 14
1. 4. 1 Kegunaan Teoritis ... 14
1. 4. 2 Kegunaan Praktis ... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Teori... ... 17
2. 1. 1 Teori Oppositional Defiant Disorder ... 17
2. 1. 1.1 Pengertian Oppositional Defiant Disorder ... 17
2. 1. 1. 2 Kriteria Oppositional Defiant Disorder ... 19
2. 1. 1. 3 Etiologi Oppositional Defiant Disorder... 23
2. 1. 1. 4 Penanganan Oppositional Defiant Disorder ... 26
2. 1. 2 Teori Perkembangan Remaja ... 28
2. 1. 2. 1 Pengertian dan Batasan Remaja ... 28
2. 1. 2. 2 Perkembangan Kognitif Pada Masa Remaja ... 28
2. 1. 3 Teori Cognitive Behavioural Therapy (CBT) ... 30
2. 1. 3. 1 Teori yang Mendasari CBT ... 30
2. 1. 3. 2 Prinsip Dasar CBT ... 36
2. 1. 3. 3 ‘Levels’ of Cognition ... 40
2. 1. 3. 4 Cognitive Distortion ... 47
2. 1. 3. 5 CBT for Children and Adolescents ... 48
2. 1. 3. 6 Pendekatan CBT... 53
2. 1. 3. 7 Proses CBT... 56
2. 1. 3. 8 Elemen-elemen dalam CBT ... 58
2. 1. 3. 9 The Goal of CBT ... 62
2. 1. 3. 10 Asumsi dari Cognitive Behavioral Treatment ... 63
2. 2 Kerangka Pikir ... 66
vi
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
2. 4 Hipotesis Penelitian ... 77
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3. 1 Rancangan Penelitian ... 78
3. 2 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual, dan Definisi Operasional ... 79
3. 2. 1 Variabel Penelitian ... 79
3. 2. 2 Definisi Konseptual ODD ... 79
3. 2. 3 Definisi Operasional ODD ... 80
3. 2. 4 Definisi Konseptual Cognitive Behavioral Therapy ... 84
3. 2. 5 Definisi Operasional Cognitive Behavioral Therapy ... 85
3. 3 Alat Ukur ... 90
3. 3. 1 Data Utama... 90
3. 3. 2 Validitas Alat Ukur ... 93
3. 3. 3 Data Penunjang ... 93
3. 4 Karakteristik Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 94
3. 4. 1 Karakteristik Sampel ... 94
3. 4. 2 Teknik Pengambilan Sampel... 94
3. 5 Pengolahan Data... 95
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4. 1 Hasil ... 97
4.1.1 Hasil Subjek 1 ... 97
4.1.1.2 Keluhan dan Riwayat Keluhan Subjek 1 ... 98
4.1.1.3 Status Praesens Subjek 1 ... 101
4.1.1.4 Analisis Fungsional Subjek 1 ... 103
4.1.1.5 Hasil Pengukuran NATs Subjek 1 ... 108
4.1.1.6 Hasil Pengukuran Frekuensi dan Intensitas ODD Subjek 1... 109
4.1.2 Hasil Subjek 2 ... 112
4.1.2.1 Identitas Subjek 2 ... 112
4.1.2.2 Keluhan dan Riwayat Keluhan Subjek 2 ... 113
4.1.2.3 Status Praesens Subjek 2 ... 115
4.1.2.4 Analisis Fungsional Subjek 2 ... 117
4.1.2.5 Hasil Pengukuran NATs Subjek 2 ... 123
4.1.2.6 Hasil Pengukuran Frekuensi dan Intensitas ODD Subjek 2... 124
4. 2 Pembahasan Analisa Proses Terapi ... 126
4.2.1 Pembahasan Analisa Proses Terapi Subjek 1 ... 127
4.2.2 Pembahasan Analisa Proses Terapi Subjek 2 ... 145
4. 3 Perbandingan Kasus ... 165
4.3.1 Persamaann Kasus ... 165
viii
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Simpulan ... 168
5.2 Saran Penelitian ... 169
5.2.1 Saran Teoritis ... 169
.5.2.2 Saran Praktis ... 171
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RUJUKAN
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Model Dasar untuk case Conceptualization ... 36
Bagan 2.2 NATs, Das, dan Core Beliefs ... 46
Bagan 2.3 The Cognitive Model ... 51
Bagan 2.4 Model CBT untuk Perkembangan Masalah ... 53
Bagan 2.5 Figure Functional dan Dysfunctional Cycles ... 63
Bagan 2.6 Kerangka Pemikiran... 76
Bagan 3.1 Rancangan Penelitian ... 79
Bagan 4.1 Analisis Fungsional Subjek 1 ... 103
Bagan 4.2 Gambaran Perubahan NATs Subjek 1 ... 108
Bagan 4.3 Gambaran Perubahan Frekuensi Perilaku ODD Subjek 1 ... 109
Bagan 4.4 Analisis Fungsional Subjek 2 ... 117
Bagan 4.5 Gambaran Perubahan NATs Subjek 2 ... 123
x
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Penilaian Alat Ukur ODD ... 90
Tabel 3.2 Kisi-kisi Alat Ukur NATs ... 91
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Garis Besar Prosedur Pelaksanaan Terapi CBT
Lampiran B Alat Ukur
Lampiran B1 Alat Ukur ODD
Lampiran B2 Alat Ukur Thinking Errors
Lampiran B3 Kisi-kisi Alat ukur Thinking Errors
Lampiran C Angket Evaluasi
Lampiran C1 Angket Evaluasi Per Sesi Terapi
Lampiran C2 Angket Evaluasi Terapi Keseluruhan
Lampiran D Hasil Anamnesa
Lampiran D1 Hasil Anamnesa Subjek 1
Lampiran D2 Hasil Anamnesa Subjek 2
Lampiran E Hasil Diagnosa
Lampiran E1 Hasil Diagnosa Subjek 1
Lampiran E2 Hasil Diagnosa Subjek 2
Lampiran F Evaluasi Sesi Terapi
Lampiran F1 Evaluasi Per Sesi Terapi Subjek 1
Lampiran F2 Evaluasi Per Sesi Terapi Subjek 2
Lampiran G Hasil Observasi dan Pembahasan Analisa Proses Terapi
Lampiran G1 Hasil Observasi dan Pembahasan Analisa Proses Terapi Subjek 1
xii
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha Lampiran H Hasil Verbatim
Lampiran H1 Hasil Verbatim Subjek 1
Lampiran H2 Hasil Verbatim Subjek 2
Lampiran I Hasil Perhitungan Pre test dan Post test
Lampiran I1 Hasil Perhitungan Pre test dan Post test ODD
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Masa remaja merupakan masa yang kritis dalam siklus perkembangan
seseorang, dimana pada masa ini terjadi banyak perubahan, baik perubahan
biologis, psikologis maupun perubahan sosial. Fase perubahan tersebut seringkali
memicu terjadinya konflik antara remaja dengan dirinya sendiri maupun konflik
dengan lingkungan sekitarnya. Apabila konflik-konflik tersebut tidak dapat
teratasi dengan baik maka dalam perkembangannya dapat membawa dampak
negatif terutama terhadap pematangan karakter remaja dan tidak jarang memicu
terjadinya gangguan. Sekitar 80 % dari remaja yang berusia 11-15 tahun
dikatakan pernah menunjukkan perilaku berisiko tinggi minimal satu kali dalam
periode tersebut, seperti berkelakuan buruk di sekolah, penyalahgunaan zat, serta
perilaku antisosial. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun
2007, prevalensi masalah mental dan emosional pada orang Indonesia dengan usia
di atas 15 tahun adalah 11,6 % (Putri, 2012).
Psikolog anak, Dr. Farah Agustin, mengatakan bahwa masa remaja atau
usia muda adalah usia paling rawan dalam kehidupan anak-anak. Salah mendidik,
anak akan menjadi sosok yang angkuh, egois dan pemberontak. Lebih lanjut
ditambahkan Farah, bahwa masa remaja sebagai masa storm and stress , masa
yang penuh pertentangan dan perlawanan, bertolak belakang dari masa kecil yang
2
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha karena mereka selalu berbuat sesuai dengan dorongannya semata tanpa
memikirkan dampaknya bagi orang di sekelilingnya. (www.balipost.co.id)
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa masalah perilaku ini
berdampak sangat merugikan, tidak hanya bagi anak-anak dan remaja yang
mengalaminya tetapi juga bagi masyarakat. Meskipun anak dengan masalah
perilaku tidak selalu menjadi dewasa yang antisosial, namun sebagian besar
diantara mereka setelah dewasa cenderung terlibat dalam tindakan kriminal dan
mengembangkan perilaku antisosial (Lohey dkk. dalam McCabe, Hough, Wood &
Yeh, 2001). Mereka juga cenderung memiliki masalah psikologis , sulit
menyesuaikan diri dengan pendidikan dan pekerjaan. (Kazdin dalam Carr, 2001).
Berdasarkan interview dengan guru BK SMP “Y” di Bandung
menyatakan bahwa permasalahan yang paling banyak dialami oleh remaja SMP di
sekolahnya, selain masalah akademis adalah masalah sikap. Guru BK sering
mendapatkan laporan dari guru pengajar atau wali kelas, mengenai siswa yang
kurang sopan terhadap gurunya, beberapa dari mereka ada yang suka membantah
atau berdebat dengan guru, tidak banyak siswa yang berani untuk membantah
secara langsung, menurut guru BK rata-rata setiap angkatan ada 1-3 anak yang
berani secara langsung menentang atau membantah guru, kebanyakan dari mereka
ada yang suka membantah secara tidak langsung, misalnya dengan sering tidak
mengerjakan tugas, sengaja tidak membawa tugas, memberikan ekspresi marah
3
sekolahnya juga memilih masalah emosional, dimana mereka sulit mengontrol
emosinya, mudah marah dan ‘meledak-ledak’.
Sedangkan menurut Guru BK di SMP “X” juga mengatakan hal yang
serupa, selain akademis, siswa-siswa sekolah “X” juga bermasalah dengan
masalah sikap, seperti anak tidak sopan kepada guru, berbicara kasar, tidak mau
diatur, suka menentang aturan atau guru. Menurut guru BK, ada sekitar 4 sampai
5 anak di sekolah “X” ini yang masih kesulitan untuk diatasi oleh sekolah. Mereka
berani untuk melawan guru ada yang secara langsung, misalnya dengan langsung
menolak perintah guru atau mereka mengajak guru berargumentasi dan secara
tidak langsung, biasanya mereka sering tidak membuat tugas atau tidak membawa
perlengkapan dengan sengaja, dan biasanya sudah tidak mempan dengan
hukuman. Dan biasanya anak-anak yang demikian akan kesulitan dengan
relasinya, biasanya mereka akan dijauhi karena teman-temannya yang lain merasa
takut atau teman-temannya menjauhi karena anak ini sikapnya dinilai aneh dan,
mereka biasanya memiliki kesulitan secara akademis dan bermasalah dengan guru
pengajar .
Menurut Matthys dan Lochman (2010), ketika perilaku yang telah
disebutkan tersebut muncul dalam berbagai setting dengan frekuensi yang sering
dan memberikan dampak negatif bagi lingkungannya, perilaku tersebut menjadi
perhatian klinis. Perilaku mengganggu yang tergolong masalah klinis dapat
4
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
Conduct Disorder (CD). ODD biasanya tampil pada anak yang lebih muda dan dapat berkembang menjadi CD ketika tidak mendapatkan intervensi sejak dini.
Anak dengan ODD biasanya tidak menyadari bahwa dirinya berperilaku
oposisi. Anak menganggap perilakunya itu adalah bentuk respon dari tuntutan
atau kondisi yang dianggapnya tidak layak (Greene & Doyle, 1999). Costello dan
kolega (2003) memperoleh data dari 1420 sampel anak-anak dengan usia 9-16,
ditemukan bahwa prevalence diagnosis ODD berkisar sekitar 4,1 % pada usia 15
tahun; 2,2 % pada usia 16 tahun; 2,1 % pada anak perempuan; dan 3,1 % pada
anak laki-laki. Sehingga dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa ODD paling
banyak muncul pada usia 15 tahun dan pada anak laki-laki. Menurut Adelman
dan Taylor (2008), pada usia early childhood, anak dengan ODD cenderung
menunjukkan perilaku melawan yang ekstrim, menolak ketika diminta untuk
melakukan suatu hal dan seringkali tantrum. Pada usia middle childhood, perilaku
yang tampil adalah memberontak, menolak untuk mengikuti peraturan yang
seharusnya ditaati, seringkali berdebat dan mengganggu orang lain dengan
sengaja. Ketika memasuki usia remaja, anak akan semakin sering menampilkan
perilaku melawan, selalu berargumentasi, berusaha berada di dekat orangtua
ketika sedang berdebat, tidak mau berkompromi, menampilkan sifat negatif dan
mudah terpengaruh untuk mengkonsumsi alkohol serta obat-obatan terlarang.
Terdapat penelitian yang mengatakan bahwa ODD frekuensinya dapat berkurang
saat memasuki middle childhood, namun akan meningkat kembali di masa
remaja.(Lahey, McBurnett, & Loeber, 2000 di dalam Wenar dan Kerig, 2005)
5
secara klinis di Amerika Serikat, satu pertiga dari semua preadolescent dan
adolescent yang dirujuk secara klinis didiagnosa sebagai ODD. Terdapat pernyataan bahwa ODD berkontinuum dengan perilaku normal. Disebut
psikopatologi ketika terjadi peningkatan dalam frekuensi dan intensitas dari
perilaku (seperti ketidakpatuhan, menentang, tantrum, dan mood yang negatif)
atau ketika hal tersebut berlangsung terus ke periode berikutnya (Wenar & Kerig,
2005).
Menurut American Psychiatric Association (APA, 2013) dalam DSM V,
ODD merupakan suatu pola dari angry/ irritable mood, argumentative/defiant
behavior, atau vindictiveness, yang berlangsung setidaknya selama 6 bulan dengan kemunculan minimal 4 simptom dari kategori berikut : seringkali hilang
kesabaran (loses temper), mudah tersinggung (touchy) atau mudah terganggu,
seringkali marah dan sakit hati, seringkali berargumen dengan figur otoritas atau
untuk anak dan remaja beragumen dengan orang dewasa, seringkali secara aktif
menentang atau menolak untuk mengikuti permintaan dari figur otoritas atau
dengan aturan, seringkali mengganggu orang lain dengan sengaja, selalu
menyalahkan orang lain untuk kesalahannya, menjadi pendengki atau pendendam.
Menurut DSM V, simptom dari ODD dapat terbatas hanya pada satu
setting saja dan kebanyakan terjadi di rumah. Individu yang menunjukkan
simptom-simptom yang sesuai pada kriteria diagnostik, meskipun hanya di rumah
saja, secara signifikan dapat terjadi penyimpangan di fungsi sosial mereka.
6
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha muncul dalam beberapa settings. Berdasarkan tingkat keparahan, simptom ODD
terbatas hanya pada satu setting saja tergolong ke dalam tingkat keparahan yang
mild, dan beberapa simptom yang muncul dalam 2 setting tergolong ke dalam tingkat keparahan yang moderate, dan beberapa simptom dapat muncul ke dalam
3 setting atau lebih tergolong ke dalam tingkat keparahan yang severe. Selain itu,
Matthys dan Lochman (2010) membedakan tingkat keparahan berdasarkan
simpom ODD yang muncul. ODD dengan tingkat keparahan yang mild, jika
muncul simptom ODD berikut ini : remaja menolak secara langsung perintah
orangtua, mudah merasa terganggu dan sering menyalahkan orang lain dengan
kesalahan atau perilaku buruknya. Sementara ODD dengan tingkat keparahan
severe, terdapat simptom ODD berikut : remaja dengan marah menolak secara langsung perintah atau larangan orangtua, sering hilang kesabaran dan sering iri
atau pendendam.
Berdasarkan wawancara dengan wali kelas dari A (seorang siswa SMP
“X” kelas 7 dan berusia 12 tahun), mengatakan bahwa A adalah siswa yang paling
tidak bisa diatur di kelasnya, ia selalu membuat keributan di kelas dan tidak bisa
diberitahu. Menurut wali kelas, semua guru mata pelajaran mengeluhkan tentang
A, A seringkali bermain-main di dalam kelas saat jam pelajaran sekolah,
seringkali tidak membuat PR atau tugas, suka menjawab saat guru sedang
berbicara (“nembalan”) atau A keluar kelas saat jam pelajaran di sekolah. Saat
ditegur oleh wali kelas atau guru A berani berargumentasi, terkadang ia akan
menggerutu atau ia akan tertawa dan mengejek cara berbicara guru. Selain itu
7
ayahnya, saat diejek A menangis atau ia akan membalas mengejek temannya
sampai berkelahi. Menurut wali kelas, sebelumnya A adalah anak yang penurut
dan tidak pernah bermasalah, namun sejak perceraian orangtuanya saat A berada
di kelas 5, A menjadi berubah, ia menjadi lebih perasa, sering membuat ulah di
sekolah. Saat ditanyakan kepada A, A merasa terpukul dengan perceraian kedua
orangtuanya, di kelas 5 A sempat tidak mau masuk sekolah selama 1 bulan,
karena A merasa sedih dan kesal. Saat perceraian orangtuanya terjadi, A memiliki
pikiran bahwa ia tidak dapat bertemu dan dipisahkan dari ayahnya, sementara
dirinya sangat dekat dengan ayahnya. Beberapa bulan kemudian Ibu A menikah
lagi dengan orang lain dan memiliki anak, hal tersebut membuat A semakin
terpukul, A memiliki keinginan agar orangtuanya dapat bersama kembali, namun
A merasa saat ini sudah tidak mungkin lagi. A juga mengatakan bahwa A sering
merasa bosan dan jenuh berada di rumah, sehingga ia sering menghabiskan
waktunya bersama teman-temannya di luar rumah. Menurut A, A senang
membuat ulah di sekolah, karena dengan membuat ulah ia bisa tertawa dan
membuat orang tertawa, ia juga menjadi dikenal oleh teman dan guru di sekolah.
Kemudian A juga sering menjahili temannya, karena A berpikir bahwa dengan
menjahili temannya ia dapat bermain dengan temannya dan dapat tertawa mencari
kesenangan. Saat ini A mempersepsi dirinya sebagai anak yang nakal, karena ia
sering dimarahi oleh guru karena tidak pernah membuat PR, sering bermain-main
di kelas, suka membuat celetukan di kelas. Saat A dimarahi oleh guru, A akan
mencoba membela diri dan berargumentasi dengan guru dan mengungkapkan
8
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha namun tidak mendengarkan apa yang dikatakan guru atau ia akan menggerutu dan
mengejek guru. A juga mengaku bahwa ia sering ribut dengan ibunya, misalnya
saat disuruh Ibunya dan A menolak dengan cara membentak ibunya, dan saat ia
dimarahi ibunya ia akan menangis atau membalas perlakuan ibunya seperti
melempar sandal. Saat itu A memiliki pikiran bahwa ibunya tidak pernah
memahami A dan A merasa kesal, A berani membalas ibunya karena A ingin
ibunya merasakan apa yang dirasakan A dan agar ibunya berhenti memarahi A.
Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa terdapat beberapa simptom
ODD pada diri A, seperti mudah tersinggung, berani untuk berdebat atau
berargumen dengan figur otoritas dan orang dewasa, seringkali menentang atau
menolak permintaan dari figur otoritas atau aturan, senang mengganggu orang lain
dengan sengaja dan menyalahkan orang lainatas kesalahan yang dipebuatnya.
Dan berdasarkan data di atas, simptom yang muncul pada diri A lebih banyak
muncul di sekolah, dengan intensitas yang masih cenderung ringan.
Selain A, ada anak yang bernama G, siswa SMP “Y”, berusia 15 tahun dan
berada di tingkat SMP kelas 8. Guru BK mengeluhkan G karena di sekolah G
sering melanggar peraturan sekolah dan sulit untuk diarahkan. Menurut guru BK
keluhan terhadap G sudah muncul sejak G berada di pertengahan kelas 7 dan
hampir semua guru mata pelajaran mengeluhkan tentang G. G seringkali tidak
membuat PR atau tugas, ia juga tidak pernah menggunakan dasi, tidak mau
memotong rambutnya. Guru sudah sering menegur G, namun G seringkali
berargumentasi dan mengungkapkan alasan-alasan, misalnya saat ia tidak
9
rumahnya tidak ada yang bisa, lalu saat G diminta untuk memotong rambutnya, G
mengatakan rambutnya tidak bisa dipotong karena menurut G apabila dipotong ia
akan pusing atau sakit dan menurut G tidak ada hubungan antara rambut dan
proses belajar. Selain itu G seringkali tidak membuat PR, G mengatakan bahwa ia
lupa atau ia sudah membuat PR tetapi guru yang tidak mau menerima PR karena
guru-guru tidak menyukainya. Wali kelas dan guru BK sudah merasa kewalahan
dengan tingkah laku G dan saat guru meminta G agar orangtua G untuk datang, G
mengancam guru apabila orangtua G datang ke sekolah, ia akan berhenti sekolah.
Menurut ibu G, emosi G mudah meledak, ia seringkali marah-marah untuk hal-hal
yang sepele, misalnya saat tidak ada makanan di rumah ia akan marah-marah
membanting pintu atau memukul tembok. Selain itu, G juga sering bertengkar
dengan ayahnya, G sering berdebat dengan ayahnya dan diakhiri dengan
pertengkaran dimana G akan marah. Menurut ibu G, ayah G mendidik dengan
cara yang keras karena ayahnya berasal dari keluarga dengan didikan militer
sehingga hal tersebut terbawa saat mendidik G. Sementara ibu G cenderung
overprotective dan selalu memberikan apa yang menjadi keinginan G agar G tidak
marah, karena menurut ibunya jika G sudah mulai marah, emosinya menjadi tidak
terkontrol. Ibu G menceritakan beberapa waktu yang lalu G pernah mengamuk
karena ada keinginannya yang tidak terpenuhi, ia sampai berteriak memaki
orangtua dengan kata-kata yang kasar, lalu mengancam kakaknya dan sempat
mengambil pisau, sampai pada akhirnya G menjadi ‘kemasukan’. Menurut G, G
merasa bahwa ia sulit mengontrol emosinya, ia seringkali mudah marah, ia merasa
10
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha hal yang disukainya seperti balapan. Ia berpikir bahwa orangtuanya tidak
menginginkan anaknya bahagia, selalu dikekang dan selalu disalahkan terutama
oleh ayahnya, ayahnya selalu menganggap bahwa G tidak pernah melakukan hal
dengan benar. G mengaku bahwa dirinya sering bertengkar dengan ayahnya dan
beberapa kali pernah memukul ayahnya, saat G memukul ayahnya yang ia
pikirkan saat itu adalah agar ayahnya diam. G juga tidak senang apabila ada orang
yang mengganggunya atau banyak bertanya pada dirinya, ia akan marah atau ia
juga akan melakukan aktivitas fisik seperti memukul, mendorong. G merasa tidak
bahagia, sehingga G mencari kesenangan di luar rumah dengan cara menjahili
teman atau mempengaruhi teman untuk membuat ulah di sekolah, dan balapan
motor menjadi hal yang membahagiakan bagi G. Berdasarkan cerita tersebut,
simptom ODD yang muncul pada G adalah seringkali kurang dapat
mengendalikan emosinya, mudah tersinggung, mudah sekali marah, mudah
merasa terganggu oleh orang sekitar, menentang orang dewasa seperti ayah, ibu
dan gurunya, ia juga suka berargumen dengan orangtua dan terkadang menolak
apa disuruh oleh orangtuanya. Simptom ODD pada G muncul di rumah dan di
sekolah baik terhadap orangtua, guru, teman atau orang yang ada di sekitarnya
dengan frekuensi yang sering dan intensitas yang cenderung parah.
Menurut Task Force (2006), dikatakan bahwa remaja dengan ODD terlihat
oleh orang dewasa sebagai orang yang tidak menurut dan keras kepala. Remaja
dengan ODD ini percaya bahwa orang lain terlalu mengontrol dan selalu
mengkritik mereka, yang menyebabkan mereka merasa bahwa diri mereka adalah
11
tersebut sesuai dengan apa yang dialami oleh A dan G. Berdasarkan cerita yang
dialami oleh A dan G, mereka merasa bahwa orang sekitar khususnya figur
otoritas mereka menjadi seseorang yang mengkritik mereka dan mereka merasa
bahwa mereka adalah korban dari ketidakadilan. Seperti yang dialami oleh A,
dimana ia merasa saat perceraian orangtuanya, ia menjadi merasa kesepian dan ia
merasa menjadi koraban ketidakadilan ketika dirinya harus dipisahkan dari
ayahnya. Lalu pada kasus K, dimana ia merasa selalu dilarang oleh orangtuanya
terutama ayahnya dan selalu dianggap tidak pernah melakukan hal yang benar.
Selain itu, dari kedua kasus di atas, diperoleh data bahwa mereka
cenderung memiliki tingkah laku yang menentang, berani, dan mudah marah
dikarenakan mereka cenderung menilai situasi sosial yang ambigu atau netral
sebagai situasi yang mengancam sehingga mereka menampilkan perilaku agresif
sebagai respon dari situasi yang sedang dihadapi. Menurut Dodge, terjadinya bias
pada proses informasi sosial disebabkan adanya kombinasi antara pengalaman
anak yang mengalami kekerasan dan pembentukan insecure attachment antara
anak dengan pengasuhnya (Foulkrod & Davenport, 2010). Anak-Anak yang
menunjukkan perilaku agresif biasanya mengalami lack of social skills. Hal
tersebut disebabkan anak kurang mampu menjalin komunikasi yang baik,
mengekspresikan perasaan negatif tanpa menyakiti orang lain, mengatasi konflik
tanpa melalui pertengkaran (Elisabeth, 2007).
Adanya kesalahan atau biasnya proses informasi sosial dikenal dalam
istilah cognitive distortions, dimana menurut Wenar dan Kerig (2005), salah satu
12
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha dialami anak. Remaja yang mengalami cognitive distortions diperlukan suatu
intervensi pada kognisinya dengan meningkatkan awareness anak mengenai
kognisi yang disfungsional dan irasional, dan memfasilitasi pemahaman mereka
mengenai efek dari tingkah laku dan emosi yang mereka alami. Salah satu
intervensi yang digunakan untuk mengurangi psychological distress dan tingkah
laku yang maladaptive melalui proses kognitif adalah Cognitive Behavior Therapy
(CBT) (Kaplan et.al., 1995). Banyak penelitian menyatakan bahwa CBT adalah
intervensi yang menjanjikan dan efektif untuk treatment anak yang memiliki
masalah psikologis (Stallard, 2002). CBT berdasarkan pada asumsi dasar bahwa
afek dan tingkah laku merupakan hasil dari kognisi dan dengan demikian bahwa
intervensi kognitif dan tingkah laku dapat membawa perubahan dalam berpikir,
merasa dan tingkah laku (Kendall, 1991). Pada saat remaja SMP memiliki asumsi
yang tidak tepat mengenai pengalaman mereka di masa kecilnya, di dalam CBT
disebut dengan negative automatic thoughts (NATs), khususnya yang berkaitan
dengan munculnya perilaku ODD. CBT fokus pada pemahaman bagaimana suatu
kejadian dan pengalaman diinterpretasikan dengan mengidentifikasi dan
merubah NATs yang muncul dalam proses kognisi.
Berdasarkan 2 kasus di atas, dipeoleh data bahwa pada saat A dan G
memunculkan perilaku ODD, mereka memiliki NATs. NATs yang dimiliki oleh A
adalah A adalah anak nakal, A tidak diinginkan oleh orangtua, A tidak
mendapatkan perhatian di rumah sehingga A akan mencari perhatian di luar
dengan cara jahil dan membuat ulah. Sementara itu, NATs yang dimiliki oleh G
13
menginginkan anaknya bahagia dan maju, G selalu disalahkan dan dianggap tidak
benar, G tidak pernah diberi kebebasan. Dengan adanya NATs tersebut, A dan G
menampilkan tingkah laku yang sesuai dengan simptom ODD. Berdasarkan data
di atas, diperoleh data bahwa remaja yang mengalami ODD memiliki NATs
sebagai suatu bentuk pertahanan mereka. Mereka berperilaku menentang, agresif
sebagai bentuk dari respon mereka untuk menghadapi suatu situasi yang mereka
anggap sebagai suatu ancaman.
Dengan menggunakan CBT, peneliti ingin melihat apakah frekuensi dan
intensitas dari perilaku ODD dapat menurun dengan mengubah NATs yang ada
pada remaja SMP, mengingat CBT telah banyak digunakan kepada anak dan
remaja di beberapa Negara dan terbukti efektif, sementara di Indonesia masih
belum banyak digunakan CBT pada remaja SMP. Berdasarkan fakta yang telah
dikemukakan di atas maka peneliti tertarik untuk menerapkan CBT ini untuk
menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku ODD dengan mengubah NATs
pada remaja SMP.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, mengenai remaja SMP yang
mengalami Oppositional Defiant Disorder (ODD), maka dalam penelitian ini
ingin melihat bagaimana Cognitive Behaviour Therapy dapat menurunkan
14
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk menurunkan frekuensi dan
intensitas perilaku ODD pada remaja SMP yang mengalami ODD melalui CBT.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menurunkan frekuensi dan
intensitas perilaku ODD dengan mengubah Negative Automatic Thoughts (NATs)
pada remaja SMP tersebut.
1.4Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan bagi :
• Ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Klinis Anak dan Remaja
untuk memperdalam pemahaman dan memperkaya pengetahuan
psikologi mengenai Cognitive Behaviour Therapy dalam
menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku ODD.
• Sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain yang hendak melakukan
penelitian mengenai Cognitive Behaviour Therapy dalam
menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku ODD atau topik
15
1.4.2 Kegunaan Praktis
• Memberikan masukan kepada remaja SMP yang mengalami ODD,
bahwa dengan meningkatkan pola pikir yang lebih positif akan
dapat meningkatkan awareness mereka, sehingga mereka dapat
berperilaku dengan sesuai pada suatu situasi.
• Memberikan masukan kepada orangtua remaja SMP yang
mengalami ODD mengenai anak mereka, sehingga mereka dapat
membantu dalam melakukan terapan-terapan CBT untuk
mengubah Negative Automatic Thoughts (NATs) mereka.
• Bagi sekolah, dapat menambah pemahaman mengenai
Oppositional Defiant Disorder dan pemahaman mengenai CBT sebagai salah satu intervensi untuk menangani remaja SMP yang
mengalami ODD.
1.5 Metodologi Penelitian
Penelitian ini multimethod research dengan Quant Qual Mode, dimana
peneliti menggabungkan antara metode kuantitatif dan kualitatif (Padgett, 1998).
Pada penelitian ini menggunakan desain penelitian One Group Pre-Post Test
Design. Pre-Post Test Design menjelaskan perbedaan dua kondisi sebelum dan sesudah intervensi dilakukan (Graziano & Laurin, 2000). Pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling, yaitu sampel
16
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha memenuhi karakteristik populasi diambil sebagai sampel. Setelah itu dilakukan
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1.Simpulan
Dari hasil dan pembahasan mengenai menurunkan frekuensi dan intensitas perilaku
Oppositional Defiant Disorder pada remaja SMP dengan Cognitive Behavior Therapy (CBT), dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Cognitive Behavior Therapy dapat menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku Oppositional Defiant Disorder pada remaja SMP dengan mengubah negative automatic thoughts (NATs) yang ada pada remaja SMP tersebut.
2. Jumlah sesi yang diberikan pada saat Cognitive Behavior Therapy dapat berbeda-beda
pada setiap remaja SMP, berdasarkan penelitian ini Cognitive Behavior Therapy
dapat efektif dengan minimal dilakukan pada 5 sesi yang dilakukan secara konsisten
(seminggu sekali) untuk dapat menurunkan frekuensi dan intensitas perilaku ODD
dengan derajat keparahan yang ringan.
3. Hal-hal yang dapat mendukung remaja SMP untuk menurunkan frekuensi dan
intensitas dari perilaku ODD adalah latar belakang pendidikan anak, dukungan dari
orangtua, guru dan teman, dimana dengan menciptakan suasana lingkungan remaja
yang kondusif, orangtua mendengarkan anak, bersikap tegas dan konsisten terhadap
aturan, tidak mengkritik anak berlebihan, memfasilitasi remaja SMP untuk
melakukan skill yang diperoleh saat CBT, lalu pihak sekolah dapat melakukan
pendekatan terhadap anak, dapat lebih tegas dan konsisten terhadap aturan, lalu
169
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
4. Hal-hal yang dapat menghambat remaja SMP untuk menurunkan frekuensi dan
intensitas dari perilaku ODD adalah kurangnya kerja sama antara pihak orangtua,
guru dengan anak dan terapis. Dari orangtua seperti kurangnya dukungan orangtua
kepada anak pada saat terapi maupun pada saat memfasilitasi anak untuk melakukan
skill yang diperoleh pada saat CBT, orangtua kurang tegas dan tidak konsisten dalam
menerapkan aturan kepada anak. Selain itu dari pihak sekolah yang dapat
menghambat adalah kurangnya pendekatan guru terhadap anak, guru yang kurang
memfasilitasi anak untuk melakukan skill yang diperoleh pada saat CBT, selalu
menyalahkan anak, sikap guru yang terlalu keras dalam menerapkan aturan namun
tidak konsisten. Lalu dari lingkungan teman, teman yang selalu mempengaruhi anak
untuk melanggar peraturan dan selalu menunjukkan sikap agresi.
5. Faktor bahasa merupakan faktor yang sangat penting yang dapat menunjang
kelancaran dari proses Cognitive Behavior Therapy pada saat menggali dan
mengidentifikasi negative automatic thoughts, menggali kejadian saat itu, pikiran dan
perasaan yang ada pada remaja SMP serta hal-hal yang melatar belakangi remaja
SMP memunculkan perilaku ODD.
6. Kelancaran proses CBT dipengaruhi media yang menarik dan mudah dipahami,
seperti bentuk lembar kerja, film atau dapat juga melalui media gambar yang menarik
170
5.2. Saran Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dapat diajukan saran teoritis dan praktis sebagai berikut :
5.2.1. Saran Teoritis
1. Berdasarkan kesimpulan penelitian, CBT dapat efektif untuk menurunkan
frekuensi dan intensitas dari perilaku ODD, untuk itu disarankan kepada Psikolog
khususnya yang bergerak di dalam bidang klinis anak dan remaja, serta profesi
lainnya yang berkaitan dengan anak dan remaja dapat disarankan untuk melakukan
atau merujuk terapi CBT apabila remaja menunjukkan gejala-gejala ODD.
2. Berdasarkan penelitian ini, disarankan untuk melakukan follow up terhadap remaja
SMP setelah selesai 5 sesi pertemuan CBT agar dapat mempertahankan perubahan
perilaku, dan untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan
penelitian time series.
3. Diperlukan metode-metode yang lebih menarik dan lebih mudah dipahami
terutama dalam hal bahasa, misal dengan mencari film yang mendukung dan
berbahasa Indonesia atau mencari alternatif lain seperti menggunakan gambar,
mengingat subjek penelitian adalah remaja SMP, sehingga memudahkan mereka
untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran mereka. Selain itu bahasa yang
digunakan saat terapi harus yang mudah dipahami oleh remaja SMP.
5.2.2. Saran Praktis
1. Bagi pihak orangtua atau sekolah, Cognitive Behavior Therapy dapat
171
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku Oppositional Defiant Disorder,
orangtua dan sekolah harus sedini mungkin untuk mendeteksi gejala Oppositional
Defiant Disorder pada remaja SMP agar dapat dilakukan intervensi lebih awal dan
bekerja sama dengan pihak Psikolog agar tidak berkembang ke tingkat yang lebih
parah.
2. Orangtua dapat memberikan dukungan agar anak dapat merubah perilaku mereka
dan mempertahankan perilaku yang sudah berhasil diubah, hal tersebut dapat
dilakukan dengan cara orangtua dapat memberikan perhatian kepada anak, namun
tetap bersikap tegas dan konsisten terhadap aturan, lebih melakukan pendekatan
kepada anak.
3. Sekolah dapat membantu anak untuk merubah perilaku ODD dengan cara guru
melakukan pendekatan terhadap anak, lebih mengenal kebutuhan anak, namun
tetap bersikap tegas dan konsisten terhadap aturan yang berlaku.
4. Bagi subjek, untuk mempertahankan perilaku yang telah berhasil diubah, dengan
selalu melatih skill yang diperoleh di dalam CBT, selain itu mencari lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical of Mental Disorder. DSM V. Fifth Edition. Washington DC: American Psychiatric Association.
Bond, Frank W., & Dryden, Windy. 2002. Handbook of Brief Cognitive Behaviour Therapy. England: John Wiley & Sons Ltd.
Burke, J.D, Loeber, R. & Birmaher, B. (2002). Oppositional Defiant Disorder and Conduct Disorder: A Review of The Past 10 years. Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 41 (11), 1275-1293.
Foulkrod, K. & Davenport, B. (2010). An Examination of Empirically Informed Practice within Case Reports of Play Therapy with Aggressive and Oppositional Children. International Journal of Play Therapy, 19 (3), 144-158.
Greene, R.W. & Doyle,A.E. (1999). Toward a transactional Conceptualization of Oppositional Defiant Disorder: Implications For Assessment and Treatment. Clinical Child and Family Psychology Review, 2(3).
Graciano, Anthony M., Michael L. Raulin. 2000. Research Methods, A Process of Inquiry, Fourth Edition. United States of America: Allyn & Bacon, A Pearson Education Company.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Development Psychology, A Life Span Approach, Fifth Edition. USA:McGraw-Hill, Inc.
Kazantzis, N. (Ed.). 2006. Cognitive Behaviour Therapy: Theory, research, and practice. New Zealland Journal of Psychology, 35, 114-164.
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha Mash, E.J., Wolfe, D. A. (2005). Abnormal Child Pschology. USA: Wadsworth
Publishing Company.
Matthys, W. & Lochman, J.E. (2010). Oppositional Defiant Disorder and Conduct Disorder in Childhood. Oxford: John Wiley & Sons.
Oemarjoedi, A. Kasandra. 2003. Pendekatan Cognitive Behavior Dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreatif Media.
Padgett, Deborah. K. 1998. Qualitative Methods in Social Work Research. First Edition. New York: Sage Publications Ltd.
Papalia, E. Diane. & Feldman, Ruth R. 2012. Experience Human Development. New York: McGraw-Hill International Edition.
Santrock, John W. 2007. Adolescence. New York: McGraw-Hill Companies Inc.
Stallard, Paul. 2002. Think Good-Feel Good: A Cognitive Behaviour Therapy Workbook for Children. England: John Wiley & Sons Ltd.
DAFTAR RUJUKAN
Agustya, Belinda. 2012. Penerapan Theraplay Pada Anak Dengan Oppositional Defiant disorder. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Megawati. 2013. Rancangan dan Uji Coba Cognitive Behavioral Therapy Terhadap Penurunan Adiksi Merokok Pada Perokok Wanita Dewasa Awal Yang Ingin Berhenti Merokok di Kota Bandung. Bandung : Program Pascasarjana Universitas Kristen Maranatha.
Putri, Dian. 2012. Masalah Mental Dan Emosional Pada Siswa SMP Kelas Akselerasi Dan Reguler. Semarang : Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Universitas Diponegoro.
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/view/687 [25 Februari 2014]
www.balipost.co.id [25 Februari 2014]